Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup mengalami pertumbuhan dalam daur kehidupannya.
Pertumbuhan dimulai bahkan sejak janin dalam kandungan. Pada dua tahun pertama
kehidupan akan terjadi pertambahan gradual, baik pada percepatan pertumbuhan
linear maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai
dengan pertumbuhan cepat (growth spurt) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia
2 tahun, kemudian pertumbuhan menjadi lebih lambat pada anak pada usia 2 tahun
sampai usia anak 5 tahun dibandingkan dengan ketika masih bayi (Astari, 2006).
Pertumbuhan linear yang tidak sesuai usianya merefleksikan adanya masalah gizi
kurang yakni stunting.
Stunting merupakan satu dari penyebab utama dari angka kematian
(mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi diantara anak usia dibawah
lima tahun. Tingginya angka kematian dan kesakitan pada balita, paling banyak
disebabkan oleh diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan. Diare merupakan
penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%).
Sedangkan angka kesakitan diare pada balita mencapai 900 per 1.000 penduduk
(Depkes RI, 2011). Infeksi saluran pernafasan seperti Pneumonia merupakan urutan
kedua penyebab kematian pada balita setelah diare di Indonesia. Di dunia, dari 9 juta
kematian Balita lebih dari 2 juta balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak usia dini, salah satunya tercermin dari
keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang
diasumsikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di
sekolah. Stunting dapat menyebabkan anak kehilangan IQ sebesar 5-11 poin (World
Bank, 2006). Penelitian lain mengungkapkan bahwa anak yang tidak dapat mengejar
pertumbuhan yang optimal sejak dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran akan
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap lemahnya perkembangan kognitif.
Kemampuan kognitif yang lemah akan berdampak buruk pada prestasi di sekolah,
sehingga menghasilkan pekerja buruh rendah dan produktifitas rendah di tahap
kehidupan selanjutnya (Martorell, 2010).
Tingkat kognitif rendah dan gangguan pertumbuhan pada balita stunting,
merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kehilangan produktifitas pada saat
dewasa. Orang dewasa yang pendek memiliki tingkat produktifitas kerja yang rendah
serta upah kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan dewasa yang tidak pendek.
Tinggi badan menjadi salah satu faktor yang menjadi syarat pada jenis pekerjaan
tertentu, sehingga orang yang lebih tinggi memiliki kesempatan memperoleh
penghasilan yang lebih tinggi karena lebih besarnya peluang mendapatkan pekerjaan.
Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh
penghasilan yang lebih banyak, dimana peningkatan tinggi badan sebanyak 1 persen
diasosiasikan dengan kenaikan upah sebesar 7 persen (Strauss & Thomas, 1998).
Universitas Sumatera Utara
3
Anak yang kurang diberi makan pada dua tahun pertama kelahirannya dan
anak dengan kenaikan berat badan dengan cepat pada masa kanak-kanak, pada saat
dewasa akan lebih beresiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi seperti obesitas
dan hipertensi (Victora C.G., Adair Linda, Caroline Fall, Hallal Pedro C., Martorell
R., Richter L., Sachdev H.S., 2008). Anak-anak yang mengalami stunting pada dua
tahun kehidupan pertama dan mengalami kenaikan berat badan yang cepat berisiko
tinggi terhadap penyakit kronis, seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes (Hoddinott
J, Behrman JR, Maluccio Jhon A, Melgar Paul, Quisumbing Agnes R, Ramirez-Zea
Manuel, Stein Aryeh D, Yount Kathryn M, Martorell Reynaldo., 2008; World Bank,
2006). Hales dan Barker (2001) menyebutkan Hipotesis thrifty phenotype phenomena
yang menyatakan adanya asosiasi epidemiologi antara pertumbuhan janin yang buruk
yang berakibat pada rendahnya outcome kehamilan dengan penyakit diabetes melitus
tipe dua dan sindrom metabolik sebagai dampak dari gizi buruk pada awal kehidupan.
Kondisi ini menghasilkan perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin.
Masalah balita stunting merupakan masalah global yang dialami di beberapa
negara di dunia. Tercatat jumlah angka stunting di dunia sebanyak 178 juta anak
balita. Di Indonesia pada Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting
nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007
(36,8%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita sekitar 8 juta anak Indonesia
atau 1 dari tiga anak Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa lebih dari sepertiga anak
berusia dibawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia
Universitas Sumatera Utara
4
Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Dan
menurut data Riskesdas tersebut proporsi kejadian stunting paling besar terdapat
pada balita usia 24-59 bulan. Provinsi Sumatera utara merupakan salah satu provinsi
dengan prevalensi kejadian stunting tinggi pada balita di provinsi yakni 42,5 persen
dibandingkan dengan angka nasional yakni 37,2 persen.
Masalah stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya stunting dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting
pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan
tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi.
Angka prevalensi kejadian stunting pada balita di Provinsi Sumatera Utara
yang masuk kategori masalah berat, maka penulis tertarik untuk melihat faktor-faktor
yang berhubungan serta mencari faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian
stunting di Provinsi Sumatera Utara. Faktor-faktor tersebut adalah usia balita, berat
badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare,
riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber
air minum dan fasilitas sanitasi.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan Laporan Riskesdas tahun 2013, prevalensi kejadian stunting pada
balita di provinsi Sumatera Utara adalah 42,5 persen. Angka prevalensi tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi nasional yaitu 37,2 persen serta
Universitas Sumatera Utara
5
provinsi – provinsi disekitarnya yaitu provinsi Aceh sebesar 41,4 persen dan Provinsi
Sumatera Barat 39,2 persen (Riskesdas, 2013).
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui prevalensi kejadian stunting, faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting, serta faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian
stunting pada balita umur 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan antara Karakteristik Balita (usia, jenis kelamin, berat lahir,
panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA) terhadap kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
2. Ada hubungan antara Karakteristik Rumah Tangga (tinggi badan ibu, jumlah
anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, wilayah tempat
tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi) terhadap
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
3. Berat badan lahir merupakan faktor yang paling dominan terhadap kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk:
1.
Memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting pada balita sehingga
Universitas Sumatera Utara
6
dapat melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menurunkan prevalensi
stunting pada balita.
2.
Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam
pengambilan kebijakan mengenai penanganan masalah stunting pada balita di
Provinsi Sumatera Utara.
3.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dapat menjadikan penelitian ini
sebagai bahan penunjang dalam evaluasi program kesehatan terkait masalah
stunting yang selama ini telah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makhluk hidup mengalami pertumbuhan dalam daur kehidupannya.
Pertumbuhan dimulai bahkan sejak janin dalam kandungan. Pada dua tahun pertama
kehidupan akan terjadi pertambahan gradual, baik pada percepatan pertumbuhan
linear maupun laju pertambahan berat badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai
dengan pertumbuhan cepat (growth spurt) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia
2 tahun, kemudian pertumbuhan menjadi lebih lambat pada anak pada usia 2 tahun
sampai usia anak 5 tahun dibandingkan dengan ketika masih bayi (Astari, 2006).
Pertumbuhan linear yang tidak sesuai usianya merefleksikan adanya masalah gizi
kurang yakni stunting.
Stunting merupakan satu dari penyebab utama dari angka kematian
(mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi diantara anak usia dibawah
lima tahun. Tingginya angka kematian dan kesakitan pada balita, paling banyak
disebabkan oleh diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan. Diare merupakan
penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%).
Sedangkan angka kesakitan diare pada balita mencapai 900 per 1.000 penduduk
(Depkes RI, 2011). Infeksi saluran pernafasan seperti Pneumonia merupakan urutan
kedua penyebab kematian pada balita setelah diare di Indonesia. Di dunia, dari 9 juta
kematian Balita lebih dari 2 juta balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak usia dini, salah satunya tercermin dari
keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang
diasumsikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di
sekolah. Stunting dapat menyebabkan anak kehilangan IQ sebesar 5-11 poin (World
Bank, 2006). Penelitian lain mengungkapkan bahwa anak yang tidak dapat mengejar
pertumbuhan yang optimal sejak dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran akan
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap lemahnya perkembangan kognitif.
Kemampuan kognitif yang lemah akan berdampak buruk pada prestasi di sekolah,
sehingga menghasilkan pekerja buruh rendah dan produktifitas rendah di tahap
kehidupan selanjutnya (Martorell, 2010).
Tingkat kognitif rendah dan gangguan pertumbuhan pada balita stunting,
merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kehilangan produktifitas pada saat
dewasa. Orang dewasa yang pendek memiliki tingkat produktifitas kerja yang rendah
serta upah kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan dewasa yang tidak pendek.
