Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 (UUP No.l Tahun
1974), menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Didalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan
Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lain/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting.
Selanjutnya R. Sardjono mengatakan, bahwa "ikatan lahir" berarti bahwa para
pihak yang bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami-istri
baik bagi dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi suami-istri dalam
hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan bathin dalam perkawinan
berarti bahwa bathin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguhsungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan
membina keluarga bahagia dan kekal. 1

1


R. Sardjono, Berbagai-bagai Masalah hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Paper). Di edarkan dikalangan mahasiswa Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Trisakti Jakarta, hal. 6

1
11

Universitas Sumatera Utara

Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan
yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga
dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna
memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum
kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling
menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah
semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai
nilai ibadah 2. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai
pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak

yang lahir dalam perkawinan. Dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21 allah
berfirman:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ".
Ayat tersebut mengungkapkan tujuan dasar setiap pembentukan rumah
tangga, yaitu disamping untuk mendapat keturunan yang saleh, adalah untuk dapat
hidup tentram, adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang. Ikatan

2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1998, hal.

69

12

Universitas Sumatera Utara


pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan
waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk diucapkan oleh calon
suami dan wall calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh Rasulullah disebut sebagai
Khafifatani fi al-Lisan Saqilatani fi al-Mizan (ringan untuk diciptakan oleh lidah,
tetapi berat pada timbangan). Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh
gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan
perhatian yang serius dan terus-menerus. 3
Sesuai UUP No.l Tahun 1974 adanya mengatur hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal diantaranya; Pertama mengatur
tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua
yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974 ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Khusus di dalam masalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang
diatur di dalam UUP No.l Tahun 1974 mendapat perhatian dari Hazairin dalam
tinjauannya tentang hal tersebut istilah belum dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat
(2) dan Pasal 49 ayat (1). Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara
dan mendidik anak-anaknya berlaku sampai anak-anak itu menikah atau dapat berdiri
sendiri. Sebaliknya menurut Pasal 46, maka jika anak telah "dewasa" wajib


3

Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Mam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana), 2004, hal. 96

13

Universitas Sumatera Utara

memelihara menurut kekuatannya orang tuannya apabila mereka memerlukan
bantuannya. 4
Kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum antara orang tua dengan
anak terlihat secara jelas dalam "alimentatieplicht" yaitu suatu kewajiban orang tua
terhadap anak untuk memberikan penghidupannya sampai anak memiliki kemampuan
untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja, bahkan adakalanya anak di
biayai oleh orang tuanya walaupun sudah berumah tangga misalnya untuk
melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini tergantung kepada
kondisi orang tua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya seorang anak sudah
dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak tamat Sekolah Dasar (SD)

dan bahkan membantu orang tuanya untuk mengurangi beban kehidupan mereka.
Secara normatif, orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan
tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan
pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif
tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechf) yaitu tidak boleh kewajiban orang
tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu. 5

4

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Melton Putra, 1991), Cetakan
Pertama, hal. 188-189
5
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga, (Medan : USU Press,
2011), hal. 64

14

Universitas Sumatera Utara

UUP No.l Tahun 1974 telah meletakkan kewajiban orang tua terhadap anak

adalah : 6
1.
2.
3.
4.
5.

Kedua orang tua wajib memelihara anak;
Kedua orang tua wajib mendidik anak;
Kedua orang tua wajib memberi nafkah;
Kedua orang tua wajib menyediakan tempat tinggal;
Kedua orang tua mewakili kepentingan hukum anak sampai anak tersebut dewasa.
Kewajiban orang tua tersebut akan berakhir jika anak tersebut berumah

tangga, atau anak sudah hidup mandiri.
Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu
yang dianggap luhur untuk dilakukan oleh karena itu, kalau seorang hendak
melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja sebagai
tindakan permainan, agama Islam tidak memperkenankannya karena itu pula
perkawinan mut'ah yang sifat nya sementara hanya untuk bersenang senang selama

waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahilliyah dahulu
dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. 7
Tujuan perkawinan menurat Pasal 1 UUP No.l Tahun 1974 adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Meskipun demikian tidak setiap perkawinan akan mencapai tujuan
yang baik. Kekekalan dan kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak
berlangsung lama dalam arti perkawinan tersebut tidak berujung pada kebahagiaan

