Hukum Pesisir di Indonesia id

1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

sebagai

negara

kepulauan

(archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola
dan


dimanfaatkan

sebesar-besarnya

bagi

kemakmuran

rakyat

Indonesia

sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A
mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas secara
geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia
dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km2

serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009), beserta semua ekosistem
laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-pulau kecil. Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki keanekaragaman habitat yang
sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
kelautan yang sangat besar,

yang terdiri atas sumberdaya alam dapat pulih

(renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak dapat pulih (non-renewable
resouces). Sumberdaya alam dapat pulih diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu

karang, lamun dan mangrove. Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi
minyak bumi, gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah,
bauksit serta bahan tambang lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang
sangat prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari.
Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem
yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang secara
permanen ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami
antara lain ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut
(seaweed), padang lamun (seagrass bads), pantai berpasir (sandy beach), pantai


2

berbatu (rocky beach), hutan mangrove (mangrove foresh), estuaria, laguna, delta
dan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang
pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan hal
yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah maka
keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan demikian,
penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-pulau kecil
terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh karena itu
konsep

kebijakan

pembangunan

pulau-pulau

kecil


di

Indonesia

yang

direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan
lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas
pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan
sumberdaya alam dan jasa -jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor
pendukung pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).
Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang
akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya.

Perubahan-perubahan

tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas
pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat
pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan

lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil.
Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman
baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti
pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan
(overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan

kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau
kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Kebijakan dan Strategi
Nasional pengelolaan pulau-pulau kecil dapat berfungsi sebagai referensi nasional
(national reference) atau pedoman bagi kegiatan lintas sektor baik pusat maupun
daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan pulau-pulau kecil, sehingga
kebijakan dan strategi hukum penetapan batas wilayah negara dan pengelolaan

3

pulau-pulau kecil perbatasan, sangat penting sehingga menyebabkan upaya
pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi optimal.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan
kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas

wilayah negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan
batas-batas wilayah negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan sumberdaya di
wilayah negara, dan hak–hak berdaulat.
Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan
di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam,
perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan wilayah
negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian
lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upayaupaya pengelolaan wilayah negara hendaknya memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di kawasan
perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan wilayah negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap
bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan
kawasan perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang
merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Pemerintahan Daerah menjadi sangat penting terkait
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi
daerah dalam mengelola pembangunan kawasan kepulauan perbatasan negara.
Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau keci di perbatasan negara harus
dilakukan


secara

komprehensif

yang

tidak

terlepas

dari

potensi

dan

karakteristiknya yang mencakup aspek sumberdaya alam (lingkungan hidup) baik
sumberdaya hayati maupun non hayati; aspek infrasutruktur yang meliputi
ekonomi, hukum, kelembagaan dan social budaya serta aspek geopolitik yaitu

pertahanan dan keamanan terutama terkait dengan fungsi pulau-pulau kecil di

4

perbatasan negara sebagai basis pertahanan negara dan lokasi acuan titik dasar
untuk mempertegas kedaulatan Indonesia pada wilayah tersebut. Di samping itu,
kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara perlu
memperhatikan aspek tata ruang untuk menghindari tumpang tindih dalam
pengelolaan dan konflik kepentingan, misalnya penentuan wilayah pulau kecil
sebagai daerah penangkapan, budidaya, wisata bahari, dan konservasi. Penentuan
alokasi ruang tersebut perlu dilengkapi dengan penyusunan rencana detail dan
pembagian zonasi untuk selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan rencana
pengelolaan, rencana bisnis dan rencana pertahanan keamanan.
1.2 Perumusan Masalah
Karakteristik wilayah pesisir dan laut yang kompleks, terjadi konflik
pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung, hal ini dapat
disebabkan

karena


laju

peningkatan

penduduk,

peningkatan

teknologi

mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rusak dan
berdampak negatif pada keberlanjutan

sumberdaya untuk

kesejahteraan

masyarakat Indonesia.
Permasalahan kemiskinan dan lingkungan hidup merupakan masalah yang
multidimensi yang membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh dari berbagai

aspek. Kemiskinan tidak hanya dilihat dari pendapatan penduduk saja, namun
mencakup kerentanan dan kerawanan penduduk untuk menjadi miskin, dan
keterbatasan

akses

penduduk

miskin

terhadap

kebijakan

publik

turut

mempengaruhi kondisi dan hak-hak dasar masyarakat.
Wilayah negara kepulauan Indonesia terdiri dari kesatuan kepulauan, pulau,

selat dan laut, jumlah pulau, nama pulau, batas laut dan batas darat. Permasalahan
pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki karakteristik yang khusus
disebabkan karena pulau kecil sangat rentan terhadap berbagai pengaruh ekternal
dan internal serta aktivitas pembangunan, keterbatasan sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia, sehingga pulau kecil terluar dengan beragam ekosistemnya
merupakan kawasan yang selalu berada dalam keadaan yang dinamis, dan penuh
dengan perubahan siklus waktu yang pendek. Dalam kondisi normal, dinamika

5

tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium), namun bila terjadi
kerusakan dampak negatifnya akan berpengaruh besar dan sangat kompleks
terhadap ekosistem wilayah sekitarnya.
Ancaman-ancaman dan tekanan yang sangat besar terhadap ekosistemnya
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan, yang akhirnya berpengaruh pada
kelangsungan fungsional ekosistem pulau-pulau kecil. Permasalahan yang
menjadi ancaman terhadap ekosistem pesisir adalah: pencemaran, degradasi
habitat dan sumberdaya alam, sedangkan kendala pembangunan adalah luasan
ukuran yang kecil dan terisolasi, tidak menguntungkan dalam hal administrasi,
usaha produksi, transportasi, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan
seperti air tawar, vegetasi, tanah, satwa liar yang terbatas sangat berpengaruh
dalam penentuan daya dukung untuk menopang kehidupan manusia yang
menghuni pulau serta kegiatan pembangunan. Selain beberapa karakteristik yang
menjadi kendala pembangunan adalah kelembagaan dan penegakan hukum,
sehingga sering terjadi konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang, hal ini
berdampak pada keuntungan sektoral.
Permasalahan di wilayah pesisir sangat kompleks sehingga menggambarkan
keadaan pesisir dalam keadaan “sakit” yang telah berlangsung terus menerus sejak
dahulu hingga saat ini seperti: tindakan penambangan terumbu karang, pasir,
penanggkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun, pencemaran
lingkungan dengan membuang limbah dari kegiatan rumah-tangga, pabrik,
pelabuhan laut, pertambangan, pemanfaatan ruang laut untuk reklamasi, kegiatan
budidaya perikanan, mutiara, rumput laut, serta pemanfaatan pulau-pulau kecil
untuk pariwisata dan lain-lain, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut berdampak
positif akan terjadi penurunan fungsi lingkungan dan konflik kepentingan antara
pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, sehinga apabila
kegiatan-kegiatan tersebut yang sudah berlangsung sejak dahulu kala telah
menjadi penyakit pesisir (coastal disease), dimana suatu keadaan dari lingkungan
pesisir yang menyebabkan tidak alamiah, disfungsi atau kesukaran terhadap
lingkungan yang dipengaruhi. Untuk menyembuhkan penyakit perlu kebijakan
dan program bersama pemerintah dan masayrakat. Semua tingkah laku yang

