TRADISI IMLEK BAGI WARGA MUSLIM TIONGHOA DI DAERAH SURABAYA JAWA TIMUR.

(1)

TRADISI IMLEK BAGI WARGA MUSLIM TIONGHOA DI DAERAH SURABAYA JAWA TIMUR.

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu( S-1) Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan

Islam (SKI).

Oleh:

AMANDA ASRY ISTANIYAH NIM: A82210066

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

S U R A B A Y A 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Tradisi Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa Di Daerah Surabaya Jawa Timur” Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang fenomena tradisi Imlek di daerah Surabaya Jawa Timur. Adapun pokok permasalahan atau inti dari tulisan ini: (1) apa sebenarnya Imlek itu? (2) bagaimana perayaan Imlek bagi warga Muslim Tionghoa dilakukan? (3) nilai-nilai sosial yang terkandung didalam perayaan Imlek?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan teori struktural milik anthony giddens dimana teori ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam usahanya memecahkan perbedaan antara makro dan mikro dalam apresiasi peran budaya pada kehidupan sosial.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Tradisi Imlek diperingati satu tahun sekali yaitu pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Perayaan imlek meliputi sembahyang imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh.


(6)

ABSTRACT

This thesis titled "Tradition Chinese Lunar For Muslims In Surabaya, East Java Regional" This thesis is the result of research on the phenomenon of Chinese tradition in Surabaya, East Java. As for the subject matter or the core of this paper: (1) what exactly the Chinese New Year? (2) how the Chinese New Year celebrations for Chinese Muslims do? (3) social values contained in the celebration of Chinese New Year.

In answering these questions, the researchers used a structural theory belongs to Anthony Giddens where this theory has considerable influence in an attempt to resolve differences between the macro and micro in appreciation of the role of culture in social life.

Chinese tradition which is celebrated once a year on the 30th of the 12th month and ending on the 15th of the first month, or better known as the Cap Go Meh. Lunar New Year celebration includes prayer, praying to the Creator, and the Cap Go Meh.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN TRANSLITERASI ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN THANK’S TO ... vii

HALAMAN ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Rumusan Masalah………...8

C. Tujuan Penelitian………... 8

D. Kegunaan Penelitian………... 9

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik………...10

F. Penelitian Terdahulu………...12


(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

H. Sistematika Pembahasan………... 18

BAB II SEKILAS TENTANG TIONGHOA DAN TRADISI IMLEK.

A. Sejarah Masuknya Suku Tionghoa ke Indonesia………... 19

B. Asal Mula Perayaan/tradisi Imlek………... 30

C. Nilai-nilai religi dalam Tradisi Imlek ... 35

BAB IIITRADISI IMLEK BAGI WARGA MUSLIM TIONGHOA DI DAERAH SURABAYA JAWA TIMUR.

A. Tradisi warga Muslim Tionghoa Surabaya pada suasana perayaan Imlek…. 43 B. Nilai-nilai social yang terkandung dalam perayaan Imlek ... 50

1. Nilai Sosial dalam Perayaan Imlek ... 52 2. Nilai Ekonomi dalam Perayaan Imlek ... 53

BAB IV PANDANGAN CENDEKIAWAN TERHADAP TRADISI IMLEK DI

INDONESIA.

A. Menurut Cendekiawan NU ... 55 B. Menurut Cendekiawan Muhammadiyah ... 58 C. Menurut Cendekiawan PITI ... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66 C. Daftar Lampiran ... 68


(9)

1

BAB I

A.

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara majemuk. Penduduknya tersebar di seluruh kepulauan Nusantara yang terpisah-pisah oleh letak geografisnya yang telah membentuk kelompok –kelompok sosial yang masing-masing kelompok sedang mengembangkan tradisi dan kebudayaan masing-masing daerah, selain tradisi dan kebudayaan yang sudah ada sejak jaman nenek moyang, ada juga suku atau bisa dibilang etnis dari Negara tetangga. Keragaman budaya Indonesia menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan keragaman budayanya sebagai identitas bangsa Indonesia.1

Perlu dipahami bahwa agama merupakan system keyakinan yang dainut dan diwujudkan oleh penganutnya dalam tindakan-tindakan keagamaan di masyarakat dalam upaya memberi respon dari apa yang dirasakan dan diyakini sebagai suatu yang sakral. Agama mengandung ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya sehingga ajaran agama tersebut merupakan suatu elemen yang membentuk sistem nilai budaya. Kata kebudayaan memang sudah semakin umum dipakai oleh banyak orang, tapi ia tidak pernah benar-benar jelas artinya.

1


(10)

2

Dalam The End of Ideology, Daniel Bell mencoba memberikan pembedaan antara konsep massa dan konsep kelas.2

Ada lima hal yang dikemukakannya. Pertama, berbeda dengan kelas sosial, massa merupakan audience yang sangat beragam, heterogen, dan anonim sifatnya. Kedua, massa sebagai sebuah kategori penilaian oleh orang yang dianggap tidak memiliki kompetensi, sehingga yang dihasilkannya semata-mata berupa selera yang dangkal, murahan, atau dalam ungkapan yang lebih langsung, selera massa. Ketiga, meminjam tipologi Durkheimian, massa dipahami Bell sebagai masyarakat yang bersifat mekanis. Artinya, meskipun berjumlah sangat besar bahkan merupakan bagian terbesar dari umat manusia. Keempat, massa merupakan masyarakat yang telah mengalami birokratisasi. Yang terakhir, Bell melihat massa sebagai gerombolan orang yang pada dasarnya inferior berhadapan dengan masyarakat.3

Mengikuti batasan massa yang digunakan oleh Daniel Bell diatas, budaya massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek cultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi social, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan berselera dangkal.4

Dalam memahami tradisi, disyaratkan adanya gerakan yang dinamis. Dengan demikian, tradisi tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang diwariskan, tetapi

2

Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 105.

3

Ibid.

4


(11)

3

sebagai sesuatu yang dibentuk. Jadi, tradisi merupakan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan yang otomatis mengacu pada masa lalu.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap orang melihat, mempergunakan, bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan.

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. 5

Dalam tradisi ada dua hal penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk pada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk pada pembentukan dan penanaman tradisi kepada orang lain.

Masyarakat jawa berpedoman bahwa mereka akan menjadi kuat karena persatuan, sebaliknya menajdi lemah karena pertentangan. Prinsip harmoni masyarakat jawa juga sering diungkapkan dengan istilah tata titi tentrem kerta raharja yang berarti “tertata, cermat, tenteram, dan sejahtera”. Dan untuk mengontrol

nilai itu, mereka memiliki beberapa norma sosial yang merupakan kendali perilaku

5

Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 20.


(12)

4

masyarakat jawa, seperti rukun, tepa-slira, jujur, andhap asor, aja dumeh, tulung timulung, kuwalat, wani ngalah, wani wedi, wani isin, dan kepotangan budi.6

Dalam rangka pengembangan dan pertumbuhan kebudayaan yang utuh tanpa mengabaikan perkembangan kebudayaan dan tradisi daerah serta suku bangsa yang ikut memperkaya kebudayaan nasional dari tradisi tersebut, kehadiran suku yang disebut etnis Tionghoa ini sebenarnya sudah lama ada di Indonesia, hanya saja kehadiran mereka baru diakui sejak almarhum Gus Dur menduduki kursi kepresidenan Indonesia.

Tradisi yang memiliki ciri tersendiri pada suatu kelompok masyarakat, yang mempunyai arti penting dalam pengembangan kebudayaan nasional. Kebudayaan daerah perlu dikembangkan dan dilestarikan dan disesuaikan dengan tuntunan pembangunan yang selaras. Di setiap tradisi, pasti ada yang disebut dengan ritual.

Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari bilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.

Kebudayaan Islam adalah hasil olah, akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia berladaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal untuk

6


(13)

5

terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.

Kebudayaan daerah tertentu jauh lebih berkembang dibandingkan kebudayaan daerah lain. Bahkan masih ada kebudayaan-kebudayaan daerah yang seolah mandeg akibat masih bertumpu pada peralatan teknologi khas zaman batu.

Jika standar perkembangan suatu kebudayaan diukur dari seberapa sering terjadinya kontak-kontak antara kebudayaan “dalam” dengan kebudayaan “luar” daerah, maka kemandegan ini menjadi sangat beralasan.7

Persoalan agama dan kebudayaan akan terus berkembang menjadi perdebatan yang serius, sejalan dengan berkembangnya demokratisasi kehidupan manusia yang bersifat global. Partisipasi setiap individu akan semakin besar dan meluas di dalam setiap perbincangan mengenai agama dan kebudayaan, searah dengan makin membesarnya peluang partisipasi rakyat dalam kehidupan bangsa dan negara seperti di Indonesia.

Pengkutuban agama dan kebudayaan tidaklah menjadi persoalan yang rumit, jika kedudukan keduanya menjadi jelas dan proporsional. Oleh karena itu, wilayah

7

Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia :Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan ( Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002),Halaman Pengantar Penerbit.


(14)

6

agama dan kebudayaan perlu diperjelas, sehingga perbincangan keduanya dapat berkembang secara konstruktif.8

Sistem Islam menerapkan dan menjanjikan perdamaian dan stabilitas dimanapun manusia berada, karena pada hakikatnya manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT,yang berbeda justru hanya terletak pada unsur-unsur keimanan dan ketakwaannya saja. Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada dan aturan-aturan yang bersumber dari nafsu hewani, sehingga akan merugikan diri sendiri.

Tradisi Imlek misalnya. Warga etnis Tionghoa (orang sering menyebutnya “Orang Cina”) memang sering diidentikkan dengan pedagang, kaya raya, Nasrani, dan masih banyak label lainnya lagi. Tidak salah memang, tapi tak selalu label tersebut benar. Warga etnis Tionghoa juga ada yang muslim. Bangsa kita memang mudah memberikan stigma yang “ada-ada aja” terhadap suatu hal. Seakan kalau seseorang itu beretnis tertentu maka akan distigmatisasi bukan dalam golongannya. Dan lebih parah kalau bawa-bawa unsur agama.

Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara

8

Abdul Munir Mulkhan, Kearifan Tradisional: Agama Bagi Manusia Atau Tuhan (Yogyakarta: UII Press, 2000), 101.


(15)

7

mereka tercerai-berai. Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.9

Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain,juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun.

