Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak
2.1.1 Pengertian Anak
Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam
Convention on The Right of The Child Tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah

Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefisikan anak
sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Agar lebih
jelasnya, peneliti akan menjabarkan definisi anak dilihat dari berbagai aspek sebagai
berikut:
a)

Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis.
Aspek sosiologis pengertian anak itu menunjukkan bahwa anak sebagai
makhluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan
sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di
lingkungan tempat berinteraksi.

Arti anak dari aspek sosial ini lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati
karena keterbatasan–keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud
untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa.
Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada pada proses
pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat usia yang

14

Universitas Sumatera Utara

belum dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada
pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat
usia yang belum dewasa: disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan
kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spritual yang berada di bawah
kelompok usia orang dewasa (Wadong, 2000:5).
b)

Pengertian Anak dari Aspek Hukum.
Di dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak, di
dalam hal ini adalah sebagai akibat dari tiap–tiap peraturan Perundang–

undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai pengertian anak itu
sendiri.
Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertuan anak dari
pandanagan sistem hukum atau disebut kedudukan dala arti khusus sebagai
subjek hukum dan meliputi pengelompokkan kedalam subsistem sebagai
berikut:
a) Pengertian Anak berdasarkan UU No.23 Tahun 2002
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak–hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
b) Pengertian Anak berdasarkan UU Pengadilan Anak.
Anak dalam UU No.3 Tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat ( 2 )
yang berbunyi:
“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah“. Di dalam hal ini pengertian anak

15

Universitas Sumatera Utara


dibatasi dengan syarat sebagai berikut: Pertama, anak dibatasi dengan
umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, artinya tidak
sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan bercerai,
apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya
putus karena perceraian oleh karena itu si anak dianggap sudah dewasa
walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
2.1.2 Hak dan Kewajiban Anak
Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan tentu begitupun
halnya dengan seorang anak. Anak memiliki hak dan kewajiban yang harus
didapatkan dan dilaksanakannya. Tidak ada perbedaan apakah anak tersebut sehat
secara fisik dan psikis ataupun anak tersebut mengalami cacat baik secara fisik
maupun psikis. Maka dari itu dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan tentang
hak dan kewajiban anak.
A. Hak Anak
Berdasarkan Konvensi Hak Anak dalam Djamil (2013:14), hak-hak anak
secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak,
antara lain:
1. Hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival ) yaitu hak-hak

untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sbeaikbaiknya.

16

Universitas Sumatera Utara

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights) yaitu hak-hak yang
meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan
keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi
anak-anak pengungsi.
3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights) yaitu hak-hak anak
yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan
hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial (the right of standar living ).
4. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak
yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang
mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views
freely in all matters affecting the child ). Hak untuk berpartisipasi juga


merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak,
masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya di dalam
masyarakat luas.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, hak-hak anak antara lain:
1. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orang tua atau wali.
2. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat.

17

Universitas Sumatera Utara

3. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan
dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik,
tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
4. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali

jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.
5. Setiap

anak

berhak

untuk

memperoleh

perlindungan

dari

penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa
bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsure kekerasan, pelibatan dalam

peperangan, dan kejahatan seksual.
B. Kewajiban Anak
Menurut Wahyudi dalam Djamil (2013:21), bahwa anak melakukan kewajiban
bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan kewajibankewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang
baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi akan melakukan kewajibankewajibannya.
Kewajiban anak dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak, antara lain:
1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.

18

Universitas Sumatera Utara

3. Mencintai tanah air, bangsa, dan Negara.
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
2.2 Kekerasan terhadap Anak
2.2.1 Pengertian Kekerasan terhadap Anak
Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan,


penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictionary, Barker dalam
Huraerah (2006:36) mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to
cause phsycal, psychological, or financial harm to an individual or group ”

(kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya
secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami individu maupun
kelompok). Sedangkan istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment
adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak.
Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta dalam Huraerah
(2006:36), mengartikan child abuse sebagai “international acts that result in physical
or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of
behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers to neglect

at at a child’s basic needs” (kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja
yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun
emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah-laku, dari
tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya
sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).


19

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, Barker dalam Huraerah (2006:36) juga mendefinisikan child
abuse, yaitu “the recurrent infliction of physical or emotional injury on a dependent
minor, through international beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent
redicule and degradation, or sexual abuse, usually commited by parents or others in

change of the child’s care” (kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang
berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan,
melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan
cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orangtua atau
pihak lain yang seharusnya merawat anak).
2.2.2 Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak
Child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak

sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak. child abuse menurut Terry L.
Lawson, psikiater anak, mengatakan bahwa kekerasan anak dapat diklasifikasikan
menjadi empat bentuk, yaitu:

a) Emotional abuse , dapat terjadi apabila setelah orangtua mengetahui keinginan
anaknya untuk meminta perhatian namun sang orangtua tidak memberikan apa
yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua
kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berjalan konsisten.
b) Verbal abuse, lahir akibat bentakan, makian orangtua terhadap anak. Ketika anak
meminta sesuatu orangutan tidak memberikan malah membentaknya. Saat si
anak mengajak berbicara orang tua tidak menanggapinya justru menghardik
dengan bentakan, anak akan mengingat kekerasan jenis ini jika semua kekerasan
verbal ini berlaku dalam satu periode.

20

Universitas Sumatera Utara

c) Physical abuse, kekerasan jenis ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari
orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan itu
meninggalkan bekas.
d) Sexual abuse, terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada
juga kasus, ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6
bulan (PKPA, 1999:29-30).

Sementara itu, Suharto dalam Huraerah (2006:36-38) juga mengelompokkan
child abuse menjadi empat, yakni:

a) Physical abuse (kekerasan anak secara fisik), adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. bentuk luka
dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka
bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi
luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut,
punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik
umumnya dipicu oleh tingkah-laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti
anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau
muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
b) Psychological abuse (kekerasan anak secara psikis), meliputi penghardikan,
penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film
pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya
menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis
jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
21

Universitas Sumatera Utara

c) Sexual abuse (kekerasan anak secara seksual), dapat berupa perlakuan pra-kontak
seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan,
gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung
antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d) Social abuse (kekerasan anak secara sosial), dapat mencakup penelantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua
yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang
anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk
pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa
memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk
bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki
atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai,
anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
2.2.3 Kekerasan Seksual terhadap Anak
Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan
seksual. Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar
hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa
pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non-fisik. Dan kekuatannya
22

Universitas Sumatera Utara

dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu (Huraerah,
2006:60). Wahid dan Irfan dalam Huraerah memandang bahwa kekerasan seksual
merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan
seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di
tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi
korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat juga didefinisikan sebagai hubungan
atau interaksi antara seseorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak
yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang lain, saudara kandung
atau orangtua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi
kebutuhan seksual si pelaku, baik dengan ancaman, suap, tipuan atau tekanan
(Pusat Data dan Informasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak).
Definisi yang cukup komprehensif juga diberikan oleh Baker dan Ducan
dalam Sarlito (2007:177) yaitu kekerasan seksual pada anak adalah jika ada
seorang anak dilibatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk membangitkan
gairah seksual pada pihak yang mengajak, dan pihak yang mengajak telah matang.
Secara operasional, definisi Baker dan Ducan bisa meliputi segala hal, seperti:
a) Antar anggota keluarga, dengan orang dari luar keluarganya atau dengan
orang asing sama sekali.
b) Hanya terjadi sekali, terjadi beberapa kali dengan orang yang sama atau
terjadi beberapa kali dengan orang yang berbeda-beda.
c) Tak ada kontak fisik (bicara cabul), ada kontak fisik (diraba, dibelai,
masturbasi bahkan terjadi senggama.

23

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan seksual pada anak menunjuk pada tindakan pemaksaan seksual pada
seorang anak oleh orang dewasa yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan akal
yang lebih besar. Para pelaku kekerasan seksual terhadap anak seringkali adalah
orang-orang yang telah dikenal baik oleh korban, seperti tetangga, kakek, sepupu,
paman, guru, bahkan orang tua kandung sendiri, ayah angkat, seperti yang terjadi
pada beberapa kasus yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya. Hal ini juga
didukung oleh pendapat dari Liz Hall dan Siobhan Lloyd (2007:3) yang mengatakan
“Kekerasan seksual pada anak banyak dilakukan oleh ayah atau seseorang yang
memiliki figur seorang ayah.”
Penyebab adanya kasus-kasus kekerasan pada anak khususnya yang terjadi
dalam keluarga, adalah karena ketidakharmonisan antara suami-istri yang seringkali
menjadi pendorong yang kuat bagi sang suami melakukan tindakan kekerasan
seksual pada anak perempuannya. Keadaan seperti akan semakin mudah dilakukan
oleh sang ayah, karena selama ini ayah dianggap sebagai orang yang paling berkuasa
dalam rumah tangga, sehingga anak tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan
perlawanan, dan jika ada perlawanan, ujung-ujungnya anak juga yang mengalami
kesakitan.
Ada juga kekerasan seksual yang terjadi pada anak yang cacat. Dalam
melakukan kekerasan pada anak yang cacat, pelaku menjadi sangat mudah
melakukan tindakannya yang biadab tersebut, melihat kondisi anak cacat yang tidak
memungkinkan dia melakukan perlawanan, atau melaporkan kasus yang dia alami
kepada banyak orang. Selain itu, ada sebagian anak yang juga terpaksa mengikuti
kemauan si pelaku untuk berhubungan seksual, dikarenakan sang anak diberikan

24

Universitas Sumatera Utara

uang atau hadiah lainnya, sebagai upah kesiapannya melakukan apa yang diinginkan
oleh si pelaku (Hall & Lloyd, 2007:3).
Jadi bisa disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a) Faktor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua

yang tidak

memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat
subyek menjadi korban kekerasan seksual.
b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku
tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
c) Faktor ekonomi. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming kepada
korban yang menjadi target dari pelaku.
2.2.4 Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kekerasan seksual mencakup kegiatan melakukan tindakan yang mengarah
ke-ajakan maupun desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium atau
melakukan tindakan- tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa
korban, untuk menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak
dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan
mengarah pada aspek jenis kelamin (seks) korban, memaksa berhubungan seks
dengan bentuk kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitasaktivitas seksual yang disukai, merendahkan, menyakiti ataupun melukai korban
yaitu korbannya anak-anak (Poerwandari:2000).

25

Universitas Sumatera Utara

Secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak berdasarkan
bentuknya terdapat 4 (empat) macam, yaitu:
a) Perkosaan atau Pencabulan
Baik perkosaan maupun pencabulan merupakan dua bentuk kekerasan seksual
yang melanggar norma hukum. Bentuk perkosaan ataupun pencabulan
merupakan dua istilah yang saling bersatu padu, namun terdapat kesamaan
makna yaitu memaksa seorang untuk dijadikan objek hasrat seksual.Dalam
bentuknya pristiwa ini sering terjadi seperti perkosaan oleh seorang yang lebih
tua kepada seorang yang lebih muda umurnya (anak) untuk melakukan kontak
fisik (memasukan alat kelamin anak) atau menggunakan penetrasi seksual
berbeda seperti sodomi atau sejenisnya.
b) Pelecehan seksual
Dalam pelecehan seksual terhadap anak, biasanya pelaku lebih menggunakan
cara-cara halus dan tidak ekstrem namun berakibat fatal kepada kondisi psikis
anak. Bentuk pelecehan seksual anak seperti meminta atau menekan seorang
anak untuk melakukan aktivitas seksual.
c) Percobaan Perkosaan
Untuk memenuhi hasrat seksualnya, sering kali percobaan perkosaan pada
anak sering terjadi.Percobaan perkosaan bisa berbentuk seperti melakukan halhal yang tidak senonoh (mencium, meraba, dan sejenisnya) tanpa
sepengetahuan si korban.
d) Menampilkan Pornografi
Pada bentuk ini, seorang anak dipaksa untuk Memberikan paparan yang tidak
senonoh dari alat kelamin anak, seperti menampilkan bentuk fisik tubuh, tak
26

Universitas Sumatera Utara

lain untuk mengundang hubungan seksual terhadap anak.
2.3 Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
2.3.1 Perlindungan Anak
Menurut Purwatiningsih (2008:117), dalam konteks Indonesia, melindungi dan
memenuhi hak-hak anak termasuk dengan cara membangun institusi independen
perlindungan hak anak, setidaknya beranjak dari 3 (tiga) rasional, antara lain:
1. Kondisi situasional anak di Indonesia yang sedemikian rupa rentan dan
mengalami eksploitasi, kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran bahkan
impunity;

2. Sejumlah peraturan hukum dan konstitusional yang berlaku di Indonesia
menjadi dasar mengapa perlu dilakukan perlindungan anak;
3. Adanya komitmen, ketertarikan hukum dan politik bagi Indonesia sebagai
masyarakat

dunia

internasional

untuk

memenuhi,

mematuhi

dan

mengharmoniskan instrumen-instrumen internasional.
Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi
kegiatan perlindungan anak. Ada beberapa alasan mengapa anak perlu dilindungi
dalam kasus hukum, menurut Pater Newel dalam bukunya Taking Children
Seriously: A p roposal for Children’s Rights Commisioner (LBH Jakarta, 2012:17)

menyebutkan antara lain:
a) Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam memberikan
perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan

27

Universitas Sumatera Utara

jika anak-anak memperoleh perlindungan.
b) Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas tindakan atau
perbuatan (action) atau ketiadaan tindakan/perbuatan (unaction) dari
pemerintah atau kelompok lainnya.
c) Anak selalu mengalami kesenjangan dalam pemberian pelayaran publik.
d) Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobby untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
e) Anak pada banyak situasi tidak dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan
hak-hak anak.
f) Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalagunaan.
Berdasarkan Konvensi Hak Anak dalam Djamil (2013:29), terdapat empat prinsip
umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam
menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain:
1) Prinsip Nondiskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan
terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada
setiap anak tanpa pembedaan apapun.
2) Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak ( best interest of the child ),
prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan
anak

bahwa

pertimbangan-pertimbangan

dalam

pengambilan

keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran
orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa.
3) Prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (the

28

Universitas Sumatera Utara

right to life, survival and development) artinya bahwa negara harus

memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya
karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan
pemberian dari negara atau orang per orang.
4) Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views
of the child ), prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi

kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam
posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia
pribadi yang otonom yang memiliki pengalaman, keinginan,
imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang
dewasa.
Djamil (2013:31) menggambarkan prinsip perlindungan anak, sebagai berikut:
Kepentingan Terbaik bagi Anak

Kelangsungan
Hidup dan
Perkembangan

Nondiskriminasi

Partisipasi Anak

Gambar II.1 Prinsip Perlindungan Anak

29

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual
Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual dapat dilihat
melalui beberapa perlindungan hukum yang tertera dalam perundang-undangan
selain yang telah disebutkan di dalam KUHP mengenai perlindungan hukum bagi
anak korban kekerasan, juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No.35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pada pasal-pasal berikut:
a) Pasal 76 D menentukan:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman
Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
b) Pasal 76 E menentukan:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman
Kekerasan,

memaksa,

melakukan

tipu

muslihat,

melakukan

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Dalam Undang-Undang yang sama juga dijelaskan ketentuan-ketentuan
ancaman pidana atas tindak kekerasan seksual terhadap anak, yang tertera pada
pasal-pasal berikut:
a) Pasal 81 menentukan:
Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 D dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

30

Universitas Sumatera Utara

denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ayat (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan snegaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Ayat (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b) Pasal 82 menentukan:
Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ayat (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2.3.3 Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara
(KPAID SUMUT) dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, yang dituangkan dalam pasal 74 ayat (2) berbunyi: “Dalam hal

31

Universitas Sumatera Utara

diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah
atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan
Perlindungan Anak di daerah”.
Pembentukan KPAID bukan merupakan kewajiban atau keharusan, tetapi
merupakan kebutuhan daerah masing-masing. Karena itu KPAID merupakan refleksi
dari kedudukan dan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pusat seperti
tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Keppres No. 77 Tahun 2003 Tentang KPAI yang
berbunyi: “Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dapat membentuk perwakilan di daerah”.
Di daerah Sumatera Utara terbentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Daerah Sumatera Utara (KPAID SUMUT) berdasarkan SK Gubernur Provinsi
Sumatera Utara No. 463/026.K/2006 tertanggal 23 Januari 2006, maka terbentuklah
KPAID SUMUT, dan di dukung juga dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Utara No. 3 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, yang
terdapat pada Pasal 21 ayat (1) berbunyi: “Untuk mewujudkan terselenggaranya
perlindungan anak di Sumatera Utara maka dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Daerah Sumatera Utara yang bersifat independen”. Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal
72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76; serta UU Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Otonomi Daerah dan Keppres No. 77 Tahun 2003 Tentang KPAI, Provinsi
Sumatera Utara membentuk KPAID dengan melakukan seleksi yang ketat, dengan
melibatkan berbagai unsur seperti unsur pemerintah, tokoh agama/masyarakat,
organisasi-organisasi

kemasyarakatan,

organisasi

profesi,

lembaga

swadaya

masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat peduli terhadap perlindungan
32

Universitas Sumatera Utara

anak. Berdasarkan tugas yang sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
yang tertera pada Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, tugas dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT)
adalah:
h) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan
Hak Anak.
i) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan Perlindungan Anak.
j) Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak.
k) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai
pelanggaran Hak Anak.
l) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak.
m) Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang
Perlindungan Anak.
n) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
Selanjutnya, selain menjalankan tugas-tugas yang telah disahkan dalam
Undang-Undang tersebut diatas, KPAID SUMUT juga merumuskan tugas utamanya
yakni:
a) Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang Peraturan Perundang-undangan
yang berkaitan dengan anak.

33

Universitas Sumatera Utara

b) Melakukan

pengkajian

peraturan

Perundang-undangan,

Kebijakan

Pemerintah dan kondisi pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi
dan budaya.
c) Menyampaikan dan member masukan, saran dan pertimbangan kepada
berbagai pihak terutama Gubernur, DPRD, Instansi Pemerintah terkait di
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
d) Mengumpulkan data dan informasi tentang masalah perlindungan anak.
e) Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di
Provinsi Sumatera Utara.
f) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Gubernur
Provinsi Sumatera Utara dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan
Anak di Provinsi Sumatera Utara.
Demi terselenggaranya perlindungan anak di Provinsi Sumatera Utara, KPAID
SUMUT memiliki dua program kerja (pokja) yang menjadi kelengkapan organisasi
yakni Pokja Kelembagaan dan Kemitraan serta Pokja Pengaduan dan Fasilitasi
Pelayanan. Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan merupakan salah satu program
kerja utama di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara.
Dimana Pokja ini memiliki kegiatan yaitu menerima pengaduan dari masyarakat
khususnya di daerah Sumatera Utara mengenai tindakan kekerasan ataupun
diskriminasi yang dilakukan terhadap anak. Dalam menangani kasus kekerasan
seksual, terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan demi penyelesaian setiap kasus.
Mulai dari pelapor yang melakukan pengaduan kepada pihak KPAID SUMUT atas
terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak sampai pendampingan pelapor dan

34

Universitas Sumatera Utara

anak korban kekerasan seksual dalam proses selanjutnya dengan pihak APH (Aparat
Penegak Hukum) yang terkait.
Proses penyelesaian kasus kekerasan seksual melibatkan berbagai pihak,
tidak hanya dari KPAID SUMUT namun ada pula koordinasi dengan berbagai
instansi lainnya. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dampingan
Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan KPAID SUMUT, kasus yang telah selesai berarti
terlapor atau pelaku tindakan pidana tersebut telah mendapat vonis hukuman dari
pengadilan berupa penjara dan denda, dikabulkannya hak restitusi yang diajukan oleh
pihak korban, serta anak korban kekerasan seksual dikembalikan kepada orangtuanya
setelah mendapatkan perlindungan berupa hak rehabilitasi fisik, psikis, dan
reintegrasi sosial di RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) milik Kemensos,
RUPA (Rumah Perlindungan Anak) milik KPAID SUMUT, atau di rumah
perlindungan anak lainnya dengan pendampingan KPAID SUMUT bersama pihak
Pekerja Sosial atau Sakti Peksos Kemensos RI terkait. Agar lebih mudah, adapun
tahapan-tahapan yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan kasus kekerasan
seksual terhadap anak akan penulis uraikan dalam bagan berikut:

35

Universitas Sumatera Utara

Gubernur Sumatera
Utara
Koordinasi SEKDA

Pelapor

KPAID SUMUT

Pengawasan
/monitoring

Pokja Pengaduan
dan Fasilitasi
Pelayanan

(Biro PP&KB)

Rujukan
korban

(assessment korban)

Pendampingan
korban (dgn
LSM/advokat)
APH (Aparat
Penegak Hukum):
Kepolisian,
Kejaksaan,
Pengadilan.

Pemenuhan hak-hak
korban dgn
mengajukan hak
restitusi bagi korban.

Hak Rehabilitasi
fisik, psikis,
reintegrasi sosial.

Depsos (Sakti
Peksos), Dinas
Kesehatan, Dinas
Capil, Dinas
Pendidikan,
Pemerintah
Kab/Kota, Biro
PP&KB Pemko,
dll.

Keterangan:
Garis tahapan penyelesaian
kasus kekerasan seksual
terhadap anak dampingan
KPAID SUMUT
Garis Koordinasi KPAID
SUMUT dengan semua pihak
dalam pengawasan
penyeleisaian kasus.

Implementasi atas
Hak Restitusi
melalui putusan
pengadilan (vonis,
denda dan
dikabulkannya hak
restitusi oleh hakim)
Bagan 2.1 Tahapan Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual

36

Universitas Sumatera Utara

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual
terhadap Anak (Child Sexual Abuse )
Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum
harus dilakukan dengan benar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
adalah: faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni
pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum
berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia
(Gultom, 2014:12). Dalam praktik penyelesaiannya, kasus kekerasan seksual
terhadap anak dapat dikatakan selesai karena ada faktor yang mendukungnya,
sehingga menyebabkan kasus tersebut dapat terselesaikan. Namun, penyelesaian
kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak selamanya berjalan dengan lancar.
Adanya kasus yang tidak atau belum selesai diakibatkan adanya faktor penghambat
yang memperlambat penyelesaian kasus tersebut. Maka dari itu, dapat disimpulkan
bahwa dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak terdapat faktor
pendukung dan penghambatnya. Pada masing-masing faktor pendukung dan
penghambat kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut dapat terbentuk dilihat
dari adanya faktor internal dan faktor eksternal kasus yang akan penulis jelaskan
dalam sub bab berikutnya.
2.4.1 Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu (Ismail dalam
Suyanto, 2010: 33-35). Saraswati (2009) dalam bukunya Perempuan dan
Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatakan bahwa faktor
pendukung utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah
37

Universitas Sumatera Utara

tangga melalui hukum pidana adalah korban sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa
faktor internal yang merupakan faktor pendukung utama dalam penyelesaian kasus
kekerasan seksual terhadap anak adalah anak yang menjadi korban atas tindak
kekerasan tersebut. Anak sebagai korban kekerasan seksual yang sudah menyadari
bahwa tindak kekerasan yang menimpa dirinya merupakan suatu hal yang tidak
benar, jadi disini korban menyadari bahwa ia punya hak untuk diperlakukan dengan
baik dan mendapatkan bantuan dari lembaga atau aparat hukum.
Selanjutnya menurut Saraswati untuk faktor penghambat kemungkinan bisa
berasal dari korban sendiri dengan berbagai alasan. Dalam konteks kasus kekerasan
seksual terhadap anak, salah satu alasannya adalah anak yang menjadi korban merasa
malu karena menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan
rapat- rapat atau korban merasa takut akan ancaman pelaku. Hal seperti demikian
serta dengan alasan-alasan yang lain dapat menjadi faktor penghambat dari sisi
internal individu anak korban kekerasan seksual.
2.4.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah penyebab yang datang bukan secara langsung dari
dalam diri individu, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhi. Saraswati
(2009) mengungkapkan bahwa selanjutnya langkah korban kekerasan dalam rumah
tangga untuk melapor kepihak yang berwenang akan makin mudah apabila didukung
oleh keluarga dekatnya seperti ayah, ibu atau saudara, dan masyarakat baik secara
perorangan maupun lembaga. Sama halnya dengan kasus kekerasan dalam rumah
tangga tersebut, terdapat faktor yang berasal dari luar individu anak korban
kekerasan seksual. Dukungan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap
anak yang disarankan adalah meminta perlindungan dari aparat penegak hukum,
38

Universitas Sumatera Utara

ketua RT/RW, dan saran untuk berkonsultasi kepada lembaga-lembaga yang
menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga yang ada di masyarakat. Maka
adanya intervensi yang baik dari pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian
kasus tersebut dapat mendukung agar kasus terselesaikan.
Selain itu menurut Saraswati hambatan juga bisa terjadi dari lingkungan
masyarakat yang cenderung sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya
kekerasan. Kondisi-kondisi ini umumnya dapat menyebabkan korban mencabut
kembali laporannya di kepolisian. Bila hambatan tersebut datangnya dari aparat
maka umumnya kepolisian kurang familier dalam menangani permasalahan KDRT
dengan korbannya perempuan atau kalaupun korbannya anak perempuan maka yang
selayaknya menangani kasus adalah petugas wanita. Selain itu aparat umumnya
cenderung berpandangan bahwa korban yang salah sehingga terjadi kasus kekerasan
yang menimpa dirinya, contohnya kasus perkosaan. Hambatan-hambatan tersebut
juga merupakan contoh-contoh dari sekian banyak faktor eksternal yang menjadi
penghambat penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga kasus
menjadi tidak selesai atau lambat prosesnya.
Berdasarkan penjelasan daripada faktor eksternal diatas, adapun yang dapat
menjadi faktor pendukung dan penghambat berpengaruh dalam penelitian mengenai
kasus kekerasan seksual terhadap anak ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pihak keluarga/pelapor dari anak korban kekerasan seksual.
2. Pihak pelaku/terlapor tindak kekerasan seksual terhadap anak.
3. Proses hukum dengan APH (Aparat Penegak Hukum) yang terlibat
dakam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak.

39

Universitas Sumatera Utara

4. Pihak pendamping dan fasilitator bagi anak korban kekerasan seksual
serta pelapor pengaduan kasusnya (dalam penelitian ini KPAID
SUMUT).
5. Pihak-pihak lain yang terkait (media massa yang meliput, pengacara,
dll).
2.5 Kerangka Pemikiran
Permasalahan anak khususnya di Sumatera Utara sebagai salah satu Provinsi
di Indonesia semakin memprihatinkan dengan tingginya angka pengaduan atas tindak
kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Kekerasan seksual merupakan salah satu
dari sekian banyak klasifikasi kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. kasus
ini menjadi kasus kedua tertinggi yang dilaporkan ke pihak KPAID SUMUT dalam
dua tahun terakhir ini setelah kasus Hak Kuasa Asuh.
Lembaga perlindungan anak, salah satunya Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT) memiliki peran
penting dalam memberikan penanganan, pendampingan, dan pengawasan dalam
setiap kasus kekerasan dan diskriminasi khususnya dalam penelitian ini adalah kasus
kekerasan seksual. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memberikan
perlindungan pada anak yang dilaksanakan di KPAID SUMUT yakni berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan
terwujudkan dalam Pokja di bidang Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan mengarah pada upaya menyelesaikan salah satunya kasus
kekerasan seksual terhadap anak di Sumatera Utara serta memberikan pendampingan
dan pengawasan untuk memenuhi hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan.

40

Universitas Sumatera Utara

Menurunnya jumlah kasus kekerasan seksual dengan klasifikasi sebagai
kasus yang selesai berdasarkan data kasus yang diadukan ke Pokja Pengaduan dan
Fasilitasi Pelayanan KPAID SUMUT dari tahun 2014 ke tahun 2015, menimbulkan
pertanyaan dan permasalahan akan hal apa saja yang berpengaruh pada penurunan
penyelesaian kasus tersebut. Hal-hal tersebut dapat dikatakan sebagai faktor yang
mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak. Faktor yang
berasal dari dalam diri individu anak korban kekerasan seksual sebagai faktor
internal dan juga faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar individu dapat
memberikan penjelasan pada adanya faktor yang mendukung maupun menghambat
penyelesaian kasus tersebut. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk
mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan
seksual terhadap anak dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
Provinsi Sumatera Utara.
Skematisasi kerangka pemikiran adalah proses transformasi narasi yang
menerangkan hubungan atau konsep-konsep atau variable-variabel penelitian
menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada hanyalah perubahan cara
penyajian dari narasi menjadi skema (Siagian, 2011: 132). Untuk itu skematisasi
kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

41

Universitas Sumatera Utara

Bagan Alir Pemikiran
Anak

Kasus Kekerasan
Seksual terhadap
Anak

Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Daerah Provinsi
Sumatera Utara (KPAID
SUMUT)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penyelesaian Kasus Kekerasan
Seksual terhadap Anak

1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal

Faktor
Pendukung

Faktor
Penghambat

Bagan 2.2 Bagan Alir Pemikiran

42

Universitas Sumatera Utara

2.6 Definisi Konsep
Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan
peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal-hal yang sejenisnya. Konsep diciptakan
dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai
ciri- ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah
pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa
yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan
tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep–konsep yang
dijadikan obyek penelitian, maka seorang penelti harus menegaskan dan membatasi
makna–makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan
makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara
sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah
pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian
(Siagian, 2011: 138).
Adapun untuk lebih mengetahui pengertian yang jelas mengenai konsepkonsep yang akan diteliti, maka peneliti memberikan batasan konsep yang akan
digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Faktor dalam penelitian ini adalah sesuatu yang mempengaruhi atas
terjadinya hal tertentu.
2. Anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan,
yang mengalami tindakan kekerasan seksual dan kasusnya berada
dalam dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
43

Universitas Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara.
3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera
Utara dalam penelitian ini adalah salah satu lembaga/institusi
pemerintah bersifat independen yang memiliki peran penting dalam
memberikan penanganan, pendampingan, dan pengawasan bagi
setiap anak-anak korban kekerasan dan diskriminasi khususnya
dalam penelitian ini adalah kasus kekerasan seksual di Sumatera
Utara.
4. Penyelesaian kasus kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah
kasus yang telah selesai dalam penanganan KPAID SUMUT, dalam
arti terlapor atau pelaku tindakan pidana kekerasan seksual terhadap
anak tersebut telah mendapat vonis hukuman dari pengadilan berupa
penjara dan denda, dikabulkannya hak restitusi apabila diajukan
oleh pihak korban, serta
dikembalikan

kepada

anak korban kekerasan seksual

orangtuanya

setelah

mendapatkan

perlindungan berupa hak rehabilitasi fisik, psikis, dan reintegrasi
sosial di RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) milik
Kementerian Sosial RI, RUPA (Rumah Perlindungan Anak) milik
KPAID SUMUT, atau di rumah perlindungan anak lainnya dengan
pendampingan KPAID SUMUT bersama pihak Pekerja Sosial atau
Sakti Peksos Kemensos RI terkait
5. Faktor internal dalam penelitian ini adalah faktor yang berasal dari
individu anak korban kekerasan seksual.
6. Faktor eksternal dalam penelitian ini adalah faktor yang berasal dari

44

Universitas Sumatera Utara

luar individu anak korban kekerasan seksual.
7. Faktor pendukung dalam penelitian ini adalah faktor yang
menyebabkan kasus kekerasan seksual terhadap anak selesai
prosesnya.
8. Faktor penghambat dalam penelitan ini adalah faktor yang
menyebabkan lambannya proses penyelesaian kasus kekerasan
seksual terhadap anak sehingga kasus belum selesai atau tidak
selesai.

45

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

8 143 150

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 22 137

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 13

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 15

POLA ASUH ORANG TUA ANAK KORBAN PERCERAIAN DAMPINGAN KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA (KPAID-SU)

0 0 9