6

bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral, hak milik,
kekeluargaan, kerukunan, disiplin, lingkungan hidup, kemanusiaan, adat istiadat
dan hukum formal perlu untuk penanggulangannya secara komperehensif dan
dipertangung-jawabkan secara ilmiah adalah patologi pesisir (coastal pathology).
Dengan kemajuan teknologi, maka wilayah negara Indonesia tidak luput
dari masalah khusus yaitu yang terjadi di daerah perbatasan. Permasalah khusus
antara lain perubahan-perubahan tapal batas di daratan maupun titik koordinat di
laut yang mengakibatkan berkurangnya wilayah negara dan berdampak
bertambahnya wilayah negara lain yang berbatasan. Bertambah luasnya wilayah
laut Indonesia sebagai akibat penerapan Konsepsi Wawasan Nusantara sama
sekali tidak mengubah indentitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun,
batas-batas wilayah suatu negara tentunya harus jelas untuk menghindari
kemungkinan sengketa dengan negara-negara tetangga. Kejelasan batas-batas
wilayah mutlak kerena hanya di atas wilayah tersebut dapat berlakunya wewenang
suatu negara. Wewenang dan kedaulatan wilayah negara yang mencakup lautan
dan daratan perlu kejelasan batas negara untuk pengelolaannya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil sudah sangat memperihatinkan sehingga dapat disebut sebagai suatu
penyakit yang kronis karena tingginya kegiatan eksploitasi sumberdaya dan
pemanfaatannya yang berlangsung lama, dan terus menerus dilakukan untuk
berbagai kepentingan pemanfaatan pembangunan yang tidak memperhatikan
keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan laut,
pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain,
sehingga kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan
masalah pesisir (coastal problems) sehinga dapat menjadi penyakit pesisir
(coastal disease) dan perlu perhatian dan penangganan penanggulan (terapi)
secara khusus berdasarkan hasil penelitian (diagnosa).
Menurut beberapa penelitian (Clark 1996, Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay
and Alder 1999; Dahuri 2003) permasalahan umum yang menyebabkan coastal
disease/coastal problem di wilayah pesisir dan laut Indonesia adalah:

7

(1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat:
1) besarnya potensi sumberdaya, 2) terpusatnya mata pencaharian penduduk
kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, 3) meningkatnya jumlah
penduduk, 4) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, 5) meningkatnya
kepentingan dalam kawasan, 6) perubahan dan kompetisi teknologi, dan 7)
proses distribusi pasar. Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai
sumberdaya dan jasa dimaksud karena: 1) meningkatnya kepentingan, 2)
besarnya potensi dan produktivitas, dan 3) belum terintegrasi dan
implementasinya hukum dan peraturan pelaksanaan, 4) tidak diakui
berlakunya hukum adat.
(2) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan
(3) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan laut
(4) Perilaku manusia akibat: 1) ketidaktahuan, 2) rendahnya kesadaran, 3)
kemiskinan, dan 4) keserakahan.
(5) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu: 1) kegagalan hak kepemilikan, 2)
kegagalan kebijakan, dan 3) kegagalan informasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat alasan yang kuat tentang
pentingnya penelitian rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di Provinsi Sulawesi Utara, daerah perbatasan Negara Indonesia dan
Negara Filipina.
1.3 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10 negara
di wilayah laut, dengan demikian Indonesia mempunyai peran dalam politik luar
negeri/internasional untuk menentukan persepsi kewilayahan dalam konteks
negara maritim, sehingga kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang
adalah batas negara merupakan suatu kajian yang harus segera diselesaikan
melalui berbagai pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun
multilateral untuk mendapat dukungan masyarakat internasional terhadap batas
negara, demi kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan

8

sumberdaya, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, keamanan dan pertahanan,
serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.
Eksternal

Internal

RANCANG
BANGUN
HUKUM
YANG
SUDAH
ADA

RANCANG
BANGUN
HUKUM
YANG
RELEVAN

ANALISIS
PERELEVAN
SIAN

(Peraturan

(Peraturan
per UU
yang
berlaku)

per UU yang
dicitacitakan)

AHP

SWOT

DTAL

Gambar 1 Matriks kerangka berpikir
Coastal disease / Coastal conflict
1. Batas wilayah negara
2. Hak berdaulat di ZEE & Landas Kontinen
3. Hukum, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
4. Keterpencilan
5. Kesenjangan ekonomi
6. Transnational crimes , illegal fishing, illegal logging, illegal imigrant,
trafficking, terorims, people smuggling, narcotics, politic problem
7. Sarana dan prasarana terbatas
8. Pemanfaatan sumberdaya belum optimal
9. Pertahanan dan keamanan (security)

KEBIJAKAN TERPADU PENGELOLAAN PULAU –
PULAU KECIL TERLUAR DI PERBATASAN NEGARA

Masalah Hukum di
Pulau-Pulau Kecil
Terluar
(coastal disease)

9

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan
salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagian Timur yang
luasnya adalah 15.472,98 km2 terdiri dari beberapa pulau, diantaranya adalah:
Pulau Manado Tua, Pulau Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau
Mantehage, Pulau Bangka, Pulau Lembeh, Pulau Siau, Pulau Tagulandang, Pulau
Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu. Panjang garis pantai Sulawesi
Utara 1.837 kilometer dengan luas daratan sekitar 2.200 kilometer persegi.
Wilayah perairan laut memiliki 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan
kepulauan, yaitu: (1) Gugusan kepulauan Talaud yang letaknya paling utara
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Talaud, (2) Gugusan Sangir Besar
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sangihe, dan (3) Siau Tagulandang
dan Biaro (disingkat Sitaro) masuk dalam wilayah administratif Kepulauan Sitaro.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, maka Kabupaten Sangihe dan Talaud
merupakan satu kabupaten, kemudian sejak tanggal 10 April 2002, Pemerintah
menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara, maka terjadi pemekaran
dan pemisahan yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas wilayah
20.258,60 Km², dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas wilayah 27.061,16
Km2. Kabupaten Kepulauan Siau-Tagulandang-Biaro (SITARO) dengan luas
wilayah 275,96 Km². Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan
Talaud dan Kabupaten Kepulauan Sitaro merupakan tiga wilayah di Provinsi
Sulawesi Utara yang secara geografis dan administratif terletak di bagian utara
wilayah negara Indonesia, yang berbatasan langsung dengan negara Filipina dan
Malaysia.
Wilayah Provinsi Sulawesi Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh
angin muson. Pada bulan November sampai bulan April bertiup angin barat yang
menurunkan hujan. Sebaliknya angin tenggara yang bertiup dari bulan Mei sampai
Oktober mendatangkan musim kemarau. Curah hujan yang terjadi antara 20004000 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan 90-120 hari. Suhu udara rata-

10

rata adalah 25.2°C. Kelembaban udara tercatat 73,4 persen, dan suhu atau
temperatur dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut. Provinsi
Sulawesi Utara yang beribukota di Manado, terletak pada posisi 0°30 - 5° 35’
Lintang Utara dan 123° 30’ - 127°00’ bujur timur dengan batas wilayah sebagai
berikut :
(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina
(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
(3) Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan
(4) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku.
Berdasarkan hasil penelitian dari data sekunder maka di wilayah penelitian
perbatasan Indonesia dan Filipina, jumlah pulau terluar sebanyak 11 (sebelas)
pulau yaitu (1) Pulau Bangkit, (2) Pulau Manterawu (3) Pulau Makalehi (4) Pulau
Kawalusu (5) Pulau Kawio (6) Pulau Marore (7) Pulau Batubawaikang (8) Pulau
Miangas (9) Pulau Marampit (10) Pulau Intata (11) Kakorotan. Penelitian hanya
difokuskan pada dua pulau kecil terluar yang dinyatakan sebagai pulau yang
sangat srategis yaitu Pulau Miangas dengan koordinat 5° 34 2 LU, 126° 34 54
BT dan Pulau Marore koordinat 4° 44 14 LU, 125° 28 42 BT yang masuk
dalan wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten
Kepulauan Talaud.
Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas 11.863,58km2 yang
terdiri dari 105 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 26 pulau berpenghuni dan
79 pulau tidak berpenghuni, terdiri 14 kecamatan, 125 kampung dan 22 kelurahan,
yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dan tanah berbukit yang dikelilingi
oleh lautan. Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak diantara 02°04’13” sampai
04°44’22” Lintang Utara dan 125°9’28” sampai 125°56’57” Bujur Timur. Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah daerah perbatasan jang terdiri dari pulaupulau terbentang dari utara ke selatan dengan batas batasnya sebagai berikut :
(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina
(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan SITARO
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi

11

(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan Laut
Maluku
Wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas 27.061,16 km2 yang
terdiri dari 112 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 30 pulau berpenghuni dan
82 pulau tidak berpenghuni, terdiri 24 kecamatan, 195 kampung dan 26 kelurahan.
Kabupaten Kepulauan Talaud dikategorikan sebagai Daerah Kepulauan, dimana
terdapat 4 gugusan kepulauan yakni : Gugusan Pulau Nanusa (8 pulau), Gugusan
Pulau Karakelang (3 pulau), Gugusan Pulau Salibabu (3 pulau) dan Gugusan
Pulau Kabaruan (2 pulau).
Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud adalah daerah perbatasan, juga
disebut daerah Kepulauan karena terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari
utara ke selatan. Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud terletak antara 4°01'00"
Lintang Utara dan 126°40'00” Bujur Timur dengan batas-batasnya sebagai berikut
:
(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Republik Filipina
(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe
(3) Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik
(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Permasalahan nasional dan internasional pulau-pulau kecil di wilayah
perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina sebagai berikut:
(1) Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan
ditetapkan secara bersama antara kedua negara
(2) Berdampak positif terhadap hak berdaulat pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya di Zona Ekonomi Eklsklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK)
(3) Berpengaruh terhadap hukum, sosial, dan ekonomi dalam meningkatkan
kesejahteraan

masyarakat

lokal

sehingga

daerah

perbatasan

sangat

terpengaruh dengan kehidupan negara Filipina
(4) Keterpencilan perbatasan wilayah Indonesia di Provinsi Sulawesi Utara yaitu:
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, sangat

12

berdampak terhadap jaminan hukum, pertahanan dan keamanan negara
Indonesia
(5) Kesenjangan sosial ekonomi dengan negara tetangga semakin tajam
(6) Banyak terjadinya kegiatan transnational crimes, illegal fishing, illegal
logging, woman and child trades (trafficking), illegal imigrant, people
smuggling, peredaran narkotika, pintu masuk teroris, dan potensi konflik

sosial dan politik
(7) Sarana dan prasarana di pulau-pulau kecil terluar sangat terbatas, sehingga
terisolir
(8) Potensi ekonomi pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara belum
dimanfaatkan secara optimal.

1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah merancangbangun hukum dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara, dengan mempertimbangkan
keterpaduan pengelolaan pulau kecil di wilayah pesisir bagi keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya, kesejahteraan masyarakat dan pengakuan wilayah
negara Republik Indonesia. Keterpaduan mencakup aspek sumberdaya alam,
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan. Secara spesifik tujuan
penelitian ini adalah:
(1) Mengidentifikasi coastal problems/coastal disease di daerah perbatasan
negara untuk menyelesaikan problem yang sudah sejak dahulu dan hingga
saat ini berlangsung terus-menerus antara lain: pencurian ikan oleh nelayan
asing, jalur laut pelintasan kapal asing, perusakan dan pencemaran
lingkungan, perdagangan illegal antar negara, penyelundupan, pelintas batas
masyarakat lokal, termasuk kejahatan transnasional seperti jalur terorisme,
perdagangan senjata, perdagangan ikan di tengah laut, narkotika, woman
traficking dan lainnya

(2) Mengidentifikasi hukum internasional yang telah di ratifikasi dan hukum
nasional yang berlaku di wilayah pesisir dan laut sebagai upaya strategi dan

13

harmonisasi hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan
negara,
(3) Mengidentifikasi arah kebijakan penetapan kembali batas wilayah negara
(delimitasi) dan pulau perbatasan sebagai titik dasar (TD), serta titik referensi
(TR) pengukuran

untuk pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia serta Landas Kontinen, dalam upaya meningkatan
pendapatan negara dan daerah pada sektor perikanan serta serta sektor lainnya
untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(4) Merancangbangun hukum dan arahan kebijakan nasional maupun regional
untuk perencanaan, pemanfaatan, pengawasan. dan pengendalian pulau-pulau
kecil terluar di perbatasan negara.

1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di perbatasan negara antara lain adalah:
(1) Masukan penyusunan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, akan
efektif dan berkelanjutan jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh
negara yang bertetangga serta peningkatan pertahanan dan keamanan negara
terhadap hal-hal yang bersifat geopolitik dapat dibendung jika mengancam
bangsa dan negara Indonesia
(2) Penegakan hukum dalam pencapaian hasil optimal pembangunan kelautan dan
perikanan di Indonesia, terutama di wilayah perbatasan negara, untuk
peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
Indonesia
(3) Penetapan batas laut negara dan penentuan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
termasuk landas kontinen, untuk menjamin kepastian hukum wilayah
kedaulatan negara yang diakui secara Internasional dan kepastian hak
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil di perbatasan negara

14

(4) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dan pemerintah daerah dalam
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara.