Ekonomi Politik Media Studi Kasus Moneti

Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Ekonomi Politik Media

MONETISASI DALAM EKONOMI POLITIK KOMUNIKASI
(Studi Kasus Youtube)

oleh:
Nur Amala Saputri
15 / 388845 / PSP / 27142

PROGRAM S2 ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GAJAH MADA
2015

MONETISASI DALAM EKONOMI POLITIK KOMUNIKASI
(Studi Kasus Youtube)
Nur Amala Saputri
15 / 388845 / PSP / 27142


Abstraksi
Situs Youtube sebagai perusahaan kapital melakukan
praktik komersialisasi konten video. Dengan menciptakan
hubungan antara pengiklan dan audiens, situs Youtube
melakukan praktik komodifikasi audiens. Keunikan situs Youtube
sebagai mesin pencarian yang memposisikan audiens sebagai
produsen konten, sebagai imbalannya audiens akan diberikan
komisi melalui fitur monetisasi. Melalui perspektif ekonomi
politik komunikasi, artikel ini mencoba menganalisis relasi
kekuasaan dan praktik komodifikasi audiens dalam situs Youtube.
Kata Kunci: Youtube, Monetisasi, Komodifikasi, Audiens

Prolog
Pada tahun 2015 ini situs Youtube menduduki peringkat nomor tiga sebagai
situs pencarian online yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat dunia
(sumber data: alexa.com, diakses pada 18 Desember 2015). Hingga saat ini
Youtube mempunyai pengguna lebih dari satu miliar, yaitu hampir sepertiga dari
semua pengguna internet sebanyak 30.80%. Hal ini menunjukkan fakta bahwa
Youtube menjadi situs pencarian konten video yang paling banyak diminati oleh
masyarakat dunia.

Sebagai situs pencarian terbesar ketiga, pada tahun 2014 lalu tercatat jumlah
pengiklan di Youtube naik dan melebihi 60% tiap tahunnya. Sedangkan sebanyak
45% pengiklan ini menggunakan fitur TrueView langsung dari Google AdWords
(sumber data: support.google.com/adwords diakses 19 Desember 2015).
Kelebihan fitur TrueView adalah dapat mengontrol tempat iklan ditampilkan,
kapan iklan dijalankan, dan siapa yang melihatnya. Adanya fitur TrueView ini
menyediakan kesempatan monetisasi bagi para pengguna akun Youtube untuk
memperoleh pendapatan dari para pengiklan.
Melihat fenomena situs Youtube sebagai search engine peringkat ketiga
dunia, dan fakta baru menunjukkan Youtube menjadi moneymaker site bagi para

pengguna akun Youtube. Penulis melihat adanya praktik kapitalis layanan online
(situs Youtube) dengan pengguna layanan tersebut (pengguna akun Youtube).
Memang sekilas tampak situs pencarian Youtube ada untuk memenuhi kebutuhan
para pengguna untuk mencari konten video, namun sesungguhnya perilaku
penggunaan situs pencarian Youtube ini ditentukan oleh para pemilik modal dan
berdasarkan pada kepentingan mereka sendiri. Dalam esai ini, penulis akan
membongkar relasi kekuasaan dalam situs Youtube melalui perspektif ekonomi
politik komunikasi, dan praktik komodifikasi audiens yang dilakukan melalui
monetisasi iklan dalam situs Youtube. Sebagai dasar untuk diskusi ini, gagasan

monetisasi akan dibahas secara singkat pada bagian berikutnya. Kemudian,
ekonomi politik komunikasi dalam internet dianalisis. Selanjutnya menjelaskan
karakter situs Youtube. Berikutnya menganalisis komodifikasi audiens melalui
monetisasi dalam situs Youtube. Lalu penulis akan menarik kesimpulan pada
bagian terakhir.

Konsep Monetisasi AdSense Situs Online dan Hegemoni
Kemunculan

internet

telah

memberikan

perubahan

bagi

sistem


perekonomian dunia. Sistem kapitalime global menjadi berubah melalui cara-cara
komunikasi dan interaksi global yang serba virtual, yaitu melalui internet. Piliang
(2003) menyebutnya sebagai era cybernomic age. Internet memunculkan sebuah
pola transaksi baru yang berbasis online, salah satunya adalah melalui monetisasi.
Monetisasi berasal dari penggabungan bahasa Inggris-Indonesia dengan
dasar kata “money” yang berarti “uang” dan penambahan frasa “isasi” yang
berarti proses. Mulanya fitur monetisasi disediakan oleh perusahaan Google
dalam situs blogspot yang bertujuan untuk memberikan imbalan menulis bagi
para blogger. Bentuk monetisasi ini adalah melalui iklan atau Google AdSense
yang dipasang dalam halaman blogger. Kurniawan (2010) mendefinisikan Google
AdSense sebagai sebuah layanan dari perusahaan Google yang disediakan bagi
para pemilik akun atau pengguna situs online dapat memasangi ataupun dipasangi
iklan oleh para pengiklan di Google AdWords. Pemilik akun situs online akan
mendapatkan komisi yang diberikan oleh Google atas biaya pemasangan iklan
yang dibayarkan oleh para pengiklan Google AdWords. Sedangkan Google

AdWords merupakan layanan khusus jasa iklan (termasuk kerjasama, manajemen
iklan, dan lain sebagainya) bagi para pengiklan langsung ke perusahaan Google.
Namun, tidak semua blogger dapat mendapatkan pengiklan yang mau

memasang iklan di halaman blogger. Sehingga para blogger harus berlombalomba untuk menyajikan konten yang menarik viewers agar mendapatkan rating
yang bagus pula. Pengukuran pengunjung halaman blog ini diukur melalui
statistik atau trafik yang disediakan oleh Blogspot (Oroh, 2010:140). Tetapi
sebelumnya, para blogger harus melakukan SEO (Search Engine Optimalization)
untuk mempromosikan halaman blogspot mereka. Proses promosi ini menuntut
pada keaktifan blogger dan kerajinan blogger dalam meng-update halaman
mereka. Promosi blog ini ditujukan untuk memperkenalkan halaman blog mereka
kepada para pembaca atau viewers dan untuk meningkatkan trafik pengunjung.
Sehingga peningkatan pengunjung halaman tidak hanya bergantung pada konten
yang disajikan oleh blogger saja, tetapi juga bergantung pada keaktifan si blogger
untuk meng-update halaman mereka, dan keaktifan promosi halaman blog
mereka. Ketika blogger sudah mendapatkan trafik viewers yang bagus dan stabil,
maka Google akan memberikan space untuk para pengiklan. Para pengiklan pun
akan bersedia memasangkan iklan produk/jasa mereka ke halaman si blogger.
Fasilitas monetisasi iklan dalam blogspot ini menawarkan alternatif bagi
para blogger untuk mencari uang melalui internet. Berdasarkan pemikiran Oroh
(2010), monetisasi dapat diartikan sebagai proses konversi sesuatu yang mulanya
hanya mempunyai nilai guna menjadi sesuatu yang mempunyai nilai jual.
Singkatnya, monetisasi dimaknai sebagai “penguangan” iklan.
Kini sudah banyak sekali situs yang menyediakan fasilitas monetisasi

online ini. Sebagai perusahaan multinasional berbasis internet terbesar di dunia,
Google merupakan platform yang mendapatkan penghasilan sebanyak 91.40%
dari iklan (sumber data: alexa.com diakses 21 Desember 2015). Tidak hanya pada
situs blogspot saja, Google juga telah memberikan layanan monetisasi dalam situs
Youtube. Cara kerjanya pun hampir sama dengan monetisasi dalam blogspot,
yaitu bergantung pada jumlah viewers atau pengunjung yang berkunjung ke
halaman user.

Apabila kita telisik, fitur monetisasi ini memang sekilas tampak
menguntungkan bagi para user yang aktif dalam memproduksi konten di situs
jejaring sosial. Namun, sesungguhnya layanan monetisasi ada karena disediakan
oleh si pemilik website tersebut, yaitu perusahaan Google. Hal ini tentunya
menegaskan bahwa Google merupakan sebuah perusahaan kapital yang berdiri
demi mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui upaya membentuk pola
pikir menghasilkan uang melalui situs online bagi para user. Pola pikir inilah yang
kemudian disebut sebagai hegemoni atau penanaman ideologi oleh pemilik modal
kepada masyarakat. James Lull (1998) mengungkapkan bahwa hegemoni adalah
proses dimana ideologi dominan disampaikan, kesadaran dibentuk, dan kuasa
sosial dijalankan.
Menurut Bocock (2007:44) konsep kesadaran palsu mulanya dikemukakan

oleh Karl Marx yang ingin menjelaskan kenapa mayoritas dalam masyarakat
kapitalis menerima sistem sosial yang merugikan mereka. Kemudian teori ini
dikembangkan oleh Althusser (1971), bahwasanya ideologi sebagai sekumpulan
praktik yang terus berlangsung dan meresap yang dilakukan semua kelas.
Penekanan Althusser adalah pada kekuatan kelas mayoritas atas minoritas.
Kemudian Antonio Gramsci (1975) mencoba mengembangkan pemikiran ini
dengan memperkenalkan istilah hegemoni sebagai kesadaran palsu.
Dalam konteks analisis Gramsci, secara khusus hegemoni tidak dipaksakan
kepada individu, melainkan ditawarkan oleh penguasa sebagai otoritas dominan
melalui persetujuan semua kelompok. Perusahaan Google sebagai pemegang
kuasa tertinggi menawarkan layanan monetisasi kepada pengguna situs online,
tanpa adanya paksaan. Sebaliknya, para pemilik situs online bersukarela
menerima tawaran kelompok penguasa tersebut karena adanya kesepakatan
bersama, yang terlihat saling menguntungkan semua pihak. Yaitu dengan
memposisikan user atau pengguna sebagai sebuah calo atau broker iklan Google
AdSense. Seperti yang diungkapkan oleh Simon (1982), bahwa konsep hegemoni
Gramsci lebih mengacu pada hubungan kaum intelektual dan wilayah produksi.
Proses dominasi terbentuk atas dasar persetujuan suatu cara kepemimpinan politik
dan ideologis. Hegemoni merupakan kontrol sosial secara internal dengan


membentuk

keyakinan-keyakinan

kepada

norma

yang

berlaku

melalui

kepemimpinan moral.
Lebih lanjut Simon (1982:181-182) menjelaskan tiga poin pemikiran
Gramsci tentang perbedaan tingkatan momen kesadaran politik. Yang pertama
adalah momen economic-corporate level. Mengacu dalam analisis ini, pada
momen economic-corporate level; seorang pemakai situs blogspot merasa
memiliki kewajiban moral untuk saling mendukung dengan pengguna blogspot

lainnya, tetapi si pengguna blogspot belum memiliki perasaan solidaritas dengan
pengguna blogspot lainnya. Momen kedua adalah solidarity of interest. Pada
tahapan ini, para pengguna blogspot atau blogger sudah memiliki kesadaran
adanya persamaan kepentingan antara sesama blogger, namun kepentingan ini
masih murni dalam wilayah ekonomi. Pada momen ketiga, Gramsci menyebutnya
sebagai momen hegemoni,
[...] the most purely political phase, and marks the decisive passage from
the structure to the sphere of complex superstructures; it is the phase in
which previously germinated ideologies become ‘party’, come into
confrontation and conflict, until one of them, or at least a single
combination of them, tends to prevail, to gain the upper hand, to propagate
itself throughout society – bringing about not only a unison of economic and
political aims, but also intellectual and moral unity, posing all questions
around which the struggle rages not on a corporate but on a ‘universal’
plane, and thus creating the hegemony of a fundamental social group over a
series of subordinate groups. (Gramsci dalam Simon, 1982:182).
Pada tahapan momen ketiga ini, suatu kelompok menjadi sadar akan
pentingnya memiliki satu kepentingan yang berhubungan dengan kepentingankepentingan lainnya. Tidak hanya pada kepentingan ekonomi saja, tetapi juga
dapat menyertakan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain yang
tersubordinasi. Tahapan ini menunjukkan kontribusi intelektual manusia

digunakan sebagai kekuatan yang mengendalikan dan penata proses hegemoni,
dalam rangka menciptakan aspirasi dan potensi yang ada menjadi koheren. Dalam
tahapan ini, para blogger telah menyadari kepentingan antar sesama bloger,
sehingga terjadi hubungan dialektis berdasarkan pengalaman dan intelektual
mereka, dan pada saat bersamaan menanamkan kesadaran teoritis kepada mereka.
Tindakan atau perilaku blogger ini dilakukan secara berulang-ulang dan
terus menerus, karena situs layanan blogspot telah menanamkan nilai-nilai atau

paham melalui imbalan monetisasi yang dapat menguntungkan blogger. Dan hal
ini menjadi sebuah kesepakatan bersama dan dianggap menjadi sebuah kewajaran.
Pada tahapan ini McQuails (2000:61) menyebutnya sebagai “false consciousness”, di mana kelas dominan (pemilik modal) yang berkuasa akan menguasai
pesan dalam media, akibatnya pesan dibuat seakan “hadir” begitu saja.
Dalam ranah kapitalis, McQuails (2000) lebih berfokus pada hubungan
antar struktur ekonomi & dinamika industri media, dan konten ideologi media.
Pemaparan McQuails ini merujuk pada kelas dominan yang berkuasa mengontrol
pesan dalam media. Sehingga pihak yang paling diuntungkan adalah si pemilik
perusahaan Google. Disamping keuntungan dari iklan yang berupa uang, tentunya
juga meningkatkan kredibilitas website itu sendiri, yaitu melalui jumlah user atau
pengguna yang semakin meningkat. Perolehan keuntungan ini sangatlah tidak
sebanding dengan keuntungan yang didapatkan oleh user. Karena mesin

penggerak yang memproduksi konten adalah para user, sedangkan Google hanya
sebagai situs penyedia layanan saja.

Ekonomi Politik dalam Internet
Durham & Kellner (2001:xvi) menyebutkan bahwa analisis hegemoni
menekankan berbagai macam fungsi lembaga sosial dan budaya beserta konteks
historis dan kekuatannya dalam reproduksi sosial. Dalam pendekatan ini
memerlukan kontekstualisasi sosial, ide, representasi, dan bentuk-bentuk budaya.
Konteks sosialnya adalah masyarakat, sedangkan lokus kajiannya befokus pada
kelompok-kelompok yang bersaing, adanya dominasi, siapa yang memanipulasi
demi mempromosikan tujuan dan kepentingan mereka. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh para akademisi Frankfurt pada tahun 1930-an. Pengikut
Mazhab Frankfurt ini mencoba mengkritisi konsep hegemoni dengan menganalisa
bentuk-bentuk baru dari kekuasaan korporasi dan negara selama waktu di mana
perusahaan-perusahaan raksasa memerintah ekonomi kapitalis dan kekuatan dari
negara berkembang secara signifikan yang pada waktu itu berkedok fasisme,
komunisme Rusia, dan kapitalisme. Temuan mereka menunjukkan secara rinci
bagaimana media dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang mempekerjakan
mereka untuk memajukan kepentingan dan dominasi mereka sendiri. Akademisi

Frankfurt ini menjadi ahli teori sosial pertama yang melihat pentingnya “industri
budaya” dalam reproduksi masyarakat kontemporer melalui budaya massa dan
komunikasi termasuk di dalamnya aspek ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
Kemudian, sekolah Frankfurt mengembangkan pendekatan kritis untuk studi
budaya dan komunikasi, dengan menggabungkan kritik ekonomi politik media,
analisis teks, dan studi penerimaan penonton dari efek sosial dan ideologis, dari
budaya massa dan komunikasi (Durham & Kellner, 2001:xvii). Mereka menciptakan istilah “industri budaya” untuk menandakan proses industrialisasi,
produksi budaya massa, dan komersial. Poin utamanya adalah pada proses
produksi massal oleh industri budaya yang berupa komodifikasi, standarisasi, dan
massifikasi.
Mosco (2009:2) mendefinisikan perspektif ekonomi politik sebagai studi
tentang hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang saling merupakan
produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Sebenarnya definisi Mosco ini
mengarahkan pemikiran ekonomi politik untuk memahami operasi kekuasaan,
yang ingin menjelaskan bagaimana orang mendapatkan apa yang mereka inginkan
bahkan ketika orang lain tidak ingin mereka untuk mendapatkannya. Pemahaman
konsep ekonomi politik Mosco ini didasarkan pada praktek sosial dan
berkembang dari waktu ke waktu yang kemudian berpengaruh pada sistem
ekonomi politik komunikasi.
“A more general and ambitious definition of political economy is the study
of control and survival in social life” (Mosco, 2009:3). Mosco juga menyebutkan
ekonomi politik merupakan studi tentang kontrol dan bertahan hidup dalam
kehidupan sosial. Kontrol yang dimaksudkan di sini adalah proses politik yang
membentuk hubungan dalam masyarakat, dan kelangsungan hidup terutama pada
aspek ekonomi yang menyangkut proses produksi dan reproduksi. Lebih lanjut,
Mosco menekankan adanya tiga pintu yang digunakan dalam memahami ekonomi
politik komunikasi, yaitu proses komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.
Philip O’Hara (2004:1) melihat bahwa dewasa ini globalisasi telah banyak
merubah kapitalisme dan memunculkan tren baru dalam ranah ekonomi politik.
Modernitas teknologi menjadi salah satu faktor penting yang mendasari
perubahan struktur dan fungsi ekonomi global. Hal ini kemudian berimbas pada

pertumbuhan dan perkembangan lembaga dan pemerintahan, lingkungan sosial,
budaya, dan etnis dalam ranah nasional menuju kearah global atau dunia
internasional. Tentu saja hal ini juga akan merubah sistem regulasi perekonomian
dunia.
Adanya modernitas teknologi ini ditandai dengan munculnya internet
sebagai sebuah media baru yang digunakan dalam proses komunikasi manusia.
Castells (2001:81) melihat bahwa kemunculan internet telah memberikan
kemudahan bagi manusia dalam mengatasi tujuan institusional, hambatan
birokrasi, dan menumbangkan nilai-nilai yang ditetapkan dalam proses
mengantarkan ke sebuah dunia baru. Media internet memberikan kebebasan akses
informasi yang lebih kondusif bahkan menjadi inovasi dalam berkompetisi
berbagi informasi bagi manusia. Namun, yang menjadi poin O’Hara (2004:3)
dalam hal ini adalah bagaimana internet kemudian menjadi sebuah jaringan global
yang terdiri dari jaringan komputer yang dibuat sedemikian rupa sebagai userfriendly dengan berbasis world wide web.
Kita melihat internet sebagai sebuah sistem komunikasi, dimana konteks
komunikasi tersebut telah memunculkan sebuah budaya yang disebut dengan
cyberculture (Fuchs, 2008:300). Cyberculture oleh Fuchs didefinisikan sebagai
sistem dialektis di mana aksi budaya dan struktur budaya online. Dalam sistem ini
terjadi proses produksi struktur dan praktik sosial yang menghasilkan ide-ide,
nilai-nilai, mempengaruhi, makna, dan rasa melalui bantuan jaringan teknologi
komputer yang memungkinkan untuk melampaui batas-batas ruang dan waktu
secara bersamaan. Penekanan Fuchs dalam konsep cyberculture ini adalah dengan
membedakan ekonomi virtual dan demokrasi digital. Fuchs melihat cyberculture
tidak berfokus pada permasalahan ekonomi (pasar) seperti; komoditas, atau
akumulasi dari uang dan kekuasaan. Melainkan pada praktik (aktivitas) online dan
struktur dalam kehidupan sehari-hari. Cyberculture memang mengkaji pada
kebebasan dalam internet yang sebenarnya dijajah oleh uang dan kekuasaan.
Gagasan Fuchs tersebut memang lebih mengkritik teori Mosco tentang
konsep ekonomi politik. Terutama dengan munculnya media baru yang disebut
dengan internet. “Christian Fuchs contends that some arguments of the Marxist
tradition are still valid while some are not” (Hofkirchner dalam Fuchs, 2008:ix).

Pemaparan tersebut menjelaskan pandangan Fuchs bahwa argumen Marxis
beberapa masih berlaku, dan beberapa tidak. Fuchs memisahkan aspek politis dan
ekonomi dalam internet. Yang mana aspek politik termasuk relasi kekuasaan dan
budaya terdapat pada internet. Sedangkan aspek ekonominya terdapat pada
teknologi yang mendukung internet.
Meski demikian, Mosco memperkuat argumennya dan menyatakan bahwa
“political economy has begun to make the transition from its established strength
in examining how power operates in older media to a variety of approaches to
new media, especially to the Internet” (Mosco, 2009:9). Berbeda dengan Fuchs,
Mosco justru melihat pertumbuhan internet yang semakin maju ini memberikan
banyak peluang bagi praktik komodifikasi. Hal ini dikarenakan sifat internet yang
sangat global dan kompleks. Sehingga banyak pemilik industri dan perusahaan
yang memanfaatkan media internet secara maksimal untuk memperluas peluang,
mengukur dan memantau, serta mengemas dan mengemas ulang. Para pemilik
industri dan perusahaan bahkan telah sadar dan mengimplementasikan internet
semaksimal mungkin sebagai sebuah ladang bisnis baru yang menjanjikan. Salah
satunya adalah perusahaan Google yang hingga pada akhir bulan Agustus 2015
lalu telah merajai perusahaan multimedia global berbasis internet. Dijelaskan
dalam artikel “Google Resmi Jadi Anak Perusahaan Alphabet” dalam Koran
Tempo, bahwa mulai tanggal 2 Oktober 2015 ini perusahaan Google telah resmi
menjadi anak perusahaan Alphabet.
Dalam kajian ekonomi politik media, Mosco menyebutkan teori ekonomi
politik media sebagai perspektif yang mengkaji ideologi media yang bersemayam
dalam kepemilikan media melalui relasi kekuasaan yang mempunyai kemampuan
untuk mengendalikan orang lain. Adanya relasi sosial tersebut kemudian
perspektif ekonomi politik komunikasi melihat munculnya bentuk pergeseran
kontrol sosial. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Mosco menyebutnya
sebagai “the study of control and survival in social life” (Mosco, 2009:3).
Dengan kata lain yang menjadi poin utama Mosco adalah bagaimana kemudian
perusahaan media seperti dalam kasus ini perusahaan Alphabet menjadi sebuah
institusi media sekaligus agen yang mengontrol dan mempunyai kekuasaan
tertinggi di masyarakat sosial. Lebih lanjut, Mosco menegaskan bahwa, pada

dasarnya proses komunikasi dan masyarakat saling dibentuk dan dibangun.
Sehingga dalam hal ini, sebagai agen yang mengontrol masyarakat, perusahaan
Alphabet juga melakukan proses konstruksi pesan yang kemudian di transmisikan
ke masyarakat.
Untuk memahami konsep ekonomi politik dalam pergeseran dari media
lama ke media baru, Mosco kembali ke pedoman dasar pemikiran ekonomi politik
yang cenderung untuk menggambarkan dan menganalisis sistem kapitalisme.
Termasuk di dalamnya sumber daya seperti pekerja, bahan baku, tanah, dan
informasi menjadi komoditas yang bernilai jual demi mendapatkan keuntungan
bagi mereka yang menanamkan modal (Mosco, 2009:120). Singkatnya, pemikiran
Mosco tentang ekonomi politik dewasa ini berangkat dari pemikiran tradisional,
dimana adanya kekuatan dominan yang melakukan proses eksploitasi dalam
masyarakat. Lebih lanjut, dalam pemikiran Mosco tersebut, ekonomi politik telah
mulai membuat transisi dari power (kekuatan) yang mengkaji bagaimana
kekuasaan yang telah beroperasi di media lama untuk kemudian berubah ke dalam
pendekatan media baru, terutama internet.

Situs Youtube dan Komersialisasi
YouTube adalah sebuah situs berbagi video di internet yang didirikan pada
tahun 2005 oleh Chad Hursley, Steve Chen, dan Jawed Karim. Mulanya Youtube
merupakan sebuah situs video kencan yang dijuluki HOTorNOT yang didanai
oleh eBay dan PayPal. Kemudian pada tahun 2006 perusahaan Google
mengakuisisi Youtube dan secara resmi telah menjadi anak perusahaan Google
(Heriwibowo, 2008:55). Alasan mengakuisisi situs Youtube ini adalah karena
perusahaan Google menyadari peluang situs Youtube dan keuntungan yang dapat
dihasilkan sangat banyak. Kini situs YouTube merupakan situs pencarian (search
engine) yang memudahkan miliaran orang untuk menemukan, menonton, dan
membagikan beragam video (sumber data: www.youtube.com/yt/about/id/ diakses
23 Desember 2015).
Sejak awal mula didirikan pada tahun 2006 situs Youtube menuai banyak
kontroversi dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan karakter situs Youtube yang
mudah dioperasikan, dan merupakan kombinasi yang langka (Heriwibowo,

2008:50). Situs Youtube mempunyai keunikan tersendiri, yaitu setiap orang dapat
melihat video tanpa harus mengunduh software atau mendaftar terlebih dahulu.
Bahkan semua konten tersedia, tergantung pada usernya yang kemudian akan
mencari konten yang ingin dilihat. Namun semenjak kemunculan Google+ yang
mulai diluncurkan pada tahun 2011, situs Youtube mulai membatasi kontenkonten sesuai dengan kebijakan privasi dan persyaratan layanan Youtube.
Karena sifatnya yang unik, situs Youtube juga menawarkan solusi bagi para
penontonnya, yaitu pada pengulangan video yang bisa diputar dan disaksikan
kapan saja. Seperti pada penayangan acara live dalam media Televisi, acara liveconcert, acara formal, dan lain sebagainya yang sifatnya hanya bisa ditonton pada
waktu itu juga. Ketika kita tertinggal atau tidak bisa melihat acara tersebut, kita
bisa melihatnya melalui situs Youtube. Syaratnya tentu konten acara tersebut juga
harus sudah diunggah ke dalam situs Youtube. Permasalahan yang mucul
kemudian

adalah

pada

pelanggaran

hak

cipta.

Heriwibowo

(2008:69)

menyebutkan bahwa setiap harinya sekitar ribuan orang mengunggah video ke
situs Youtube. Banyaknya jumlah video yang diunggah user ini tidak
memungkinkan bagi pihak Youtube untuk memeriksa setiap video yang diunggah
oleh user. Hal ini yang kemudian membuat situs Youtube mengeluarkan
kebijakan baru bagi para pengguna situs Youtube untuk segera melaporkan
pelanggaran hak cipta ketika menemukan konten video yang melanggar.
Berdasarkan stastistik alexa.com Youtube menjadi situs pencarian peringkat
ke-tiga di dunia (sumber data: alexa.com, diakses pada 18 Desember 2015).
Tercatat dalam statistik YouTube, bahwa YouTube punya lebih dari satu miliar
pengguna — hampir sepertiga dari semua pengguna internet — dan setiap hari
orang menonton ratusan juta jam video di YouTube dan menghasilkan miliaran
kali penayangan. Sebagai situs pencarian konten video, YouTube juga
menyediakan forum bagi orang-orang untuk saling berhubungan, memberikan
informasi, dan menginspirasi orang lain di seluruh dunia, serta bertindak sebagai
platform distribusi bagi pembuat konten asli dan pengiklan, baik yang besar
maupun kecil.
Ibarat buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, perusahaan Youtube juga
menyediakan fitur monetisasi bagi para penggunanya. Sebagai anak perusahaan

Google paling besar, tentunya Google tidak akan menyia-nyiakan kemampuan
dan peluang situs Youtube. Tercatat dalam statitistik situs Youtube, bahwa
“pendapatan mitra naik hingga 50% per tahun — dan kami telah melihat tingkat
pertumbuhan pendapatan mitra ini selama tiga tahun berturut-turut” (sumber data: 
www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html diakses 23 Desember 2015). Pada
tahun 2012-2015 ini jumlah pengiklan dalam situs Youtube naik hingga 50%.
Melalui fitur monetisasi, situs Youtube menayangkan iklan pada video
dengan menggunakan TrueView. Iklan yang ditayangkan ini berbentuk video.
Sehingga memudahkan para pemasang iklan agar terlibat dan terhubung dengan
konsumen melalui berbagai cara baru. Cara kerja layanan monetisasi dalam situs
Youtube ini hampir sama dengan situs blogspot seperti yang sudah dijelaskan
dalam sub bab sebelumnya. Bedanya adalah terletak pada bentuk konten yang
disajikan, di mana pada situs blogspot konten berbentuk artikel atau tulisan,
sedangkan pada situs Youtube berbentuk video. Pada situs Youtube tidak lagi
menggunakan trafik pengunjung untuk mengukur statistik viewers, karena sudah
tersedia langsung pada situs Youtube. Penempatan iklan dalam situs Youtube ini
ditempatkan pada setiap konten video yang dimonetisasi, iklan akan muncul
ketika video akan diputar (sumber data: www.youtube.com/account_monetization
diakses 23 Desember 2015).
Dalam perspektif ekonomi politik Mosco (2009:12) terutama pada fokus
khalayak atau audiens digunakan dalam memahami praktek pemasangan iklan
dalam media. Mosco mengaitkan dengan teori modern untuk membantu analisis
ekonomi politik menggunakan teori imperialisme budaya. Teori ini digunakan
untuk mengidentifikasi struktur dan praktik yang berfungsi sebagai kunci
kekuasaan perusahaan transnasional. Struktur dan praktik kuasa ini penting bagi
perusahaan transnasional, karena digunakan dalam mendistribusikan dan
mengendalikan korporasi mereka.
Situs Youtube sebagai anak perusahaan Google telah menerapkan sistem ini
dengan menggunakan fitur TrueView melalui Google AdWords. Dalam
penjelasan sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi Google AdWords yaitu
merupakan layanan khusus jasa iklan (termasuk kerjasama, manajemen iklan, dan
lain sebagainya) bagi para pengiklan langsung ke perusahaan Google. Praktik ini

dilakukan oleh perusahaan Youtube untuk meminimalisir pengeluaran biasa yang
dikeluarkan dalam rangka promosi melalui iklan komersil yang kemudian akan
menumbuhkan konsumerisme bagi audiens. Sehingga tidak heran jika statistik
situs Youtube menunjukkan bahwa sebanyak 100 merek ternama dalam tingkat
global telah menjalankan iklan TrueView sepanjang tahun lalu, dan 95%
pengiklan TrueView telah menjalankan kampanye di berbagai jenis layar (sumber
data: www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html diakses 23 Desember 2015).
Berkaitan

dengan

periklanan,

Mosco

juga

mengenalkan

konsep

komersialisasi sebagai dasar pendefinisan komodifikasi. Komersialisasi adalah
proses sempit yang secara khusus mengacu pada penciptaan hubungan antara
penonton dan pengiklan (2009:132). Dalam kasus ini tampak jelas adanya
komersialisasi yang dilakukan oleh situs Youtube melalui layanan monetisasi
dengan menggunakan fitur TrueView dan Google AdSense. Memang tujuan
layanan monetisasi ini adalah untuk memberikan imbalan bagi pengunggah
konten video dalam situs Youtube. Di sisi lain penayangan iklan dalam konten
video sangat merugikan para pengunjung ataupun penonton video, karena menyita
waktu pengunjung. Pengunjung diharuskan dan dipaksa menonton iklan paling
cepat selama 3-5 detik, kemudian baru bisa melewati iklan tersebut dan memutar
video.
Habermas mengungkapkan bahwa internet menjadi sebuah “public sphere”
baru dalam masyarakat. Definisi public sphere ini tidak merujuk pada ruang
publik yang berbentuk fisik, melainkan ruang publik yang tidak berbentuk fisik.
Public sphere adalah ranah kehidupan sosial kita di sesuatu yang mendekati opini
publik dapat dibentuk, di mana akses dijamin untuk semua warga negara”
(Habermas, 1989:102). Hal ini sejalan dengan pemikiran Mosco tentang konsep
komersialisasi ini yang sesungguhnya digunakan untuk menelaah regulasi
kepentingan publik, pelayanan, dan standar yang terkait dengan standar pasar
yang membangun regulasi pasar. Situs Youtube tentunya telah memperhitungkan
dalam segala aspek tentang layanan monetisasi melalui TrueView dan Google
AdWords ini. Sehingga situs Youtube dapat membentuk regulasi pasar yang
mengacu pada penekanan posisi pasar dan manajemen periklanan yang efektif
dengan memperhitungkan sisi profitabilitasnya.

Komodifikasi Audiens dalam Situs Youtube
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa perspektif ekonomi politik oleh Mosco
(2009) didefinisikan sebagai sebuah “study of control”. Kontrol yang
dimaksudkan adalah mengacu pada relasi organisasi internal dari individu dan
anggota kelompok seperti dalam pembahasan ini adalah industri ataupun
perusahaan

yang

berperan

sebagai

institusi

sosial

dalam

masyarakat.

Kelangsungan hidup industri ataupun perusahaan tersebut secara ekonomi
menyangkut pada proses produksi apa yang masyarakat perlu guna untuk bertahan
hidup. Termasuk di dalamnya upaya untuk bertahan hidup terhadap persaingan
dunia dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Terkait dengan proses produksi, Mosco (2009:127) menyebutkan istilah
komodifikasi. Penekanan istilah ini adalah pada persoalan transformasi nilai guna
menjadi nilai jual. Nilai jual yang dimaksud adalah nilai yang bisa dipertukarkan
berdasarkan penetapan harga pasar. Selanjutnya Mosco membagi komodifikasi ke
dalam tiga lingkup, yaitu; komodifikasi konten, komodifikasi pekerja, dan
komodifikasi audiens atau khalayak. Sesungguhnya kajian ekonomi politik
komunikasi mengkaji pentingnya struktur organisasi yang bertanggung jawab
dalam proses produksi, distribusi, dan pertukaran komoditas dan untuk pengaturan
struktur. Terutama berhubungan dengan pemerintah yang lingkupnya bersifat
makro. Ketika memasuki pada kajian analisis komoditas, perspektif ekonomi
politik cenderung berfokus pada tingkatan yang lebih rendah. Pada analisis ini
penulis akan lebih berfokus pada kajian komodifikasi audiens.
Berangkat dari konsep komersialisasi, Mosco menjelaskan komodifikasi
audiens berfokus pada penciptaan hubungan antara penonton dan pengiklan
(Mosco, 2009:132). Smythe melihat penciptaan hubungan antara penonton
dengan pengiklan ini bertujuan untuk membangun nilai-nilai konsumerisme bagi
audiens (Smythe dalam Durham & Kellner, 2001:198). Proses ini oleh Garnham
(1986) merujuk pada penggunaan media iklan untuk menyempurnakan proses
komodifikasi di seluruh perekonomian.
Pada tahun 1977, Dallas Smythe menerbitkan artikel Communications:
Blindspot of Western Marxism (Smythe 1977a), pendapatnya mengatakan bahwa
sejauh ini pandangan Marxisme tidak memberikan perhatian yang cukup pada

peran komunikasi dalam kapitalisme. Dalam artikel tersebut Smythe (1977)
memperdebatkan pentingnya peran media massa dalam proses produksi.
Menurutnya, media massa merupakan perusahaan media yang memproduksi
audiens dan mengantarkan mereka ke pengiklan (Mosco, 2009:137). Pandangan
Smythe ini memang sedikit terkesan agak berbeda dengan konsep komoditas,
karena fokus Smythe adalah pada klaim penonton sebagai komoditas utama dalam
media massa.
Mosco kemudian mencoba memadukan dan mengkonseptualisasikan
persperktif Smythe ini pada penggunaan media baru atau internet. Tidak hanya
memperluas praktik komodifikasi konten, media internet telah memperluas proses
komodifikasi dalam seluruh praktik komunikasi. Mosco (2009:137) menyebutkan
bahwa sebagai media baru, internet menawarkan kebebasan yang telah
dimanfaatkan oleh perusahaan digital untuk melakukan package and repackage
(pengemasan & pengemasan ulang) pelanggan dalam bentuk khusus yang
mencerminkan pembelian aktual dan karakteristik demografi mereka. Salah
satunya adalah perusahaan Google yang menerapkan praktik ini melalui situs
Youtube.
Keunikan situs Youtube di mana berbasis search engine, yang menjadikan
situs ini sangat memposisikan pengguna sebagai pelaku utama yang berkuasa
untuk mencari dan mengkonsumsi pesan sesuai yang mereka butuhkan. Dari
keunikan ini tentu sudah sangat menguntungkan bagi situs Youtube dalam proses
pemasangan iklan. Karena tidak lagi membutuhkan analisis pemasangan iklan
berdasarkan demografi konsumen. Sebaliknya, konsumen telah terhegemoni
untuk bersuka rela menunjukkan dan menampilkan identitas serta kebutuhan
mereka secara langsung. Ditambah lagi, perusahaan Google sudah mempunyai
layanan Google Adwords sebagai layanan jasa iklan bagi para pengiklan komersil.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mosco (2009:137), semua praktik yang dilakukan
oleh situs Youtube ini merupakan penyempurnaan utama dalam proses
komodifikasi audiens.
Pemrograman situs Youtube yang digunakan untuk menarik audiens; seperti
yang diungkapkan oleh Smythe (1977), yaitu ibarat melalui “makan siang gratis”
yang kemudian seakan-akan membujuk dan menarik pelanggan untuk “minum”

(Smythe dalam Mosco, 2009:136). Sebagaimana situs Youtube menawarkan
“makan siang gratis” ini dengan penyajian konten video yang bersifat gratis.
Namun audiens terdogma untuk “minum” yaitu ikut berpartisipasi membuat
konten video dalam situs Youtube. Sebagai imbalannya situs Youtube akan
memberikan komisi uang melalui fitur monetisasi iklan yang ditampilkan dalam
video yang diunggah oleh audiens.
Dari sudut pandang ini, situs Youtube menjadikan audiens atau lebih
tepatnya user (pengguna) sebagai pekerja sekaligus audiens menjadi produk
utama situs Youtube. Dalam hal ini Smythe (1977) setuju dengan pemikiran
Enzensberger (1974) bahwa “mind industry” ingin “sell the existing orde”
(menjual tatanan yang ada). Smythe (1994: 266-291) lebih memandang aspek
material dari komunikasi adalah audiens sebagai pekerja, yang dieksploitasi dan
dijual sebagai komoditas untuk pengiklan. Sedangkan Castells (2001:170) melihat
fenomena internet sebagai teknologi baru yang menawarkan ideologi kebebasan
dan menantang masyarakat untuk saing berkompetisi. Bagi para kapitalis tentunya
memandang internet sebagai medan yang diperebutkan untuk mencari
keuntungan, dengan memanfaatkan nilai-nlai kebebasan yang ditawarkan oleh
internet.

Kesimpulan
Adanya globalisasi media telah memberikan dampak yang luar biasa bagi
masyarakat maupun sistem regulasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Mosco
(2009) bahwa perspektif ekonomi politik berfokus pada relasi kontrol industri
kapitalis terkait dengan proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam aspek
ekonomi menunjukkan bahwa proses produksi sangat berpengaruh dalam
kelangsungan hidup sebuah industri kapital. Situs Youtube sebagai salah satu
perusahaan yang berbasis internet telah menerapkan praktik komodifikasi dengan
para pengiklan sebagai sumber penghasil keuntungan.
Berdasarkan perspektif Smythe (1977) menyebutkan bahwa penciptaan
hubungan antara media dengan audiens memunculkan adanya praktik
komodifikasi audiens. Sebagai perusahaan kapital, situs Youtube praktik
komodifikasi ini dengan menjadikan audiens sebagai pekerja dan produk utama.

Situs Youtube memanfaatkan nilai-nilai kebebasan dalam internet dengan
menjadikan para audiens (user) sebagai pembuat konten video. Audiens pun
dengan bersukarela akan mengunggah video ke dalam situs Youtube karena telah
terhegemoni oleh si pemilik situs. Sebagai imbalannya, audiens akan
mendapatkan komisi berupa uang melalui layanan monetisasi dalam situs
Youtube.
Adanya layanan monetisasi ini tentunya memberikan dampak positif
maupun negatif. Bagi audiens yang menggunakan layanan monetisasi tentunya
dapat menguntungkan, karena audiens dapat menghasilkan uang dari pemasangan
iklan-iklan dalam video mereka. Di sisi lain, bagi para audiens yang mengunjungi
situs Youtube hanya untuk menonton video dapat sangat merugikan, karena
penayangan iklan tersebut menyita waktu para pengunjung. Namun, tentunya
sebagai masyarakat modern kita harus bisa memperhatikan praktik-praktik ini.
Bahwa sesungguhnya terdapat pemain utama sebagai pemegang kuasa yang
bertugas untuk mengontrol dan mengendalikan semua praktik kapitalis ini. Pihak
inilah yang kemudian menjadi yang paling diuntungkan, yaitu situs Youtube.

Daftar Pustaka
Bocock, Robert. (2007). Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni.
Yogyakarta: Jalasutra.
Castells, Manuel. (2001). The Internet Galaxy: Reflection on the Internet,
Business, and Society. New York: Oxford University Press.
Durham, Meenakshi. G & Kellner, Douglas. M. (2001). Media and Cultural
Studies KeyWorks. Australia: Blackwell Publishing.
Enzensberger, Hans M. (1974). ‘The Consciousness Industry’ dalam The Political
Economy of Communication 2nd ed. Vincent Mosco, halaman:10. London:
SAGE Pub.
Erwin, Z. (2015). “Google Resmi Jadi Anak Perusahaan Alphabet”, dalam Tempo
edisi 3 Oktober 2015.
(http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/10/03/090706079/google-resmijadi-anak-perusahaan-alphabet diakses 22 Desember 2015).

Fuchs, Christian. (2008). Internet and Society: Social Theory in the Information
Age. New York: Routledge.
Fuchs, Christian. (2012). ‘Dallas Smythe Today - The Audience Commodity, the
Digital Labour Debate, Marxist Political Economy and Critical Theory.
Prolegomena to a Digital Labour Theory of Value’ dalam Jurnal TripleC
10(2): 692-740.
Garnham, Nicholas. (1986).

‘Contribution to a Political Economy of Mass-

Communication’ dalam Media and Cultural Studies KeyWorks ed. M. G.
Durham, & D. M. Kellner (2001), halaman: 201-229. Australia: Blackwell
Publishing.
Habermas, Jürgen. (1989). ‘Between Fact and Norms’, dalam Artikel “Internet
and Public Sphere: a Glimpse of YouTube” oleh Kasun Ubayasiri, halaman:
4.
Heriwibowo, Yudhi. (2008). YouTube. Yogyakarta: Penerbit B-first.
Kurniawan, Dedik. (2010). Kupas Tuntas Bisnis & Penghasilan Online. Jakarta:
PT Elex Media Kamputindo.
Lull, James. (1998). Media Komunikasi dan Kebudayaan. Suatu Pendekatan
Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis. (2000). Mass Communication Theory. New Delhi: SAGE
Publication.
Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication 2nd ed.
London: SAGE Pub.
O’Hara. P. A. (2004). Global Politic Economy and the Wealth of Nations:
Performance, Institutions, Problems, and Policies. London: Routledge.
Oroh, Fary. SJ. (2010). Membangun Bisnis Online Dengan Modal $2. Jakarta: PT
Elex Media Kamputindo.
Piliang, Yasraf. A. (2003). Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo:
Penerbit Tiga Serangkai.
Simon, Roger. (1982). Gramsci’s Political Thought: An Introduction. London:
Lawrence and Wishart.

Smythe, D. W. (1977). ‘On the Audience Commodity and its Work’ dalam Media
and Cultural Studies KeyWorks ed. M. G. Durham, & D. M. Kellner (2001),
halaman: 231-257. Australia: Blackwell Publishing.
Smythe, D. W. (1977). ‘”Communications: Blindspot of Western Marxism”,
Canadian Journal o/Political and Social Theory, 1 (3), Fall, 1-27’ dalam The
Political Economy of the Media Volume I ed Peter Golding & Graham
Murdock, halaman: 439-464. Cheltenham UK: Edward Elgai Publishing
Limited.
Smythe, Dallas W. (1991) ‘Letter to the author’, dalam The Political Economy of
Communication 2nd ed. Vincent Mosco. London: SAGE Pub.
“Bantuan Adswords” dalam support.google.com/adwords diakses 19 Desember
2015.
“google.com”, dalam http://www.alexa.com/siteinfo/google.com diakses 18
Desember 2015.
“Statistik Youtube”, dalam www.youtube.com/yt/press/id/statistics.html diakses 23
Desember 2015.
“Tentang Youtube”, dalam http://www.youtube.com/yt/about/id/ diakses 23
Desember 2015.
“The top 500 sites on the web”, dalam http://www.alexa.com/topsites diakses 18
Desember 2015.
“youtube.com”, dalam http://www.alexa.com/siteinfo/youtube.com diakses 18
Desember 2015.

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72