6

Ibid.
Muhammad Baud Ali, Hukum Islam : Pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia cetakan sebelas, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada 2004 ) hal.140.
7

15

Universitas Sumatera Utara

dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian walaupun semua calon

suami istri tersebut telah penuh kehati-hatian dalam menjatuhkan pilihannya.
Penelitian ini penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui akibat
putusnya perkawinan karena perceraian sebagaimana tujuan dari suatu perkawinan
yang telah disebutkan diatas. Prinsip perkawinan sendiri adalah untuk membentuk
suatu keluarga yang tentram damai dan kekal untuk selamanya namun perjalanan
kehidupan tidak selalu sesuai dengan keinginan manusia. Perceraian merupakan
realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk
mencari penyelesaian dengan cara damai yakni dengan jalan musyawarah, suami-istri
dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil kepetusan bercerai, karena
benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali. Walaupun dalam ajaran Islam ada
jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang
meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Untuk mencapai perdamaian
antara suami-istri bilamana tidak dapat diselesaikan oleh mereka, maka Islam
mengajarkan agar diselesaikan melalui hakam, yaitu dengan mengutus satu orang
yang dipercaya dari pihak laki-laki dan satu orang dari pihak perempuan guna
berunding sejauh mungkin untuk didamaikan. 8
Dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 35 Allah berfirman:
"Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suamiistri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi tauflk


8

Satria Effendi M.Zein, Op.Cit. hal.97

16

Universitas Sumatera Utara

kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenar.
Apabila masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak dapat melanjutkan
keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak dapat membawa permasalahan ini
ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.
Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami
dan istri yang berniat bercerai, dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan
cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam
akan membawa permasalahan ini kepada pengadilan agama sementara untuk agama
lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri sesuai tempat tinggal masing-masing.
Pengadilan agama 9 merupakan salah satu wujud dari kekuasaan kehakiman.

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang untuk (dapat mengeksekusi putusannya
sendiri) , 10 pengadilan agama menyelanggarakan penegakan hukum dan keadilan
dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam berdasarkan hukum Islam.
Pengadilan Agama di Indonesia, khususnya Sumatera Utara salah satu tugas dan
kewenangannya 11 adalah menangani masalah perkawinan yaitu perceraian. Diantara
beberapa masalah yang menyangkut hubungan antara manusia atau dalam perspektif
agama Islam terkenal dengan istilah muamalat duniawi, masalah perkawinan

9

Dasar Hukum Pengadilan Agama adalah UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 jo
UU No.50 Tahun 2009
10
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama ( Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2003 ) hal. 8
11
Lihat Pasal 49 ayat (1)UU No.7 Tahun 1989 yang berbunyi tugas dan wewenang
Pengadilan Agama : Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara-perkara orang-orang yang
beragama islam dibidang : a. perkawinan, b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan
Berdasarkan Hukum Islam, c. Wakaf dan Shadaqah


17

Universitas Sumatera Utara

(munakahaf) dengan segala persoalan yang berada disekitarnya mendapatkan
perhatiannya yang istimewa 12 .
Perceraian dalam Islam merupakan sebuah tindakan hukum yang dibenarkan
oleh agama dalam keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasullullah SAW bahwa
perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq 13. Dalam kalimat lain
disebutkan :"Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibencinya selain
daripada Thalaq" (HR. Abu Dawud ra) 14.
Mengenai perceraian yang terjadi di kehidupan masyarakat, merupakan
momok yang ditakuti karena dampaknya bukan saja bagi suami istri melainkan lebih
luas kepada anak - anak dan keluarga kedua belah pihak. Walaupun agama melarang
dan dampaknya tidak baik dalam lingkungan keluarga atau social tetapi dalam praktik
perkawinan selalu saja terjadi perceraian yang seolah-olah sulit untuk dihindarkan.
Hal ini dapat dilihat dari berita-berita media masa dan semakin banyaknya perkara
perceraian yang diselesaikan oleh pengadilan. 15
Pada Pasal 413 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena 3 (tiga) hal, yaitu : pertama, kematian, kedua,
perceraian, ketiga, putusnya pengadilan. Apabila perkawinan berakhir karena
kematian atau perceraian, maka akibat-akibat hukumnya berdampak kepada anakanak yang di tinggalkan, ataupun terhadap pasangan suami istri yang bersangkutan.

12

Mustafa Kamal dkk, Fikih Mam, (Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), hal. 243
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8( Bandung : Alma Arif, 1997), hal. 12
14
Ibid, hal. 13
15
Tan Kamello dan Syarifah lisa Andriati, Op.Cit hal. 79-80
13

18

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Pasal 39 UUP No.l Tahun 1974, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian
juga harus dengan cukup alasan bahwa sudah tidak terdapat lagi kecocokan dan
persamaan tujuan dalam membina rumah tangga, artinya sudah tidak dapat hidup
rukun kembali sebagai sepasang suami istri.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Medan ada sebanyak
535 perkara yang diterima dalam perkara perceraian melalui cerai talak dan diputus
sebanyak 495, sedangkan melalui cerai gugat ada 1379 perkara yang diterima dan
diputus sebanyak 1315 selama Tahun 2012. Dalam hal ini dapat diuraikan melalui
table dibawah ini 16:
Tabel 1.
Perkara Gugatan Perceraian yang Diterima dan Diputus
di Pengadilan Agama Medan Tahun2012
Cerai Talak

Cerai Gugat

NO

Bulan

Diterima

Diputus

NO

Bulan

Diterima

Diputus

1

Januari

56

32

1

Januari

129

89

2

Februari

53

41

2

Februari

131

114

3

Maret

45

51

3

Maret

102

114

4

April

41

38

4

April

118

108

5

Mei

38

46

5

Mei

131

127

16

Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Medan pada tahun 2012

19

Universitas Sumatera Utara

6

Juni

47

33

6

Juni

115

122

7

Mi

36

53

7

Juli

94

111

8

Agustus

39

22

8

Agustus

67

82

9

September

45

36

9

September

137

77

10

Oktober

43

53

10

Oktober

137

144

11

Nopember

55

53

11

Nopember

109

113

12

Desember

37

37

12

Desember

109

114

Jumlah

535

495

Jumlah

1.379

1.315

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa tingkat perceraian di Pengadilan
Agama Medan pada Tahun 2012 cukup tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya
yaitu pada tahun 2011 tercatat hanya ada 435 perkara yang diterima sedangkan yang
diputus sebanyak 424 perkara perceraian yang terjadi melalui cerai talak dan
sebanyak 1.218 perkara yang diterima dan perkara yang di putus sebanyak 1.193
melalui cerai gugat 17.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka Pasal 41 UUP No.l
Tahun 1974 menyebutkan bahwa:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

17

Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Medan pada tahun 2011

20

Universitas Sumatera Utara

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul kewajiban tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan / atau menentukan suatukewajiban bagi bekas istri.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi lingkungan
Peradilan Agama maupun Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun
1989, belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan
hukum dalam menetapkan pemeliharaan anak ketika kedua orang tuanya bercerai.
Dalam KHI setidaknya ada 2 (dua) Pasal yang menentukan pemeliharaan anak yaitu
Pasal 105 dan 156. Pasal 105 KHI, menentukan tentang pengasuhan anak pada 2(dua)
keadaan.
1. Ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun)
pemeliharaan anak ditetapkan kepada ibunya.
2. Ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada
anak untuk memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya.

21

Universitas Sumatera Utara

Adapun Pasal 156 KHI, mengatur tentang pemeliharaan anak ketika ibu
kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak memelihara
anak, antara lain 18:
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,
b. ayah,
c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menj amin keselamatan j
asmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan naflcah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan danpendidikan anak-anak, yang tidak turut
padanya.
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 tidak memberikan
perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pemeliharaan anak.
Nampaknya permasalahan pemeliharaan anak seperti sangat sederhana dan akan
cukup diselesaikan dengan Pasal 105 dan Pasal 156 KHI, akan tetapi pada

18

Lihat, Pasal 156 Undang-Undang No.l Tahun 1991 tentang Tentang Kompilasi Hukum

Islam.

22

Universitas Sumatera Utara

kenyataannya timbul berbagai macam permasalahan diluar jangkauan pasal-pasal
tersebut.
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah dan ibu) atau
salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan suami sangat
melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau suami berkelakuan buruk sekali.
Kemudian ketika mengajukan permohonan perceraian, para pihak dapat
mengajukan permohonan putusan pembagian harta dan pemeliharaan anak bersama
dengan permohonan cerai, atau setelah ikrar Thalaq diucapkan (Pasal 66 ayat 5
Undang - Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989) 19. Terhadap permohonan ini
Majelis Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa permohonan tersebut layak
dikabulkan atau tidak. Prosedur Pengajuan Permohonan atau Gugatan di Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan perkara di Kepaniteraan
2. Pembayaran panjar biaya perkara
3. Pendaftaran perkara
4. Penetapan Majelis Hakim
5. Penunjukkan Panitera sidang
6. Penetapan hari sidang
7. Pemanggilan para pihak

19

A. Mukti Arto, Op.Cit, hal.57

23

Universitas Sumatera Utara

Permohonan yang berkaitan dengan biaya pemeliharaan anak yang
dibebankan kepada ayah, Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan tersebut
baik sebagian atau seluruhnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.
Mengenai pertanggungjawaban ayah terhadap biaya pemeliharaan anak tidak
dapat dilepaskan dari kebijakan Legislatif dan Eksekutif yang tertuang dalam UUP
No.l Tahun 1974 maupun KHI kedua peraturan tersebut telah mencantumkan
beberapa ketentuan tentang kewajiban orangtua (khususnya anak) terhadap anakanaknya. Pasal 45 UUPNo.l Tahun 1974 menyatakan bahwa orangtua wajib
memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, dan kewajiban ini akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua
orangtuanya putus.
Selanjutnya seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang sama untuk
mengasuh dan mendidik anaknya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Hukum
Islam bahwa yang bertanggung jawab berkewajiban untuk memelihara dan mendidik
anak adalah bapak, sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya
berkewajiban menyusui dan merawatnya. Seorang ayah bertanggung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
Sesuai dasarnya Hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap anak yang belum
mumayyiz ( anak yang belum berusia 12 Tahun ) adalah hak ibunya sesuai dengan
24

Universitas Sumatera Utara

bunyi Pasal 105 ayat (1) KHI, kecuali apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan
memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak
tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 210
IK/AG/1996 yang mengandung abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat
untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan
(hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz 20 . Sehingga pengasuh anak
tersebut ditetapkan kepada ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan akidah
si anak.
Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, hams memelihara
anak dengan sebaik-baiknya 21. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi member!
nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah bathin seperti pendidikan formal dan
pendidikan informal. Dalam hal mi siapapun yang melakukan pemeliharaan anak,
menurut Pasal 41 UUP No.l Tahun 1974 ayah tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh satu )
tahun.
Mengenai pemeliharaan anak Kompilasi Hukum Islam memberikan
pengaturan sebagaimana yang terdapat dalam BAB XIV Pasal 98 yaitu :
a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 ( dua puluh
satu) tahun; sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan.
20

"Badilag", artikel, di dalam http : //www.badilag.net/data/artikel/varia.pdf, diakses tanggal
20 Februari 2013
21
"Kamus Bahasa Indonesia", di dalamwww.kamusbahasaindonesiaonline.org. Pengertian
Pemeliharaan adalah cara, prose, perbuatan memelihara, penjagaan dan perawatan. Pengertian asuh
adalah menjaga, merawat dan mendidik anak kecil, diakses tanggal 20 februari 2013.

25

Universitas Sumatera Utara

b) Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan diluar pengadilan.
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu,
Oleh karena itu bila terjadi kealpaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan
sengaja atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia
dapatlah dituntut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan 22. Bagi salah satu orang
tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974
dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Sebagai contoh,
upaya hukum akan dilakukan seorang ibu sebagai cara untuk memperoleh keadilan
dan perlindungan/kepastian hukum agar anak mendapatkan hak yang telah dilalaikan
ayahnya. Upaya hukum adalah suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum
yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan
dan perlindungan kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Apabila tergugat ataupun termohon tidak mau menjalankan isi putusan
tersebut dengan sukarela maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Agama. Untuk dapat mencegah terjadinya hambatan eksekusi dilapangan,
maka para pihak dalam hal mi Ketua Pengadilan Agama dan saksi di tempat eksekusi
tetap mempertahankan pendekatan persuasif kepada pihak tergugat atau tereksekusi
agar berarahkan damai.
22

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Bandung : CV Mandar Maju, ] 990),

hal. 14

26

Universitas Sumatera Utara

Satu persoalan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah benar
terjadi perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi terjadi suatu
penyimpangan bahwa suami tidak melaksanakan putusan pengadilan tersebut dalam
hal biaya pemeliharaan dan menafkahi anaknya. Dalam hal ini terlihat secara
signifikan mengenai kurangnya pertanggung jawaban orang tua terhadap anaknya
pasca putusan perceraian yang terjadi diantara keduanya. Berdasarkan dari berbagai
gugatan yang pernah terjadi tentang nafkah dan pemeliharaan anak di Pengadilan
Agama Medan melalui Putusan perkara No.l91/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan juga
berdasarkan putusan No.206/Pdt.G/2012/PA Mdn, juga terhadap putusan No.
207/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan putusan No.220/Pdt.G/2012/PA Mdn, serta putusan
No.230/Pdt.G/2012/ Mdn. Beberapa Nomor perkara diatas merupakan bukti bahwa
banyaknya perceraian yang mengakibatkan hak anak sebagai tanggung jawab orang
tua lalai terhadap nafkah anaknya kemudian beberapa perkara yang disebutkan diatas
sebagai putusan Pengadilan Agama Medan merupakan suatu missal atau contoh dari
beberapa perkara perceraian yang mengakibatkan tanggung jawab orang tua laki-laki
(ayah) untuk menafkahi anak pasca putusan perceraian.
Berdasarkan pada uraian di atas, penelitian ini penting untuk dikaji dan
membahas masalah yang akan diteliti dengan judul "Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia
(WNI) yang beragama Islam ".

27

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalahmasalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah anak
bagi WNI yang beragama Islam ?

2.

Mengapa ada penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang
tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian ?

3.

Apakah hukum in konkrito yang terdapat dalam putusan pengadilan agama
sudah sesuai dengan norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab orang tua terhadap nafkah
anak bagi WNI yang beragama Islam.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis adanya penyimpangan terhadap putusan
Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca
putusan perceraian.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis hukum in konkrito yang terdapat dalam
Putusan Pengadilan Agama apakah sudah sesuai dengan norma hukum

yang

diatur dalam Undang-Undang.

28

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para
akademis bidang hukum, khususnya tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak
setelah perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan menambah wawasan
ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi peradilan
yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para hakim peradilan
agama khususnya di kota Medan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontsribusi, referensi atau bahkan bacaan tambahan bagi mahasiswa
Fakultas Hukum di masyarakat luas.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul "Tanggung Jawab Orang
Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia
(WNI) Yang Beragama Islam". Belum pernah dilakukan baik judul maupun
permasalahan yang sama pada program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara akan tetapi pernah dilakukan penelitian pada Magister Kenoktariatan
Universitas sumatera Utara dengan judul:

29

Universitas Sumatera Utara

1. Nama Mahasiswi Tessy, Nim : 097011100, judul Tesis : Tanggung jawab hukum
suami atau istri dalam perceraian terhadap anak (Studi kasus putusan Nomor
209/Pdt.G/2007/PN.Mdn. Dengan permasalahan sebagai berikut:
1) Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan
tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian ?
2) Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap
anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya ?
3) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah
satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan
pengadilan ?
2. Nama Mahasiswi Ernawati Sitorus, judul Tesis : Perlindungan hukum terhadap
anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian (Studi pada
masyarakat Batak Toba Kristen di Medan).
3. Nama Mahasiswa Junjungan Moses, judul Tesis : Perceraian dan akibat
hukumnya pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan (Studi
di desa Martoba ( biustolping ) kecamatan Simanindo kabupaten Samosir).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, artinya teori hukum
harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang
seharusnya memuat hukum. Selain teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta

30

Universitas Sumatera Utara

dan peristiwa hukum yang terjadi. Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu
penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan
penelitian 23. Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai
berikut : 24
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina
struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi;
c. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah
diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau
konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga
menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu
variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar
variabel 25.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuanpenemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan

23

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan
Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni),
(Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239
24
Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia), hal.
121
25
Maria S.W Sumardjono, Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta : PT. Gramedia,
1989), hal. 19

31

Universitas Sumatera Utara

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya, teori
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang harus
didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar . 26
Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa
penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep
baru sebagai persepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi 27.
Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini sebagai pisau
analisis adalah teori liability atau teori pertanggungjawaban dan sebagai teori
pendukung adalah teori Maqashid Al-Syari'ah, teori keadilan, serta teori perlindungan
hukum dalam penelitian ini. Sehingga nantinya dapat memberikan pedoman
pembahasan pada uraian berikutnya.
Teori

pertangungjawaban

ada

dua

istilah

yang

menunjuk

pada

pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability
merupakan istilah hukum yang luas yang merujuk hampir semua karakter resiko atau
tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin meliputi semua
karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan UndangUndang.

Dalam

pengertian

Praktis

istilah

liability

menunjukan

pada

pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan
OS oleh subyek hukum. 28

26
27

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994 ), hal .80
Peter M.Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005 ) hal. 35

32

Universitas Sumatera Utara

Menurut teori ini tanggung jawab orang tua setelah bercerai terhadap nafkah
anak , yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf (b) UUP No.l Tahun 1974
tentang perkawinan menyebutkan bahwa:
"Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataanya bapak tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul kewajiban tersebut." 29
Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab pendidikan adalah kewajiban
orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak
tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang
dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak
tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai
landasan hidup dan penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab
orang tuanya. 30
Selanjutnya M.

Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasa Hukum

Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah : 31
a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang
semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.

28

Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),
hal.335-337
29
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
30
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), hal.205206.
31
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading CO, 1975),
hal. 204

33

Universitas Sumatera Utara

b. Tanggung jawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan
nafkah tersebut bersifat continuous (terus menerus) sampai anak itu mencapai
batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.
Beranjak dari ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang terdapat didalam Surat
Luqman 12-19, setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus di ajarkan
orang tua kepada anaknya seperti berikut:
1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT
2. Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain
3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak
4. Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma 'ruf)
5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah
6. Menaati perintah Allah SWT, seperti sholat, amar ma'ruf dan. nahi munkar , serta
sabar dalam menghadapi berbagai cobaan
7. Tidak sombong dan angkuh
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata. 32
Menurut

teori

maqasyid

al-syari'ah

sebagai

pendukung

teori

pertanggungjawaban, teori maqasid al-syari'ah terdiri dari kata, maqasyid yang TO
merupakan bentuk jamak dari kata maqashad yang berarti tujuan

33

, dan kata al-

syari'ah yang sering dipahami dalam arti hukum islam. Jadi istilah Maqasyid alsyari'ah berarti tujuan-tujuan syari'at. 34
Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-syari'ah bertujuan untuk
mengetahui

tujuan-tujuan

yang

hendak

dicapai

oleh

perumusnya

dalam

32

Ahmad Rofiq, Op.cit, hal.240-244
Al-Fayumi, Al-Mishbah al-Munirr, (Kairo : Muassasah al-Mukhtar, 2008), hal. 374
34
Al-Ghazali, Al-Mushtashfa, (Beirut: Daar Ihya Jurats al-Arabi, 1997), jilid 2, hal 481
33

34

Universitas Sumatera Utara

mensyari'atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam
menetapkan hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad. 35
Maqashid al-Syari'ah di kalangan ulania ushulfiqh disebut juga dengan asrar
al-Syari'ah 36, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik suatu hukum yang
ditetapkan oleh syarak, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Sebagai contoh, syarak mewajibkan berbagai macam ibadah
dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah S.W.T di syari'atkan hukuman zina
bagi untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyari'atkan hukuman meminum
minuman keras untuk memelihara akal, dan disyari'atkan hukuman Qishash untuk
memelihara jiwa seseorang.
Imam asy-Syatibi, ahli Ushul Fiqh mazhab Maliki, menyatakan bahwa untuk
mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus
diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok
tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan hasil induksi ulama Ushul Fiqh terhadap berbagai nash, kelima masalah
pokok itu ialah : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 37
Prinsip yang lima ini pertama kali diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali dalam
kitabnya "al-Mustashfafi Ushul al-Fiqh", namun kemudian diterima oleh para ulama
setelahnya dan disepakati sampai hampir menjadi ijmak. Kelima masalah pokok ini

35

Al-Youbi, Maqashid al-syari 'ah w alaqatuha bi al-Syar 'iyyah, (Riyadh : Daar Ibn al-Jauzi,
2008), hal.44
36
Ar-Raysuni, Nadzariyyah al-Maqashid, (Herdon : HIT, 2000), hal.10
37
Wahba Zuhaily, Nadzhariyyat ad-Dharurah, (Damaskus : Daar al-Fikr, 2003), hal.51

35

Universitas Sumatera Utara

biasa disebut dengan 'al-Kulliyat al-Khamsah'. 38 Dari kelima al-Kulliyat al-Khamsah
sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam yang dipakai dalam penelitian ini adalah
memelihara jiwa dan memelihara keturunan.
Kemudian dalam memelihara jiwa, usaha yang dilakukan dapat dipandang
dari sisi pengadaan (al-wujud), dalam pemeliharaan jiwa Islam menetapkan tanggung
jawab masing-masing individu sesuai dengan keadaan dan fase kehidupannya. Islam
menetapkan tangung jawab orang tua terhadap anak, tangung jawab kepala keluarga
memberi nafkah kepada istri dan anak-anak, tanggung jawab ibu menyusui anak
sanipai usia dua tahun, dan lain sebagainya. 39 Menurut teori ini hukum bertujuan
walaupun orang tua telah bercerai maka kedua orang tua tetap bertangung jawab
terhadap anak nya sampai anak itu dapat berdiri sendiri sesuai dengan Pasal 45 UUP
No.l Tahun 1974.
Sehubungan dengan hal pemeliharaan keturunan sebagai prinsip pokok dalam
hukum Islam, mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan dari pernikahan.
Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuannya yang belum
terealisasi

dalam

hidupnya.

Dalam

memelihara

keturunan,

ajaran

Islam

memerintahkan hal-hal sebagai berikut 40 :
1. Islam memerintahkan para pemuda dan pemudi yang sudah mampu untuk
menikah. Bahkan Islam mendorong para wall untuk mempermudah proses nikah
dengan tidak menetapkan mahar yang terlalu tinngi sehingga memberatkan para
calon suami.
38

Yusuf Al-A'lim, Al-Maqashidal-A 'mmah li as-Syari'ah al-Islamiyah, hal.35
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung : Cita
pustaka, 2013),hal.l9 Ibid, hal.24
40
Ibid, hal. 24
39

36

Universitas Sumatera Utara

2. Islam menjelaskan kriteria suami ideal dan istri ideal, hak dan kewajiban suami
dan istri, agar dapat terwujud keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah,
sehingga tujuan dari pernikahan yang kekal abadi dapat terlaksana.
3. Islam mensyaratkan adanya kesetaraan (takafii) antara suami dan istri agar
terwujud kesesuaian visi dan misi yang dapat mengekalkan kehidupan rumah
tangga yang harmonis.
4. Islam mensyaratkan keadilan bagi para suami yang ingin berpoligami, sehingga
tidak merugikan salah satu istri atau anak-anak hasil perkawinannya.
Menurut teori keadilan sebagai pendukung teori pertanggungjawaban dipakai
teori dalam pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya
nichomachean ethics, politics, dan re//zonc.Spesifik dilihat dalam buku nicomachean
etnichs, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat
hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena
hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan". 41
Aristoteles melalui teori keadilan legal mengungkapkan bahwa keadilan legal
mengungkapkan bahwa keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua
orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang haras dilindungi
dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.Keadilan legal
menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara. 42
Yahya harahap juga mengemukakan hukum harusnya mengendalikan keadilan
(law wants justice). Keadilan yang dikehendaki tersebut seharusnya mencapai nilai

41

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1995),
Cetakan Kedelapan, hal. 197
42
"Blogspot"
Kumpulan-teori-skripsi,
di
dalam
http;//kumpulan-teori-skripsi,
blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-aristoteles, html, diakses tanggal 28 februari 2013.

37

Universitas Sumatera Utara

persamaan (equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth),
kepatuhan (fairness), dan melindungi masyarakat (protection public interes). 43
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan.Aristoteles membedakan hak persamaannya
sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit
atau wadah yang sama.Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap
warga Negara dihadapkan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang
apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
dilakukanya.
Menurut teori ini hukum bertujuan mencapai keadilan bagi anak dimana hak
dan kewajiban antara orang tua terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 45
UUP No.l Tahun 1974 tentang perkawinan :
1)
2)

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Selanjutnya dengan demikian orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai

perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang,
pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban
normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechi) yaitu tidak boleh

43

Alvi Syarin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan : PT.Sofmedia, 2009), hal.3

38

Universitas Sumatera Utara

kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk
itu. 44
Kemudian teori perlindungan hukum, teori ini bersumber dari teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid
Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan
bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta
antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang
bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan
akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh
orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dam konsep
hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian
besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar yang
menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak
disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum
terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadapsesuatu
yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan
tidak bermanfaat. 45 Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi
hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa

44
45

Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal.64
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116

39

Universitas Sumatera Utara

pencarian pada yang "absolut" (tetap) merupakan kerinduan manusia akan hakikat
keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat "universal " , abadi, dan berlaku
mutlak", ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti
dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia
(HAM). 46
Sesuai penelitian ini teori perlindungan hukum yang dipakai adalah menurut
pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. 47 Perlindungan hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan
perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan. 48
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya
yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari
hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,
meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,
namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan. 49 Fungsi
primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat

46

Ibid
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), hal.2 .
48
Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk
Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang:
Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18.
49
Ibid
47

40

Universitas Sumatera Utara

merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa.
Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan
kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan
kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. 50
Kemudian dengan menggunakan teori perlindungan hukum sebagai
pendukung teori pertanggungjawaban, dimana teori perlindungan hukum adanya
suatu ketentuan dimana kewajiban suami dengan nafkah diatur dalam Pasal 80 ayat
(4) KHI dalam pasal ini diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami
menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat tinggal kediaman bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
Apabila suami melalaikan kewajibannya, istri dapat mengajukan gugatan
nafkah ke pengadilan (lihat Pasal 34 ayat (3) UUP No.l Tahun 1974). Bagi penganut
agama Islam gugatan dapat diajukan ke pengadilan agama pada domisili tergugat dan
bagi yang beragama lainnya gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri pada
domisili tergugat.
2. Kerangka Konsepsi
Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut

50

"Perlindungan Hukum Wanita", www.supanto.staf.hukum.uns.ac.id, diakses tanggal 15

Mei 2013.

41

Universitas Sumatera Utara

dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 51 Didalam penjelasan ini ditegaskan lebih rinci
bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan
penting.

2.

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah suatu perikatan suci, yang
diperintahkan kepada tiap-tiap umat Islam yang sanggup melaksanakannya,
kecuali jika ada hal-hal yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakannya 52.

3.

Perceraian menurut UU No.l Tahun 1974 adalah berakhirnya perkawinan yang
telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti
kematian dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai
akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri
kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.

51

Sudarsono, Op.Cit, hal. 9
Al-Qur'an Surat An-Nur ayat (32), hadis Nabi Muhammad S.A.W. Muhammad Fuad Abdul
Baqi-Wensinkhal. 506-511
52

42

Universitas Sumatera Utara

4.

Pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamzit
(dapat membedakan antara yang buruk dan baik) tanpa perintah padanya,
menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjadi dari suatu menyakiti
dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri
sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawabnya. 53

5.

Tanggung jawab bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan
anusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila
setiap manusia tidak mau bertanggungjawab maka ada pihak lain yang
memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan
pihak lain.

6.

Nafkah adalah segala bentuk pe

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 13

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 1

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 29

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V

0 0 44

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 6

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 16

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 4

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 3 21

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 2 37

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN) Chapter III V

0 0 48