Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya
terhadap dunia (Wibowo, 2013:36). Paradigma penelitian mengarahkan peneliti
dalam memandang suatu masalah dan menjawab masalah dalam penelitian.
Dalam konteks keilmuan, paradigma disebut sebagai perspektif, mahzab
penelitian, atau teori, model, pendekatan, kerangka konseptual, strategi
intelektual, kerangka pemikiran, serta pandangan dunia (Mulyana, 2001:9).
Paradigma dalam penelitian digunakan untuk menyadari bahwa suatu
pemahaman selalu dibangun oleh keterkaitan antara apa yang menjadi
pengamatan dan apa yang menjadi konsepnya. Penggunaan paradigma dapat
mengimbangi perubahan fakta sosial yang terus menerus berubah dan mewajibkan
peneliti untuk toleran pada perbedan cara pandang, serta bijak dalam
menggunakan pelbagai metode (Ardianto dan Q-Anees, 2007:77), dengan
demikian peran paradigma menjadi sangat penting dalam penelitian, karena
mempengaruhi teori, dan analisis.
Paradigma pada bidang ilmu komunikasi sangat beragam, namun yang
sering digunakan adalah post-positivisme, interpretif, konstruktivis, dan kritis.
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang

dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya. Teori
konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak
menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya.
Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya
yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara
seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2014:166). Konstruksi personal diatur atau
diorganisasi ke dalam skema interpretif yang akan mengidentifikasi suatu objek
dan menempatkan objek itu ke dalam suatu kategori. Paradigma konstruktivisme

Universitas Sumatera Utara

melihat segala sesuatu lebih dalam dan kerucut, berbeda dengan positivis yang
melihat dari garis besarnya saja. Sumber dan sebab dari suatu kasus akan ditelaah
tahap demi tahap dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang mengarah kepada
jawaban paling mutlak dan jelas. Konstruktivisme pada dasarnya adalah teori
dalam memilih strategi. Prosedur riset konstruktivisme yang dilakukan biasanya
adalah dengan meminta subjek untuk memilih berbagai tipe pesan yang berbeda
dan mengelompokkannya ke dalam berbagai kategori strategi. Penelitian ini
menggunakan paradigma konstruktivisme untuk melihat bagaimana mahasiswa
sebagai subjek menilai media sosial yang berlandaskan kesadaran kritis sebagai

sebuah objek yang harus dianalisa isi pesannya, dan bagaimana pesan-pesan
tersebut berpengaruh dalam konteks sosial.
2.2 Kerangka Teori
Penelitian membutuhkan teori sebagai sebuah landasan yang mendukung
pemecahan masalah, dan menjadi titik tolak, dengan alasan tersebut, peneliti
menggunakan teori-teori yang relevan dengan topik permasalahan yang akan
diteliti, yaitu sebagai berikut:

2.2.1 Literasi Media
Istilah literasi media hingga saat ini masih belum banyak diketahui oleh
sebagian besar masyarakat awam dan masih merasa asing dengan istilah tersebut.
Rubin mendefinisikan, media literacy, then, is about understanding the source
and technologies of communication, the codes that are used, the message that are
produced, and the selection, interpretation, and impact of those message (Baran,
2003: 51). Defenisi yang dipaparkan oleh Rubin tersebut mengutarakan tentang
pemahaman mengenai sumber, isi dan segala unsur yang terdapat dalam informasi
yang disampaikan oleh media, kemudian proses pemilihan dan cara mengartikan
suatu pesan juga menjadi hal yang diperhatikan secara menyeluruh hingga
khalayak dapat memahami bagaimana dampak dari informasi tersebut terhadap
dirinya.


Universitas Sumatera Utara

Literasi media memang memiliki beragam definisi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli, salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Potter, “a set of
perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to internet the
meaning of the message we encounter” (Sunarto, 2012:129) . Pengertian tersebut
menyiratkan pengandaian sifat khalayak yang aktif dalam berinteraksi dengan
media. Relasi antara media dengan khalayak di zaman sekarang ini bersifat
niscaya. Artinya masyarakat modern tidak bisa melepaskan keberadaan dirinya
dari media massa.
Pengertian lain menyebutkan bahwa literasi media adalah suatu
keterampilan yang dapat dan selalu ditingkatkan untuk mempertimbangkan
pentingnya media massa dalam menciptakan dan memelihara budaya yang
membantu dan menentukan kehidupan kita (Baran, 2003: 50). Keterampilan
dalam melihat peran dari media massa ini dibutuhkan dalam menjaga kualitas
kehidupan dan berbudaya bagi khalayak, karena dengan semakin majunya
perkembangan, maka semakin terampil pula khalayak ditutuntut dalam menilai
media massa.
Alan Rubin menawarkan tiga definisi lain mengenai literasi media (Baran,

2003: 50). Yang pertama dari National Leadership Confrence on Media Literacy,
yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media Paul Messaris, yaitu
pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga
dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Sut Jhally, yaitu pemahaman
akan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan
transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut
menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran, dan rasionalitas, yaitu proses
kognisi terhadap informasi.
Literasi media juga dapat dipahami sebagai kemampuan membaca,
menulis, berbicara, berpikir, dan menonton. Ketiga kemampuan tersebut dapat
dilihat dari masing-masing aspek, dan kemudian dapat pula dijadikan satu aspek.
Ketika menonton, seseorang bisa melakukan semua hal itu sekaligus berkaitan
dengan isi dari apa yang ditonton oleh mereka, sebab ketika mampu melakukan
semua hal tersebut sekaligus hal itu menandakan bahwa kemampuan berpikir
penonton sudah lebih baik dari pada hanya melakukan satu-persatu dari yang di
uraikan oleh Adam dan Hamms (Raharjo, 2012:12).

Alverman, Moon dan


Universitas Sumatera Utara

Hagood mengatakan bahwa

literasi media kritis merupakan memberikan

individu-individu akses untuk memahami bagaimana teks-teks cetak dan bukan
cetak yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dapat membantu untuk
mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang dunia dan berbagai posisi sosial,
ekonomi, dan politik dimana tiap individu ada di dalamnya.
Aspek-aspek literasi media baik digital maupun bukan tidak berarti
menutup kemungkinan luasnya daya cakup yang harus dimiliki ketika
mengonsumsi media. Seperti yang dijelaskan oleh Alverman, Moon dan Hagood,
pemikiran individu dipaksa untuk dapat merespon tiap isi dari media yang mereka
konsumsi agar tidak hanya sekedar mengikuti apa yang disajikan oleh media,
tetapi memiliki keturutsertaan dalam menilai setiap aspek informasi yang mereka
dapatkan, sehingga ketika ada sebuah kesalahan seperti pemihakan kepada salah
satu pihak, khalayak bisa memprediksi bagaimana tingkat akurasi penyampaian
informasi media tersebut.
Messaris menjelaskan bahwa literasi media dalam kajian yang sama dapat

didefenisikan sebagai pengetahuan tentang bagaimana media massa menjalankan
fungsinya dalam masyarakat. Definisi ini hampir berhubungan dengan penjelasan
di atas, yaitu pengetahuan khalayak mengenai semua aspek pekerjaan media
seperti landasan ekonomi, struktur organisasi, efek psikologis, konsekuensi sosial,
dan yang utama dari itu adalah bahasa media, yakni konvensi-konvensi
representasional, dan strategi-strategi retoris dari iklan, program-program televisi,
dan bentuk-bentuk lain dari isi media massa (Raharjo, 2012:13).
Definisi-defisi tersebut memaparkan bahwa penekanan definisi-definisi
tersebut adalah suatu kondisi khalayak yang secara aktif mampu memikirkan
segala sesuatu bagi dirinya dari berbagai aspek kehidupan yang ada, dan dapat
pula menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan media yang dikonsumsi.
Berbagai kemampuan tersebutlah yang menjadi tujuan literasi literasi media agar
khalayak memiliki kesadaran dalam menggunakan media dalam kehidupannya
secara individu dan berkelompok.

Universitas Sumatera Utara

Perpaduan

antara kecakapan


dengan

pengetahuan,

The National

Leadership Conference on Media Literacy dalam Potter mengatakan bahwa
seseorang yang melek media dapat mengartikan, mengevalusi, menganalisis, dan
memproduksi pesan-pesan baik media cetak maupun media penyiaran (Raharjo,
2012:13). Orang-orang juga butuh untuk mengetahui lima hal yaitu:
1. Pesan-pesan yang dikonstruksikan.
2. Pesan-pesan media diproduksi dalam konteks ekonomi, sosial, politik,
historis, dan estetis.
3. Interpretasi terhadap proses penciptaan terhadap makna yang ada
dalam penerimaan pesan yang berisi interaksi antara pembaca, teks,
dan budaya.
4. Media memiliki bahasa yang unik, sebuah karakteristik yang
mempresentasikan beragam bentuk, genre, dam sistem lambang
komunikasi.

5. Representasi media memainkan peranan dalam pemahaman orang
tentang realitas sosial.
Menurut Hoobs, ia melihat pada apa yang terjadi dengan pesan yang
disampaikan media massa, dan dalam pendangannya, pesan-pesan yang disajikan
media massa seperti berikut (Iriantara, 22: 2009):
1. Pesan-pesan yang dikonstruksi
2. Pesan-pesan media merepresentasikan dunia
3. Pesan-pesan media memiliki tujuan dan konteks ekonomi dan politik
4. Individu membuat makna terhadap pesan media melalui penafsiran
Perihal tersebut menggambarkan mengenai bagaimana media merangkai
pemberitaan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat sehingga literasi media
berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang dianggap merugikan.
Literasi media tidak terlepas dari berbagai unsur yang membentuknya
menjadi sebuah bidang pengatahuan. Yayasan Pengembangan Media Anak
(YPMA) dan Departemen Komunikasi FISIP – Universitas Indonesia telah

Universitas Sumatera Utara

mengemukakan


bahwa

literasi

media

harus

memiliki

beberapa

unsur

(Tamburaka, 2013:23), yaitu:
1. Khalayak
2. Pemberdayaan, dan
3. Kritis
Ada beberapa faktor penghambat seperti yang dipaparkan oleh
Buckingham dan Domaile (Iriantara, 2009:34 ), bahwa di 52 negara menunjukkan

bahwa penghambat pengembangan literasi media ini adalah:
1. Konservatisme sistem pendidikan.
2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting
untuk dipelajari.
3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yang melekat
(inherent) pada pendidikan media.
Sejumlah isu yang mengemuka dalam literasi media ada yang mencul ke
permukaan. Menurut Burn dan Durran, yang petama, bahwa literasi media adalah
sesuatu yang bersifat kultural, dimana masyarakat harus dilibatkan secara aktif.
Kedua, literasi media menyangkut tentang berfikir kritis. Ketiga, literasi media
bersifat kreatif (Nur dan Junaedi, 2013:51).
Keberhasilan iterasi media tidak terlepas dari peran pendidikan media, dan
keberhasilan pendidikan media ditentukan oleh berbagai faktor yang tidak hanya
melibatkan dunia pendidikan, namun juga profesional media dan dukungan
kelembagaan. Hal ini menyangkut tujuan dari pendidikan media itu sendiri yaitu
literasi media yang berupa kemahiran yang dinamakan kompetensi media.
Secara umum, literasi media memiliki tiga tujuan pokok, yakni perbaikan
dan peningkatan kehidupan individu-individu, pengajaran (literasi media perlu
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan), dan literasi media sebagai aktivisme
atau gerakan sosial (Raharjo, 2012:14). Sedangkan Masterman mengatakan bahwa

tujuan dari literasi media yaitu untuk menghasilkan warga masyarakat yang wellinformed dapat menilai diri mereka berdasarkan bukti-bukti yang ada. Tujuan

Universitas Sumatera Utara

literasi media juga dipaparkan oleh The National Leadership Conference on
Media Literacy yang mengatakan bahwa tujuan mendasar dari literasi media
adalah otonomi kritikal dalam berhubungan dengan semua media yang meliputi
tanggung jawab sosial, apresiasi dan ekspektasi estetika, advokasi sosial, harga
diri, dan kompetensi pengguna. Masterman berpendapat bahwa tujuan dari literasi
media adalah untuk menjadikan warga masyarakat menjadi well-informed yang
dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan bukti-bukti yang tersedia,
bukan hanya sekedar dari kabar burung yang didengar. Pendidikan media tidak
berusaha mendesakkan gagasan tentang program-program televisi, surat kabar
film atau media sosial yang baik atau buruk.
Literasi media sebagai aktivisme atau gerakan sosial, Anderson memakai
istilah impact mediation untuk merujuk pada pikiran atau perilaku yang
distimulasi oleh isu-isu sosial yang dipengaruhi oleh isi media. Beberapa contoh
dari isu-isu tersebut adalah kekerasan, materialisme, distorsi dalam pemberitaan
dan strereotip terhadap ras, gender, orientasi seksual, dan kelas. Buckingham
mengatakan bahwa komunitas-komunitas yang berinteraksi dalam konteks sosial
dan kultural seharusnya diciptakan dan kesadaran ini seharusnya digunakan untuk
memutuskan posisi-posisi tekstual apa yang akan diterima (Raharjo, 2012:15).
Berdasarkan pandangan lain, Devito menawarkan cara-cara untuk
meningkatkan kemampuan literasi media. Hal yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan kepekaan terhadap media dengan mengkaji bagaimana dalam
penggunaan media (Raharjo, 2012:22). Jika memungkinkan, perlunya melakukan
pencatatan terhadap waktu yang digunakan dalam mengonsumsi pesan-pesan
media dalam sehari, media yang paling sering digunakan, maksud atau tujuan
menggunakan media, dan imbalan yang diperoleh dalam menggunakan media.
2.2.1.1 Elemen-Elemen Literasi Media
Silverblatt mengidentifikasi beberapa elemen yang menjadi dasar dalam
literasi media (Raharjo, 2012:15), yaitu :
1. Kecakapan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak mampu
mengembangkan penilaian yang independen tentang isi media.

Universitas Sumatera Utara

2. Pemahaman tentang proses komunikasi massa.
3. Kesadaran tentang dampak media terhadap individu dan masyarakat.
4. Strategi-strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan
media.
5. Pemahaman tentang isi media sebagai sebuah teks yang memberikan
pandangan ke dalam budaya dan kehidupan.
6. Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan memberi apresiasi
terhadap isi media.
7. Pengembangan kecakapan-kecakapan produksi yang efektif dan
bertanggung jawab.
8. Pemahaman mengenai kewajiban etis dan moral dari para praktisi
media.
Berikut penjelasan mengenai delapan elemen dalam literasi media:
Pertama, berpikir kritis tentu akan membuat penonton lebih dewasa dalam
memberi penilaian terhadap media, bukan hanya karena kontennya saja tetapi
secara keseluruhan. Berpikir secara kritis mengenai isi yang dikonsumsi
merupakan hal yang penting dalam literasi media. mengapa menonton apa yang
ditonton, membaca apa yang dibaca, mendengarkan apa yang didengarkan? Jika
tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka seseorang akan
dianggap tidak memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan pilihannya.
Kedua, jika mengetahui komponen-komponen dari proses komunikasi
massa dan bagaimana setiap komponen tersebut berhubungan, maka dapat tercipta
harapan-harapan tentang bagaimana khalayak dapat dilayani oleh media dalam
artian yang sesungguhnya. Selanjutnya yaitu bagaimana kesadaran khalayak
terhadap media. Tulisan dan cetakan telah merubah dunia dan orang di dalamnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh media. Jika mengabaikan dampak yang
bersumber dari media terhadap kehidupan pribadi, maka tidak cukup hanya
memiliki kemampuan untuk mengendalikan dampak yang terjadi, tetapi
konsekuensinya akan semakin buruk dengan menjadi budak media.

Universitas Sumatera Utara

Keempat, untuk mengonsumsi isi pesan media secara bijak, maka akan
dibutuhkan sebuah landasan yang berbasis pada keyakinan dan refleksi. Jika akan
menciptakan sebuah makna, maka haruslah memiliki peralatan yang dibutuhkan
(seperti pemahaman mengenai maksud dan dampak dari film dan konveksikonveksi video, seperti sudut bidik kamera dan tata lampu), selain itu untuk
mendiskusikan tentang sesuatu terkait isi media, maka kemampuan menganalisis
juga harus ditingkatkan.
Kehidupan modern seperti saat ini hampir sebagian besar aktivitas
komunikasi, membentuk pemahaman dan pandangan ke dalam budaya didominasi
oleh berbagai pesan-pesan media, dan tidak jarang pula isi media menjadi pacuan
sebagian individu agar tampil dan berpenampilan sebagaimana yang sering dimuat
oleh media dengan menampilkan gaya kaum selebritas sehingga dijadikan
trendsetter yang kemudian ditiru. Bahaya dari konten non-lokal bagi khalayak
yang tidak mampu membentuk pemahamannya mengenai berita seperti itu adalah
menghilangnya budaya lokal yang ada pada diri individu itu sendiri.
Isi media tidak selalu harus dicemooh dan diburukkan ketika ada
kesalahan ataupun ketika khalayak menyadari bahwa isi dari media tersebut tidak
pantas untuk ditayangkan. Literasi media tidak bermakna apabila berada dalam
kehidupan yang tidak kompromistik atau menjadi selalu tidak percaya terhadap
efek yang merusak dan degradasi budaya. Belajar untuk menikmati, memahami,
dan mengapresiasi isi dari media termasuk kemampuan untuk menggunakan
beragam titik akses guna mendekati isi media dari berbagai arah.
Penjelasan berikutnya yakni literasi tradisional beranggapan bahwa orang
yang dapat membaca juga dapat menulis. Literasi media juga beranggapan yang
sama. Definisi mengenai literasi media tidak hanya terkait dengan pemahaman
mengenai isi media yang efektif dan efisien, tapi juga penggunaan yang efektif
dan efisien pula. Oleh karena itu, individu-individu yang melek media seharusnya
dapat mengembangkan kecakapan yang produktif sehingga memungkinkan untuk
menciptakan pesan-pesan media yang bermanfaat.

Universitas Sumatera Utara

Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan
mengenai media dan segala hal yang bersangkutan mengenai media itu sendiri,
untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang seharusnya
maka langkah pertama yaitu dengan memahami kewajiban-kewajiban praktisi
media baik secara etis dan moral.
2.2.1.2 Karakteristik Literasi Media
Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau deskripsi
tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar dinilai
melek media (Raharjo, 2012:18).
1. Kecakapan dan informasi merupakan hal yang penting.
2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos diri
terhadap media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang ditemukan.
3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.
4. Literasi media bersifat multi dimensi.
5. Literasi media tidak dibatasi pada satu medium.
6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi
media yaitu kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya
dan menciptakan makna.
7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.
8. Orang yang melek media meningkat terpaan mindful-nya.
9. Orang yang melek media mampu memahami bahwa literasi media adalah
sebuah kontinum, bukan kategori.
Informasi yang dimiliki, namun tidak mempunyai kecakapan, maka akan
sulit untuk memahami informasi dengan baik. Informasi akan tersimpan dalam
memori namun tidak diintegrasikan ke dalam struktur-struktur pengetahuan.
Kecakapan dalam hal inilah yang dimaksud kemampuan untuk menganalisis
mengevaluasi, membuat sintesis, dan ekspresi persuasif. Sisi yang lain
menjelaskan, jika memiliki kecakapan kecakapan namun tidak merepresentasikan
diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia nyata, maka strukturstruktur pengetahuan kita menjadi sangat terbatas dan tidak seimbang. Industri

Universitas Sumatera Utara

media, isi media, efek media, dan informasi tentang media merupakan kawasan
utama dari pengetahuan.
Perspektif

dibangun

dari

struktur-struktur

pengetahuan.

Struktur

pengetahuan akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media yang
multi aspek: organisasi, isi, dan efeknya terhadap individu dan institusi. Semakin
banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, maka akan semakin banyak fenomena
media akan dapat dilihat. Semakin berkembang struktur pengetahuan, maka akan
semakin banyak konteks yang dimiliki untuk membantu memahami apa yang
dilihat, dan hal tersebut dapat memperluas perspektif dalam melihat media.
Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak dapat
muncul secara langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari setiap
individu. Pengembangan adalah proses jangka panjang yang tidak pernah
berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai tahapan literasi yang lengkap.
Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan yang lebih tinggi.
Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan, maka kecakapan yang
dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu, struktur-struktur pengetahuan tidak
akan pernah berakhir, karena media dan dunia nyata secara konstan mengalami
perubahan.
Berikutnya yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak
dapat dibatasi pada elemen-elemen kognitif saja, tapi juga berisi elemen-elemen
emosional, moral dan estetika. Struktur-struktur pengetahuan yang kuat akan
berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe informasi hilang,
maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.
Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan
membaca dan lambang-lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi media
adalah hal yang luas, yakni mengkonstruksikan makna dari pengalaman dan
konteks ekonomi, budaya, politik, dan lain sebagainya. Menjadi melek media
merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap terpaan media dan
mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media. Ketika
orang-orang melakukannya, maka mereka mengendalikan dengan menentukan

Universitas Sumatera Utara

apa yang penting dalam hidup mereka dan menata harapan untuk memperoleh
pengalaman dari hal-hal yang penting. Jika seseorang tidak melakukannya, maka
pesan-pesan

media

akan

melimpah

ke

dalam

kondisi

yang

kurang

menguntungkan.
Masterman menegaskan bahwa pendidikan media tidak berusaha untuk
memaksakan nilai-nilai budaya yang spesifik, tidak pula berusaha untuk
memaksakan gagasan-gagasan tentang apa yang baik dan buruk. Pendidik media
tidak mengartikan pesan-pesan yang baik dan buruk, tetapi menegaskan bahwa
terpaan yang reaktif terhadap pesan merupakan hal yang buruk, dan bahwa
menginterpretasikan pesan secara aktif adalah hal yang baik.
Seseorang yang mempunyai pandangan kuat mengenai fenomena media
sangat berpotensi untuk bertindak dalam persoalan melek media. Seperangkat
struktur pengetahuan tidak akan mengindikasikan melek media, tetapi orang harus
aktif dan proaktif dalam menggunakan informasi. Dengan demikian, orang yang
melek media hanya akan menggunakan sedikit waktu untuk memproses informasi.
Semakin sadar terhadap tujuan menggunakan media dan membuat keputusan
tentang bagaimana menyaring dan memaknai konstruksi media.
Pengukuran yang mutlak tidak ada dalam literasi media. Seseorang tidak
bisa dikatakan tidak memiliki literasi media dan tidak pula dikatakan seseorang
tersebut adalah sangat melek media. Perspektif mereka tentang media adalah
bagaimana orang diposisikan di sekitar kontinum dalam literasi media. Oleh
karena itu ada banyak variasi yang sangat beragam dalam literasi media.
Menurut Baran bahwa mengonsumsi media merupakan hal yang mudah,
namun ketika mengonsumsinya perlu kecakapan-kecakapan yang khusus
(Raharjo, 2012:21), antara lain:
1. Kemampuan dan keinginan untuk menciptakan upaya memahami isi,
memberi perhatian dan meyaring noise. Sesuatu yang mengganggu
keberhasilan komunikasi adalah noise, dan banyak gangguan seperti itu
dalam proses komunikasi massa yang dihasilkan dari perilaku konsumsi.

Universitas Sumatera Utara

2. Pemahaman tentang kekuatan isi media. Media massa ada dilingkungan
sekitar dan pesan-pesan yang disampaikan gratis atau relatif tidak mahal.
Banyak isi media yang dapat diprediksi dan tanpa makna, sehingga
mudah untuk memberikan catatan bahwa isi media terlalu sederhana
untuk bisa memengaruhi.
3. Kemampuan untuk membedakan reaksi emosional dari reaksi logisketika
merespon isi media dan bertindak di dalamnya. Isi media sering
dirancang untuk menyentuh aspek emosional. Menikmati kehilangan diri
sendiri ketika menikmati isi media.bereaksi secara emosional merupakan
sesuatu yang layak dan pantas.
Kecakapan lain diutarakan oleh Hoobs yaitu bahwa kecakapan yang
dibutuhkan oleh orang yang melek media merupakan kemampuan-kemampuan
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan. Kecakapan
produksi juga dibutuhkan jika dihadapkan dalam kondisi saat ini yang membuat
siapa saja bisa menjadi kaki-tangan media dengan menyebarkan informasi dengan
siapa saja tanpa ada batasan.
Kemampuan literasi media menurut Devito, memiliki cara-cara agar dapat
ditingkatkan. Hal yang yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kepekaan
terhadap media dengan mengkaji bagaimana menggunakan media, jika
memungkinkan perlu untuk melakukan pencatatan terhadap waktu yang
digunakan dalam mengonsumsi pesan-pesan media dalam sehari, media yang
paling sering digunakan, maksud atau tujuan menggunakan media, dan imbalan
yang kita peroleh dalam menggunakan media.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi media
adalah kemampuan berpikir kritis seseorang dengan menganalisa, mengamati, dan
memiliki pengetahuan mengenai media apa yag dikonsumsi, serta apa
kegunaannya dan bagaimana isi dari media tersebut dapat dipergunakan dalam
kehidupan. Seseorang tidak dapat dikatakan rendah melek media atau tinggi
melek media, karena literasi itu sendiri bersifat kontinum, sehingga semua itu
tergantung dari perspektif bagaimana seseorang melihat media dan seperti apa ia
menggunakannya apakah dengan baik atau tidak.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.3 Kesadaran Kritis dalam Literasi Media
Pemikiran teoritik tentang literasi media merupakan produk dari sejarah
intelektual barat. Pemikiran tersebut terkandung lebih kurang dua pernyataan
penting mengenai literasi media, yang pertama yaitu literasi media mendorong
munculnya pemikiran kritis khalayak terhadap program-program yang disajikan
media. Kedua adalah literasi media memungkinkan terciptanya kemampuan untuk
berkomunikasi secara kompeten dalam semua bentuk media, dan lebih bersikap
proaktif dari pada reaktif dalam memberi makna tehadap program-program yang
disajikan oleh media (Raharjo, 2012:22). Kemunculan literasi media menjadi
pendorong khalayak untuk harus bersikap kritis terhadap media beserta
kontennya, terlebih lagi dengan kehadiran berbagai media sosial yang menuntut
khalayak untuk lebih aktif lagi dalam bermedia, tetapi juga lebih menuntut untuk
tetap menjaga diri mereka dengan memiiki kesadaran kritisnya masing-masing
sehingga

media tetap marak namun tidak kebablasan dalam menyampaikan

informasi.
Kesadaran kritis juga sering dianggap sebagai remeh karena dianggap
tidak terlalu berpengaruh, namun sama seperti keterampilan lainnya, keterampilan
ini juga harus ditingkatkan, dan apabila kita menganggap betapa pentingnya
media massa dalam menciptakan dan memelihara budaya yang menolong kita
mendefinisikan diri kita sendiri dan kehidupan kita, ini adalah keterampilan yang
harus ditingkatkan. Keterampilan dalam berpikir kritis terhadap isi media yang
diserap adalah esensi dasar melek media, sehingga terjaganya nilai-nilai, sikap,
karakter, etika, budaya, merupakan hasil dari besarnya kesadaran dan kekritisan
tiap anggota masyarakat sebagai konsumen media. Khalayak yang mengabaikan
kesadaran kritis dalam bermedia akan mengahadapi kondisi yang sebaliknya,
terjebak di dunia utopis dan terbawa arus perubahan, dan bukan mengendalikan
dan mengarahkan kemana perubahan itu membawa.
Silverblatt (Baran, 2003:51) menyebutkan beberapa butir tujuan dari literasi
media, yang pertama adalah kesadaran kritis, memberi manfaat bagi khalayak

Universitas Sumatera Utara

untuk mendapatkan informasi secara benar, terkait cakupan media dengan
membandingkan antara media yang satu dengan yang lain. Yang kedua yaitu lebih
sadar akan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari, dan menginterpretasikan
pesan tersebut. Kemudian membangun sensitivitas terhadap program-program
sebagai cara mempelajari kebudayaan. Terakhir yaitu mengetahui pola hubungan
antara pemilik media dan pemerintah.
Dampak literasi media pada individu yang dipaparkan oleh Silversblatt,
yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Penjelasan Silverblatt
tersebut pada dasarnya sama dengan konsep kompetensi media yang dikemukakan
oleh Gapski dan Gehrke yang menekan pada daya kritis, refleksi, dan
independensi. Kesadaran kritis, pilihan kritis, pada dasarnya merupakan hal yang
bersangkutan satu dengan yang lain, yaitu kemampuan untuk melihat,
menganalisa, menilai, dan menginterpretasikan pesan yang ada yang kemudian
segala informasi yang diterima disaring dan dipilih berdasarkan tingkat kebutuhan
dan seberapa tinggi nilai faktualitas dan aktualitas, serta bagaimana informasi
tersebut dapat berdampak bagi kehidupan (Iriantara, 2009:35).
Kesadaran kritis dalam konteks literasi media menjadi sebuah hal yang
fundamental jika melihat dari dua gagasan yang dikemukakan oleh Silverblatt,
yaitu menjadi tujuan dan dampak dari literasi media bagi khalayak, sehingga
ketika dampak itu sudah tercapai, maka tercapai pulalah tujuan dari literasi media
tersebut. Tameng untuk menghadapi media telah terbentuk sedemikian rupa ketika
kesadaran dan kekritisan sudah dimikili oleh seseorang, ia tidak hanya dapat
melindungi diri sendiri tetapi juga dapat menjadi seorang pelindung bagi
khalayak.
Kegiatan

literasi

selain

meningkatkan

keterampilan

sebagaimana

dijelaskan sebelumnya juga bisa digunakan untuk menumbuhkan kesadaran
kegiatan ini dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap proses, konteks,
struktur, dan nilai produksi. Selain itu, peningkatan kesadaran bisa dilakukan
melalui denaturalisas media dengan cara menciptakan pemahaman baru bahwa
pesan-pesan media adalah konstruksi dan tidak terjadi secara alamiah. Media
merepresentasikan realita, bukan merefleksikan realita.

Universitas Sumatera Utara

Menurut O’Neil, adanya pergeseran dalam tujuan literasi media dari
paradigma proteksionis yang bertujuan melindungi dari pengaruh buruk media
massa menjadi paradigma kritis yang berupaya memberdayakan khalayak dengan
menumbuhkembangkan kesadaran kritis pada tiap individu, hal ini dikarenakan
sekedar melindungi tanpa melakukan apapun tentu dampak berbeda dengan segala
perkembangan yang ada di era globalisasi saat ini (Iriantara, 2009:21).
Penggunaan daya analisis dan berpikir tentunya tidak sekedar membatasi diri akan
konten-konten media, tetapi juga dapat memahami bagaimana industri media
menggunakan kontennya sebagai salah satu cara menjatuhkan mental dengan
tayangan dan informasi yang tidak layak.
Darmawan menjelaskan bahwa literasi media merupakan gerakan
membangun kesadaran dan kemampuan publik untuk mengendalikan penggunaan
media dalam memenuhi kebutuhannya. Kesadaran dan kemampuan yang
dimaksud bukan hanya kemampuan memilih media, namun juga dengan isi dari
media tersebut (Sasangka dan Darmanto, 2010:21), dan dengan memiliki media
literasi yang kritis, masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan, setidaknya dimulai dari individu ketika mereka berhadapan dengan
media biasa sampai kepada mereka harus menghadapi persaingan media yang
semakin ketat sehingga dimulai dari industri media raksasa hingga ke mediamedia baru yang memiliki kekuatan yang diperhitungkan denga tampilan dan
gaya barunya dalam menyajikan informasi. Khalayak harus tahu bagaimana
memposisikan diri agar melek dengan semua pesan-pesan media yang ada dengan
daya persaingan mereka yang semakin sengit itu. Cara berpikir juga menjadi salah
satu faktor apakah khalayak sudah cukup kritis atau tidak. Hal tersebut dapat
dilihat dari bagaimana prilaku seseorang setelah mengetahui sebuah informasi
yang didapatnya dari media apakah ia akan langsung membenarkan apa yang
diterimanya atau kembali mencari refenrensi dari sumber yang berbeda.
Kondisi media yang kini tengah menghadapi beragam media baru tentunya
membutuhkan pula kesadaran kritis tiap anggota masyarakat agar tidak terikut
arus media seperti media sosial, yang juga sedang marak digunakan oleh berbagai
kalangan yang membutuhkan saluran komunikasi yang memudahkan segala

Universitas Sumatera Utara

kebutuhan, seperti mengakases berita, baik video maupun tulisan dari berbagai
sumber baik media resmi hingga sekarang banyak kalangan masyarakat sendri
yang menjadi journalist citizen, mengaharuskan agar memiliki kesadaran dalam
menggunakan media serba canggih tersebut. Hal itu dapat menjadi penengah di
antara informasi dari media sosial dengan masyarakat dan berfungsi sebagai
penyaring alami sampah-sampah media dengan informasi yang berguna, namun
kekritisan dalam media sosial juga sangat penting mengingat yang menyebarkan
informasi adalah masyarakat luas, tentu akan menjadi sebuah kerja keras untuk
menganalisis setiap berita yang diterima dari beragam kalangan agar tidak mudah
terkecoh dengan berita ngasal yang sering kita dapatkan.
Hoobs menangkap daya kritis masyarakat dalam menghadapi media baru
disebabkan oleh banyaknya informasi yang tersedia, dam semakin mudah juga
cara untuk mendapatkan informasi tersebut, hal itu justru meningkatkan kesulitan
untuk menentukan nilai sesungguhnya dari informasi yang ada (Hastarjo,
2012:153). Khalayak cenderung lebih mementingkan format dan design penyajian
informasi di media baru seperti media sosial dibandingkan dengan tingkat
kredibilitas isi informasinya. Rendahnya tingkat kredibelitas yang beredar di
media sosial seharusnya menjadi sebuah ancaman bagi perkembangan informasi
bagi khalayak, namun hal ini seperti masih tidak terlihat sebagai sesuatu yang
membahayakan karena banyaknya yang belum memiliki kesadaran kritis mereka
dalam bermedia sosial.
Kesadaran kritis pada masyarakat membutuhkan dukungan untuk
mengembangkan pemahaman mengenai kesadaran dalam melek media dan lebih
membimbing dalam menggunakannya, yang disebut sebagai kelompok strategis.
Kelompok ini disebut strategis karena ada kemungkinan menyebarluaskan
kembali pengetahuan dan keterampilan melek media yang dimilikinya kepada
warga masyarakat yang lain. Kelompok-kelompok strategis ini dapat menjadi
agen penyebarluas kemampuan melek media di lingkungannya. Salah satu yang
termasuk ke dalam kelompok strategis tersebut adalah guru.

Profesi sebagai

pendidik memungkinkan untuk berinterasksi dengan siswa dan ada kalanya
menjadi sosok panutan untuk siswa-siswinya. Para guru dapat menyelipkan

Universitas Sumatera Utara

informasi-informasi dan seputar pengetahuan mengenai melek media ini di tengah
pelajaran yang disampaikannya. Secara sosial juga, guru memiliki posisi sosial
yang istimewa di tengah lingkungannya sehingga kerap menjadi panutan bagi
warga sekeliling lingkungannya. Sisi strategis lain yang membuat sosok guru
menjadi istimewa adalah perannya dalam mempersiapkan masa depan generasi
muda, yang artinya guru merupakan pembentuk generasi melek media di tengah
semakin pesatnya media berkembang nanti.
Kelompok strategis lainnya adalah ibu rumah tangga yang bekerja pada
sektor formal maupun informal, dan ada beberapa alasan yang menjadi latar
belakang mengapa ibu rumah tangga merupakan kelompok strategis, yaitu:
1. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja ataupun bekerja menjalankan peran
penting dalam mendidik putra-putrinya, dengan posisi seperti itu, maka
ibu rumah tangga diharapkan mampu menyebarluaskan pemahamannya
atas literasi media pada anggota keluarga dan sesama warga masyarakat.
2. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja pada umumnya memiliki waktu
luang yang lebih banyak, sehingga sering mengisi waktunya
menonton

televisi,

mendengarkan

siaran

radio

atau

dengan
membaca

koran/majalah, oleh sebab itu ibu rumah tangga masuk dalam salah satuu
kelompok khalayak sasaran penting bagi media massa, baik media cetak
maupun elektronik. Khalayak yang menjadi sasaran media yang penting
berarti juga menjadi sasaran iklan-iklan komersial yang mendorong sikap
konsumtif,

sehingga

diperlukan

kemampuan

untuk

secara

kritis

mengonsumsi pesan-pesan media.
3. Ibu rumah tangga merupakan pelaksana pendidikan keluarga yang
dilakukan oleh berbagai organisasi ibu seperti PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga), dan Posyandu (Pos Layanan Terpadu), maka
pendidikan literasi media ini bisa dikatakan sebagai bagian dari pendidikan
keluarga yang bertujuan untuk menyebarluaskan dan memperkaya
pengalaman anggota-anggota keluarga untuk berpartisipasi dengan
terampil dalam kehidupan keluarga sebagai satuan kelompok.

Universitas Sumatera Utara

4. Media massa sendiri sering menempatkan ibu rumah tangga sebagai salah
satu khalayak sasaran yang utama, sehingga pengelola media menyediakan
program khusus yang ditujukan untuk ibu rumah tangga.
Peran ibu rumah tangga juga sebagai sasaran utama terkait posisi strategis
mereka dalam menyebarkan kesadaran media kepada keluarga, terutama anakanak, yang dalam hal ini ketika seseorang mendidik seorang ibu rumah tangga,
maka sama dengan mendidik dua generasi sekaligus, sehingga peran ibu di dalam
sebuah keluarga sangat penting untuk mengayomi dan membimbing keluarga dan
anak-anaknya dalam menggunakan media (Tim Peneliti PKMBP, 2013:77).
Kesadaran kritis dalam literasi media disebut juga sebuah hubungan yang
mutlak dan saling terikat satu dengan yang lainnya karena apabila memiliki
kesadaran kritis sudah dipastikan orang tersebut melek media, begitu pula
sebaliknya jika sudah benar-benar memahami dan mengaplikasikan literasi media
dalam kehidupan, maka akan terbentuk kesadaran kritis di dalam diri sehingga
dapat menyaring berbagai informasi yang diterima untuk masing-masing individu.
2.2.2 Kesadaran Kritis
Menurut Paulo Freire, ada tiga bentuk kesadaran yang dimiliki manusia,
yang pertama kesadaran kritis yaitu kesadaran yang paling tinggi dalam arkeologi
kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesadaran kritis. Manusia dalam
kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu
memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh, mampu memahami
pemahaman yang kurang baik dalam teks dan realitas. Dan yang perlu diingat
pada perkataan Freire adalah kesadaran kritis tidak bisa diimpose atau
didepositokan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam diri
sendiri . Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui saat
ini. mungkin karena masyarakat sudah terbiasa di-nina bobo-kan. Sehingga susah
untuk berpikir kritis. Akibatnya susah untuk mencapai keadilan. Karena jumlah
mereka yang berpikir kritis ini masih sedikit kalah dengan suara mereka yang
memiliki kekuasaan.

Universitas Sumatera Utara

Berbeda dengan kesadaran naif, kesadaran ini justru melihat kalau sistem
dan strukturlah yang menjadi sumber masalah. Maka dalam pandangan ini,
masyarakat harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem,
menemukan

cela,

lalu

berusaha

membangun

ruang

baru

yang

lebih

mengembangkan potensi masyarakat (http://www.kompasiana.com).
2.2.3 Media Baru dan Literasi Media Digital
Media baru dalam katergorisasi media banyak ditafsirkan sebagai media
dengan sebuah hal yang baru, dan bahkan baru dalam konteks jenisnya. Flew
merangkum beberapa pendapat ahli ke dalam sebuah definisi mengenai media
baru, yaitu semua bentuk media yang menggabungkan 3 C; computing
(komputerisasi) dan teknologi informasi, communication networks (jaringan
komunikasi), dan content (isi media) dalam format digital, dimana proses
penggabungan itu sendiri juga diawali dengan C, yaitu convergence (konvergensi)
(Hastarjo, 2012; 143). Flew juga mengatakan bahwa media baru dapat dipahami
sebagai media digital, yakni semua isi media yang menggabungkan dan
menyatukan data, teks, suara, dan berbagai gambaran/citra yang disimpan dalam
format digital dan didistibusikan melalui jaringan komunikasi seperti kabel serat
optik broadband, satelit, dam sistem transmisi gelombang mikro. Media atau
informasi dalam format digital memiliki ciri-ciri atau beberapa karakteristik yang
dikemukakan oleh Feldman ( 2012:144), yaitu:
1. Manipulable
Informasi berbentuk digital sangat mudah untuk diubah pada setiap tahap
pembuatan, penyimpanan, pengiriman, hingga penggunaan. Contohnya, dalam
setiap perubahan yang perlu dilakukan pada e-mail, kita hanya butuh waktu
beberapa menit saja untuk merubahnya. Berbeda dengan surat yang dikirim
melalui pos, yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa meralat surat yang
salah untuk sampai ke penerimanya.

Universitas Sumatera Utara

2. Networkable
Informasi digital dapat digunakan bersama dan saling bertukar di antara
sejumlah besar pengguna secara bersama-sama dan melintasi jarak yang hampir
tak terbatas. Misalnya, seseorang ingin memnyebarkan undangan pesta ulang
tahunnya kepada seluruh teman-temannya di Facebook, maka ia tidak perlu
mengirimkan satu persatu undangan tersebut, melainkan bisa menggunakan
sebuah room event yang dapat mengundang orang-orang kedalamnya dan berbagi
informasi yang dapat dilihat oleh semua orang yang dapat melihatnya. Kemudian
dari room tersebut, para undangan bisa mengkonfirmasi kehadirannya apakah ia
bisa datang atau tidak.
3. Dense (padat)
Informasi digital dalam jumlah yang sangat besar dapat disimpan ke dalam
media penyimpanan yang sangat kecil. Contohnya, foto-foto yang diambil dengan
kamera lama harus menggunakan film sebagai media penyimpanannya, namun
dengan kamera digital semua foto-foto yang banyak dapat disimpan dalam sebuah
kartu memori.
4. Compressible (dapat dimampatkan)
Kandungan informasi yang besar dapat dikompresi ke dalam file yang jauh
lebih kecil dan dapat diuraikan kembali ke ukuran semula apabila diperlukan.
Contohnya adalah mengubah format video dari mp4 ke 3gp.

5. Impartial
Informasi dalam format digital diperlakukan sama tanpa memperdulikan
isi, pemilik, pecipta, atau tujuan penggunaannya.
Penggunaan media baru di kalangan anak muda banyak mendapat
perhatian khusus karena menimbulkan beberapa permasalahan yang krusial.
Jenkins (Hastarjo, 2012:150) menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga isu penting
yang harus dihadapi, yang pertama adalah masalah kesenjangan partisipasi. Hal
ini terkait dengan akses yang belum merata kepada semua orang untuk bisa

Universitas Sumatera Utara

menggunakan internet dan media baru. Kesenjangan ini terjadi hampir dari segala
aspek, mulai dari geografis, dimana belum seluruh lokasi di sebuah negara
memiliki akses internet, dari aspek ekonomis-sosiologis, yakni meskipun sebuah
wilayah mempunyai jaringan internet yang baik, namun tidak semua kelompok
dan golongan masyarakat di wilayah tersebut mempunyai kemampuan dan
kesempatan yang sama untuk menggunakannya dikarenakan keterbatasan
finansial atau ilmu pengetahuan.
Kedua, adalah permasalahan

mengenai pemahaman anak-anak muda

terhadap apa yang sedang mereka lakukan saat menggunakan media baru, dengan
kata lain persoalan ini diistilahkan dengan sebutan transparansi. Anak-anak
mudan sekalipun semakin terbiasa dengan penggunaan media baru, baik sebagai
sumber dan pendukung di dalam kegiatan mereka mengekspresikan diri ataupun
menjalin hubungan sosial, namun justru seringkali memiliki kemampuan yang
terbatas dalam menelaah dan mengkritisi media baru itu sendiri. Kemampuan
yang kurang dalam mengkritisi isi media baru ini ditanggapi juga oleh Hobbs
(Hastarjo, 2012:153) yang menjelaskan bahwa semakin banyaknya informasi yang
ada dan semakin mudahnya mudahnya cara mendapatkannya, justru semakin
tinggi kesuliatan utnuk menentukan nilai sesungguhnya dari informasi yang
tersedia. Anak-anak muda cenderung lebih mementingkan format dan tampilan
beritannya dibandingkan dengan kredibilitas, isi, dan aturan dari penyebar
beritanya.
Ketiga adalah tantangan dalam hal etika. Dalam buku Fischman yang
berjudul In Making Good; How Young People Cape with Moral Dilemmas at
Work, ia menemukan bahwa kebanyakan wartawan atau jurnalis muda belajar
norma dan etika jurnalisme dari praktek menulis berita di koran sekolah, yang
mana mereka melakukan aktivitas jurnalistik di dalam sebuah lingkungan yang
bisa dikatakan terhindar dan terlindungi dari pengaruh luar dan ada dibawah
bimbingan orang dewasa yang memiliki keahlian atau kejuruan pada praktek
jurnalistik. Hal yang seperti ini tidak dialami oleh sebagian besar anak-anak muda
pengguna media baru, karena sejak awal mengenal media baru mereka tidak
mendapat pemahaman yang tepat dan dari orang yang tepat pula mengenai media

Universitas Sumatera Utara

baru. Ketiga isu tersebut menjelaskan bahwa sangat pentingnya usaha untuk
melakukan literasi media baru, terutama di kalangan anak muda yang menjadi
mayoritas penggunanya.
2.2.4 Social Media (Media Sosial)
Media sosial merupakan salah satu bagian dari media baru yang
perkembangannya sangat pesat, dan kebanyakan penggunanya adalah anak muda,
sehingga kehadiran media sosial di media baru sangat diperhitungkan . begitu juga
dengan nominal jumlah penggunanya yang semakin meningkat.
Informasi dalam media sosial bisa didapat begitu mudah baik secara lokal
dan interlokal, nasional dan internasional. Di satu sisi, hal tersebut sangat
bermanfaat dalam perkembangan umat manusia, namun di sisi yang lain media
sosial juga merupakan ancaman yang sangat merusak. Berikut beberapa manfaat
dan bahaya dari sosial media (Nur dan Junaedi, 2013: 60-61):
1. Melatih anak untuk mengungkapkan ekspresinya, seperti menuliskan
hal-hal yang menggambarkan suasana hati seseorang di beranda
Facebook atau menuliskan aktivitas yang sedang dilakukan di beranda
Blackberry Messenger..
2. Media sosial menjadikan khalayak lebih bersahabat dengan lingkungan
sosialnya. Anak muda akan lebih mudah mendapatkan teman yang
sepaham atau memiliki hobi yang sama melalui media sosial dengan
bergabung di sebuah komunitas atau grup.
3. Melatih untuk memiliki kepedulian sosial. Empati dapat terbentuk
dengan komunikasi yang dilakukan, seperti mengucapkan selamat
ulang tahun, dan lain-lain.
4. Situs jejaring sosial dapat menjadi media untuk mempromosikan
kreativitas, seperti mempromosikan video stopmotion untuk dijadikan
bisnis dengan memposting foto di Instagram dan Youtube, dan
menggunakan blog seperti Wordpress guna mempromosikan hasil
karya fotografi kepada khalayak.

Universitas Sumatera Utara

Media sosial tidak hanya memiliku manfaat bagi penggunanya, bahaya
yang ada juga kerap mengancam kehidupan, yaitu:
1. Munculnya rasa malas untuk berkomunikasi di dunia nyata karena merasa
menemukan dunianya di internet.
2. