PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERBIMBING KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN KIMIA SMA.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1

B. RUMUSAN MASALAH 16

C. TUJUAN PENELITIAN 17

D. MANFAAT PENELITIAN 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA 20

A. KONSEP BERPIKIR KRITIS 20

B. KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS 28

C. PEMBELAJARAN BERPIKIR KRITIS 30

D. PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI 32

E. PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH 45

F. PERTANYAAN SOCRATIK 57

G. KARAKTERISTIK TOPIK TERMOKIMIA DAN LAJU REAKSI 61

H. PERTANYAAN KONSEPTUAL 74

BAB III METODE PENELITIAN 75


(2)

B. DESAIN PENELITIAN 76

C. PROSEDUR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN P2BMT 79

C. INSTRUMEN PENELITIAN 86

D. ANALISIS DATA 87

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 89

A. HASIL PENELITIAN 89

1. Hasil Studi Pendahuluan 89

2. Karakteristik Program Pembelajaran Berbasis Masalah Terbimbing

97

3. Hasil-hasil Validasi Ahli 100

4. Hasil-hasil Uji Coba Tes 102

5. Hasil-hasil Uji Coba Terbatas 104

6. Hasil-hasil Uji Coba Luas 113

B. PEMBAHASAN 134

BAB V PENUTUP 144

A. KESIMPULAN 144

B. SARAN-SARAN 146

C. REKOMENDASI 146

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Abad XXI, suatu era yang oleh Richard Crawford disebut sebagai Era of

Human Capital (dalam Sidi, 2003), yaitu suatu era di mana ilmu pengetahuan dan

teknologi, khususnya teknologi komunikasi, berkembang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat itu menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar internasional yang berdampak pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam proses transformasi besar-besaran pada abad XXI terjadi perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri (industrial society) dan kemudian menuju masyarakat ilmu (knowledge society) di mana human capital merupakan pusat dan kunci dari perubahan tersebut.

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, tidak bisa lepas dari persaingan bebas. Bahkan dalam skala Asia, negara-negara yang berada di kawasan ini telah menentukan kesepakatan bersama, yaitu mulai tahun 2003 Asia menerapkan pasar bebas yang disebut dengan Asian Free Trade Area (AFTA). Dengan era pasar bebas tersebut, bangsa Indonesia dituntut agar dapat menghadapi persaingan bebas. Konsekuensi logisnya adalah bahwa keberadaan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan memadai di masa yang akan datang menempati posisi yang sangat penting dan strategis. Dengan adanya sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai jenis keterampilan, keahlian profesional, serta ilmu


(4)

pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia akan dapat menggerakkan sektor-sektor industri secara lebih efisien dan produkif serta mampu bersaing di pasar dunia.

Namun, sangat disayangkan bahwa menurut Human Development Report (United Nations Development Programme, 2005), Human Development Index (HDI) negara kita masih sangat rendah, yaitu menempati urutan 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan, negara kita berada di bawah Vietnam yang menempati peringkat 109 (Anwar, 2004). HDI didasarkan atas life expectancy at birth, adult literacy rate,

gross enrolment ratio, dan GDP per capita.

Rendahnya sumber daya manusia Indonesia juga tampak dari prestasi yang diraih oleh siswa-siswa Indonesia dalam ajang Internasional, misalnya pada TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) (Jalal, 2006). Pada tahun 1999 dalam bidang IPA, Indonesia menduduki peringkat 32 di bawah Iran dan di atas Turki dari 38 negara yang berpartisipasi. Urutan pertama dalam bidang ini adalah Taiwan. Secara signifikan Indonesia berada jauh di bawah rerata Internasional. Sementara itu, prestasi literasi sains menurut PISA (Programme for International

Student Assessment) tahun 2003, Indonesia menempati urutan 38 dari 41 negara, di

bawah Argentina dan di atas Albania (Jalal, 2006). Soal-soal pada TIMSS dan PISA ini menuntut siswa melakukan keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi, di mana keterampilan-keterampilan ini merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Hasil-hasil di atas sejalan dengan temuan-temuan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan rendahnya prestasi belajar siswa dan tingginya miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep kimia (Kirna, 1998; Suastra et al., 1998; Sudria et al., 2000). Redhana & Kirna (2004) melaporkan bahwa rerata miskonsepsi siswa SMA


(5)

di kota Singaraja pada topik struktur atom dan ikatan kimia sangat tinggi, masing-masing sebesar 57% dan 63%. Beberapa dari miskonsepsi siswa tersebut adalah: (1) atom dipandang sebagai bola padat yang jika dipanaskan akan mengembang; (2) dalam senyawa NaCl terdapat ikatan antara satu ion Na+ dan satu ion Cl-; (3) ikatan dalam molekul HCl adalah ikatan ion; (4) ikatan logam adalah ikatan kovalen antara atom logam yang satu dan atom logam yang lain; dan (5) pada orbital p, elektron bergerak seperti angka delapan pada permukaan orbital. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata beberapa miskonsepsi siswa ini berasal dari guru (Simamora & Redhana, 2006). Artinya guru kimia menjadi sumber miskonsepsi.

Miskonsepsi siswa juga ditemukan pada topik hidrokarbon (Redhana et al., 2008). Miskonsepsi tersebut, antara lain, adalah: (1) isomer-isomer suatu senyawa hidrokarbon mempunyai sifat-sifat fisika dan sifat-sifat kimia yang sama; (2) senyawa yang paling mudah menguap adalah senyawa yang memiliki titik didih dan massa molar paling tinggi; dan (3) makin banyak cabang dalam suatu isomer, massa molekul relatifnya makin tinggi. Sementara itu, miskonsepsi yang ditemukan pada seorang guru kimia yang berpengalaman, antara lain, adalah pada reaksi adisi molekul etena oleh molekul Cl2, atom Cl dalam molekul Cl2 yang bermuatan positif

akan bergabung dengan atom C dalam molekul etena yang bermuatan negatif, sedangkan atom Cl dalam molekul Cl2 yang bermuatan negatif akan bergabung

dengan atom C dalam molekul etena yang bermuatan positif.

Pemahaman konsep siswa sangat berkaitan dengan keterampilan berpikir kritis. Tingginya miskonsepsi siswa di atas tidak terlepas dari pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru selama ini, di mana guru-guru belum mengkondisikan pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan berpikir


(6)

tingkat tinggi. Hasil-hasil studi pendahuluan (Redhana, 2007) menunjukkan bahwa beberapa guru kimia sudah menerapkan pembelajaran aktif (student-centered), seperti pembelajaran kooperatif. Namun, kebanyakan guru kimia yang lain masih mendominasi pembelajaran (teacher-centered). Umumnya, guru-guru kimia mengajarkan materi kimia dengan metode informasi dan tanya jawab. Dalam menjelaskan materi kimia, guru-guru kimia biasanya mengacu pada satu buku kimia tertentu, di mana urutan materi yang disajikan oleh guru dalam pembelajaran sesuai dengan urutan materi yang terdapat dalam buku yang menjadi pegangan guru dan siswa. Guru-guru, selanjutnya, memberikan latihan soal-soal yang sering diambilkan dari buku-buku tersebut. Soal-soal yang dilatihkan, umumnya, berupa soal-soal hitungan, kecuali untuk topik-topik yang tidak atau hampir tidak ada hitungannya, seperti topik struktur atom, sistem periodik, ikatan kimia, dan koloid. Soal-soal hitungan ini sangat jauh dari dunia nyata siswa dan merupakan well-structured

problems. Untuk memecahkan soal-soal ini, siswa menerapkan rumus-rumus secara

algoritmik. Menurut Tsapartis dan Zoller (2003), pemecahan masalah yang bersifat algoritmik memerlukan penerapan keterampilan berpikir tingkat rendah.

Masih menurut hasil studi pendahuluan, sebagian besar guru-guru kimia di Kabupaten Buleleng Bali menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan sudah mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dan bahkan menurut guru, asesmen yang digunakan mampu mengukur keterampilan berpikir kritis siswa. Namun kenyataannya, ketika guru-guru diminta menjelaskan pembelajaran yang dilakukan, tampak bahwa guru-guru belum memahami hakekat dari pembelajaran keterampilan berpikir kritis. Lebih lanjut, ketika guru-guru ditanya tentang


(7)

indikator-indikator keterampilan berpikir kritis yang digunakan untuk menyusun tes, malahan guru-guru menjawab indikator hasil belajar yang diturunkan dari kompetensi dasar.

Hasil analisis terhadap silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang digunakan oleh guru-guru kimia menunjukkan bahwa sangat sedikit indikator keterampilan berpikir kritis yang muncul dalam indikator hasil belajar. Indikator keterampilan berpikir kritis ini dibuat secara kebetulan, bukan direncanakan dengan sengaja. Selanjutnya, hasil analisis terhadap tes buatan guru menunjukkan bahwa sebagian besar item-item dalam tes yang digunakan oleh guru-guru ternyata mengukur keterampilan berpikir tingkat rendah. Kalaupun ada beberapa item yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi, itu hanya kebetulan saja. Beberapa guru mengakui bahwa mereka mengambil beberapa soal dari buku-buku yang ada di pasaran di mana soal-soal ini berupa soal-soal hitungan.

Temuan-temuan lainnya yang berkaitan dengan praktikum dapat diuraikan sebagai berikut. Ternyata tidak semua SMA melaksanakan praktikum dan bahkan beberapa sekolah tidak mempunyai laboratorium. Sekolah ini umumnya sekolah swasta atau sekolah negeri yang baru didirikan. Kalaupun suatu sekolah sudah mempunyai laboratorium, umumnya guru-guru kimia jarang melaksanakan praktikum dengan alasan terbatasnya jumlah dan jenis alat dan bahan-bahan kimia. Di samping itu, banyaknya waktu yang diperlukan untuk menyiapkan dan melaksanakan praktikum juga menjadi alasan bagi guru-guru kimia mengapa mereka tidak melaksanakan praktikum. Mereka lebih cenderung mengejar “target kurikulum” daripada memberikan kesempatan kepada siswa memperoleh pengalaman langsung (hands on dan minds on) untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari. Akibatnya, guru-guru cenderung mengabaikan praktikum


(8)

dan menjejali siswa dengan materi. Namun, diakui bahwa beberapa sekolah yang sudah mapan sudah melaksanakan praktikum sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Temuan Carlsen (dalam Rodrigues & Bell, 1995) menunjukkan bahwa guru-guru kimia, umumnya, menggunakan strategi pembelajaran untuk membatasi pembicaraan siswa ketika pembelajaran materi subyek yang asing bagi siswa. Guru-guru melakukan ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk membatasi kesempatan siswa bertanya. Guru cenderung lebih banyak dan lebih lama berbicara ketika membahas topik-topik yang asing bagi siswa. Prophet & Rowell (seperti dikutip oleh Rodrigues & Bell, 1995) memberikan argumentasi bahwa teknik ini merupakan mekanisme kendali untuk mempertahankan otoritas guru di kelas.

Sementara itu, Bassham et al. (2007) melaporkan bahwa kebanyakan sekolah cenderung menekankan keterampilan berpikir tingkat rendah dalam pembelajarannya. Siswa diharapkan menyerap informasi secara pasif dan kemudian mengulanginya atau mengingatnya pada saat mengikuti tes. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa tidak memperoleh pengalaman mengembangkan keterampilan berpikir kritis, di mana keterampilan ini sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan dan untuk berhasil dalam kehidupan (Zoller et al., 2000).

Untuk memperbaiki keterampilan berpikir kritis siswa, reformasi pendidikan perlu dilakukan. Reformasi yang dimaksud bukanlah menyangkut perubahan konten kurikulum, melainkan perubahan pedagogi, yaitu pergeseran dari pengajaran tradisional (keterampilan berpikir tingkat rendah) ke pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004). Ini merupakan esensi dari reformasi pembelajaran saat ini.


(9)

Tsapartis & Zoller (2003) menyatakan bahwa item-item keterampilan berpikir tingkat rendah adalah pertanyaan, latihan, atau masalah pengetahuan yang memerlukan kemampuan untuk mengingat informasi atau aplikasi dari teori atau pengetahuan pada situasi atau konteks yang mirip. Di lain pihak, item-item keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah pertanyaan, latihan, atau masalah-masalah ill-defined/ill-structured, di mana pertanyaan, latihan, atau masalah-masalah ini masih baru bagi siswa dan memerlukan solusi lebih dari sekedar aplikasi pengetahuan. Solusi memerlukan analisis, sintesis, berpikir sistem, pembuatan keputusan, keterampilan pemecahan masalah, pembuatan hubungan, dan berpikir evaluatif kritis. Item-item keterampilan berpikir tingkat tinggi ini meliputi aplikasi teori atau pengetahuan pada situasi yang tidak mirip.

Berkaitan dengan perubahan pedagogi di atas, Rutherford & Ahlgren (1990) menyatakan bahwa pendidikan IPA, termasuk di dalamnya pendidikan kimia, seharusnya membantu siswa mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir agar mereka dapat menghadapi kehidupan ke depan. Untuk itu, Rutherford & Ahlgren (1990) menyatakan:

“Students should be given problems–at levels appropriate to their

maturity–that require them to decide what evidence is relevant and to

offer their own interpretations of what the evidence means. This puts a premium, just as science does, on careful observation and thoughtful analysis. Students need guidance, encouragement, and practice in collecting, sorting, and analyzing evidence, and in building arguments based on it. However, if such activities are not to be destructively boring, they must lead to some intellectually satisfying payoff that students care about”.

Esensi dari pandangan Rutherford & Ahlgren di atas adalah siswa perlu diberikan pengalaman belajar otentik dan keterampilan pemecahan masalah. Caranya adalah dengan menghadapkan siswa dengan masalah-masalah ill-structured dan open


(10)

ended. Pengalaman-pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan

kepada siswa memperoleh keterampilan pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis siswa.

Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir bagi seseorang dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang mempengaruhi hidup seseorang. Keterampilan berpikir kritis juga merupakan inkuiri kritis sehingga seorang yang berpikir kritis menyelidiki masalah, mengajukan pertanyaan, mengajukan jawaban baru yang menantang status quo, menemukan informasi baru, dan menentang dogma dan dokrin (Schafersman, 1991). Keterampilan berpikir kritis memungkinkan seseorang menjadi penduduk yang bertanggung jawab. Sementara itu, Lipman (2003) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir kritis sangat penting dimiliki agar kita dapat mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi, dan pencucian otak (mindwashing).

Menurut Walker (1998), keterampilan berpikir kritis merupakan suatu proses yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan baru melalui proses pemecahan masalah dan kolaborasi. Keterampilan berpikir kritis memfokuskan pada proses belajar daripada hanya pemerolehan pengetahuan. Keterampilan berpikir kritis melibatkan aktivitas-aktivitas seperti menganalisis, mensintesis, membuat pertimbangan, menciptakan dan menerapkan pengetahuan baru pada situasi dunia nyata. Keterampilan berpikir kritis sangat penting dalam proses belajar mengajar karena keterampilan ini memberikan kesempatan kepada siswa belajar melalui penemuan. Keterampilan berpikir kritis merupakan jantung dari masa depan semua masyarakat di seluruh dunia (Zoller et al., 2000). Menurut Ikuenobe (2001), proses


(11)

berpikir kritis melibatkan pembuatan hubungan kritis di antara skema konseptual, objek fisik yang diselidiki, dan pernyataan dan keyakinan yang dilakukan.

Candy (dalam Phillips & Bond, 2004) melaporkan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu tujuan yang paling penting dari semua sektor pendidikan. Pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran telah menjadi tujuan dari pendidikan akhir-akhir ini (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004). Oleh karena pembelajaran merupakan alat untuk menyiapkan siswa menjadi anggota masyarakat agar dapat hidup bertanggung jawab dan aktif dalam masyarakat berbasis teknologi, maka sekolah pada semua tingkatan seharusnya memfokuskan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa (Costa, dalam Zoller et al., 2000). Dengan demikian, tujuan utama dari pembelajaran adalah untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan berpikir kritis) dari siswa dalam konten dan proses sains (Zoller et al., 2000).

Elam (seperti dikutip dalam McTighe & Schollenberger, 1991) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan tujuan pendidikan tertinggi. Ernst & Monroe (2004) menyatakan bahwa tujuan perbaikan keterampilan berpikir kritis adalah untuk menciptakan penduduk yang literasi terhadap lingkungan (environmental literacy). Sementara itu, Dumke (dalam Jones, 1996) menyatakan bahwa pembelajaran kimia SMA dirancang untuk mencapai pemahaman dari hubungan bahasa yang logis yang seharusnya menghasilkan kemampuan menganalisis, mengkritisi, menyarankan ide-ide, memberi alasan secara induktif dan deduktif, dan untuk mencapai kesimpulan yang faktual berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Beyer (dalam Walker, 1998) menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berpikir kritis sangat penting diterapkan oleh guru-guru


(12)

agar dapat mengembangkan daya nalar siswa. Masih menurut Beyer, agar berhasil hidup dalam alam demokrasi, siswa harus dapat berpikir kritis sehingga dapat membuat keputusan dengan tepat dan bertanggung jawab.

Bassham et al. (2007) mengatakan bahwa guru-guru seharusnya mengajar siswa bagaimana berpikir (how to think), bukan mengajar apa yang perlu dipikirkan oleh siswa (what to think). Hal senada juga diungkapkan oleh Chalupa & Sormunen (1995), Beyer (dalam Sharma & Hannafin, 2004), Foundation for Critical Thinking (2004), Clement & Lochhead (dalam Eklof, 2005), Notar et al. (2005), dan Brym & Lie (dalam Herbert & Sowell, 2006).

Keterampilan berpikir kritis sangat penting diajarkan kepada siswa karena keterampilan ini merupakan proses dasar yang memungkinkan siswa menanggulangi dan mereduksi ketidaktentuan di masa datang (Cabrera, 1992). Dengan keterampilan berpikir kritis, siswa akan dapat menentukan informasi penting yang diperoleh, diubah, atau ditransformasi, dan dipertahankan. Di samping itu, siswa akan dapat mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengkonstruksi argumen dan dapat menghadapi berbagai tantangan, memecahkan masalah yang dihadapi, dan mengambil keputusan dengan tepat sehingga dapat menolong dirinya dan orang lain dalam menghadapi kehidupan (Wade, seperti dikutip dalam Walker, 1998). Siswa yang berpikir kritis adalah siswa yang dapat: (1) memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, (2) mengatasi tantangan, dan (3) memenangkan persaingan global (Liliasari, 1997).

Siswa yang terlahir tidak memiliki keterampilan berpikir kritis dan mereka tidak dapat mengembangkan keterampilan berpikir secara alami (Schafersman, 1991). Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan yang dapat dipelajari,


(13)

sehingga keterampilan ini dapat diajarkan (Nickerson et al., 1985; Winocur, 1985; Halpern, 1999; Garratt et al., 2000; Robbins, 2005; Eichhorn, n. d.; Thomas & Thorne, n. d.). Sementara itu, Eklof (2005) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan kebiasaan dan keterampilan intelektual yang membimbing seseorang pada pemahaman yang reliabel. Kebiasaan ini tidak dibawa sejak lahir, melainkan harus dipelajari.

Studi-studi terhadap keterampilan berpikir kritis mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa tidak akan berkembang tanpa usaha eksplisit dan disengaja ditanamkan dalam pembelajaran (Zohar, 1994). Seorang siswa tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan baik tanpa ditantang berlatih menggunakannya dalam pembelajaran (Meyers, 1986). Keterampilan berpikir kritis memerlukan pembelajaran dan latihan secara terus menerus dan disengaja agar dapat mengembangkannya ke arah yang potensial. Carin dan Sund (1989) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan dan diperkaya melalui pengalaman-pengalaman bermakna. Pengalaman-pengalaman ini diperlukan agar siswa memiliki struktur konsep yang berguna dalam menganalisis dan mengevaluasi suatu masalah.

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu dari keterampilan hidup yang harus dimiliki oleh siswa untuk menghadapi kehidupan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis akan terampil menyusun rencana secara sistematis dan terampil memecahkan masalah. Keterampilan berpikir kritis dikenal luas sebagai keterampilan yang bernilai dalam kehidupan sehari-hari (Verlinden, 2005).


(14)

Keterampilan berpikir kritis sudah semestinya menjadi bagian dari kurikulum di sekolah. Lingkungan sekolah perlu dikondisikan agar siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis (teaching for thinking). Keterampilan berpikir kritis ini tidak muncul dengan sendirinya tanpa ada upaya sadar mengkondisikannya dalam pembelajaran. Dengan kata lain, siswa harus diberi pengalaman-pengalaman bermakna selama pembelajaran agar dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Iklim pembelajaran harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga siswa ditantang menggunakan keterampilan berpikir kritis. Dengan demikian, guru-guru sebagai pendidik berkewajiban mengkondisikan pembelajaran agar siswa memperoleh pengalaman mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Kewajiban ini diemban oleh guru karena guru dan siswanya hidup dalam alam demokratis yang sangat menghargai nalar.

Keterampilan berpikir kritis telah menjadi tujuan atau tuntutan dari semua mata pelajaran, termasuk di dalamnya kimia. Artinya, ketika siswa mempelajari kimia, siswa diharapkan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, di mana keterampilan ini dapat digunakan menghadapi kehidupan yang kompleks. Pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat terjadi karena kimia dapat menyediakan masalah-masalah kompleks yang dapat menantang siswa menerapkan sejumlah keterampilan, seperti menganalisis dan mengajukan argumen, memberi klarifikasi, memberi bukti, memberi alasan, menganalisis implikasi dari suatu pendapat, dan menarik kesimpulan berdasarkan data atau informasi. Keterampilan-keterampilan ini merupakan Keterampilan-keterampilan berpikir kritis. Dengan kata lain, mata pelajaran kimia dapat bertindak sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Di lain pihak, kesempatan siswa menggunakan


(15)

keterampilan berpikir kritis untuk memecahkan masalah-masalah kimia dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konten kimia. Pada penelitian ini dipilih dua topik, yaitu termokimia dan laju reaksi. Kedua topik ini utamanya masing-masing mewakili karakteristik energi dan perubahan, di mana kimia mempelajari gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, sifat, struktur, perubahan, dinamika, dan energi (Depdiknas, 2006).

Mengingat pentingnya keterampilan berpikir kritis bagi semua orang dan keterampilan berpikir kritis ini dapat diajarkan dan dipelajari, maka program pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa sangat penting dikembangkan. Salah satu program pembelajaran yang ditengarai efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu pembelajaran alternatif yang berpusat pada siswa (student-centered) banyak dikembangkan akhir-akhir ini. White (dalam Kelly & Finlayson, 2007) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah menyediakan suatu alternatif bagi pendidikan tradisional:

“In principle, problem-based learning reverses traditional education by putting the problem first and using it to motivate learning. By using real-world problems, problem-based learning enables students to see the relevance that they often miss in other contexts. The promise of problem-based learning was that students would learn better, understand what they learned, and remember longer by working

cooperatively in groups.”

Pembelajaran ini termasuk ke dalam pembelajaran inkuiri terbuka. Pada pembelajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan dengan masalah-masalah

ill-structured, open-ended, ambigu, dan kontekstual (Fogartty, 1997). Beberapa

karakteristik dari pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut (Savoie & Hughes, 1994). Pertama, masalah-masalah ill-structured, open-ended tidak


(16)

menyediakan informasi yang lengkap untuk mengembangkan solusi. Oleh karena itu, informasi tambahan sangat diperlukan untuk mendefinisikan masalah. Kedua, tidak ada satu jawaban yang benar terhadap solusi masalah. Beberapa solusi alternatif seharusnya dieksplorasi. Terakhir, karena beberapa informasi baru harus dikumpulkan, definisi masalah dapat diubah atau direvisi.

Dengan karakteristik pembelajaran berbasis masalah seperti di atas, pembelajaran berbasis masalah yang murni sangat sulit diterapkan pada level sekolah menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, siswa belum atau tidak terbiasa dengan pembelajaran inkuiri terbuka (open inquiry), di mana siswa hanya disediakan masalah/konteks, kemudian siswa membuat rencana pemecahan masalahnya (Trowbridge & Bybee, dalam National Science Teachers

Association, 1998). Dengan tahapan pembelajaran seperti ini siswa akan mengalami

kesulitan. Kedua, siswa terbiasa dengan metode pembelajaran “sekolah pasif” (lihat Utomo & Ruijter, 1990) di mana kebanyakan siswa hadir di kelas mendengarkan penjelasan guru dan melakukan kegiatan sesuai dengan perintah guru. Dengan demikian, guru-guru akan mengalami kesulitan membimbing siswa dalam melakukan pembelajaran inkuiri terbuka. Ketiga, guru-guru tidak terbiasa melaksanakan pembelajaran inkuiri terbuka di mana guru cenderung menggunakan metode informasi dan tanya jawab, yang dilanjutkan dengan latihan soal-soal.

Agar pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan di sekolah menengah (SMA), maka pembelajaran berbasis masalah haruslah dimodifikasi dengan memasukkan unsur-unsur bimbingan, sehingga disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah terbimbing (guided problem-based learning). Program


(17)

pembelajaran berbasis masalah terbimbing yang dikembangkan dalam penelitian ini selanjutnya disingkat menjadi P2BMT.

Tabel 1.1 Rekapitulasi Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Keterampilan Berpikir Kritis atau Keterampilan yang Berhubungan

Penulis

(Tahun) Hasil Penelitian Fokus penelitian

Adnyana et al. (2003)

Pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran sains (Biologi) di SMP dapat melatih kecakapan hidup, seperti kecakapan berpikir kritis dan kecakapan sosial

Peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran sains (biologi)

Ernst & Monroe (2004)

Pendidikan berbasis lingkungan dapat meningkatkan keterampilan dan disposisi siswa terhadap berpikir kritis

Peneliti mempelajari pengaruh pendidikan berbasis lingkungan terhadap keterampilan dan disposisi terhadap berpikir kritis Philips & Bond

(2004)

Masalah-masalah dunia nyata dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa

Peneliti memberikan tugas-tugas pemecahan masalah

Sharma & Hannafin (2004)

Pertanyaan Socratik dan open-ended sangat efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa

Peneliti memeriksa pengaruh scaffolding pada pengembangan keterampilan berpikir kritis Sellnow &

Ahlfeldt (2005)

Pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan

keterampilan berpikir kritis dan kerja tim mahasiswa.

Penerapan pendekatan

pembelajaran berbasis masalah untuk memperbaiki keterampilan berpikir dan kerja tim.

Redhana & Kartowasono (2006)

Mahasiswa menggunakan sejumlah keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis untuk

memecahkan masalah ill-structured

Peneliti menerapkan pembelajaran berbasis masalah untuk

memperbaiki keterampilan pemecahan masalah Barak et al.

(2007)

Pemecahan masalah dunia nyata, diskusi open-ended, dan eksperimen berbasis inkuiri dapat meningkatkan keterampilan dan disposisi terhadap keterampilan berpikir kritis

Peneliti menerapkan tiga strategi pembelajaran:(1) pemecahan masalah dunia nyata, (2) diskusi open-ended, dan (3) eksperimen berbasis inkuiri

Akınoğlu &

Tandoğan

(2007)

Implementasi model pembelajaran aktif berbasis masalah mempunyai pengaruh positif pada prestasi akademik dan sikap siswa terhadap mata pelajaran sains

Peneliti mempelajari pengaruh model pembelajaran aktif berbasis masalah pada prestasi akademik, sikap dan belajar konsep

Redhana & Maharani (2008)

Penggunaan pertanyaan Socratik dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa

Peneliti menerapkan penggunaan pertanyaan Socratik dalam kaitannya dengan keterampilan berpikir kritis siswa


(18)

Usaha-usaha pendidikan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa banyak dilaporkan akhir-akhir ini oleh beberapa penulis. Tabel 1.1 meringkaskan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis masalah dan pertanyaan Socratik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa atau keterampilan yang berhubungan. Dari Tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran berbasis masalah dan pertanyaan Socratik sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa/mahasiswa. Di samping itu, aspek lain yang juga diperbaiki adalah kecakapan sosial, prestasi akademik, dan disposisi terhadap berpikir kritis. Masalah-masalah ill-structured dunia nyata merupakan titik sentral dari pembelajaran berbasis masalah.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian di atas, siswa perlu diberi pengalaman-pengalaman bermakna agar mereka dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran sehingga menjadikan mereka seorang critical thinker,

independent thinker, dan problem solver. Akibatnya, siswa akan mampu menolong

dirinya dan orang lain dalam menghadapi permasalahan; bertindak cermat, tepat, dan bertanggung jawab; dan mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi, dan pencucian otak. Kondisi ini akan dapat dicapai melalui P2BMT. Dengan demikian, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: “Bagaimana P2BMT dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa?” Dari rumusan masalah ini dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.


(19)

2. Apakah P2BMT lebih baik meningkatkan pemahaman konsep siswa daripada program pembelajaran reguler?

3. Apakah P2BMT lebih baik meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa daripada program pembelajaran reguler?

4. Bagaimana pengaruh P2BMT pada keterampilan berpikir kritis siswa ditinjau dari peringkat sekolah?

5. Apa kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan P2BMT? 6. Apa keunggulan-keunggulan dari P2BMT?

7. Bagaimana tanggapan guru-guru terhadap P2BMT? 8. Bagaimana tanggapan siswa terhadap P2BMT?

C. Tujuan Penelitian

Mengingat pentingnya peningkatan keterampilan berpikir kritis bagi siswa, maka kurikulum sekolah, khususnya SMA, sudah semestinya menekankan pada upaya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui suatu usaha-usaha yang dilakukan secara eksplisit. P2BMT yang dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari permasalahan yang dihadapi di atas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu P2BMT yang teruji untuk meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran kimia SMA. P2BMT ini akan menyediakan kesempatan yang cukup luas bagi siswa berlatih menerapkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, khususnya, keterampilan berpikir kritis, dalam proses pemecahan masalah

open-ended. P2BMT ini juga akan memberi peluang kepada siswa untuk meningkatkan


(20)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dan pengembangan yang berupa P2BMT ini diharapkan dapat memberi manfaat baik dari segi teoretik maupun dari segi praktis.

1. Manfaat Teoretik

Manfaat teoritik dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan ini adalah dapat memperkaya khasanah pembelajaran inovatif yang ada. Di samping itu, hasil-hasil penelitian dan pengembangan ini dapat menghasil-hasilkan sebuah teori, yaitu masalah open-ended, pertanyaan konseptual, dan pertanyaan Socratik yang dibingkai dalam program pembelajaran berbasis masalah terbimbing secara bersama-sama dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik merupakan unsur bimbingan yang masing-masing berfungsi untuk menggali pemahaman konsep-konsep esensial dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari hasil penelitian dan pengembangan ini adalah: (1) dapat menggeser paradigma pengajaran yang umumnya berpusat pada guru

(teacher-centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-(teacher-centered); (2)

memberi kesempatan kepada guru-guru agar lebih banyak memerankan dirinya sebagai fasilitator, mediator, dan pelatih metakognisi bagi siswa sehingga kegiatan belajar mengajar yang dirancang dan diimplementasikan menjadi lebih efektif, efisien, kreatif, dan inovatif; (3) memberi pengalaman kepada guru-guru kimia menerapkan P2BMT sehingga keterampilan berpikir kritis siswa dapat dilatihkan selama pembelajaran; (4) menyediakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan


(21)

siswa meningkatkan keterampilan berpikir kritisnya; (5) mengubah paradigma belajar siswa yang selama ini lebih banyak berperan sebagai “konsumen ide” menjadi berperan sebagai “produsen ide”; (6) sebagai acuan bagi guru-guru untuk mengembangkan model/program pembelajaran lain yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa; dan (7) sebagai sebagai acuan bagi kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan untuk membuat kebijakan yang berkaitan pembelajaran.


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa agar dapat memenuhi tuntutan tujuan pendidikan nasional di atas adalah keterampilan berpikir tinggi, khususnya keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan hidup (life skills), di mana keterampilan ini diperlukan untuk menghadapi kehidupan. Keterampilan berpikir kritis ini meliputi, antara lain, keterampilan mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi argumen secara efektif, dan merumuskan alasan yang rasional dan bertanggung jawab (Bassham et al. 2008).

Agar siswa mempunyai keterampilan berpikir kritis, siswa hendaknya memperoleh kesempatan-kesempatan berlatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis selama pembelajaran. Untuk memenuhi keperluan tersebut, P2BMT dirancang dan dikembangkan. P2BMT ini mengandung skenario dialog Socratik/kritis. Skenario dialog Socratik ini didorong oleh masalah open-ended, pertanyaan konseptual, dan pertanyaan Socratik. Selama siswa melakukan dialog Socratik, siswa tidak hanya berlatih menggunakan keterampilan berpikir kritis, tetapi juga berlatih menggunakan keterampilan proses sains. Bagan dari paradigma yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan ini ditunjukkan pada Gambar 3.1.


(23)

Gambar 3.1 Paradigma dalam Penelitian dan Pengembangan P2BMT.

B. Desain Penelitian

Salah satu model penelitian dan pengembangan (research and development, di singkat R & D) dalam bidang pendidikan diusulkan oleh Borg & Gall (1983). Menurut mereka, R & D pendidikan adalah suatu proses untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan. Tahapan R & D menurut Borg & Gall (1983) meliputi: (1) penelitian dan pengumpulan informasi, (2) perencanaan, (3) pembuatan rancangan produk, (4) uji coba awal atau terbatas, (5) revisi produk utama, (6) uji coba skala luas, (7) revisi produk operasional, (8) uji coba lapangan, (9) revisi produk akhir, dan (10) diseminasi. Tahapan di atas sesungguhnya dapat diringkas menjadi empat tahap, yang disebut dengan model 4D (define, design,

develop, dan disseminate) (Thiagarajan et al., 1974).

Masalah open-ended Dialog Socratik Proses Pemecahan Masalah Pertanyaan Konseptual Pertanyaan Socratik Keterampilan Proses Sains Tujuan Pendidikan Nasional

Manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab Siswa memiliki Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan: mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi argumen secara efektif, merumuskan alasan yang rasional dan bertanggung jawab

Keterampilan Berpikir Kritis P2BMT


(24)

Define adalah kegiatan mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan

(needs assessment) untuk menyusun draft atau produk awal, yang dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Design adalah kegiatan merancang draft atau produk awal. Develop adalah kegiatan mengembangkan produk sehingga dihasilkan produk yang teruji, meliputi validasi pakar, uji coba awal/terbatas, dan uji coba skala luas atau implementasi. Disseminate adalah kegiatan menyebarluaskan produk. Hubungan antara model 4D dari Thiagarajan et al. (1974) dan tahap-tahap R & D dari Borg & Gall (1983) ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Hubungan antara Model 4D dari Thiagarajan et al. dan Tahap-tahap R & D dari Borg & Gall

No. Model 4D dari

Thiagarajan et al. (1974) R & D dari Borg & Gall (1983)

1. Define Pengumpulan informasi dan perencanaan

2. Design Pembuatan rancangan produk

3. Develop Uji coba awal, revisi produk utama, uji coba

skala luas, revisi produk operasional, uji coba lapangan, dan revisi produk akhir

4. Disseminate Diseminasi

Pada penelitian dan pengembangan ini, kegiatan yang dilakukan hanya sampai pada tahap develop, yaitu uji coba skala luas atau implementasi. Desain penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 3.2.


(25)

Gambar 3.2 Tahapan dalam Analisis Kebutuhan (Define) dan Hubungannya dengan Penyusunan Draft P2BMT (Design) yang Dilanjutkan dengan Validasi Ahli, Uji Coba Terbatas, dan Uji Coba Skala Luas (Develop)

Analisis SI mata pelajaran kimia Daftar analisis konsep Analisis kebutuhan

Studi Literatur Studi Lapangan

Analisis keterampilan

berpikir kritis Analisis teori & temuan penelitian pembelajaran keterampilan berpikir kritis

Perangkat pembelajaran  Pedoman pengelolaan

pembelajaran

 Deskripsi pembelajaran, LKS  Tes keterampilan berpikir

kritis berbasis konten kimia Draft P2BMT Faktor pendukung pembelajaran Hambatan pelaksanaan pembelajaran

Pandangan guru terhadap pembelajaran dan asesmen keterampilan berpikir kritis Pembelajaran berbasis masalah Pertanyaan Socratik Konsep-konsep esensial Indikator keterampilan berpikir kritis

P2BMT hasil revisi berdasarkan masukan ahli

Validasi ahli

P2BMT hasil revisi berdasarkan hasil-hasil uji coba terbatas

Uji coba terbatas

P2BMT hasil revisi berdasarkan hasil-hasil uji coba skala luas (P2BMT teruji)

Uji coba skala luas Jenis Pertanyaan

Socratik

Pertanyaan

konseptual Masalah open-ended

D ef in e De si gn De ve lo p


(26)

C. Prosedur Penelitian dan Pengembangan P2BMT 1. Analisis Kebutuhan (Define)

Analisis kebutuhan merupakan tahap research dalam penelitian dan pengembangan (research and development). Analisis kebutuhan ini dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan. Pengumpulan berbagai informasi ini dilakukan melalui studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur berkaitan dengan studi dokumen dan material lainnya yang mendukung pembuatan rancangan produk. Sementara itu, studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan informasi berkaitan, antara lain, dengan faktor-faktor pendukung pembelajaran (meliputi laboratorium, buku dan LKS kimia, dan meda pembelajaran), hambatan yang dihadapi oleh guru-guru dalam mengimplementasikan pembelajaran, dan pandangan guru-guru terhadap pembelajaran dan asesmen keteramplan berpikir kritis. Tahapan dalam analisis kebutuhan untuk merancang draft P2BMT ditunjukkan pada Gambar 3.2

a. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk mengkaji standar isi mata pelajaran kimia, keterampilan berpikir kritis, dan teori-teori serta temuan-temuan penelitian sebagai dasar untuk merancang draft P2BMT (Gambar 3.2). Kegiatan yang dilakukan pada studi literatur ini adalah sebagai berikut.

1) Menganalisis standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) untuk menghasilkan konsep-konsep esensial.


(27)

3) Menganalisis keterampilan berpikir kritis untuk menghasilkan indikator keterampilan berpikir kritis.

4) Menganalisis teori-teori dan temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran keterampilan berpikir kritis, dalam hal ini jenis-jenis pertanyaan Socratik dan pembelajaran berbasis masalah.

5) Menyusun masalah-masalah open-ended berdasarkan daftar analisis konsep, indikator keterampilan berpikir kritis, dan pembelajaran berbasis masalah. 6) Menyusun pertanyaan-pertanyaan konseptual berdasarkan daftar analisis konsep

dan masalah open-ended. Pertanyaan konseptual ini dituangkan dalam P2BMT. 7) Pertanyaan Socratik yang diajukan kepada siswa didasarkan atas jenis-jenis

pertanyaan Socratik, indikator keterampilan berpikir kritis, masalah open-ended, dan respon siswa terhadap pertanyaan konseptual.

8) Menyusun tes keterampilan berpikir kritis berbasis konten kimia menggunakan acuan indikator-indikator keterampilan berpikir kritis dari Ennis (1985) yang berhasil dirumuskan sebelumnya.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan data berkenaan dengan: (1) fasilitas pendukung pembelajaran, meliputi laboratorium kimia dan buku-buku kimia yang digunakan sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa; (2) hambatan yang dihadapi oleh guru-guru kimia dalam melaksanakan pembelajaran; dan (3) pandangan guru-guru kimia terhadap pembelajaran dan asesmen keterampilan berpikir kritis (Gambar 3.2). Hasil-hasil yang diperoleh dari studi lapangan ini akan memberi gambaran tentang daya dukung sekolah dan guru


(28)

sehingga program pembelajaran yang akan dikembangkan didukung oleh kondisi yang ada dan layak diterapkan.