Tinggi badan menjadi salah satu faktor yang menjadi syarat pada jenis pekerjaan
tertentu, sehingga orang yang lebih tinggi memiliki kesempatan memperoleh
penghasilan yang lebih tinggi karena lebih besarnya peluang mendapatkan pekerjaan.
Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa pria yang lebih tinggi dapat memperoleh
penghasilan yang lebih banyak, dimana peningkatan tinggi badan sebanyak 1 persen
diasosiasikan dengan kenaikan upah sebesar 7 persen (Strauss & Thomas, 1998).
Universitas Sumatera Utara
3
Anak yang kurang diberi makan pada dua tahun pertama kelahirannya dan
anak dengan kenaikan berat badan dengan cepat pada masa kanak-kanak, pada saat
dewasa akan lebih beresiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi seperti obesitas
dan hipertensi (Victora C.G., Adair Linda, Caroline Fall, Hallal Pedro C., Martorell
R., Richter L., Sachdev H.S., 2008). Anak-anak yang mengalami stunting pada dua
tahun kehidupan pertama dan mengalami kenaikan berat badan yang cepat berisiko
tinggi terhadap penyakit kronis, seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes (Hoddinott
J, Behrman JR, Maluccio Jhon A, Melgar Paul, Quisumbing Agnes R, Ramirez-Zea
Manuel, Stein Aryeh D, Yount Kathryn M, Martorell Reynaldo., 2008; World Bank,
2006). Hales dan Barker (2001) menyebutkan Hipotesis thrifty phenotype phenomena
yang menyatakan adanya asosiasi epidemiologi antara pertumbuhan janin yang buruk
yang berakibat pada rendahnya outcome kehamilan dengan penyakit diabetes melitus
tipe dua dan sindrom metabolik sebagai dampak dari gizi buruk pada awal kehidupan.
Kondisi ini menghasilkan perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin.
Masalah balita stunting merupakan masalah global yang dialami di beberapa
negara di dunia. Tercatat jumlah angka stunting di dunia sebanyak 178 juta anak
balita. Di Indonesia pada Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting
nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007
(36,8%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita sekitar 8 juta anak Indonesia
atau 1 dari tiga anak Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa lebih dari sepertiga anak
berusia dibawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia
Universitas Sumatera Utara
4
Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Dan
menurut data Riskesdas tersebut proporsi kejadian stunting paling besar terdapat
pada balita usia 24-59 bulan. Provinsi Sumatera utara merupakan salah satu provinsi
dengan prevalensi kejadian stunting tinggi pada balita di provinsi yakni 42,5 persen
dibandingkan dengan angka nasional yakni 37,2 persen.
Masalah stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya stunting dapat
disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting
pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan
tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi.
Angka prevalensi kejadian stunting pada balita di Provinsi Sumatera Utara
yang masuk kategori masalah berat, maka penulis tertarik untuk melihat faktor-faktor
yang berhubungan serta mencari faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian
stunting di Provinsi Sumatera Utara. Faktor-faktor tersebut adalah usia balita, berat
badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare,
riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber
air minum dan fasilitas sanitasi.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan Laporan Riskesdas tahun 2013, prevalensi kejadian stunting pada
balita di provinsi Sumatera Utara adalah 42,5 persen. Angka prevalensi tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi nasional yaitu 37,2 persen serta
Universitas Sumatera Utara
5
provinsi – provinsi disekitarnya yaitu provinsi Aceh sebesar 41,4 persen dan Provinsi
Sumatera Barat 39,2 persen (Riskesdas, 2013).
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui prevalensi kejadian stunting, faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting, serta faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian
stunting pada balita umur 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
1.4 Hipotesis
1. Ada hubungan antara Karakteristik Balita (usia, jenis kelamin, berat lahir,
panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA) terhadap kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
2. Ada hubungan antara Karakteristik Rumah Tangga (tinggi badan ibu, jumlah
anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, wilayah tempat
tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi) terhadap
kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
3. Berat badan lahir merupakan faktor yang paling dominan terhadap kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk:
1.
Memberikan informasi bagi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting pada balita sehingga
Universitas Sumatera Utara
6
dapat melakukan upaya-upaya pencegahan untuk menurunkan prevalensi
stunting pada balita.
2.
Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam
pengambilan kebijakan mengenai penanganan masalah stunting pada balita di
Provinsi Sumatera Utara.
3.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dapat menjadikan penelitian ini
sebagai bahan penunjang dalam evaluasi program kesehatan terkait masalah
stunting yang selama ini telah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara