Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo Penyitas Erupsi Gunung Sinabung

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan individu untuk tidak hanya bertahan
melainkan juga tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih baik setelah
mengalami keadaan hidup yang sulit (Eisendrath,1996). Resiliensi memungkinkan
individu untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sukses dalam
menghadapi keadaan hidup yang sulit. Kesuksesan dalam menghadapi kesulitan
hidu tersebut dapat dilihat dari tumbuhnya kepercayaan diri individu untuk
menghadapi berbagai rintangan yang mungkin muncul dalam kehidupan
mendatang.
Pelling (2011) menyatakan bahwa resiliensi secara umum dimengerti
sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul)
atau bounce back (melambung kembali) setelah merasakan stress atau goncangan.
Kata resiliensi sendiri berasal dari kata “resilience” yang artinya daya pegas, daya
kenyal. Gotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan indvidu
untuk mengatasi, menghadapi, dan menjadikan suatu rintangan sebagai kekuatan
diri dan tetap melaksanakan perubahan dalam ujian kehidupan Kapastitas itulah
yang membuat seseorang bisa bertahan dan mampu beradaptasi dalam masa
kesukaran.

Lebih lanjut, Reivich dan Shatte dalam bukunya The Resiliency Factors
mengulas resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi

16
Universitas Sumatera Utara

17

terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan
atau trauma yang dialami dalam kehidupannya dan orang yang resilien itu akan
mengalami pencapaian-pencapaian dalam hidup (Reivich dan Shatte, 2002).
Sejalan dengan definisi tersebut, Connor dan Davidson (2003) mendefinisikan
resiliensi sebagai sebuah kualitas personal seseorang yang memungkinkannya
untuk berkembang dalam menghadapi menghadapi kesulitan dalam hidup.
Dengan kualitas personalnya yang dimilikinya, diharapkan individu yang
mengalami kesulitan dalam hidup dapat bangkit dan tidak kalah dengan keadaan.
Walsh (2006) menyatakan resiliensi adalah lebih dari berjuang, melewati
tantangan atau menghindar dari cobaan yang berat. Orang yang berjuang bisa
tidak resilien beberapa bisa terjebak sebagai korban, merawat luka mereka dan

terhambat dari perkembangan karena kemarahan dan rasa bersalah. Setiap
individu memiliki stress kehidupan dalam dirinya, beberapa memiliki trauma,
yang lain memiliki luka-luka, ada juga yang mengalami peristiwa yang
menggoncangkan. Walsh (2006) menambahkan bahwa resiliensi berbicara
mengenai kemampuan untuk menangani kesukaran: apakah trauma bisa tidak
terselesaikan atau tidak atau apakah pengalaman kesukaran akan menghancurkan
diri seseorang atau tidak. Hal serupa dinyatakan oleh Cougle, dkk (2008)
resiliensi membuat seseorang bisa bertahan dan bebas secara emosional terhadap
sebuah trauma. Kaplan dalam Vambreda (2001) mengemukakan bahwa resiliensi
adalah sebuah konstruk psikologis yang didefinisikan dalam hal kehadiran faktor

Universitas Sumatera Utara

18

protektif (personal, sosial, keluarga dan jaringan institusi) yang membuat individu
bertahan dalam stress kehidupan.
Berdasarkan definisi-definsi yang telah disebukan oleh para ahli diatas,
dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu
untuk beradaptasi dan bangkit kembali setelah mengalami peristiwa sulit dalam

hidupnya, kemampuan ini bahkan membuat individu mengalami pencapaianpencapaian kehidupan.
2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) dalam bukunya The Resilience Factor: Seven
Essential Skills For Overcoming Life's Obstacles menjelaskan ada tujuh
kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu emotion regulation (regulasi
emosi), impuls control (pengendalian impuls), optimism (optimisme), empathy
(empati), causal analysis (analisis penyebab masalah), self-efficacy (efikasi diri)
dan reaching out.
a. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi
yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki
kemampuan mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
macam faktor, diantaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan
waktunya bersama orang yang marah, menggerutu, cemas, khawatir serta gelisah
setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap
orang lain. (Reivich dan Shatte, 2002).

Universitas Sumatera Utara


19

b. Pengendalian Impuls (Impuls Control)
Pengendalian

Impuls

merupakan

kemampuan

individu

untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dari
dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang
rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan
pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah,
kehilangan kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Tentunya perilaku yang

ditampakkan ini akan membuat orang sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga
berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich
dan Shatte, 2002). Kemampuan Individu untuk mengendalikan impuls sangat
terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki.
c. Optimism (Optimism)
Optimisme adalah cara pandang yang ada pada diri individu yang melihat
bahwa masa depannya adalah masa depan yang cemerlang. Individu yang resilien
adalah individu yang optimis (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang optimis
memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengamali depresi, serta memiliki
produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang
cenderung pesimis. Siebert (2005) juga menyatakan bahwa sebagian individu
memiliki kecendeerungan untuk memandang hidup secara optimis sementara
sebagian individu lain hanya optimis pada situasi tertentu. Orang yang resilien
adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa hal tersebut dapat mengubah
hidup kearah yang lebih baik. Mereka mempunyai harapan terhadap masa depan
dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol kehidupan mereka. Individu yang

Universitas Sumatera Utara

20


optimis akan lebih sehat dan lebih sedikit depresi. Optimisme tentunya berarti
bahwa kita melihat masa depan secara relatif cerah. Implikasi dari optimisme
adalah kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi
kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan (Reivich dan Shatte, 2002).
d. Causal Analysis
Merupakan kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasi penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat
akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama (Reivich dan Shatte, 2002).
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif.
Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab kemalangan yang menimpa
mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berfikir explonatory. Mereka tidak
mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak
menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat sehingga
membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka fokus pada diri mereka dan
memegang kendali penuh pada pemecahan masalah. Mereka mengarahkan hidup
mereka dengan baik dan perlahan bangkit untuk meraih kesuksesan (Reivich dan
Shatte, 2002).
e. Empati (Empathy)

Empati dapat di definisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan
memiliki kepedulian terhadap orang lain (Greef, 2005). Empati sangat erat
kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi
emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

Universitas Sumatera Utara

21

Ketidakmampuan

berempati

berpotensi

menimbulkan

kesulitan

dalam


berhubungan sosial (Reivich dan Shatte, 2002). Individu dengan empati yang
rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang resilien,
yaitu cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich
dan Shatte, 2002).
f. Efikasi Diri (Self-Efficacy)
Efikasi Diri merupakan hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Efikasi

Diri

mempresentasikan

sebuah

keyakinan

bahwa

kita


mampu

memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich dan
Shatte, 2002).
g. Pencapaian (Reaching Out)
Resiliensi telah dijelaskan lebih dari sekedar bagaimana seorang individu
memiliki

kemampuan

untuk

mengatasi

kemalangan

dan

bangkit


dari

keterpurukan, namun lebih dari itu, faktor yang juga ikut berpengaruh terhadap
resiliensi adalah kemampuan individu untuk meraih aspek positif atau mengambil
hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa atau yang lazim
disebut sebagai pencapaian (reaching out). Banyak individu yang tidak mampu
melakukan reaching out karena mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat
mungkin menghindari kegagalan dan situasi memalukan. Individu seperti ini
biasanya lebih memilih kehidupan standart dibandingkan harus meraih kesuksesan
namun

harus

berhadapan

dengan

resiko


kegagalan

hidup.

Pencapaian

penggambaran kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang
positif dalam kehidupannya mencakup pula keberanian seseorang untuk

Universitas Sumatera Utara

22

menghadapi dan mengatasi segala ketakutan yang mengancam dalam hidupnya
(Reivich dan Shatte, 2002).
3. Faktor-faktor Pengaruh Resiliensi
Beberapa faktor yang mempengaruhi Resiliensi (Grotberg, 2004), yaitu :
a. Tempramen
Menurut Grotberg, tempramen mempunyai pengaruh terhadap cara
individu bereaksi terhadap stimulus atau rangsangan. Tempramen dasar seseorang
akan berpengaruh terhadap kepribadian individu yang akan membentuk dirinya
menjadi orang yang lebih berhati-hati atau menjadi orang yang mudah mengambil
resiko. Masyarakat Karo merupakan kelompok masyarakat yang tangguh. Orang
Karo dikenal dengan tempramen mereka yang tidak mudah menyerah dalam
keadaan apapun serta berani mengambil resiko (Bangun, 1986).
b. Intelegensi
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa, rata-rata inteligensi
penting untuk menjadikan seseorang pribadi yang resilien. Grotberg (1999)
menemukan bahwa, kemampuan resilien bukan hanya dipengaruhi oleh satu
faktor faktor tunggal, melainkan ada beberapa faktor pendukung lain yang harus
terpenuhi.
c. Budaya
Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat resiliensi seseorang. Perempuan Karo pada umumnya dibesarkan dengan
budaya yang mengajarkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh. Perempuan
Karo sejak kecil sudah terbiasa dengan pekerjaan yang berat seperti membantu

Universitas Sumatera Utara

23

orang tua mengurus rumah tangga dan mencari nafkah tetapi tidak dijadikan
sebagai kaum yang dominan di dalam adat, bahkan cenderung tidak
diperhitungkan keberadaannya. Berbeda dengan laki-laki dalam masyarakat Karo
yang menjadi sosok dominan dan pemimpin dalam kegiatan-kegiatan adat dan
dalam keseharian. Dibesarkan dengan tuntutan adat sebagai pelengkap,
menjadikan perempuan Karo berbeda dengan perempuan dari suku lainnya seperti
suku minang misalnya. Perempuan Karo menjadi pribadi yang lebih tangguh dan
tidak mudah menyerah, giat dalam mencari nafkah. Perempuan Minangkabau
merupakan kaum yang diutamakan sejalan dengan sistem materilinear pada
masyarakat Minang. Jika perempuan Karo disebut Sirukatnaken (penyendok nasi)
perempuan suku minang disebut Bundo Kanduang yang berarti perempuan yang
melindungi rumah dan tempat kembali.
d. Usia
Usia mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu dengan
usia dewasa muda (20-40 tahun keatas) dan individu dengan usia dewasa madya
(40 tahun keatas-60 tahun) merupakan golongan individu yang mempunyai
pengalaman hidup berbeda dan lebih kaya daripada kelompok usia anak dan
dewasa. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, kemampuan individu akan
semakin bertambah untuk menjadi seseorang yang resilien.
e. Gender
Perbedaan gender, mempengaruhi perkembangan resiliensi. Perempuan
pada dasarnya lebih memiliki sifat saling berbagi perasaan dan lebih sensitif
terhadap orang lain. Sementara itu, laki-laki lebih pragmatik, berfokus pada

Universitas Sumatera Utara

24

masalah dan hasil dari tindakan yang telah dilakukan. Menurut Einsenberg dkk
(2003), laki-laki mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk
mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan
memiliki fleksibilitas adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap
perubahan keadaan, cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi
perubahan atau te-kanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali
setelah meng-alami pengalaman traumatik.

4. Faktor-faktor Protektif Resiliensi
Faktor protektif memiliki peran penting dalam mengurangi efek negatif
dari kesulitan hidup dan menguatkan resiliensi. Beberapa individu berhasil
mengatasi rintangan dan menghancurkan lingkaran setan. Penelitaian sebelumnya
menunjukkan bahwa tiga variabel yang berperan sebagai faktor protektif yang
menghalangi dampak dari pengalaman yang menyulitkan dan hal ini berkaitan
dengan Social Support. Faktor-faktor tersebut adalah (Schoon, 2006):
a. Atribut-atribut individu
Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu
seperti, tingkat pendidikan, memiliki banyak hobi, jarang menjadi orang yang
mudah diserang oleh teman sebaya, menunjukkan keyakinan yang kuat akan
kemampuan diri sendiri, individu menunjukkan perencanaan yang baik dengan
rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif pada
hidup.

Universitas Sumatera Utara

25

b. Karakteristik keluarga
Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama
masa kanak-kanak dan remaja termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan
mendukung hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami
anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan anak dan perencanaan
karir.
c. Aspek konteks sosial yang lebih luas
Aspek konteks sosial yang lebih luas termasuk orang-orang diluar orang
tua yang memberikan dukungan. Lingkungan juga berperan penting dalam
membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif
seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.
5. Fungsi Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) dalam The Resilience Factor: Seven Essential
Skills For Overcoming Life's Obstacles menyatakan bahwa manusia dapat
menggunakan resiliensi untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Overcoming
Dalam kehidupan, terkadang manusia menemuai kesengsaraan, masalahmasalah yang menimbulkan sterss yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu,
manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian
yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah point of view menjadi
lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan

Universitas Sumatera Utara

26

sendiri. Sehingga hidup terasa lebih termotivasi, produktif dan bahagia meski
dihadapkan dengan berbagai tekanan hidup.
b. Steering through
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi masalah, tekanan,
dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi
setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif
terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta
mengendalikan dirinya dalam menghadapi masala sepanjang perjalanan
hidupnya.
c. Bouncing Back
Orang yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik
untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style
dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat
mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke
kehidupan normal lebih cepat dari stresssor kehidupan mengetahui bagaimana
berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengaatasi pengalaman
yang mereka rasakan.
d. Reaching out
Selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, sterss atau
menyibukkan diri, resiliensi juga berguna untuk mendapatkan pengalaman
hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar

Universitas Sumatera Utara

27

pembelajaran serta pengalam baru. Individu dengan karakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu : tepat dalam memperkirakan resiko
yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan
makna dan tujuan dalam hidup mereka.
6. Sumber-Sumber Resiliensi
Grotberg (1999) mengemukakan beberapa sumber dari resiliensi, yaitu :
a. I Have (sumber dukungan eksternal)
Merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini
dapat diperoleh melalui keluarga, lingkungan yang menyenangkan maupun
hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Individu yang resilien juga
mempunyai struktur dan aturan, memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri
dan mendapat jaminan kesehatan, pendidikan serta kesejahteraan sehingga hal
ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri.
b. I Am (kemampuan individu)
Merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri individu. Kekuatan tersebut
meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang
menarik dan penyayang sesama. Mereka juga memiliki kepedulian, merasakan
kebanggaan terhadap diri mereka sendiri dan memiliki harapan serta kesetiaan.

Universitas Sumatera Utara

28

c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)
I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan
intrapersonal. Individu tersebut memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik
serta dapat memecahkan masalah dengan baik dan dapat mengendalikan perasaan
dan dorongan dalam hati, mereka mampu menyadari perasaan mereka dan
mengekspresikannya dalam kata dan perilaku yang tidak mengancam orang lain.
Individu ini juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Hal
ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi dan menangani berbagai macam situasi. Selain itu, individu
yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk
menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan
masalah pribadi dan interpersonal.
B. SOCIAL SUPPORT
1. Definisi Social Support
Cobb dalam Winnubst & Schabraq (1996) mendefinisikan bahwa social
support mendefinisikan sejumlah informasi yang meyakinkan seseorang bahwa
orang lain peduli kepada mereka (care support) menghormati dan menghargai
(affirmative support) dan bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas yang
saling mendukung (network support). Social support sering didefinisikan dengan
jumlah teman yang ada bagi individu tersebut. Akan tetapi, sudah dikembangkan
bahwa social support bukan hanya menyangkut jumlah teman tetapi kepuasan
dengan dukungan yang diberikan. (Sarason dalam Ogden, 2000)

Universitas Sumatera Utara

29

Ogden menyatakan (2000), istilah dukungan sosial secara umum mengacu
kepada kenyamanan, kepedulian dan penghargaan individu yang dirasakan dari orang
lain (Ogden, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Will (dalam Sarafino 2008) yang
menyatakan social support mengacu pada kenyamanan yang diterima, perhatian,
menghargai, atau membantu penerimaan diri seseorang dari orang lain ataupun
kelompok. Dukungan ini datang dari berbagai sumber, pasangan atau kekasih,
keluarga, teman, rekan sekerja, dokter, atau organisasi komunitas. Menurut Sidney
Cobb (dalam Sarafino, 2008), orang dengan social support yang tinggi percaya
mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dinilai berarti dan bagian dari sebuah
grup seperti keluarga atau organisasi yang bisa saling menyediakan kebutuhan,
melayani dan menjaga ketika dibutuhkan atau dalam bahaya (Sarafino, 2008).
Social support juga berkaitan dengan kemampuan yang membantu seseorang
menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya sebagai sumber dari
personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping. Thoits
mengkonseptualisasikan social support sebagai sumber bantuan untuk coping, seperti
“dana sosial” dari orang-orang saat menangani tekanan. Baron & Byrne (1997)
mengemukakan social support sebagai rasa nyaman baik secara fisik dan psikologis,
yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga kepada orang yang menghadapi stress,
sehingga dengan dukungan sosial tersebut orang cenderung untuk berada dalam

keadaan kesehatan fisik yang lebih baik dan dapat mengatasi stress yang
dialaminya.
Berdasarkan defenisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Social support
adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang
diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman,

Universitas Sumatera Utara

30

saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang
bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang
mengalami masalah merasa diperhatikan dan didukung sehingga mampu mengatasi
masalah yang dia hadapi.

2. Jenis Social Support
Weiss (dalam Zainuddin, 2002) mengemukakan ada enam jenis social
support yang disebut sebagai “The Social Provision Scale” yang masing masing
komponennya dapat berdiri sendiri namun tetap berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya, Tolsdorf, Leavy, dkk (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa
social support yang dapat diberikan oleh seseorang dapat berupa :
1. Emotional Support
Emotional Support melibatkan ekspresi rasa empati, peduli terhadap
seseorang Sehingga memberikan perasaan nyaman, membuat individu merasa
lebih baik. Individu memperoleh kembali keyakinan diri, merasa dimiliki serta
merasa dicintai pada saat mengalami stress (Cohen, Mc.Kay, dkk dalam
Sarafino, 1990). Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh social support
jenis ini akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya. Orford (1992) menyatakan dukungan emosional
ini dalam jenis dukungan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
emosional atau menjaga keadaan emosi afeksi atau ekspresi.
2. Instrumental Support
Jenis social support ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung
atau nyata seperti meminjamkan uang atau barang bagi individu yang memang

Universitas Sumatera Utara

31

membutuhkan pada saat itu. Menurut Jacobson (dalam Orford, 1992) dukungan
instrumental ini mengacu pada penyediaan barang, atau jasa yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Sejalan dengan
pendapat Will (dalam Orford, 1992), dukungan instrumental merupakan
aktifitas-aktifitas seperti menyediakan benda-benda, meminjamkan atau
memberikan uang dan membantu menyelesaikan tugas-tugas praktis. Hal yang
sama diajukan Taylor (2000) dimana pemberian dukungan instrumental
meliputi penyediaan pertolongan financial maupun penyediaan barang dan jasa
lainnya. Jenis dukungan ini relevan untuk kalangan ekonomi rendah.3
3. Informational Support
Sesuai dengan namanya, maka social support jenis ini meliputi pemberian
nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik kepada seorang individu. Dukungan
ini dapat dilakukan dengan memebrikan informasi yang dibutuhkan oleh
individu. Menurut House (dalam Orford, 1992) menjelaskan bahwa dukungan
informasi terdiri dari 2 bentuk, yaitu dukungan informasi yang berarti
memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu keterampilan yang berguna
untuk mendapatkan pemecahan masalah dan yang kedua adalah berupa
dukungan penilaian (appraisal support) yang meliputi informasi yang
membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya
sendiri.
4. Companionship Support
Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang
merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat

Universitas Sumatera Utara

32

dan aktivitas sosial. Companionship support merupakan perasaan individu
sebagai bagian dari suatu kelompok dimana memungkinkan individu dapat
menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun
hiburan. Hal ini sejalan dengan pendapat Cohen & Will (dalam Orford, 1992)
yang mendefinisikan social support jenis ini yaitu bagaimana individu
menghabiskan

waktu

bersama-sama

dengan

teman-temannya

ataupun

melakukan aktivitas yang bersifat rekreasional di waktu senggang.
3. Sumber-sumber Social Support
Sumber social support merupakan aspek yang penting. Sumber-sumber
social support banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya namun
perlu diketahui seberapa banyak sumber social support ini efektif bagi individu
yang memerlukannya. Dengan mengetahui dan memahaminya maka individu
akan mendapatkan social support yang sesuai dengan situasi dan keinginannya,
sehingga social support memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.
Henderson, Byrne, dkk (dalam Orford, 1992) menemukan bahwa social
support yang penting membutuhkan hubungan yang lebih luas sehingga
menambah kontribusi untuk mengurangi symptom psikologis maupun faktor
kedekatan merupakan kontribusi yang lebih penting. Intinya adalah kehadiran
orang terdekat merupakan sesuatu yang penting namun dukungan tersebut
dapat digantikan oleh dukungan komunitas yang berada di luar hubungan dekat
tersebut. Menurut Rook dan Dooley ada dua sumber social support yaitu

Universitas Sumatera Utara

33

1. Sumber artificial
Social support yang artificial adalah social support yang dirancang ke
dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya social support akibat bencana
alam melalui berbagai sumbangan sosial.
2. Sumber natural
Social support yang natural diterima individu melalui interaksi sosial
dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di
sekitarnya, misalnya anak, pasangan, dan kerabat.
C. Suku Karo
1. Mengenal Suku Karo
Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia, tepatnya di
daerah Sumatera Utara dan merupakan bagian dari suku kekerabatan Batak,
seperti kekerabatan Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak
Pak-Pak atau Dairi, dan Batak Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo
menggap bahwa mereka bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, Suku
Karo merupakan suku bangsa tersendiri dalam tubuh bangsa Indonesia. Suku
Karo mempunyai bahasa daerah tersendiri yakni bahasa Karo. Antara sesama
orang Karo biasanya akan menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa dipergaulan.
Mereka bertutur kata dalam bahasa Karo dan menjalin keakraban dengan
menggunakan adat Karo yang berintikan Merga Silima, Rakut Sitelu dan Tutur
Siwaluh. (Purba, 1989).

Universitas Sumatera Utara

34

Dalam praktek kesehariannya, sesama orang Karo selalu saling menolong
dan saling melindungi sebagai perwujudan dari Rakut Sitelu. (Purba, 1989) Rakut
Sitelu dapat diterjemahkan secara alfabetis sebagai ikatan yang tiga, tiga serangkai
atau trias sendi budaya. Dalam kehidupan bermasyarakat, Rakut Sitelu berfungsi
sebagai trilogi kekerabatan bagi masyarakat Karo. Setiap orang Karo, selalu
memiliki salah satu fungsi dari Rakut Sitelu dan mempunyai salah satu dari Merga
Silima. Sejak kecil, orang Karo dimotivasi dan dibiasakan bergaul dengan
menggunakan patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu.
Orang Karo yang tidak mengamalkan patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh
dan Rakut Sitelu sering dikatakan sebagai orang yang tidak menghargai adat.
Orang yang dinilai tidak menghargai adat, tidak akan pernah mendapat
penghargaan. Mereka yang demikian dianggap tidak sopan, dan layak dikucilkan.
(Purba, 1989). Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut
sistem kekerabatan patrilinear yaitu garis keturunan yang diperoleh melalui garis
laki-laki. Sistem Patrilinear ini dapat dilihat dari kebudayaan yang telah dianut
dan diimplemetasikan dalam kehidupan masyarakat Karo seperti penurunan
Marga Silima dari ayah yang hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki saja.
Oleh karena itu laki-laki menjadi sosok yang dominan dan menjadi pemeran
utama dalam berbagai bidang kehidupan seperti perkawinan, hukum, warisan,
pemilikan tanah dan pola tempat tinggal. Demikian juga dalam konsep nafkah,
laki-laki sejak kecil sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki
pengetahuan mengenai kebudayaan Karo dan bertanggung jawab terhadap
kelangsungan penerusan Marga ayahnya. Berbeda dengan laki-laki, perempuan

Universitas Sumatera Utara

35

dalam suku karo bukanlah kaum yang diutamakan. Hal ini dikarenakan, apabila
seorang perempuan menikah ia akan diambil oleh keluarga laki-laki tersebut dan
meneruskan marga suaminya. Anak perempuan dalam suku Karo, tetap
dimasukkan ke dalam marga ayahnya dengan sebutan beru. Dengan demikian
dapat dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau
tidak jelas. (Baiduri, 2015).
2. Peran Perempuan dalam Suku Karo
Perempuan secara tradisional kedudukannya adalah sebagai pelengkap
yang dalam istilah Karo disebut Sirukatnakan (penyendok nasi). Hal ini berarti
perempuan harus membantu suami, dalam hal seperti mencari nafkah dan
mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak waris dan hak
berbicara dalam adat. Urusan rumah tangga seperti memasak, menganyam tikar
sampai mencari kayu bakar dan membantu suami mencari nafkahlah yang
menjadi bagian dari tanggung jawab perempuan Karo.
Dalam kehidupan masyarakat Karo, peran ganda perempuan terlihat jelas
dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan diharapkan dapat berperan
membantu keluarga dan suaminya dalam pencarian nafkah, sementara untuk
urusan rumah tangga termasuk dapur merupakan wilayah yang dianggap tabu
untuk dimasuki oleh laki-laki (Brahmana, 2015).
Lila Pelita Hati (2007) dalam thesisnya mengungkapkan bahwa secara
tradisional, kedudukan perempuan Karo dalam adat istiadat umumnya adalah
sebagai pelengkap. Dalam proses kehidupan, perempuan belum diikutsertakan
dalam pengambilan keputusan dalam rapat adat. Namun untuk kegiatan

Universitas Sumatera Utara

36

reproduksi : mengelola usaha keluarga, seperti berladang dan berjualan ke pasar
peran perempuan sangat besar. Keadaan ini sudah berlangsung sejak dulu sampai
sekarang sebagai realita hidup yang diterima kaum perempuan Karo untuk
menambah pendapatan keluarga dan menjadikan mereka pekerja yang ulet
dirumah tangga dan dalam mencari nafkah.
Dengan tugas yang dimiliki perempuan ini, mengakibatkan mereka tidak
mempunyai kesempatan untuk mengatur dan mengurus dirinya, sehingga
kemungkinan-kemungkinan untuk bersaing dengan kaum laki-laki akan sangat
sulit sekali. Hal ini berpengaruh pula terhadap perilaku perempuan itu sendiri
yang

menimbulkan

kesulitan

mereka

menemukan

jati

dirinya

dalam

bermasyarakat. Kesulitan menemukan jati diri ini disebabkan karena mereka tidak
diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menentukan apa yang menjadi
kehendak ataupun keinginan mereka, rasa takut dan ketidakpastian sering kali
menyelimuti hati mereka.
Suku Karo terlahir sebagai masyarakat agraris, sejak dahulu masyarakat
Karo sudah handal dalam mengolah lahan pertanian atau perkebunan. Orang Karo
biasanya meninggalkan keluarganya dan pulang sekali dalam setahun untuk
menemui keluarganya. Ini menunjukkan sebuah tekad yang tidak tanggung, hanya
untuk mencari penghidupan ekonomi yang lebih layak. Demikian juga Perempuan
Karo yang berperan sebagai istri, akan membantu suaminya menopan ekonomi
keluarga.
Orang Karo dengan pengaruh Hindu yang kuat, mempunyai legendalegenda yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, seperti cerita

Universitas Sumatera Utara

37

Beru Ginting Pase, Beru Rengga Kuning dan Telu Turi-Turin si Adi. Melalui
cerita-cerita ini, Barus dan Singarimbun (1988) menyimpulkan perempuan karo
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Mempunyai kepribadian yang tangguh
2. Menjadi juru selamat keluarga
3. Tokoh mandiri yang sanggup mengambil keputusan yang menentukan.
4. Pintar dan bijaksana
5. Aktif dalam percintaan
6. Sangat aktif dalam kehidupan ekonomi
7. Tidak pasrah menunggu
8. Pengorbanan yang tinggi terhadap saudara
9. Bukan tampil sebagai makhluk yang lembut, halus dan pemaaf.
Gambaran perempuan karo yang menjadi kenyataan memang sangat aktif
dalam kehidupan ekonomi. Tetapi dalam banyak hal, jauh berbeda dengan cerita
rakyat tersebut, seperti yang dikemukakan Ny. Wallia Keliat (1985)
“Di daerah perdesaan Karo, perempuan selain bertugas sebagai
istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil
pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di
adat dan kebudayaan Karo terhadap wanita, mempunyai pengaruh
yang besar pada wanita itu sendiri yang cenderung untuk
menerima posisi mereka yang lebih rendah, kurang percaya diri,
bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan
tidak berani mengeluarkan pendapat sendiri. Hal ini diterima oleh
wanita itu dengan sangat biasa sekali, bukan sebagai sesuatu yang
sangat merugikan ataupun sesuatu yang perlu dirubah.”
Reh Malem Sitepu (1986) mengemukakan, bahwa perempuan Karo secara
tradisional mempunyai peranan yang sangat penting dan peranan yang tidak

Universitas Sumatera Utara

38

penting. Dalam banyak hal, kaum perempuan adalah penentu kebijaksanaan
seperti dalam hal kebersihan rumah tangga, pendidikan, sosialisasi anak, penentu
dalam usaha pertanian, dan lain-lain. Peranan perempuan dalam adat hanyalah
pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri sendiri, sebab wanita tunduk pada
peraturan adat rakut sitelu.
Dari pemaparan tersebut, dipahami bahwa terdapat sebuah kondisi yang
paradoksal terhadap peran perempuan Karo di bidang adat dengan peran ekonomi
keluarga, akan tetapi dalam peran adat, perannya hanya sebagai pelengkap saja.
Dalam adat Karo, perempuan tidak dapat berperan sebagai pengambil keputusan
ataupun sebagai juru bicara.
Mengenai penampilan perempuan Karo di desa, Bangun (1986)
mengemukakan sebagai berikut :
1. Gadis-gadis masih menunjukkan ciri seperti leluhur mereka.
2. Aktif membantu ibunya bekerja keras di rumah dan di ladang.
3. Tubuhnya kekar
4. Betis atau kaki agak besar.
5. Leher pendek dan raut muka tegang.
Penampilan ini berbeda dengan gadis-gadis Karo di kota yang umumnya
tinggi semampai dan ramping, karena tidak mengerjakan pekerjaan kasar atau
berat seperti di desa (Bangun 1986). Dari bentuk fisik yang diutarakan tersebut,
merupakan bentuk peran perempuan Karo yang memiliki etos kerja tinggi,
sehingga membentuk fisiknya yang berotot, sehingga tidak sama dengan

Universitas Sumatera Utara

39

perempuan Karo yang tinggal di Kota yang umumnya bekerja pada sektor non
pertanian yang tidak memerlukan tenaga untuk bekerja.
D. Bencana
1. Definisi
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam atau menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh factor alam,
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis
(UU No. 24 tahun 2007).
Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan
manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan sumber daya
mereka sendiri (ISDR, 2004).
Menurut Bastian (2006), Bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan
serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian
yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomik atau lingkungan
dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri. Bencana (disaster)
merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger),
ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability bekerja bersama secara
sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas.

Universitas Sumatera Utara

40

a. Pemicu (trigger) merupakan faktor-faktor luar yang menjadikan potensi
ancaman yang tersembunyi muncul ke permukaan sebagai ancaman nyata.
b. Ancaman (hazard) adalah kejadian-kejadian, gejala alam atau kegiatan manusia
yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda,
gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Ancaman ini ini bisa terjadi
secara mendadak, pelan-pelan dan mendadak.
c. Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktorfaktor atau proses-proses fisik, sosial ekonomik dan lingkungan hidup yang
meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana.
d. Kapasitas yaitu isi sesuatu rongga, ruang, tempat atau kemampuan seseorang.
e. Risiko (Risk) merupakan suatu peluang dari timbulnya akibat buruk, atau
kemungkinan kerugian dalam hal kematian, luka-luka, kehilangan dan kerusakan
harta benda, gangguan kegiatan mata pencaharian dan ekonomi atau kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi antara ancaman bencana dan kondisi
kerentanan.
Bencana merusak asset atau unit sosial dalam upayanya mengembangkan
kehidupannya yaitu: (1) modal kapital, modal yang dimiliki manusia, antara lain
keterampilan, kemampuan bekerja, dan kesehatan; (2) modal sosial, kekayaan
sosial yang dimiliki komunitas seperti jaringan dan keterikatan hubungan
berdasarkan kepercayaan; (3) modal alam dan lingkungan: adalah persediaan
sumber daya alam seperti tanah, air, kualitas udara, perlindungan terhadap erosi;
(4) modal fisik dan buatan adalah infrastruktur dasar dan memproduksi barangbarang yang dibutuhkan seperti transportasi, bangunan tempat tinggal yang aman,

Universitas Sumatera Utara

41

sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi; (5) modal
finansial, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh komunitas untuk
mencapai tujuan-tujuan kehidupannya, seperti persediaan uang dan barang.
Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,ekonomi dan teknologi
pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.(UU 24 Tahun 2007).
E. Penyintas
1. Definisi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sintas berarti terus
bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Penyintas berarti orang
yang terus bertahan hidup dan mampu mempertahankan keberadaannya. Dalam
penelitian ini, istilah penyintas ditekankan pada orang yang mampu bertahan atau
selamat dari bencana Gunung Sinabung.
2. Hal-hal yang Dialami Penyintas
Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang
memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap saja
datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis. Pada
korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyintas tentunya
merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana tentunya menyisakan
kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan gangguan emosional.

Universitas Sumatera Utara

42

Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada kondisi emosi, psikologis,
spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen, 2011).
Setelah bencana terjadi, penyintas mungkin mengalami perasaan yang
campur aduk. Tentu saja akan ada perasaan sukacita dan lega karena selamat dari
bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala
negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi,
dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang
dirasakan penyintas bencana. Selain gejala psikologis tersebut, para penyintas
juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya
keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen,
2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik
diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam
berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).
Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan
fisik bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama
mereka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, penyintas bencana
Gunung Sinabung yang akan direlokasi menghadapi berbagai masalah seputar
kondisi mereka sekarang. Diantaranya mereka harus menerima kenyataan bahwa
desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan mereka harus
meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal. Lokasi
tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari
pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah

Universitas Sumatera Utara

43

jauh dari jangkauan.Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi
mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.
F. Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo
penyintas Erupsi Gunung Sinabung.
Suku Karo merupakan salah satu bagian terbesar dalam kekerabatan
Batak. Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut Rakeut Sitelu,
yang pada intinya mengatakan bahwa antara sesama orang Karo terdapat ikatan
persaudaraan yang kuat dan harus saling tolong menolong. Masyarakat Karo
menganut sistem kekeluargaan patrilinear yang menjadikan laki-laki sebagai
kaum yang dominan dalam peraturan adat, kekuasaan, kehidupan rumah tangga.
Berbeda dengan laki-laki, perempuan Karo bukanlah kaum yang diutamakan.
Perempuan Karo tidak memiliki hak bicara dalam adat. Perempuan Karo berperan
sebagai pelengkap atau dalam bahasa Karo disebut dengan istilah Sirukatnaken
(Penyendok Nasi). Perempuan Karo dalam adat memang tidak memiliki posisi
sebagai yang diutamakan, tetapi mereka memiliki dikotomi peran gender yang
membutuhkan ketangguhan dan tanggung jawab yaitu dalam mengurus rumah
tangga dan mencari nafkah.
Dalam menjalani dikotomi peran gendernya, perempuan Karo bertanggung
jawab penuh untuk urusan rumah tangga. Sedari pagi, perempuan Karo harus
memasak, mengurus suami dan anak serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
Setelah selesai mengurus rumah tangga, mereka akan melanjutkan kegiatan
mencari nafkah. Sebahagian besar perempuan Karo bekerja sebagai petani dan
biasanya akan bekerja diladang dari tengah hari hingga petang bersama kelompok

Universitas Sumatera Utara

44

tani (aron) mereka. Setelah bekerja hampir sehari penuh mereka kembali kerumah
untuk mempersiapkan kebutuhan rumah tangga seperti memasak untuk suami dan
memandikan anak. Dalam budaya Karo, dapur merupakan wilayah yang tabu
untuk dimasuki oleh laki-laki. Artinya, setelah menyelesaikan pekerjaan di
ladang, perempuan-perempuan Karo akan kembali „bekerja di dapur‟ untuk
mempersiapkan kebutuhan keluarganya. Sementara untuk laki-laki dalam suku
Karo, mereka akan menghabiskan waktu dengan duduk di kedai kopi untuk
berdiskusi tentang strategi bisnis dan bagaimana agar ladang mereka dapat
menghasilkan tanaman yang baik dan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Kegiatan ini berlangsung hampir seharian sampai istrinya pulang dari ladang
untuk kembali mengurus rumah tangga.
Masyarakat Karo sebahagian besar bermatapencaharian sebagai petani.
Mereka tinggal di desa-desa daerah sekitar kaki Gunung Sinabung yang memiliki
lahan subur dan luas sehingga baik untuk bercocok tanam. Pada mulanya, Gunung
Sinabung merupakan Gunung Api non-aktif yang berdiri kokoh seakan menaungi
kehidupan masyarakat Karo di desa sekitarnya. Karena merupakan Gunung Api
yang telah lama non-aktif, Gunung Sinabung tidak dianggap mengancam bahkan
memberikan keuntungan yaitu lahan disekitarnya yang dijadikan tempat bertani
masyarakat dengan pemandangan yang indah. Namun, semuanya berubah sejak
tahun 2010, untuk pertama kalinya setelah tidur panjang, Gunung Sinabung
mengeluarkan abu vulkanik dan lahar panas akibat erupsi yang terjadi secara terus
menerus hingga saat ini (2016). Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tinggal di
desa sekitar Gunung Sinabung turut kehilangan sumber kehidupan mereka dan

Universitas Sumatera Utara

45

mengalami kerugian baik secara moril dan material. Mereka kehilangan tempat
tinggal dan mata pencaharian sehingga diharuskan untuk tinggal dipengungsian.
Awal pindah kepengungsian menjadi masa-masa paling sulit bagi
pengungsi terutama kaum Perempuan. Selama tinggal dipengungsian, Kaum
Perempuan Karo harus beradaptasi hidup bersama orang-orang asing dan
kehilangan ruang privat. Mereka pun mau tak mau harus mencukupi diri dengan
bantuan yang ada di pengungsian. Dengan keadaan seperti ini, kaum Perempuan
Karo tidak hanya membatu dan berdiam diri, mereka yang dibesarkan dengan
ajaran dan kerja adat yang keras menjadikan mereka perempuan-perempuan
tangguh. Mereka tetap menjalani peran mereka yaitu mengurus kebutuhan
keluarga dan tetap bekerja menjadi buruh tani di perkebunan yang ada disekitar
Berastagi Mereka berangkat bersama teman aron (kelompok tani) mereka pada
pagi hari dan kembali ke pengungsian pada malam harinya.
Dipengungsian, kebutuhan perempuan tidak serta merta tersedia jika
dibutuhkan. Hidup bersama orang lain, tidur bersama dalam ruangan yang disekat
perpetak, tidak adanya ruang privat, kehilangan ladang yang menjadi sumber
penghasilan dan mengharapkan belas kasihan serta bantuan dari orang lain dapat
menjadi pemicu stress bagi perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.
Untuk beradaptasi dengan dinamika dipengungsian, ketangguhan dan kekuatan
sangat dibutuhkan oleh perempuan Karo untuk dapat bangkit kembali setelah
mengalami banyak kesedihan dan kehilangan akbiat erupsi Gunung Sinabung.
Perempuan Karo harus tetap tangguh untuk dapat survive untuk melanjutkan
hidupnya dengan lebih baik. Oleh karena itu, kaum Perempuan Karo harus

Universitas Sumatera Utara

46

memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari titik nol yang disebut resiliensi.
Resiliensi dapat menolong perempuan Karo untuk menjalani kehidupan
dipengungsian dan tetap menjalani dikotomi peran gendernya. Pada dasarnya,
kaum Perempuan Karo telah dibentuk oleh tuntutan adat untuk menjadi pribadi
yang tangguh dan tidak mudah menyerah dengan keadaan apapun. Menjalani
keseharian dengan peran gendernya yang memiliki banyak tuntutan, membentuk
ketangguhan perempuan Karo dan ketangguhan ini dapat menjadi modal awal
pembentuk resiliensi mereka dalam menghadapi situasi yang lebih sulit seperti
tinggal dipengungsian dan memulai kehidupan yang baru pasca erupsi Gunung
Sinabung. Untuk menguatkan ketangguhan dirinya, Individu yang resilien akan
berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.
Dibesarkan dengan falsafah kehidupan Daliken Sitelu yang intinya semua
orang Karo adalah saudara dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai
kekerabatan, dukungan sosial yang diterima perempuan Karo dipengungsian dapat
menjadi hal penting yang menolong mereka untuk lebih kuat dan mampu bangkit
kembali sehingga dapat menghadapi tekanan besar seperti kerugian secara moril
dan material pasca erupsi Gunung Sinabung. Dengan dukungan dari lingkungan
dan kerabat, perempuan Karo dapat melewati masa kritisnya dan dapat berbagi
cerita akan tekanan yang dirasakannya dan tidak merasa bahwa dirinyalah yang
paling menderita akibat erupsi Gunung Sinabung. Mereka juga dapat belajar dari
sesama penyintas tentang bagaimana menghadapi kesulitan-kesulitan selama
dipengungsian dan bertukar informasi mengenai hal-hal yang penting.

Universitas Sumatera Utara

47

Untuk bertahan di pengungsian ketika menghadapi kondisi-kondisi yang
menekan seperti bencana, diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai protective
factor. Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang membantu dan
mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi. Tiga aspek
yang termasuk dalam dalam protective factors (Everall, 2006) yaitu : individu,
keluarga dan faktor eksternal atau komunitas. Faktor komunitas di pengungsian
seperti kebersamaan,bantuan, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama dan
kegiatan keagamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang terjadi antar
sesama perempuan pengungsi dan hal ini berkaitan dengan resiliensi.
Penelitian terdahulu telah mendukung hubungan resiliensi dengan social
support. Akan tetapi, tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pada
stressful event. Berkman (Sarafino, 2006) menyatakan dukungan sosial tidak
selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi kesehatan jika kita tidak
menganggapnya sebagai dukungan. Hal ini bisa terjadi karena pertolongan tidak
cukup atau kita tidak menginginkan bantuan atau karena dukungan yang kita
butuhkan tidak cocok dengan tekanan yang kita terima.
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan Perempuan Karo, prinsip kekeluargaan
dan adat mendorong mereka untuk memberikan dukungan sosial untuk sesamanya
agar menjadi lebih resilien dalam menghadapi stressful event pasca erupsi
Gunung Sinabung. Dalam teori (Gortberg, 2004) salah satu faktor yang
mempengaruhi resiliensi adalah budaya. Sehingga, penelitian hubungan resiliensi
dengan social support ini penting untuk bisa diteliti di daerah Karo. Terlebih lagi
didukung dengan prinsip hidup orang Karo “Sangkep Ngeluh” atau kelengkapan

Universitas Sumatera Utara

48

hidup yang intinya adalah “Daliken Sitelu”. Daliken Sitelu berfungsi sebagai
landasan sistem kekerabatan dan semua kegiatan yang bertalian dengan adat
istiadat.
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut “ Ada hubungan positif antara resiliensi dengan social support
pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.”

Universitas Sumatera Utara

49

H. Alur Pikir Penelitian

Erupsi Gunung
Sinabung

Pengungsian

Stress

RESILIENSI

-Individu
-Keluarga
-Eksternal dan
Komunitas

SOCIAL
SUPPORT

Etnis Karo

Budaya
Karo

Konstruksi Patriarki

Laki-laki

Perempuan

Dominan

Subordinate
Dikotomi Peran
Gender

Mengurus
Rumah Tangga

Mencari Nafkah

Bertani
Universitas Sumatera Utara