Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)

(1)

KAJIAN HUKUM PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

TANAH DAN BANGUNAN DAN PAJAK PENGHASILAN FINAL

PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM

TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER)

Tesis

Oleh

DINA ARFINA

127011112/MKn.

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(2)

ABSTRAK

Built, Operate and Transfer (BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut, juga menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya selama waktu tertentu.

Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT) tersebut

terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan swasta, akan tetapi bisa juga antara non pemerintah dengan swasta. Perjanjian BOT antara pemerintah dengan swasta tidak ada kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah dan Bangunan, namun dalam perjanjian BOT antara non pemerintah dengan swasta menemui kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final PHTB. Karena itu perlu dikaji mengenai pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan, kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan, serta kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode berpikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengenaan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah penyerahan bangunan dari investor kepada pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP bangunan/nilai Pasar bangunan. Sedangkan pengenaan BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur oleh UU PDRD. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan. Setelah jangka waktu BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP Bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan tersebut. Sedang saat terutang BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada kejelasan saat terutangnya. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU PDRD tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek pajak, sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT dikenakan pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.


(3)

ABSTRACT

Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by using BOT system is not only between the government and private sector but also between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in BOT transaction.

The research used judicial normative and descriptive analytic approaches. The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that levying Final PPh on land and building rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85, paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.


(4)

JUDICIAL ANALYSIS ON LEVYING LAND AND BUILDING RIGHTS ACQUISITION TAX AND FINAL INCOME TAX ON LAND AND

BUILDING RIGHT TRANSFER IN BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER)

THESIS

BY

DINA ARFINA 127011112/M.Kn

MAGISTER OF NOTARIAL AFFAIRS STUDY PROGRAM FACULTY OF LAW

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih

judul : “Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya

secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., selaku

Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS,

CN., serta Bapak Dr. Bastari, SE., MM., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukkan dan bimbingan kepada penulis selama

dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN,

MHum., dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.


(6)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, Mhum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., MHum., Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan

Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Letkol (Purn) Dr. H. Wasfi Zainul dan Ibunda Hj. Harmiaty, yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik ananda dengan penuh kasih sayang, serta

Suamiku H. Amar Subchan Indra, Amd, SS., atas segala pengorbanan dan

pengertiannya, serta anak-anakku tersayang Malikah Mazaya Indra dan Mahfuzah

Syafura Indra atas segala dorongan serta semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada kakak penulis, dr. Dewi Aryanti, dipl. CIDESCO, dan adik penulis, drg. Della Arfiza, yang banyak memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.


(7)

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan, Khususnya rekan-rekan Magister Kenotariatan Kelas Reguler Angkatan 2012, Hujjatul Marwiyah, Ivo Fara Zara, SH, MKn., Suci Mulani, SH, MKn., Syafwatun Nida, SH, MKn., Dini Novrina, Afriyani Pohan, Zaisika Khairunnisak, dan kawan-kawan satu angkatan lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran dari awal masuk di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sampai saat penulis selesai menyusun tesis ini.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Nopember 2014


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Dina Arfina

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 29 Januari 1978

Alamat : Jl. Karya Kasih Nomor 81, Gedung

Johor, Kota Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 36 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Nama Bapak : Letkol (Purn) Dr. H. Wasfi Zainul

Nama Ibu : Hj. Harmiaty

Nama Suami : H. Amar Subchan Indra, Amd, SS.

Anak Kandung : Malikah Mazaya Indra

Mahfuzah Syafura Indra

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Taman Harapan Medan

(1984-1990)

Sekolah Menengah Pertama : SLTPN 10 Medan (1990-1993)

Sekolah Menengah Atas : SMA Tunas Kartika I (1993-1996)

Universitas : 1. Sekolah Tinggi Bahasa Asing

Harapan Medan (1996-2001)

2. S1 Fakultas Hukum Universitas Islam


(9)

(1996-2002)

Universitas : S2 Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (2012-2014)


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK --- i

DAFTAR ISI --- ii

BAB I PENDAHULUAN --- 1

A.Latar Belakang --- 1

B. Permasalahan --- 10

C. Tujuan Penelitian --- 11

D.Manfaat Penelitian --- 11

E. Keaslian Penelitian --- 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi --- 14

1. Kerangka Teori --- 14

2. Konsepsi --- 16

G.Metode Penelitian --- 19

1. Sifat dan Jenis Penelitian --- 19

2. Sumber Data/ Bahan Hukum --- 20

3. Teknik Pengumpulan Data --- 22

4. Analisis Data --- 23

BAB II BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER) --- 24

A. Pengertian BOT (Built Operate And Transfer) --- 24


(11)

1. Dasar Hukum BPHTB --- 32

2. Definisi BPHTB --- 33

3. Subjek BPHTB --- 34

4. Objek BPHTB --- 35

5. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB --- 38

6. Perhitungan BPHTB --- 39

C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan --- 48

1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan 48 2. Prinsip Pemajakan Menurut UU PPh --- 48

3. Penggolongan PPh Final --- 51

4. Subjek Pajak --- 52

5. Objek Pajak --- 56

6. Penghitungan PPh Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan --- 66

D. Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam Transaksi BOT --- 67

1. Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi BOT --- 67

2. PPh Final PHTB Dalam Transaksi BOT --- 70

3. BPHTB Dalam Transaksi BOT --- 76

BAB III KEPASTIAN SAAT TERHUTANGBPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER) --- 77


(12)

B. Saat Terhutang BPHTB Dalam Transaksi BOT (Built Operate And

Transfer) --- 82

C. Saat Terhutang PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer) --- 84

BAB IV KENDALA YURIDIS DALAM PENGENAAN BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER) -- 94

A. Kepastian Hukum --- 94

B. Asas Kepastian Hukum Dalam Perpajakan --- 97

C. Ketentuan Tentang PPh PHTB dan BPHTB Dalam BOT --- 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN --- 112

A. Kesimpulan --- 112

B. Saran --- 113


(13)

DAFTAR ISTILAH

Advalorum : tarif dengan % tertentu yang dikenakan pada harga atau nilai suatu barang

Ambiguous : penafsiran yang berbeda

Amortisasi : pengurangan pajak

Arrest Hooggerechtshof : yurisprudensi Mahkamah Agung BOT Agreement : perjanjian bangun guna serah

Built : pembangunan

Certainty : kepastian

Comprehensive income taxation : skedul tarif diterapkan atas kategori penghasilan tertentu

Consolidation : peleburan usaha

Contract break : wanprestasi

Deemed profit : wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus

Degresif : tarif menurun

Efficiency : efisiensi

Expantion : pemekaran usaha

Fee : imbalan atas jasa tertentu

Field research : penelitian lapangan

Fiskus : pemungut pajak


(14)

Global taxation : prinsip pemajakan atas penghasilan

digabungkan tanpa membedakan asal, sumber, dan jenis

Hierarki : tata urutan

Independent agent : perantara yang mempunyai kedudukan bebas

Inbreng : penyetoran modal saham dalam bentuk tanah dan atau bangunan

Investor : penyandang dana

Juncto : dihubungkan/dikaitkan

Legal order : tata hukum

Library research : penelitian kepustakaan

Likuidasi : pembubaran badan hukum

Materiele leer : ajaran materil

Merger : penggabungan usaha

Official Assesment : perhitungan pajak oleh instansi pemerintah

Operate : pengoperasian

Order : tata aturan

Owner : pemilik tanah

Place of business : tempat usaha

Preferent : hak mendahului

Progresif : tarif meningkat

Proporsional : sebanding


(15)

Rule : aturan tunggal

Rules : seperangkat aturan

Schedular tax system : pengenaan PPh atas jenis dan sumber

penghasilan tertentu, perlakuan pajak beda berdasarkan asal, sumber, dan jenis penghasilan

Self Assesment : perhitungan pajak oleh wajib pajak sendiri

Spirit : semangat

Staatblad : Lembaran Negara, peraturan dan ketentuan pada masa kolonial Belanda

Take over : pengambilalihan usaha

Tax Law : Undang-undang perpajakan

Tax reform : reformasi perpajakan

Tax reliefs : pengurangan pajak

Transfer : penyerahan kembali

Transparency : transparansi

Unitary tax system : skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan penghasilan

Wording : kata dan kalimat

Worldwide income : penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari Luar Negeri


(16)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

BOT : Built Operate and Transfer

BM : Bea Meterai

BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

BUT : Bentuk Usaha Tetap

BW : Burgerlijk Wetboek

Dirjen : Direktur Jenderal

DJP : Direktorat Jenderal Pajak

Dispenda : Dinas Pendapatan Daerah

DPP : Dasar Pengenaan Pajak

HIR : Herziene Inlandsch Reglement

Hlm. : Halaman

JBNPHTB : Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan

KMK : Keputusan Menteri Keuangan

HGB : Hak Guna Bangunan

HGU : Hak Guna Usaha

HMSRS : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

HPL : Hak Pengelolaan

HT : Harga Transaksi

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

No. : Nomor


(17)

NJOP TB : Nilai Jual Objek Pajak Tanah dan Bangunan

NP : Nilai Pasar

NPOP : Nilai Perolehan Objek Pajak

NPOPKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

NPOPTKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak

NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak

OP : Objek Pajak

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

PMK : Peraturan Menteri Keuangan

PN : Pengadilan Negeri

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PP : Peraturan Pemerintah

PPh : Pajak Penghasilan

PPh PHTB : Pajak Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Ps. : Pasal

PT : Perseroan Terbatas

Rbg. : Reglement Buitengewesten

RS : Rumah Sederhana

RSS : Rumah Susun Sederhana

RI : Republik Indonesia

Rp. : Rupiah

RV : Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

SE : Surat Edaran

SK : Surat Keputusan

SKP : Surat Ketetapan Pajak

SKPD : Surat Ketetapan Pajak Daerah

SKPDKB : Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar

SKPDKBT : Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan


(18)

SKPKBT : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

SPTPD : Surat Pemberitahuan Pajak Daerah

STP : Surat Tagihan Pajak

Stb. : Staatsblad

UU : Undang-Undang

UUPA : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria

UU PDRD : Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah

UUPPh : Undang-Undang Pajak Penghasilan


(19)

ABSTRAK

Built, Operate and Transfer (BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut, juga menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya selama waktu tertentu.

Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT) tersebut

terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan swasta, akan tetapi bisa juga antara non pemerintah dengan swasta. Perjanjian BOT antara pemerintah dengan swasta tidak ada kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah dan Bangunan, namun dalam perjanjian BOT antara non pemerintah dengan swasta menemui kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final PHTB. Karena itu perlu dikaji mengenai pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan, kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan, serta kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode berpikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengenaan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah penyerahan bangunan dari investor kepada pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP bangunan/nilai Pasar bangunan. Sedangkan pengenaan BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur oleh UU PDRD. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan. Setelah jangka waktu BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP Bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan tersebut. Sedang saat terutang BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada kejelasan saat terutangnya. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) UU PDRD tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek pajak, sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT dikenakan pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.


(20)

ABSTRACT

Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by using BOT system is not only between the government and private sector but also between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in BOT transaction.

The research used judicial normative and descriptive analytic approaches. The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that levying Final PPh on land and building rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85, paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah, yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikannya diperlukan biaya yang besar yang harus digali terutama dari dalam negeri berupa pajak. Hal ini menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam

kegotong-royongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.1

Beberapa fungsi penting pajak, antara lain adalah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara, pembiayaan kepentingan umum, seperti

pembangunan gedung-gedung sekolah, jembatan, jalan umum dan berbagai fasilitas lainnya yang sering kali digunakan oleh masyarakat. Pada dasarnya pajak digunakan

untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.2

Peningkatan pendapatan negara terutama dalam sektor pajak, memberikan sumbangan positif dalam keuangan negara.3

1

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm.7.

Di sisi lain pajak bukan hanya berfungsi

2

Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.21. 3

Budi Rahardjo dan Djaka Saranta S. Edhy, Dasar-dasar Perpajakan Bagi Bendaharawan sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan Penyetoran/Pelaporan, (Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003), hlm.1.


(22)

untuk memasukkan uang ke kas negara, tetapi juga merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memenuhi kewajiban kenegaraan dalam

upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional.4

Pajak merupakan bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Dengan demikian dalam pembangunan nasional khususnya pembangunan hukum di bidang administrasi negara, hukum pajak merupakan sarana yang penting dalam kerangka menunjang pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan

pembangunan ekonomi dan sosial.5

Sejalan dengan otonomi daerah, kebijakan desentralisasi telah memberikan wewenang yang lebih banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya secara otonom, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang besar kepada pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek pembangunan agar sesuai dengan

kebutuhan masyarakat setempat.6 Salah satu komponen utama pelaksanaan

desentralisasi dalam otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan otonomi daerah).7 Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan

pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah khususnya.8

4

Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.21.

5

Marihot Pahala Siahaan (a), Hukum Pajak Elementer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.8.

6

Joko Widodo, Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Penerbit Insan Cendekia, 2001), hlm.43.

7

Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, (Jakarta: Yellow Printing, 2007), hlm.12. 8

Dedy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.206.


(23)

Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu

Pajak Pusat dan Pajak Daerah.9 Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh

pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yang terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,10

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilimpahkan pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sehingga dinamakan Pajak Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 sampai dengan pasal 93 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Undang-Undang Pajak Daerah). Pelaksanaan pelimpahan BPHTB menjadi Pajak Daerah lebih cepat dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana peraturan tentang tahapan persiapan pengalihan dilakukan oleh Menteri Keuangan sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belakangan masuk menjadi pajak daerah.

9

Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.5. 10

Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan Perhitungan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.6.


(24)

bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 1(satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tertanggal 1 Januari 2010, sehingga paling lambat tanggal 31 Desember 2010 merupakan batas akhir persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah. Maka sejak tanggal 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.11

Dalam pengalihan tanah dan bangunan ada beberapa pajak yang dikenakan antara lain BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F PHTB). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia sehingga segala pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun di luar ketentuan Undang-undang BPHTB.

12

BPHTB merupakan pajak yang dikenakan/dipungut oleh Pemerintah terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.13

Secara umum, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut maka wajib dibayar

11

Eddy Wahyudi, http://eddiwahyudi.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah/, terakhir diakses tanggal 04 Mei 2014

12

Muhammad Rusjdi, PBB, BPHTB dan Bea Materai, (Jakarta: PT indeks Kelompok Gramedia, 2005), hlm.127.

13

Marihot Pahala Siahaan (b), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori danPraktek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.7.


(25)

pajak penghasilan (PPh).14

Objek PPh adalah penghasilan yang diperoleh dari pengalihan harta berupa hak atas tanah dan bangunan, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)

Cara pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan PPh secara umum dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17 UU PPh) dan pengenaannya melalui mekanisme SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh secara final, seperti Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan (PPh PHTB).

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

, berbunyi:

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau

sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak

5. ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 14


(26)

6. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

Sedangkan objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah suatu perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang mengakibatkan beralihnya pemegang hak atas tanah kepada pihak lain.15

Seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah pada dasarnya dikenakan PPh F PHTB kecuali bila memenuhi persyaratan yang dapat dibebaskan PPh seperti yang diatur dalam Peraturan Dirjen Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian Pembayaran Kewajiban atau Pemungutan PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BOT hanya sebuah skema atau konsep yang umum sifatnya, maka konsep BOT tidak hanya dapat digunakan untuk proyek pemerintah saja, tetapi juga dapat digunakan untuk proyek swasta, artinya pihak yang terlibat antara individu dengan individu atau swasta dengan swasta. Misalnya penduduk asli memiliki tanah, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial, maka dapat melakukan pola kerja sama pendirian bangunan hotel/penginapan di atas tanah penduduk melalui perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan

15

Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.276.


(27)

investor, di mana pihak investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama

masa perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), dan

mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa Bangun Guna Serah berakhir.16

Merujuk pada definisi perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and

Transfer/BOT), maka BOT memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

17

1. Adanya para pihak, yaitu pihak investor yang menyediakan dana untuk

membangun fisik proyek tersebut, dan pihak pemilik tanah/lahan yaitu masyarakat/swasta yang memiliki lahan strategis. Demikian juga pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan atau juga hak ulayat;

2. Adanya objek yang diperjanjikan dalam perjanjian BOT, yaitu lahan atau

beserta bangunannya;

3. Investor dalam jangka waktu tertentu diberi hak kelola atas bangunan yang dibangun untuk mengambil manfaat ekonominya dengan pola bagi hasil,

royalty, atau kompensasi dengan harapan modal yang telah diinvestasikan dapat kembali atau bahkan menguntungkan;

4. Setelah waktu kelola tersebut berakhir, investor mengembalikan bangunan

beserta fasilitas-fasilitas yang melekat pada bangunan tersebut kepada pemilik lahan atau pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan.

Dalam transaksi BOT, pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah (owner), dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah

16

Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian Dan Hukum Publik), (Bandung: Keni Media, 2012), hlm.6.

17


(28)

beserta bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap

dioperasionalkan kepada pemilik tanah (owner) setelah jangka waktu operasional

tersebut berakhir.18

Metode pembiayaan suatu proyek dalam transaksi BOT termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan proyek tersebut yaitu studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan, pembangunan, pemasaran, pengoperasian dan pemeliharaan proyek yang diserahkan kepada pihak kontraktor untuk melakukannya. Pihak investor akan mendapatkan pengembalian investasi yang ditanamkannya melalui pengoperasian proyek tersebut untuk jangka waktu tertentu. Aset proyek tersebut setelah jangka waktu pengoperasian berakhir akan dialihkan kepada pihak owner sebagai pemegang hak atas aset tersebut.

19

Keuntungan terbesar dari BOT bagi owner adalah memindahkan risiko kepada investor, dalam pembangunan fasilitas infrastruktur tersebut. Pada akhir masa

konsesi, owner akan mewarisi hasil dari proyek yang telah terbukti dapat

dioperasionalkan dengan baik.

Di Kota Medan ada beberapa pembangunan proyek dengan menggunakan kerjasama BOT ini, misalnya pembangunan Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto, Ramayana Teladan di Jalan Sisingamangaraja Eks Terminal Taksi Teladan, The City

18

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.

19

Siti Ummu Adillah, Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April 2004, hlm.125.


(29)

Hall di Jalan Balaikota, gedung Trade Centre Medan di Jalan Gatot Subroto, dan Pasar Petisah.20

Dalam transaksi BOT, antara owner/pemilik tanah (swasta) dengan investor (swasta) atas pengalihan bangunan dari investor kepada owner, owner dikenakan PPh Final Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F PHTB).

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995, bahwa:

”Pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Hanya saja dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan sebesar 5% tersebut diatas apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah”.

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (”Built Operate

And Transfer”) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995

tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17) tersebut maka kewajiban pajak penghasilan bagi investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai dilaksanakan dan beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa

20

Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT, http://www.pemkomedan.go.id/news_ detail.php?id=11674, terakhir diakses tanggal 28 April 2014


(30)

perjanjian BOT diperpendek dari masa yang telah ditentukan, sedangkan kewajiban pajak penghasilan bagi pemilik tanah (owner) berlaku ketika masa perjanjian BOT berakhir dan bangunan diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah (owner).

Mengenai kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam perjanjian kerjasama BOT tidak diatur secara jelas dan tegas sebagai objek pajak dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Tidak jelasnya pengaturan objek BPHTB ini menimbulkan perbedaan persepsi antara wajib pajak maupun instansi pemerintah misalnya Dispenda mengenai pengenaan BPHTB terkait perubahan status tanah akibat adanya transaksi BOT.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)”.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimana pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan

bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And Transfer)?

2. Bagaimana kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan


(31)

3. Apa kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan BPHTB dan PPh Final

pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And Transfer).

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian saat terhutang mengenai BPHTB

dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB

dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/ literatur mengenai masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama.


(32)

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan

PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built

Operate And Transfer)”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut masalah kegiatan BOT (Built Operate And Transfer), antara lain penelitian yang dilakukan oleh :

1. Soleh (NIM. B4B008237), Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro

Semarang, 2010, dengan judul penelitian “Pelaksanaan Pembangunan Fasilitas

Umum Dengan Kontrak Bangun Serah Guna/ Build Operate Transfer (BOT) di

Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian Bangun Serah Guna/ Build Operate and

Transfer (BOT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang


(33)

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah?

b. Hambatan apa yang timbul dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum

dengan Kotrak Bangun Serah Guna/ Build Operate and Transfer (BOT) di

Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan?

2. Saudara Amir Faisal Shabuddin Lubis, (NIM. 037011005), Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, 2006, dengan judul penelitian “Penerapan Build

Operate Transfer (BOT) Dalam Investasi Oleh Pemerintah Kota Medan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana pengaturan BOT di Indonesia?

b. Apakah pada setiap jenis hak atas tanah dapat didirikan bangunan dan

investasi pranata BOT?

c. Bagaimana penerapan kontrak BOT oleh pemerintah kota Medan dalam

rangka investasi?

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik keasliannya.


(34)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.21

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum oleh Roscoe Pound, yang mengatakan bahwa dengan adanya

kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.

22

Sedangkan Van Kant mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk

menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.23

21

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122

Dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

22

Pieter Mahmud Marzuki (a), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal.158

23

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 44


(35)

Kepastian hukum hak atas tanah pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tercakup dalam pengenaan pajak atas adanya peralihan hak atas tanah objek BOT :

a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran tanah;

b. Struktur hukum, yang terdiri dari aparat pertanahan dan lembaga penguji

kepastian hukum, juga lembaga pemerintahan terkait;

c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum masyarakat dan realitas

sosial.24

Sistem bangun guna serah atau biasa disebut BOT Agreement adalah

perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta

bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah :

a. Owner dan Investor (penyandang dana) 24

Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, 2008), hlm.115.


(36)

b. Tanah

c. Bangunan komersial

d. Jangka waktu operasional e. Penyerahan (transfer)

Dengan demikian BOT merupakan suatu konsep pembangunan gedung atau bangunan dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN yang setelah selesai dibangun akan dioperasikan oleh investor sampai jangka waktu tertentu dan setelah tahapan pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek.25

Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.26

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

25

Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7. 26


(37)

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.27 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.28

Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Kajian hukum adalah mempelajari dan menganalisis dari sudut pandang hukum.

b. Pengenaan pajak adalah pembebanan kewajiban pembayaran pajak kepada wajib

pajak.

c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.29

d. Bangunan adalah adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara

tetap pada tanah dan/atau perairan.30

e. Tanah adalah permukaan bumi.31

f. Kegiatan Built Operate and Transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah, dan

27

Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31. 28

Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), hlm.19. 29

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pasal 1 angka 1.

30

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pasal 1 angka 2.

31

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 4 ayat (1)


(38)

mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.32

g. Owner adalah pemilik tanah dalam transaksi BOT.

h. Investor adalah pemilik modal dalam transaksi BOT.

i. Built Operate and Transfer (BOT) Agreement adalah perjanjian antara dua pihak,

dimana pihak owner menyerahkan penggunaan tanahnya untuk didirikan suatu

bangunan di atasnya oleh pihak investor, dan pihak investor berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu tertentu, dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak owner, dan pihak investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat

dan siap dioperasikan kepada pihak owner setelah jangka waktu operasional

berakhir.

j. BOT Term adalah jangka waktu perjanjian/ agreement yang dibuat secara

Notariil.

k. Masa Konsesi adalah jangka waktu masa operasional.

l. NJOP Tanah adalah nilai jual objek pajak atas tanah yang digunakan dalam

transaksi BOT.

m. Harga Pasar adalah harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat

terjadinya transaksi.

n. NJOP Bangunan adalah nilai jual objek pajak atas bangunan yang dioperasikan

dan dikelola oleh pelaksana pembangunan dalam transaksi BOT. Nilai NJOP 32


(39)

Bangunan ini setelah masa konsesi berakhir akan mengalami penyusutan nilai aset.

o. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pengenaan

pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan (PPh).33

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat preskriptif, sesuai dengan sifat ilmu hukum yang preskriptif yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.34

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.35

33

Pengertian PPh PHTB, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29 April 2014.

Meliputi penelitian terhadap sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang

34

Peter Mahmud Marzuki (b), Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.35. 35

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hlm.13


(40)

dibahas,36

2. Sumber Data/ Bahan Hukum

serta menjawab pertanyaan sesuai permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu permasalahan pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a). Bahan hukum primer.37

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah

36

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.

37

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.53.


(41)

Nomor 71 Tahun 2008 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/Kmk.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

b). Bahan hukum sekunder.38

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil-hasil seminar, hasil-hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT.

c). Bahan hukum tertier.39

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.

Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan.

38 Ibid. 39


(42)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (Library Research).

Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder tersebut, maka dibutuhkan bahan kepustakaan yang merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

b. Wawancara.

Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan yang dianggap mengetahui permasalahan mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian tesis ini.


(43)

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).40

Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,

41

40

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.

guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

41

Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.


(44)

BAB II

BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN

BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND

TRANSFER)

A. Pengertian BOT (Built Operate And Transfer)

Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan istilah yang relatif

baru dalam kegiatan ekonomi Indonesia, walaupun secara sejarah konsep Built,

Operate and Transfer (BOT) ini sebenarnya telah lama dipraktekan pelaksanaannya di Kota Eretria Yunani (Athena) pada sekitar 300 tahun Sebelum Masehi.42

Perjanjian kerjasama dengan sistem bangun guna serah atau biasa disebut dengan sistem Built, Operate and Transfer Agreement (“BOT Agreement”) adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta

bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir.43

Sementara menurut pendapat Clifford W. Garstang konsep Built, Operate and Transfer (BOT) adalah:

42

Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.172 43

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.


(45)

is a variety of type of project financing known as contractor provided financing. In the standard contractor provided financing a project entity may request proposal for the contruction of a project pursuant to which the contractor will not only provided the materials and services needed to complete the project but will also provide or at least arrange the necessary financing. The contractor will also need to operate the project and use its cash flows to repay the debt it has incurred”.44

Dengan demikian, pada dasarnya Built, Operate and Transfer (BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Kontraktor/investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah dikeluarkannya selam waktu tertentu yang telah diperjanjikan.

Berdasarkan pengertian tersebut BOT Agreement di atas, unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT

Agreement, adalah :

1. Owner (pemilik tanah); 2. investor (penyandang dana);

3. Tanah;

4. Bangunan komersial;

5. Jangka waktu operasional; 6. Penyerahan (transfer).

44

Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik), (Bandung: Keni Media, 2012), hlm.115.


(46)

Objek dalam perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement kurang lebih :

1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi

tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai bangunan komersial.

2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk tujuan :

a. Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya

b. Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan

sebagainya.

c. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk

menghasilkan produk tertentu.

Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan suatu konsep yang mana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh investor dan setelah tahapan pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam

perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT), kemudian dilakukan pengalihan

proyek tersebut pada pemilik proyek.45

45

A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.7.

Pada dasarnya Built, Operate and Transfer


(47)

investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga investor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.46

Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT)

tersebut dapat terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan investor, akan tetapi ada

juga antara non pemerintah dengan investor. Built, Operate and Transfer (BOT)

antara pemerintah dengan swasta terjadi apabila pemilik tanah adalah pemerintah dan

pihak investor merupakan badan hukum swasta, sedangkan Built, Operate and

Transfer (BOT) yang terjadi antara non pemerintah dengan investor terjadi apabila kedua pihak, baik pemilik tanah maupun investor kedua-duanya merupakan badan

hukum swasta yang bekerja sama dalam transaksi Built, Operate and Transfer

(BOT).47

Built, Operate and Transfer (BOT) dapat digunakan untuk proyek swasta, artinya pihak yang terlibat yaitu individu dengan individu, individu dengan swasta, atau swasta dengan swasta. Contoh pelaksanaan Built, Operate and Transfer (BOT)

untuk proyek swasta dapat terlihat dalam perjanjian Built, Operate and Transfer

(BOT) di Denpasar Bali, di mana penduduk asli memiliki tanah di tempat yang cukup strategis, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial,

46

Ibid., hlm.8-9. 47


(48)

selanjutnya pihak investor meminta izin untuk mendirikan bangunan hotel atau penginapan di atas tanah penduduk asli tersebut dengan biaya seluruhnya ditanggung pihak investor dan diperjanjikan untuk jangka waktu 30 tahun atau sesuai dengan perjanjian untuk dilakukan pengoperasian hasil pembangunan proyek tersebut, di mana setelah jangka waktu perjanjian berakhir maka bangunan dan sarana prasarana pendukungnya dikembalikan kepada pemilik hak atas tanah tersebut tanpa syarat. Selanjutnya di antara para pihak, jika dikehendaki, dapat dilakukan sewa menyewa setelah masa konsesi tersebut berakhir.48

Berdasarkan uraian tersebut, paling tidak terdapat tiga ciri transaksi Built, Operate and Transfer (BOT), yaitu:

1. Pembangunan (Built);

Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada investor untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama/participating interest). Desain dan spesifikasi bangunan umumnya merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik proyek.

2. Pengoperasian (Operate);

Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek pada pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil menfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek

48


(49)

tersebut. Pada masa itu pemilik proyek dapat juga menikmati sebagai hasil sesuai dengan perjanjian jika ada.

3. Penyerahan Kembali (Transfer);

Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek pada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (bisaanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.

Pembuatan Perjanjian yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Pembangunan, Pemilikan, Pengelolaan dan Penyerahan Kembali Tanah, Gedung dan Fasilitas Penunjang, disebut juga sebagai Perjanjian Built, Operate and Transfer

(BOT) atau Bangun Guna Serah.49

Dalam hukum perjanjian, Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT)

merupakan perjanjian khusus atau disebut juga perjanjian tidak bernama, karena tidak dijumpai dalam KUHPerdata. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang belum ada hukum tambahannya sehingga para pihak dapat memberikan nama pada perjanjian tersebut,

50

49

A.P. Parlindungan, Op.Cit., hlm.208-209.

misalnya perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate and

Transfer/BOT). Perjanjian ini dapat diterima dalam hukum karena dalam KUHPerdata ditemui adanya suatu asas kebebasan berkontrak. Ketentuan mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

50

Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta: Visimedia, 2010), hlm.14.


(50)

yang menyatakan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) dapat didefinisikan sebagai Perjanjian antara dua pihak, dimana pihak pertama menyerahkan penggunaan tanahnya untuk didirikan suatu bangunan di atasnya oleh pihak kedua, dan pihak kedua berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu tertentu, dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak pertama, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasikan kepada pihak pertama setelah jangka waktu operasional berakhir.51

Merujuk pada perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) ada kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak (pihak pemilik tanah dan investor), yakni:52

1. Kewajiban Pemilik Hak Atas Tanah

a. Memberikan jaminan bahwa Pihak Kesatu sebagai pemilik hak atas

tanah adalah satu-satunya pihak yang berhak menyerahkan tanah yang dijadikan objek BOT, sehingga tanah objek BOT tersebut tidak mendapat gangguan dari pihak kesatu ataupun pihak yang mendapat hak dari pihak kesatu ataupun pihak ketiga.

b. Memberikan jaminan bahwa tanah dan turutannya tersebut bebas dari

sitaan, tidak sedang dijaminkan guna pelunasan suatu utang, tidak dalam keadaan sengketa dan bebas dari segala tagihan berupa apapun dari yang berwajib.

c. Pihak kesatu sebagai pemilik hak atas tanah berkewajiban memberikan

hak atas tanah dalam bentuk Hak Guna Bangunan atau hak-hak lain yang diperlukan sepanjang dimungkinkan berdasarkan aturan 51

Maria S. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm.208.

52


(51)

perundangan yang berlaku di atas tanah dan turutannya tersebut, untuk itu pihak kesatu bersedia turut dan atau membantu menghadap kepada pejabat-pejabat yang berwenang guna menandatangani akta-akta atau surat-surat yang diperlukan.

2. Kewajiban Pihak Investor

a. Untuk atas biaya dan risiko sendiri pihak investor sebagai pihak kedua mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah objek BOT tersebut menurut rencana yang dikehendaki.

b. Memelihara dan menjaga dengan baik sebagaimana lazimnya apa yang

dijadikan objek BOT menurut ketentuan, peraturan dan kebiasaan yang berlaku, atas biaya yang harus dipikul oleh pihak kedua.

c. Memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi atas objek BOT menurut

ketentuan, peraturan dan kebiasaan yang berlaku, atas ongkos/biaya yang harus dipikul oleh pihak kedua.

d. Mentaati semua peraturan dan ketentuan yang berlaku, baik yang

sekarang telah ada maupun yang akan ada kemudian.

e. Jika seandainya untuk tanah yang menjadi objek BOT dengan akta ini

dan bangunan-bangunan yang terdapat di antaranya kemudian dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka PBB tersebut ditanggung dan harus dibayar tepat waktu oleh pihak kedua.

f. Dilarang untuk menjadikan tanggungan/jaminan untuk pelunasan

sesuatu utang dalam bentuk dan menurut cara apapun yang dibuat oleh pihak kedua dengan siapapun juga.

g. Pada saat perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and

Transfer/BOT) berakhir, maka bangunan dan bagian-bagian serta turutan dan perlengkapannya termasuk segala perubahan dan tambahan pada bangunan tersebut harus diserahkan kepada pemilik hak atas tanah, tanpa pemilik hak atas tanah mengeluarkan suatu biaya apapun.

h. Pada hari berikutnya, sejak perjanjian BOT berakhir, pihak kedua harus menyerahkan kembali tanah dan turutannya kepada pihak kesatu dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya dalam keadaan kosong, tanpa penghuni dan barang, serta dalam keadaan tetap terpelihara baik.

Hak-hak atas tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai objek perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) adalah hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil


(52)

Hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak atas tanah sebelumnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu: Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak

Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.53

B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 1. Dasar Hukum BPHTB

Dasar Hukum BPHTB adalah ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan lain-lain. Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) adalah sebagai berikut:54

a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (seperti hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan), baik pemindahan hak (seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, dan waris) maupun pemberian hak baru.

b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB, seperti objek pajak yang

diperoleh perwakilan diplomatik dan konsulat, negara, badan atau perwakilan lembaga internasional, konversi hak yang tidak merubah nama, wakaf, dan

53

Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.30. 54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 85 sampai dengan Pasal 93


(53)

kepentingan ibadah. Khusus mengenai badan atau perwakilan lembaga internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tanggal Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.

c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah

dan/atau bangunan.

d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah

dan/atau bangunan. Termasuk wajib pajak BPHTB adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, Kepala Kantor Lelang negara, dan Kepala Kantor Pertanahan, yang berdasarkan undang-undang diberikan kewajiban tertentu dalam proses pemungutan BPHTB.

e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%. Setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB

sesuai dengan kebijakan daerahnya sepanjang tidak melampaui 5%.

f. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan saat

terutang BPHTB adalah tanggal peralihan hak.

2. Definisi BPHTB

Definisi dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.55

55

Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.42.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Ashshofa, Burhan. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 1996. Barata, Atep Adya. Panduan Lengkap Pajak Penghasilan. Jakarta: Visimedia. 2011. Bratakusumah, Dedy Supriady dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.

Djuanda, Gustian. dan Irwansyah Lubis. Pelaporan Pajak Penghasilan. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Faisal, Gatot S.M. How To Be A Smarter Taxpayer, Bagaimana Menjadi Wajib Pajak Yang Lebih Cerdas. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.

Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

Fuady, Munir. Sejarah Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 1982.

Ismail, Tjip. Pengaturan Pajak Daerah Indonesia. Jakarta: Yellow Printing. 2007. Ismawan, Indra. Menegakkan Pilar ‘Good Governance’ Di Daerah Sebagai Realisasi

Otonomi Daerah. Jakarta: Business News. 2002.

Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kamilah, Anita. Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian Dan Hukum Publik). Bandung: Keni Media. 2012.


(2)

Kurniawan, Panca. dan Bagus Pamungkas. Penagihan Pajak di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing. 2006.

Laksono, Fajar. Ed.Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007.

Lubis, Irwansyah. Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2010.

Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi.

Bandung: CV. Mandar Maju. 2010.

Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2001.

Markus, Muda. Perpajakan Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005.

Marsyahrul, Tony. Pengantar Perpajakan. Jakarta: PT. Grasindo. 2006.

Marzuki, Pieter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009.

____________________. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010.

Muljono, Djoko. Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.

Nurachmad, Much. Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian. Jakarta: Visimedia. 2010.

Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Edisi 3. Jakarta: Granit. 2005.

Parlindungan, A.P. Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA. Bandung: Mandar Maju. 1994.

_______________. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju. 1994. Podger, Owen. Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di


(3)

Rahardjo, Budi dan Djaka Saranta S. Edhy. Dasar-dasar Perpajakan Bagi Bendaharawan sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan Penyetoran/Pelaporan. Jakarta: CV. Eko Jaya. 2003.

Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat. 2004.

Rosdiana, Haula. dan Edi Slamet Irianto. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia. 2011.

Rusjdi, Muhammad. PBB, BPHTB dan Bea Materai. Jakarta: PT indeks Kelompok Gramedia. 2005.

S.R., Soemarso. Perpajakan: Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba Empat. 2007.

Santoso, Budi. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate Transfer). Solo: Genta Press. 2008.

Siahaan, Marihot Pahala. Hukum Pajak Elementer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010. ___________________. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan

Praktek. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2003.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990.

Soemitro, Rochmat. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT. Eresco. 1992. _______________. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Jakarta:

Eresco. 1977.

_______________. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: Aresco. 1990. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1986.

________________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995.


(4)

Suandy, Erly. Perencanaan Pajak. Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat. 2008.

Sumardjono, Maria S. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009.

Suryabrata, Samadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998. Supramono, dan Theresia Woro Damayanti. Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan

Perhitungan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.

Yani, Ahmad. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.

Wahid, Muchtar. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Cet. 1. Jakarta: Republika. 2008.

Waluyo, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Semarang: PT. Ghalia Indonesia. 1996.

Widodo, Joko. Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia. 2001.

Zain, Mohammad. Manajemen Perpajakan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat. 2008. MAKALAH DAN JURNAL

Adillah, Siti Ummu. “Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek”, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April 2004.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Perjanjian BOT. Makalah. Jakarta: BHPN. 1997.

Ginting, Budiman. “Kepastian Hukum Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi pada Fakultas Hukum FH USU.Medan. 2008.


(5)

Ismail, Tjip. “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Makalah, Bandung: Fisip UK Prahyangan, 2002.

Rosdiana, Haula. “Perpajakan, Teori dan Kebijakan”. Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI. 2004.

Warta Ekonomi, ”Majalah Ekonomi & Bisnis”. Volume I. Issues 9-17. Jakarta: Obor Sarana Utama. 1998.

INTERNET

Bina Jasa Konsultan Pajak, “Pajak Penghasilan|Pengertian dan Tarif PPh Final”,

http://binajasakonsultanpajak.blogspot.com/2012/11/pajak-penghasilan-pengertian-dan-tarif.html, terakhir diakses 04 Mei 2014.

Direktorat Jenderal Pajak, Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan,

http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 10 Nopember 2014.

“Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT”, http://www.pemkomedan.go.id/news_ detail.php?id=11674, terakhir diakses tanggal 28 April 2014.

“Pengertian PPh PHTB”, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29 April 2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak


(6)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1996 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara/Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/Kmk.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Built Operate And Transfer”)

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.