Perlu juga kita ketahui bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan tersendiri, sehingga dalam penyatuan ke dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu menumbuhkan dua macam sistem kebudayaan yang sama-sama dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya daerah. Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang masih baru dan dalam proses pembentukan persatuan nasional di Indonesia. Sistem

9


(16)

8

budaya nasional berkaitan dengan faktor-faktor : kepercayaan dan nilai agama, ilmu pengetahuan, kedaulatan rakyat, serta toleransi dan empati.

Bagi warga Muslim Tionghoa, makna Imlek bukan hanya sebatas merayakan tahun baru Cina dengan harapan beroleh keselamatan dan kemakmuran di masa mendatang. Namun lebih dari itu, dalam Imlek juga mereka temukan tertanamnya nilai luhur ukhuwah sebagaimana Islam sangat menganjurkan memeliharanya, yaitu dengan cara memperkokoh tali persaudaraan dan persatuan sebagai sebuah ikatan yang tulus dan teguh.10

Tiap tahun warga Tionghoa ataupun keturunan merayakan tradisi yang juga hari raya bagi warga Tionghoa baik itu muslim maupun tidak. Warga Tionghoa juga mengenal adanya ritual, dan biasanya di setiap waktu mereka pasti melakukan ritual-ritual khusus. Tak terkecuali saat hari raya imlek tiba. Imlek bagi warga Tionghoa adalah moment dimana mereka bisa berbagi dan berkumpul bersama keluarga serta melakukan sembahyang di klenteng-klenteng yang tersebar di seluruh Indonesia.

Biasanya warga Tionghoa juga mnenyambutnya dengan berbagai cara. Seperti, membersihkan kelenteng, sembahyang Ci Suak, sembahyang Cap Go Meh, sampai sembahyang mengiringi dewa naik ke surga setelah imlek. Ketika hari raya imlek tiba, tak hanya warga/para etnis Tionghoa saja yang merasakan kegembiraan, tetapi juga warga Muslim Tionghoa.

10


(17)

9

Warga muslim Tionghoa merayakan imlek dengan berbagi serta berkumpul dengan sanak saudara, mengaji bersama anak-anak yatim piatu, mengunjungi para sesepuh, berdo’a secara Islami bersama-sama. Tidak jauh beda dengan hari raya Idul Fitri bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia. Mengenai tradisinya, warga muslim Tionghoa biasanya melakukan sholat seperti biasa tapi dibarengi dengan doa’ puji syukur atas rahmat yang diberikan Allah SWT. Tradisi ini turun temurun dilakukan untuk menghargai budaya leluhur dan sarat makna.11

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah imlek tersebut agar tradisi yang sudah turun temurun dilakukan, akan terus ada dan dapat dikembangkan.

B.

Rumusan Masalah.

Sesuai dengan judul tersebut mengenai Tradisi Imlek bagi warga Muslim Tionghoa di daerah Surabaya Jawa Timur ( Studi Tentang Bagaimana Warga Muslim Tionghoa Merayakan Imlek), maka untuk mempermudah pembahasan agar tidak menyimpang dan dapat menghasilkan suatu pembahasan yang terarah serta tepat pada sasaran, maka peneliti menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Tradisi Imlek?

2. Bagaimana warga muslim Tionghoa Surabaya merayakan Tradisi Imlek?

11


(18)

10

3. Nilai-nilai sosial apa saja yang terkandung didalamnya?

C.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Imlek itu sendiri.

2. Untuk mengetahui Tradisi Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa Surabaya. 3. Untuk mengetahui nilai-nilai sosial apa saja yang terkandung dalam tradisi

Imlek.

D.

Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Kegunaan teoretis.

a. Dapat memberikan kontribusi pemikiran baru tentang hal-hal yang berkenaan dengan Tradisi Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa di daerah Surabaya Jawa Timur.

b. Penulisan karya tulis ilmiah ini dapat menambah pengetahuan untuk dipergunakan didalam penulisan bidang sejarah dan kebudayaan islam dan juga perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Kebudayaan Islam


(19)

11

2. Kegunaan Praktis.

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi pemerhati dan peminat sejarah dan kebudayaan Islam serta menjadi sumbangan pemikiran bagi bangsa dan Negara.

b. Hasil penelitian ini akan menjawab opini-opini yang berkembang di masyarakat tentang Tradisi Imlek bagi Warga Muslim Tionghoa di daerah Surabaya Jawa Timur.

E.

Pendekatan dan Kerangka Teoretik.

Pada penelitian ini, penulis akan menerapkan pendekatan sinkronis dan diakronis. Melalui pendekatan sinkronis, penulis mempelajari suatu persoalan secara mendalam, dengan menggunakan ilmu bantu imu-ilmu social. Kemudian, dengan pendekatan diakronis penulis ingin memaparkan sejarah secara kronologi (yang berhubungan dengan waktu), seperti halnya dalam karya ilmiah ini penulis akan memaparkan Tradisi Imlek bagi Warga Muslim Tionghoa di daerah Surabaya Jawa Timur.

Kemudian landasan teori yang akan digunakan penulis dalam skripsi ini adalah teori konflik dan teori strukturasi. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan social tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang


(20)

12

membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang mengahsilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.12

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini penulis menggunakan teori strukturasi milik Anthony Giddens, penulis berusaha untuk memecahkan perbedaan antara makro dan mikro dalam apresiasi peran budaya dalam kehidupan sosial.13 Ada tiga komponen dasar yang akan penulis teliti dengan menggunakan teori pembentukan identitas, yaitu:

1.

Komponen struktur sosial. Pada kehidupan social selalu ada pengklasifikasian sosial seseorang, ke dalam suatu kategori atau kelompok. Kategorisasi sosial adalah dasar berpijak bagi seseorang dalam proses pengenalan identitas dan hubungan antar kelompok.

2.

Komponen budaya atau tingkah laku dan konsekuensi normatif yang diterima. Komponen budaya adalah kategori seseorang dalam prakteknya yang sudah berlangsung terus menerus. Kategori sosial belumlah bisa memperkenalkan seseorang kepada identitas sosial. Komponen kedua ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana seseorang itu bertindak, apakah memang tindakan yang dilakukan sesuai juga dengan norma kelompoknya dan tentu saja tingkah laku dapat mereferensikan seseorang dari kelompok mana dia berasal.

12

Mudji Sutrisno, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 187. 13


(21)

13

3.

Definisi ontologis. Label dari kategori sosial itu kuat bukan hanya berasal dari tingkah lakunya, tetapi juga berasal dari cara anggota dari suatu kategori (bisa kelompok, etnik, dan lain-lain) itu melihat. Komponen ketiga ini, mencoba mengungkapkan orang lewat nilai alamiah orang tersebut dikategorisasikan. Komponen inipun berangkat dari pernyataan yang sangat mendasar bahwa memang itulah dia, dan dia tidak bisa menyangkal karena identitas ini memang menceritakan sesuatu tentang dirinya, tentang seperti apa dirinya.

Ketiga komponen yang telah dijelaskan tersebut tidak terpisah dalam suatu hubungan. Bahkan mereka sangat berhubungan. Hal ini merupakan kombinasi yang memberikan penjelasan identitas lebih dalam dan jelas.

F.

Penelitian Terdahulu.

Dalam proses peneusuran karya-karya ilmiah yang sama atau mirip dengan penyusunan karya ilmiah ini, Adapun penelitian dan penulisan yang mengkaji berdasarkan buku-buku skripsi yang berkaitan dengan Tradisi Imlek dan Tionghoa diantaranya sebagai berikut:

1. Skripsi ditulis oleh Fithrothin, Cina Dan Penyebaran Islam, Fakultas Adab: tahun 2001. Dalam skripsi ini, penulis menguraikan tentang awal mula ekspedisi Cina ke Indonesia yang berlangsung sekitar abad XV di mana di dalamnya terdapat beberapa awak kapalnya yang beragama Islam, termasuk


(22)

14

Laksamana Cheng Hoo yang bertindak sebagai pemimpin pelayaran dan juga Ma-Huan yang merupakan jurnalis ekspedisi di Cina.

2. Skripsi ditulis oleh Rary Martiningsih, Peran Tionghoa Dalam Proses Penyebaran Islam Di Jawa Abad XV, Fakultas Adab: tahun 2004. Dalam skripsi ini penulis menitikberatkan mengenai kalangan Tionghoa yang merupakan kelompok minoritas dan seolah-olah terasing dari masyarakat padahal pada awal mula kehidupan mereka di Jawa padahal pada awal kehidupan mereka di Jawa, mereka mempunyai peran yang signifikan dalam proses Islamisasi di Jawa. 3. Skripsi ditulis oleh Tri Sulistiyani, Masyarakat Muslim Tionghoa di Pandean

Taman-Madiun, Fakultas Adab: tahun 2004. Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang sejak masyarakat Tionghoa di Pandean, Taman, Madiun masuk Islam, mereka mulai membaur dengan masyarakat pribumi tanpa ada perbedaan. Hingga pada tahun 1980 banyak orang Tionghoa yang tertarik masuk Islam, entah itu atas kesadaran dirinya atau maksud-maksud tertentu karena sebelumnya mereka asing dan benci terhadap Islam apalagi di masa Belanda.

G.

Metode Penelitian

1. Bentuk dan strategi penelitian.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk memberikan penjelasan secara rinci, lengkap dan mendalam tentang fenomena social yang ada kaitannya dengan penelitian.


(23)

15

Kemudian bentuk dan jenis penelitian Kualitatif Deskriptif ini akan mampu mengungkapkan data, dimana hal ini lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah atau frekuensi dalam bentuk angka. Disamping itu bentuk penelitian ini lebih menekankan pada masalah proses dan makna daripada hasil., karena makna mengenai sesuatu sangat ditentukan oleh proses bagaimana ketentuan itu terjadi. 14

2. Jenis Data.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan juga sekunder. Data primer adalah jenis data primer adalah ucapan serta tindakan orang yang diwawancarai dan diamati.15 Dikatakan sumber primer karena diperoleh dan dikumpulkan dari sumber pertama. Data sekunder adalah dokumen, buku yang ada kaitannya dengan masalah ini, serta laporan hasil penelitian sebelumnya, apabila ada.

3. Teknik pengumpulan data.

a. Wawancara.

