Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas Nama Anak Di Bawah Umur Dan Pertanggungjawaban Wali

28

BAB II
KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SUBJEK HUKUM
DALAM PENDAFTARAN TANAH
Pengertian Anak di Bawah Umur
Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan
ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang
melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal
dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa
suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan
keturunannya.
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas
sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang
akan datang nantinya, oleh karna itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan
buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang.
Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, anak di kategorikan menjadi
beberapa kelompok usia, yaitu masa anak-anak (berumur 0-12 tahun), masa remaja
(berumur 13-20 tahun), dan masa dewasa (berumur 21-25 tahun). Pada masa anakanak sendiri anak cenderung memiliki sifat yang suka meniru apa yang dilakukan
orang lain dan emosinya sangat tajam.56


56

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, Hal 2-3.

28

Universitas Sumatera Utara

29

Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam
menentukan bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi dalam setiap
perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan
yang mana yang akan dipersoalkan nantinya.
Pengertian anak Secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua
setelah ayah dan ibu.57 Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata
hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan
usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum
mencapai usia18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah

kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan.58
Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada
pasal 330 adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya
belum kawin.
Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.59 Dalam perspektif
Undang-Undang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan
belum pernah kawin.60

57

WJS.Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, Hal 38-

39
58

Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 1 ayat (2),UU No.4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak.
60

Pasal 1 ayat (1), UU No.3Tahun1997 Tentang Peradilan Anak.
59

Universitas Sumatera Utara

30

Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengertian anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan61.
Pengertian Anak di bawah umur menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka (20) anak adalah orang laki-laki atau wanita
yang berumur kurang dari 15 tahun.
Anak menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Pasal 21 (1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau
ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia.
Menurut Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi Pasal 1 (4)
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Anak menurut Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang Pasal 1 angka (5) adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1
angka (5) adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.

61

Pasal 1 butir 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

31

Anak dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas Usia
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.62 Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang

belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum
umur 16 (enam belas) tahun.63
Begitu juga halnya dalam permohonan pemindahan dan peralihan hak dan
pendaftarannya sebagaimana diatur dalam pasal 39 dan pasal 45 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 haruslah orang yang memenuhi syarat untuk
bertindak oleh karena itu apabila yang mengajukan permohonan adalah anak di
bawah umur diwakili oleh orang tua atau walinya baik dalam penandatangan
permohonan, Surat Pernyataan Ahli Waris maupun hal-hal lain yang berkaitan
dengan itu. Hanya saja dalam pelayanan pertanahan tersebut yakni pendaftaran
pertama kali, pendaftaran peralihan atau pemindahan hak, batas umur orang atau anak
yang dapat mengajukan permohonan sendiri sejak tahun 2015 sudah dimungkinkan
18 tahun sesuai surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tanggal 26 Januari 2015 tentang Batas Usia
Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.

62

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama Islam, Jakarta, 2001, Hal 50.

63
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993, Hal 19.

Universitas Sumatera Utara

32

Penetapan batas usia dewasa atau orang dapat mengajukan permohonan untuk
mendapatkan pelayanan pertanahan selama ini 21 tahun, dengan penetapan ini
tentang adanya kepastian hukum mengenai kedewasaan dan kecakapan seseorang
dalam melakukan perbuatan dalam rangka pelayanan pertanahan.

Kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum
Dalam melakukan perbuatan hukum, anak di bawah umur harus diwakili oleh
orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum mampu untuk menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian domisili anak di bawah
umur juga mengikuti domisili orang tua atau walinya, sehingga anak di bawah umur
tidak dapat dinyatakan tidak hadir (afwezig). Ukuran atau batasan untuk menentukan
seseorang masih di bawah umur atau sudah cukup umur dalam KUHPerdata

ditentukan dalam pasal 330, meskipun menurut pasal 282 KUHPerdata seorang pria
berumur 19 tahun dan wanita berumur di bawah 19 tahun boleh melakukan
pengakuan anak (erkenning) dan menurut pasal 897 KUHPerdata bila sudah
mencapai usia 18 tahun boleh membuat surat wasiat, artinya untuk melakukan
perbuatan hukum yang tertentu itu seorang anak boleh datang menghadap Notaris
untuk menandatangi akta yang berkenaan. Perlu pula diketahui kapankah seorang
anak itu di bawah kekuasaan orang tua (ourdelijke-macht), karena sistem hukum
perdata barat yang sebelumnya berlaku dengan sistem Undang-undang Perkawinan
menganut pandangan yang berbeda.64

64

Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas
Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksitensi Balai Harta Peninggalan Medan
Sebagai Wali Pengawas), Tesis, Sps-Usu, Medan, 2004, Hal 25.

Universitas Sumatera Utara

33


Menurut hukum seseorang yang belum dewasa atau di bawah umur tidak cakap
bertindak serta tidak dapat dipertanggungjawabkan akibat dari perbuatan yang
dilakukannya. Anak di bawah umur harus diwakili oleh orang tua atau walinya agar
hak-haknya terlindungi karena dalam hukum semua orang itu memiliki hak-hak yang
sama yang harus dilindungi, tanpa melihat dewasa atau tidaknya seseorang serta
cakap atau tidaknya ia dalam melakukan perbuatan hukum, bahkan seseorang yang
masih dalam kandungan pun sudah memiliki hak dengan catatan ia harus lahir.65
Dalam ketentuan hukum di Indonesia dijelaskan bahwa setiap orang dapat
menjadi subyek hukum, tetapi menurut ketentuan Undang-Undang ada subyek hukum
yang tidak sempurna artinya bahwa subyek hukum itu hanya mempunyai kehendak,
tetapi tidak mampu untuk menuangkan kehendaknya di dalam perbuatan hukum,
dengan kata lain subyek hukum yang tidak sempurna tersebut terkait dengan
kecakapan bertindak atau melakukan perbuatan hukum, mereka-mereka itu adalah : 66
a.

Orang yang belum dewasa/anak di bawah umur;

b.

Orang dewasa tetapi tidak mampu berbuat (gila);


c.

Wanita dalam perkawinan.
Mengenai subyek hukum yang tidak sempurna, yaitu orang-orang yang belum

dewasa, menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum mencapai umur
21 tahun dan belum pernah kawin sebelumnya, sedangkan wanita dalam perkawinan
sejak dikukuhkan SEMA Nomor 03 Tahun 1963, maka kedudukan wanita dalam

65
66

Ibit, Hal. 26
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Bandung, 1994, Hal 341.

Universitas Sumatera Utara

34


perkawinan dianggap cakap menurut hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam melakukan jual beli tanah bersertipikat hak milik sendiri maupun milik
bersama anak di bawah umur tersebut harus dilengkapi dengan Surat Penetapan dari
Pengadilan yang memberikan ijin kepada orang tua atau walinya untuk melakukan
perbuatan hukum atau peralihan, pemindahan atau pembebanan hak. Hal ini sesuai
ketentuan Pasal 309 dan Pasal 393 KUHPerdata, pengalihan hak milik dari anak yang
masih di bawah umur harus berdasarkan pada Penetapan dari Pengadilan.
Kewajiban adanya penetapan pengadilan dalam pendaftaran peralihan,
pemindahan atau pembebanan hak atas tanah yang merupakan milik sendiri atau
milik bersama anak di bawah umur pada Kantor Pertanahan dilakukan untuk
melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan.
Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat unifikasi
tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini menunjukkan
bervariasinya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam berbagai
peraturan perundangan di antaranya adalah sebagai berikut :
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai
umur 21 tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 tahun
atau wanita berumur 16 tahun dapat melakukan perbuatan hukum

perikatan/perjanjian perkawinan atas persetujuan orangtua atau walinya.

Universitas Sumatera Utara

35

Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa penghadap harus memenuhi syarat
paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.
Khusus dalam pelayanan pertanahan, sudah ada kemajuan dengan terbitnya
Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4/SE/I/2015 tanggal 26 Januari 2015, yang telah menetapkan batas usia
dewasa adalah 18 tahun atau sudah kawin sebagaimana telah diuraikan terdahulu
hanya saja, dalam praktek terutama dilembaga perbankan, penetapan usia dewasa
masih mengacu kepada KUHPerdata yaitu 21 tahun, hal ini dibuktikan dengan tetap
adanya persyaratan ijin pengadilan apabila pihak pemegang hak dibawah umur 21
tahun hendak mengajukan permohonan mendapatkan kredit dengan sertipikat tanah
sebagai agunan (Hak Tanggungan). Ketentuan ini diketahui ketika berkas pendaftaran
Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan masih melampirkan ijin pengadilan
tersebut.67
Menurut Abd. Rahim lubis68 syarat tidak berhak salah satunya adalah anak di
bawah umur namun demikian anak di bawah umur masih bisa diberikan hak atas
tanah dengan catatan persyaratan yang mengajukan permohonan tersebut adalah
orang tua atau walinya dan haruslah tanah tersebut berdasarkan pemberian atau
warisan orang tunya bukan berdasarkan pembelian dari orang lain sebab anak di
bawah umur belum berhak sebagai pihak melakukan perjanjian atau kontrak

67
68

Wawancara Abd. Rahim Lubis, Op.Cit.
Ibit

Universitas Sumatera Utara

36

sebagaimana dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata sesuai ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut maka permohonan hak atas
anak di bawah umur akan ditolak.
Dengan demikian anak di bawah umur tidak dapat mengajukan permohonan
pendaftaran tanah begitu juga tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa
diwakilkan oleh orang tua atau walinya. Apabila anak di bawah umur tetap
mengajukan permohonan hak atas tanah, melakukan perbuatan hukum atas tanah,
maka akan ditolak oleh Kantor Pertanahan atau Notris/PPAT kecuali diwakilkan oleh
orang tua atau walinya.
Sedang orang tua atau walinya hendak memindahkan/mengalihkan hak,
termasuk mengagunkan tanah yang pemilik/pemegang haknya termasuk anak di
bawah umur, baik pemilikan sendiri atau pemilikan bersama, maka haruslah terlebih
dahulu mendapatkan ijin pengadilan, tanpa ijin tersebut pendaftaran peralihan,
pemindahan hak atau pembebanannya akan ditolak oleh Kantor Pertanahan.
Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
1.

Pemberian Hak Atas Tanah.
Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda

merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan
kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Sedangkan kata

Universitas Sumatera Utara

37

“Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti suatu register atau
capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotatio Terrens)69.
Pengertian pendaftaran tanah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 bahwa :
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Menurut A.P. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso,
pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam bahasa Belanda disebut
Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang
menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap
suatu bidang tanah.70 Kata Cadastre berasal dari bahasa Latin Capistrtum, yang
berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi
(Capitatio Terrens).71 Selain berfungsi untuk memberikan uraian dan indetifikasi dari
sebidang tanah, Cadastre juga berfungsi sebagai rekaman yang berkesinambungan
dari suatu hak atas tanah.72

69

AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung,
1999, Hal 18.
70
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Predana Media,
Jakarta, 2010, Hal 12.
71
Ibid.
72
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

38

Berdasarkan pengertian pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 1 angka
1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftaran Tanah dapat diuraikan
beberapa unsur pendaftaran tanah, yaitu:
1. Adanya serangkaian kegiatan
2. Dilakukan oleh Pemerintah
3. Secara terus menerus, berkesinambungan
4. Secara teratur
5. Bidang tanah dan satuan rumah susun
6. Pemberian surat tanda bukti hak
7. Hak-hak tertentu yang membebaninya.73
Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada berbagai macam kegiatan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain
dan merupakan suatu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertipikat.
Kegiatan pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya
apabila terjadi perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya74.
Pengertian dari pendaftaran tanah meliputi 2 ( dua ) kegiatan, antara lain
sebagai berikut :
a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali
b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah

73

Ibid.
Erpinka Aprini, Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan
Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah,Tesis,
UNDIP, Semarang 2007, Hal 8-9.
74

Universitas Sumatera Utara

39

Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) ini, menurut Boedi
Harsono75 meliputi tiga bidang kegiatan, yaitu:
Bidang fisik atau “teknis kadastral” ;
Bidang yuridis ; dan
Penerbitan dokumen tanda-bukti hak.
Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran
peralihan dan pembebanan hak, dan juga apabila terjadi perubahan data pendaftaran
tanah baik data yuridis maupun data fisik.
Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan produk dari
kegiatan pelaksanaan

pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam

UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum
bagi pemegang hak atas tanah dengan memberikan tanda bukti hak yang kuat.
Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanah secara tertib dan teratur akan
merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan.76
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa pendaftaran
tanah itu diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan dengan sistem publikasinya “sistem negatif bertendensi positif” atau
sistem negatif yang mengandung positif.
Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dikenal sistem publikasi positif dan
sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif, dapat diartikan pemerintah

75

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya (jilid I), Djambatan, Jakarta, 1999, Hal 74.
76
Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat Di
Kota Sawahlunto, Tesis, 2005, Hal 3-4.

Universitas Sumatera Utara

40

menjamin kebenaran data yang disajikan, sehingga sertifikat merupakan alat bukti
yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.
Sedangkan dalam sistem publikasi negatif, sertifikat bukan merupakan alat
bukti yang mutlak, melainkan sebagai alat bukti yang kuat dalam arti bahwa nama
seseorang atau badan hukum sudah didaftar sebagai pemegang hak, belum tentu
sebagai pemilik yang sah karena masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk
membuktikan kepemilikannya yang sebenarnya melalui gugatan di lembaga
peradilan.
Di Indonesia, sistem publikasi pendaftaran tanah yang digunakan adalah
sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Artinya, pendaftaran
sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, bukan mutlak.77 Hal ini diperkuat
dalam ketentuan Pasal 32 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) ditentukan bahwa :
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a.

Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b.

Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;

c.

Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

77

Engkos Koswara, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di
Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Hal 6.

Universitas Sumatera Utara

41

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat juga
diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal
38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 23 ayat 1 UUPA : Hak Milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya
dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk
dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak
milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 ayat 1 UUPA : Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut,
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam
hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 38 ayat 1 UUPA : Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut

Universitas Sumatera Utara

42

harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19 ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan
tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhirnya.
Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka
diterbitkanlah beberapa peraturan-peraturan di antaranya : Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan akan kepastian hukum hak atas tanah,
sehingga diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, dengan peraturan pelaksanaannya
antara lain Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
3 Tahun 1997.
Jaminan kepastian hukum memiliki beberapa manfaat, di antaranya
memajukan perekonomian nasional (karena sertipikat hak atas tanah dapat dijadikan
agunan untuk memperoleh kredit perbankan), melestarikan lingkungan (karena
hubungan yang pasti antara pemegang hak dengan obyek hak memberikan motivasi
pemegang hak untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian
lingkungan),

meningkatkan

penerimaan

negara

(karena

pendaftaran

tanah

memungkinkan adanya penertiban administrasi peralihan hak dan itu memungkinkan
adanya pemasukan dari bea balik nama), melindungi kepentingan masyarakat
terutama golongan ekonomi lemah (karena jika tanah pemegang hak dibebaskan

Universitas Sumatera Utara

43

untuk kepentingan tertentu, pemegang hak akan memperoleh kompensasi yang
wajar), mencegah atau mengurangi sengketa pertanahan, dan mendukung
perencanaan tata ruang untuk pembangunan78.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan
dan agar dapat dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah suatu
sertipakat hak atas tanah. Untuk menyediakan informasi sebagaimana dalam Pasal 3
huruf b Kantor Pertanahan bersifat terbuka, sehingga

pihak-pihak yang

berkepentingan dapat dengan mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang suatu
bidang tanah yang sudah terdaftar. Sedangkan untuk tertib administrasi pertanahan
maka pendaftaran tanah tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus-menerus
mengikuti perbuatan hukum dan peristiwa hukum yang mengakibatkan data fisik
maupun data yuridis pada suatu bidang tanah mengalami suatu perubahan79.
Menurut J.B. Soesanto, dalam diktatnya Hukum Agraria I menyatakan bahwa
tujuan pendaftaran tanah adalah80 :
Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis
(kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal
ini diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengan
pihak yang menyerahkan maupun pihak-pihak yang mempunyai tanah.

78

Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1988-1998, Hal

182.
79

Erpinka Aprini, Op.Cit., Hal 10-11.
J.B. Soesanto, Hukum Agraria I, Semarang, Penerbit Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Semarang, Hal 90.
80

Universitas Sumatera Utara

44

Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status
hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya
hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status
hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah
dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan
wewenang dan meletakan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak
yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.
Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang
mempunyai

diperlukan

untuk mengetahui

dengan

siapa kita harus

berhubungan untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah
mengenai ada atau tidak adanya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga,
diperlukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan
tertentu

untuk

menjamin

penguasaan

dan

penggunaan

tanah

yang

bersangkutan secara efektif dan aman.
Jadi dengan Pendaftaran Tanah akan diperoleh kepastian hukum tentang hakhak atas tanah yang diakui di Indonesia dan untuk si pemegang hak akan diterbitkan
sertifikat sebagai alat bukti kuat sebagai pemegang hak atas tanah.

Pewarisan
Menurut Hukum Barat (Kitab Undang-Udang Hukum Perdata).
Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa:
“pewarisan hanya berlangsung karena kematian”

Universitas Sumatera Utara

45

Pengertian pewarisan menurut hukum perdata adalah perpindahan hak dan
kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang
merupakan ahli warisnya. Berdasarkan pengertian diatas jelas bahwa pihak-pihak
yang berhak menerima warisan atau yang disebut dengan ahli waris adalah pihak
keluarga dari pihak yang meninggal dunia yaitu pewaris.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Pengertian dari
mewaris itu sendiri adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di
bidang hukum kekayaan. Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau
yang bersifat hukum keluarga (misalnya perwalian) tidaklah beralih.81 Hal tersebut
diatur dalam Pasal 830 KUHPerdata. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi
jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu ada seseorang yang meninggal dunia, ada
seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada
saat pewaris meninggal dunia, dan ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan
pewaris.82
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.83

81

H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 375
H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia - Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 2
83
Ibid, hal. 28
82

Universitas Sumatera Utara

46

Menurut Hukum Perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal
dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak
tersebut kepada para ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli waris, berapa
bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya. Diatur oleh hukum waris
almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh hukum tanah. Hukum tanah
memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan
hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris. 84
Pewarisan sendiri merupakan segala sesuatu mengenai apa yang harus terjadi
dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain pewarisan
merupakan peristiwa perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal
dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli warisnya. Pada asanya
yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan
saja. Kecuali ada hak-hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang tidak
dapat diwariskan, yaitu perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan
pemberian kuasa.
Pewarisan menurut KUHPerdata memiliki ciri khas yaitu adanya hak mutlak
dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari
harta warisan. Jadi apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di
depan pengadilan, ketentuan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris lainnya.
Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 KUHPerdata, yaitu85 :

84
85

Suheri, Op. Cit., Hal 6.
H. Eman Suparman, Op. Cit, hal. 26

Universitas Sumatera Utara

47

1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak
dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan
tidak dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada
perjanjian yang melarang hal tersebut;
3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan
hanya untuk beberapa waktu tertentu;
4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima
tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Bahwa sistem hukum waris barat tidak sesuai dengan alam pikiran bangsa
Indonesia karena sifatnya yang mementingkan hak-hak perseorangan atas kebendaan.
Hal mana selalu akan dapat menimbulkan perselisihan tentang harta warisan diantara
para waris apabila pewaris wafat, dikarenakan menurut hukum barat pada hakekatnya
semua harta warisan termasuk hutang piutang beralih kepada waris, sedangkan para
waris dapat memilih diantara 3 (tiga) sikap yaitu :86
Sikap menerima secara keseluruhan, berarti waris menerima warisan termasuk
hutang-hutang pewaris.
Sikap menerima dengan syarat, berarti waris menerima warisn secara
terperinci dan hutang-hutang pewaris akan dibayar berdasarkan barang-barang
warisan yang diterima.
86

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Penerbit PT Citra Adiya Bakti, Bandung, 2003,

Hal 33

Universitas Sumatera Utara

48

Sikap menolak, berarti waris tidak mau menerima warisan karena ia tidak tahu
menahu mengenai pengurusan harta warisan itu.
Menurut Hukum Islam
Pewarisan menurut Hukum Islam adalah peristiwa wafatnya seseorang
manusia secara umum mengakibatkan beralihnya segala hak-hak (termasuk
kewajiban) atau aktiva dan passive dari seseorang manusia yang wafat tadi untuk
selanjutnya dimiliki oleh generasi berikutnya yang menyusulnya. secara sederhana
dengan meninggalnya seseorang mengakibatkan segala harta kekaayaannya beralih
kepada ahli-warisnya, yang pada umumnya87 terdiri dari pasangan kawinnya yang
hidup terlama beserta anak-anak dan sekalian keturunannya.88 Dari uraian itu tersirat
pula bahwa yang menyebabkan terjadinya proses pewarisan itu menurut Islam adalah
adanya seseorang peninggal harta yang wafat89 adanya kekayaan yang ditinggalkan
dan adanya ahli-waris yang benar-benar masih hidup yang akan mewarisi kekayaan
yang ditinggalkan seorang peninggal harta yang wafat.90
Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat
Alquran dan Hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang
ditentukan Rasulullah. Baik dalam Alquran maupun hadis-hadis Rasulullah, dasar
87
Disebut “Pada Umumnya” karena ada kalanya seseorang peningggal harta wafat dalam
keadaan tidak terikat perkawinan dan tidak memiliki keturunan tetapi masih memiliki ahliwaris berupa
keluarga sedarah yang lainnya.
88
M.Hasballah Thaib dan Syahrial Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan
Menurut Hukum Waris Islam di Indonesia, (diterbitkan sebagai buku-ajar untuk para peserta didik
Program Studi Magister Kenotariatan FH USU), Citapusaka Media, Medan, 2014, Hal 2.
89
M. Hasballah Thaib dan Imam Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pusaka Bangsa Press,
2004, Hal 177.
90
M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah
Pascaswarjana USU, Medan, 2011, Hal 26-27.

Universitas Sumatera Utara

49

hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat,
bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak
ditemui dasar atau sumber hukum itu dalam Surah An-Nissa’; disamping surah
lainnya sebagai pembantu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada
sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik menerima
warisan:
1. Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di
buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau
pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak
termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
2. Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang
mewariskan meninggal dunia.
3. Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan :
Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas
seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu,
paman, dll.
Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi
dua syarat:
Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

Universitas Sumatera Utara

50

Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan
bercerai.
Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi
maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam)
untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.
Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
1) Prinsip Ijbari
Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang
yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.91
Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan
harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku
dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak
pewaris atau ahli waris.92
2) Prinsip Individual
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsip
Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki
secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang
didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain.
Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum
Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan
91

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal 18.
92
Ibid

Universitas Sumatera Utara

51

Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta peninggalan yang tidak
dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di beberapa daerah di Indonesia
terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari nenekmoyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh.93
Misalnya adalah Harta Pusaka di Minangkabau da Tanah Dati di Hitu Ambon. Tiaptiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai
barang-barang keluarga (harta pusaka) itu.94
Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili
itudipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta
Pusaka.95
3) Prinsip Bilateral
Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun
perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak
kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin
bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus
ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku. 96
Menurut Hukum Adat
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris
93

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, Hal 121.
Ibid, Hal 122.
95
Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, Hal 5.
96
Ibid
94

Universitas Sumatera Utara

52

serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan
harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Perbuatan penerusan atau
pengalihan harta pewaris kepada waris sebelum pewaris meninggal dapat terjadi
dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas
bendanya oleh pewaris kepada waris.
Harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi
menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak
boleh dijual sebagai, kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para
waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yangdapat dibagikan. Harta
yang tidak terbagi dalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki
perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan
pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Harta warisan adat yang tidak
terbagi dapat di gadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para
tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk hata warisan yang
terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan
pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggan
(naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.

Universitas Sumatera Utara

53

Sistem Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat di Indonesia sistem kewarisan
yang terdapat pada masyarakat ada 3 yaitu :97
a) Sistem Pewarisan kolektif,
Sistem ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir yang kita jumpai dalam
masyarakat

adat

yang

disebut

cara

berpikir

yang

“comun”

atau

“komunal/kebersamaan”. Cara berpikir yang komunal ini menekankan pada rasa
kebersamaan dalam ikatan kemasyarakatan yang kuat, senasib sependeritaan, secitacita dan setujuan, meliputi seluruh lapangan kehidupan. Keadaan ini menggambarkan
bahwa

individualitas

(sifat

individu)

dari

seseorang

terdesak

kebelakang.

Kebersamaanlah yang utama, baik dalam suka maupun duka.
Cara berpikir komunal ini dikaitkan dengan hukum waris adat, lebih baik
harta peninggalan (warisan) dibiarkan tetap utuh tidak dibagi-bagikan, diwarisi
bersama sama oleh sekumpulan ahli waris, dan hasilnya dinikmati bersama,
kemudian dijadikan harga pusaka. Dalam hal ini dapat saja setiap ahli waris
memakainya, tetapi tidak memiliki, tetapi sekedar diberikan hak pakai saja.
b) Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem
pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang
tidak terbagi bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus
97

Hilman Hadikusuma, Op. Cit., Hal 26.

Universitas Sumatera Utara

54

penanggung jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara
saudara-saudara yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan
kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah tangga dan
berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun menurun. Seperti
halnya dengan sistem kolektif setiap anggota waris dari harta bersama mempunyai
hak memakai dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau
memilikinya secara perorangan.
c) Sistem Pewarisan Individual
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan
atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta
warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan
memiliki bagian harta warisan untuk disahkan, dinikmati atau dialihkan. (dijual)
kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain Berbicara tentang
sistem kewarisan tidak lepas dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakatmasyarakat hukum adat di Indonesia, apabila masyarakat adat yang ada di Indonesia
memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku yang mempunyai bentuk
kekeluargaan, kekerabataan atau keturunan yang berbeda-beda pula. Secara teoritis
sistem kekerabatan atau keturunan itu dapat dibedakan dalam 3 corak yaitu:
Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita
dalam pewarisan.

Universitas Sumatera Utara

55

Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria
dalam pewarisan.
Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis orangtua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan.
Menurut A. Pitlo98 pengertian hukum waris adalah kumpulan peraturan yang
mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
Selain itu, M. Idris Ramulyo99 menerangkan bahwa apabila membicarakan
masalah warisan maka akan sampai pada empat masalah pokok dimana yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat terpisahkan. Masalah pokok tersebut adalah :
pertama adanya seseorang yang meninggal dunia, kedua ia meninggalkan harta
peninggalan, masalah pokok yang ketiga adalah meninggalkan orang “orang yang
mengurusi dan berhak atas harta peninggalan tersebut (ahli waris)”, dan masalah
pokok yang keempat yang tidak kalah pentingnya adalah keharusan bagian masingmasing.

98

A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Cet ke-2
terjemahan, Isa Arief Jakarta Intermasa, 1968, Hal 1.
99
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Barat, 2004, Hal 82.

Universitas Sumatera Utara

56

Bila seorang manusia adanya hukum kewarisan yang menentukan siapa saja
ahli waris dan berapa sebagai individu meninggal dunia maka akan timbul pertanyaan
bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang ditinggalkan serta
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, terutama dalam masalah kekayaan
(vermogensrecht) dari orang yang meninggal dunia.
Demikian membutuhkan aturan aturan yang mengatur bagaimana caranya
hubungan yang meninggal dunia dengan harta benda yang ditinggalkan, siapa yang
mengurus atau mewarisi, dan bagaimana cara peralihan harta tersebut kepada yang
masih hidup. Jadi masalah yang timbul dalam kewarisan adalah masalah harta benda
(kekayaan) dari orang yang meninggal dunia dengan orang-orang yang ditinggalkan
(ahli waris).
Peralihan hak atas tanah karena pewarisan terjadi karena pemegang haknya
telah meninggal dunia, secara hukum hak tersebut beralih kepada ahli warisnya.
Perbuatan ini dilakukan secara tidak sengaja, karena hukum maka hak atas tanah
berpindah kepada orang lain (ahli waris). Mengenai siapa para ahli warisnya berapa
bagian masing-masing dan cara pembagiannya diatur oleh hukum perdata, lebih
khusus lagi diatur oleh hukum waris yang dianut almarhum pemegang hak yang
bersangkutan bukan oleh Hukum Tanah.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi ketertiban tata usaha
pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan tersaji dalam buku tanah merupakan

Universitas Sumatera Utara

57

keadaan yang mutakhir.100 Untuk mengubah data yuridis bidang tanah pada alat bukti
haknya, maka ahli waris yang sah dan berhak mendapatkan warisan tersebut wajib
mendaftarkan perubahan data yuridis atas tanah dimaksud kepada kantor pertanahan
Kabupaten/Kota.101
Hibah dan Hibah Wasiat.
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang
dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu
penghibah masih hidup juga. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah
untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang
dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan
berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.
Hibah sebagai mana diatur dalam KUHPerdata Bab X Buku III tentang
Perikatan diatur dalam Pasal 1666 yaitu : “Penghibahan adalah suatu persetujuan,
dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa
dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan
barang itu. Undang-Undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orangorang yang masih hidup”.
Hibah menurut KUHPerdata adalah perjanjian yang dilakukan oleh penghibah
ketika masih hidup untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepeda
penerima hibah. “Hibah merupakan perbuatan hukum yang dilakukan atas kehendak

100
101

Boedi Harsono, Op. Cit., Hal 504
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Op. Cit., Hal 288.

Universitas Sumatera Utara

58

ikhlas dari pemberi hibah. Dengan kata lain, inisiatif pemberian hibah berasal dari
pemberi hibah dan bukan dari penerima hibah”.102
Berdasarkan Pasal 1683 KUHPerdata, hibah harus dilakukan dengan akta
Notaris103. Dalam akta hibah, pemberi hibah mungkin mewajibkan penerima hibah
untuk memasukkan kembali nilai hibah yang telah diterimanya itu ke dalam harta
peninggalan/warisan pemberi hibah. Ini yang dinamakan wajib inbreng. Mungkin
pula dalam akta hibah pemberi hibah tidak mewajibkan atau membebaskan penerima
hibah dari kewajiban pemasukan atas nilai hibah yang diterimanya itu. Ini yang
dinamakan tidak wajib inbreng. Dalam beberapa hal penarikan kembali pemberian
hibah memerlukan persetujuan pihak Penerima Hibah atau atas persetujuan
pengadilan104.
Hibah kepada anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada
orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya
yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa
termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibah telah meninggal dunia
sebelum terjadi pemberian kuasa itu (KUHPerdata pasal 300, 307, 330 dst, 370, 385,
402, 452, 1330, dan 1448). Hak Milik atas barang-barang yang dihibahkan, meskipun
diterima dengan sah, tidak beralih kepada orang yang diberi hibah, sebelum
diserahkan dengan cara penyerahan menurut pasal 612, 613, 616 dst. (Ov. 26;
102

Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet.
3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal 75.
103
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat, Cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal 91.
104
Eman Suparman (a), Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal 93.

Universitas Sumatera Utara

59

KUHPerdata Pasal 1459, 1475 dan 1666) tertuang dalam pasal 1686 KUHPerdata,
hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat
piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah,
bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri
atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang
diberi hibah (KUHPerdata Pasal 613, 1354 dst, 1682, dan 1792).105
Syarat-syarat pemberi dan penerima hibah dan tata cara hibah berdasarkan
KUHPerdata :
Pemberian hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali
dalam hak yang ditetapkan dalam Bab ketujuh dari buku kesatu KUHPerdata
(pasal 1677);
Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan
oleh notaris (pasal 1682 KUHPerdata);
Suatu hibah mengikat sipenghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari
penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh sipenerima hibah
(pasal 1683 KUHPerdata);
Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah
kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan
orang tua (pasal 1685 KUHPerdata).

105

Ira Erwita, Pelaksanaan Hibah Kepada Anak Dibawah Umur Dan Akibat Hukumnya
Setelah Anak Menjadi Dewasa Ditinjau Dari Hukum Perdata, Tesis, Magister Kenotariatan USU,
Medan, 2015, Hal 50-51.

Universitas Sumatera Utara

60

Sedangkan pengertian hibah menurut Hukum Perdata Islam adalah pengeluaran
harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk
kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang
berhak menjadi ahli warisnya. Intinya adalah pemberian suatu benda semasa hidup
seseorang tanpa mengharapkan imbalan, dasar hukumnya terdapat dalam Al-Quran
Surah Al-Baqarah (2) ayat 177, Surah Ali Imran ayat 38, Pasal 210 sampai 214
Kompilasi Hukum Islam.
Hibah dalam pengertian Hukum Perdata Islam diatas, merupakan pemberian
biasa dan tidak dapat dikategorikan sebagai harta warisan. Kategori itu tampak bahwa
hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika ia masih hidup,
sedangkan warisan baru dapat dilaksanakan bila calon pewaris meningga