Pada studi lapangan ini, angket diedarkan kepada 67 orang guru kimia yang ada di Kabupaten Buleleng Propinsi Bali yang berasal dari 31 SMA. Namun, jumlah guru yang mengembalikan angket sebanyak 45 orang (67%) yang berasal dari 22 SMA (71%).

2. Perancangan Draft P2BMT (Design)

Hasil-hasil yang diperoleh pada studi literatur dan studi lapangan digunakan sebagai bahan untuk merancang produk awal (draft) P2BMT. Dari Gambar 3.2 tampak bahwa draft P2BMT didasarkan atas hasil-hasil studi literatur dan studi lapangan. Draft P2BMT yang dirancang harus memperhatikan kelayakan implementasi di lapangan, seperti tersedianya fasilitas pendukung (misalnya laboratorium dan buku-buku kimia).

3. Pengembangan P2BMT (Develop)

a. Validasi Pakar

Draft P2BMT yang sudah dirancang, selanjutnya, divalidasi oleh 2 orang ahli

(dua orang dosen) dan seorang praktisi (guru senior/berpengalaman). Dua orang dosen yang dipilih sebagai ahli masing-masing memiliki keahlian dalam bidang konten kimia dan dalam bidang pembelajaran dan asesmen. Sementara itu, pemilihan guru sebagai praktisi dimaksudkan agar peneliti memperoleh masukan dari lapangan secara riil berkaitan dengan kelayakan implementasi P2BMT. Masukan-masukan


(29)

I Wayan Redhana, 2009

yang diberikan oleh para ahli dan praktisi digunakan untuk menyempurnakan draft P2BMT (Gambar 3.2).

b. Uji Coba Terbatas dan Revisi Produk

Uji coba terbatas (Gambar 3.2) dilaksanakan di salah satu SMA dengan peringkat sedang (satu kelas XI) di Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Rancangan penelitian yang digunakan pada uji coba terbatas ini adalah one group

pretest-posttest design. Detail kegiatan yang dilakukan pada uji coba terbatas ini dapat

diuraikan sebagai berikut.

1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan uji coba terbatas. a) Menentukan satu sekolah tempat uji coba terbatas.

b) Melatih guru kimia agar mempunyai pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk menerapkan P2BMT yang sedang dikembangkan.

c) Menyiapkan fasilitas pelaksanaan uji coba terbatas.

2) Guru melaksanakan tes awal. Tes yang digunakan pada tes awal ini adalah tes keterampilan berpikir kritis berbasis konten kimia.

3) Guru melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan P2BMT.

4) Peneliti melakukan observasi terhadap proses pembelajaran untuk mengetahui keterlaksanaan dan hambatan yang dihadapi dalam menerapkan P2BMT.

5) Guru melaksanakan tes akhir. Tes yang digunakan pada tes akhir ini sama dengan tes yang digunakan pada tes awal.

6) Guru mengedarkan angket untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran yang diikuti.


(30)

7) Peneliti mewawancarai guru kimia untuk mengetahui tanggapannya terhadap P2BMT.

8) Peneliti menyempurnakan P2BMT berdasarkan hasil-hasil uji coba terbatas. c. Uji Coba Skala Luas dan Revisi Produk

P2BMT yang telah disempurnakan berdasarkan hasil-hasil uji coba terbatas, selanjutnya, diuji coba pada skala yang lebih luas (implementasi) (Gambar 3.2). Uji coba ini dilaksanakan di tiga sekolah (SMA), masing-masing berasal dari sekolah dengan peringkat tinggi, sedang, dan rendah. Penentuan peringkat sekolah ini didasarkan atas skor tes potensi akademik dan nilai ujian nasional dari calon siswa baru yang masuk ke sekolah yang bersangkutan. Tes potensi akademik ini dilaksanakan oleh dinas pendidikan Kabupaten Buleleng. Diasumsikan bahwa sekolah dengan peringkat tinggi, sedang, dan rendah ini masing-masing memiliki siswa dengan rata-rata kemampuan akademik tinggi, sedang dan rendah.

Untuk sekolah yang digunakan sebagai tempat uji coba skala luas dipilih dua kelas paralel (kelas XI) yang mempunyai nilai rata-rata kelas hampir sama. Dua kelas dari masing-masing sekolah ini, selanjutnya, diundi untuk menentukan kelas/kelompok kontrol dan kelas/kelompok eksperimen. Pada kelompok eksperimen diterapkan P2BMT, sedangkan pada kelompok kontrol diterapkan program pembelajaran reguler yang biasa digunakan oleh guru-guru kimia. Uji coba skala luas ini menggunakan rancangan eksperimen kuasi, yaitu control group pretest-posttest

design:

Kelompok Eksperimen (KE) : O X1 O’


(31)

I Wayan Redhana, 2009

(diadaptasi dari McMillan & Schumacher, 2001). Keterangan : O = skor tes awal O’ = skor tes akhir

X1 = P2BMT

X2 = program pembelajaran reguler

Jumlah siswa pada kelompok kontrol dan eksperimen untuk tiga peringkat sekolah ditunjukkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Sebaran Jumlah Siswa dalam Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Kelompok Peringkat sekolah Jumlah

Tinggi Sedang Rendah

Kontrol 31 38 40 109

Eksperimen 30 36 40 106

Detail kegiatan yang dilakukan pada uji coba skala luas adalah sebagai berikut.

1) Peneliti mempersiapkan pelaksanaan uji coba skala luas. a) Menentukan tiga sekolah tempat uji coba skala luas.

b) Melatih guru-guru kimia agar mempunyai pemahaman dan keterampilan yang memadai untuk mengimplementasikan P2BMT. Guru yang telah dilatih pada saat uji coba terbatas dimanfaatkan sebagai tutor pada pelatihan ini. 2) Menyiapkan fasilitas pelaksanaan uji coba skala luas.

3) Guru melaksanakan tes awal pada kedua kelompok, eksperimen dan kontrol. Tes yang digunakan pada tes awal adalah tes keterampilan berpikir kritis berbasis konten kimia.

4) Guru melaksanakan pembelajaran di kelompok eksperimen dengan menerapkan P2BMT, sedangkan di kelompok kontrol diterapkan program pembelajaran


(32)

reguler. Kelompok kontrol dan eksperimen diajar oleh guru yang berbeda yang mempunyai pengalaman mengajar hampir sama.

5) Peneliti melakukan observasi terhadap proses pembelajaran pada kelompok eksperimen untuk mengetahui keunggulan dan hambatan yang dihadapi dalam mengimplementasikan P2BMT.

6) Guru melaksanakan tes akhir baik pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol. Tes yang digunakan pada tes akhir ini sama dengan tes yang digunakan pada tes awal.

7) Guru mengedarkan angket kepada siswa di kelompok eksperimen untuk mengetahui tanggapannya terhadap pembelajaran yang diikuti.

8) Peneliti mewawancarai guru-guru kimia yang mengimplementasi P2BMT untuk mengetahui tanggapannya terhadap P2BMT.

9) Peneliti melakukan analisis dan evaluasi terhadap efektivitas P2BMT ditinjau dari ketercapaian tujuan, yaitu peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.

10)Peneliti menyempurnakan P2BMT berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh pada uji coba skala luas (jika ada) sehingga dihasilkan P2BMT yang telah teruji.

Produk akhir dari penelitian dan pengembangan ini berupa program pembelajaran berbasis masalah terbimbing (P2BMT) yang telah teruji yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir siswa.


(33)

I Wayan Redhana, 2009 C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini didasarkan atas data yang diperlukan. Tabel 3.3 meringkaskan hubungan antara data yang diperlukan, sumber data, dan instrumen penelitian yang digunakan.

Tabel 3.3 Hubungan Antara Data yang Diperlukan, Sumber Data, dan Instrumen Penelitian

Kegiatan Data yang diperlukan Sumber data Instrumen penelitian

Studi Lapangan Fasilitas pendukung pembelajaran

Guru Angket

Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan pembelajaran

Guru Angket

Pandangan guru-guru kimia terhadap pembelajaran dan asesmen keterampilan berpikir kritis

Guru Angket

Validasi ahli Keterbacaan dari draft P2BMT

Pakar Format expert

judgement Uji coba terbatas Data efektivitas penerapan P2BMT Proses belajar mengajar

1) Pedoman observasi 2) Tes awal dan akhir Keterlaksanaan dan hambatan dalam menerapkan P2BMT Proses belajar mengajar Pedoman observasi

Respon guru dan siswa terhadap P2BMT

Guru dan siswa 1) Pedoman wawancara 2) Angket Uji coba skala

luas (implementasi) Data efektivitas penerapan P2BMT Proses belajar mengajar (implementasi P2BMT)

1) Pedoman observasi 2) Tes awal dan akhir

Keunggulan dan hambatan dalam mengimplementasikan P2BMT Proses belajar mengajar (implementasi P2BMT) Pedoman observasi

Tanggapan guru dan siswa terhadap P2BMT

Guru dan siswa 1) Pedoman wawancara 2) Angket


(34)

D. Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian dan pengembangan terdiri atas data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa: 1) karakteristik P2BMT; 2) keunggulan-keunggulan dan kendala dalam mengimplementasikan P2BMT; dan 3) tanggapan guru dan siswa terhadap P2BMT. Data kuantitatif berupa skor tes pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa.

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif interpretatif. Sementara itu, data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial. Persentase gain ternormalisasi setiap siswa pada masing-masing kelompok dihitung dengan rumus:

% g = (Spost– Spre)/(Smax– Spre) x 100

Keterangan: % g = persentase gain ternormalisasi, Spost = skor tes akhir, Spre = skor

tes awal, dan Smax = skor maksimum

Rumus di atas merupakan modifikasi dari rumus yang diturunkan oleh Hake (dalam Savinainem & Scott, 2002). Selanjutnya, kriteria peningkatan atau perolehan pemahaman konsep keterampilan berpikir kritis siswa ditunjukkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Kriteria Peningkatan atau Perolehan Pemahaman Konsep Keterampilan

Berpikir Kritis Siswa (Hake, dalam Savinainem & Scott, 2002)

No. % g Kategori

1. 0 – 30 Rendah

2. 31– 70 Sedang

3. 71 – 100 Tinggi

Analisis data kuantitatif pada tahap uji coba terbatas dilakukan sebagai berikut. Jika skor tes awal dan skor tes akhir berdistribusi normal, maka uji beda rerata dilakukan dengan menggunakan uji t (untuk dependent mean). Sebaliknya, jika


(35)

I Wayan Redhana, 2009

skor tes awal dan skor tes akhir berdistribusi tidak normal, maka uji beda rerata dilakukan dengan uji Wilcoxon signed-rank.

Analisis data kuantitatif pada tahap uji coba skala luas dilakukan sebagai berikut. Jika % g pada masing-masing kelompok (kontrol dan eksperimen) berdistribusi normal dan varians kedua kelompok homogen, maka uji beda % g dilakukan dengan menggunakan uji t (untuk independent mean). Sebaliknya, jika %

g pada masing-masing kelompok berdistribusi tidak normal dan/atau varians kedua

kelompok tidak homogen, maka uji beda % g dilakukan dengan uji Mann Whitney. Semua uji ini menggunakan SPSS versi 16 pada taraf signifikansi 5%.


(36)

BAB V PEMBAHASAN

Dari hasil-hasil penelitian di atas tampak bahwa P2BMT efektif meningkatkan pemahaman konsep siswa untuk keseluruhan konsep. Masalah

open-ended dalam P2BMT dapat memotivasi siswa untuk mempelajari buku-buku dan

mengumpulkan informasi dari sumber-sumber yang lain. Sementara itu, pertanyaan konseptual berfungsi untuk menggali atau memunculkan gagasan atau ide-ide siswa berkaitan dengan konsep-konsep esensial yang dipelajari. Terakhir, pertanyaan Socratik berfungsi untuk mengklarifikasi dan mengelaborasi pemahaman siswa terhadap konsep-konsep esensial yang dipelajari. Siswa akan dapat mengkonstruksi makna dan menghubungkan ide-idenya atau konsep-konsep baru yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya. Melalui implementasi P2BMT siswa memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan awalnya (prior knowledge), mengelaborasi dan menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari dalam konteks dunia nyata atau mirip dengan dunia nyata (simulasi). Siswa tidak hanya menguasai apa yang mereka telah pelajari, tetapi juga mereka dapat menggunakannya sesuai dengan apa yang mereka telah pelajari. Temuan-temuan ini sejalan dengan temuan-temuan yang telah dilaporkan sebelumnya (Duch et al., 2001; Akınoğlu & Tandoğan, 2007).

Di sisi lain, P2BMT dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa pada sebagian konsep, sedangkan pada sebagian konsep yang lain tidak mengalami peningkatan pemahaman konsep siswa. Hal ini disebabkan oleh beberapa konsep, baik pada topik termokimia maupun pada topik laju reaksi mengandung jumlah butir


(37)

soal yang terbatas, satu sampai tiga butir soal. Hal ini mengakibatkan skor yang dicapai oleh seorang siswa pada suatu konsep mempunyai nilai dikotomi, bukan kontinum. Misalnya untuk konsep yang terdiri atas satu butir soal berbentuk obyektif, maka skor yang dicapai oleh seorang siswa untuk konsep tersebut adalah satu (bila jawaban siswa benar) atau nol (bila jawaban siswa salah). Kalaupun skor ini dirata-ratakan per butir soal, maka nilainya juga satu atau nol. Hal yang sama juga berlaku untuk konsep yang terdiri atas dua butir soal berbentuk obyektif, sehingga skor yang dicapai seorang siswa adalah nol, satu, atau dua. Akibatnya, distribusi dari skor-skor ini cenderung tidak normal. Di samping itu, standar deviasinya cukup besar. Dengan demikian, pengolahan data menggunakan statistik non parametrik. Pada pengolahan data menggunakan statistik non parametrik, uji beda menggunakan uji Mann Whitney U. Prinsip dari uji beda ini menggunakan median, bukan mean (rerata). Penghitungan menggunakan median ini tidak didasarkan atas skor sesungguhnya, melainkan didasarkan atas rangking atau urutan. Sementara uji beda pada statistik parametrik menggunakan mean (rerata), yang merupakan rerata dari skor sesungguhnya (Minium et al., 1993).

Walaupun pemahaman konsep siswa tidak mengalami peningkatan pada sebagian konsep, perbedaan % g yang kecil antara kelompok kontrol dan eksperimen untuk suatu konsep berakumulasi dengan perbedaan % g dari konsep yang lain sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan yang cukup besar dari % g antara kelompok kontrol dan eksperimen untuk keseluruhan konsep. Akibatnya, pemahaman konsep siswa untuk keseluruhan konsep berbeda secara signifikan antara kelompok kontrol dan eksperimen.


(38)

Selanjutnya, P2BMT efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis jika ditinjau dari keseluruhan indikator. Hal ini disebabkan oleh P2BMT mengandung tiga kompoten utama, yaitu masalah open-ended, pertanyaan konseptual, dan pertanyaan Socratik. Pengajuan masalah open-ended pada awal pembelajaran akan membangkitkan keingintahuan siswa dan memotivasinya untuk belajar. Berkaitan dengan hal ini Fogarty (1997) mengungkapkan bahwa masalah open-ended,

ill-structured, dan kontekstual dapat meningkatkan keingintahuan dan memotivasi siswa

belajar materi atau pengetahuan baru yang digunakan untuk memecahkan masalah. Tanpa menguasai materi dengan baik mustahil siswa akan dapat memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, siswa harus mengumpulkan informasi yang relevan dari sumber-sumber yang kredibel. Dalam mengumpulkan informasi ini, siswa dipandu dengan pertanyaan konseptual. Pertanyaan ini menanyakan tentang konsep-konsep esensial yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari dan juga dengan masalah yang sedang dipecahkan. Dalam pembelajaran berbasis masalah yang umum, sebelum siswa mengumpulkan informasi, siswa merumuskan isu-isu belajar (White, 1996; Gijselaers, 1996; Boud & Felleti, dalam Duch et al., 2001). Sementara itu, Fogarty (1997) dan Tan (2003) mengidentikkan pembuatan isu-isu belajar ini dengan what we Need to know dalam tabel KND. Namun, dalam P2BMT isu-isu belajar tersebut sesungguhnya adalah pertanyaan konseptual yang sudah disediakan dalam lembar kerja yang dihadapi oleh siswa. Dengan demikian, pertanyaan konseptual yang diajukan kepada siswa merupakan salah satu dari unsur bimbingan (unsur bimbingan pertama) yang disediakan oleh P2BMT.

Melalui pertanyaan konseptual siswa dibimbing mempelajari konsep-konsep esensial yang berkaitan dengan masalah yang dipecahkan. Fungsi utama dari


(39)

pertanyaan konseptual ini adalah untuk menggali ide-ide siswa yang berkaitan dengan konsep-konsep esensial. Dengan demikian, pemahaman siswa akan dapat ditingkatkan. Efektivitas penggunaan pertanyaan konseptual dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep kimia di SMA telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Redhana et al. (2000) dan Maryam et al. (2001), misalnya, menggunakan modul bertanya untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa. Modul bertanya ini sesungguhnya berisi pertanyaan-pertanyaan konseptual yang berkaitan dengan konsep-konsep kimia.

Ide-ide siswa yang muncul dari pertanyaan konseptual, selanjutnya, dikembangkan dengan pertanyaan Socratik. Pertanyaan Socratik juga dapat digunakan untuk menggali ide-ide tambahan dari siswa yang tidak muncul ketika digali melalui pertanyaan konseptual. Pemilihan jenis pertanyaan Socratik sangat tergantung pada respon atau ide-ide siswa yang muncul ketika pertanyaan konseptual diajukan. Dengan kata lain, jenis pertanyaan Socratik yang mana digunakan untuk menyelidiki pendapat siswa tidak dapat ditentukan sejak awal sebelum ada respon dari siswa berkaitan dengan pertanyaan konseptual. Pertanyaan Socratik merupakan unsur bimbingan yang lain (unsur bimbingan kedua) dalam P2BMT. Dengan demikian, P2BMT merupakan suatu program pembelajaran inkuiri terbimbing

Kenyataan menunjukkan bahwa pertanyaan Socratik dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Melalui pertanyaan Socratik, ide-ide siswa akan diuji dan diklarifikasi. Siswa juga diminta menunjukkan alasan, asumsi, bukti, dan implikasi dari suatu pendapat. Hal ini beralasan karena pertanyaan Socratik meliputi: (a) pertanyaan yang meminta klarifikasi, (b) pertanyaan yang menyelidiki asumsi, (c) pertanyaan yang menyelidiki alasan atau bukti, (d) pertanyaan yang meminta


(40)

pendapat, (e) pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat, dan (f) pertanyaan tentang pertanyaan (Paul & Binker, 1990). Masih menurut Paul & Binker (1990), pertanyaan Socratik dapat: (1) meningkatkan isu-isu dasar; (2) menyelidiki secara mendalam; (3) membantu siswa menemukan struktur pikirannya; (4) membantu siswa mengembangkan sensitivitas terhadap klarifikasi, akurasi, dan relevansi; (5) membantu siswa agar sampai pada pertimbangan melalui penalaran sendiri; (6) dan membantu siswa menganalisis klaim, bukti, kesimpulan, isu, asumsi, implikasi, konsep, dan pendapat.

Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui implementasi P2BMT terjadi sebagai akibat dari efek kumulatif ketiga komponen yang menyusun P2BMT tersebut, yaitu masalah open-ended, pertanyaan konseptual, dan pertanyaan Socratik. Ketiga komponen ini merupakan satu kesatuan, di mana masing-masing komponen saling memperkuat satu sama lain dalam memberi efek pada peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa. Artinya, peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa tidak disebabkan oleh salah satu komponen, tetapi merupakan kontribusi dari ketiganya. Efektivitas P2BMT dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa seperti diuraikan di atas sejalan dengan temuan-temuan sebelumnya yang telah dilaporkan oleh beberapa penulis (Cisneros, 2002; Seddigi & Overton, 2003; Sellnow & Ahlfeldt, 2005; Yalcin et al., 2006; Barak et al., 2007; Akinoğlu & Tandoğan, 2007). Di samping itu, pembelajaran berbasis masalah juga dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa/mahasiswa (Redhana & Kartowasono, 2006; Redhana & Simamora, 2007).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa P2BMT dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa pada sebagian besar indikator. Sementara itu, pada


(41)

sebagian kecil indikator yang lain tidak mengalami peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa. Alasan yang telah diuraikan di atas untuk menjelaskan tidak terjadinya peningkatan pemahaman konsep siswa pada sebagian konsep juga berlaku di sini, yaitu indikator ini mengandung jumlah butir soal yang sedikit.

Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perolehan keterampilan berpikir kritis siswa meningkat dari topik termokimia ke topik laju reaksi. Hal ini disebabkan oleh ketika siswa berhadapan dengan suatu program pembelajaran yang baru pada topik termokimia, dalam hal ini P2BMT, mereka memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan program pembelajaran tersebut. Saat siswa mengikuti program pembelajaran yang sama pada topik laju reaksi, siswa telah terbiasa atau berpengalaman dengan P2BMT, sehingga perolehan keterampilan berpikir kritis siswa pada topik laju reaksi lebih tinggi daripada perolehan keterampilan berpikir kritis pada topik termokimia.

Dalam hal pengaruh P2BMT terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa berdasarkan peringkat sekolah diperoleh bahwa P2BMT efektif diterapkan di sekolah dengan peringkat sedang dan rendah, tetapi kurang efektif diterapkan di sekolah dengan peringkat tinggi. Atau dengan kata lain, P2BMT dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa yang rerata kemampuan akademiknya sedang dan rendah, tetapi kurang efektif bagi siswa yang rerata kemampuan akademiknya tinggi. Hal ini disebabkan oleh siswa yang rerata kemampuan akademiknya sedang dan rendah banyak memperoleh keterampilan berpikir, termasuk di dalamnya keterampilan berpikir kritis, dari proses pembelajaran di kelas. Artinya, keterampilan berpikir kritis siswa sangat tergantung pada strategi pembelajaran yang diterapkan kepada mereka. Siswa yang memperoleh kesempatan


(42)

berlatih menggunakan keterampilan berpikir kritis melalui bimbingan guru selama pembelajaran akan memiliki keterampilan berpikir kritis lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak memperoleh kesempatan berlatih menggunakan keteramplan berpikir. P2BMT adalah program pembelajaran yang mengkondisikan pembelajaran sehingga siswa memperoleh kesempatan berlatih menggunakan sejumlah keterampilan berpikir tingkat tinggi, khususnya keterampilan berpikir kritis, melalui proses pemecahan masalah open-ended. Dengan bimbingan guru menggunakan pertanyaan konseptual dan pertanyaan Socratik selama proses pemecahan masalah jelas bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang rerata kemampuan akademiknya sedang dan rendah pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada siswa yang rerata kemampuan akademiknya sedang dan rendah pada kelompok kontrol.

Di lain pihak, siswa yang rerata kemampuan akademiknya tinggi dapat belajar secara mandiri, walaupun dengan sedikit atau tanpa bimbingan. Mereka berusaha memperoleh keterampilan berpikir tidak saja di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Mereka aktif bertanya selama pembelajaran, bahkan sampai di luar jam pelajaran. Mereka juga aktif mencari sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Akibatnya, P2BMT yang diterapkan kepada mereka tidak ada bedanya dengan pembelajaran reguler yang mereka ikuti.

Walaupun P2BMT kurang efektif diterapkan di sekolah dengan peringkat tinggi, namun P2BMT efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa untuk keseluruhan sekolah. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa ini, umumnya, dikontribusi oleh sekolah dengan peringkat sedang dan rendah. Dengan demikian,


(43)

P2BMT dapat menjadi sebuah program pembelajaran inovatif yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis (White, dalam Kelly & Finlayson, 2007).

Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa perolehan atau peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa maksimal tergolong sedang untuk semua peringkat sekolah pada kelompok eksperimen dan sekolah dengan peringkat tinggi pada kelompok kontrol. Hal ini, umumnya, disebabkan oleh kebanyakan butir-butir soal pada tes keterampilan berpikir kritis termasuk agak sulit.

P2BMT dapat mendorong terjadinya belajar secara kolaboratif. Belajar kolaboratif ini memacu keterlibatan siswa dalam pembelajaran melalui proses dialog. Ini didasarkan atas ide bahwa belajar merupakan aktivitas sosial di mana siswa berbicara satu sama lain (dialog). Melalui proses dialog ini proses belajar akan berlangsung. Di samping itu, belajar kolaboratif didasarkan pada teori konstruktivis sosial tentang pembentukan pengetahuan. Siswa dalam kelompok secara bersama-sama memperkaya diri dengan pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi satu sama lain. Siswa mengajukan pendapat dan kemudian mendiskusikannya secara rasional untuk menghasilkan solusi terbaik. Hasil akhir dari belajar kolaboratif ini adalah terbentuknya masyarakat belajar (learning society), di mana siswa menjadi lebih mandiri, pandai mengemukakan pikirannya, dan matang secara sosial dan mental.

P2BMT dapat mengubah paradigma pembelajaran dari mengajar (teaching) ke belajar (learning). Kata learning dalam guided problem-based learning program mengindikasikan bahwa penekanan terletak pada belajar (learning) daripada mengajar (teaching). Esensi dari penekanan pada belajar ini adalah siswa terlibat secara aktif pada pembentukan pengetahuan, di mana guru hanya menyediakan


(44)

kondisi belajar yang memungkinkan siswa mengembangkan potensinya secara optimal. Akibat dari perubahan paradigma pembelajaran di atas, peranan guru begeser dari instruktur ke fasilitator. Sebagai fasilitator, guru menjadi model bagi siswa dan membimbing mereka yang mengalami kesulitan dan tetap menjaga suasana pembelajaran agar berlangsung kondusif dan produktif. Dalam berfungsi sebagai fasilitator, guru: (1) menyediakan akses informasi bagi siswa, khususnya informasi-informasi yang tidak diperoleh siswa dari sumber-sumber lain; (2) membimbing siswa agar mereka dapat mengelola tugas-tugas yang diberikan; (3) tetap menjaga minat dan motivasi belajar siswa; (4) mendorong siswa menggunakan proses-proses berpikir; (5) menyediakan balikan dan mengevaluasi hasil; (6) menciptakan lingkungan yang kondusif agar siswa dapat melakukan inkuiri secara konstruktif; dan (7) mengelola kelas untuk menjamin agar proses dan hasil belajar dapat dicapai dengan baik.

Empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, yaitu learning to

know, learning to do, learning to be, dan learning to live together sangat relevan

dengan P2BMT. Pada implementasi P2BMT, learning to know terjadi ketika siswa mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-hukum yang digali melalui pertanyaan konseptual. Sementara itu, pertanyaan Socratik akan membimbing siswa memahami konsep-konsep, prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-hukum tersebut secara lebih mendalam, yang selanjutnya digunakan untuk memecahkan masalah. Pada learning to do (belajar untuk berbuat), siswa berbuat melakukan penyelidikan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada learning to

be (belajar menjadi diri sendiri), siswa belajar secara mandiri dan bertangung jawab


(45)

pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang peserta didik yang mempunyai kesadaran bahwa mereka hidup dalam lingkungan sosial di mana mereka harus dapat hidup berdampingan, menghargai orang lain, dan toleran terhadap orang lain. Kondisi ini dapat dilihat ketika siswa belajar secara kolaboratif. Dalam kelompok, siswa memupuk kerjasama dengan siswa lain yang berbeda etnis, agama, budaya, latar belakang sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Salah satu cita-cita dari pendidikan adalah masyarakat terdidik

(educated-society). Hal ini dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang bermutu sehingga

dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (visioner), memiliki sikap percaya diri dan harga diri yang tinggi, sehingga dapat menjadi teladan yang dicita-citakan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan pembangunan (Sidi, 2003). P2BMT merupakan salah satu program pembelajaran yang dapat mencapai harapan di atas. Hal ini disebabkan oleh P2BMT mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa di mana keterampilan ini merupakan keterampilan hidup. Dengan keterampilan berpikir kritis, siswa akan mempunyai wawasan yang luas; berpikiran terbuka; mampu menghadapi tantangan; dan dapat mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi, dan pencucian otak (Lipman, 2003).


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abrami, P. C., Bernard, R. M., Borokhovski, E., Wade, A., Surkes., M. A., Tamin, R., & Zang, D. (2008). “Instructional Interventions Affecting Critical Thinking Skills and Disposition: A Stage 1 Meta-Analysis.” Review of

Educational Research. 78 (4), 1102-1134.

Adnyana, P. B., Citrawati, D. M., Sumardika, I N., & Kariasa, I N., (2003). Pengembangan Model Pembelajaran Sains (Biologi) pada Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mencapai Kompetensi dan Pembekalan Kecakapan Hidup (Life Skills).

Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Akinoğlu, O. & Tandoğan, R. Ö. (2007). “The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning.” Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 71-81.

Anderson, T., Howe, C., Soden, R., Halliday J., & Low, J. (2001). “Peer Interaction and the Learning of Critical Thinking Skills in Further Education Students.”

Instructional Science. 29, 1–32.

Anwar (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup. Alfabeta: Bandung. Arends, R. I. (2004). Learning to Teach. 5th Ed. Boston: McGraw Hill.

Barak, M, Ben-Chaim, D., & Zoller, U. (2007). Purposely Teaching for the

Promotion of Higher-Order Thinking Skills: A Case of Critical Thinking.

[Online]. Tersedia: http://www.springerlink.com/content. [14Januari 2008] Barrows, H. S., (1988). The Tutorial Process. Springfield: Southern Illinois

University School of Medicine.

Barrows. H. S. (1996). “Problem-Based Learning in Medicine Beyond: A Brief Overview.” New Direction for Teaching and Learning. 68, 3-12.

Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2007). Critical Thinking: A Student’s Introduction. 2nd Edition. Singapore: McGraw-Hill Company, Inc. Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2008). Critical Thinking: A


(1)

McMillan, J. H. & Schumacher, S. (2001). Research in Education: A Conceptual Introduction. 5th Ed. New York: Addision Wesley Longman, Inc.

McTighe, J. & Schollenberger, J. (1991). Why Teach Thinking? A Statement of Rational. In A. L. Costa (Eds). Developing Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Meyer, C. (1986). Teaching Students Think Critically. London: Jossey-Bass Publishers.

Minium, E. W., King, B., & Bear, G. (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Education. 3rd Edition. Toronto: John Wiley & Sons, Inc.

National Research Council (2000). Inquiry and the National Science Education Standards: A Guide for Teaching and Learning. [Online]. Tersedia: http://books.nap. edu/html/inquiry_addendum/notice.html. [9 Oktober 2001]. National Science Teachers Association (1998). Standard for Science Teacher

Preparation. Association for the Education of Teachers in Science.

Nickerson, R. S., Perkins, D. N., & Smith, E. E. (1985). The Teaching of Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Notar, C. R, Wilson, J. D., & Montgomery, M. K. (2005). A Distance Learning Model for Teaching Higher Order Thinking. [Online]. Tersedia: http://findarticles.com/p/articles. [8 September 2006].

Ommundsen, P., (2001). Problem-based Learning in Biology. [Online]. Tersedia: http://www.saltspring.com/capewest/pbl.htm. [3 Juli 2007].

Paraskevas, A. & Wickens, E. (2003). “Andragogy and the Socratic Method: The Adult Learner Perspective.” Journal of Hospitality, Leisure, Sport and Tourism Education. 2(2), 4-14.

Paul, R. & Binker, A. J. A. (1990). Socratic Questioning. Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique.

Paul, R. & Elder, L. (2005). A Guide for Educator to Critical Thinking Competency Standars. [Online]. Tersedia: http://www.criticalthinking.org. [25 Maret 2007].


(2)

Paul, R. (1990). Critical Thinking: What Every Person Needs to Survive in a Rapidly Changing World. Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique.

Paul, R., Binker, A. J. A., Martin, D., Vetrano, C., & Kreklau, H. (1989). Critical Thinking Handbook: 6th-9th Grades. Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique.

Penner, K. (1995). Teaching Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.web.ucs. ubc.ca/kpenner/-think.htm. [16 Oktober 1996].

Philips, V. & Bond, C. (2004). “Undergraduates’ Experiences of Critical Thinking.”

Higher Education Research & Development. 23(3), 277-294.

Polite, V. C. & Adams, A. H. (1996). Improving Critical Thinking Through Socratic Seminars. [Online]. Tersedia: http://www.temple.edu. [8 Juli 2007].

Ram, P., Ram, A., & Spragur, C. (2007). From Student Learner to Professional Learner: Training for Lifelong Learning through Online PBL. [Online]. Tersedia: http://gatech.academia.edu/ARam/Papers/21865/From-Student- Learner-To-Professional-Learner--Training-For-Lifelong-Learning-Through-On-Line-PBL. [13 Juni 2009]

Redhana, I W. & Kartowasono, N., (2006). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Minat, Pemahaman, dan Hasil Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Redhana, I W. & Kirna, I M. (2004). Identifikasi Miskonsepsi Siswa SMA Negeri di Kota Singaraja terhadap Konsep-konsep Kimia. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Redhana, I W. & Maharani, L. (2008). “Pertanyaan Socratik Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa.” Proseding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia IV. 9 Agustus 2008. ISBN: 978-979-184-22-0-4.

Redhana, I W. & Simamora, M. (2007). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan LKM untuk Meningkatkan Keterampilan pemecahan masalah Mahasiswa. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Redhana, I W. (2007). “Chemistry Teachers’ Views towards Teaching and Learning


(3)

International on Science Education. October 27st, 2007. ISBN: 979-25-0599-7. 498-504.

Redhana, I W., Suardana, I N. & Maryam, S. (2008). Model Perubahan Konseptual pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja (Studi Kasus pada Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 4 Singaraja). Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Redhana, I W., Suardana, I N., & Soma, I W. (2000). Penerapan Modul Bertanya-Diskusi-Informasi (MDI) dalam Meningkatkan Aktivitas dan Penguasaan Materi Kimia Siswa Sekolah Menengah Umum. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Robbins, S. (2005). The Path to Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://hbswk. hbs.edu/archive/4828.html. [8 September 2006].

Rodrigues, S. & Bell, B. (1995). “Chemically Speaking: A Description of Student -Teacher Talk During Chemistry Lessons Using and Building on Students’

Experiences.” International Journal of Science Education. 17(6), 797-809. Rutherford, F. J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York:

Oxford University Press.

Savery, J. R. & Duffy, T., M., (1991). “Problem-Based Learning: An Instructional

Model and Its Constructivist Framework.” Constructivist Learning

Environments. 135-148.

Savinainen, A. & Scott, P. (2002). “The Force Concept Inventory: A Tool for Monitoring Student Learning.” Physics Education. 39(1), 45-52.

Savoi, J. M. & Hughes, A. S., (1994). “Problem-Based Learning As Classroom

Solution.” Educational Leadership. Nopember. 54-57.

Schafersman, S.D. (1991). Introduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html. [25 September 2006]. Seddigi, Z. S. & Overton, T. L. (2003). “How Students Perceive Group Problem

Solving: the Case of a Non-Specialist Chemistry Class.” Chemistry Education: Research and Practice. 5(3), 387-395.

Sellnow, D. D. & Ahlfeldt, S. L. (2005). “Fostering Critical Thinking and Teamwork

Skills via Problem-based Learning (PBL) Approach to Public Speaking


(4)

Sharma, P. & Hannafin, M. (2004). “Scaffolding Critical Thinking in an Online

Course: An Exploratory Study.” Journal of Computing Research. 31(2),

181-208.

Sidi, I. D. (2003). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Simamora, S. & Redhana, I W. (2006). Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom. Laporan Penelitian Undiksha. Tidak Diterbitkan.

Splitter, L. J. (1991). “Critical Thinking: What, Why, When, and How.” Educational Philosophy and Teory. 23(1), 89-109.

Stanford University. (2003). “The Socratic Method: What it is and How to Use it in the Classroom.” Speaking of Teaching. 13(1), 1-4.

Stepien, B. (2005). Tutorial on Problem-Based Learning: Taxonomy of Socratic Questioning. [Online]. Tersedia: http://www-ed.fnal.gov/trc/tutorial/ taxonomy.html. [6 Juli 2007].

Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc.

Suastra, I W., Sadia, I W., Wirta., I M., Santyasa, I W., Lidyastuti, N. M. D., Reta, N., dan Sarini, K. (1998). Pengembangan Strategi Perubahan Konseptual (Conceptual Change) dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Laporan Penelitian DIKTI. Tidak Diterbitkan.

Sudria, I B., Redhana, I W., Kirna, I M., Suardana, I N., & Suja, I W. (2000). Analisis Pembelajaran Konsep-Konsep Dasar Kimia di SLTP dalam Pengembangan Pembelajaran Konsep-Konsep Dasar kimia di SLTP dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian IKIPN Singaraja. Tidak Diterbitkan. Sund, R. B. & Trowbridge, L. W. (1973). Teaching Science by Inquiry in The

Secondary School. 2nd Ed. Ohio: Bell & Howell Company.

Tan, O. S. (2003). Problem-based Learning Innovation. Singapore: Thomson Learning.

Tan, O. S. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-based Learning. In O. S. Tan (Eds). Enhanching Thinking through Problem-based Learning Approachs: International Perspectives. Singapore: Thomson Learning.


(5)

Tapper, J. (2004). “Student Perceptions of How Critical Thinking is Embedded in a

Degree Program.” Higher Education Research & Development. 23(2), 199-222.

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. L. (1974). Instructional, Development for Trainning Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University.

Thomas, A. & Thorne, G. (n.d.). Higher Order Thinking–It’s HOT. [Online]. Tersedia: http//:www.cdl.org/resource-library/articles/highorderthinking.php. [14 Januari 2008].

Tsapartis, G. & Zoller, U. (2003). “Evaluation of Higher vs. Lower-order Cognitive Skills-Type Examination in Chemistry: Implications for University in-class

Assessment and Examination.” U.Chem.Ed. 7, 50-57.

United Nations Development Programme. (2005). Human Develpment Report 2005. New York: United Nations Development Programme. [Online]. Tersedia: http://hdr.undp.org. [25 Maret 2006].

Utomo, T. & Ruijter, K. (1990) Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Verlinden, J. (2005). Critical Thinking and Everyday Argument. Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, Inc.

Walker, G. H., (1998). Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.utr.edu/ administration/walkerteachingresoursecenter/facultydevelopment/criticalthin king. [6 Juli 2007].

White, H. B. (1996). Dan Tries Problem-Based Learning: A Case. [Online]. Tersedia: http://www.udel.edu/pbl/dancase3.html. [3 Juli 2007].

Wilson, J. & Murdoch, K. (2004). What is Inquiry Learning? [Online]. Tersedia: http://ss.uno.edu//SS/TeachDevel/TeachMethods/InquiryMethod.html. [4 September 2007].

Winocur, S. L. (1985). Developing Lesson Plans with Cognitive Objectives. In A. L. Costa (Eds). Developing Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.


(6)

Yalcin, B. M., Karahan, T. F., Karadenisil, D., & Sahin, E. M. (2006). “Short-Term Effects of Problem-Based Learning Curriculum on Students’ Self-Directed

Skills Development.” Croatia Medical Journal. 47, 491-498.

Yang, Y. T. C., Newby, T. J., & Bill, R. L. (2005). “Using Socratic Questioning to

Promote Critical Thinking Skills Through Asynchronous Discussion Forums

in Distance Learning Environments.” American Journal of Distance

Education. 19(3), 163-181.

Yuzhi, W. (2003). “Using Problem-based Learning in Teaching Analytical

Chemistry.” The China Papers. July, 28-33.

Zohar, A. (1994). “The Effect of Biology Critical Thinking Project in The Development of Critical thinking.” Journal of Research in Science Teaching. 31(2), 163-196.

Zoller, U., Ben-Chaim, D., & Ron, S. (2000). “The Disposition toward Critical Thinking of High School and University Science Students: An Inter-Intra Isreaeli-Italian Study.” International Journal of Science Education. 22(6), 571-582.