Penerapan Akad Musyarakah dalam Perbanka

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKAD MUSYARAKAH
DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN
SYARIAH DI INDONESIA

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas dalam Menempuh
Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam kelas D

Oleh:
Nanda Dwi Haryanto

E0014288

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
menyebutkan bahwa fungsi utama dari Perbankan Syariah adalah menghimpun
dan menyalurkan dana pada masyarakat. bentuk penghimpunan dana itu berupa
simpanan dan investasi, dan bentuk penyaluran dana berupa pembiayaan
berdaarkan prinsip syariah. Bentuk pembiayaan pada Perbankan Syariah dibagi
menjadi tiga berdasarkan prinsipnya yaitu jual beli, prinsip sewa, dan prinsip bagi
hasil.(Septian Riza Alfarisi, 2013: 1)
Pelaksanaan kegiatan usaha pada Bank Isla di Indonesia tunduk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan di Indonesia,
seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998. Namun, kegiatan usaha pada Bank Islam ini pun harus sesuai dengan
ketentuan syariah. Ketentuan-ketentuan akad dalam Hukum Islam yang telah
diuraikan di atas menjadi landasan dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bank
Islam.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan
kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Islam, baik Bank Umum Syariah
maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah dalam
menjalankan kegiatan usahanya diatur oleh Bank Indonesia melalui pasal 36
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan tersebut antara
lain sebagai berikut:

1. Penghimpunan dana
a. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
b. Tabungan berdasar prinsip wadi’ah atau mudharabah
c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah

2

2. Penyaluran dana
a. Prinsip jual beli
1) Murabahah
2) Ishtishna
3) Salam
b. Prinsip bagi hasil
1) Mudharabah
2) Musyarakah
c. Prinsip sewa menyewa
1) Ijarah
2) Ijarah munthahiya bittamlik
d. Prinsip pinjam meminjamberdasarkan akad qardh
3. Jasa pelayanan

a. Wakalah
b. Haealah
c. Kafalah
d. Rahn
Perbankan dengan

sistem bagi

hasil

dirancang

untuk terbinanya

kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara:
pemilik dana (shohibul amal) yang menyimpannya uang di bank selaku pengelola
dana (mudharib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bias berstatus
peminjam dana atau pengelola usaha. (mudharib). (Karnaen Perwataatmadja, dkk.
2005:147)
Priinsip bagi hasil dalam akad musyarakah dan mudharabah semula adalah

akad utama dalam pembiayaan dengan akad tersebut hanya menghasilkan bagian
kecil untuk perbankan. (Septian Riza Alfarisi, 2013: 1)
Musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha
untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan, sedangkan Mudharabah yaitu
pembiayaan seluruh kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu
terbatas sesuai dengan kesepakatan. (Karnaen Perwataatmadja, dkk. 2005: 150152)

3

Musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Kerjasama yang terjadi dalam musyarakah pada
hakikatnya dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dengan tujuan untuk
memperoleh suatu keuntungan. (Septian Riza Alfarisi, 2013: 1)
Berdasarkan penjelasan di atas, kelompok kami tertarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai akad musyarakah. Bagaimana implementasinya di
Indonesia itu sendiri

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan Konsep dan teori Musyarakah ?
2. Bagaimana penerapan Musyarakah di Perbankan Syariah di Indonesia ?

