Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

22

BAB II
PENGATURAN DAN TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH
ANAK SERTA ISTRI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA
INDONESIA YANG NON MUSLIM
A. Perkawinan Di Indonesia
1.

Pengertian Perkawinan
Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah

membawa Indonesia ke arah pembaharuan hukum.49 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dengan keberadaannya telah menghapus hukum kolonial
dan sekaligus implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hukum kolonial yang dihapus dengan keberadaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :50
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) secara khusus
buku I Tentang Orang,
b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen

Indonesiers S. 1933 No. 74),
c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemengde Huwelijke S. 1898
No. 158),
d. Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
49
Ermansjah Djaja menyebutkan pembaharuan hukum dengan kata Pembaru hukum adalah
seperti 2 (dua) sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung, sisi yang satu
ialah fungsi pembaru hukum bagi hukum-hukum positif yang sudah kadaluarsa atau yang sudah
ketinggalan zaman yang memerlukan pembaruan dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi
perkembangan dan kemajuan masyarakat pada waktu itu, sedangkan sisi satu lagi adalah fungsi
pembaru hukum dengan membentuk hukum-hukum positif yang baru yang disebabkan oleh aspekaspek pembaruan hukum. Ermansjah Djaja, Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan
Transaksi Elektrik : Kajian Yuridis Penyelesaian Secara Non Litigasi Melalui Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2010), hal. 2
50
Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

22

Universitas Sumatera Utara


23

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
merupakan implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi :
”Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Artinya, peraturan perundang-undangn yang telah ada sejak zaman kolonial
tetap berlaku selama belum diterbitkan/diadakan yang baru dimana keberlakuan
undang-undang zaman kolonial didasari oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan
hukum atau ketidakpastian hukum.51 Dengan terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan maka berdasarkan aturan peralihan di atas hukum kolonial
dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dapat dikatakan dibidang perkawinan
Indonesia telah memiliki aturan hukum sendiri.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan
pengertian perkawinan yang termuat dalam Pasal 1, berbunyi :52

51


Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Dengan Urutan Bab, Pasal, Dan Ayat,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hal. 132. Keberadaan sebuah aturan atau hukum harus
memiliki 3 (tiga) nilai dasar seperti yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Saiful Anwar & Marzuki Lubis, Op.Cit, hal. 7. Tidak hanya
sebatas pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian saja keberadaan sebuah peraturan perundangundangan juga harus melihat tindakan penguasa dimana tindakan yang dimaksud ialah tindak untuk
menyelamatkan negara/bangsa dari ancaman bahaya yang disebut salus populisupreme lex atau
kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara
(Era Reformasi), (Medan: Gelora Madani Press, 2004), hal. 39-40
52
Berbanding terbalik dengan penyebutan perkawinan didalam KUH Perdata dimana disana
perkawinan hanya dianggap hubungan perdata. Artinya, dapat dilihat bahwa tidak ada nilai-nilai lain
selain individualis yang termuat didalamnya dan ini sangat bertentangan dengan Pancasila. Hal

Universitas Sumatera Utara

24

”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian di atas yang tercantum dalam undang-undang merupakan rumusan
yang wajib dirujuk dalam setiap pembahasan mengenai perkawinan terutama dari
segi hukum. Namun, keberadaan pengertian di atas juga harus didukung atau dilihat
pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian perkawinan secara khusus ahli hukum
agar lebih jelas pengggambaran mengenai perkawinan jika dilihat dari segi pengertian
atau arti.
Berikut beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu :
a. Anwar Harjono menyebut perkawinan dengan

menggunakan istilah

pernikahan dan mengatakan, ”pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara
seorang laki-laki dengan Perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.53
b. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, ”perkawinan adalah hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan”.54
c. K. Wantjik Saleh mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perjanjian yang
diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila”.55
tersebut tercantum didalam Pasal 26 KUH Perdata, berbunyi : ”Undang-Undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
53
R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 47
54
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3
55
Ibid, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

25

d. Hilman Hadikusuma mengatakan, ”perkawinan adalah perbuatan suci, yaitu
suatu perikatan jasmani dan rohani antara 2 (dua) pihak dalam memenuhi
perintah Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum terhadap
agama yang dianut kedua calon mempelai dan tidak dibenarkan terjadinya
perkawinan beda agama agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga

serta bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masingmasing”.56
e. Mardani

mengatakan,

”perkawinan

atau

nikah

adalah

akad

yang

membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan yang menyenangkan)
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.57
f. Saidus Syahar mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perbuatan hukum

dimana setiap perbuatan hukum yang sah ialah yang menimbulkan akibat
hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suam-istri) dan
atau juga bagi pihak lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau keduaduanya-suami istri mengadakan hubungan hukum tertentu”.58
g. Pengertian perkawinan pada bagian ini dirujuk berdasarkan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang juga
dikenal sebagai pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dimana aturan
tersebut berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam,
”Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah”.59

56

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat
Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 10
57
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4
58
Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Ditinjau dari
Segi Hukum Islam), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 18

59
Pasal 2 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan Inpres No.
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam jelas merupakan aturan pelaksana dari UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimana undang-undang tersebut merupakan aturan
pokok yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Kompilasi Hukum Islam jelas tidak

Universitas Sumatera Utara

26

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian perkawinan adalah ikatan yang
sangat kuat baik lahir maupun batin antara pria dan wanita dimana tujuan hubungan
tersebut untuk memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat sebagai suami isteri
dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
agama yang dianut oleh masing-masing pihak (sama). Artinya, pelaksanaan
perkawinan yang akan dilaksanakan oleh pria dengan wanita harus juga dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana agama antara calon
mempelai laki-laki dan wanita harus memiliki agama yang sama. Dengan demikian,
dapat dikatakan perkawinan yang dilakukan antara agama yang berbeda tidak dapat
dilaksanakan karena tidak satupun agama yang ada di Indonesia yang mengizinkan
perkawinan beda agama.

Merujuk pada pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka unsur-unsur yang tercantum didalamnya,
yaitu :
a. Ikatan lahir batin,
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita,
c. Sebagai suami isteri,

memiliki kekuatan layaknya undang-undang perkawinan karena hanya terletak atau tercantum dalam
Inpres, hal ini disebabkan karena ini merupakan persoalan yang sangat sensitif untuk dilakukan di
Negara Indonesia yang sangat plural dari sisi agama atau teologi. Ramlan Yusuf Rangkuti, Zakiah Dan
Aisyah, Hukum Islam, (Medan: Bartongjaya, 2014), hal. 103. Namun secara teoritis Instruksi baik
Presiden maupun Menteri tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan karena
sifat instruksi itu merupakan individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan
secara organisatoris sedangkan norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum,
abstrak dan berlaku terus-menerus. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi
Dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 79

Universitas Sumatera Utara

27


d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak jauh berbeda dengan pengertian perkawinan yang
diuraikan pada alinea sebelumnya di atas. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut :
a. Ikatan lahir batin, didalam pengertian di atas diungkapkan dengan kalimat
ikatan yang sangat kuat baik lahir maupun batin.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita sama dengan pria dan wanita.
c. Sebagai suami isteri sama dengan suami isteri.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sama dengan
memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan agama yang dianut oleh
masing-masing pihak (sama).
f. Perbedaannya terletak pada bagian terakhir yakni berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dimana didalam pengertian menurut Pasal
1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak tercantum.
2.

Pengaturan Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan
Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah

pada tanggal diundangkan, yakni tanggal 2 Januari 197460 menjadikan perkawinan

60

Hal tersebut sesuai dengan sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, berbunyi :

Universitas Sumatera Utara

28

mutlak mengacu pada undang-undang tersebut sedangkan undang-undang yang
pernah berlaku sampai sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pengaturan terhadap perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 terdiri atas beberapa bab, yaitu :
a. Bab I Dasar Perkawinan
b. Bab II Syarat-Syarat Perkawinan
c. Bab III Pecegahan Perkawinan
d. Bab IV Batalnya Perkawinan
e. Bab V Perjanjian Perkawinan
f. Bab VI Hak Dan Kewajiban Suami Istri
g. Bab VII Harta Benda Dalam Perkawinan
h. Bab VIII Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya
i. Bab IX Kedudukan Anak
j. Bab X Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak
k. Bab XI Perwalian
l. Bab XII Ketentuan-Ketentuan Lain
m. Bab XIII Ketentuan Peralihan
n. Bab XIV Ketentuan Penutup

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksaannya secara efektif
lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

29

Bab-bab yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menggambarkan secara jelas proses berlangsungnya perkawinan di
Indonesia.
Perkawinan di Indonesia dalam proses pelaksanaanya harus dilakukan dengan
ketentutan agama atau kepercayaan masing-masing dari calon mempelai dimana
setelah proses secara agama selesai maka perkawinan tersebut harus dicatatkan oleh
pejabat yang berwenang.61 Ikatan yang telah terjalin tersebut atau perkawinan di
Indonesia memberi hak kepada seorang pria hanya memiliki seorang wanita sebagai
istri begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya dapat memiliki seorang pria sebagai
suaminya.62 Namun, terkait dengan hal tersebut seorang pria tidak menutup
kemungkinan untuk memiliki istri lebih dari 1 (satu) dengan beberapa syarat, yaitu :63

61

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum yang keadaannya secara kuat dapat dibuktikan
melalui surat dalam hal ini pencatatan, sehingga jika terjadi suatu sengketa dalam perkawinan atau
permasalahan yang muncul dari perkawinan maka dengan adanya surat peristiwa hukum, yakni
perkawinan dapat lebih mudah dibuktikan dan petugas pencatatan ialah pegawai pencatatan sipil atau
pegawai kantor urusan agama. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), hal. 147-151
62
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
63
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
berbunyi :
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :
a. adanya perjanjian dari istri/istri-istri,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri dan anakanak mereka,
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Universitas Sumatera Utara

30

a. Adanya persetujuan atau perjanjian dari istri sebelumnya,
b. Adanya jaminan kemampuan dari suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak (termasuk dalam hal ini kepentingan jasmani dan
rohani),
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-istrinya.
Persyaratan di atas muncul dari beberapa sebab, yaitu :64
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya,
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Konsep seorang pria dapat memperoleh istri lebih dari satu di atas harus
melalui penetapan pengadilan baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri yang
berwenang mengadili.65 Dengan adanya uraian di atas mengenai seorang pria hanya
bisa memiliki seorang istri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ditambah seorang pria ternyata dapat memiliki istri lebih dari 1 (satu)
ialah melalui penetapan pengadilan, maka keadaan demikian disebut dengan
monogami tidak mutlak.
Selanjutnya jika seorang pria atau wanita belum pernah menikah atau pernah
menikah harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : 66

64
Sesuai dengan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, berbunyi :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
a. istri tidak dapat menjalan kewajibannya sebagai istri,
b. istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan
65
Hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Retnowulan Sutantio & Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2002),
hal. 5-6. Salah satu kewenangan pengadilan negeri ialah menangani perkara perdata dimana terkait
perkawinan untuk warga negara Indonesia yang non Islam sedangkan pengadilan agama islam untuk
warga negara Indonesia yang beragama Islam. C.S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 337-340 & 343-344
66
Sebagai perbandingan menurut KUH Perdata maka syarat seorang dapat melaksanakan
perkawinan, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

31

a. Perkawinan dapat dilaksanakan atau didasarkan karena persetujuan antara
kedua calon mempelai, artinya pernikahan yang hendak dilakukan tidak boleh
didasari adanya paksaan atau intervensi oleh pihak manapun baik dari
keluarga calon mempelai pria dan keluarga calon mempelai wanita. 67
b. Perkawinan yang hendak dilakukan apabila belum mencapai usia 21 (dua
puluh satu tahun) maka harus mendapat izin dari kedua orang tua. Terkait usia
seseorang boleh kawin minimal harus berusia minimal 19 (sembilan belas)
tahun untuk pria sedangkan untuk wanita berusia minimal 16 (enam belas)
tahun. Terkait perkawinan yang tidak mematuhi usia minimal di atas wajib
meminta dispensasi atau permohonan dari pengadilan yang berwenang baik
pengadilan negeri atau agama.68
c. Tidak ada larangan bagi kedua belah calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan, dimana bentuk larangan berupa :

a.

Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk
seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun,
b. harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak,
c. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak,
d. untuk pihak yang masih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), hal. 23. selanjutnya mengenai
syarat-syarat perkawinan yang terdapat didalam Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, misalnya usia perkawinan dalam KHI yang pria minimal 19 (sembilan belas) tahun
dan wanita 16 (enam belas) tahun. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 15-Pasal 18 No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam literatur lain syarat-syarat di atas dibagi menjadi
beberapa jenis, yakni syarat-syarat materil yang berlaku umum, syarat materil yang berlaku
khusus dan syarat formil. Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hal. 9
67
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
68
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

32

1) Perkawinan sedarah dalam garis keturunan lurus kebawah atau pun ke
atas, serta garis keturunan menyamping, yaitu saudara antara dengan
saudara orang tua san seorang dengan saudara neneknya,
2) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri,
3) Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara
susunan dan bibi/paman susunan,
4) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang,
5) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin,69
6) Seorang yang masing terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali untuk pria mampu memenuhi syarat yang diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dibolehkan kawin lagi sesuai aturan tersebut,70
7) Apabila suami dan istri telah cerai kawin lagi untuk yang kedua kalinya
maka diantara mereka tidak boleh dialngsungkan perkawinan lagi
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain,71

69

Poin 1-5 sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
71
Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
70

Universitas Sumatera Utara

33

8) Sorang wanita yang putus perkawinannya dapat kawin lagi apabila telah
melewati masa waktu tunggu.72
Terpenuhinya syarat di atas maka proses perkawinan sebelum dilaksanakan
sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing calon mempelai maka harus
dilakukan pelaporan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan
dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan.73 Setelah laporan diterima oleh
pegawai pencatat perkawinan maka akan dilakukan pemeriksaan terkait syarat-syarat
boleh dilangsungkannya perkawinan atau tidak. Apabila syarat telah cukup menurut
pegawai pencatatan perkawinan proses selanjutnya melakukan pengumuman.
Pengumuman memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka
terdahulu, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.74 Terakhir
perkawinan dapat dilaksanakan setelah hari ke-10 (sepuluh) sejak pengumuman
kehendak perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan. 75
Berdasarkan

uraian

di

atas

maka

syarat-syarat

seseorang

boleh

melangsungkan perkawinan disebut syarat materil atau subjektif karena melekat pada

72

Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
74
Sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
75
Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
73

Universitas Sumatera Utara

34

masing-masing calon mempelai sedangkan prosedur melangsungkan perkawinan
sesuai agama dan kepecayaan masing-masing disebut syarat formal atau objektif.76
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak hanya memuat
uraian perkawinan antara sesama warga negara Indonesia akan tetapi ada juga
perkawinan warga negara Indonesia dengan warga negara lain. Keadaan demikian
disebut perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara 2
(dua) orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewrganegaraan dan salah satu pihak merupakan kewarganegaraan asing dan pihak
lain berkewarganegaraan Indonesia.77
Selanjutnya pihak-pihak atau orang-orang yang kawin dengan warga negara
asing atau melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan
suami atau istrinya dan dapat juga kehilangan kewarganegaraannya. Hal tersebut
sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, berbunyi :
a. Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
“Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut caracara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku”.

76

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 76
77
Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

35

b. Pasal 26 Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
“(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Terdapat konsekuensi terkait perkawinan campuran, yakni salah satunya anak
yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini akan meyebabkan anak tersebut akan
memiliki kewarganegaraan ganda sehingga saat berusia 18 (delapan belas) tahun
harus memilih kewarganegaraannya. Hal tersebut didasari oleh Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
berbunyi :
“Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal
5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya”.
3.

Perceraian Sebagai Alasan Putusnya Perkawinan
Perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara 2 (dua) orang manusia

atau sepasang manusia didalamnya tentu terdapat konflik. Konflik-konflik seputar
perkawinan misalnya pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, putusnya

Universitas Sumatera Utara

36

perkawinan dan lain sebagainya. Diantara konflik perkawinan tersebut yang paling
menarik ialah putusnya perkawinan yang diakibatkan perceraian.78
Undang-undang tidak disebutkan secara jelas mengenai arti dari perceraian.79
Perceraian yang tercantum dalam undang-undang lebih kepada proses terjadinya
perceraian atau tata perceraian, misalnya Pasal 14-36 Bab V Tata Cara Perceraian
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Uraian di atas membawa arah kepada perlunya dipaparkan pengertian
perceraian dari para ahli. Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian
perceraian, yaitu :
a. I ketut Oka Setiawan mengatakan, ”perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan dari salah satu pihak dalam
perkawinan. Tata cara mengajukan gugatan cerai beserta alasannya diatur
dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan”.80
b. R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin mengatakan, ”perceraian
berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat
tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik
dari suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu
berdasar pada perselisihan antara suami dan istri”.81
78

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Pasal
38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
79
Idealnya sebuah peraturan perundang-undangan memuat ketentuan umum yang jelas. Pada
kenyataannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
memuat ketentuan umum yang jelas. Seharusnya ketentuan umum memuat : batasan pengertian atau
definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan dan hal-hal lain yang bersifat umum
yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan : Proses Dan Teknik Pembentukannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal.122
80
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Orang Dan Kebendaan, (Jakarta: FH
Utama, 2011), hal. 77-78
81
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, (Bandung:

Universitas Sumatera Utara

37

c. P.N.H. Simanjuntak mengatakan, ”perceraian adalah pengakhiran suatu
perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari
salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan”.82
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas maka pengertian perceraian
adalah situasi dimana berakhirnya hubungan perkawinan yang dilakukan melalui
proses penyelesaian sengketa cerai di peradilan dan setelah keluar putusan maka
berakhirlah perkawinan dan khusus untuk yang beragama Islam harus juga dilakukan
ikrar cerai.83
Pengajuan perceraian sebagai alasan putusan perkawinan harus didasari oleh
beberpa alasan, yaitu : :84
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya,
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayajan pihak yang lain,
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alumni, 1986), hal. 109
82
P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pustaka Djambatan,
2007), hal. 53
83
Didalam hukum acara perdata dikenal 2 (dua) jenis sengketa, yakni gugatan
permohonan/voluntair atau gugat dengan permohonan dan gugatan contentiosa atau gugat sengketa
yang terdiri dari para pihak. Dalam hal ini perkara perceraian ada tergugat dan penggugat maka
termasuk dalam gugatan contentiosa. Nurhayati Harahap, Hukum Acara Perdata Kontemporer Di
Indonesia, (Medan: Gelora Madani Press, 2009), hal. 45-46
84
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

38

Kedelapan alasan di atas dalam pengajuannya kepengadilan bersifat relatif
tidak komulatif. Artinya, salah satu syarat saja yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan tidak harus
sampai kepada harus terjadi seluruh peristiwa yang tercantum dalam undang-undang.
Terlibatnya proses persidangan dalam peristiwa perceraian bertujuan untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga untuk
kepastian hukum sehingga perceraian harus melalui lembaga peradilan.85
Perceraian yang terjadi antara suami dan istri akan menimbulkan beberapa
akibat, yaitu :
a.

Akibat terhadap suami dan istri, yaitu :
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya
tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa
ikut memikul biaya tersebut,
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.86

85

Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT.
Rambang Palembang, 2006), hal. 110-111
86
Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

39

b. Akibat terhadap harta kekayaan ialah harta bawaan masing-masing tetap
dikuasai dan menjadi haknya masing-masing, sedangkan harta bersama diatur
menurut hukum masing-masing agama/ kepercayaannya.87
c. Akibat terhadap status para pihak, yaitu :88
Status para pihak :
1) Kedua belah pihak tidak lagi terikat dalam tali perkawinan dengan status duda
dan janda;
2) Keduanya boleh melakukan perkawinan dengan pihak lain (khusus untuk istri
berlaku waktu tunggu);
3) Kedua mereka itu boleh melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak
dilarang oleh undang-undang atau agama mereka.
Hakikat pengaturan mengenai perceraian dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menurut A. Mohammad pada dasarnya mempersulit untuk
terjadinya perceraian dimana pendapat tersebut didasar oleh beberapa alasan, yaitu :89
a. Perkawinan mempunyai tujuan suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah
perbuatan yang dibenci oleh Tuhan;
b. Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri; dan
c. Untuk meningkatkan derajat dan martabat istri sehingga setara dengan derajat
dan martabat suami.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mempersulit
perceraian jelas tidak menciderai tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan ialah untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
87

Pasal 35-37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal. 81
89
Ibid, Hal. 82

88

Universitas Sumatera Utara

40

Ketuhanan Yang Maha Esa.90 Artinya, berumah tangga merupakan perwujudan
kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan,
dalam kesatuan keluarga yang bersifat pariental serta bagian dari peristiwa agama dan
dilakukanuntuk memenuhi perintah agama.91
B. Tanggung Jawab Suami Pasca Perceraian Terhadap Nafkah Kepada Anak
Dan Istri Bagi Warga Negara Indonesia Yang Non Muslim
1.

Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan kata yang memiliki cukup banyak arti. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya atau menerima pembebanan sebagai akibat pihak sendiri atau pihak
lainnya.92
Secara garis besar perlu dipahami bahwa tanggung jawab sangat berkaitan erat
juga dengan kemampuan, artinya seseorang itu harus mampu bertanggung jawab
terhadap setiap perbuatan hukum yang dilakukannya. Seorang yang non muslim jika

90

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 11 dan Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 9
92
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1398. Sebagai perbandingan konsep hukum
pidana tanggung jawab dikenal dengan istilah pertanggungjawaban pidana atau “toereken-baarheid,”
“criminal reponsibilty,” “criminal liability,” dimana pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan
untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukanya itu. Roscue Pound mengatakan,”I Use simple word “liability” for
the situation where by one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction”
(Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan. Menurutnya juga bahwa
pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan
tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu
masyarakat). S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, (Jakarta: Alumni
Ahaem-Peteheam, 1996), hal. 245 dan Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), hal. 65
91

Universitas Sumatera Utara

41

dilihat kecakapannya dalam bertanggung jawab akan berpedoman berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni :
a. Seseorang yang telah genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah kawin
(Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata),
b. Seseorang yang tidak dibawah pengampuan (433 KUH Perdata).
Hukum perdata mengenal 2 (dua) prinsip tanggung jawab, yakni tanggung
jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan tanggung jawab mutlak
(strict liability).
a.

Tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault)
Tanggung jawab (liability) atas dasar kesalahan (liability based on fault)

merupakan prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum
perdata dimana dalam hukum perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) prinsip ini dipegang teguh dan termuat dalam Pasal 1365, 1366 dan
1367.93 Perlu dipahami bahwa kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang
bertentangan dengan hukum. Hukum disini harus dipandang tidak hanya dalam ruang
lingkup undang-undang saja akan tetapi termasuk dalam kepatutan dan kesusilaan
dalam masyarakat.94
Rincian tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) yang
terdapat dalam KUH Perdata, sebagai berikut :95

93

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 59-61

94

Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 93

95

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra
Adiyta Bakti, 2010), hal. 3

Universitas Sumatera Utara

42

1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas
sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
b.

Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan atau ada pula

pendapat yang membedakan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute
liability).96 Pendapat yang membedakan kedua istilah tersebut mengatakan tanggung
jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan akan tetapi ada pengecualianpengecualian yang memungkinkan bebas dari tanggung jawab misalnya keadaan
force majeur, sedangkan tanggung jawab absolut (absolute liability) merupakan
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.97
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa konsep tanggung jawab
secara khusus secara hukum merupakan kemampuan seorang subjek hukum untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan atau melaksanakan kewajibankewajiban yang dibebankan kepada subjek hukum baik dalam undang-undang
maupun dalam masyarakat.98

96

Shidarta, Op.Cit, hal. 62-63
Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit, hal. 96.
98
Didalam Hukum secara umum terdapat beberapa prinsip tanggung jawab, yaitu :
Kesalahan (liability based on fault),
Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability),
Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability),
Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Ibid, hal. 92
97

a.
b.
c.
d.
e.

Universitas Sumatera Utara

43

2.

Pengaturan Dan Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Anak Dan Istri
Pasca Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Non Muslim
Konsep tanggung jawab secara singkat telah diuraikan di atas, dimana

tanggung jawab merupakan kemampuan seorang subjek hukum untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan atau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada subjek hukum baik dalam undang-undang maupun dalam
masyarakat. Terkait dengan tanggung jawab seorang suami terhadap anak dan istri di
Indonesia harus diawali oleh ikatan perkawinan. Perkawinan merupakan hubungan
hukum yang melahirkan akibat terhadap subjek hukum yang terikat didalamnya.
Artinya, seorang pria menjadi suami atau kepala rumah tangga sedangkan wanita
menjadi seorang istri yang mendampingi seorang suami dalam suka maupun duka.
Perkawinan yang telah mengikat seorang pria dan wanita menjadi suami istri
memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau dihormati oleh masingmasing pihak. Hak dan kewajiban suami istri yang tertuang dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan99, yaitu :

99
Terdapat ide dasar yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan ide pembaharuan hukum. Ide unifikasi hukum
merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku untuk
semua warga Negara. Sedangkan ide pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha menampung
aspirasi emansipasi tuntutan masa kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan
dalam derajat yang sama, baik terhadap hak dan kewajiban antara suami istri maupun terhadap anak.
Wilbert D. Kolman, Rosa Agustina et.al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris
Di Belanda Dan Indonesia, (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hal. 129. Selain dalam undang-undang, hak
dan kewajiban suami dan istri juga terdapat atau dikenal dalam hukum Islam. Hak dan kewajiban
tersebut dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : a. Hak bersama suami dan istri berupa : halal saling bergaul
dan mengadakan hubungan kenikmatan seksual, haram melakukan perkawinan, misalnya istri haram
dinikahi ayah suaminya, hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah, sahnya
menasabkan anak kepada suami yang menjadi teman setempat tidur. b. Hak istri terhadap suaminya,
yakni hak kebendaan, yaitu mahar dan nafkah dan hak rohaniah, seperti memperlakukannya dengan
adil jika suami berpoligami dan tidak membahayakan istri. c. Hak suami terhadap istri berupa ditaati

Universitas Sumatera Utara

44

a. Suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga. Artinya, rumah tangga yang dibentuk oleh pria dan wanita harus
mampu menunjukkan hubungan yang harmonis dan tentram sehingga keadaan
perkawinan tersebut dapat menunjukkan cerminan dari sebuah masyarakat
yang baik.100
b. Hak dan kedudukan suami dan istri seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Artinya, suami yang
berposisi sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga
pengakuannya didalam hukum maupun masyarakat sama atau seimbang.
Misalnya seorang suami bertugas menafkahi keluarganya dan tidak menutup
kemungkinan istri juga dapat membantu keuangan keluarga dengan bekerja
atau dari sisi hukum seorang wanita yang telah menjadi istri tidak lantas
hilang haknya untuk ikut serta dalam pemilihan umum demikian juga seorang
pria dengan menjadi suami tidak lantas kehilangan haknya dalam pemilihan
umum.101
c. Suami dan istri harus mempunyai tempat tinggal yang sama dimana hal ini
harus dimusyawarahkan bersama tidak boleh salah satu pihak saja yang
membuat

keputusan.

Misalnya

pasangan

yang baru

melangsungkan

perkawinan ternyata setelah itu mereka diminta oleh orang tua istri untuk
dalam hal-hal yang tidak maksiat, istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami, menjauhkan diri dari
sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya dan lain sebagainya. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1978), hal. 51-52 & 117
100
Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
101
Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

45

tinggal dirumah mereka sementara waktu, disini istri tidak boleh langsung
mensetujui permintaan

orang tuanya akan

tetapi

harus

melakukan

musyawarah terlebih dahulu dengan suaminya sehingga permasalahan terkait
adanya pengambilan keputusan sepihak dari istri yang akan menimbulkan
prasangka buruk dari suami dapat dihindari.102
d. Suami dan istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir dan batin kepada yang lain. Artinya, konsep
keseimbangan memang harus benar-benar dijunjung tinggi disini, yakni suami
yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga harus juga menghormati
istrinya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh sewenang-wenang terhadapnya
bahkan jika diperlukan perwujadan saling menghormati tersebut seorang
suami juga tidak enggan untuk membantu istri dalam menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga atau saling menjaga antara keduanya, jika istri sedang
sakit maka tidak salah jika suami harus begadang demi merawat istrinya
demikian sebaliknya dan lain sebagainya. Intinya ialah kehidupan rumah
tangga merupakan hubungan yang diikat perkawinan dimana dalam proses
kesehariaannya harus saling melengkapi satu sama lain.103
e. Suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga harus menjalankan tugas
pokoknya dengan baik dan benar. Artinya seorang suami harus mencukupi
kehidupan rumah tangganya dengan kemampuan yang dimilikinya dan istri

102
103

Pasal 32 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 33 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara

46

harus benar-benar mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga
celah untuk terjadinya sengketa yang berujung pada perceraian dapat
dihindari.104
f. Suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam harta benda yang
mereka miliki. Artinya, setiap harta benda yang diperoleh salam masa
perkawinan merupakan milik bersama termasuk harta bawaan masing-masing
pihak kecuali sebelum perkawinan berlangsung telah diperjanjikan lain.105
g. Suami dan istri yang dalam kehidupan rumah tangganya memiliki anak wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya dimana
kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau mampu berdiri sendiri
bahkan jika kekuasaan orang tua dicabut kewajiban untuk memberi
pemeliharaan kepada anak tetap harus dilakukan.106
Pelaksanaan hak dan kewajiban suami dan istri di atas jika dilaksanakan maka
kehidupan rumah tangga akan berjalan baik. Namun, dalam pelaksanaannya
kehidupan rumah tangga tidak hanya berjalan dengan mulus saja tentu ada
perselisihan. Perselisihan yang terjadi dirumah tangga pun beraneka ragam
diantaranya salah satu pihak tidak memberi nafkah baik lahir maupun bantin, salah
satu pihak berzina, salah satu pihak tidak mencintai istri atau suaminya lagi sehingga
keadaan rumah tangga direkayasa sedemikian rupa menjadi tidak harmonis dan lain
sebagainya yang mana jika keadaan demikian tidak teratasi akan berujung pada
104

Pasal 33 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 35-37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
106
Pasal 45-49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
105

Universitas Sumatera Utara

47

gugatan perceraian di pengadilan negeri untuk yang beragama non muslim sedangkan
gugatan perceraian untuk muslim diajukan ke pengadilan agama.
Terjadinya perceraian antara suami dan istri tentu tidak langsung memutuskan
hubungan mereka terkait dengan hal-hal tertentu, misalnya terkait dengan masalah
anak dan lain sebagainya. Perceraian yang terjadi didalam sebuah rumah tangga
masih menyisakan akibat hukum, yakni salah satunya ialah terkait dengan nafkah.107
Sebelum terjadi perceraian nafkah merupakan kewajiban mutlak dari seorang suami
sebagai kepala keluarga dimana hal ini sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :
”Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan hanya menyatakan cukup jelas. Namun dalam pasal tersebut terdapat
kalimat ”memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga” harus atau
dapat ditafsirkan sebagai nafkah dari seorang suami kepada istri baik berupa uang
belanja, makanan, pakaian dan lain sebagainya.108

107
Selain nafkah mengenai harta merupakan salah satu bagian yang harus segera diselesaikan
dalam permasalahan perceraian. Harta bawaan dan hadiah atau warisan dari masing-masing pihak baik
suami atau istri menjadi milik mereka masing-masing berbeda dengan harta harta bersama yang
dimiliki semasa perkawinan maka harus dilakukan pembagian kepada kedua belah pihak. Secara
hukum masing-masing. kategori hukum masing-masing ini dapat berupa hukum agama, hukum adat
dan hukum-hukum lain. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan:
Universitas Dharmawangsa Fakultas Hukum, 1993), hal. 135-139
108
Nafkah adalah belanja untuk hidup sebagai pendapatan, uang belanja dari suami yang
diberikan kepada istri atau rezeki, bekal hidup sehari-hari, dan mata pencaharian. Sudarsono, Kamus
Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 289

Universitas Sumatera Utara

48

Nafkah yang dimaksud disini tidak hanya untuk anak saja akan tetapi nafkah
untuk istri yang telah dicerai atau mantan istri. Akan tetapi, sebelum terjadi
perceraian (masih proses dalam proses persidangan) anak dan istri juga masih
memperoleh nafkah dimana hal tersebut dapat dimintakan melalui gugatan balik atau
rekopensi dan pokok gugatan dimana putusannya dapat segera dimintakan.109 Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
berbunyi :
”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat. Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak,
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.
Pengaturan Nafkah anak dan istri setelah perceraian dapat dilihat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Nafkah untuk anak dari
ayah di atur dalam Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, berbunyi :
”Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut”.
109

Jenis gugatan ini termasuk gugatan asesor atau tambahan. M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 68

Universitas Sumatera Utara

49

Selanjutnya, nafkah untuk istri pasca perceraian atau

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 13

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 1

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 38

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 29

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V

0 0 44

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 6

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 16

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 4

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 3 21

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN) Chapter III V

0 0 48