Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

SEPSIS

2.1.1. Epidemiologi

Dalam salah satu studi pertama epidemiologi besar terhadap sepsis, yang
diterbitkan pada tahun 2001, Angus dkk, memperkirakan kejadian sepsis sebanyak
751.000 kasus (3,0 per 1.000 penduduk dan 2,26 per 100 pasien rumah sakit). Dalam
studi tersebut, lebih dari setengah pasien yang menerima perawatan di ICU dan
insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara substansial terhadap usia (mulai
dari 5,3 / 1.000 untuk usia 60 sampai 64 tahun menjadi 26,2 / 1.000 untuk usia ≥ 85
tahun). Secara keseluruhan, mortalitas yang terjadi adalah 26,6% dan peningkatan
substansial dalam kematian akibat sepsis dikaitkan dengan usia.2 Studi berikutnya
menunjukkan perkiraan yang konsisten yaitu 0,51-2,4 kasus per 1.000 penduduk.28,29
Dalam penelitian lain, para peneliti menguji hubungan antara umur dan sepsis dan
menunjukkan bahwa pada usia 65, risiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua
dari 65 tahun adalah 13,1 kali lebih tinggi d ibandingkan mereka yang lebih muda dari
65 tahun. Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total

kasus sepsis.30 Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode penelitian, yang
sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat. Sebuah
penelitian selanjutnya menggunakan data nasional di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa kejadian sepsis meningkat dari tahun 1979 (0,83 / 1,000) dengan tahun 2000
(2,4 / 1.000) tetapi ada sedikit penurunan angka kematian 27,8-17,9%.29 Insiden
sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah pasien
immunocompromised, dan meningkatnya tindakan invasive procedure, dan antibiotik

10
Universitas Sumatera Utara

yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar dolar dihabiskan
untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan dalam hal perawatan,
lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat tiap tahunnya. Dan terdapat
perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain (gambar 2.1).2

Gambar 2.1 Perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat dengan penyakit lain. (Dikutip dari Angus
DC dkk, Crit Care Med. 2001)

Pasien dengan keganasan yang terdiagnosis dengan sepsis, memiliki resiko

relatif peningkatan sampai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan mereka yang tidak
terkena kanker. Kanker pankreas memiliki risiko yang terkait tertinggi sepsis, diikuti
oleh multipel myeloma, leukemia, dan kanker paru-paru, sedangkan kanker saluran
cerna dan keganasan payudara berhubungan dengan kecenderungan yang jauh lebih
rendah untuk sepsis (Tabel 2.1).30

11
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1

2.1.2. Definisi
Definisi sepsis yang diambil dari konfrensi Internasional tentang Definisi Sepsis tahun
2001 (tabel 2.2).31

Infection

Sebuah proses patologis yang disebabkan invasi terhadap jaringan steril
atau cairan oleh mikroorganisme patogen atau yang berpotensi patogen.


Sepsis

Kejadian infeksi, yang terlihat atau sangat dicurigai, dengan respon
inflamasi sistemik, yang telah ditunjukkan oleh adanya beberapa tanda
infeksi

Severe sepsis

Sepsis yang diperberat dengan keberadaan disfungsi organ

Septic shock

Sepsis berat yang diperumit oleh kegagalan akut sirkulasi yang ditandai
dengan hipotensi arteri secara terus-menerus, meskipun volum
resusitasi cukup, dan sebab lainnya yang tidak dapar dijelaskan

(Diambil dari Jonathan M. Siner, MD Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and Pathogenesis PCCSU 2009)
(31)

12

Universitas Sumatera Utara

Di bawah ini akan dipaparkan defenisi penyakit yang berkaitan dengan sepsis menurut
jurnal dari Lancet tahun 2005 (tabel 2.3).32
Tabel 2.3. Defenisi Penyakit
Systemic
inflammatory
response syndrome

Dua atau lebih :






Suhu tubuh > 38.5°C atau < 36.0°C
Laju nadi > 90 kali per menit
Laju nafas > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mmHg atau
membutuhkan ventilasi mekanik




Jumlah sel darah putih > 12000/mm3 atau < 4000/mm3 atau
bentuk immature > 10%

Sepsis

Systemic inflammatory response syndrome dan ada infeksi (kultur
atau gram stain of blood, sputum, urin atau cairan tubuh yang
normalnya steril positif

terhadap mikroorganisme patogen ; atau

fokus infeksi diidentifikasi dengan penglihatan spt: ruptured bowel
dengan free air atau bowel contents didapati pada abdomen saat
pembedahaan, luka dengan purulent discharge)
Severe sepsis

Sepsis dengan minimal satu tanda dari hipoperfusi atau disfungsi

organ :






Areas of mottled skin
Capillary refilling time ≥ 3detik
Urin output < 0.5mL/kg dalam 1 jam atau renal replacement
therapy





Laktat > 2mmol/L
Perubahan kesadaran tiba-tiba atau electroencephalogram
tidak normal




Jumlah

trombosit

<

100000/mL

atau

disseminated

intravascular coagulation




Acute lung injury - acute respiratory distress syndrome

Cardiac disfunction ( echocardiography )

13
Universitas Sumatera Utara

Septic shock

Severe sepsis dan salah satu :


Systemic mean blood pressure < 60mmHg (< 80mmHg jika ada
hipertensi sebelumnya) setelah pemberian 20-30 mL/kg starch
pulmonary capillary

atau 40-60 mL/kg normal salin, atau
wedge pressure antara 12 dan 20 mmHg


Butuh dopamin > 5µg/kg per menit atau norepinephrine atau
epinephrine < 0.25µg/kg per menit untuk mempertahankan

mean blood pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada
hipertensi sebelumnya )

Refractory

septic

Butuh

dopamin > 15µg/kg per menit atau

norepinephrine

atau

epinephrine > 0.25µg/kg permenit untuk mempertahankan mean blood

shock

pressure diatas 60 mmHg ( 80 mmHg jika ada hipertensi sebelumnya )


(Tabel dikutip dari Annane dkk. The Lancet 2005)

2.1.3. Patofisiologi
2.1.3.1.

SIRS dan SEPSIS

SIRS merupakan kondisi yang menyebabkan disfungsi organ multipel dan
merupakan penyebab kematian tertinggi di unit perawatan intensif. Kejadian sepsis di
Amerika diperkirakan sekitar 500.000 kasus per tahun dengan angka kematian
sebesar 35 %. Sepsis terletak diurutan ke-13 penyebab utama kematian di Amerika
Serikat.33 Meskipun pemahaman tentang patofisiologi dari SIRS meningkat namun
angka kematian akibat SIRS belum menurun. Hal Ini mungkin diakibatkan oleh
semakin

meningkatnya

resistensi


terhadap

organisme,

pasien

yang

immunocompromised dan pasien usia tua dengan penyakit kronis. Infeksi merupakan
penyebab dari SIRS, yang didalamnya terdapat bakteri dan akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya sepsis. Bakteri yang teridentifikasi dapat berupa gramnegatif atau gram-positif, terutama Staphylococcus aureus dan enterococci.34
Endotoksin diproduksi oleh bakteri gram-negatif yang dapat memicu terjadinya
peradangan. Meskipun infeksi yang dianggap sebagai penyebab mendasar mayoritas
pasien dengan SIRS, organisme infektif sering tidak teridentifikasi juga dapat
menyebabkannya.33 Terdapat banyak kondisi klinis non-infeksi yang dapat
14
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan SIRS; termasuk pankreatitis, trauma multipel, luka bakar, aspirasi,
iskemia dan syok hemoragik. Dalam setiap kasus SIRS karena penyebab non-infeksi,
sepsis tampaknya berkaitan erat dengan kejadian respon inflamasi yang berlebih.
Respon inflamasi merupakan kaskade yang melibatkan komponel sel dan molekul
tubuh, dan banyak fungsinya yang tumpang tindih antar satu dan yang lainnya.
Terdapat regulasi dalam sistem ini, di samping adanya mediator pro-inflamasi, ada
juga yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Respon tubuh bisa meningkatkan atau
menurunkan regulasi sehingga toleransi dapat terjadi tergantung pada aktivasi
inflamasi sebelumnya. Masalah ini lebih rumit disebabkan adanya variasi genetik
dalam respon terhadap rangsangan pro-inflamasi. Oleh karena itu mungkin bukan
hanya sifat genetik yang memulai terjadinya cidera tetapi juga respon inflamasi dari
inang

yang

menentukan

hasil

akhirnya.

Biasanya

peradangan

lokal

dan

penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa keadaan aktivasi kaskade inflamasi
terjadi pada tingkat sistemik. Ini menimbulkan gambaran klinis SIRS.35 Biasanya
peradangan terjadi secara lokal dan penyembuhan terjadi, namun dalam beberapa
keadaan tertentu aktivasi kaskade inflamasi terjadi pada tingkat sistemik. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis SIRS. Tingkat peradangan sistemik yang ringan
mungkin akan bermanfaat bagi seorang individu yang memerangi penyakit. Namun,
ketika proses inflamasi di luar kendali dan tidak lagi menguntungkan. Terjadi
disregulasi proses inflamasi yang kemudian terjadi peradangan pada organ selain
organ pro-inflamasi yang mengarah untuk terjadinya MODS. Respon anti-inflamasi
dirancang untuk menurunkan regulasi peradangan dan mencegah efek merusak
lainnya. Hal ini juga dapat menjadi tidak terkendali yang menyebabkan kerentanan
terhadap terjadinya infeksi dan dapat menyebabkan the compensatory antiinflammatory response syndrome (CARS). Campuran aktivasi antara pro-inflamasi
dan anti-inflamasi dapat terjadi bersama-sama dan hal ini disebut the mixed
antagonist response syndrome (MARS). Hanya jika tubuh mampu mengembalikan
keseimbangan terhadap kekacauan imunologi ini. Dan pemulihan kemungkinan dapat
terjadi.36
Systemic inflammatory respon syndrome (SIRS), apapun penyebabnya
memiliki patofisiologi yang sama. Sindrom yang timbul pada SIRS merupakan
pertahanan hidup. Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap penyebab nonspesifik, sedangkan kaskade inflamasi adalah proses kompleks yang melibatkan
sistem imunologi seluler dan humoral, komplemen, dan kaskade sitokin.
15
Universitas Sumatera Utara

Bone meringkaskan interaksi komplek ini menjadi 3 tahap proses :


Tahap I : setelah terjadi cedera jaringan, sitokin lokal diproduksi yang
bertujuan untuk merangsang respon inflamasi sehingga mulai terjadi



perbaikan luka dan pengaktifan sistem endotelial retikular.
Tahap II : sejumlah kecil sitokin lokal dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk
memperbaiki respon lokal. Hal ini akan mengakibatkan rangsangan
terhadap Growth factor dan pengerahan makrofag serta trombosit. Fase
akut ini biasanya dapat terkendali dengan berkurangnya mediator
proinflamasi dengan pelepasan antagonis endogen. Tujuannya adalah



homeostatis.
Tahap III : jika homeostatis tidak tercapai, reaksi sistemik yang cukup
signifikan akan terjadi. Sitokin yang dilepas akan bersifat merusak dari
pada melindungi (proteksi). Konsekuensinya adalah pengaktifan
sejumlah kaskade humoral dan pengaktifan sistem endotelial retikular,
selanjutnya akan terjadi kehilangan integritas sirkulasi. Hal ini akan
mengakibatkan disfungsi organ.37

Gambar 2.2..Respon inflamasi terhadap sepsis (dikutip dari Russel JA

16
Universitas Sumatera Utara

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan yang bermakna,
masih tetap tidak dimengerti (Annane dkk. 2001). Utamanya, sepsis adalah hasil dari
interaksi antara mikroorganisme dan/atau produk mereka dan respon tuan rumah
akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon
tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi
organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang
menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan
kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah
respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi,
koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)38

Gambar 2.3. Respon prokoagulasi pada sepsis(41).TFPI : tissue factor pathway inhibitor, PAI-1: Plasminogen-activator inhibitor
1, t-PA:tissue plasminogen activator, EPCR:Endothelial protein C reseptor. (dikutip dari Russel JA)

17
Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2. Disfungsi mikrosirkulasi pada sepsis39
2.1.3.2.1. Penggunaan oksigen dan ATP
Disfungsi mitokondria selama sakit kritis telah diakui diketahui selama ini.
Disfungsi mitokondria yang disebabkan hipoksia pertama kali diidentifikasi oleh
Barcroft dkk. pada tahun 1945. Penelitian ini mengidentifikasi tiga penyebab hipoksia
yang menyebabkan disfungsi mitokondria yaitu, penurunan tekanan oksigen arteri
(hypoxic hypoxia), penurunan konsentrasi hemoglobin sistemik (anemia hypoxia), dan
disfungsi mikrovaskuler yangmenyebabkan hipoperfusi (stagnant hipoxia). Namun,
efek dari sepsis pada tingkat ATP selular tidak jelas. Hotchkiss dkk. menemukan
bahwa sepsis menghabiskan ATP di sel pada otot rangka, bukan dari kekurangan
oksigen melainkan karena kadar fosfat berenergi tinggi yang berkurang]. Sebaliknya,
studi tentang otot dan hati oleh Brealey dkk. tidak menunjukkan deplesi dari ATP di
sel. Yang paling penting, penyelidikan baru-baru ini jelas menunjukkan bahwa sepsis
merusak produksi dari ATP.

Gambar 2.4 Proses Glikolisis

18
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.2.2. Mikrovaskuler disfungsi vs cytopathic hypoxsia
Penelitian awal mengenai mendorong klinisi untuk mengusulkan bahwa
patofisiologi sepsis sebagai kunci untuk terjadinya disfungsi mikrovaskuler. Hal ini
pertama kali dijelaskan oleh Weil dkk. pada tahun 1971 yang menemukan perubahan
perfusi

secara

heterogen.

Ketidakseimbangan

perfusi

akan

mengakibatkan

penggunaan oksigen di perifer gagal. Pada gambaran elektron juga menunjukkan
terganggunya mikrosirkulasi pada pasien sepsis. Dengan menggunakan pendekatan
ini, Ince dkk. menemukan bahwa perfusi kapiler pada sepsis dapat mengambil
kombinasi dari lima bentuk (Tabel ). Fink dkk. melaporkan bahwa efek yang timbul
adalah kegagalan pengiriman oksigen pada sepsis yang menyebabkan disfungsi
mikrovaskuler bukan abnormalitas yang meyebabkan gangguan respirasi mitokondria
selama sepsis. Namun sebaliknya, aliran mungkin normal atau bahkan berlebih akan
tetapi kekacauan iintrinsik sel mempengaruhi metabolisme energi sel yang dapat
menghalangi penggunaan oksigen. Cacat ini disebut cytopathic hypoxia dan hal ini
didukung oleh pemeriksaan oksigen di tingkat jaringan dan pemeriksaan langsung
respirasi di tingkat sel dan mitokondria. Mekanisme yang menjelaskan cytopathic
hypoxia selama sepsis meliputi gangguan pengiriman piruvat , penghambatan enzim
yang terlibat dalam siklus Krebs dan rantai transpor elektron, aktivasi dari poli-(ADP)ribosylpolymerase (PARP) dan kegagalan pemeliharaan dari trans-mitochondrial
membrane proton-gradient dengan ATP sintase yang tidak terikat.

Tabel 2.4 Pola aliran mikrovaskular pada pasien sepsis

19
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.2.3. Disfungsi piruvat dehydrogenase
Pyruvate dehydrogenase (PDH) E1 adalah enzim katalitik multimeric pyruvate
dehydrogenase complex (PDC) yang bertanggung jawab untuk sintesis asetil - CoA
dari piruvat. PDH diaktivasi oleh insulin, asam phosphoenolpyruvic dan AMP dan
dihambat oleh ATP, NADH dan asetil - CoA. Inaktivasi PDC akan merusak produksi
dari ATP. Disfungsi PDC digambarkan dengan peningkatan produksi laktat meskipun
normal namun cenderung meningkat di aliran darah otot. Demikian pula dilaporkan
Kantrow dkk. pada tikus yang dibuat oleh sepsis, ditemukan konsumsi oksigen yang
menurun dan dikaitkan dengan produksi substrat ( glutamat , malat , suksinat ) untuk
siklus Krebs atau rantai transport elektron. Fokus tehadap PDH dan unsur-unsur siklus
Krebs telah berkurang telah beralih ke komponen rantai transpor elektron. Namun
seperti yang akan dibahas bawah, kelainan pada transpor elektron mungkin adaptif.
Hal ini membuat semakin diperlukannya untuk mengidentifikasi kerusakan yang
lainnya.

Gambar 2.5 Siklus asam sitrat

20
Universitas Sumatera Utara

2.3.1.2.3. Gangguan oksidatif fosforilasi
Gangguan produksi ATP dapat terjadi akibat disfungsi dalam salah satu dari
empat kompleks dari rantai transpor elektron. Hal ini membuat gradien proton
menciptakan potensi energi yang digunakan oleh ATP sintase untuk mengubah ADP
menjadi ATP. Siklus produksi dan konsumsi berlanjut asalkan glukosa tetap masuk ke
dalam sistem dan fungsi respirasi tidak terhambat.
Sitokrom C oksidase, kompleks IV rantai transpor elektron, terdiri dari subunit
13 yang berbeda, tiga di antaranya menempati tempat aktif di mana O-2 bergabung
dengan molekul 2 H+ untuk membentuk air. Reaksi ini juga membantu menghasilkan
potensi antarmembran listrik untuk membentuk ATP. Tempat aktif tersebut ditandai
dengan pusat dari rantai yang mengandung tembaga dan dua pusat heme (heme a,
a3) di mana molekul oksigen terikat. Karena perannya sebagai akseptor akhir elektron
dan rantai kompleks yang menggunakan oksigen, kompleks IV merupakan hal yang
sangat penting dalam rantai transport elektron. Studi dalam terhadap mencit sepsis
menunjukkan penghambatan non-kompetitif pembentukan sitokrom c. Pada waktu
tertentu, konten heme akan hilang dan terjadi kegagalan pembentukan subunit I.
Subunit aktif dikodekan oleh mtDNA. Penurunan dari subunit ini cenderung
menunjukkan kegagalan biogenesis dan disfungsi mitokondria yang ireversibel.
Telah diteliti bahwa sulit untuk memisahkan aktivitas Cof kompleks II dari
Kompleks III. Beberapa penyelidikan menunjukkan sepsis terkait disfungsi kompleks
II/ III. Brealey dkk. mempelajari transpor elektron kegiatan dengan menggunakan
model tikus sepsis. Mereka tidak dapat mengidentifikasi cacat di Komplek II/III baik di
hati atau otot rangka selama periode 72 jam. Namun, aktivitas Kompleks I dan
Kompleks IV di hati menurun dari waktu ke waktu. Pada akhir waktu hewan septik
tersebut, semua aktivitas kompleks protein tercatat jauh lebih rendah baik itu di hati
dan jaringan otot.
Fredriksson dkk. mempelajari disfungsi metabolik mitokondria pada pasien
sepsis di ICU yang membandingkan pasien sehat ini menjalani operasi elektif. Pada
pasien sepsis yang menderita MODS, mereka mengamati penurunan dua kali lipat
dalam semua aktivitas kompleks mitokondria dalam otot interkostal dan otot tungkai.
Penghambatan baik di Kompleks I atau Kompleks IV dapat meningkatkan
produksi reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oksida (NO). Produksi radikal bebas
ini meningkat seiring proses penuaan serta pada individu dengan imunitas yang
21
Universitas Sumatera Utara

kurang. Kedua hal ini dihubungkan dalam patogenesis sepsis ketika produksi berlebih
dapat memperberat mekanisme perlindungan endogen dan dapat merusak produksi
bioenergi mitokondria. Produksi ROS dan NO yang berlebihan juga dapat
menyebabkan apoptosis dari mitokondria.

Gambar 2.6 Rantai transport elektron

2.2.

SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN40

Untuk menurunkan angka kematian akibat sepsis berat dan syok sepsis,
kolaborasi dari the European Society of Intensive Care Medicine, the International
Sepsis Forum dan The Society of Critical Care Medicine mengeluarkan panduan yaitu
Surviving Campaign Guidelines (SSC) for management of Severe Sepsis and Septic
Shock.
Pada tahun 2005, SSC bersama dengan Institute for Health-care Improvement
(IHI) menyusun panduan pengelolaan pasien sepsis berat dan syok sepsis yaitu
Severe Sepsis Bundles yang terdiri dari dua bundle. Pertama, The Sepsis
Resusitation Bundle, resusitasi yang harus segera dimulai dan diselesaikan dalam 6
jam pertama sejak pasien didiagnosis sepsis berat atau syok sepsis. Kedua, The

22
Universitas Sumatera Utara

Sepsis Management Bundle, harus segera dimulai dan selesai dalam 24 jam pada
pasien dengan sepsis berat atau sepsis berat. Namun pada akhir tahun 2012,
Dellinger dkk. menerbitkan kembali pembaruan terhadap Surviving Campaign
Guidelines (SSC) yang terkahir di terbitkan pada tahun 2008.
Pedoman ini adalah praktek klinis yang merupakan revisi dari SSC tahun 2008
yang berisi tentang pengelolaan sepsis berat dan syok sepsis. Pedoman terbaru ini
didasarkan pada pencarian literatur yang baru yang kemudian dikumpulkan sampai
akhir musim gugur 2012.
Tabel 2.5.Surviving Sepsis Campaign Bundles 2012
Hal- hal yang harus dilakukan segera dan diselesaikan dalam 3 jam pertama sejak
diagnosis sepsis ditegakkan :
1. Pemeriksaan kadar laktat serum
2. Pemeriksaan kultur darah sebelum pemberian antibiotika
3. Pemberian antibiotik spektrum luas
4. Pemberian cairan 30cc/kgBB kristaloid untuk hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L

Hal- hal yang harus diselesaikan pada waktu jam ke-6 :
5. Pemberian vasopressor (untuk hipotensi yang tidak respon terhadap
resusitasi cairan) untuk menjaga tekana darah rerata (MAP) ≥ 65 mmHg
6. Pada kondisi hipootensi arterial yang menetap walaupun sudah dilakukan
resusitasi volum (syok sepsis) atau laktat awal ≥ 4 mmol/L (36 mg/dL)
-

Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)

-

Pengukuran tekan oksigen saturasi vena sentral (Scv02)

7. Pengukuran laktat jika laktat awal meningkat
Target dari resusitasi yang termasuk dalam pedoman adalah CVP > 8 m Hg, ScvO2 >
70%, dan laktat yang menuju nilai normal

23
Universitas Sumatera Utara

2.3 Laktat
2.3.1. Definisi

Laktat adalah senyawa kimia yang merupakan hasil proses glikolisis di dalam
sel. Kadar laktat dalam plasma merupakan hasil kesimbangan antara produksi dan
bersihan yang dipengaruhi beberapa faktor. Bila penyediaan oksigen tidak dapat
mencukupi pasokan oksigen seperti pada hipoksia dan syok, maka sel akan
melakukan mekanisme adaptasi untuk menghasilkan ATP sebagai sumber energi.
Pada kondisi tersebut laktat menjadi salah satu hasil metabolit perantara yang
berperan untuk kelangsungan metabolisme dalam sel. Hiperlaktatemia pada kondisi
sakit kritis dinilai sebagai penanda terjadinya metabolisme anaerob sel yang
mengalami stres akibat ketersediaan oksigen yang tidak adekuat. Laktat merupakan
penyebab utama terjadinya ketidakseimbangan asam basa dan 2/3 dari pasien kritis
yang mengalami asidosis metabolik disebabkan hiperlaktatemia.
Peningkatan laktat dapat digunakan untuk menilai ketidakseimbangan pasokan
dan kebutuhan oksigen, dimana intervensi yang tepat sesegera mungkin dapat
mengembalikan fungsi sel kembali normal asalkan kondisi mitokondria masih
utuh.41,42
2.3.2. Metabolisme laktat
Konsentrasi kadar laktat arteri tergantung dari keseimbangan antara produksi
dan konsumsi. Kadar normal laktat adalah < 18 mg/dL (2 mmol/L) dengan jumlah
produksi 1500 mmol/L per hari. Secara fisiologis laktat diproduksi oleh semua jaringan
tubuh, yang terbanyak adalah otot (25%), kulit (24%), otak (20%), usus halus (10%)
dan sel darah merah yang tidak memliliki mitokondria (20%). Kadar laktat sering
24
Universitas Sumatera Utara

digunakan sebagai parameter dari metabolisme kerja otot karena otot merupakan
organ yang paling besar pengaruhnya terhadap kadar laktat. Laktat dimetabolisme
oleh tubuh di hati dan ginjal.43
Laktat diproduksi di sitoplasma, merupakan hasil metabolisme dari piruvat yang
dikatalisasi oleh enzim laktat dehydrogenase (LDH) :
Piruvat + NADH + H+

LDH

Laktat + NAD+

Reaksi ini menghasilkan laktat dengan rasio laktat banding piruvat 10 kali lipat
dan 2 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat. Kadar laktat akan meningkat bila
pembentukan piruvat melebihi penggunaannya di mitokondria. Piruvat dibentuk
melalui proses glikolisis, sehingga kondisi apapun yang menyebabkan peningkatan
glikolosis akan meningkatkan kadar laktat. Piruvat akan dimetabolisme di mitokondria
melalui suatu reaksi oksidasi aerob oleh enzim piruvat dehydrogenase (PDH) dalam
siklus krebs :
Piruvat + CoA + NAD

PDH

Asetil-CoA + NADH + H + CO2

Reaksi tersebut menghasilkan 36 molekul ATP untuk tiap molekul piruvat.
Laktat yang dihasilkan melalui jalur piruvat akan mengalami proses transaminase
menjadi alanine atau proses karboksilasi menjadi oksaloasetat atau malat, atau
secara langsung digunakan oleh sel hepatosit periportal hati (60%) untuk
pembentukan glikogen dan glukosa melalui proses glikogenesis dan glukoneogenesis
atau siklus Cori.
Laktat dipakai oleh sel otot yang bekerja sebagai substrat perantara reaksi
oksidasi dalam jalur laktat (lactate shuttle). Sehingga laktat sekarang dianggap
sebagai substrat perantara metabolisme yang mengalami oksidasi saat kebutuhan

25
Universitas Sumatera Utara

energi tubuh meningkat atau sebagai substrat yang berperan penting dalam
glukoneogenesis. Laktat terbukti dapat berfungsi sebagai molekul penanda (signaling)
yang ikut mengatur fungsi selular dan sistemik.44,45,46,47
Teori jalur laktat (lactate shuttle) menunjukkan proses pembentukan senyawa
laktat secara aerobik. Proses ini merupakan suatu mekanisme berbagai jaringan dan
organ menggunakan sumber karbon yang sama untuk reaksi oksidasi atau
glukoneogenesis.48

Gambar 2.7. Metabolisme laktat. F-6-P: fruktosa 6 fosfat, F-1,6-P: fruktosa 1,6 bifosfat, G-6-P: glukosa 6 fosfat, gliseraldehid 3P: Gliseraldehid 3-fosfat, p:fosfat. (Dikutip dari Levy B)

26
Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Produksi Laktat pada Kondisi Aerobik
Aerobik adalah kondisi tersedianya oksigen yang cukup. Pembentukan laktat
pada fase pertama glikolisis di sitosol adalah proses anaerobik. Pada proses
anaerobik ini terjadi aktivitas pompa Na-K-ATPase dan proses ini tidak membutuhkan
oksigen. Epinefrin melalui reseptor beta-2 adrenergik meningkatkan produksi cAMP
yang akan merangsang proses glikolisis yang akan menghasilkan ATP, dan
mengaktivasi pompa Na-K-ATPase yang memakai ATP dan menghasilkan ADP. ADP
akan merangsang enzim fosfofruktokinase yang mengaktivasi proses glikolisis yang
selanjutnya menghasilkan piruvat yang akan berubah menjadi laktat. Jaringan otot
yang merupakan 40% dari total jaringan tubuh, 99% reseptornya adalah beta-2,
merupakan penghasil piruvat-laktat terbesar.
Energi berupa ATP untuk metabolisme sel otot dihasilkan oleh proses
metabolisme oksidatif untuk menjalankan fungsi kontraktilitas. ATP yang dihasilkan
akan dipakai dalam proses glikolisis (glycolytic flux) sebagai energi transport natrium
dan kalium melewati membran sel otot. Epinefrin yang berikatan dengan reseptor
beta-2 akan merangsang aktivitas pompa membran Na-K, sehingga kebutuhan energi
yang meningkat akan meningkatkan aktivitas enzim Na-K-ATPase yang akan
meningkatkan proses ADP, proses glikolisis dan produksi laktat. Mekanisme ini telah
dibuktikan oleh penelitian dimana tidak terjadi peningkatan laktat ketika kerja pompa
Na-K membran dihambat oleh quabain.49
Laktat yang diproduksi oleh otot akibat efek epinefrin akan dimetabolisme di
hati

melalui

proses

glukoneogenesis

menghasilkan

glukosa

(siklus

Cori).

Glukoneogenesis menghasilkan energi sebesar 2 ATP untuk setiap molekul glukosa
yang menjadi laktat. Dan satu molekul laktat akan menggunakan 6 ATP untuk
27
Universitas Sumatera Utara

membentuk satu molekul glukosa dari laktat. Siklus Cori menunjukkan kemampuan
sel hati menggunakan ATP melalui beta-oksidasi asam lemak bebas untuk
menghasilkan glukosa.
Hati adalah organ terpenting dalam proses bersihan laktat dan berperan 4050% pada metabolisme laktat setiap hari. Ambilan laktat oleh hati terjadi melalui
sistem monokarboksilat trasporter, sedangkan metabolisme laktat dalam hati melalui
reaksi oksidasi atau proses glukoneogenesis. Metabolisme laktat sangat tergantung
dari kondisi fisiologis hati, sehingga fungsi hati yang terganggu akan mempengaruhi
metabolisme laktat namun jarang menimbulkan peningkatan kadar laktat yang
bermakna. Banyak penelitian menunjukkan pada fase non hepatik selama
transplantasi hepar didapatkan sedikit peningkatan kadar laktat. Hal ini menunjukkan
bahwa selain hati ada organ lain yang berperan juga dalam metabolisme laktat.

Gambar 2.8. Proses glikolisis karena stimulasi epinefrin menghasilkan ATP untuk aktivasi pompa NaK-ATPase . (Dikutip dari James dkk)

28
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.9 Siklus Cori : laktat dihasilkan oleh otot dan dimetabolisme di hati (Dikutip dari Leverve
dkk)

Ginjal memetabolisme laktat sebesar 30% melalui reaksi oksidasi dan
glukoneogenesis. Kontribusi filtrasi glomerulus pada bersihan laktat sangat kecil
sebesar < 2% dari total bersihan laktat dari tubuh. Ginjal berperan penting pada
metabolisme laktat setelah hati. Pada kondisi hiperlaktatemia ginjal berperan dalam
proses bersihan laktat sebesar 25-30%. Proses ini lebih merupakan suatu proses
metabolisme dimana proses ekskresi laktat hanya 10-12%. Laktat mengalami filtrasi
secara sempurna di glomerulus dan akan hampir semuanya akan direabsorbsi di
tubulus proksimal. Ekskresi laktat dalam urin hanya terjadi pada peningkatan kadar
laktat yang tinggi > 20 mmol/L atau hanya 2 % dari jumlah laktat yang dimetabolisme
di ginjal. Ginjal juga berperan dalam metabolisme laktat melalui proses
glukoneogenesis dan medula berperan sebagai penghasil laktat. Medula melalui
proses glikolisis akan memetabolisme glukosa menjadi laktat yang kemudian diambil
korteks dan mengalami oksidasi untuk menghasilkan energi dan glukoneogenesis
menjadi glukosa yang akan dipakai kembali oleh medula sebagai sumber untuk
29
Universitas Sumatera Utara

melakukan proses glikolisis dan laktat dan menghasilkan ATP. Asidosis menghambat
metabolisme laktat di hati sebaliknya metabolisme dan ekskresi laktat di ginjal
meningkat pada kondisi asidosis. Pada ginjal, asidosis meningkatkan kerja enzim
fosfoenolpiruvat karboksikinase sehingga ambilan laktat dan proses glukoneogenesis
di korteks meningkat. Batas ambang kadar laktat akan diekskresi ginjal adalah 5-6
mmol/L, berarti pada kondisi fisiologis normal laktat tidak akan diekskresi melalui urin.
Tindakan nefrektomi akan menurunkan klirens laktat sebesar 30%.50
Proses yang berputar seperti ini juga terjadi di otak antara sel neuron dan
astrosit, dan di testis antara sel sertoli dengan spermatozoa. Sel glia otak, secara
spesifik astrosit memiliki kemampuan menghasilkan laktat pada kondisi normoksia
melalui suatu reaksi glikolisis aerobik. Neurotransmitter sinaps glutamat merangsang
peningkatan transport dan metabolisme glukosa di astrosit yang mengkonversi
glukosa menjadi piruvat dan selanjutnya menjadi laktat yang merupakan metabolit
perantara. Laktat akan diambil dan digunakan sel neuron sebagai substrat energi.
Konversi piruvat menjadi laktat di astrosit tergantung dari enzim laktat dehydrogenase
5 (LDH5), sedangkan konversi laktat menjadi piruvat di neuron tergantung dari enzim
laktat dehydrogenase 1 (LDH1). Laktat merupakan senyawa monokarboksilat yang
bersifat hidrofilik, sehingga pergerakan transmembran sel mereka memerlukan
perantara yaitu monokarboksilat transporter (MCT). Terdapat 14 jenis MCT dimana
untuk transport laktat di astrosit mayoritas adalah MCT1 dan dineuron adalah MCT2.
Selain memakai glukosa ekstrasel, astrosit juga membentuk glikogen yang akan
menjadi sumber glukosa cadangan pada kondisi glikolisis aerobik meningkat. Sel
schwann juga memetabolisme glukosa menghasilkan metabolit laktat yang
selanjutnya mengalami oksidasi di sel akson. Pada kondisi hipoglikemia mobilisasi

