Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo Penyitas Erupsi Gunung Sinabung

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 27 Agustus 2010 Gunung Sinabung di Tanah Karo
mengalami erupsi setelah sekian lama berada dalam status aman. Gunung
Sinabung terus menunjukkan akifitas yang signifikan pada Bulan
September 2013, yang ditandai dengan getaran-getaran intensif yang
disusul dengan terjadinya gempa setiap 20 menit sekali. Hal ini terus
menerus terjadi hingga pertengan Desember 2013.(Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), 2015). Meletusnya Gunung Sinabung

memberikan dampak besar pada beberapa aspek kehidupan masyarakat
Karo khususnya mereka yang tinggal di daerah gunung tersebut.
Masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung mengalami
kerugian yang bersifat moril dan material. Mereka kehilangan rumah,
rusaknya ladang yang diakibatkan oleh kontaminasi belerang dan
mengakibatkan gagal panen. Banyak masyarakat gagal panen karena
tanaman mereka rusak akibat tertutup debu vulkanik yang mencapai 1 inc
di beberapa tempat, selain itu, lahar dingin yang juga merusak tanaman
dan sumber-sumber air, terputusnya akses jalan masuk ke desa. Kerusakan
tempat tinggal masyarakat yang tinggal dikawasan Gunung Sinabung

membuat mereka harus tinggal di posko-posko pengungsian. Lokasi
pengungsian yang disediakan pemerintah tidaklah nyaman untuk para
pengungsi. Pengungsi yang berada di dalam gedung harus tinggal dengan

1
Universitas Sumatera Utara

2

saling berhimpitan, kehilangan ruang privasi dan harus berbagi kehidupan
dengan sesama pengungsi lain. Kondisi ini tentunya memprihatinkan dan
membutuhkan proses adaptasi.
Untuk bertahan di pengungsian ketika menghadapi kondisi-kondisi
yang menekan seperti bencana, diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai
protective factor . Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang

membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang
dihadapi. Tiga aspek yang termasuk dalam dalam protective factors
(Everall, 2006) yaitu : individu, keluarga dan faktor eksternal atau
komunitas.


Faktor

komunitas

di

pengungsian

seperti

kebersamaan,bantuan, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama
dan kegiatan keagamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang
terjadi antar sesama perempuan pengungsi dan hal ini berkaitan dengan
resiliensi.
Proses untuk kembali beradaptasi seperti semula disebut resiliensi.
Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung kembali setelah mengalami
kesulitan dalam hidup. Walsh (2006) mengungkapkan ini adalah proses
aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon
tantangan. Resiliensi dapat menolong wanita Karo untuk tetap patuh dan

taat terhadap peraturan adat dan bangkit kembali menjalani kehidupan
dipengungsian setelah menjadi korban erupsi Gunung Sinabung dan
mengalami kerugian baik berupa moril dan material. Perempuan Karo
yang resilien tidak hanya akan bertahan tetapi berjuang untuk

Universitas Sumatera Utara

3

mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah bangkit dari keterpurukan
akibat erupsi Gunung Sinabung. Walsh (2006) mengatakan, individu yang
resilien percaya bahwa jika seseorang hanya meratapi nasib hal itu
hanyalah membuang-buang waktu dan tidak mengobati luka, akan lebih
baik jika individu melihat kembali pengalaman yang sudah terjadi sebagai
suatu pelajaran kehidupan yang menguatkan.
Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada
orang-orang di sekitarnya. Dibesarkan dengan falsafah kehidupan orang
Karo dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai kekerabatan, dukungan
sosial yang diterima perempuan Karo dari keluarga besar, kerabat dan
lainnya dapat menjadi hal terpenting yang menguatkan mereka dalam

menghadapi tekanan besar seperti kerugian secara moril dan material
pasca erupsi Gunung Sinabung. Sementara individu dengan tingkat
resilien yang rendah akan merasa sulit untuk berbagi pengalamannya
dengan orang lain. Reiveich & Shatte (2002) mengemukakan ada tujuh
faktor yang membentuk resiliensi seseorang, yaitu regulasi emosi,
pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah,
efikasi diri dan pencapaian. Reivich dan Shatte (2002) kemudian
menyatakan, kurangnya

dukungan orang lain akan menghambat

penyembuhan. Dukungan sosial juga dikaitkan dengan kemampuan
seseorang dalam menghadapi stress.
Pada kaum Perempuan Karo, social support memberi empat fungsi
penting (Cutrona & Russell dalam Sarafino, 2006), yaitu (1) Emotional or

Universitas Sumatera Utara

4


esteem support, menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian,

berpandangan positif, dan memberikan dorongan atau semangat terhadap
seseorang. Bagi perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung
dukungan dari keluarga dan sesama perempuan pengungsi sebagai partner
berbagi sangat penting, dengan saling mendukung secara emosional, kaum
Perempuan Karo bisa menceritakan perasaannya, mengusir kesedihkan
dan kesepian yang dialaminya sehingga kaum Perempuan Karo penyintas
erupsi Gunung Sinabung dapat bangkit dan dengan percaya diri menyadari
bahwa dirinya berharga. (2) Tangible or instrumental support, melibatkan
bantuan langsung, misalnya sumbangan berupa perlengkapan sandang,
pangan hingga finansial. Bantuan langsung berupa material dapat
diperoleh dari pemerintah atau relawan, dapat membantu perempuan Karo
untuk mengatasi persoalan kurangnya bahan makanan, perlengkapan
kewanitaan seperti baju dan pakaian dalam. (3) Informational support,
meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau feedback mengenai

apa yang dapat dilakukan seseorang dalam menghadapi suatu keadaan.
Misalnya, kaum Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung yang
sedang mengungsi dapat melakukan kegiatan bersama yang bermanfaat

seperti mengaron bersama, membuat kue, menganyam dan lain
sebagainya, Kegiatan ini dapat membantu mereka yang sedang mengalami
kesulitan dalam beberapa masalah terutama kehilangan sumber pendapatan
finansial setelah erupsi Gunung Sinabung, adanya bantuan dalam bentuk
informational ini juga dapat berupa berita tentang keadaan Gunung

Universitas Sumatera Utara

5

Sinabung saat ini dan keadaan desa mereka. Bantuan informasional ini
juga sangat dibutuhkan oleh pengungsi sebagai sarana untuk mendapatkan
bantuan

demi

kelangsungan

hidup


mereka

dipengungsian.

(4)

Companionship support, mengacu pada keberadaan seseorang untuk

menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan
perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan
aktivitas sosial. (Sarafino, 2006). Pada perempuan Karo penyintas erupsi
Gunung Sinabung, hal ini dapat mereka peroleh dari dukungan keluarga
dan kehadiran sesama pengungsi terutama sesama kaum Perempuan Karo.
Hal ini juga diperkuat dengan falsafah kehidupan masyarakat Karo yang
mempercayai bahwa mereka semua terikat kekerabatan keluarga
berdasarkan marga dan peran adat mereka dalam Daliken Si Telu.
Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia,
tepatnya di daerah Sumatera Utara, dengan jumlah populasi sebanyak
335.528 juta jiwa (website Kabupaten Karo, 2015) dan merupakan bagian
dari suku kekerabatan Batak, seperti kekerabatan Batak Toba, Batak

Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-Pak atau Dairi, dan Batak
Karo. Namun kebanyakan masyarakat suku Karo menggap bahwa mereka
bukanlah bagian dari kekerabatan Batak tersebut, Suku Karo merupakan
suku bangsa tersendiri dalam tubuh bangsa Indonesia. Suku Karo
mempunyai bahasa daerah tersendiri yakni bahasa Karo. Antara sesama
orang Karo biasanya akan menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa
dipergaulan. Mereka bertutur kata dalam bahasa Karo dan menjalin

Universitas Sumatera Utara

6

keakraban dengan menggunakan adat Karo yang berintikan Merga Silima ,
Rakut Sitelu dan Tutur Siwaluh. (Purba, 1989).

Dalam praktek kesehariannya, sesama orang Karo selalu saling
menolong dan saling melindungi sebagai perwujudan dari Rakut Sitelu
(Purba, 1989). Rakut Sitelu dapat diterjemahkan secara alfabetis sebagai
ikatan yang tiga, tiga serangkai atau trias sendi budaya. Dalam kehidupan
bermasyarakat, Rakut Sitelu berfungsi sebagai trilogi kekerabatan bagi

masyarakat Karo. Setiap orang Karo, selalu memiliki salah satu fungsi dari
Rakut Sitelu dan mempunyai salah satu dari Merga Silima . Sejak kecil,

orang Karo dimotivasi dan dibiasakan bergaul dengan menggunakan
patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu. Orang Karo
yang tidak mengamalkan patron budaya Merga Silima, Tutur Siwaluh dan
Rakut Sitelu sering dikatakan sebagai orang yang tidak menghargai adat.

Orang yang dinilai tidak menghargai adat, tidak akan pernah mendapat
penghargaan. Mereka yang demikian dianggap tidak sopan, dan layak
dikucilkan. (Purba, 1989).
Masyarakat Karo mempunyai tata cara bermasyarakat melalui
forum permusyawaratan yang spesifik Karo yang disebut Runggu.
Hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo sangatlah erat yang
diperoleh melalui keturunan, perkawinan dan cara perkenalan yang disebut
Ertitur yang berpedoman pada merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk

perempuan) dan bere (beru dari ibu). Biasanya orang yang melakukan
ertitur selain kepada orang yang saling belum mengenal maupun untuk


Universitas Sumatera Utara

7

mengetahui tinggi rendahnya derajat orang lain dari kita di dalam
pergaulan. Dalam masyarakat Karo, nilai-nilai kebudayaan yang

melandasi setiap aktivitas kehidupan terutama yang mengatur hubungan
dengan masyarakat sekitarnya dengan Merga Silima, Deliken Si Telu
dan Tutur Si Waluh . Masing-masing memiliki kewenangan hak dan

tanggung jawab. Artinya ada atau tidak ada kegiatan masing-masing
kelompok sudah mengerti akan tugas-tugas dan tanggung jawabnya.
(Lila Pelita Hati, 2005).
Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang diturunkan
patrilinear yang artinya garis keturunan diperoleh melalui garis laki-laki
atau ayah. Konstruksi patriarki dalam masyarakat Karo dianggap
sebagai keabsolutan (Brahmana, 2015). Laki-laki dalam masyarakat
Karo menjadi sosok yang dominan dan menjadi pemeran utama dalam
berbagai bidang kehidupan seperti dalam acara dan peraturan adat,

warisan hingga penurunan marga. Dalam adat, laki-laki sejak kecil
sudah disosialisasikan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan
mengenai kebudayaan Karo dan bertanggung jawab terhadap penerusan
marga ayahnya.
Berbeda dengan laki-laki, kaum perempuan dalam masyarakat
Karo bukanlah kaum yang diutamakan. Dalam budaya Karo, perempuan

secara tradisional kedudukannya adalah sebagai pelengkap yang dalam
istilah Karo disebut Sirukatnakan (penyendok nasi). Hal ini berarti

Universitas Sumatera Utara

8

perempuan harus membantu suami, dalam hal seperti mencari nafkah
dan mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak
waris dan hak berbicara dalam adat. Urusan rumah tangga seperti
memasak, menganyam tikar sampai mencari kayu bakar dan membantu
suami mencari nafkahlah yang menjadi bagian dari tanggung jawab
Perempuan Karo.
Dalam kehidupan masyarakat Karo, peran ganda perempuan
terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan
diharapkan dapat berperan membantu keluarga dan suaminya dalam
pencarian nafkah, sementara untuk urusan rumah tangga termasuk dapur
merupakan wilayah yang dianggap tabu untuk dimasuki oleh laki-laki
(Brahmana, 2015). Dalam keseharian masyarakat Karo, laki-laki
beranggapan bahwa kegiatan di dalam rumah tangga merupakan tugas dan
tanggung jawab dari perempuan. Laki-laki biasanya akan lebih banyak
meluangkan waktu mereka untuk duduk di kedai kopi; bermain catur,
memesan makanan sambil membicarakan strategi untuk mencari
penghasilan tambahan. Hal ini menunjukkan suatu fenomena sosial yang
menggambarkan dominasi dan kekuasaan berada dalam genggaman lakilaki. (Lila Pelita Hati: 2007). Hal ini di dukung oleh pernyataan seorang
perempuan Karo, Ibu HG yang berkesempatan di wawancarai oleh
peneliti, berikut kutipan wawancaranya :
“Oe nakku, kalau kita orang Karo, sebisanya ikut bantu
suami cari nafkah jugalah. Mana bisa duduk aja dirumah
walaupun banyak kerjaan diluar rumah juga. Bibi ndu ini
kan nakku, kerjanya suami bibi. Tapi bibi pun ikut bantu

Universitas Sumatera Utara

9

bapak cari uang. Habis ngaajar, jualan bibi. Habis itu
barulah ngurus rumah. Dirumah bibi lagi yang ngurus
dapur sama anak perempuan bibi, bapak pulang kerja
nunggu makan malam dia, tabu kalau di adat laki-laki
masuk dapur. Urusan perempuannya dapur itu.”
(Komunikasi Personal, 2015)

