Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas Nama Anak Di Bawah Umur Dan Pertanggungjawaban Wali
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang amat besar manfaatnya,
sehingga tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup di dunia ini.
Timbulnya hubungan yang erat antara manusia dengan tanah karena tanah merupakan
tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari, dalam hal ini tanah
mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia.
Mengingat begitu pentingnya tanah atas permukaan bumi sebagai sumber daya
alam yang sangat bermanfaat bagi orang banyak maka konstitusi mengaturnya dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut :
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Saat ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai
jual yang tinggi karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat. Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasai tanah.
Orang yang memiliki tanah disebut sebagai pemilik, apabila pemilik tanah
tersebut memperolehnya dengan cara yang sah dan dengan itikad baik serta sesuai
dengan aturan yang berlaku, maka Negara (pemerintah) dapat memformalkan
pemilikan tersebut sebagai pemilik yang berhak atau subyek hak. Melalui kegiatan
1
Universitas Sumatera Utara
2
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum atas pemilikan tanah oleh seseorang (subyek hak).
Orang perseorangan dapat ditetapkan menjadi subyek hak atas tanah oleh
Pemerintah melalui pendaftaran tersebut, yaitu setiap orang yang identitasnya
terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, berdomisili di
dalam atau di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh
sesuatu hak atas tanah. Namun, untuk melakukan tindakan hukum dalam lalu-lintas
hukum pertanahan tidak semua orang dapat (cakap) melakukannya,1 misalnya anak di
bawah umur sebagai subyek hak atas tanah tersebut.
Secara umum setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan
kewajiban, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum.2
Pengaturan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP)
mengenai seseorang tidak cakap melakukan perbuatan hukum :
1) Anak yang masih di bawah umur, belum dewasa dan belum menikah.
2) Orang yang berada dalam pengampuan misalnya orang yang sakit mental.
3) Orang perempuan dalam perkawinan.
Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan
dewasa secara fisik dalam hukum, misalnya dalam hukum perdata bersandar kepada
ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat
1
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005, Hal 7.
2
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, CV
Nuansa Aulia, Bandung, 2006, Hal 23.
Universitas Sumatera Utara
3
KUHPerdata) yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 tahun dan sebelumnya belum kawin”, hal ini dapat dimaklumi karena tidak tegas
mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat
dijadikan dasar pengaturannya.3
Walau pun demikian undang-undang juga memberikan pemecahan masalah
ketika anak di bawah umur harus melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa harus
menggunakan lembaga perwakilan atau perwalian, yaitu dengan cara meniadakan
keadaan belum dewasa bagi si anak, dengan syarat anak sudah mencapai umur 20
tahun dan telah ditetapkan pendewasaannya (handlichting) oleh Presiden berdasarkan
rekomendasi Mahkamah Agung.4
Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat
unifikasi tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini
terlihat bervariasinya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam
berbagai peraturan perundangan di antaranya yang terkait dengan perbuatan hukum
berikut ini:
1. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai
umur 21 tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 tahun
atau wanita berumur 16 tahun dapat melakukan perbuatan hukum perikatan /
perjanjian perkawinan atas persetujuan orang tua atau walinya.
3
4
Ibid., Hal 29.
Lihat, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
4
2. Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris disebutkan : penghadap harus memenuhi syarat paling
sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.
Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian
tersebut di atas, menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisik dan
atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara
biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban
khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.5
Batas umur seseorang merupakan salah satu ukuran yang menentukan apakah
seseorang itu dikatakan masih di bawah umur (minderjarig) atau sudah dewasa
(meerderjarig). Menurut hukum yang berlaku di Indonesia seseorang baru dapat atau
cakap melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah kalau dia sudah
cukup umur (dewasa) menurut hukum.6
Menurut ketentuan KUHPerdata, orang dikatakan masih di bawah umur apabila
ia belum mencapai umur 21 tahun, kecuali ia sudah kawin. Kalau seseorang sudah
kawin maka ia tidak akan menjadi orang yang di bawah umur lagi meskipun
perkawinannya itu putus sebelum ia mencapai umur 21 tahun7.
Menurut KUHPerdata batas dewasa dihubungkan dengan kebelumdewasaan
yaitu mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
5
S. Chandra, Op. Cit., Hal 31.
Mangatas Nasution, Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Praktek
Notaris Dikota Medan, Tesis, USU, Medan, 2007 Hal 1.
7
Ibid., Hal 2.
6
Universitas Sumatera Utara
5
lebih dahulu kawin,8 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Undang-Undang Kewarganegaraan Baru Nomor 12 Tahun 2006 dan Konvensi
Hak Anak batas usia dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun. Beberapa negara juga
memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan
aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana
diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan
dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia
di atas 18 (delapan belas) tahun.9
Hukum perdata berangkat dari prinsip, bahwa untuk pemenuhan dan
pelaksanaan kepentingannya, kepada person diberikan kebebasan untuk bertindak
menurut kehendaknya, khususnya atas harta kekayaannya. Mereka pada asasnya
diberi kebebasan untuk mengambil tindakan pemilikan atasnya, terhadap kebebasan
tersebut, pembuat Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan antara lain
yang berkaitan dengan faktor umur, yang mengandung unsur perlindungan.
Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak dalam hukum. 10
Di dalam tiap-tiap sistem hukum di setiap negara senantiasa terdapat suatu batas
di dalam umur manusia, untuk menentukan apakah manusia itu sudah boleh
dipandang dewasa atau pun belum, apakah dia sudah boleh bertindak dalam hukum
ataupun belum. Sebagai contoh dapat ditunjuk kepada keterangan yang diberikan oleh
8
Pasal 330, KUHPerdata
9
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice , Refki Aditama, Bandung, 2009, Hal 34-35
10
Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Hibah Untuk Anak Dibawah
Umur (Studi Pelaksanaan Hibah Untuk Anak Dibawah Umur di Kantor PPAT-Notaris Kota
Tangerang), Tesis, UNDIP, Semarang, 2010, Hal 3.
Universitas Sumatera Utara
6
Wirjono Prodjodikoro, ternyata di Hongaria batas umur untuk dewasa ialah 24 tahun,
di Negara Swiss 20 tahun.11
Sistem hukum romawi pada umumnya banyak sekali meninggalkan bekas atau
pengaruh di dalam hukum-hukum Eropah Barat. Mungkin juga atas dasar pengaruh
inilah di dalam hukum-hukum Eropah Barat, makanya mula-mula dahulu batas umur
untuk dikatagorikan masih di bawah umur ditetapkan di Negeri Belanda dan Prancis
pada usia 25 tahun. Di Prancis batas usia 25 tahun diturunkan menjadi 21 tahun oleh
dan di dalam Undang-Undang tanggal 20 September 1792. Dalam pada itu negeri
Belanda di dalam sejarahnya pernah pula mengenal batas 23 tahun, batas mana
kemudian ditukar menjadi 21 tahun dalam tahun 1901 dengan merubah pasal yang
bersangkutan di dalam KUHPerdata Belanda, yakni pasal 385.12
Didalam hukum Romawi kuno, perkawinan saja belum membuat orang lepas
dari anak di bawah umur (dewasa), berlainan dengan keadaan yang selalu kita jumpai
dalam sistem-sistem hukum lain, misalnya pengertian minores yaitu pria yang telah
mencapai umur 14 tahun dan wanita yang telah melewati usia 12 tahun, sudah boleh
kawin menurut hukum, akan tetapi dengan perkawinan itu saja mereka dianggap
belum dewasa. Dengan demikian terdapat kesan, bahwa hukum Romawi membuat
beda diantaranya :
Dewasa seksuil dan
Dewasa hukum
11
Mahadi, Soal Dewasa, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Medan, Medan, Hal 3.
12
Mangatas Nasution, Op Cit, Hal 2.
Universitas Sumatera Utara
7
Dewasa seksuil lebih cepat dicapai dari pada dewasa hukum.13
Di Indonesia sampai sekarang belum terdapat suatu kesatuan (unifikasi) bidang
hukum perdata yaitu berlakunya Hukum Perdata Eropah (Burgerlijk Wetboek atau
KUHPerdata) dan Hukum Adat. Hal ini sebagai akibat dari adanya penggolongan
penduduk pada zaman Hindia Belanda dalam pasal 163 Indische Staatsregeling
(selanjutnya disingkat IS), yaitu golongan Eropah, Timur Asing dan Bumi Putera. 14
Setelah Negara Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945, sesuai dengan
pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, penggolangan penduduk ini
masih terus berlaku sampai dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana penduduk Indonesia
digolongkan ke dalam Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing15.
Signifikasi pembicaraan tentang kedewasaan sebagai ukuran kecakapan dalam
melakukan perbuatan hukum erat kaitannya dengan eksistensi manusia sebagai
subyek hukum.
Hukum itu adalah untuk manusia. Kaidah-kaidahnya yang berisi perintah,
larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat, antara lain
subyek hukum. Adapun subyek hukum adalah yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum
hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan
kewajiban, sebagai subyek hukum atau sebagai orang.16
13
Mahadi, Op Cit, Hal 3.
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 3.
15
Ibid, Hal 4.
16
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu [
14
Universitas Sumatera Utara
8
Setiap manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah sebagai subyek
hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Disamping orang maka badan hukum
digolongkan juga sebagai subyek hukum17.
Dalam hukum perdata subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan
hukum disebut sebagai orang (persoon) yaitu pembawa hak dan kewajiban. 18
Setiap penyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Pada umumnya sekalipun setiap orang
mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang yang dianggap tidak
cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban.19
Subjek hukum orang, yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu
ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap
bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap bertindak disebut personal
miserabile.20
Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiada lain adalah merupakan suatu
pengertian dimana suatu badan hukum yang sekalipun berupa seorang manusia
namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para
anggotanya dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang
manusia. Jelasnya badan hukum itu dianggap mempunyai hak-hak dan kewajiban
17
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 4.
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal 2.
19
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, hal .83
20
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., Hal 61.
18
Universitas Sumatera Utara
9
serta dapat melakukan perbuatan hukum yang bertindak sebagai suatu badan,
tidak dapat bertindak sendiri, melainkan harus diwakili oleh para pengurusnya.21
Demikian juga halnya badan hukum sebagai subyek hukum dalam melakukan
perbuatan hukum atas nama badan hukum diwakili para pengurusnya. Pengurus di
sini adalah orang, berarti harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum22.
Menurut Satjipto Rahardjo23, sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak
dan kewajiban, namun hukum dapat mengecualikan manusia sebagai makluk hukum
atau hukum bisa tidak mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Apabila hukum
sudah menentukan demikian maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut
menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum.
Menurut S. Chandra dari pendapat di atas, bahwa menurut hukum manusia
tidak sama dengan orang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:24
Menurut hukum (juris), manusia tidak sama dengan orang, karena manusia
merupakan gejala alam dalam pengertian biologis, misalnya tidur atau
menghirup udara merupakan hak manusia yang tidak diiringi kewajiban,
dengan kata lain bahwa tidak semua manusia dapat menjadi subyek hukum,
hanya manusia yang memenuhi syarat tertentu dapat diterima menjadi subyek
hukum, yaitu manusia penyandang hak sekaligus juga penyandang kewajiban,
misalnya penjaga lintas kereta api atau pemegang sertipikat kepemilikan hak
atas tanah. Maka yang menjadi pusat perhatian hukum bukan manusianya
melainkan orangnya yang patut diterima menjadi subyek hukum.
21
Abdul Muis, Hukum Persekutuan & Perseroan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, 1995, Hal 11.
22
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 5.
23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 67.
24
S. Chandra, Op. Cit., Hal 8.
Universitas Sumatera Utara
10
Meski menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak
dan kewajiban tidaklah selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri
kewajibannya.25
Demikian batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan
persoalan yang menarik untuk dikaji karena terdapat banyak ketentuan dalam
hukum yang ada di Indonesia yang mengatur tentang batas umur seseorang untuk
dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, baik dalam lingkungan hukum privat
maupun hukum publik,26 tidak terkecuali dalam hukum Agraria, khususnya dalam
pendaftaran tanah dalam rangka mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan
hukum antara orang dengan tanah serta menjamin kepastian hukum bagi pemilik
tanah oleh seseorang atau badan hukum dengan penetapan Pemerintah kepada
seseorang/Badan Hukum sebagai pemegang hak atas tanah tertentu.
Menurut Runtung Sitepu27 banyak faktor yang menyebabkan sulitnya
merumuskan secara tegas ukuran-ukuran seseorang itu dinyatakan dewasa, antara
lain:
Pertama, karena adanya macam-macam sistem hukum di Indonesia yang berlaku
pada bermacam-macam golongan dalam masyarakat, dimana satu sama lain
berbeda-beda dalam menentukan batas minimal seseorang itu dinyatakan dewasa.
Diantaranya Hukum Adat, Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
25
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Medan, 2000, Hal 121.
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 6.
27
Runtung Sitepu, Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Adat, Program Studi S-2 Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
26
Universitas Sumatera Utara
11
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Peraturan Perundangundangan Nasional.
Kedua, pengertian kedewasaan itu sendiri dalam kenyataannya selalu dikaitkan
dengan jenis perbuatan hukum yang akan dilakukan seseorang seperti misalnya :
Dewasa dalam arti batas usia minimal untuk diperbolehkan melangsungkan
perkawinan dengan izin orang tua.
Dewasa dalam arti batas usia minimal di izinkan untuk menjadi peserta
pemilihan umum.
Dewasa dalam arti batas usia minimal seseorang tidak lagi menjadi tanggungan
orang tua dan
Dewasa dalam arti batas usia minimal seseorang itu dapat melakukan tindakan
hukum secara mandiri.
Hal tersebut telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan ketidak
pastian hukum dalam masyarakat, termasuk dalam pelayanan pertanahan pada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan juga instansi di kalangan Notaris dan PPAT selaku
pejabat umum.
Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap permasalahan
pendaftaran tanah yang dilakukan oleh wali terhadap anak di bawah umur, dimana
anak tersebut ditinggal mati oleh orang tua laki-laki sehingga hanya dari ibu menjadi
wali terhadap anak untuk mendaftarkan harta warisan terhadap tanah yang dimiliki
oleh Almarhum, dikarenakan anak tersebut masih dibawah umur dan belum bisa
untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional
Universitas Sumatera Utara
12
yang mengharuskan mendaftarkan orang tua dari anak tersebut untuk menjadi wali
anak dalam mendaftarkan pendaftaran tanah.
Dalam pelayanan pertanahan pada instansi BPN, terutama dalam pelaksanaan
tugas pendaftaran tanah pertama kali seseorang dapat diberikan hak atas tanah apabila
telah dewasa dan mempunyai identitas kependudukan, sungguhpun batas umur
dewasa selama ini dalam prakteknya ditetapkan 21 tahun dan baru tahun 2015
dimungkinkan 18 tahun, sementara dalam kenyataan hukum anak di bawah umur
karena kepentingannya menghendaki, harus diberikan atau menjadi pemegang hak
atas tanah baik karena pewarisan maupun sebab lainnya.
Demikian juga halnya dengan Notaris sekaligus PPAT yang bertugas
melaksanakan sebagian tugas pendaftaran tanah dalam hal ini pembuatan akta
peralihan dan pembebanan hak atas tanah, selanjutnya akta perbuatan hukum (akta
PPAT) tersebut juga harus memperhatikan ketentuan batas di bawah umur (dewasa)
tersebut agar dapat didaftarkan di Kantor Pertanahan, dengan ketentuan anak di
bawah umur yang kepentingannya menghendaki harus di akomodir sebagai pihak
(komparan) dalam pembuatan akta.
Dalam hal kepentingan menghendaki, anak di bawah umur harus ditetapkan
sebagai pemegang hak atau pemilik tanah, maka untuk melakukan tindakan hukum
harus dilakukan oleh orang tua atau walinya, namun agar tidak menimbulkan
kerugian bagi hak-hak anak di bawah umur yang diwakili oleh orang tua atau walinya
perlu juga ditinjau mengenai pertanggungjawaban wali tersebut dalam menjalankan
kekuasaan atas anak di bawah umur.
Universitas Sumatera Utara
13
Demikian urgensinya batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini,
khususnya dalam praktek Notaris/PPAT dalam pembuatan akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum di bidang hukum pertanahan atau pendaftaran tanah,
maka perlu dilakukan penelitian dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang ada maupun ketentuan hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat tentang
batas umur kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum ini.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum Dalam
Pendaftaran Tanah ?
2. Bagaimana Status Hukum Wali Terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam
Pendaftaran Tanah ?
3. Bagaimana Kepastian Hukum Terhadap Pendaftaran Yang di Lakukan Anak
di Bawah Umur Berdasarkan Surat Edaran Menteri ATR/KaBPN Nomor
4/SE/I/2015 ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui Kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum
Dalam Pendaftaran Tanah.
Untuk mengetahui Status Hukum Wali Terhadap Anak Di Bawah Umur
Dalam Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
14
Untuk mengetahui Kepastian Hukum Terhadap Pendaftaran Yang di Lakukan
Anak di Bawah Umur Berdasarkan Surat Edaran Menteri ATR/KaBPN
Nomor 4/SE/I/2015.
Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.28 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum yang timbul.29 Ada pun manfaat dari hasil penelitian ini
akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang
hukum yaitu :
Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong pembaca untuk dapat lebih
mengerti dan memahami ketentuan hukum tentang pendaftaran tanah yang
dibuat atas nama anak di bawah umur.
Secara Praktis, bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para
praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah khususnya diharapkan akan
bermanfaat bagi para Notaris dan PPAT serta masyarakat yang akan membuat
pendaftaran tanah keatas nama anak di bawah umur.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara Khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan
10.
28
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, Hal
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2007,
Hal 41.
Universitas Sumatera Utara
15
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang
berjudul Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas
Nama Anak Di bawah Umur, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek
permasalahan dan substansi adalah asli serta dipertanggungjawabkan secara
akademis dan ilmiah.
Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan anak di bawah umur yang
pernah ditulis adalah :
Saudari Siti Hafsah Ramadhani (0270110620), Tanggung Jawab Balai Harta
Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Di bawah Umur (Studi
Mengenai Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas),
dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Mengapa fungsi Wali Pengawas dalam penyelesaian warisan yang atasnya
turut berhak anak di bawah umur tidak berjalan sebagaimana mestinya ?
b. Apakah fungsi Wali Pengawas ini dapat diperluas daya berlakunya sehingga
dapat diberlakukan terhadap Golongan Pribumi ?
c. Bagaimana pengaruh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan terhadap eksistensi Balai Harta Peninggalan (BHP)
sebagai wali pengawas, khususnya bagi Warga Negara Indonesia yang tunduk
kepada KUHPerdata ?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya adalah bahwa tugas Balai
Harta Peninggalan tugas walimtidak berjalan dengan semestinya terutama tidak ada
sinkronasi antara pelaksanaan dengan pengaturan yang mengaturnya, dimana
kurangnya kerjasama antar instansi terkait, seperti Pengadilan Negeri, Dinas
Kependudukan dan Notaris, sehingga berdampak buruk terhadap efisiensi dan
Universitas Sumatera Utara
16
volume pekeraan BHP yang mengakibatkan peran BHP selaku wali pengawas
semakin merosot.
Saudara Posan (117011148), Analisis Yuridis Penguasaan Harta Warisan Anak
Angkat Di bawah Umur Pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011), dengan permasalahan yang
diteliti adalah :
Bagaimana pengurusan harta kekayaan milik anak angkat di bawah umur
menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata ?
Bagaimana penerapan hak terdapat pengurusan harta kekayaan anak angkat di
bawah umur dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2161 K/PDT/2011?
Saudari Ira Ewita (127011145) Pelaksanaan Hibah Kepada Anak Di bawah
Umur Dan Akibat Hukumnya Setelah Anak Menjadi Dewasa Ditinjau Dari
Hukum Perdata, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
Bagaimanakah pengaturan mengenai hibah baik dari hukum perdata dan
hukum positif lainnya di Indonesia ?
Bagaimanakah akibat hukum jika hibah merugikan para legetemaris ?
Bagaimanakah pelaksanaan pemberian hibah kepada anak di bawah umur dan
akibat hukumnya bila anak tersebut dewasa ?
Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkanya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.30
30
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Hal 203.
Universitas Sumatera Utara
17
Teori diperlukan untuk mengembangkan suatu bidang suatu kajian hukum
tertentu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuan dalam
penerapan aturan hukum.
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
bahwa “Perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas
penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”. 31
Teori sebagai konsep adalah ekspresi suatu konsep tentang hakekat realitas
sosial. Selanjutnya teori sebagai skema konseptual, maka merupakan perangkat
konsep yang berkait dan mencerminkan relatif sosial. Terakhir maka teori ini sebagai
proposisi adalah perangkat proposisi, dimana salah satu proposisi dapat diuji secara
empiris. Teori tersebut mengembengkan induktif dan/atau deduktif. 32
Menurut Sarantakos dalam buku Otje Salman33, teori adalah suatu kumpulan
proposisi yang secara logis terkait satu sama lain dan diuji serta disajikan secara
sistematis yang dibangun dan dikembangkan melalui researc dimaksudkan untuk
menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena.
Selanjutnya menurut M. Solly Lubis34, kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis sipenulis mengenai suatu kasus atau
permasalahannya menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta ,1986, Hal 6.
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, IND-HILL Co.,
Jakarta 1990, Hal 66.
33
Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2004, Hal 22.
34
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Cetakan Kedua, Medan, 2012,
Hal 116.
32
Universitas Sumatera Utara
18
Teori hukum digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang
terjadi dalam suatu fenomena hukum. Adapun terhadap permasalahan dalam
penelitian ini akan dikaji dengan menggunakan teori kepastian hukum.
Menurut Maria S.W. Sumardjono35, bahwa hukum menghendaki kepastian.
Hukum pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak atau hakhak lain atas bidang tanah. Dalam realitasnya, pemegang sertipikat atas tanah belum
merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang sering kali
muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertipikat tanah
melalui lembaga pengadilan.
Sementara menurut pendapat Muchtar Wahid36 bahwa kepastian hukum
meliputi unsur kepastian hak, kepastian subyek dan kepastian obyek. Lahirnya
kepastian
terhadap
unsur-unsur
tersebut
berkaitan
erat
dengan
efektivitas
melaksanakan sistem hukum pertanahan dalam masyarakat. Ditegaskan bahwa
kepastian hukum dalam hukum pertanahan bukan hanya ditentukan oleh hukum atau
sistem pendaftaran tanah yang berlaku, tetapi sangat bergantung pada pelaku hukum,
dukungan
institusi
terkait
serta
pemahaman
dan
sikap
masyarakat
yang
mengharapkan manfaat dari pendaftaran tanah tersebut.
Dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai
pisau analisis (grand theory) penelitian ini juga didukung dengan Teori Kepastian
35
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, 2000, Hal 37.
36
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta,
2008, Hal 8.
Universitas Sumatera Utara
19
Hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting dalam memecahkan masalah
dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya. Hukum secara tegas dipisahkan dari
moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik buruk.37 Yang dinamakan
sebagai hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan
kedaulatan.
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undangundang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang
telah diputus.38
Dengan demikian, kepastian hukum mengenai hak milik atas tanah yang
masih menimbulkan keraguan bagi pemegang sertipikat, membutuhkan pengkajian
atau analisis yang lebih dalam secara empiris terutama dalam kaitannya dengan
realitas sosial dan kesadaran hukum bagi masyarakat.
Dalam semua tatanan hukum dewasa ini berlaku ketentuan yang menetapakan
bahwa setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang undangundang tidak menetapkan lain. Kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah
37
Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi, Pengantar Filasafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju,
2002), hal. 55
38
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,
2008), hal. 158
Universitas Sumatera Utara
20
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan mengikat yang tidak
dapat dipersoalkan atau tidak dapat diganggu gugat (onaantastbaar). Perbuatan
hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecakapan dalam
melakukan
perbuatan hukum (handelingsonbekwame) akibat hukumnya dapat
dipersoalkan atau dapat dibatalkan (aantastbaar atau voidable), bergantung pada
jenis perbuatan hukum yang dilakukan. Orang yang tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum itu, mempunyai kemungkinan untuk menuntut pembatalan hukum
dari perbuatan hukumnya sendiri yang dilakukan tanpa pertimbangan yang
seharusnya dilakukannya yang dapat merugikan dirinya sendiri.39
Subjek hukum (rechts subyek) berkaitan erat dengan kecakapan hukum.
Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam
hal telah mencapai paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.40
Pengertian subjek hukum menurut Algra adalah ”setiap orang mempunyai hak
dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subjek
dari hak-hak”.41
Dalam hukum perdata subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan
hukum disebut sebagai orang (persoon) yaitu pembawa hak dan kewajiban.42 Subjek
hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang
39
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Hal 92.
40
Pasal 1 ayat 2 KUHPerdata
41
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2006, Hal 36-37.
42
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal 22.
Universitas Sumatera Utara
21
berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai
pendukung hak dan kewajiban.43
Subjek hukum orang, yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu
ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap
bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap bertindak disebut personal
miserabile.44
2.
Konsepsi
Konsep adalah salah satu hal yang terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak
dengan kenyataan. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari
abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operational defenition.45
Untuk menjawab permasalahan secara dalam, penelitian ini harus didefinisikan
beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan dalam tesis ini yaitu :
Kepastian Hukum Batas umur adalah umur tertentu dari seseorang yang
menjadi pemisah, sesuatu yang menjadi tanda akhir sehingga beralih kepada
keadaan tertentu (dewasa);
43
Ibid
Sudikno Mertokusumo, Op Cit., Hal 61.
45
Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal 10.
44
Universitas Sumatera Utara
22
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya; 46
Anak di bawah umur.
Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan
ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita
yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara
biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di
dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut
pada waktunya nanti melahirkan keturunannya;
Tanggungjawab47 adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya);
Wali48 adalah Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa: penjualan
tanah itu tidak dapat disahkan karena pemiliknya belum dewasa dan – nya
46
Lihat Pasal 1 PP 24 Tahun 1997
Menurut Kamus Bahasa Indonesia
48
Menurut Kamus Bahasa Indonesia
47
Universitas Sumatera Utara
23
tidak menyetujuinya atau orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan dan
pengasuhan anak.
Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan sutu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk memperlajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa.49
1.
Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat Normatif Empiris dimana
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan penelitian dan menganalisanya dengan peraturan perundang-undangan50
yang berkaitan dengan kepastian hukum pendaftaran tanah yang dibuat atas nama
anak di bawah umur.
2.
Pendekatan Penelitian
Sehubungan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach)51 dengan menganalisa peraturan perundangan yang
berlaku baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
49
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hal 43.
Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, Cetakan Ketiga, Bayu Media
Publishing, Malang, 2007, Hal 39.
51
Ibid, Hal 295.
50
Universitas Sumatera Utara
24
3.
Sumber Data
Sumber-sumber data dalam penelitian ini adalah bahan-bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
atau bahan non hukum.
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang berisikan peraturan
perundang-undangan yang terdiri dari :
Undang-Undang Nomor 1 Tahum 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
20014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang tentang Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
25
Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batas Usia Dewasa Dalam Rangka
Pelayanan Pertanahan.
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat
dengan bahan hukum primer yang terdiri dari :
1) Buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum;
2) Doktrin/Pendapat/ajaran dari para ahli hukum;
3) Jurnal-jurnal hukum, yurisprudensi, hasil seminar dan simposium yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
terdiri dari kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain.
4.
Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara
atau interview. Ketiga alat tersabut dapat digunakan masing, atau bersama-sama. 52
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
dalam penelitian ini maka alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah Studi
Kepustakaan (Library Researh) yaitu penelitian kepustakaan diadakan untuk
memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan
perundang-undangan, dan dokumentasi lainnya yang bersifat studi dokumen. Untuk
52
Soerjono Sokanto , Op.Cit, Hal 21.
Universitas Sumatera Utara
26
melengkapi studi kepustakaan guna mendapatkan data pendukung antara lain pejabat
pada instansi BPN, dan Notaris/PPAT yang bertugas di Kabupaten Asahan.
5.
Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan
data dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 53 Didalam
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang
berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.54 Sumber data berupa bahan hukum,
yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dan hasil
wawancara dengan nara sumber tersebut disistematisasikan dan selanjutnya data
primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis secara
yuridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi perihal kepastian hukum pendaftaran tanah
yang dibuat atas nama anak di bawah umur.
Data primer dalam penelitian ini yang diperoleh melalui kuesioner dan
wawancara, juga dianalisis secara kualitatif, sehingga diperoleh gambaran yang jelas
tentang kepastian hukum pendaftaran tanah yang dibuat atas nama anak di bawah
53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal
54
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hal 25.
106.
Universitas Sumatera Utara
27
umur melakukan perbuatan hukum dalam praktek Notaris dan PPAT dan juga
pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
Setelah diperoleh data skunder berupa bahan hukum primer, skunder dan
tertier, maka dilakukan inventarisasi dan penyusunan secara sistematik, kemudian
diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif dan selanjutnya
metode penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yakni berpikir
dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan
menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas
atas permasalahan dan tujuan penelitian.55
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hal 23.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang amat besar manfaatnya,
sehingga tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup di dunia ini.
Timbulnya hubungan yang erat antara manusia dengan tanah karena tanah merupakan
tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari, dalam hal ini tanah
mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia.
Mengingat begitu pentingnya tanah atas permukaan bumi sebagai sumber daya
alam yang sangat bermanfaat bagi orang banyak maka konstitusi mengaturnya dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut :
“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Saat ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai
jual yang tinggi karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat. Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka manusia selalu berusaha untuk
memiliki dan menguasai tanah.
Orang yang memiliki tanah disebut sebagai pemilik, apabila pemilik tanah
tersebut memperolehnya dengan cara yang sah dan dengan itikad baik serta sesuai
dengan aturan yang berlaku, maka Negara (pemerintah) dapat memformalkan
pemilikan tersebut sebagai pemilik yang berhak atau subyek hak. Melalui kegiatan
1
Universitas Sumatera Utara
2
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum atas pemilikan tanah oleh seseorang (subyek hak).
Orang perseorangan dapat ditetapkan menjadi subyek hak atas tanah oleh
Pemerintah melalui pendaftaran tersebut, yaitu setiap orang yang identitasnya
terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, berdomisili di
dalam atau di luar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh
sesuatu hak atas tanah. Namun, untuk melakukan tindakan hukum dalam lalu-lintas
hukum pertanahan tidak semua orang dapat (cakap) melakukannya,1 misalnya anak di
bawah umur sebagai subyek hak atas tanah tersebut.
Secara umum setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan
kewajiban, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum.2
Pengaturan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP)
mengenai seseorang tidak cakap melakukan perbuatan hukum :
1) Anak yang masih di bawah umur, belum dewasa dan belum menikah.
2) Orang yang berada dalam pengampuan misalnya orang yang sakit mental.
3) Orang perempuan dalam perkawinan.
Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan
dewasa secara fisik dalam hukum, misalnya dalam hukum perdata bersandar kepada
ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat
1
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005, Hal 7.
2
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, CV
Nuansa Aulia, Bandung, 2006, Hal 23.
Universitas Sumatera Utara
3
KUHPerdata) yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 tahun dan sebelumnya belum kawin”, hal ini dapat dimaklumi karena tidak tegas
mengenai ketentuan umur dewasa dalam hukum, terutama hukum adat yang dapat
dijadikan dasar pengaturannya.3
Walau pun demikian undang-undang juga memberikan pemecahan masalah
ketika anak di bawah umur harus melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa harus
menggunakan lembaga perwakilan atau perwalian, yaitu dengan cara meniadakan
keadaan belum dewasa bagi si anak, dengan syarat anak sudah mencapai umur 20
tahun dan telah ditetapkan pendewasaannya (handlichting) oleh Presiden berdasarkan
rekomendasi Mahkamah Agung.4
Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat
unifikasi tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini
terlihat bervariasinya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam
berbagai peraturan perundangan di antaranya yang terkait dengan perbuatan hukum
berikut ini:
1. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai
umur 21 tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 tahun
atau wanita berumur 16 tahun dapat melakukan perbuatan hukum perikatan /
perjanjian perkawinan atas persetujuan orang tua atau walinya.
3
4
Ibid., Hal 29.
Lihat, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
4
2. Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris disebutkan : penghadap harus memenuhi syarat paling
sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.
Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian
tersebut di atas, menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisik dan
atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara
biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban
khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.5
Batas umur seseorang merupakan salah satu ukuran yang menentukan apakah
seseorang itu dikatakan masih di bawah umur (minderjarig) atau sudah dewasa
(meerderjarig). Menurut hukum yang berlaku di Indonesia seseorang baru dapat atau
cakap melakukan perbuatan hukum, salah satu ukurannya adalah kalau dia sudah
cukup umur (dewasa) menurut hukum.6
Menurut ketentuan KUHPerdata, orang dikatakan masih di bawah umur apabila
ia belum mencapai umur 21 tahun, kecuali ia sudah kawin. Kalau seseorang sudah
kawin maka ia tidak akan menjadi orang yang di bawah umur lagi meskipun
perkawinannya itu putus sebelum ia mencapai umur 21 tahun7.
Menurut KUHPerdata batas dewasa dihubungkan dengan kebelumdewasaan
yaitu mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
5
S. Chandra, Op. Cit., Hal 31.
Mangatas Nasution, Batas Umur Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Praktek
Notaris Dikota Medan, Tesis, USU, Medan, 2007 Hal 1.
7
Ibid., Hal 2.
6
Universitas Sumatera Utara
5
lebih dahulu kawin,8 sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Undang-Undang Kewarganegaraan Baru Nomor 12 Tahun 2006 dan Konvensi
Hak Anak batas usia dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun. Beberapa negara juga
memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan
aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana
diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan
dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia
di atas 18 (delapan belas) tahun.9
Hukum perdata berangkat dari prinsip, bahwa untuk pemenuhan dan
pelaksanaan kepentingannya, kepada person diberikan kebebasan untuk bertindak
menurut kehendaknya, khususnya atas harta kekayaannya. Mereka pada asasnya
diberi kebebasan untuk mengambil tindakan pemilikan atasnya, terhadap kebebasan
tersebut, pembuat Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan antara lain
yang berkaitan dengan faktor umur, yang mengandung unsur perlindungan.
Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak dalam hukum. 10
Di dalam tiap-tiap sistem hukum di setiap negara senantiasa terdapat suatu batas
di dalam umur manusia, untuk menentukan apakah manusia itu sudah boleh
dipandang dewasa atau pun belum, apakah dia sudah boleh bertindak dalam hukum
ataupun belum. Sebagai contoh dapat ditunjuk kepada keterangan yang diberikan oleh
8
Pasal 330, KUHPerdata
9
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice , Refki Aditama, Bandung, 2009, Hal 34-35
10
Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Karena Hibah Untuk Anak Dibawah
Umur (Studi Pelaksanaan Hibah Untuk Anak Dibawah Umur di Kantor PPAT-Notaris Kota
Tangerang), Tesis, UNDIP, Semarang, 2010, Hal 3.
Universitas Sumatera Utara
6
Wirjono Prodjodikoro, ternyata di Hongaria batas umur untuk dewasa ialah 24 tahun,
di Negara Swiss 20 tahun.11
Sistem hukum romawi pada umumnya banyak sekali meninggalkan bekas atau
pengaruh di dalam hukum-hukum Eropah Barat. Mungkin juga atas dasar pengaruh
inilah di dalam hukum-hukum Eropah Barat, makanya mula-mula dahulu batas umur
untuk dikatagorikan masih di bawah umur ditetapkan di Negeri Belanda dan Prancis
pada usia 25 tahun. Di Prancis batas usia 25 tahun diturunkan menjadi 21 tahun oleh
dan di dalam Undang-Undang tanggal 20 September 1792. Dalam pada itu negeri
Belanda di dalam sejarahnya pernah pula mengenal batas 23 tahun, batas mana
kemudian ditukar menjadi 21 tahun dalam tahun 1901 dengan merubah pasal yang
bersangkutan di dalam KUHPerdata Belanda, yakni pasal 385.12
Didalam hukum Romawi kuno, perkawinan saja belum membuat orang lepas
dari anak di bawah umur (dewasa), berlainan dengan keadaan yang selalu kita jumpai
dalam sistem-sistem hukum lain, misalnya pengertian minores yaitu pria yang telah
mencapai umur 14 tahun dan wanita yang telah melewati usia 12 tahun, sudah boleh
kawin menurut hukum, akan tetapi dengan perkawinan itu saja mereka dianggap
belum dewasa. Dengan demikian terdapat kesan, bahwa hukum Romawi membuat
beda diantaranya :
Dewasa seksuil dan
Dewasa hukum
11
Mahadi, Soal Dewasa, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Medan, Medan, Hal 3.
12
Mangatas Nasution, Op Cit, Hal 2.
Universitas Sumatera Utara
7
Dewasa seksuil lebih cepat dicapai dari pada dewasa hukum.13
Di Indonesia sampai sekarang belum terdapat suatu kesatuan (unifikasi) bidang
hukum perdata yaitu berlakunya Hukum Perdata Eropah (Burgerlijk Wetboek atau
KUHPerdata) dan Hukum Adat. Hal ini sebagai akibat dari adanya penggolongan
penduduk pada zaman Hindia Belanda dalam pasal 163 Indische Staatsregeling
(selanjutnya disingkat IS), yaitu golongan Eropah, Timur Asing dan Bumi Putera. 14
Setelah Negara Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945, sesuai dengan
pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, penggolangan penduduk ini
masih terus berlaku sampai dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dimana penduduk Indonesia
digolongkan ke dalam Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing15.
Signifikasi pembicaraan tentang kedewasaan sebagai ukuran kecakapan dalam
melakukan perbuatan hukum erat kaitannya dengan eksistensi manusia sebagai
subyek hukum.
Hukum itu adalah untuk manusia. Kaidah-kaidahnya yang berisi perintah,
larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat, antara lain
subyek hukum. Adapun subyek hukum adalah yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum
hanyalah manusia. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan
kewajiban, sebagai subyek hukum atau sebagai orang.16
13
Mahadi, Op Cit, Hal 3.
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 3.
15
Ibid, Hal 4.
16
Sudikno Martokusumo, Mengenal Hukum Suatu [
14
Universitas Sumatera Utara
8
Setiap manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah sebagai subyek
hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Disamping orang maka badan hukum
digolongkan juga sebagai subyek hukum17.
Dalam hukum perdata subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan
hukum disebut sebagai orang (persoon) yaitu pembawa hak dan kewajiban. 18
Setiap penyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Pada umumnya sekalipun setiap orang
mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan orang yang dianggap tidak
cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban.19
Subjek hukum orang, yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu
ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap
bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap bertindak disebut personal
miserabile.20
Apa yang dimaksud dengan badan hukum, tiada lain adalah merupakan suatu
pengertian dimana suatu badan hukum yang sekalipun berupa seorang manusia
namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan sendiri terpisah dari para
anggotanya dan merupakan pendukung dari hak-hak dan kewajiban seperti seorang
manusia. Jelasnya badan hukum itu dianggap mempunyai hak-hak dan kewajiban
17
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 4.
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal 2.
19
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, hal .83
20
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., Hal 61.
18
Universitas Sumatera Utara
9
serta dapat melakukan perbuatan hukum yang bertindak sebagai suatu badan,
tidak dapat bertindak sendiri, melainkan harus diwakili oleh para pengurusnya.21
Demikian juga halnya badan hukum sebagai subyek hukum dalam melakukan
perbuatan hukum atas nama badan hukum diwakili para pengurusnya. Pengurus di
sini adalah orang, berarti harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum22.
Menurut Satjipto Rahardjo23, sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak
dan kewajiban, namun hukum dapat mengecualikan manusia sebagai makluk hukum
atau hukum bisa tidak mengakuinya sebagai orang dalam arti hukum. Apabila hukum
sudah menentukan demikian maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut
menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum.
Menurut S. Chandra dari pendapat di atas, bahwa menurut hukum manusia
tidak sama dengan orang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:24
Menurut hukum (juris), manusia tidak sama dengan orang, karena manusia
merupakan gejala alam dalam pengertian biologis, misalnya tidur atau
menghirup udara merupakan hak manusia yang tidak diiringi kewajiban,
dengan kata lain bahwa tidak semua manusia dapat menjadi subyek hukum,
hanya manusia yang memenuhi syarat tertentu dapat diterima menjadi subyek
hukum, yaitu manusia penyandang hak sekaligus juga penyandang kewajiban,
misalnya penjaga lintas kereta api atau pemegang sertipikat kepemilikan hak
atas tanah. Maka yang menjadi pusat perhatian hukum bukan manusianya
melainkan orangnya yang patut diterima menjadi subyek hukum.
21
Abdul Muis, Hukum Persekutuan & Perseroan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, 1995, Hal 11.
22
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 5.
23
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 67.
24
S. Chandra, Op. Cit., Hal 8.
Universitas Sumatera Utara
10
Meski menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak
dan kewajiban tidaklah selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri
kewajibannya.25
Demikian batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum merupakan
persoalan yang menarik untuk dikaji karena terdapat banyak ketentuan dalam
hukum yang ada di Indonesia yang mengatur tentang batas umur seseorang untuk
dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, baik dalam lingkungan hukum privat
maupun hukum publik,26 tidak terkecuali dalam hukum Agraria, khususnya dalam
pendaftaran tanah dalam rangka mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan
hukum antara orang dengan tanah serta menjamin kepastian hukum bagi pemilik
tanah oleh seseorang atau badan hukum dengan penetapan Pemerintah kepada
seseorang/Badan Hukum sebagai pemegang hak atas tanah tertentu.
Menurut Runtung Sitepu27 banyak faktor yang menyebabkan sulitnya
merumuskan secara tegas ukuran-ukuran seseorang itu dinyatakan dewasa, antara
lain:
Pertama, karena adanya macam-macam sistem hukum di Indonesia yang berlaku
pada bermacam-macam golongan dalam masyarakat, dimana satu sama lain
berbeda-beda dalam menentukan batas minimal seseorang itu dinyatakan dewasa.
Diantaranya Hukum Adat, Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
25
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Medan, 2000, Hal 121.
Mangatas Nasution, Op. Cit, Hal 6.
27
Runtung Sitepu, Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Adat, Program Studi S-2 Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
26
Universitas Sumatera Utara
11
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Peraturan Perundangundangan Nasional.
Kedua, pengertian kedewasaan itu sendiri dalam kenyataannya selalu dikaitkan
dengan jenis perbuatan hukum yang akan dilakukan seseorang seperti misalnya :
Dewasa dalam arti batas usia minimal untuk diperbolehkan melangsungkan
perkawinan dengan izin orang tua.
Dewasa dalam arti batas usia minimal di izinkan untuk menjadi peserta
pemilihan umum.
Dewasa dalam arti batas usia minimal seseorang tidak lagi menjadi tanggungan
orang tua dan
Dewasa dalam arti batas usia minimal seseorang itu dapat melakukan tindakan
hukum secara mandiri.
Hal tersebut telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan ketidak
pastian hukum dalam masyarakat, termasuk dalam pelayanan pertanahan pada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan juga instansi di kalangan Notaris dan PPAT selaku
pejabat umum.
Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti terhadap permasalahan
pendaftaran tanah yang dilakukan oleh wali terhadap anak di bawah umur, dimana
anak tersebut ditinggal mati oleh orang tua laki-laki sehingga hanya dari ibu menjadi
wali terhadap anak untuk mendaftarkan harta warisan terhadap tanah yang dimiliki
oleh Almarhum, dikarenakan anak tersebut masih dibawah umur dan belum bisa
untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanah kepada Badan Pertanahan Nasional
Universitas Sumatera Utara
12
yang mengharuskan mendaftarkan orang tua dari anak tersebut untuk menjadi wali
anak dalam mendaftarkan pendaftaran tanah.
Dalam pelayanan pertanahan pada instansi BPN, terutama dalam pelaksanaan
tugas pendaftaran tanah pertama kali seseorang dapat diberikan hak atas tanah apabila
telah dewasa dan mempunyai identitas kependudukan, sungguhpun batas umur
dewasa selama ini dalam prakteknya ditetapkan 21 tahun dan baru tahun 2015
dimungkinkan 18 tahun, sementara dalam kenyataan hukum anak di bawah umur
karena kepentingannya menghendaki, harus diberikan atau menjadi pemegang hak
atas tanah baik karena pewarisan maupun sebab lainnya.
Demikian juga halnya dengan Notaris sekaligus PPAT yang bertugas
melaksanakan sebagian tugas pendaftaran tanah dalam hal ini pembuatan akta
peralihan dan pembebanan hak atas tanah, selanjutnya akta perbuatan hukum (akta
PPAT) tersebut juga harus memperhatikan ketentuan batas di bawah umur (dewasa)
tersebut agar dapat didaftarkan di Kantor Pertanahan, dengan ketentuan anak di
bawah umur yang kepentingannya menghendaki harus di akomodir sebagai pihak
(komparan) dalam pembuatan akta.
Dalam hal kepentingan menghendaki, anak di bawah umur harus ditetapkan
sebagai pemegang hak atau pemilik tanah, maka untuk melakukan tindakan hukum
harus dilakukan oleh orang tua atau walinya, namun agar tidak menimbulkan
kerugian bagi hak-hak anak di bawah umur yang diwakili oleh orang tua atau walinya
perlu juga ditinjau mengenai pertanggungjawaban wali tersebut dalam menjalankan
kekuasaan atas anak di bawah umur.
Universitas Sumatera Utara
13
Demikian urgensinya batas umur kecakapan melakukan perbuatan hukum ini,
khususnya dalam praktek Notaris/PPAT dalam pembuatan akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum di bidang hukum pertanahan atau pendaftaran tanah,
maka perlu dilakukan penelitian dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang ada maupun ketentuan hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat tentang
batas umur kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum ini.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum Dalam
Pendaftaran Tanah ?
2. Bagaimana Status Hukum Wali Terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam
Pendaftaran Tanah ?
3. Bagaimana Kepastian Hukum Terhadap Pendaftaran Yang di Lakukan Anak
di Bawah Umur Berdasarkan Surat Edaran Menteri ATR/KaBPN Nomor
4/SE/I/2015 ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui Kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum
Dalam Pendaftaran Tanah.
Untuk mengetahui Status Hukum Wali Terhadap Anak Di Bawah Umur
Dalam Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
14
Untuk mengetahui Kepastian Hukum Terhadap Pendaftaran Yang di Lakukan
Anak di Bawah Umur Berdasarkan Surat Edaran Menteri ATR/KaBPN
Nomor 4/SE/I/2015.
Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan.28 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum yang timbul.29 Ada pun manfaat dari hasil penelitian ini
akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang
hukum yaitu :
Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong pembaca untuk dapat lebih
mengerti dan memahami ketentuan hukum tentang pendaftaran tanah yang
dibuat atas nama anak di bawah umur.
Secara Praktis, bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para
praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah khususnya diharapkan akan
bermanfaat bagi para Notaris dan PPAT serta masyarakat yang akan membuat
pendaftaran tanah keatas nama anak di bawah umur.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara Khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan
10.
28
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, Hal
29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2007,
Hal 41.
Universitas Sumatera Utara
15
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang
berjudul Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas
Nama Anak Di bawah Umur, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek
permasalahan dan substansi adalah asli serta dipertanggungjawabkan secara
akademis dan ilmiah.
Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan anak di bawah umur yang
pernah ditulis adalah :
Saudari Siti Hafsah Ramadhani (0270110620), Tanggung Jawab Balai Harta
Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Di bawah Umur (Studi
Mengenai Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas),
dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Mengapa fungsi Wali Pengawas dalam penyelesaian warisan yang atasnya
turut berhak anak di bawah umur tidak berjalan sebagaimana mestinya ?
b. Apakah fungsi Wali Pengawas ini dapat diperluas daya berlakunya sehingga
dapat diberlakukan terhadap Golongan Pribumi ?
c. Bagaimana pengaruh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan terhadap eksistensi Balai Harta Peninggalan (BHP)
sebagai wali pengawas, khususnya bagi Warga Negara Indonesia yang tunduk
kepada KUHPerdata ?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya adalah bahwa tugas Balai
Harta Peninggalan tugas walimtidak berjalan dengan semestinya terutama tidak ada
sinkronasi antara pelaksanaan dengan pengaturan yang mengaturnya, dimana
kurangnya kerjasama antar instansi terkait, seperti Pengadilan Negeri, Dinas
Kependudukan dan Notaris, sehingga berdampak buruk terhadap efisiensi dan
Universitas Sumatera Utara
16
volume pekeraan BHP yang mengakibatkan peran BHP selaku wali pengawas
semakin merosot.
Saudara Posan (117011148), Analisis Yuridis Penguasaan Harta Warisan Anak
Angkat Di bawah Umur Pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011), dengan permasalahan yang
diteliti adalah :
Bagaimana pengurusan harta kekayaan milik anak angkat di bawah umur
menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata ?
Bagaimana penerapan hak terdapat pengurusan harta kekayaan anak angkat di
bawah umur dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2161 K/PDT/2011?
Saudari Ira Ewita (127011145) Pelaksanaan Hibah Kepada Anak Di bawah
Umur Dan Akibat Hukumnya Setelah Anak Menjadi Dewasa Ditinjau Dari
Hukum Perdata, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
Bagaimanakah pengaturan mengenai hibah baik dari hukum perdata dan
hukum positif lainnya di Indonesia ?
Bagaimanakah akibat hukum jika hibah merugikan para legetemaris ?
Bagaimanakah pelaksanaan pemberian hibah kepada anak di bawah umur dan
akibat hukumnya bila anak tersebut dewasa ?
Kerangka Teori dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkanya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.30
30
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1996 Hal 203.
Universitas Sumatera Utara
17
Teori diperlukan untuk mengembangkan suatu bidang suatu kajian hukum
tertentu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuan dalam
penerapan aturan hukum.
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada
berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
bahwa “Perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas
penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”. 31
Teori sebagai konsep adalah ekspresi suatu konsep tentang hakekat realitas
sosial. Selanjutnya teori sebagai skema konseptual, maka merupakan perangkat
konsep yang berkait dan mencerminkan relatif sosial. Terakhir maka teori ini sebagai
proposisi adalah perangkat proposisi, dimana salah satu proposisi dapat diuji secara
empiris. Teori tersebut mengembengkan induktif dan/atau deduktif. 32
Menurut Sarantakos dalam buku Otje Salman33, teori adalah suatu kumpulan
proposisi yang secara logis terkait satu sama lain dan diuji serta disajikan secara
sistematis yang dibangun dan dikembangkan melalui researc dimaksudkan untuk
menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena.
Selanjutnya menurut M. Solly Lubis34, kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis sipenulis mengenai suatu kasus atau
permasalahannya menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta ,1986, Hal 6.
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, IND-HILL Co.,
Jakarta 1990, Hal 66.
33
Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2004, Hal 22.
34
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Cetakan Kedua, Medan, 2012,
Hal 116.
32
Universitas Sumatera Utara
18
Teori hukum digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang
terjadi dalam suatu fenomena hukum. Adapun terhadap permasalahan dalam
penelitian ini akan dikaji dengan menggunakan teori kepastian hukum.
Menurut Maria S.W. Sumardjono35, bahwa hukum menghendaki kepastian.
Hukum pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak atau hakhak lain atas bidang tanah. Dalam realitasnya, pemegang sertipikat atas tanah belum
merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang sering kali
muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertipikat tanah
melalui lembaga pengadilan.
Sementara menurut pendapat Muchtar Wahid36 bahwa kepastian hukum
meliputi unsur kepastian hak, kepastian subyek dan kepastian obyek. Lahirnya
kepastian
terhadap
unsur-unsur
tersebut
berkaitan
erat
dengan
efektivitas
melaksanakan sistem hukum pertanahan dalam masyarakat. Ditegaskan bahwa
kepastian hukum dalam hukum pertanahan bukan hanya ditentukan oleh hukum atau
sistem pendaftaran tanah yang berlaku, tetapi sangat bergantung pada pelaku hukum,
dukungan
institusi
terkait
serta
pemahaman
dan
sikap
masyarakat
yang
mengharapkan manfaat dari pendaftaran tanah tersebut.
Dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai
pisau analisis (grand theory) penelitian ini juga didukung dengan Teori Kepastian
35
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, 2000, Hal 37.
36
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta,
2008, Hal 8.
Universitas Sumatera Utara
19
Hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting dalam memecahkan masalah
dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya. Hukum secara tegas dipisahkan dari
moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik buruk.37 Yang dinamakan
sebagai hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan
kedaulatan.
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undangundang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang
telah diputus.38
Dengan demikian, kepastian hukum mengenai hak milik atas tanah yang
masih menimbulkan keraguan bagi pemegang sertipikat, membutuhkan pengkajian
atau analisis yang lebih dalam secara empiris terutama dalam kaitannya dengan
realitas sosial dan kesadaran hukum bagi masyarakat.
Dalam semua tatanan hukum dewasa ini berlaku ketentuan yang menetapakan
bahwa setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang undangundang tidak menetapkan lain. Kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah
37
Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi, Pengantar Filasafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju,
2002), hal. 55
38
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,
2008), hal. 158
Universitas Sumatera Utara
20
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah dan mengikat yang tidak
dapat dipersoalkan atau tidak dapat diganggu gugat (onaantastbaar). Perbuatan
hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecakapan dalam
melakukan
perbuatan hukum (handelingsonbekwame) akibat hukumnya dapat
dipersoalkan atau dapat dibatalkan (aantastbaar atau voidable), bergantung pada
jenis perbuatan hukum yang dilakukan. Orang yang tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum itu, mempunyai kemungkinan untuk menuntut pembatalan hukum
dari perbuatan hukumnya sendiri yang dilakukan tanpa pertimbangan yang
seharusnya dilakukannya yang dapat merugikan dirinya sendiri.39
Subjek hukum (rechts subyek) berkaitan erat dengan kecakapan hukum.
Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam
hal telah mencapai paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah.40
Pengertian subjek hukum menurut Algra adalah ”setiap orang mempunyai hak
dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subjek
dari hak-hak”.41
Dalam hukum perdata subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan
hukum disebut sebagai orang (persoon) yaitu pembawa hak dan kewajiban.42 Subjek
hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang
39
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Hal 92.
40
Pasal 1 ayat 2 KUHPerdata
41
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2006, Hal 36-37.
42
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, Hal 22.
Universitas Sumatera Utara
21
berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai
pendukung hak dan kewajiban.43
Subjek hukum orang, yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu
ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap
bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap bertindak disebut personal
miserabile.44
2.
Konsepsi
Konsep adalah salah satu hal yang terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak
dengan kenyataan. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari
abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operational defenition.45
Untuk menjawab permasalahan secara dalam, penelitian ini harus didefinisikan
beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan dalam tesis ini yaitu :
Kepastian Hukum Batas umur adalah umur tertentu dari seseorang yang
menjadi pemisah, sesuatu yang menjadi tanda akhir sehingga beralih kepada
keadaan tertentu (dewasa);
43
Ibid
Sudikno Mertokusumo, Op Cit., Hal 61.
45
Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, Hal 10.
44
Universitas Sumatera Utara
22
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya; 46
Anak di bawah umur.
Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan
ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita
yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara
biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di
dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut
pada waktunya nanti melahirkan keturunannya;
Tanggungjawab47 adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya);
Wali48 adalah Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa: penjualan
tanah itu tidak dapat disahkan karena pemiliknya belum dewasa dan – nya
46
Lihat Pasal 1 PP 24 Tahun 1997
Menurut Kamus Bahasa Indonesia
48
Menurut Kamus Bahasa Indonesia
47
Universitas Sumatera Utara
23
tidak menyetujuinya atau orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan dan
pengasuhan anak.
Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan sutu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk memperlajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa.49
1.
Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini bersifat Normatif Empiris dimana
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan penelitian dan menganalisanya dengan peraturan perundang-undangan50
yang berkaitan dengan kepastian hukum pendaftaran tanah yang dibuat atas nama
anak di bawah umur.
2.
Pendekatan Penelitian
Sehubungan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach)51 dengan menganalisa peraturan perundangan yang
berlaku baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
49
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hal 43.
Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, Cetakan Ketiga, Bayu Media
Publishing, Malang, 2007, Hal 39.
51
Ibid, Hal 295.
50
Universitas Sumatera Utara
24
3.
Sumber Data
Sumber-sumber data dalam penelitian ini adalah bahan-bahan hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
atau bahan non hukum.
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang berisikan peraturan
perundang-undangan yang terdiri dari :
Undang-Undang Nomor 1 Tahum 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
20014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang tentang Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
Universitas Sumatera Utara
25
Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batas Usia Dewasa Dalam Rangka
Pelayanan Pertanahan.
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat
dengan bahan hukum primer yang terdiri dari :
1) Buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum;
2) Doktrin/Pendapat/ajaran dari para ahli hukum;
3) Jurnal-jurnal hukum, yurisprudensi, hasil seminar dan simposium yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
terdiri dari kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain.
4.
Tekhnik dan Alat Pengumpulan Data
Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara
atau interview. Ketiga alat tersabut dapat digunakan masing, atau bersama-sama. 52
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
dalam penelitian ini maka alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah Studi
Kepustakaan (Library Researh) yaitu penelitian kepustakaan diadakan untuk
memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan
perundang-undangan, dan dokumentasi lainnya yang bersifat studi dokumen. Untuk
52
Soerjono Sokanto , Op.Cit, Hal 21.
Universitas Sumatera Utara
26
melengkapi studi kepustakaan guna mendapatkan data pendukung antara lain pejabat
pada instansi BPN, dan Notaris/PPAT yang bertugas di Kabupaten Asahan.
5.
Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan
data dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 53 Didalam
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang
berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.54 Sumber data berupa bahan hukum,
yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan dan hasil
wawancara dengan nara sumber tersebut disistematisasikan dan selanjutnya data
primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis secara
yuridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi perihal kepastian hukum pendaftaran tanah
yang dibuat atas nama anak di bawah umur.
Data primer dalam penelitian ini yang diperoleh melalui kuesioner dan
wawancara, juga dianalisis secara kualitatif, sehingga diperoleh gambaran yang jelas
tentang kepastian hukum pendaftaran tanah yang dibuat atas nama anak di bawah
53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal
54
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hal 25.
106.
Universitas Sumatera Utara
27
umur melakukan perbuatan hukum dalam praktek Notaris dan PPAT dan juga
pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
Setelah diperoleh data skunder berupa bahan hukum primer, skunder dan
tertier, maka dilakukan inventarisasi dan penyusunan secara sistematik, kemudian
diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif dan selanjutnya
metode penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yakni berpikir
dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan
menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas
atas permasalahan dan tujuan penelitian.55
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hal 23.
Universitas Sumatera Utara