30
Universitas Sumatera Utara

glikogen di astrosit mengkompensasi kebutuhan energi dengan menghasilkan laktat
untuk menjamin homeostasis energi di sel neuron.51
Sel otot jantung (kardiomiosit) juga mengalami reaksi oksidasi laktat melalui
jalur laktat (lactate shuttle) dan laktat memiliki efek inotropik pada sel jantung. Adanya
proses luka juga menimbulkan reaksi oksidasi yang menghasilkan laktat.52,53,54

Gambar 2.10 Proses metabolisme piruvat (gambar dikutip dari Brooks GA dkk)

2.3.4. Hiperlaktatemia
Peningkatan laktat merupakan hasil produksi yang melebihi kebutuhan dan
metabolisme. Beberapa penelitian terbaru menunjukan bahwa kapasitas penggunaan
laktat pada kondisi sakit kritis tidak berbeda dengan kondisi normal. Hal ini
menunjukkan bahwa produksi laktat yang meningkat merupakan faktor utama
terjadinya hiperlaktatemia dan asidosis laktat.55
Hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat dipakai sebagai penanda diagnostik
dan prognosis kondisi kritis yang buruk. Hiperlaktatemia pada pasien kritis adalah
kadar laktat > 18 mg/dL (2mmol/L) dan asidosis laktat adalah asidosis metabolik
31
Universitas Sumatera Utara

dengan kadar laktat > 45 mg/dL (5 mmol/L) dengan pH arteri < 7,35. (56)
Pembentukan laktat yang meningkat pada pasien kritis tidak hanya terjadi pada
kondisi hipoksia tapi juga dapat terjadi akibat dari proses glikolisis aerobik yang
meningkat (hipermetabolisme sel) dengan kondisi sediaan oksigen cukup. 50 Namun
pada akhir-akhir ini Alistair D. Nichol dkk. meneliti pada pasien sakit kritis, bahwa
hiperlaktatemia relatif secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas.
Konsentrasi laktat darah >0,75 mmol.L-1 dapat digunakan oleh klinisi untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terhadap kematian. Kesimpulan yang
didapat mungkin kisaran referensi untuk laktat pada pasien sakit kritis perlu dikaji
ulang kembali.57 Begitu juga dengan Asgar H. Rishu dkk. mendapati bahwa
hiperlaktatemia Relatif (nilai laktat 1,36-2,00 mmol/L) dalam pertama 24 jam
perawatan ICU merupakan prediktor independen mortalitas di ICU dan rumah sakit
pada pasien sakit kritis.58
Cohen dan Woods pada tahun 1976 mengajukan klasifikasi hiperlaktatemia
menjadi tipe A dan tipe B. Tipe A adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat perfusi
jaringan yang buruk atau kadar oksigen yang kurang (tanda klinis anemis, hipotensi,
sianosis, ekstremitas dingin) yang terjadi pada kondisi curah jantung yang rendah (low
cardiac output) pada syok kardiogenik atau hipovolemik. Tipe B adalah
hiperlaktatemia yang timbul akibat tanpa adanya hipoperfusi jaringan, dan dibagi
menjadi tiga bagian yaitu tipe B1, tipe B2 dan tipe B3. Tipe B1 adalah hiperlaktatemia
yang timbul akibat penyakit dasar seperti keganasan. Tipe B2 adalah hiperlaktatemia
yang timbul sebagai efek samping obat atau toksin seperti metformin dan alkohol. Tipe
B3 adalah hiperlaktatemia yang timbul akibat kelainan metabolisme kongenital.59,60

32
Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi penyebab hiperlaktatemia. (Tabel 2.6)
Tipe A : Hipoperfusi Jaringan
Tipe B1 : Penyakit dasar

Tipe B2 : Obat-obatan toksin

Tipe B3 : Kelainan metabolisme kongenital
Lain-lain
(Dikutip dari Cohen, wood)

Syok sirkulasi
Iskemia mesenteric
Systemic Inflammation Response Syndrome
Gagal Hati
Keganasan
Defisiensi tiamin
(Mesin) pintas kardiopulmonal
Hipofosfatemia berat
Alkohol
Metformin
Beta-2 agonis
Salisilat
Sianida/nitroprusid
Karbonmonoksida
Propofol
Dialisat
Hipoglikemia

Faktor yang paling penting pada produksi laktat adalah proses glikolisis
(glycolytic flux). Menurut Connet dkk terdapat beberapa faktor yang merangsang
perpindahan glukosa selama proses glikolisis yaitu menurun atau terhambatnya
proses fosforilasi di jaringan, pengaruh hormon dan stres seperti insulin, epinefrin,
efek metabolik dari mediator inflamasi (TNF, IL1) dan alkalosis. Proses fosforilasi
menurun atau terhambat karena terjadi penurunan sintesis ATP (akibat dari
menurunnya oksigenasi jaringan, disfungsi mitokondria) atau peningkatan kebutuhan
energi (kondisi hipermetabolik dan stres). Sakit kritis merupakan kondisi yang
mengalami proses hiperadrenergik akibat meningkatnya sekresi katekolamin dan
sering terjadi hipoperfusi, hipooksigenasi jaringan, dan disfungsi mitokondria.
Hipotesis James dkk menyatakan bahwa laktat yang dihasilkan sel otot pada sepsis
atau syok hemoragik bukan semata-mata karena proses glikolisis anaerob akibat
hipoperfusi, melainkan dari meningkatnya proses glikolisis aerob akibat dari sekresi
katekolamin meningkat. Penelitian Levy dkk pada pasien dengan syok sepsis juga
mendukung hipotesis tersebut.61,62,63
33
Universitas Sumatera Utara

Sitokin inflamasi seperti TNF, IL-1 berperan penting sebagai mediator respon
inflamasi sistemik (SIRS) pada kondisi seperti sepsis, luka bakar, trauma dan
pankreatitis. Efek metabolik dari kerja sitokin inflamasi ini adalah merangsang ambilan
glukosa sel dan proses glikolisis yang menghasilkan ATP bagi makrofag untuk
bergerak (respiratory burst). Jumlah laktat yang dihasilkan pada proses inflamasi
berbeda untuk tiap organ dan tergantung dari banyaknya makrofag yang bekerja,
sehingga organ paru-paru, usus dan hati yang kaya akan makrofag merupakan
penghasil laktat terbanyak saat inflamasi sistemik terjadi.64
Pada kondisi alkalosis respiratorik terjadi peningkatan laktat ringan akibat dari
alkalemia yang merangsang enzim kerja lambat fosfofruktokinase yang berperan
dalam proses glikolisis. Kondisi sepsis menyebabkan sel otot melepaskan alanine
yang akan dikonversi dalam darah menjadi laktat, sehingga menimbulkan
hiperlaktatemia.65
Penelitian Leveraut dkk dengan menggunakan laktat yang diberi label pasien
sepsis dengan hemodinamik stabil tanpa obat vasoaktif menunjukkan hiperlaktatemia
yang persisten akibat penurunan bersihan laktat dan bukan karena peningkatan
produksi laktat. Penelitian Revelly dkk dengan menggunakan metode yang sama
menunjukkan bahwa produksi laktat pada pasien sepsis dan syok kardiogenik lebih
tinggi namun klirens laktat tidak berbeda dibandingkan orang yang sehat. Peningkatan
produksi laktat pada kondisi kritis yang merupakan akibat dari hiperglikemia dan
meningkatnya metabolisme glukosa. Perbedaan hasil penelitian keduanya karena
Revelly melakukan pemberian laktat secara infus kontinyu sedangkan Leveraut
dengan cara bolus. Populasi pasien Revelly juga memiliki kadar laktat yang lebih tinggi
dibandingkan populasi pasien Leveraut yang memiliki kondisi lebih baik dan sudah
dalam penyapihan dari obat vasoaktif.66,67
34
Universitas Sumatera Utara

2.3.5. Produksi Laktat pada Kondisi Hipoksia
Laktat adalah salah satu senyawa yang dihasilkan pada metabolisme normal
dan meningkat akibat terganggunya metabolisme karena hipoksia. Laktat dapat
dijadikan salah satu tanda adanya hipoksia jaringan karena dalam hitungan menit
kadarnya dapat meningkat tergantung dari derajat gangguan metabolisme oksidatif.
Pada kondisi metabolisme normal eritrosit yang merupakan sel tanpa mitokondria dan
merupakan anaerob obligat, menggunakan laktat hasil proses oksidasi asam lemak
dihati sebagai perantara (energy shuttle) metabolisme. Namun harus dipahami bahwa
kadar laktat yang terukur adalah hasil keseimbangan antara produksi dan bersihan,
dan telah dibuktikan bahwa gagal hati mempengaruhi bersihan laktat.68
Pada kondisi sediaan oksigen yang kurang (hipoksia) terjadi perubahan
metabolisme yang dikenal dengan efek Pasteur, yaitu pada kondisi hipoksia glukosa
mengalami konversi anaerob menjadi piruvat yang tidak dapat masuk ke siklus Kreb
melalui asetil CoA untuk menghasilkan energi. Hipoksia menghambat proses
fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, sehingga terjadi hambatan sintetis ATP dan
reoksidasi NADH yang mengakibatkan turunnya rasio ATP/ADP dan peningkatan
rasio

NADH/NAD.

Penurunan

rasio

ATP/ADP

menghambat

kerja

enzim

fosfofruktokinase dan piruvat karboksilase pada jalur metabolisme piruvat, sedangkan
peningkatan rasio NADH/NAD juga menghambat kerja enzim PDH yang mengubah
piruvat menjadi asetil CoA, dimana semuanya menimbulkan akumulasi piruvat.
Akumulasi piruvat akan berubah menjadi laktat (hiperlaktatemia) melaui proses
regenerasi NAD+ dan glikolisis menghasilkan energi (2 ATP) yang dalam kondisi
anaerob menjadi mekanisme adaptasi utama pada kondisi hipoksia.

35
Universitas Sumatera Utara

Laktat

selanjutnya

glukoneogenesis.

Sebagai

mengalami
kesimpulan

metabolisme

di

metabolisme

hati

anaerob

untuk

proses

menimbulkan

hiperlaktatemia (peningkatan rasio laktat/piruvat), peningkatan glikolisis anaerob dan
produksi energi dalam jumlah kecil.48,50
2.3.6. Laktat dan Syok
Pada kondisi syok terjadi hipoksia sel akibat dari penurunan perfusi jaringan.
Pada syok kardiogenik atau hipovolemia, curah jantung yang rendah menimbulkan
hipoperfusi dan menghasilkan rasio laktat/piruvat tinggi yang menyebabkan
hiperlaktatemia. Revelly dkk melakukan penelitian untuk membuktikan hipotesis
peningkatan laktat pada kondisi syok adalah hasil dari glikolisis anaerob akibat
hipoksia. Penelitian yang dilakukan pada beberapa pasien syok sepsis dan syok
kardiogenik tidak dapat menunjukkan bukti yang bermakna adanya gangguan
oksidasi laktat, dan bersihan laktat pada pasien-pasien tersebut tidak berbeda makna
dibandingkan dengan populasi normal. Hasil ini menunjukkan pada kondisi syok
hiperlaktatemia yang terjadi disebabkan karena sintesis laktat yang meningkat dan
tidak selalu disebabkan oleh hipoksia tetapi juga karena metabolisme jaringan yang
meningkat. Hal ini ditunjukkan pada tabel 2.7.
Derajat stres
Rendah
Sedang
Berat

Kadar Laktat (mmol/L)
3,0

Konsumsi
(ml/min/m2)

oksigen

180

Tabel 2.7 Peningkatan metabolisme dan kadar laktat (dikutip dari bakker J. dkk)

Pengukuran kadar laktat darah dapat menjadi alat untuk menentukan
prognosis pasien yang mengalami syok, di mana pengukuran serial lebih bermakna
untuk menilai keberhasilan resusitasi hemodinamik. Kegagalan klirens laktat selama

36
Universitas Sumatera Utara

resusitasi juga dapat dipakai untuk memprediksi terjadinya gagal organ dan
peningkatan mortalitas.17
2.3.7. Laktat dan Sepsis
Pada syok sepsis terjadi kegagalan kardiosirkulasi yang resisten terhadap
katekolamin yang menyebabkan penurunan curah jantung dan vasodilatasi,
mengakibatkan hipoperfusi jaringan, penurunan hantaran oksigen dan peningkatan
laktat. Namun pada kondisi sakit kritis seperti trauma, luka bakar, sepsis terjadi
hipermetabolisme yang disertai peningkatan kebutuhan oksigen dan proses glikolisis
(glycolytic

flux)

yang

mengakibatkan

peningkatan

produksi

laktat

(stress

hyperlaktatemia).
Proses inflamasi pada sepsis meningkatkan pembentukan piruvat dan sintesis
mRNA GLUT-1 yang berperan sebagai transporter glukosa melalui proses glikolisis
aerobik. Proses glikolisis aerobik ini meningkat karena efek dari katekolamin endogen
maupun eksogen yang meningkat dan proses inflamasi, menimbulkan metabolisme
karbohidrat yang melebihi kapasitas oksidasi mitokondria sehingga terjadi akumulasi
piruvat. Gore dkk mengemukakan hipotesis bahwa produksi dan oksidasi piruvat
meningkat pada sepsis akibat dari peningkatan influks glukosa pada glikolisis dan
disfungsi enzim PDH. Selain itu pada kondisi stres hipermetabolik terjadi katabolisme
protein yang menghasilkan asam amino yang diubah menjadi piruvat dan kemudian
menjadi laktat.
Peningkatan produksi laktat tergantung dari rasio antara aktivitas proses
glikolisis dengan kapasitas oksidasi dari enzim PDH. Sintesis laktat meningkat karena
proses glikogenolisis dan glikolisis yang meningkat akibat sekresi katekolamin,
terhambatnya kerja enzim PDH dan sintesis glikogen pada sepsis dan kondisi
37
Universitas Sumatera Utara

hipoksia. (68) Enzim PDH mengubah piruvat menjadi asetil-CoA agar dapat memasuki
mitokondria. Aktivitas enzim PDH menurun pada kondisi sepsis dan diperbaiki oleh
dikloroasetat yang bekerja menurunkan kadar laktat. Disfungsi atau terhambatnya
PDH akan mengakibatkan peningkatan kadar laktat. 17

Gambar 2.11 Mekanisme peningkatan produksi laktat pada sepsis (dikutip dari Fulvio dkk)

2.4. SISTEM SKOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF
Perkembangan teknologi kesehatan yang sangat pesat terutama di bidang
terapi intensif akhir-akhir ini telah membuat pelayanan di UPI membutuhkan sumber
daya dan biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga UPI hanya diperuntukkan
bagi pasien-pasien yang akan mendapatkan manfaat dari terapi intensif dengan resiko
kematian yang rendah. Untuk itu diperlukan instrumen objektif yang dapat
menentukan keparahan penyakit dan menilai prediksi mortalitas pasien yang masuk
UPI.
Selama 3 dekade terakhir ini telah dikembangkan beberapa sistem skor atau
model prognostik UPI. Sebagian besar sistem skor mempunyai fokus keluaran angka
kematian rumah sakit dan sebagian lagi memperkirakan besarnya disfungsi organ.69
Gangguan fisiologis, proses patologis dan cadangan fungsi fisiologis dapat
berhubungan terhadap keluaran dengan metode stasistik. Keluaran yang umumnya
38
Universitas Sumatera Utara

diukur adalah mortalitas di UPI atau mortalitas pada 28 hari atau 30 hari (mortalitas
rumah sakit). Mortalitas rumah sakit merupakan keluaran yang paling sering dipakai
karena dapat digunakan sebagai diskriminator dan mudah diamati.70
Pada awal pengembangan sistem skor, pemilihan variabel klinik dan fisiologik
sebagai variabel-variabel prediksi berdasarkan penilaian subjektif dari hasil
konsensus para klinisi serta tinjauan pustaka. Selanjutnya tehnik model regresi logistik
ganda digunakan untuk memilih variabel prediksi dari sistem skor.69
2.4.1. Defenisi
Sistem skor adalah suatu alat atau instrumen untuk menentukan probabilitas
mortalitas pasien.
2.4.2. Tujuan Penggunaan Sistem Skor
Sistem skor dapat digunakan untuk berbagai hal. Pada penelitian uji acak
terkendali (randomized controlled trial, RCT) dan penelitian klinik lainnya digunakan
untuk menentukan sampel penelitian. Pada manajemen rumah sakit sistem skor
digunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan administrasi sistem pelayanan
kesehatan dan rumah sakit seperti menentukan alokasi sumber daya. Pada
pengelolaan UPI, sistem skor digunakan untuk menilai tampilan UPI dan
membandingkan kualitas pengelolaan pasien pada beberapa UPI yang berbeda, atau
pada UPI yang sama dengan waktu yang berbeda-beda. Sistem skor dapat digunakan
untuk menilai pengaruh keluaran pasien terhadap perencanaan pengelolaan UPI,
seperti penambahan jumlah tempat tidur, rasio staf dan jasa medis. Sistem skor
digunakan juga untuk menilai prognosis pasien secara individu sebagai data objektif
dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien, perusahaaan asuransi kesehatan atau
pengelola kesehatan dalam membuat keputusan tentang perawatan di UPI. Selain itu
sistem skor digunakan untuk mengevaluasi pantas atau tidaknya pasien mendapatkan
novel therapy, seperti menggunakan sistem skor APACHE II sebagai acuan untuk
terapi recombinant human activated protein C (drotrecogin alfa) pada pasien sepsis
berat/syok septik.69,70,71

39
Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Klasifikasi Sistem Skor69
Secara umum sistem skor yang digunakan di UPI dapat digolongkan menjadi
sistem skor model prognostik dan skor disfungsi organ. Ada 4 generasi sistem skor
prognostik. Generasi pertama adalah Acute Physiologic and Chronic Health
Evaluation I (APACHE I). Generasi kedua terdiri dari APACHE II, Simplified Acute
Physiology Score I (SAPS I) dan Mortality Probability Model I (MPM I). Generasi ketiga
adalah APACHE III, SAPS II, dan MPM II. Generasi terakhir adalah APACHE IV,
SAPS III, dan MPM III. Sedangkan sistem skor disfungsi organ adalah Multipel Organ
Dysfunctiopn Score (MODS), Logistic Organ Dysfuction Score (LODS), dan
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Score.
2.5. Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) 69,70
Dasar dari pengembangan APACHE II yang merupakan penyederhanaan dari
APACHE I sebelumnya, adalah hipotesis bahwa derajat keparahan suatu penyakit
akut dapat diukur dengan melakukan kuantifikasi derajat penyimpangan dari berbagai
variabel fisiologi yang dapat diukur secara objektif. Knaus dkk. pada tahun 1985,
menggunakan 12 variabel pengukuran fisiologis (acute physiologic score, APS) yaitu
: suhu tubuh, tekanan darah arteri rata-rata, laju nadi, laju nafas, oksigenasi, pH arteri,
natrium serum, kalium serum, kreatinin serum, hematokrit, leukosit, skala koma
Glasgow, ditambah umur dan penyakit kronik dengan bobot nilai tertentu yang dinilai
dalam 24 jam pertama pada sejumlah 5815 pasien yang masuk UPI dari 13 rumah
sakit di Amerika Utara (tabel 2.9).
2.5.1. Defenisi
Skor APACHE II adalah hasil penjumlahan dari APS, umur dan riwayat penyakit
kronik. Skor APACHE II bervariasi dari 0 – 71, untuk APS maksimal 60, skor umur
maksimal 6, dan untuk skor riwayat penyakit kronik maksimal 5.
Pada kasus paska bedah, nilai variabel pH dan kreatinin serum sering dianggap
normal. Pada kasus pasien dengan sedasi, bantuan ventilasi mekanik, nilai variabel
skor koma Glasgow dianggap 15, bila masalah neurologi tidak ada. Pasien yang

40
Universitas Sumatera Utara

menjalani bedah jantung atau yang berumur

Dokumen yang terkait

Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 1 15

Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 1 2

Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 0 9

Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 1 6

Uji Diagnostik Nilai Bersihan Laktat Arteri Jam-0 Ke Jam-24 Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 0 10

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 19

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 36

Hubungan Nilai Mean Platelet Volume (MPV) Dengan Skor Apache II Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Sepsis Berat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 8