4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Teori Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak member kontriibusi dana berdasarkan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan aqad.
Dasar hukum musyarakah adalah sebuah hadis riwayat Abu Dawud dari
Abu Hurairah yang artinya: Rasulullah saw bwrsabda: Sesungguhnya Allah Azza
Wa Jalla berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat,
selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya.
Musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu (1) musyarakah pemilikan yang
terwujud karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat kepemilikan
satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua

orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata, dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan asset tersebut; dan (2) Musyarakah akad (kontrak)
terwujud dengan cara kesepakatan antara dua orang atau lebih yang setuju bahwa
tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat
berbagi keuntungan dan kerugian. (Zainudin Ali, 2010: 69)
Menurut Undang-Undang Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Akad
Musyarakah adalah Akad kerja sama diantara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian yang ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Menurut Muhammad Syafi’I Antonio pembiayaan musyarakah adalah akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimanamasing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Muhammad Syafi’i
Antonio, 2000: 9)

5

Menurut Jefri Khalil pembiayaan musyarakah adalah akad antara dua orang
atau lebih menyetorkan modal dan dengan keuntungan dibagi sesame mereka

menurut porsi yang disepakati. (Jafril Khalil, 2002: 50)
Musyarakah merupakan suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih
dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan
dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan
penyertaannya masing-masing. Jenis-jenis musyarakah antara lain:
1. Syirkah Mufawadha
a. Setoran dana harus sama
b. Keuntungan dan kerugian
c. Kerja dan tanggung jawab
d. Beban Hutang
2. Syirkhah Al-Inan
a. Setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana
b. Berpartisipasi dalam kerja
c. Berbagi keuntungan dan kerugian yang besar kecilnya telah disepakati
bersama
d. Semua ulama membolehkan jenis Musyarakah ini
3. Syirkhah A’Maal
Kerja sama dua pihak atau lebih yang masing-masing memiliki keahlian
yang sama
4. Syirkhah Wujuh

a. Yang dipertaruhkan dalam praktek ini adalah Reputasi dan Prestise
b. Membeli barang secara kredit dan dijual secara tunai
c. Keuntungan dan kerugiaan dibagi berdasarkan jaminan yang diberikan
kepada penyuplai
d. Karena tidak perlu modal, maka kontrak ini lazim disebut Syirkhah
Piutang
Rukun Musyarakah antara lain:
a. Pemilik dana (Syarik/Shahibuul Maal)
b. Pengusaha (Musyarik)

6

c. Proyek/kegiatan usaha (Masyru’)
d. Modal (Ra’sul Maal)
e. Nisbah bagi hasil (Nisbaturibhin)
f. Ijab Qobul (Sighat) (Anggota Komisi Yudisial, 2013: 88-89)
Selain rukun juga terdapat syarat pokok musyarakah, menurut Usmani
syarat tersebut adalah:
1. Syarat akad
2. Pembagian proporsi keuntungan

3. Penentuan proporsi keuntungan
4. Pembagian kerugian
5. Sifat modal
6. Manajemen musyarakah
7. Penghentian musyarakah
8. Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha. (Ascarya, 2011: 53)
B. Penerapan Musyarakah di Perbankan Syariah di Indonesia
Musyarakah yaitu pemilik modal yang mengadakan perjanjian untuk
menyertakan untuk menyertakan modalnya kepada suatu proyek. Masing-masing
pihak memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen proyek tersebut. Prinsip ini
juga dapat diterapkan ke dalam semua jenis pembiayaan. Perbedaannya dengan
mudharabah ialah pembiayaan yang dilakukan hanya untuk sebagian yang
merupakan penyertaan dengan campur tangan pengelola bank pada suatu usaha
atau proyek secara ad hoc, baik sementara maupun tetap. Untuk bank yang sehat
dan memiliki keuntungan mka keuntungan tersebut akan dibagi dalam sistem bagi
hasil, atau menurut porsi masing-masing pihak.
Bentuk-bentuk musyarakah dalam perbankan syariah antara lain sebagai
berikut:
1. Musyarakah permanen, dimana pihak bank merupakan partner usaha
bentuk ini merupakan partner usaha tetap dalam suatu proyek/usaha.

Bentuk ini merupakan alternative bagi investasi surat berharga atau
saham, yang dapat dijadikan salah satu portofolio investasi bank

7

2. Musyarakah digunakan untuk skim pembiayaan modal kerja. Bank
merupakan partner awal dari sebuah usaha atau proses produksi. Dalam
skim ini pihak bank akan menyediakan dana untuk membeli aset atau
alat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya
3. Musyarakah digunakan untuk jangka pendek. Misalnya pembiayaan
perdagangan, eksport, import atau keperluan khusus nasabah lainnya.
(Suhrawadi K. Lubis dan Farid Wajdi, 2012: 58)
Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada
suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih
dibagi antara bank sebagai penyandang dana (shohibul maal) dengan pengelola
usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumnya porsi bagi hasil yang
ditetapkan sesuai dengan prosentase kontribusi masing-masing. Pada akhir jangka
waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada pihak bank. Dalildalil yang menjadi landasan hukum syariah dalam pembiayaan musyarakah antara
lain sebagai berikut:
1. QS. Shad (38): 24 “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang

yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan amatlah sedikit mereka ini.”
2. HR. Abu Daud dari Abu Hurairah “Allah SWT berfirman, ‘Aku adalah
pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak
tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah
berkhianat, Aku keluar dari mereka’.”

8

Skema Musyarakah

Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/VI/2000 mengatur mengenai pembiayaan
musyarakah dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Ijab Kabul
Ijab Kabul yang dinyatakan oleh para pihak harus memerhatikan hal-hal
berikut ini:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak
b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak, dan
c. Akad dituangkan secara tertulis melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Subjek Hukum
Para pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memerhatikan halhal berikut ini:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap
mitra melaksanakan kerja sebagai wakil
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing telah dianggap telah diberi
wewenang

untuk

melakukan
9

aktivitas

musyarakah

dengan

memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja
e. Seorang

mitra

tidak

diizinkan

untuk

mencairkan

atau

menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3. Objek Akad
Objek akad pada musyarakah terdiri dari modal, kerja, keuntungan, dan
kerugian . Masing-masing ditentukan hal-hal berikut ini
a. Modal
1) Modal yang diberikan harus tunai, emas, perak, atau barang yang
nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk
aset harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati
oleh para mitra.
2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjam, meminjamkan
atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain,
kecuali atas dasar kesepakatan
3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,
bank (LKS) dapat meminta jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak daripada yang lainnya, dan dalam hal ini ia
boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil mitranya. Kedudukan masing-masing dalam
organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak
c. Keuntungan

10

1) Keuntungan

harus

dikuantifikassi

dengan

jelas

untuk

menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau ketika penghentian musyarakah
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional
atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang
ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra
3) Seorang mitra boleh mengusulkan, bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentasi itu diberikan
kepadanya
4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam
akad
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi diantara para mitra secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya operasional
Biaya

operasional dibebankan pada modal bersama. (Karnaen

Perwataatmadja, 2005: 148-152)
Hak dan kewajiban para pihak akibat terjadinya kegiatan pembiayaan
musyarakah di perbankan syariah:
Peraturan BAPEPAM No. IX.A.14 (Kep.430/BL/2012) tentang Akad-Akad
Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syari’ah menjelaskan bahwa Hak dan
Kewajiban pihak-pihak dalam Musyarakah adalah:
1. Wajib menyediakan modal sesuai dengan tujuan musyarakah, baik dalam
porsi yang sama atau tidak dengan pihak lainnya
2. Wajib menyediakan tenaga dalam bentuk partisipasi dalam kegiatan usaha
musyarakah, dalam hal satu atau lebih pihak tidak dapat berpartisipasi
dalam kegiatan usaha musyarakah, maka hal ini wajib disepakati dalam
musyarakah
3. Berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai dengan rasio/nisbah
yang disepakati dalam musyarakah atau proporsional

11

4. Wajib menanggung kerugian secara proporsional berdasarkan kontribusi
modal masing-masing pihak
5. Berhak mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu,
maka kelebihan dimaksud dapat diberikan kepada satu atau lebih pihak,
dan
6. Berhak meminta jaminan kepada pihak lain dalam musyarakah untuk
menghindari terjadinya penyimpangan.
Metode bagi hasil dan bagi resiko akibat terjadinya kemitraan pada
kegiatan pembiayaan Musyarakah
Secara Umum, keputusan fatwa DSN-MUI nomor 08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah menjelaskan dalam ketentuan mengenai obyek
syirkah terkait dengan keuntungan dan kerugian yakni :
1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan
perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika
penghentian musyarakah
2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar
seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang
ditetapkan bagi seorang mitra
3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah
tertentu, kelebihan atau prosesntase itu diberikan kepadanya
4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
5. Kerugian harus dibagi antara para mitra secara proporsional menurut
saham masing-masing dalam modal.
Kemudian dalam Peraturan BAPEPAM No. IX.A.14 (Kep.430/BL/2012)
tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syari’ah dijelaskan
juga bahwa pembagian keuntungan dan kerugian para mitra adalah sebagai
berikut:
1. keuntungan musyarakah selisih lebih dari kekayaan musyarakah setelah
dikurangi dengan modal musyarakah dan kewajiban kepada pihak lain
yang terikat dengan kegiatan musyarakah.

12

2. untuk

kepentingan

pembagian

keuntungan

secara

priodik,

maka

keuntungan musyarakah dihitung berdasarkan selisih lebih dari kekayaan
musyarakah akhir periode setelah dikurangi dengan modal musyarakah
awal priode dan kewajiban akhir priode kepada pihak lain yang terkait
dengan kegiatan musyarakah
3. seluruh keuntungan musyarakah harus dibagikan kepada para pihak secara
proporsional berdasarkan kontribusi modal atau sesuai nisbah yang
disepakati dan tidak diperkenankan menentukan jumlah nominal
keuntungan atau persentase tertentu dari modal bagi satu atau lebih pihak
pada awal kesepakatan
4. dalam hal terdapat satu atau lebih pihak yang memberikan kontribusi lebih
dalam pengelolaan, maka pihak tersebut dapat menerima bagi hasil
tambahan sesuai dengan kesepakatan.
5. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib dituangkan
secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah; dan
6. kerugian musyarakah harus dibagi di antara para pihak secara proporsional
berdasarkan kontribusi modal.
Sedangkan risiko dalam suatu akad dijelaskan pada pasal 42 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang menyatakan bahwa kewajiban memikul
kerugian yang tidak disebabkan kesalahan salah satu pihak dinyatakan sebagai
risiko. (Septian Riza Alfarisi, 2013: 11-13)
Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang
bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersamasama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan
seluruh bentuk sumbar daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa
dana, barang perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian, kepemilikan, peralatan,
atau intangible asset, kepercayaan atau reputasi dan barang-barang lainnya yang
dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk

13

kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu yang
menjadikan musyarakah sangat fleksibel.
Ketentuan umum musyarakah adalah semua modal disatukan untuk
dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik
modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh
pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek
musyarakah tidak boleh melakukan tindakan seperti:
1. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi
2. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik
modal lainnya
3. Memberi pinjaman kepada pihak lain
4. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan
oleh pihak lain
5. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila menarik
diri dari perserikatan, meninggal dunia, atau menjadi tidak cakap hukum
6. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek
harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal
7. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepakati untuk bank. (PKES, 2008: 37-39)
Manfaat musyarakah dalam pembiayaan sistim perbankan, di antaranya
sebagai berikut.
1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat
2.

Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada
nasabah

pendanaan

secara

tetap,

tetapi

disesuaikan

dengan

pendapatan /hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah
mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus
kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

14

4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan mengutungkan. Hal ini karena
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah / musyarakah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan
(nasabah) satu jumlah bunga berapa pun keuntungan yang dihasilkan
nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak member kontriibusi dana berdasarkan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan aqad. Musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu (1) musyarakah pemilikan
yang terwujud karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang berakibat
kepemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. (2) Musyarakah akad (kontrak)
terwujud dengan cara kesepakatan antara dua orang atau lebih.
Jenis-jenis musyarakah antara lain:
1. Syirkah Mufawadha
a. Setoran dana harus sama
b. Keuntungan dan kerugian
c. Kerja dan tanggung jawab
d. Beban Hutang
2. Syirkhah Al-Inan
a. Setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana
b. Berpartisipasi dalam kerja
c. Berbagi keuntungan dan kerugian yang besar kecilnya telah disepakati
bersama
d. Semua ulama membolehkan jenis Musyarakah ini
3. Syirkhah A’Maal
Kerja sama dua pihak atau lebih yang masing-masing memiliki keahlian
yang sama
4. Syirkhah Wujuh
a. Yang dipertaruhkan dalam praktek ini adalah Reputasi dan Prestise
b. Membeli barang secara kredit dan dijual secara tunai

16

c. Keuntungan dan kerugiaan dibagi berdasarkan jaminan yang diberikan
kepada penyuplai
d. Karena tidak perlu modal, maka kontrak ini lazim disebut Syirkhah
Piutang
Rukun Musyarakah antara lain:
a. Pemilik dana (Syarik/Shahibuul Maal)
b. Pengusaha (Musyarik)
c. Proyek/kegiatan usaha (Masyru’)
d. Modal (Ra’sul Maal)
e. Nisbah bagi hasil (Nisbaturibhin)
f. Ijab Qobul (Sighat)
Penerapan Musyarakah di Perbankan Syariah memiliki bentuk-bentuk
antara lain, Musyarakah permanen, Musyarakah digunakan untuk skim
pembiayaan modal, Musyarakah digunakan untuk jangka pendek. Fatwa DSN No.
08/DSN-MUI/VI/2000 mengatur tentang pembiayaan musyarakah. Transaksi
musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk
meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.

17

B. Saran
Bank Syariah mempunyai celah yang cukup baik untuk maju, apabila
kontrak seperti musyarakah menjadi produk utama dibandingkan dengan produk
jual beli. Alternatif solusi Bank Syariah dalam mengembangkan produk
musyarakah, yang intinya menanggung resiko. Alternatif tersebut antara lain:
1. Adanya lembaga penjamin yang memiliki kredibilitas dan amanah
dalam mem back-up usaha yang dijalankan dengan sistem musyarakah,
lembaga penjamin ini bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari terhadap usaha yang dijalankan.
2. Dalam menjalankan usaha, sebaiknya dilakukan secara bersama atau
kolektif. Jangan mempercayakan suatu usaha pada seseorang atau satu
pihak saja. Karena dengan kebersamaan, banyak manfaat yang diperoleh
darinya.
3. Usaha yang dijalankan harus memiliki prospek yang cukup baik. Bank
Syariah harus mempunyai sasaran dan target usaha yang jelas dan layak
untuk dikembangkan.
4. Mensyariahkan pola piker dan pola kerja masyarakat yang akan
bekerjasama dengan pihak Bank Syariah dalam menjalankan suatu
usaha.

18

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Ali, Zainuddin. 2010. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Anggota Komisi Yudisial. 2013. Proceeding: Pelatihan Tematik “Ekonomi
Syariah” Bagi Hakim Pengadilan Agama. Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia.
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Burhanuddin S. 2010. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Lubis, Suhrawadi K dan Farid Wajdi. 2012. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Perwataatmadja, Karnaen dan Gemala Dewi, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam
di Indonesia. Jakarta: Kencana.
JURNAL:
Alfarizi, Septian Riza. 2013. “Tinjauan Yuridis Prinsip Kemitraan Dalam
Kegiatan Pembiayaan Musyarakah Pada Perbankan Syariah di Indonesia”.
Jurnal Ilmiah. Mataram: Fakultas Hukum Universitas Mataram.

19