Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

BAB II
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP
NAFKAH ANAK BAGI WARGA NEGARA INDONESIA
YANG BERAGAMA ISLAM

A. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Tanggung Jawab
Pada prinsipnya tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas.
Artinya tanggung jawab bersifat kodrati, sehingga sudah menjadi bagian kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab apabila setiap
manusia tidak mau bertanggung jawab maka ada pihak lain yang memaksakan
tanggung jawab ini dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua (2)
sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. 61
Tanggung jawab secara bahasa berasal dari dua kata yaitu : tanggung dan
jawab, dalam kamus bahasa Indonesia "tanggung" berarti ; "beres tidak perlu
khawatir". Sedangkan "jawab" berarti membalas, disahuti.62 Jadi tanggung jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersilahkan, dan sebagainya). 63 Sedangkan secara istilah tanggung jawab
adalah suatu keadaan yang dimiliki seseorang sehingga apa yang di perbuat dan
dilakukan akan berpengaruh bagi dirinya sendiri dan berpengaruh bagi orang lain.
Sedangkan "orang tua" adalah orang yang bertanggung jawab dalam satu keluarga

61

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesian, (Jakarta : UI - Press, 1986), hal: 20
Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta,Balai
Pustaka, 2003), hal. 1139
63
Ibid
62

39
49

Universitas Sumatera Utara

atau rumah tangga, yang dalam penghidupan sehari-hari lazim disebut dengan ayah
ibu. 64
Sehubungan dengan ketentuan diatas bahwa secara kodrat ibu-bapak di dalam
rumah tangga keluarga adalah sebagai penanggung jawab tertinggi, mau tidak niau
merekalah menjadi tumpuan segala harapan, tepat meminta segala kebutuhan bagi
semua anak-anaknya. Orang tualah yang menjamin kesejahteraan materiil dan

kesejahteraan rohani. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan oleh orang tua, harus
dipikul dengan rasa penuh tanggung jawab. 65 Islam menempatkan suatu beban
tanggung jawab pada pundak setiap orang, di mana tak seorang pun bebas dari
padanya. Orang tua bertanggung jawab memberikan kepada anak - anaknya suatu
pendidikan dan ajaran Islam yang tegas, yang didasarkan atas karakteristik yang
mulia sebagaimana disebutkan Nabi, bahwa beliau di utus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Melihat hal tersebut tidak ada bukti yang kuat mengenai beratnya
tanggung jawab orang tua untuk membawa anak mereka mematuhi Allah dan Rasulnya. 66 Dengan demikian jelas bahwa orang tua (keluarga) bertanggung jawab atas
perlindungan anaknya dari berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan
persoalan dunia maupun akhirat.
Selanjutnya dengan demikian tanggung jawab orang tua kepada anaknya
menurut pernyataan Rasulullah SAW adalah merupakan hak anak terhadap orang
64

Thamrin Nasution, dkk, Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak,
(Jakarta, Gunung Mulia, 1989), hal. 1
65
Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta, Inda Buana, 1995),
hal.221
66

M. Ali-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, (Yogyakarta, Mitra Pusaka, 2000), hal. 129

50

Universitas Sumatera Utara

tuanya. Dengan demikian para orang tua harus memberikan hak itu kepada mereka.
Di antara hak itu sabda Rasul Allah SAW adalah : "memberinya nama yang baik,
mengkhitannya, mengajarkannya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan menikahkannya". Di sini
terlihat bahwa tingkat keberhasilan para orang tua melaksanakan tugas - tugas
tersebut dipandang sebagai kredibilitas dan sekaligus penilaian terhadap tanggung
jawabnya selaku orang tua. 67
Menurut Islam orang tua bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya,
jika anggota keluar seorang muslim mengabaikan atau gagal dalam menjalankan
kewajibannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dia-lah yang bertanggung jawab.
Artinya:
Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawabannya. Seorang pejabat adalah pemimpin, seorang lain-laki adalah pemimpin
keluargnya, seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anak
suaminya, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai

pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. 68
Sesuai uraian di atas dapat diketahui bahwa tanggung jawab orang tua, baik
ayah maupun ibu terhadap anak-anaknya, mereka tidak mungkin dialihkan kepada
selain keduanya, bahwa kebanyakan degradasi anak sekarang ini adalah akibat dari

67
68

Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 101
Abi Abdullah ibn Isma'il ibn Ibrahim, Shahih Bukhari, Juz V (Dar. Al-Fikr, 1981) hal.152

51

Universitas Sumatera Utara

kesalahan orang tua dan para pendidik dalam mendidik mereka. 69 Untuk itulah maka
kita harus berhati-hati, jangan sampai menyerahkan pendidikan anak kepada para
pembantu, dan jangan sampai pula menyerahkan pendidikan anak kepada panti
asuhan. Karena mereka akan membentuk anak-anak sesuai dengan konsep mereka,
yang tentunya akan berseberangan dengan akidah kita agama Islam.

2. Pengaturan Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak
a. Al-Qur'an dan Hadist
Anak adalah amanat Allah yang harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan
penuh kasih sayang. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling utama
yang akan berpengaruh kuat dalam perkembangan anak pada masa-masa selanjumya.
Kewajiban itu meliputi pendidikan jasmani dan rohani yang dimulai sedini mungkin.
Sehingga harus dipertanggung jawabkan oleh setiap orang tua dalam berbagai aspek
kehidupannya. 70
Pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berterusan, berkembang,
dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak yang mempelajari apa saja
yang ada di lingkungannya. Dengan kemahiran yang diperolehnya anak akan
mengaplikasikannya

dalam

konteks

yang

bermacam-macam


dalam

hidup

kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya dimasa yang
akan datang.
69

Hamad Hasan Ruqaith, Kaifa Nurabbi Abna'ana Tarbiyatan Sholihatan, terj.Luqman
Abdul Jalal, Sudahkah Anda Mendidik Anak Dengan Benar, Konsep Islam dalam Mendidik Anak,
(Jakarta, Cendikia, 2004), hal. 30
70
Safuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta ;
Pustaka Bangsa Press) hal. 84

52

Universitas Sumatera Utara


Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses mendidik, mengasuh
dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan orang tua sebagai tanggung
jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari
Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan dalam Islam system pendidikan keluarga ini
dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai-sampai di ibaratkan bahwa
surga neraka anak tergantung terhadap orang tuanya. 71 Maksudnya adalah untuk
melahirkan anak yang menjadi generasi insane yang rabbani yang beriman, bertaqwa,
dan beramal shaleh adalah tanggung jawab orangtua.
Menurut konsep Islam, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu kondisi
awal yang suci yaitu berkecendrungan kepada kebaikan tetapi secara pengetahuan ia
belum tahu apa-apa. Kendatipun demikian, modal dasar bagi pengembangan
pengetahuan dan sikapnya telah diberikan Allah yaitu berapa alat indera, akal dan
hati. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT, dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai
berikut:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dariperut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur". (QS. An-Nahl: 78) 72
Melihat betapa pentingnya keluarga dalam pembentukan anak-anak, maka
orang tua bertanggung jawab mengurusi anak dimulai sebelum kelahirannya (saat
masih berapa janin di dalam kandungan) sampai anak mengalami masa

71

M. Nippan Abdul Halim, Anak Sholeh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
2003) cet.3.hal. 87
72
Soenarjo dkk, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 413

53

Universitas Sumatera Utara

perkembangan hingga anak dewasa selalu berada di dalam keluarga. Bahkan sebelum
anak berinteraksi dengan orang lain, anak tersebut sudah dibentuk oleh orang tua.
Oleh karena itu orang tua (keluarga) memiliki peranan yang sangat besar terhadap
perkembangan anak, baik dalam aspek kesehatan, pendidikan dan akhlak anak. Orang
tua juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter,
kebiasaan sampai agama yang dianut oleh anak. Orang tua, ibu dan ayah juga
memagang peranan yang penting terhadap pendidikan anak-anaknya. Sejak anak
lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya, oleh karena itu ia meniru sesuatu
yang selalu ada di sampingnya. Selain ibu, ayah mempunyai pengaruh yang besar

pula terhadap anaknya. 73 Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan dalam
kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang
memungkinkan kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan
dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan
dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan
penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tua. 74
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang
dan orang tua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam
pengembangan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan
moral, serta keterampilan sederhana. Pendidikan dalam konteks ini mempunyai arti
pembudayaan, yaitu proses sosialisasi dan enkulturasi secara berkelanjutan dengan
73

Zakiah Darajad, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Bumi Aksara,

1995), hal.
74

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan, Zahir Trading, 1975) hal. 204


54

Universitas Sumatera Utara

tujuan untuk mengantar anak agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
berakhlak luhur, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan
lingkungan dan sebagainya. 75
Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi yang dimilikinya.
Karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak dilakukan dengan cara
membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia mengenal norma dan tujuan
hidup yang hendak dicapainya. 76 Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan
penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak
lahir, ibunyalah yang selalu ada disampingnya. Oleh karena itu anak meniru perangai
ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya. Apabila ibu itu
menjalankan tugasnya dengan baik. Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula, di
mata anaknya seorang ayah yang menjadi panutan tertinggi dan menjadi tumpuan di
antara orang - orang yang dikenalnya. Sehingga apa yang diperbuat ayahnya akan
mempengaruhi sikap anak-anaknya, termasuk ketika ayah melakukan pekerjaannya
sehari-hari akan mempengaruhi pada cara pekerjaan anaknya.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah keluarga adalah sebagai sebuah institusi

yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Di dalamnya hidup bersama pasangan
suami-istri secara sah karena pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati,

75

Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta,
Lantabora Press, 2005), hal. 48
76
Ibid

55

Universitas Sumatera Utara

ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad
dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin. 77
Keluarga merupakan wadah yang sangat penting diantara individu dan group
dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi
anggotanya. Dan keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi
tenipat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu, ayah dan saudarasaudaranya serta keluarga-keluarga yang lain, dan orangtualah yang pertama di mana
anak-anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk mengajar pada anakanak itu sebagaimana hidup dengan orang lain. Sehingga apapun yang diajarkan
orang tua terhadap anak akan diikuti oleh anak-anak mereka, termasuk agama. 78
Pada dasarya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas berlaku dalam
kehidupan keluarga atau rumah tangga. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dan watak rasa
tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini
dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas
segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan
bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar dipikul kepada orang tua.
Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima
dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah
dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan

77

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Rineka
Cipta : 2004), hal. 16
78
Zakiah Darajad, llmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Kasara, 1996), hal. 35

56

Universitas Sumatera Utara

tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah dari Allah yang dibebankan
kepada mereka. 79
Selanjutnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tangung jawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak secara mendasar dipikul oleh kedua
orang tua berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan tanggung jawab terhadap anak pengadilan yang memberi keputusan.
Kemudian pada dasarnya jika terjadi perceraian antara suami-istri mereka masih tetap
bertanggung jawab terhadap anak untuk memelihara dan mendidik bagi kepentingan
anak. Dalam pemeliharaan tersebut walaupun pada prakteknya dijalankan oleh salah
seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab
terhadap pemeliharaan tersebut. 80
Apabila terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara anak. Di
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada peristiwa, seorang
wanita menghadap Rasulullah dan berkata. 81
"Ya Rasulullah bahwasannya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumnya. Bapaknya
hendak mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih
berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan
lelaki lain".( H.R. Ahmad dan Abu Daud ).
Demikian jelaslah jika terjadi perceraian, antara kedua orangnya menetapkan
untuk pemeliharaan pada pihak ibu selama si anak belum balig dan menikah dengan

79

Ibid, hal. 36
Amiur nuriddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2004), hal. 296
81
Ibid, hal. 296-297
80

57

Universitas Sumatera Utara

laki-laki lain. 82 Alasannya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq dibawah ini
: "Ibu lebih cenderung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih
penyantun, lebih baik, dan lebih penyayang. la lebih berhak atas anaknya( H.R. Abu
Bakar Siddiq).
b. Undang - Undang No.l Tahun 1974
Pengaturan tanggung jawab terhadap anak berdasarkan UUP No. 1 Tahun
1974 Pasal 45 menyebutkan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini
akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus. Selanjutnya Pasal
46 UUP No.l Tahun 1974 ini menambahkan bahwa anak wajib menghormati orang
tuanya dan mentaati kehendak mereka dengan baik, dan apabila telah dewasa anak
wajib memelihara orang tua dan keluarganya menurut kemampuannya apabila
mereka membutuhkan bantuannya.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraia, Pasal 41 huruf (a) UUP No. 1
Tahun 1974 menyebutkan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.
Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu maka
anak haras tetap memilih untuk ikut salah satu orangtuanya. Dalam sidang pengadilan
yang menangani perceraian, untuk anak yang masih belum berumur 12 (dua belas)
tahun (belum mumayyiz) biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya. Hal ini
82

Ibid, hal. 297

58

Universitas Sumatera Utara

didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat
membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup memberikan
kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah biasanya sibuk bekerja
sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak kurang. 83
Mengenai sistem pertanggung jawaban ayah terhadap anak tidak dapat
dilepaskan dari kebijakan legislatif yang tertuang dalam undang-undang perkawinan.
Peraturan tersebut telah mencantumkan beberapa ketentuan tentang tanggung jawab
orang tua (khususnya ayah) terhadap anak-anaknya. UUP No.l Tahun 1974 sampai
saat belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP
Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun
1989

para

hakim

masih

menggunakan

kitab-kitab

fiqh.

Barulah

setelah

diberlakukannya Undang - Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Inpres
No. 1 Tahun 1999 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum
positif di Indonesia dan peradilan agama diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikannya. 84
Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP No.l Tahun 1974 telah
memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya

83

Mardani, Hukum Secara Per data Peradilan Agama dan Mahkamah Syar 'iyah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hal. 52
84
Abdul manna, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum Acara di
Peradilan Agama, Mimbar Hukum No. 49 Thn. IX 2000, hal. 69

59

Universitas Sumatera Utara

sebuah perkawinan. 85 Di dalam Pasal 41 dinyatakan : "Apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka akibat itu adalah:
1.

2.

3.

Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusan.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilmana bapak dalam kenyatannya tidak dapat
memenuhi kewajibannya tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.
Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ayah tetap bertanggung jawab untuk

memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh
satu) tahun. Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus
memelihara anak dengan sebaik-baiknya. 86 Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi
memberi nafkah lahir seperti biaya hidup dan biaya pendidikan saja, tetapi juga
meliputi nafkah bathin seperti kasih sayang.
Apabila terjadi kealfaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja
atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapat dituntut
dengan mengajukan gugatan ke pengadilan 87. Bila orang tuanya tidak melakukan
tanggung jawab perkawinan putus karena perceraian menimbulkan tanggung jawab
orang tua terhadap anak secara timbale balik. Akibat perkawinan terhadap anak yang
lahir dalam perkawinan, mengakibatkan :
85

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2008), hal. 299
86
www.kamusbasahaindonesia.org,Pe«gert/aw Pemeliharaan adalah secara proses perbuatan
memelihara, penjagaan dan perawatan. Pengertian asuh adalah menjaga, merawat dan mendidik anak
kecil.
87
Hilman Hadi Kusuma,Op.Cit, hal.14

60

Universitas Sumatera Utara

1. Kedua orang tua bertanggung jawab memelihara dan mendidik anak-anak sebaikbaiknya, sampai saat anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya
tanggung jawab itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
Dalam praktik, apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena atas
putusan pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau istri,
pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami atau istri yang
benar-benar beritikad baik, dipelihara dan dididik secara baik.
2. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya.
3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik di
dalam dan di luar pengadilan.
4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang
dimiliki oleh anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun belum yang
belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau untuk kepentingan anak tersebut
yang menghendaki. 88
5. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan
saudara kandungnya yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. 89

88

Lihat Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro,
2008), hal. 45
89

61

Universitas Sumatera Utara

Tanggung jawab orang tua dapat dicabut dengan alasan orang tua melalaikan
tanggung jawabnya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Meskipun tetap
bertanggung jawab member! biaya pemeliharaan anak mereka. 90 Apabila No. 1-5
diatas diperhatikan secara seksama, maka sebenarnya No. 1-5 tersebut merupakan
tanggung jawab orang tua kepada anaknya.
Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap diatas segalagalanya. Artinya semangat UUP No. 1 Tahun 1974 sebenarnya sangat berpihak
kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP No.l Tahun 1974 hanya
menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan
kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya. 91 Aspek
pengasuhan material dan nonmaterial inilah yang akan dipertegas oleh KHI seperti
dibawah ini.
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pengaturan tanggung jawab terhadap anak berdasarkan KHI sebagai hukum
materil bagi lingkungan peradilan agama maupun Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, belum
memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam
menetapkan pemeliharaan anak ketika kedua orang tuanya bercerai. Dalam KHI
setidaknya ada dua pasal yang menentukan pemeliharaan anak yaitu Pasal 105 dan
156. Pasal 105 KHI menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan : 1.

90
91

Ibid
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal.301

62

Universitas Sumatera Utara

Ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun)
pemeliharaan anak ditetapkan kepada ibunya.
2. Ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada
anak untuk memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya.
Adapun Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, mengatur tentang pemeliharaan
anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang
berhak memelihara anak, antara lain :
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibudan ayah telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilik untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatanjasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Undang - Undang Peradilan Agama Nomor 50 tahun 2009 tidak memberikan
perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pemeliharaan anak.
Nampaknya permasalahan pemeliharaan anak seperti sangat sederhana dan akan
cukup diselesaikan dengan Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Akan

63

Universitas Sumatera Utara

tetapi pada kenyataannya timbul berbagai macam permasalahan diluar jangkauan
pasal-pasal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan pemeliharaan anak
terhadap salah satu dari kedua orang tuanya bukan merupakan penetapan yang
bersifat permanen, akan tetapi sewaktu-waktu. Hak pengasuhan anak tersebut dapat
dialihkan kepada pihak lain melalui pengajuan gugatan pencabutan kekuasaan
kepengadilan. Meskipun orang tua telah dicabut kekuasaannya terhadap anaknya,
mereka masih tetap bertanggung jawab untuk memberikan biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.
Tidak berbeda dengan UU P No. 1 Tahun 1974 Pasal 104 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa :
"Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya,
apabila telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya".
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal
terjadinya perceraian bahwa:
"Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan
biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya."
Sebagaimana yang dikemukakan dalam hukum Islam bahwa yang
bertanggung jawab berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak,
sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya berkewajiban menyusui
64

Universitas Sumatera Utara

dan merawatnya. Bapak bertanggung jawab atas seniua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut
memikul biaya tersebut.
Anak merupakan generasi penerus, sehingga pertumbuhannya harus tetap
diperhatikan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat baik jasmani
maupun rohani. Kondisi yang sangat membahayakan bagi kelangsungan pendidikan
dan kehidupan seorang anak dapat saja terjadi apabila salah satu atau bahkan kedua
orang tuanya sudah tidak memperdulikan anak-anaknya, walaupun mereka menyadari
sepenuhnya bahwa anak merupakan amanat dari Allah SWT yang akan
dipertanggung jawabkan dikemudian hari. 92
Sesuai dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua orang tua
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya
sampai dewasa. Perlindungan hukum dalam hak asasi manusia merupakan suatu hak
yang universal, tanpa batas apapun baik agama, suku, ras maupun lainnya. Sehingga
tidak dapat di ingkari bahwa martabat manusia dihadapan Allah SWT adalah sama.
Selanjutnya dalam kaitannya untuk menentukan bahwa kewajiban pengasuhan
material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari
itu, kita malah membagi tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun

92

Sayuti Thalib,Op.Cit, hal. 45

65

Universitas Sumatera Utara

mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun ) tetap
diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya. 93
Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 ( dua belas ) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,
sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak dapat memilih antara
ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharaannya. 94

B. Tangung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian Menurut
Hukum Islam
1.

Alasan-alasan terjadinya perceraian
Putusnya ikatan perkawinan menurut hukum islam dinamakan "Syiqaq"

(konflik antar suami istri yang terus menerus tidak dapat didamaikan lagi), bisa saja
terjadi disebabkan oleh faktor perilaku dari salah satu pihak sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Bila salah satu pihak pasangan suami-istri itu bersifat buruk, atau salah
satunya bertindak kejam terhadap yang lainnya, atau seperti yang kadangkala terjadi,
mereka tidak dapat hidup nikun sebagai suatu keluarga yang utuh. Maka dalam kasus
ini "Syiqaq" lebih memungkinkan terjadi. Walaupun demikian, peristiwa ini akan
tetap tergantung kepada kedua belah pihak, apakah mereka akan memutuskan
perkawinan atau akan bercerai. Perceraian pasti akan selalu terjadi bilamana salah

93
94

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Op.Cit, hal. 303
Ibid

66

Universitas Sumatera Utara

satu pihak merasa tidak mungkin untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan
terpaksa harus memutuskannya. 95
Adapun pula kemungkinan timbulnya kasus perceraian itu karena suami
dipenjarakan seumur hidup, atau dalam jangka waktu yang lama, atau hilang dan
tidak dapat diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dipasung seumur hidup,
sehingga tak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Dalam keadaan demikian dapat
terjadi "syiqaq" kalau si istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan
perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu,
suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka ia berhak untuk mengawini istri yang
lain. 96
Apabila salah seorang dari mereka murtad, keluar dari Islam masuk agama
lain, maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi
berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis batal meskipun
tanpa proses perkawinan. Sedangkan jika suatu pasangan non muslim, lalu memeluk
Islam, maka perkawinan dapat diteruskan. Namun kalau hanya salah seorang dari
mereka yang menerima Islam, perkawinannya dapat dipisahkan walaupun tanpa
proses perceraian. Kemudian andai kata bekas suaminya itu ikut memeluk agama
Islam selama masa iddahnya itu, maka suamilah yang berhak pertama kali
menikahinya. Jikalau suami memeluk Islam, sedangkan wanitanya seorang yahudi
atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut
95

A. Rahman, Penjelasan Lingkup Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 225 96 Ibid, hal. 225-226
96
Ibid, hal. 225-226

67

Universitas Sumatera Utara

agamanya. Tetapi jika suami Islam sedangkan istrinya itu adalah tukang sihir, lalu
mereka dapat terus berdampingan suami-istri, namun jika istrinya tidak menerima
Islam maka segera saja perkawinan mereka itu sebaiknya bubar. 97
Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai dimaksud dalam Pasal
39 ayat (2) UUP No.l Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UUP No.l Tahun 1974, yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi yang sulit untuk
disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami-istri.
Salah satu pernah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lainnya.
Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut Pasal 116

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlansgung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain,
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

97

Al-Qayrawani, Risalah, BabFilNikah Wal Talak, hal. 89-97

68

Universitas Sumatera Utara

f. Suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
Pasal 38 UUP No.l Tahun 1974 juga menyatakan bahwa perkawinan dapat
putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan Pengadilan
Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab putusnya hukum
perkawinan, yaitu 98
1. Talak
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan. 99 Macam - macam talak yaitu :
a. Talak raj’i adalah talak dimana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah.
b. Talak ba 'in adalah talak satu atau talak dua yang disertai uang dari pihak isteri.
c. Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap
isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri alam waktu suci tersebut.
d. Talak bid'i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu
isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.

98

Zuhri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan di
Indonesia, (Yogyakarta : Bina Cipta, 1978), hal. 73
99
Soemijati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta :
Liberty, 1986), hal. 105

69

Universitas Sumatera Utara

2. Khulu'
Khulu’ adalah perceraian atas inisiatif istri agar suami mau menceraikan
dengan baik-baik dan mendapat ganti rugi atau tebusan (iwald)
3. Syiqaq
Syiqaq berarti konflik antar suami istri yang terus menerus tidak dapat
didamaikan lagi.
4. Fasakh
Fasakh artinya putusnya perkawinan atas keputusan Hakim pengadilan agama
karena dinilai perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat atau rukun-rukun baik di
sengaja maupun tidak sengaja.
Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di
Pengadilan adalah:
a. Suami sakit gila
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan
kelamin
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya
e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama. 100
5. Taklik Talak
Talik talak yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin
terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih
dahulu.

100

Ibid. him. 114

70

Universitas Sumatera Utara

6. Ila'
Ila’ berarti suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak
ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak maupun diceraikan.
7. Zhihar
Zhihar adalah seseorang suami bersumpah, bahwa ia tidak akan mencampuri
istrinya lagi karena istrinya sudah diibaratkan sama dengan ibunya.
8. Li'an
Arti li'an adalah laknat yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan
bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta.
9. Kematian
Putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami-istri. Dengan
demikian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang
meninggal. 101
2. Akibat Hukum Perceraian
Perkawinan

merupakan

suatu

perbuatan

hukum

yang

sudah

tentu

menimbulkan akibat hukum, dalam perkawinan akibat hukum dapat digolongkan
menjadi 3 (tiga) masalah penting, yaitu : 102
a. Masalah Suami-Istri
Adapun akibat hukum yang timbul terhadap hubungan suami-istri adalah
putusnya ikatan perkawinan antar suami-istri. Jadi di antara suami dan istri tidak ada
101

Ibid hal. 105-120
Martiman Projoharmidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 1991), hal. 37
102

71

Universitas Sumatera Utara

lagi hubungan suami-istri. Meskipun ikatan perkawinan sebagai suami-istri putus dan
tidak ada lagi hubungan perkawinan, namun ternyata apabila istri tidak mampu
membiayai hidupnya, maka oleh undang-undang perkawinan di beri wewenang
kepada pengadilan agar bekas suami untuk member! biaya hidup untunknya. Hal ini
dimaksudkan agar bekas istri yang diceraikan tidak terlantar hidupnya dan terjerumus
ke lembah kehinaan.
Apabila terjadinya perceraian maka hukum suami-istri menjadi putus, baik itu
cerai mati atau cerai hidup. Dalam hal perkawinan putus karena talak ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dan itu merupakan suatu kewajiban baginya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut :
"Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba 'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al
dukhul.
4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun."
b. Harta bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan istri melahirkan akibat, diantaranya
adalah pembagian harta bersama Harta bersama adalah harta suami istri yang
diperoleh selama masa perkawinan yang merupakan harta kekayaan yang oleh suamiistri itu dijadikan sebagai modal kekayaan dalam melangsungkan hidup bersama
sebelum terjadinya perceraian.
72

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya mengenai harta bersama dalam hal putusnya perkawinan, Iman
Sudiyat menjelaskan bahwa "Harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi
harta bersama suami-istri, sehingga merupakan harta kekayaan yang bila perlu
(khususnya dalam hal putusnya perkawinan) suami dan istri dapat menuntut haknya
atas (masing-asing untuk sebagian)". 103
Sehubungan dengan itu pula yang terdapat Pasal 35 ayat (1) UUP No.l Tahun
1974, dinyatakan bahwa "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama". Dalam Pasal 35 tersebut tidak ditentukan apakah harta itu diperoleh
dari suami, istri atau keduanya, dan tidak ditentukan pula mengenai pembagian harta
bersama.
Perihal dengan berapa banyak yang diperoleh oleh suami atau selama dalam
ikatan perkawinan adalah menjadi milik bersama dari suami-istri tersebut. Hal ini
menunjukkan adanya keseimbangan kedudukan antara suami dan istri pada harta
bersama. Maka dalam penguasaannya harta bersama tersebut dikuasai oleh keduanya.
Apabila salah satu pihak suami maupun istri akan menggunakan harta
bersama tersebut harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.
Menurut Hilman Hadikusuma, "bahwa mengenai harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan

103

Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hal. 147

73

Universitas Sumatera Utara

masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya". 104
Selanjutnya pada Pasal 37 UUP No.l Tahun 1974 menyebutkan "Bila
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing." Dalam penjelasan pasal tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukumhukum lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian harta
perkawinan karena perceraian dapat diselesaikan menurut Hukum Agama, Hukum
Adat dan Hukum-hukum lainnya.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 387K/Sip/1958 tgl. 11-2-1959
dan No. 392K/Sip/1969 tgl. 30-8-1969 :
"Apabila terjadi perceraian, maka di dalam penyelesaian pembagian harta
bersama akibat perceraian adalah sebagai berikut:
(1)

(2)

Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenai
harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami. Yang ada harta milik
masing-masing suami dan istri. Harta adalah hak mereka masing-masing.
Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya,
tetapi tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini,
harta guna kaya), jika terjadi perceraian, bekas suami dan bekas istri masingmasing mendapat separuh.

104

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung Citra Aditya Bakti, 1995), hal.

97

74

Universitas Sumatera Utara

c. Akibat Terhadap Anak
Keluarga yang pecah adalah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu
dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak
terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia
pergi. 105 Hal ini menyebabkan :
1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang
tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya sibuk mengurusi
permasalahan masing-masing.
2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan
harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan
kompensasinya.
3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan
untuk hidup susila. Anak- anak tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri
yang baik.
Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa :
Sebagai akibat bentuk pengabdian tersebut, anak menjadi bingung, resah,
risau, malu, sedh, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi
kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin
sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang criminal,
lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan criminal. Pelanggaran kesetiaan
105

Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, (Semarang : UNS, 2005), hal. 57

75

Universitas Sumatera Utara

loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi
dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen
pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri
menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor
penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotic, tingkah laku asusila, dan kebiasaan
delinkuen. 106
"Semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan
bentuk ketidak seimbangan kehidupan psikis anak. Disamping itu juga tidak
berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki". "Sehingga
anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan
kriminal". 107
Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan
menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156,
akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah pula.

106

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta : Grafindo Persada, 2002),

107

Ibid, hal. 18

hal. 17

76

Universitas Sumatera Utara

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut
padanya. 108

108

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 164

77

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 13

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 1

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 38

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V

0 0 44

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 6

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 16

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 4

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 3 21

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 2 37

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN) Chapter III V

0 0 48