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.16 Tekhnik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang didapat dengan

14

Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif ( Surakarta: UNS, 1996), 54

15

Lexi Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), 112.

16


(24)

16

jalan wawancara dengan tokoh-tokoh yang bersangkutan dengan pelaksanaan tradisi Imlek di Surabaya. Wawancara dilakukan dengan lentur, penuh nuansa terbuka agar narasumber merasa nyaman dan agar tidak merasa seperti diwawancarai sehingga informasi yang didapat utuh apa adanya dan merupakan data yang sebenarnya.17

b. Dokumentasi.

Metode dokumentasi adalah penelitian yang menyelidiki benda-benda tertulis seperti, notulen, dokumen, foto-foto dan lain-lain.18 Tekhnik ini digunakan peneliti untuk mencari data-data seperti foto-foto hasil penelitian yang berkaitan dengan Tradisi Imlek di Surabaya.

c. Catatan Lapangan

Ketika berada dilapangan, peneliti membuat catatan yang berisi kata-kata inti, pokok-pokok pembicaraan atau pengamatan.

d. Kepustakaan

Teknik ini dilakukan melalui penelaahan buku-buku yang ada

kaitannya dengan pembahasan penulisan skripsi ini.

4. Metode pembahasan.

Metode pembahasan yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

17

Ibid.

18


(25)

17

a. Metode Induktif.

Mengemukakan data yang bersifat khusus atau terperinci baik yang bersifat teoritis maupun hal-hal yang bersifat empiris yang kemudian ditarik pada kesimpulan yang umum.

b. Metode deduktif

Metode yang berangkat dari hal yang bersifat umum hendak menilai suatu kejadian yang bersifat khusus. Dengan metode ini, penulis gunakan untuk menguraikan masalah yang bergerak dari pendapat atau teori yang bersifat umum untuk menjadi acuan awal dalam membahas masalah yang penulis teliti.

5. Bahan dan sumber.

Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan sumber sekunder yang didapat dari kepustakaan (data literatur) dan juga sumber primer yaitu wawancara. Sumber kepustakaan adalah sumber yang digunakan untuk mencari teori tentang masalah-masalah teoritis yang diteliti, yaitu mencari kepustakaan dan buku-buku serta tulisan-tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, sedangkan wawancara adalah wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang


(26)

18

ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.19

H.

Sistematika Pembahasan.

Sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I: Bab pendahuluan ini dikemukakan beberapa pembahasan yag meliputi: Latar Belakang Masalah,Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Pendekatan Dan Kerangka Teoretik, Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

BAB II: Dalam bab ini membahas tentang deskripsi sekilas tentang Tionghoa dan tradisi Imlek, yang meliputi dua sub bab antara lain: sejarah masuknya tionghoa ke Indonesia dan yang kedua membahas tentang asal mula perayaan/ tradisi imlek.

BAB III: dalam bab ini membahas tentang Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa Di Daerah Surabaya Jawa Timur yang terdiri dari: pertama membahas tradisi yang dilakukan oleh warga muslim Tionghoa ketika hari imlek tiba dan yang kedua nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersebut.

BAB IV: dalam bab ini membahas tentang Pendapat Ulama Tentang Tradisi Imlek Di Surabaya, yang terdiri dari: menurut ulama-ulama NU, menurut ulama-ulama Muhammadiyah, menurut Ulama-ulama PITI.

19


(27)

19

BAB V: akhir dari bab ini merupakan penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran.


(28)

BAB II

SEKILAS TENTANG TIONGHOA DAN TRADISI IMLEK

A.Sejarah Masuknya Tionghoa ke Indonesia.

Mereka yang ingin mempelajari sejarah hubungan antara Indonesia dan Cina akan berhadapan dengan masalah sebagai berikut: sumber-sumber mana yang akan digunakan, apakah sumber-sumber itu asli, yaitu catatan langsung yang akan dibuat oleh para musafir sendiri, mana yang fakta dan khayalan didalam catatan itu, apakah lukisan topografi serta keterangan tahunnya dapat diandalkan, apa arti nama orang-orang dan tempat asing disitu?

Masalah umum dari sumber-sumber sejarah Cina adalah jumlah bahannya yang berlimpah. Sumber mengenai hubungan antara Cina dengan Negara lain, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia, juga memiliki masalah tersebut.

Kesaksian orang Eropa tentang Nusantara masih tetap kesaksian Marco Polo. Dalam perjalanan pulang dari Cina dengan kapal milik Khan Agung yang dipersiapkan untuk berlayar menuju Persia, ia singgah beberapa bulan di Bandar-bandar Pantai Utara Sumatera pada tahun 1291.1 Ia bercerita tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ”Hukum Muhammad” di kawasan bahari itu, tetapi tak

1


(29)

21

banyak berkata tentang Jawa yang tidak disinggahinya. Beberapa dasawarsa kemudian, Odoric da Pordenone singgah di Jawa, kemudian di Campa yang terletak di pantai Vietnam sekarang ini, dan meninggalkan beberapa kalimat yang menarik tetapi hanya sekilas mengenai kebesaran Majapahit dan kekayaan istananya. Kemudian beberapa pengembara Italia lainnya menyusul. 2

Seyogyanya seseorang yang hendak mengumpulkan bahan tentang sejarah Cina lebih dahulu berpaling pada “Sejarah-sejarah Dinasti” yang berjumlah dua puluh enam jika “Sejarah Baru Dinasti Yuan” serta “Naskah Awal Sejarah Dinasti Ch’ing” ikut dihitung. “Sejarah Dinasti” merupakan sejarah Cina yang tidak terputus-putus semenjak masa kuno sampai akhir Dinasti Manchu pada tahun 1911.

Pada umumnya “Sejarah-sejarah Dinasti” mengikuti pola yang sama. Pertama, terdapat bagian yang bernama Hikayat Pokok atau Hikayat Kekaisaran dimana semua tindakan para kaisar yang memegang tampuk pemerintahan dicatat secara kronologis. Tetapi susunan “Sejarah-sejarah Dinasti” adalah sedemikian rupa, sehingga sebuah pokok persoalan tidak dibahas tuntas dalam bab yang khusus berkenaan dengan pokok itu. Dengan demikian, untuk mengumpulkan semua bahan-bahan yang bertalian dengan suatu pokok bahasan tertentu, “Sejarah-sejarah Dinasti” harus dibaca secara keseluruhan, dan untuk tujuan tersebut tidak cukup bila orang

2


(30)

22

membatasi diri dengan hanya membaca bab yang khusus berkenaan dengan pokok bahasan tersebut.3

Agaknya alasan mengapa “ Sejarah-sejarah Dinasti” tersusun seperti itu adalah sebagai berikut. Sejarah masing-masing dinasti tentu saja telah ditulis berdasarkan dokumen-dokumen asli. Dokumen-dokumen itu bermacam-macam, dan ditulis oleh para pejabat yang berbeda, serta disimpan oleh kantor-kantor yang berlainan.

Akhirnya seluruh dokumen itu disimpan dalam suatu kantor tertentu sebagai arsip, yang nanti menjadi bahan pengolahan “Sejarah-Sejarah Dinasti”. Tetapi pekerjaan pengolahan itu, sesuai dengan tradisi kesarjanaan Cina kuno, terutama adalah untuk membuat pilihan dari kekayaan bahan itu, dengan sesedikit mungkin mengubah kata-katanya sehingga keasliannya sedapat mungkin dipertahankan.

Namun sambil mengakui keaslian “Sejarah-sejarah Dinasti”, dalam hal-hal khusus masih akan ditinjau arsip-arsip itu tidak ada lagi. Karya-karya yang masih ada tersebut adalah dokumen-dokumen yang merupakan bahan untuk Hikayat Pokok. Sifat khas dari “Sejarah-sejarah Dinasti” sudah sejak lama menggerakkan para sarjana Cina untuk mempermudah penyusunan sebuah karya yang menyajikan bahan dalam cara yang lebih sistematis.4

3

Tjan Tjoe Som “Sumber-sumber Cina dan Historiografi dalam buku karangan Soedjatmoko,


(31)

23

` Islam di Asia Tenggara menyajikan kepada kita bukti-bukti dari dalam maupun dari luar mengenai sejarahnya, sama seperti tradisi keagamaan lainnya. Bukti dari dalam berkaitan dengan soal iman sebagaimana bukti internal mengenai peralihan Inggris menjadi Kristen. Hamper seluruh kronik Asia Tenggara menggambarkan peristiwa-peristiwa gaib yang menyertai peralihan sebuah Negara menjadi Islam, namun perbedaan diantara jenis campur tangan ilahiah itu tentu perlu pula diperhatikan.5

Kira-kira menjelang tahun 4000 SM, orang-orang Austronesia, salah satu ras

Homosapiensyang berciri Mongoloid, hidup di daratan Asia Timur, mungkin sekarang menjadi wilayah Cina Selatan. Seiring dengan berjalannya waktu, terus menyebar mulai dari Taiwan sampai ke Kepulauan Asia Tenggara. Sementara itu, ras

Austronesia terus bergerak secara lamban dengan menggunakan perahu bercadik dan layar tunggal. 6

Kehebatan bangsa Cina sebagai pengarung samudera telah diakui dunia sejak lama. Bermodal kekuatan besar armada pelayarannya, terbukti hingga kini bangsa ini tersebar di seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Ketika Cina berada dibawah kekuasaan Dinasti Ming (1368-1644), tersebutlah sejumlah delegasi Cina yang diutus untuk menjalin hubungan persahabatan dengan 4

Ibid.,169.

5

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), 20.

6

M.D La Ode, Tiga Muka Etnis Cina Indonesia: Perspektif Ketahanan Nasional(Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika, 1997), 8.


(32)

24

Negara-negara lain. Salah seorang utusan sekaligus pembesar dari pemerintahan Dinasti Ming yang paling terkenal adalah Laksamana Cheng Hoo atau Zheng He.

Laksamana Cheng Ho merupakan orang kepercayaan Kaisar Yongle, kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Dengan pasukan dan armada kapalnya, ia mengarungi lautan luas, mengelilingi dunia, serta mengunjungi berbagai Negara di berbagai belahan dunia.

Laksamana Cheng Ho merupakan pelaut yang cakap dan hebat. Ia mengabdikan sebagian besar hidupnya di lautan. Cheng Ho telah memimpin 7 ekspedisi pelayaran. Terkait dengan ketika 7 ekspedisi (pelayaran) yang dilakukan Laksamana Cheng Ho tersebut, sejumlah sumber sedikit berbeda pendapat perihal rentang waktu dan wilayah yang dikunjungi Laksamana Cheng Ho serta awak kapal yang dipimpinnya.

Dalam ekspedisinya, Laksamana Cheng Ho pernah memimpin ratusan (armada) kapal laut yang terdiri dari kapal besar dan kecil. Dari mulai kapal bertiang layar tiga hingga kapal bertiang layar Sembilan.7

Pelayaran Laksamana Cheng Ho juga telah meninggalkan banyak halpositif di bidang social, ekonomi, politik, dan dakwah. Pelayaran Laksamana Cheng Ho

7

Muhammad Syafi’I Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Cina Muslim(Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), 144.


(33)

25

dapatdijadikan sebagai bukti bahwa umat islam dapat melaksanakan tugas dan peran yang diberikan kepadanya dengan baik.8

Di Indonesia, sebutan Tionghoa atau etnis Cina-Indonesia bukan sebutan yang aneh bagi pendengarnya. Artinya, orang Tionghoa atau etnis Cina-Indonesia sudah menjadi bagian bangsa diantara suku bangsa asli Indonesia. Sebenarnya, Etnis tersebut tidak termasuk dalam rumpun etnis Indonesia. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan: bagaimana sebetulnya orang Tionghoa atau etnis Cina-Indonesia mengartikan posisi dirinya di Indonesia? Bagaimana orang Tionghoa memandang dirinya di Indonesia? Bagaimana sikapnya terhadap rumpun etnis Indonesia pada umumnya? Persoalan itu menjadi teka-teki rumit yang belum kunjung terjawab hingga dewasa ini.

Orang-orang Tionghoa atau etnis Cina-Indonesia yang hidup turun temurun di Indonesia hingga saat ini, memang bukan generasi dari imigran Tionghoa yang masuk ke Indonesia dalam jumlah besar sekaligus. Benar pula, bahwa imigran ini tidak berasal dari suatu daerah tertentu di Negara Cina. Mereka berimigrasi ke Indonesia dalam bentuk kelompok-kelompok kecil, yang berasal atau terdiri dari beberapa suku bangsa dari dua propinsi di Cina. Kedua propinsi itu adalah propinsi

Fukien dan Kwangtung.9

8

Ibid., 145-148.

9


(34)

26

Setiap imigran Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia, membawa adat-istiadat dan kebudayaan suku bangsa masing-masing yang ditandai oleh perbedaan bahasa yang mereka gunakan. Bahasa tersebut tidak saling dimengerti oleh suku bangsa yang satu terhadap suku bangsa lainnya. Setiap satu suku bangsa berkomunikasi dengan bahasa suku bangsanya. Bahasa-bahasa itu ialah bahasa Hokkien, Hakka, Dan

Kanton.

Orang-orang Tionghoa berimigrasi ke Indonesia secara berangsur-angsur selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya. Prosesnya berlangsung sejak abad ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-19. Suku bangsa Hokkien berasal dari propinsi Fukkien, salah satu propinsi di Cina bagian selatan. Suku bangsa ini memang tergolong keturunan Tionghoa yang pandai berdagang. Imigran suku bangsa Hokkien sangat banyak tersebar di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan juga di pantai barat Sumatera.

Imigran lainnya adalah suku bangsa Teo Chiu. Suku ini berasal dari pantai selatan Negara Cina, bilangan pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwangtung. Orang tionghoa yang berasal dari suku bangsa Teo Chiu dan suku bangsa Hakka (Khek) sangat laris sebagai kuli pertambangan di Sumatera Timur dan Biliton.10

10


(35)

27

Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Tionghoa di setiap daerah di Indonesia, mengangkat seseorang yang diplih dari masyarakat itu sebagai pimpinan. Para pemimpin dari golongan Tionghoa itu diangkat oleh pemerintah Belanda dengan berpangkat Majoor (sebagai pangkat tertinggi), Kapitein, Luitenant dan Wijkmeester (kalau zaman sekarang=ketua RW).

Orang-orang Tionghoa menempati kedudukan menengah di antara golongan pribumi dan penjajah. Kondisi itu terjadi karena kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia dilandasi motivasi perolehan ekonomi. Dalam kenyataannya, orang-orang Belanda melakukan penggarapan pertanian dan orang-orang Tionghoa sebagai kelas pemasaran yang menjadi perantara di antara keduanya.11

Jumlah penganut agama Islam sangat sedikit sehingga kadang tidak diketahui oleh sesama Tionghoa. Mereka menganut islam secara diam-diam dan tidak berani melakukan peribadatan. Sedangkan orang-orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Surabaya juga melakukan praktik-praktik ritual ajaran kepercayaan masyarakat setempat seperti, membakar kemenyan dan berziarah ke cungkup makam tokoh agama di jawa: berziarah ke gunung Giri dan mempercayai hal-hal takhayul.12

Banyak dari komunitas Pecinan mendirikan masjid dengan gaya arsitektur dan nama yang khas. Salah satu buktinya adalah Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berdiri megah di kawasan Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m

11

Ibid.

12


(36)

28

utara Gedung Balaikota Surabaya.. Sebagai pusat kegiatan kegamaan, masjid Muhammad Cheng Hoo ini benar-benar dimanfaatkan oleh warga Muslim Tionghoa yang berada di sekitar area masjid dengan cara unik untuk tetap menjaga ukhuwah antar mereka.

Setidaknya sekali dalam setahun mereka masih tetap merayakan tahun baru Imlek bersama-sama, walaupun mungkin dengan prosesi yang agak sedikit berbeda, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai tertentu dalam Islam.

Lazimnya warga Cina pendatang, mereka selalu membentuk komunitas khusus di setiap wilayah yang ditempati, yang kemudian dikenal sebagai kawasan Pecinan. Menariknya, di manapun mereka hidup, masing-masing warganya tetap teguh menjunjung tinggi nilai-nilai budaya luhur dan peradaban besar nenek moyang mereka di negeri asal.

Walaupun makin banyak Tionghoa Indonesia beralih ke Islam daripada sebelumnya, sementara pengamat tetap berpendapat bahwa konversi ke agama bukan Islam lebih lazim di kalangan Tionghoa. System Bapak Angkat bahkan dilancarkan agar pemuda etnis Tionghoa memperdalam ajaran Islam dan cara hidupnya.13

Sejak KUP tahun 1965, agama dibina oleh militer-indonesia untuk memerangi gerakan-gerakan komunis dan sayap kiri. Dapat dipahami bahwa banyak orang

13

Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia (Jakarta:Pustaka LP3S Indonesia, 2002), 53-54.


(37)

29

Tionghoa di Indonesia mulai mengidentifikasi diri dengan salah satu kelompok keagamaan yang ada, teristimewa agama Buddha dan Kristen. Akan tetapi, sebelum tahun 1970-an, sedikit sekali yang menjadi orang islam. Selain kondisi sosial-politik yang tidak mendukung Islam dan prasangka yang ada terhadap agama itu, banyak kebiasaan islam tampak tak sesuai dengan sistem kepercayaan Tionghoa, umpamanya daging babi dan pemujaan leluhur.14

Hamka pernah mengatakan bahwa golongan Tionghoa muslim adalah mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Mereka telah melebur dengan masyarakat. Memang islamnya golongan Tionghoa akan mampu mengatasi masalah pembauran. Namun apa yang dilontarkan Hamka itu, kini, tidak sepenuhnya benar, karena beberapa orang yang berasal dari kelas menengah Tionghoa, intelektual, wiraswastawan dan birokrat ada yang beralih agama menjadi muslim. Jumlah mereka masih sangat kecil, bahkan mungkin lebih kecil dari perkiraan orang.

Meskipun demikian, jumlah itu masa demi masa terus berkembang. Dalam hal itu, yayasan dan organisasi-organisasi Tionghoa muslim banyak berjasa, baik organisasi tingkat nasional maupun tingkat regional.15

14

Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Etnis Tionghoa Di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1988), 94.

15


(38)

30

B.

Tradisi Imlek: Pengertian dan Asal- Usulnya.

1. Pengertian Imlek.

Sin Cia atau Imlek tak ubahnya seperti tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun Baru Cina. Pada umumnya, yang banyak merayakan Imlek adalah warga Tionghoa. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan Hari Raya Imlek. Kata Imlek (Im=bulan,

Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li

yang berarti kalender bulan (Lunar Newyear). Menurut sejarahnya, konon Sin Cia

merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru.

Perayaan ini juga berkaitan erat dengan pesta menyambut musim semi. Perayaan imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh. Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta/Thian (Thian=Tuhan dalam Bahasa Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat..16

16


(39)

31

2. Asal Usul Imlek

Imlek berasal dari Tiongkok. Hari Raya Imlek merupakan istilah umum, kalau dalam bahasa Cina disebut dengan Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi. Hari Raya ini jatuh pada bulan Februari dan bila di negeri Tiongkok, Korea dan Jepang ditandai dengan sudah mulainya musim semi.

Dulunya, Negeri Tiongkok dikenal sebagai negara agraris. Setelah musim dingin berlalu, masyarakat mulai bercocok tanam dan panen. Tibanya masa panen bersamaan waktunya dengan musim semi, cuaca cerah, bunga-bunga mekar dan berkembang. Lalu musim panen ini dirayakan oleh masyarakat. Kegembiraan itu tergambar jelas dari sikap masyarakat yang saling mengucapkan Gong Xi Fa Cai, kepada keluarga, kerabat, teman dan handai taulan. Gong Xi Fa Cai artinya ucapan selamat dan semoga banyak rezeki.

Adat ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tionghoa ke manapun dia merantau, termasuk ke Indonesia.

Menurut Bapak Oei Him Hwie, Imlek ada di Indonesia sejak tahun 2500 SM. Masuknya berbarengan dengan masuknya Tionghoa ke Surabaya secara berangsur-angsur. Lebih formil lagi, beliau menambahkan, ketika Laksamana Cheng Hoo datang ke Indonesia.17

17


(40)

32

Dulunya, pada masa Bung Karno, perayaan ini boleh dirayakan tapi ketika masa Orde Baru, perayaan Imlek dibatasi. Presiden Soeharto mengeluarkan SK yang isinya mengizinkan, namun dirayakan di tempat tertutup.18

Setelah reformasi bergulir, pemerintah memberikan kelonggaran, terutama pada masa pemerintahan Gus Dur. Hari Raya Imlek menjadi hari fakultatif dan nantinya ada kemungkinan Imlek dijadikan salah satu hari besar nasional.Sekarang tergantung pemerintah.

Warga Muslim Tionghoa berpandangan bahwa selama prosesi tertentu Imlek tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tentu akan tetap mereka ikuti. Mungkin hanya sebagian kecil dari tradisi itu yang sengaja mereka hindari, di antaranya soal prosesi sesembahan yang biasanya ditandai dengan pembakaran dupa.

Menurut Ustadz Hasan Basri, yang merupakan Office Manager Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Surabaya,Imlek adalah tradisinya orang China dalam menyambut tahun baru China. Imlek juga bisa diartikan sebagai wujud rasa syukur terhadap kebesaran tuhan. Sebenarnya imlek adalah pergantian musim dari musim panen ke musim tandur= bercocok tanam dalam bahasa Jawa.

Menurut Ustadz Hasan Basri juga, warga etnis Tionghoa yang memeluk agama islam tidak ada ritual khusus dalam perayaan Imlek mungkin para etnis Tionghoa muslim hanya merayakan secara sederhana, seperti, makan-makan bersama

18

Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang:Effhar & Dahara Prize,2003), 62.


(41)

33

keluarga besar, silaturahmi ke kerabat yang juga merayakan Imlek ya tidak jauh beda dengan yang para pemeluk muslim non Tionghoa pada saat hari raya Idul Fitri. Tidak ada tujuan khusus dalam perayaan Imlek. 19

Biasanya beberapa hari setelah perayaan imlek ada yang namanya Cap Go Meh. Menurut beliau juga, Cap Go Meh ialah akhir dari tradisi Imlek dimana Cap Go Meh merupakan sesembahan bagi para leluhur yang adatnya dilakukan oleh keluarga leluhur tersebut. Darimana asal usul dan apa tujuan sebenarnya Cap Go Meh tersebut, beliau tidak menjelaskan secara detail, yang jelas, Cap Go Meh adalah akhir dari tradisi imlek dimana pelaksanaannya dilakukan setelah satu bulan lamanya.

Pelaksanaannya dilakukan ditempat para anggota keluarga tersebut. Cap Go Meh yang dilakukan oleh warga etnis Tionghoa non-muslim ialah dengan melakukan sembahyang untuk leluhur mereka yang sudah lama meninggal, sedangkan para etnis Tionghoa muslim tidak ikut melakukan ritual sembahyang tersebut, tapi, mereka hanya makan lontong Cap Go Meh yang disantap bersama dengan opor ayam layaknya hari raya Idul Fitri.20

Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara mereka tercerai-berai.

19

Hasan Basri, wawancara, Surabaya, 21 Mei 2014.

20


(42)

34

Di dalam tradisi apapun, pasti terkandung nilai-nilai sosial. Tak terkecuali dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Pada perayaan imlek, nilai-nilai sosial yang ada adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri dan perayaan-perayaan lainnya. Sedangkan untuk perayaan Cap Go Meh, sebuah tradisi yang juga untuk mengikat sebuah keluarga yang tercerai berai.21

21


(43)

35

C. Nilai-Nilai Religi dalam Tradisi Imlek.

Di dalam sebuah tradisi, pasti ada peralatan yang digunakan. Tak terkecuali dengan perayaan Imlek. Di perayaan Imlek juga terdapat berbagai macam peralatan, antara lain:

a. Hio Lou adalah tempat abu leluhur yang berfungsi menancapkan hio atau dupa sembahyang.Tempat abu melambangkan hati yang tentram dalam sembahyang dan hal -hal yangmenggangu pikiran saat sembahyang harus disingkirkan.

b. Hio yang dipakai pada upacara perayaan tahun baru Imlek adalah hio bergagang merah dandalam sembahyang king thi kong harus berjumlah tiga batang yang melambangkan tiga alamkekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan ini disebut too kwan sam Thuian yaitu alam ketuhanan(Thian), alam semesta (tee) dan alam kemanusiaan (jien).

c. Sin Ting atau Shen Ting berupa tempat tinggi yang berisi campuran antara minyak tanah danminyak goreng dan nasi di atasnya diberi sumbu terapung. Lampu minyak ini melambangkansifat keabadian, seperti makna shen „abadi’. Secara

umum maknanya adalah sifat keesaan dankeabadian Tuhan.

d. Lilin disebut juga la. Sepasang lilin berwarna merah pada upacara persembahyangandipasang di kiri kanan altar. Lilin adalah alat penerangan yang menyimbolkan bahwa manusiaharus menjadi penerang bagi manusia lainnya. Penerang dalam arti juga bisa memberikanjalan keluar bagi orang lain yang punya permasalahan. Dari awal menyala sampai padam lilinselalu menjadi penerang,


(44)

36

demikian halnya dengan manusiakeberadaannya harus menjadipenerang sejak kecil hingga akhir hayatnya .

e. Swan Lou adalah tempat untuk membakar dupa serbuk atau wangi -wangian yang terbuat dariserbuk wangi seperti cendana.

f. Lian merupakan sajak musim semi karena merupakan rangkaian kata -kata yang ditulis di ataskertas merah atau kain merah. Isinya merupa kan harapan-harapan akan kesejahteraan,kemakmuran, keselamatan seperti shijie ping’ang artinya selama empat musim tetap selamat,wu fu lin men artinya lima berkah menyertai pintu, kata fu sendiri berarti kaya. Lianbiasanya ditempelkan di pintu rumah bagian depan atau di dalam rumah agar rejeki dankeselamatan senantiasa terlimpah bagi para penghuni rumah.22

g. Angpao disebut juga hongbao „bungkusan merah’. Angpao ini berupa uang yang dibungkuskertas merah dan diberikan oleh orang tua kepada anak yang belum menikah dan dari anakyang sudah menikah kepada orang tua. Angpao diberikan setelah anak melakukan pai kui„sujud kepada orang tua’. Pai kui biasanya disertai ucapan doa gong he xin xi „hormat bahagiamenyambut tahun baru’ atau gong xi fa cai „hormat bahagia berlimpah rejeki’.

h. Barongsai atau tari singa adalah suatu pertunjukan berupa tarian atau gerakan – gerakantertentu dengan para penarinya menggunakan kostum seperti singa. Tari ini diharapkan dapatmengusir roh jahat atau hawa jahat.

22


(45)

37

i. Liang Liong atau tari naga . Dalam bahasa Mandarin naga disebut long atau

jugadiartikan agung. Liang artinya terang, berkilauan sehingga tari

inimenyimbolkan bahwa naga sebagai bentuk keagungan mampu menerangi semuaorang. Dalam budaya Tionghoa naga dianggap sebagai makhluk suci perantaradan penjaga kekayaan dewa -dewa.Lampion atau denglong berwarna merah melambangkan keberhasilan, kegembiraan sebabwarna merah dalam bahasa

Mandarin disebut hong „keberhasilan’. Dengan pemasanganlampion ini

masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu maupun yang beragama muslim berharap selalu mendapatkeberhasilan di tahun-tahun mendatang.23

Hampir seluruh peralatan yang digunakan dalam perayaan tahun baru Imlek berwarna merah dan keemasan. Kedua warna ini memiliki filosofi tersendiri bagi umat Konghucu.Warnamerah melambangkan kegembiraan, kebahagiaan dan keberhasilan. Warna keemasan dalam bahasaMandarin disebut jin dan makna lain dari kata jin adalah uang. Warna ini melambangkan sebuahharapan agar di tahun berikutnya dilimpahi banyak rejeki (uang). Seluruh „sesajian’ danperalatan yang digunakan dalam perayaan Imlek mengandung makna, nilai danfilosofi serta konsep-konsep kehidupan masyakat Tionghoa yang beragamaKonghucu. Semuanya merupakan simbol dari budaya Konghucu yang sarat denganmakna dan simbol. Dengan memahami semua itu akan terkuak bagaimana masyarakat Tionghoa menjalani hidup dan kehidupan dengan keyakinan mereka.

23


(46)

38

Pada dasarnya masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu memiliki ajaran tentang cinta kasih yang dilambangkan dengan hidangan lumpia, tebu dan pisang. Dengan cinta kasihmanusia akan memperoleh berkah dari Thian. Cinta kasih atau jien merupakan salah satu ajarandari ngo siang „lima kebajikan’ yaitu ajaran

penting dalam agama Konghucu. Konsep kebajikandipahami sebagai perbuatan baik yangharus dilakukan untuk menuju keselarasan dan menjadiseorang kuncu( manusia

yang mampu mengamalkan kebajikan).24

Pada perayaan Imlek terdapat makanan-makanan dan juga sesajen untuk para leluhur yang hanya ada pada saat tahun baru Imlek tiba, yaitu:

a. Bakmi goreng, biehun, mi panjang umur.

Hidangan ini juga disebut siu mi atau shou me yang artinya panjang umur. Hidangan ini melambangkan sebuah harapan agar para penganut Konghucu mendapat umur yang panjang agar bisa lebih meningkatkan kebajikan kepada Thian.

b. Tanghun

Tanghun adalah hidangan berupa sup ikan atau sup daging. Kata hun selain berarti ikan juga berarti kegelapan. Makna hidangan tanghun adalah segala kegelapan pada tahun yang lalu atau nasib buruk pada tahun yang lalu hilang dan berganti dengan sesuatu yang baik dan penuh keberuntungan.

c. Samsing

Samsing merupakan hidangan yang terdiri atas tiga jenis binatang yaitu babi, ayam dan ikan. Ketiga binatang ini merupakan symbol dari tiga alam yaitu darat, udara dan

24


(47)

39

air. Samsing merupakan sebuah simbolisasi janji dan sumpah masyarakat penganut Tionghoa kepada Thian untuk segera memperbaiki diri.25

d. Lumpia

Lumpia dalam bahasa Mandarin disebut chunjuan. Juan dalam chunjuan berarti gulungan, kata chun juga dapat diartikan sebagai musim semi. Kehadiran makanan ini bermakna harapan dalam perayaan Imlek tersebut semua manusia dapat lebih meningkatkan rasa cinta kasih kepadasesama. Interpretasi atas kata gulungan bahwa manusia di seluruh bumi ini bersatu tanpa memandang perbedaan seperti halnya gulungan tersebut.

e. Lontong Capgome

Sebenarnya makanan lontong Capgome hanya ada di Indonesia tidak ditemukan di negeri Tiongkok. Munculnyamakanan ini dalam ritual perayaan Imlek melambangkan sebauh akulturasi budaya yang harmonis antara Indonesiadan Tionghoa. Dengan perayaan ini diharapkan kerukunan dan toleransi beragama tetap terjaga.

f. Theeliau

Theeliau adalah nama hidangan yang terdiri atas tiga jenis manisan yang terbuat dari buah -buahan yaitu gula batu dari hasil olahan tanaman tebu, lengkeng kering yang masih berkulit,manisan labu yang disebut tangkwee. Dalam bahasa mandarin manisan disebut dengan guofu„manisan buah-buahan yang diawetkan’. Fu itu sendiri bermakna kebahagiaan, kejayaan. Makna kehadiran makanan ini adalah bahwa

25


(48)

40

manusia harus selalu bersikap manis dan berbuat kebaikan kepada sesama dan kebaikan tersebut harus tetap awet dan dijaga agar tidak berubah menjadi tingkah laku yang tidak baik. Dengan kebaikan yang terjaga manusia berharap mendapat kebahagiaan dan kejayaan di masa-masa yang akan datang.

g. Kue keranjang

Kue ini juga disebut nian gao „kue tahun baru’. Kue keranjang dihidangkan dengan cara menyusun ke atas dengan mangkok merah di bagian atasnya. Kue ini merupakan simbolisasi dari sebuah harapan agar di tahun baru ini berlimpah rejeki dan semakin meningkat dan menanjak seperti tumpukan kue keranjang tersebut.26

h. Tebu

Tebu adalah tanaman yang tumbuhnya berumpun, hal ini bermakna keluarga merupakan sebuah rumpun atau satu kesatuan sehingga dalam keluarga kebersamaan harus tetap dijaga. Tebu dalambahasa Mandarin ganzhe, gan „manis’. Simbol

kehadiran tebu selain mempererat persaudaraanjuga bermakna bahwa hidup itu harus manis atau kebaikan dan cinta kasih manusia harus terus tumbuh dari kecil sampai dewasa seperti halnya tebu yang semakin tua akan semakin manis. Demikian juga halnya dalam kehidupan beragama karena dalam Konghucu manusia semua sama dan bersaudara di empat penjuru lautan.

i. Lima macam buah-buahan tidak berduri (Ngo koo)

26 Ibid.


(49)

41

Kelima macam buah-buahan tersebut adalah pisang, jeruk, buah lie, delima dan semangka. Buah yang wajib hadir adalah pisang dan jeruk sedangkan buah yang lainnya bisa diganti dengan buah yang lain. Pisang dalam bahasa Mandarin disebut

xiangjiao, xiang „disukai, digemari’ atau bisa juga bermakna „membantu, menolong’.

Tanaman pisang hanya berbuah sekali dalam hidupnya dan sebelum mati tunas-tunasbaru sudah ada disekitarnya. Dalam pandangan masyarakat penganut Konghucu hal itu melambangkan bahwa manusia sebelum meninggal harus telah melakukan kebajikan dan harus memiliki keturunan. Manusia harus bisa menjadi panutan bagi generasinya dan harus bisa tolong menolong dan berbudi luhur agar disukai dan digemari orang lain. Buah lie mengandung filosofi bahwa manusia wajib mematuhi peraturan-peraturan Tuhan dan peraturan masyarakat atau negara.27

Hal ini sesuai dengan makna kata lie setia. Setia kepada ajaran agama, dan kaidah-kaidah bernegara dan bermasyarakat.28 Delima dalam bahasa Mandarin disebut shiliu.

Shi dalam kata shiliu artinya teladan. Buah ini memiliki makna dan filosofi bahwa manusia harus menjadi teladan bagi manusia lainnya dan senantiasa berbuat kebaikan bagi oranglain. Jeruk disebut kiet „rakhmat’ dalam bahasa Mandarin. Buah ini

melambangkan bahwa setiaporang yang berbuat baik pasti akan memperoleh rakhmat dari Tuhan. Oleh sebab itu semua manusia diharapkan mampu berbuat baik kepada sesama agar memperoleh rakhmat dari Tuhan. Semangka dalam bahasa Mandarin

Xigua. Xi bermakna „belajar’. Hadirnya buah ini dalam perayaan Imlek

27

Ibid.,13. 28


(50)

42

melambangkan manusia harus terus belajar demi peningkatan kualitas diri dan terus meningkatkan sifat cinta kasih dan kebajikan dalam dirinya.

j. Arak

Arak atau dalam bahasa Mandarin jiu „menolong, memberi bantuan’. Arak

merupakan hasil permentasi air tape beras atau ketan. Arak mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai penghangat badan di musim dingin, sebagai campuran obat-obatan tradisional dan juga sebagai penyedap masakan. Arak ini melambangkan bahwa manusia harus bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Arak yang disajikan di atas altar antara tiga cawan sampai dua belas cawan merupakan persembahan kepada leluhur sebagai ucapan selamat jalan untuk menyatu dengan Tuhan.

k. Sam poo

Sam poo terdiri atas teh, bunga, dan air jernih. Teh dan air jernih merupakansymbol dari sifat yin (teh) dan yang (air jernih). Bunga menyimbulkan perwakilangaris penghubung antara sifat yin dan yang. Hal tersebut melambangkan dan mengandung nilai-nilai bahwa di dalam jiwa manusia sifat yin dan yang selaluberdampingan dan manusia harus bisa menjaga keseimbangan antara kedua sifattersebut.29

29


(51)

BAB III

IMLEK BAGI WARGA MUSLIM TIONGHOA DI DAERAH SURABAYA JAWA TIMUR

A. Tradisi Yang Dilakukan Oleh Warga Muslim Tionghoa Ketika Hari Imlek Tiba.

Warga Muslim Tionghoa berpandangan bahwa selama prosesi tertentu Imlek tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, akan tetap mereka ikuti. Hanya sebagian kecil dari tradisi Imlek yang sengaja mereka hindari, di antaranya soal prosesi sesembahan yang biasanya ditandai dengan pembakaran dupa.

Menurut Ustadz Hasan Basri, yang merupakan Office Manager Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Surabaya, Imlek adalah tradisinya orang Tionghoa dalam menyambut tahun baru China. Imlek juga bisa diartikan sebagai wujud rasa syukur terhadap kebesaran Tuhan. Sebenarnya imlek adalah pergantian musim dari musim panen ke musim tandur (bercocok tanam).1

Tahun baru Imlek, yang tahun ini jatuh pada tanggal 31 Januari 2014, merupakan hari pertama bulan pertama dari tahun yang baru (1 Cia Gwee). Masyarakat Tionghoa menyebutnya dengan Goan Tan Chun Ciat atau Fajar Pertama Musim Semi. Mereka menyambut dan merayakan hari itu dengan meriah.

1


(52)

44

Terlebih lagi di negara yang mempunyai empat musim, di mana musim semi berarti pula Kehidupan Baru.2

Menurut Ustadz Hasan Basri juga, warga etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam tidak ada ritual khusus dalam perayaan imlek. Para etnis Tionghoa Muslim hanya merayakan secara sederhana, seperti, makan-makan bersama keluarga besar, silaturahmi ke kerabat yang juga merayakan imlek. Tidak jauh beda dengan para pemeluk muslim non Tionghoa pada saat hari raya Idul Fitri. Tidak ada tujuan khusus dalam perayaan imlek. 3

Biasanya beberapa hari setelah perayaan Imlek ada yang namanya Cap Go Meh. Menurut beliau juga, Cap Go Meh ialah akhir dari tradisi imlek di mana Cap Go Meh merupakan sesembahan bagi para leluhur yang adatnya dilakukan oleh keluarga leluhur tersebut. Tentang darimana asal usul dan apa tujuan sebenarnya Cap Go Meh tersebut, beliau tidak menjelaskan secara detail, yang jelas, Cap Go Meh adalah akhir dari tradisi imlek di mana pelaksanaannya dilakukan setelah satu bulan lamanya.

Cap Go Meh atau malam ke-15, merupakan penutup dari seluruh rangkaian acara Tahun Baru Imlek. Biasa disebut pula Goan Siauw atau Purnama Pertama di Musim Semi. Asal mula keramaian Cap Go Meh dimulai pada masa

2

Yoest MSH, Tradisi Dan Kultur Tionghoa (Jakarta: Gerak Insan Mandiri ,2004), 18

3


(53)

45

Dinasti Han (206 SM-220 SM). Kebiasaan menggantung lentera warna-warni di atas pintu masuk, dilakukan masyarakat pada zaman itu.4

Pada awal abad ke-18, di Semarang masih sering dijumpai anak-anak hartawan yang berkeliling di jalan-jalan dengan mengenakan pakaian opera yang bersulam indah, menaiki gerobak hias. Arak-arakan ini biasa disebut Ceng Gee.

Hari raya Goan Siau ini selamanya dirayakan dengan ramai-ramai, seperti tatkala Baginda Raja Tong Djwee Tjong yang bertahta kerajaan di negeri Cina. Semua penduduk di negeri Cina merayakan hari raya Goan Siau itu dengan memasang Ki Au Po Sioe Ting (artinya ting (loleng) untuk pengharapan selamat dan sentosa panjang umur), kecuali orang yang ada didalam kesusahan kematian tidak turut merayakan hari ini.

Dan lagi orang-orang yang mengerti surat, dalam hari raya Goan Siau ini semua berkumpul dengan senang hati akan membuat cangkriman (teka-teki) yang halus, begitu juga orang yang suka bepergian, iapun sama membuat wayang, mainan ayunan dan keramaian lain-lainnya.5

Pelaksanaannya dilakukan di tempat para anggota keluarga tersebut. Cap Go Meh yang dilakukan oleh warga etnis Tionghoa non-muslim ialah dengan melakukan sembahyang untuk leluhur mereka yang sudah lama meninggal, sedangkan para etnis Tionghoa muslim tidak ikut melakukan ritual sembahyang

4

MSH, Tradisi Dan Kultur Tionghoa, 36. 5

Basuki Soedjatmiko, Hari Raya Tionghoa Tempo Doeloe Di Hindia Belanda Tahun 1885


(54)

46

tersebut, tapi, mereka hanya makan lontong Cap Go Meh yang disantap bersama dengan opor ayam layaknya hari raya Idul Fitri.6

Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara mereka tercerai-berai.

Di dalam tradisi apapun, pasti terkandung nilai-nilai sosial. Tak terkecuali dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Pada perayaan imlek, nilai-nilai sosial yang ada adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri dan perayaan-perayaan lainnya. Sedangkan untuk perayaan Cap Go Meh, sebuah tradisi yang juga untuk mengikat sebuah keluarga yang tercerai berai.7

Acara Cap Go Meh tidak saja dilakukan di pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Sulawesi dan Jakarta. Di kelenteng Kim Tek Ie (Jakarta) kerap diadakan pertunjukan Wayang Potehi dan Opera Peranakan. Namun, di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan selama 32 tahun dikungkung, serta seiring dengan perubahan zaman, perayaan Cap Go Meh di Indonesia tidak begitu semarak. Hanya diisi dengan kegiatan ritual di kelenteng atau rumah tangga saja.

6

Ibid, wawancara Hasan Basri.

7


(55)

47

Baru setelah Orde Reformasi dan masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai dengan sekarang, perayaan Cap Go Meh bisa dilaksanakan lagi oleh masyarakat etnis Tionghoa dengan semarak dan penuh sukacita.8

Dalam perayaan Cap Go Meh ini, orang-orang Tionghoa menurunkan kue keranjang dari atas meja abu leluhur mereka. Malam itu juga kue keranjang tersebut akan digoreng seperti layaknya pisang goreng. Pertama kue dibuka bungkusnya, lalu dipotong-potong persegi agak tipis. Kemudian kita membuat tepung yang dicampur dengan telur, lada, garam, dan kapur sirih agar tepung jadi renyah.

“Kue China” atau “Kue Keranjang” menurut orang Jawa Timur ini sebenarnya kue ini bernama “Kue Nien-kao (Nie-kwee)” atau “Kue Tahunan”, karena kue keranjang ini pada zaman dulu kala hanya dibuat dan muncul setahun sekali saja.

Dalam sejarah Tiongkok sendiri tercatat, bahwa pada zaman dulu kue Nien-kao ini menjadi makanan populer di harian Tahun Baru Imlek. Malah konon kabarnya, orang Tionghoa di Tiongkok, sebelum mereka makan nasi mereka biasanya makan dulu Kue Nien-kao ini dulu, terutama pada harian Tahun Baru. Maksudnya agar tahun itu lebih baik dari tahun yang sudah-sudah.9

Tradisi perayaan Tahun Baru Imlek di berbagai tempat tidak sama, karena di kalangan bangsa Tionghoa, di manapun mereka berada, akan terpengaruh oleh

8

Yoest, Tradisi Dan Kultur Tionghoa, 38.

9


(56)

48

daerah dan tempat tinggal mereka. Perayaan Tahun Baru Imlek di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan berlainan dengan yang diadakan di daerah lain.10

Bagi kalangan Muslim Tionghoa, terkadang sulit untuk menilai apakah merayakan Tahun Baru Imlek dilarang atau tidak. Karena dalam pandangan Islam, tahun baru imlek mengundang kontroversi (pro dan kontra). Yang pro menyatakan, imlek hanyalah bagian tradisi budaya leluhur China. Karenanya, kalangan Muslim Tionghoa di Indonesia pun banyak yang merayakannya, namun tanpa nuansa ritual keagamaan. Bahkan, Muslim Tionghoa di Yogyakarta pernah merayakan Imlek di Masjid Syuhada atas izin MUI setempat, setelah diperlihatkan sejumlah data dan fakta bahwa perayaan imlek tidak terkait dengan agama tertentu (Kong Hu Cu).11

Sedangkan bagi Komunitas Tionghoa yang berada di Surabaya, menurut Ustadz Hasan Basri, mereka selalu merayakannya di Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berada di Surabaya yang juga merupakan gedung Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia yang ada di Jawa Timur.

Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara mereka tercerai-berai.

10

Ibid; 63.

11Andriayanie, “Muslim Tionghoa Indonesia” dalam

http://andriayanie.wordpress.com /artikel/muslim-tionghoa-indonesia/ (12 Mei 2012)


(57)

49

Bagi warga Muslim Tionghoa, makna Imlek bukan hanya sebatas merayakan tahun baru Cina dengan harapan beroleh keselamatan dan kemakmuran di masa mendatang. Namun lebih dari itu, dalam Imlek juga mereka temukan tertanamnya nilai luhur ukhuwah sebagaimana Islam sangat menganjurkan memeliharanya, yaitu dengan cara memperkokoh tali persaudaraan dan persatuan sebagai sebuah ikatan yang tulus dan teguh.12

Imlek juga identik dengan Ang Pao dan Mercon atau petasan. Seperti biasanya Tahun Baru Imlek tidak ketinggalan Ang Pao atau Salam Tempel. Pada anak-anak kecil dan remaja ABG yang belum menikah, biasanya menerima bungkusan berupa amplop kecil berwarna merah yang berisi uang dari yang jumlahnya kecil seperti, 2000 atau bahkan seribu dan sampai yang jumlahnya besar seperti 50ribu bahkan 100ribu.

Ang Pao tersebut diterima setelah mereka memberi hormat dan mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek kepada orang tuanya atau keluarga lebih tua yang telah menikah.

Selain itu, mereka akan mengenakan pakaian baru. Orang tua mereka akan memberikan doa selamat dan berkah nyata kepada mereka dengan Ang Pao tersebut.13

Imlek rasanya tak lengkap jika tak ada mercon atau petasan. Ada kebiasaan kuno dari mereka yang merayakan Tahun Baru Imlek, yakni mereka

12

The Siauw Ciap, Cina Muslim Di Indonesia ( Jakarta: Yayasan Ukhuwah Islamiyah, 1986), 35.

13


(58)

50

pasti akan memasang mercon atau petasan. Orang Tionghoa menyebut mercon dengan kata Phao-chu yang artinya Ledakan Bambu.

Lantas mengapa mercon dikatakan mereka Ledakan Bambu? Padahal, bukankah mercon sama sekali tidak ada bambunya atau tidak memakai bambu?

Tetapi begitulah kenyataannya. Dahulu kala, bahan peledak atau mesiu yang memang ditemukan di Tiongkok dibuat dari bambu. Batang bambu dipotong mulai ruas/buku yang satu ke ujung ruas lainnya,lalu di taruh ke dalam kobaran api. Karena kobaran api dengan hawa yang panas, kemudian menciptakan sebuah ledakan yang bunyinya cukup memekakkan daun telinga: poong.. dor.. dor..

begitulah awal lahirnya Phao-chu’, yang kemudian dikenal dengan mercon.14 Imlek juga identik dengan warna merah dan emas. Merah dan emas dilambangkan kemakmuran dan kejayaan serta kesejahteraan. Warna merah dan emas tidak hanya dipakai untuk imlek saja tapi juga dipakai untuk kelahiran, pernikahan dan acara-acara lainnya yang melambangkan keceriaan dan kebahagiaan.15

B. Nilai-Nilai Sosial dan Ekonomi Yang Terkandung Dalam Tradisi Imlek Bagi Warga Muslim Tionghoa Di Daerah Surabaya Jawa Timur.

Ahli filsafat Tionghoa mengatakan, tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana”, yaitu suatu

14

Ibid, 21.

15


(59)

51

tingkat di mana diri pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta (identification of the individual with universe). Dengan demikian apakah dirasa perlu manusia meninggalkan masyarakat, dan perlukah ia mengakhiri hidup ini?

Semua pendapat tadi menggambarkan suatu sudut pandang yang menganjurkan agar orang-orang menjauhi jaring-jaring keduniawian yang penuh dengan godaan dan kesengsaraan. Hanya dengan jalan demikianlah “pembebasan terakhir” dapat tercapai.16

Filsafat jenis ini pada umumnya dikenal dengan nama “Filsafat Mengenai Dunia Lain” (other word philosophy) yang bersifat idealisme dan pesimistis dunia lain.

Ada juga filsafat lain yang menitik beratkan hal-hal yang terdapat di dalam masyarakat, yang membicarakan hubungan antar manusia, tentang nilai-nilai moral, etika, sosial, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Filsafat ini pada umumnya disebut “ Filsafat Mengenai Dunia Ini” (this worldly philosophy), yang bersifat realis optimis.

Pada masyarakat Jawa umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan serta orientasi tingkah laku mereka tunjukkan pada persepsi waktu masa kini. Sedangkan kehidupan orang priyayi selain persepsi waktu masa kini, juga mempunyai persepsi waktu masa yang lalu, berkenaan dengan nostalgianya akan

16

P Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 35.


(60)

52

benda-benda pusaka, kegemarannya untuk mengusut silsilah, sejarah

kepahlawanan, karya-karya pujangga kuno, dan sebagainya.17

1. Nilai Sosial dalam Perayaan Imlek

Di dalam tradisi apapun, pasti terkandung nilai-nilai social. Tak terkecuali dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Pada perayaan imlek, nilai-nilai social yang ada adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri dan perayaan-perayaan lainnya. Sedangkan untuk perayaan Cap Go Meh, sebuah tradisi yang juga untuk mengikat sebuah keluarga yang tercerai berai.18

Bertindak sportif dan beretika serta tetap dalam jalan kebajikan, bertanggung jawab adalah nilai -nilai yang penting yang harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Tahu malu artinya harus mampu membedakan perbuatan yang patut dan tidak patut dilakukan. Secara umum nilai -nilai yang terkandung dalam wacana ritual ini sangat tinggi dan alangkah damainya dunia sepanjang hayat apabila setiap manusia dapat menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Nilai-nilai dan konsep yang dapat dipetik dari perayaan Capgome adalah manusia seyogyanya selalu bersyukur atas apa yang telah diperolehnya dan selalu mengingat akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam ini.

17

Ibid, 34. 18


(61)

53

Kegembiraan yang ditunjukkan dalam perayaan ini juga harus tetap dalam jalan suci dan dalam kondisi harmonis yakni menyeimbangkan yin dan yang.19

2. Nilai Ekonomi dalam Perayaan Imlek.

Sedangkan untuk Nilai Ekonomi dalam Imlek, menurut Ustadz

Haryono selaku Ta’mir Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, dapat

mewujudkan datangnya rezeki yang barokah, menumbuhkan mengembangkan kesejahteraan hidup manusia.20

Di lain sisi ada yang berpendapat perayaan Imlek di Indonesia dapat melariskan pedagang, selalu bekerjasama antar sesama.

Imlek juga diidentikkan dengan angpao. Angpao dianggap sebagai sedekahnya orang Tionghoa pada sesama21

19

Ni Wayan Sartini, Konsep Dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek (Tesis, Universitas Airlangga, Fakultas Sastra, Surabaya, 2004), 10.

20

Haryono, wawancara, 29 Juli 2015

21


(62)

BAB IV

PENDAPAT CENDEKIAWAN MUSLIM TENTANG TRADISI IMLEK DI SURABAYA

Ulama Indonesia khususnya Surabaya berbeda pendapat tentang hukum merayakan Tahun Baru China (Chinese New Year) atau perayaan Imlek bagi kaum Muslim. Sebagian ulama melarangnya karena Imlek dianggap merupakan perayaan agama non-Muslim dan bertentangan dengan keyakinan Islam. Sebagian ulama yang lain membolehkan dengan alasan Imlek merupakan tradisi (budaya) dan bukan acara keagamaan.

Asal-usul Tahun Baru Imlek yang juga dikenal sebagai “Festival Musim Semi” itu berakar pada beberapa mitos dan tradisi.

Sebagian ulama lain melihat perayaan Tahun Baru Cina sebagai acara tradisional, bukan acara keagamaan.1 Berikut ini merupakan beberapa pendapat ulama Surabaya tentang Tradisi Imlek yang ada di Surabaya.

1Hanny Hermawan,Haruskah umat Muslim merayakan Tahun Baru Imlek?”dalam

http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2013/02/09/feature-02(09 Februari 2013).


(63)

55

A. Menurut Cendekiawan NU.

NU dalam sejarah panjang perjalanannya telah mengalami proses dinamisasi yang begitu kompleks, sehingga beberapa peneliti barat tertarik untuk mengkaji ormas Islam berlambang bola dunia ini secara massif sejak awal tahun 70-an hingga kini, sebut saja peneliti, sosiolog sekaligus antropolog sekelas Kenneth Ward, Martin van Bruinessen, Mitsuo Nakamura, Greg Barton, Greg Fealy, Andrée Feillard, Douglas Ramage, dan Robin Rush. Mereka melihat bahwa pengaruh NU dalam masyarakat Indonesia begitu tertanam kuat, NU menjadi bagian dari suprastruktur sosial yang banyak berperan dalam pembentukan corak budaya keagamaan, karakter sosial-kemasyarakatan hingga gerakan politik kebangsaan.

Selain dalam arena sosial-keagamaan NU telah turut pula berperan dalam percaturan politik di bangsa ini, sejak memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 kemudian mendeklarasikan diri sebagai partai politik dengan berbagai macam konsekuensi yang harus diterima sebagai bagian dari dinamika kehidupan organisasi.

Walaupun pada tahun 1973 harus turut pada desakan kebijakan fusi partai yang digalakkan rezim orde baru, sehingga harus berafiliasi bersama partai Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hingga pada akhirnya berkomitmen untuk kembali ke garis perjuangan khittah 1926 pada tahun 1984 di era kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk keluar dari politik


(1)

64

Keteguhan menjaga tradisi warisan leluhur bernilai budaya tinggi yang dilakukan Muslim Tionghoa, kiranya patut kita acungi jempol. Terbukti perbedaan akidah dan keyakinan itu tidak lantas menjadikan hubungan kekerabatan antara mereka tercerai-berai.

Bagi warga Muslim Tionghoa, makna Imlek bukan hanya sebatas merayakan tahun baru Cina dengan harapan beroleh keselamatan dan kemakmuran di masa mendatang. Namun lebih dari itu, dalam Imlek juga mereka temukan tertanamnya nilai luhur ukhuwah sebagaimana Islam sangat menganjurkan memeliharanya, yaitu dengan cara memperkokoh tali persaudaraan dan persatuan sebagai sebuah ikatan yang tulus dan teguh.15

15

Andriayanie, Spirit Ukhuwah Dalam Tradisi Imlek dala

http://ahlulbaitindonesia.org/berita/2202/spirit-ukhuwah-dalam-tradisi-imlek/ (22 Februari 2008).


(2)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Sin Cia atau Imlek tak ubahnya seperti tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat islam. Imlek adalah Tahun Baru Cina. Pada umumnya, yang banyak merayakan Imlek adalah warga Tionghoa. Namun bagi umat lain yang beraliran sama juga bisa merayakan Hari Raya Imlek. Kata Imlek (Im=bulan,

Lek=penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau Bahasa Mandarin-nya Yin Li yang berarti kalender bulan (Lunar Newyear). Menurut sejarahnya, konon

Sin Cia merupakan sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. 2. Warga Muslim Tionghoa merayakan Imlek tidak jauh beda dengan perayaan

Idul Fitri dan Idul Adha yang mengutamakan kebersamaan antara anggota keluarga.

3. Nilai-nilai sosial yang dapat diambil dari perayaan Imlek adalah berkumpulnya seluruh anggota keluarga besar seperti hari raya Idul Fitri dan perayaan-perayaan lainnya. Sedangkan untuk perayaan-perayaan Cap Go Meh, sebuah tradisi yang juga untuk mengikat sebuah keluarga yang tercerai berai.


(3)

66

B. SARAN

1. Bagi warga Tionghoa non Muslim maupun Muslim diharapkan untuk bisa tetap menjaga tali silaturahmi antar warga sesama etnis Tionghoa.

2. Bagi para petinggi Etnis Tionghoa non Muslim maupun Muslim diharapkan untuk bisa membimbing anggotanya untuk bisa saling mempererat persaudaraan antar pemeluk agama masing-masing.

3. Dari banyaknya kebudayaan tersebut perlu adanya pelestarian untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dari para sejarawan khususnya di jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya untuk mengkaji lebih dalam tentang berbagai tradisi budaya keislaman yang merupakan suatu khasanah peradaban masyarakat Indonesia.

4. Umat Islam harus bersikap selektif terhadap kebudayaan, menyeleksi apakah tradisi tersebut berkontribusi positif atau bahkan negatif terhadap akidah umat Islam. Selain itu, umat Islam juga harus menyelenggarakan penyucian kebudayaan, agar kebudayaan tersebut sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma Islam sendiri.

Semoga kiranya Allah SWT, berkenan memberikan petunjuk dan pertolongan-Nya kepada kita semua dan memberikan kesempurnaan serta ampunan-ampunan-Nya atas segala kekeliruan dan kesalahan kita semua. Amin.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Winarso, Hendrik. Mengenal Hari Raya Konfusiani, Semarang: Effhar & Dahara Prize, 2003.

Ali, Sayuthi. Metode Penelitian Agama (Pendekatan, Teori Dan Praktek), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1992 A.S, Marcus, Hari-Hari Raya Tionghoa, Jakarta: Marwin, 2002.

Budiman, Hikmat. Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002 La Ode, M.D. Tiga Muka Etnis Cina Indonesia: Fenomena Di Kalimantan Barat( Perspektif Ketahanan Nasional), Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika, 1997. Lombard, Denys. Nusa Jawa: silang Budaya (jilid 1), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Moeloeng, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998

MSH, Yoest, Tradisi Dan Kultur Tionghoa, Jakarta: Gerak Insan Mandiri ,2004. Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Noor jannah, Andjarwati, Komunitas Tionghoa di Surabaya, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010,

Ranjabar, Jacobus. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Reid, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2004.

Sartini, Ni Wayan, KONSEP DAN NILAI KEHIDUPAN MASYARAKAT TIONGHOA: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek, (Tesis, Universitas Airlangga, Fakultas Sastra, Surabaya, 2004)

Soedjatmiko, Basuki, Hari Raya Tionghoa Tempo Doeloe Di Hindia Belanda Tahun 1885, Surabaya: Rama Press Surabaya, 1983.


(5)

Sutopo. Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS, 1996

Syafi’I Antonio, Muhammad. Ensiklopedia Peradaban Islam: Cina Muslim, Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.

Tjan Tjoe Som yang berjudul “Sumber-sumber Cina dan Historiografi dalam buku karangan Soedjatmoko. Historiogafi Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Yahya, Ismail. Adat-Adat Jawa Dalam Bulan-Bulan Islam, Jakarta: Inti Medina, 2009.

Sumber Internet:

Andriayanie, “Muslim Tionghoa Indonesia” dalam

http://andriayanie.wordpress.com /artikel/muslim-tionghoa-indonesia/ (12 Mei 2012)

Hanny Hermawan,Haruskah umat Muslim merayakan Tahun Baru Imlek?” dalam http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi

/articles/features/2013/02/09/feature-02 (09 Februari 2013).

DDHK News, “Ulama Berbeda Pendapat tentang Hukum Merayakan Imlek”, dalam http://www.ddhongkong.org/ulama-berbeda-pendapat-tentang-hukum-merayakan-imlek/ (6 February 2013)

Muhammad Abduh Tuasikal, “Pemimpin Muslim Indonesia berbeda pendapat

terkait perayaan Tahun Baru Imlek” dalam

http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apw/i/articles/newsbriefs/2013/02/07/ne wsbrief-08 (07 Februari 2013).

Sumber Internet Lampiran :

http://travel.detik.com/readfoto/2013/02/11/134500/2166128/1026/1/di-surabaya-popeye-rayakan-imlek

http://photo.sindonews.com/view/5454/laga-futsal-mahasiswi-ubaya-sambut-imlek

http://baltyra.com/2011/02/09/muslim-tionghoa-rayakan-tahun-baru-imlek-2011/ http://citria-ella.blogspot.com/2013/02/filosofi-7-makanan-khas-imlek.html http://www.jakartaintiland.net/read/angpao-hoki-belanja-berhadiah.html


(6)

http://www.lensaindonesia.com/2014/01/23/glodok-shop-bertabur-lampion-dan-pernak-pernik-imlek.html

https://nchrist09.wordpress.com/2013/02/09/sejarah-imlek-dan-barongsai/ http://kami1in.blogspot.com/2013/02/8-fakta-dibalik-perayaan-imlek.html