Analisis Yuridis Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi negara republik Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di
segala bidang menuju masyarakat adil dan makmur, pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaran pemerintah dan
pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang
merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional
guna tercapainya masyarakat adil dan makmur serta sejahtera.1 Sesuai dengan Pasal
23 huruf (a) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.2
Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping
memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat

1
Iwan Mulyawan, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan

(Sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009), (Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2010),
hal.1.
2
Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012), hal. 111.

1

Universitas Sumatera Utara

2

investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi
manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh
hak atas tanah dan/atau bangunan yang mendapat keuntungan ekonomis dari
pemilikan suatu tanah dan/atau bangunan sehingga dianggap wajar apabila
diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).3
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang giat menyelenggarakan

pembangunan tentunya membutuhkan banyak dana untuk membiayai pengeluaran
pemerintah, baik untuk menyelenggarakan pemerintahan maupun pembangunan.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan
adalah pajak. Hal ini mendorong pemerintah untuk menggali sumber penerimaan dari
sektor pajak, salah satunya dengan cara mengadakan jenis pajak baru. Salah satunya
adalah pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang secara
efektif mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 juli 1998, yang dipungut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997.4
Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
yang bersamaan dengan terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional,
berpengaruh terhadap perubahan perilaku perekonomian masyarakat sehingga perlu

3

Muda Markus, Perpajakan Indonesia : Suatu Pengantar, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hal.444-445.
4
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Teori & Praktek),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.vii.


Universitas Sumatera Utara

3

diakomodasikan dengan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Oleh karena itu dibuatlah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.5
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaran pemerintahan daerah dilakukan dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaran
pemerintahan negara. Maksud dari pengertian daerah otonom ialah agar daerah yang
bersangkutan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak
bergantung kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu, daerah otonom harus
mempunyai kemampuan sendiri untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya,

melalui sumber-sumber pendapatan yang dimiliki.6
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pelaksanaan pemerintahan daerah.
5

Muhammad, Rusjdi, PBB, BPHTB & Bea Meterai, (Jakarta: PT. Indeks, 2005), hal.127.
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia,
2008), hal. v & 17.
6

Universitas Sumatera Utara

4

Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
kemandirian daerah. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat
dengan memperhatikan potensi daerah. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan

otonomi daerah dan aspirasi masyarakat sehingga pada tahun 2009 diundangkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 7
Pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, oleh Pemerintah Republik
Indonesia telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.8
Dalam Bab II, Bagian Ketujuh Belas, Pasal 85 - Pasal 93 Undang-Undang Nomor 28
tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut diatur mengenai
pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf (k) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak
kabupaten/kota adalah Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sehingga Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dulunya
7
Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2010),
hal. 95-96.
8
Bab XVIII Pasal 185 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.


Universitas Sumatera Utara

5

ditangani oleh pemerintah pusat yang merupakan pajak pusat, sekarang ditangani
sendiri oleh pemerintah kabupaten / kota dan merupakan pajak daerah.9
Dalam pasal 1 angka (41) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.10
Dalam Pasal 85 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan objek pajak Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang meliputi pemindahan hak dan/atau perbuatan hukum karena
pemasukan dalam Perseroan atau badan hukum lainnya (inbreng), jual beli, tukar
menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai

kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan
hadiah.11
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sangat dipengaruhi oleh
ketentuan hukum yang mengatur terjadinya perolehan hak tersebut. Tanah dan
9

Iwan Mulyawan, op.cit., hal.8.
Heru Supriyanto, Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai , (Jakarta : PT. Indeks,
2008), hal.87.
11
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2009, (Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta, 2009),
hal.340-341.
10

Universitas Sumatera Utara

6

bangunan merupakan benda yang penting bagi manusia dan sebagai benda yang
penting bagi manusia, tanah dan bangunan tersebut dapat beralih dan dialihkan oleh

pemiliknya kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan “beralih” adalah suatu
peralihan hak yang terjadi karena seorang pemilik tanah dan/atau bangunan
meninggal dunia sehingga pemilikan tanah dan/atau bangunan tersebut dengan
sendirinya beralih menjadi milik para ahli warisnya. Dengan kata lain bahwa
peralihan hak itu terjadi dengan tidak sengaja karena peristiwa hukum (karena adanya
peristiwa hukum, yaitu meninggalnya pemilik tanah dan/atau bangunan) Sedangkan
“dialihkan” yakni pemilikan yang dialihkan adalah suatu peralihan pemilikan tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan dengan sengaja supaya pemilikan atas tanah
dan/atau bangunan tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi
milik pihak lain. Dengan kata lain peralihan pemilikan terjadi melalui suatu perbuatan
hukum tertentu, misalnya : pemasukan dalam Perseroan atau badan hukum lainnya
(inbreng), jual beli, dan lain-lain.12
Peralihan pemilikan tanah dan/atau bangunan berhubungan erat dengan
ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi pihak yang memperoleh dan
mengalihkan tanah dan/atau bangunan tersebut. Hal ini ditandai oleh adanya bukti
hukum sesuai dengan jenis perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut,
seperti misalnya akta pemasukan ke dalam perusahaan, akta jual beli, dan akta

12


Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah., (Jakarta : Kencana, 2007)

hal.77-78.

Universitas Sumatera Utara

7

peralihan hak lainnya. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, perolehan hak
sebagai hasil peralihan hak harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk
memperoleh sertipikat hak yang merupakan bukti hak atas tanah yang membuktikan
bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.13
Kebutuhan hidup manusia meliputi kebutuhan jasmani serta kebutuhan rohani,
yang mana melakukan kegiatan usaha adalah salah satu bentuk konkrit pemenuhan
kebutuhan tersebut. Bentuk badan usaha Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk
badan usaha yang lazim dan banyak dipakai dalam dunia usaha di Indonesia. Menurut
Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Persekutuan adalah perjanjian
antara 2 (dua) orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu

(inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang
diperoleh karenanya. Inbreng ini wajib dimasukkan pihak-pihak yang bersekutu
dalam persekutuan, bisa berupa uang, barang-barang dan keahlian atau tenaga.14
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas berbunyi : “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham

13
14

Adrian Sutedi, Sertifikat Hak atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).,hal.29.
Tri Budiyono, Hukum Dagang, (Salatiga : Griya Media, 2011), hal.36.

Universitas Sumatera Utara

8

dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”.15

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 diatas, maka Perseroan sebagai
badan hukum (rechtspersoon, legal person, legal entity) memiliki modal dasar yakni
jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam akta pendirian atau anggaran
dasar Perseroan. Modal dasar tersebut, terdiri dan terbagi dalam saham atau sero.
Modal yang terdiri dan dibagi atas saham itu, dimasukkan para pemegang saham
dalam status mereka sebagai anggota Perseroan dengan jalan membayar saham
tersebut kepada Perseroan.16
Dalam pendirian Perseroan Terbatas terdapat syarat yang diatur dalam Pasal
7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni
bahwa setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan
didirikan. Berarti, pada saat para pendiri menghadap notaris untuk dibuat akta
pendirian Perseroan, setiap pendiri Perseroan sudah mengambil bagian saham
Perseroan.17
Secara umum, penyetoran modal dari setiap bagian saham yang diambil
bagiannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi tidak ditutup kemungkinan penyetoran
modal dalam bentuk lain, baik berupa benda atau barang, yang dapat dinilai dengan
uang dan yang secara nyata diterima oleh Perseroan. Hal ini dilakukan semata-mata
15

Jimmy Joses Sembiring, Legal Officer : Panduan Mengelola Perizinan, Dokumen, Haki,
Ketenagakerjaan & Masalah Hukum di Perusahaan, (Jakarta : Visimedia, 2009), hal.7.
16
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal.7 & 13.
17
C.S.T Kansil & Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas : Menurut Undang
Undang No. 40 Tahun 2007, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hal.7.

Universitas Sumatera Utara

9

dengan tujuan untuk memberikan modal (harta kekayaan) pada Perseroan dan
memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-masing para pendiri Perseroan.
Bentuk penyetoran modal bentuk lain, biasa disebut “pemasukan barang” atau
“pemasukan modal” atau “inbreng”.18
Pemasukan tanah dan/atau bangunan ke dalam Perseroan (inbreng) adalah
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi kepada Perseroan.
Maksud dari pengalihan hak ini adalah sebagai penyertaan modal atas saham yang
diambilnya dari Perseroan tersebut, sebagai modal awal Perseroan. Pemasukan tanah
dan/atau bangunan ke dalam Perseroan (inbreng) membawa konsekuensi hukum
tanah dan/atau bangunan tersebut menjadi milik Perseroan tersebut. 19
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
salah satu bagian yang sangat penting dalam proses peralihan pemilikan hak (balik
nama) atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia, karena Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dan/atau notaris dilarang untuk menandatangani akta peralihan hak
sebelum wajib pajak melunasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebagaimana mestinya.20 Berdasarkan latar belakang diatas, maka
dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas”.

18

Gunawan Widjaja, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta : Praninta
Offset, 2008), hal.7.
19
Marihot Pahala Siahaan, op.cit., hal.94.
20
Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan Dalam
Penyusunan Aturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang BPHTB, (Jakarta : Graha Ilmu, 2010),
hal. vii.

Universitas Sumatera Utara

10

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan pokok
permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses hukum inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam
pendirian Perseroan Terbatas?
2. Bagaimana status hukum hak atas tanah dan/atau bangunan setelah
diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas?
3. Bagaimana pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) atas perolehan hak karena inbreng tanah dan/atau bangunan ke
dalam pendirian Perseroan Terbatas?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran atas perumusan
masalah yang ada, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses hukum inbreng tanah dan/atau
bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis status hukum hak atas tanah dan/atau
bangunan setelah diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak karena inbreng tanah
dan/atau bangunan ke dalam pendiran Perseroan Terbatas.

Universitas Sumatera Utara

11

D. Manfaat Penelitian
Di samping tujuan penelitian di atas diharapkan juga penelitian ini memberi
manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang dikemukakan dalam tesis
ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbang saran yang cukup berarti
dalam bidang ilmu hukum dan lebih khususnya lagi adalah dalam bidang studi
kenotariatan.
2. Secara praktis, penelitian tesis ini diharapkan dapat menjadi suatu masukan,
pemahaman dan referensi yang cukup bermanfaat guna menambah
pengetahuan bagi mahasiswa kenotariatan, praktisi hukum dan masyarakat
umum sebagai bahan studi maupun komparasi yang bermanfaat dan juga
dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk lebih menggali lagi
ketentuan hukum dan proses hukum yang mengatur tentang inbreng tanah
dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas serta ketentuan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas inbreng tanah
dan/atau bangunan pendirian Perseroan Terbatas.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis Pengenaan Bea

Universitas Sumatera Utara

12

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Inbreng Pendirian Perseroan
Terbatas” ini belum ada yang membahasnya.
Namun dalam penelusuran pustaka tersebut ditemukan beberapa penelitian
karya mahasiswa yang mengangkat tentang perpajakan atas Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), antara lain yaitu :
1. Penelitian atas nama SHIRLEY (NIM : 067011080), dengan judul:
“Pelaksanaan Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Dikaitkan dengan Tugas Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Hibah atas
Tanah dan/atau Bangunan”, dengan pokok permasalahan dalam penelitian
tersebut adalah:
a.

Bagaimanakah kepatuhan Notaris/PPAT terhadap pelaksanaan UU
BPHTB dalam penandatanganan akta hibah tanah dan/atau bangunan?

b.

Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dan ketidakpatuhan
Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB atas hibah tanah dan/atau bangunan?

c.

Apakah akibat hukum dari ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU
BPHTB dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan/atau bangunan?

2. Penelitian atas nama LINDA (NIM : 067011048), dengan judul “Perlindungan
Hukum terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan
Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB)”, dengan pokok permasalahan dalam
penelitian tersebut adalah:

Universitas Sumatera Utara

13

a.

Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan
jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)?

b. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan
pembayaran dan penyetoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) terhadap jual beli tanah dan bangunan?
c.

Apakah kendala yang terdapat dalam pembayaran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut serta bagaimana upaya
mengatasinya?

3. Penelitian atas nama AGUSTINA (NIM : 080200169), dengan judul
“Tinjauan Yuridis tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang
Mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah”, dengan pokok permasalahan
dalam penelitian tersebut adalah:
a.

Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan?

b. Bagaimanakah peran pejabat-pejabat negara dalam peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan serta kendala-kendala yang paling sering
dijumpai dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan tersebut?

Universitas Sumatera Utara

14

c.

Peralihan-peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang bagaimanakah
yang menimbulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?

Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang ada, khususnya dari
penelitian-penelitian sebagaimana disebutkan diatas, oleh karena penelitian ini secara
spesifik menitikberatkan pada pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) atas pemasukan modal berupa tanah dan/atau bangunan
(inbreng) ke dalam pendirian Perseroan Terbatas. Berdasarkan penelusuran tersebut
maka dapat dipastikan penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria

yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan
biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa
dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis.21 Teori adalah untuk menerangkan
atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Sedangkan
kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun
atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori atau
landasan teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis

21

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2012), hal. 4.
JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Penyunting M. Hisyam , 1996), hal. 203.
22

Universitas Sumatera Utara

15

mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang
dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.23
Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal
dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya
berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang
disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli menggunakan kata ini
untuk menunjukkan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional),
empiris (kenyataannya), juga simbolis.24
Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum
dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian
menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu
filasafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.25

Dalam pemungutan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dikenal sistem pemungutan pajak Self Assessment System. Self Assessment
System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib pajak diberi wewenang
untuk menghitung, melaporkan dan membayar sendiri besarnya pajak yang terutang
atau yang harus dibayar. Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan
yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta

23

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, ( Bandung : Mandar Madju, 1994), hal. 80.
H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hal. 21.
25
B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
Dan Filsafat Hukum, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007), hal. 31.
24

Universitas Sumatera Utara

16

masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Negara hanya bertindak sebagai pengawas
atas pelaksanaan undang-undang pajak. Sistem ini digunakan di Indonesia pada pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).26
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan yang berkaitan dengan penyetoran
modal (inbreng) yang dilakukan oleh pendiri Perseroan dalam bentuk lain yang tidak
berupa uang tunai, yakni tanah dan/atau bangunannya adalah Teori Pemilikan
Bersama (propriete collective) dari Marcel Planiol. Menurut teori ini, hak dan
kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota
bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan
harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masingmasing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersamasama untuk keseluruhan. Disini dapat dikatakan, bahwa orang-orang yang berhimpun
itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang
dinamakan badan hukum.
Pada fase penyetoran modal (inbreng) yang dilakukan oleh pendiri Perseroan
dalam bentuk lain yang tidak berupa uang tunai, yakni tanah dan/atau bangunannya,
semata-mata dilakukan dengan tujuan untuk memberikan modal (harta kekayaan)
pada Perseroan dan memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-masing para
pendiri Perseroan. Dengan penyetoran modal (inbreng) seperti ini maka terjadi suatu
pemilikan bersama dari para pendiri Perseroan atas barang-barang dan hak-hak yang
telah dimasukkan sebagai modal oleh para pendiri. Modal tersebut merupakan suatu
26

Setu Setyawan, Perpajakan Indonesia (Edisi 2009), (Malang : UMM Press. 2009), hal 9-10.

Universitas Sumatera Utara

17

kesatuan dan ditempatkan sebagai kekayaan Perseroan yang dipisahkan dari harta
kekayaan masing-masing pendiri Perseroan.27
2.

Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-

konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut
adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif
lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi.28
Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian
tentang konsep-konsep guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang
dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilahistilah tersebut dalam suatu kerangka konsep. Berikut ini diuraikan beberapa konsep /
definisi / pengertian yang dijumpai dalam tesis ini dengan referensi yaitu Bab I Pasal
1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dan Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas:
1.

Pengertian Pajak Daerah
Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
27

28

C.S.T Kansil & Christine Kansil, Modul Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.12.

Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hal. 47 - 48

Universitas Sumatera Utara

18

2. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar
oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam
konteks ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimaknai sebagai
pemasukan ke kas daerah sesuai undang-undang pajak.
3. Pengertian Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
4. Pengertian Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan
bangunan.
5. Pengertian Perseroan Terbatas
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
6. Pengertian Direksi
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud

Universitas Sumatera Utara

19

dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

G. Metode Penelitian
Metode (Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos – meta berarti
sesudah, di atas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan, suatu cara). Mula-mula metode
diartikan secara harfiah sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Metode
penelitian secara harfiah menggambarkan jalan atau cara penelitian tersebut dicapai
atau dibangun.29
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum

yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan
pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian,
meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum,
buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat
menganalisa permasalahan yang dibahas.30
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books)
29

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayu Media
Publishing, 2008), hal. 25 – 26.
30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 13-14.

Universitas Sumatera Utara

20

atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.31
Penelitian hukum doktrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan
peraturan perundangan. Peraturan tersebut dikumpulkan dengan cara mengkoleksi
publikasi-publikasi dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan-peraturan
hukum positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian diklasifikasi
secara sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat
melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundangan di Indonesia.32
Penelitian ini bersifat preskriptif analitis, yang mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan normanorma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran
mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.33
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute
aprroach) yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan perundangundangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu hukum harus menelusuri
berbagai produk peraturan perundang-undangan.34 Dalam hal ini dilakukan studi

31

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,
2009), hal. 127.
32
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.
81-82.
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia,
1986), hal.10.
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hal.93.

Universitas Sumatera Utara

21

pustaka yang segala sesuatunya berkaitan dengan pengaturan hukum mengenai
pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas inbreng
pendirian Perseroan Terbatas.
2.

Sumber Data Penelitian
Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif maka

sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, seperti:35
a. Bahan hukum primer yaitu : bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan
yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan
pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang antara lain terdiri
dari :
1.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah

3.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

4.

Peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan hukum yang berkaitan erat dan
memberikan penjelasan bahan hukum primer yang ada dan dapat membantu
untuk proses analisis seperti buku-buku yang ditulis para ahli hukum dan ahli
hukum pajak mengenai hukum Perseroan Terbatas, ilmu hukum pajak, Bea
35

ibid., hal.23-24.

Universitas Sumatera Utara

22

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan lain-lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang menjadi objek penelitian.
c. Bahan hukum tersier yaitu : semua bahan yang memberikan petunjuk,
penjelasan dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer
dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan :
a. studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka
atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang
berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan
menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka
(library research) dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundangan,
dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan
masalah penelitian.36
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan tanya jawab dengan
narasumber untuk mendapatkan informasi. Untuk menambah dan melengkapi
data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan informan
yaitu Notaris / Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di kota Medan dan
Kabupaten Langkat.
36

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 156-159.

Universitas Sumatera Utara

23

4.

Analisis Data
Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan
dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif.
Kualitatif berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian
terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur di dalam bahan hukum primer
dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan hukum
sekunder, yang tentunya akan diupayakan pengayaan sejauh mungkin dengan
didukung oleh bahan hukum tersier. Dalam hal penelitian ini menggunakan metode
deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.37
Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada
tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :
1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa bahanbahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti.
2. Tahapan pemilahan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah
dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan
mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan
dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan di dalam
penelitian tesis ini;

37

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.105.

Universitas Sumatera Utara

24

3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks
dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipilah tersebut akan dianalisa
dengan seksama dengan melakukan interpretasi / penafsiran yang diperlukan
dengan berpedoman terhadap konsep, asas dan kaidah hukum yang dianggap
relevan dan sesuai dengan tujuan utama daripada penelitian ini. Hasil
penelitian kemudian akan dituangkan dalam bentuk tertulis yang diharapkan
akan dapat menjawab permasalahan yang ada, sehingga hasil penelitian ini
akan

dapat

dijadikan

sebagai

referensi

ilmiah.

Universitas Sumatera Utara