Banyaknya waktu yang dihabiskan oleh laki-laki untuk duduk di
kedai kopi mengakibatkan kurangnya perhatian mereka terhadap berbagai
kepentingan keluarga. Implementasi dari tindakan yang dilakukan oleh
kaum laki-laki tersebut memaksakan perempuan untuk bertanggung jawab
penuh akan seluruh pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi-keluarga dan
pembinaan anak-anak mereka (Lila Pelita Hati: 2007).
Dikotomi peran ini mengakibatkan jumlah kerja antara suami dan
istri menjadi sangat tidak seimbang. Perempuan hampir tidak memiliki
waktu untuk merawat dirinya (Brahmana, 2015). Hasil pengamatan
penulis di beberapa desa di Kabupaten Karo, tampak bahwa peran
perempuan di berbagai aspek kehidupan sangat besar. Di bidang ekonomi
perempuan berpartisipasi dalam pencurahan tenaga kerja (> 8 jam per hari
di lahan usaha tani). Di kegiatan domestik, perempuan (ibu rumah tangga
dan perempuan dewasa) mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga.
Kegiatan para perempuan Karo dibidang ekonomi umumnya adalah
berladang dan berjualan. Hal ini merupakan salah satu budaya pekerjaan
yang telah lama dilakukan oleh kaum Perempuan Karo didukung oleh
faktor suburnya lahan pertanian di Tanah Karo yang merupakan dataran
tinggi yang diapit oleh Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Kedua
gunung ini menjanjikan keindahan yang luar biasa bagi masyarakat

Universitas Sumatera Utara

10

sekitarnya baik berupa keindahan alam maupun kesuburan tanahnya
sehingga daerah ini dijadikan lahan untuk bercocok tanam warga dan
bercocok tanam dijadikan sumber pendapatan warga untuk bertahan hidup.
Perempuan Karo pun memiliki berbagai dinamika dan fenomena
tersendiri dalam pengungsian. Kaum Perempuan Karo tidak hanya
menjadi sosok pengungsi yang membatu dalam sebuah kondisi, mereka
yang telah dibesarkan dengan adat yang kental dimana mereka terbiasa
untuk mencari nafkah untuk keluarga dan menjalani keseharian dengan
bekerja sebagai petani, lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja
menjadi buruh tani di perkebunan yang ada disekitar Berastagi. Mereka
berangkat bersama teman aron (kelompok tani) mereka pada pagi hari dan
kembali ke pengungsian pada malam harinya. Pada malam hari,
pengungsian penuh dan ramai oleh mereka yang kehilangan harta dan
tempat tinggal akibat dari erupsi Gunung Sinabung.
Awal pindah kepengungsian menjadi masa-masa paling sulit bagi
pengungsi terutama kaum Perempuan. Tidak mudah menerima kenyataan
yang sangat berbeda dari biasanya, dimana hidup dan tinggal secara
bersama bukan dikampung atau dirumah sendiri. Kondisi awal
dipengungsian ini merupakan perubahan yang dramatis bagi perempuan.
Perempuan mengalami gangguan privasi yang menyebabkan perempuan
resah dan tidak tenang dan ketidaknyamanan ini dapat membuat
perempuan Karo dipengungsian mengalami tekanan-tekanan psikologis di
pengungsian. Di pengungsian, kaum Perempuan Karo tetap menjalani

Universitas Sumatera Utara

11

dikotomi peran gendernya yaitu sebagai Istri dan Ibu yang mengurus
rumah tangga dan juga membantu keluarganya dalam mencari nafkah.
Dalam menghadapi masalah ekonomi yang tidak stabil akibat bencana dan
tinggal dipengungsian, kondisi lain yang bisa muncul adalah depresi dan
tidak bahagia. Jika kondisi ini terjadi, kaum Perempuan Karo tidak dapat
kembali produktif dan dapat melakukan banyak hal seperti yang selama ini
dilakukannya sesuai dengan tuntutan adat dan perannya. Tetapi bagi
individu yang berhasil melakukan coping dengan baik, kehidupan
walaupun di pengungsian akan terasa bermakna.
Dipengungsian, kebutuhan perempuan tidak serta merta tersedia
jika dibutuhkan, tetapi kaum Perempuan Karo tetap harus bertahan dan
menjalani kesehariannya. Hidup dipengungsian karena kehilangan tempat
tinggal, tidak adanya ruang privat, kehilangan ladang yang menjadi
sumber penghasilan dan mengharapkan belas kasihan serta bantuan dari
orang lain dapat menjadi masalah bagi sebahagian perempuan Karo yang
kini tinggal dipengungsian, tetapi perempuan Karo bukanlah kaum yang
lemah, hal ini dapat dilihat dari kesanggupan mereka menjalani tuntutan
adat yang mengharuskan mereka untuk melaksanakan peran gender dalam
mengurus rumah tangga, dari memasak nasi hingga berladang mencari
nafkah sementara sebagai perempuan, mereka merupakan kaum yang
tidak diutamakan oleh adat.
Prinsip kekeluargaan dalam

adat

Karo mendorong kaum

perempuan Karo untuk memberikan dukungan sosial untuk sesamanya

Universitas Sumatera Utara

12

agar menjadi lebih resilien dalam menghadapi stressful event pasca erupsi
Gunung Sinabung. Dalam teori (Gortberg, 2004) salah satu faktor yang
mempengaruhi resiliensi adalah budaya. Sehingga, penelitian hubungan
resiliensi dengan social support ini penting untuk bisa diteliti di daerah
Karo. Apalagi didukung dengan prinsip hidup orang Karo “Sangkep
Ngeluh” atau kelengkapan hidup yang intinya adalah “Daliken Sitelu”.
Daliken Sitelu berfungsi sebagai landasan sistem kekerabatan dan semua
kegiatan yang bertalian dengan adat istiadat.
Penelitian terdahulu telah mendukung hubungan resiliensi dengan
social support. Akan tetapi, tidak semua dukungan sosial akan berfungsi

positif pada stressful event. Berkman (Sarafino, 2006) menyatakan
dukungan sosial tidak selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi
kesehatan jika kita tidak menganggapnya sebagai dukungan. Hal ini bisa
terjadi karena pertolongan tidak cukup atau kita tidak menginginkan
bantuan atau karena dukungan yang kita butuhkan tidak cocok dengan
tekanan yang kita terima.
Hubungan dan adat kekeluargaan yang tetap dijunjung dengan baik
selama di pengungsian dan social support yang diterima perempuanperempuan Karo selama di pengungsian menjadikan mereka kaum yang
mampu untuk bangkit kembali setelah menerima stressor yang berat dari
kehidupan, setelah mereka berada di zero point akibat erupsi yang
mengakibatkan kehilangan rumah, harta dan sumber penghasilan. Dari
penjabaran latar belakang diatas, penulis ingin melihat bagaimana

Universitas Sumatera Utara

13

hubungan Resiliensi dengan Social Support pada perempuan Karo
penyintas erupsi Gunung Sinabung. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul
“Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada perempuan Karo
penyintas erupsi Gunung Sinabung.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hubungan Resiliensi dengan Social Support pada
perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung?
2. Bagaimanakah hubungan budaya Karo dengan resiliensi dan social
support pada perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung?

3. Bagaimanakah gambaran keadaan resiliensi dan social support
perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung secara umum dan
ditinjau dari :
a. usia.
b. asal desa
c. tingkat pendidikan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara resiliensi dengan social
support pada perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan budaya Karo dengan resiliensi
dan social support pada perempuan Karo penyintas erupsi Gunung
Sinabung.
3. Untuk mengetahui bagaimana gambaran keadaan resiliensi dan social

Universitas Sumatera Utara

14

support perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung ditinjau dari :

a. usia
b. asal desa
c. tingkat pendidikan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan baru di bidang
Psikologi, terutama Psikologi Sosial dan Psikologi Klinis. Selain itu,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tambahan bagi
peneliti lain yang tertarik untuk meneliti tentang resiliensi, social support,
perempuan dalam kebudayaan Karo dan bencana Gunung Sinabung.
2. Manfaat Praktis
-Para perempuan Karo dapat mengetahui pentingnya resiliensi dalam
menjalani kehidupan sehari-hari dan dalam keadaan apapun pasca erupsi.
-Berbagai pihak yang terkait dengan penanganan penyintas seperti
keluarga, praktisi, dan masyarakat umumnya dapat mengetahui hubungan
Resiliensi dan Social Support pada Perempuan penyintas erupsi Gunung
Sinabung.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. BAB I - Pendahuluan

Universitas Sumatera Utara

15

Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.
2. BAB II - Landasan Teoritis
Bab ini berisikan teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai
landasan dalam penelitian. Teori yang digunakan antara lain teori
Resiliensi, Social Support, dan Bencana.
3. BAB III - Metode Penelitian
Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional,
sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen atau alat
ukur yang digunakan dalam penelitian, validitas dan reliabilitas, dan
metode analisis.
4. BAB IV - Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi analisis terhadap data yang telah diperoleh dari
pelaksanaan penelitian ini. Analisis yang dilakukan dalam penelitian
ini mencakup analisis korelasional, pengujian model dan pengujian
hipotesis.
5. BAB V - Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang
dapat

diberikan

oleh

peneliti

sebagai

sumbangsih

untuk

pengembangan penelitian mengenai resiliensi dan social support di
masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara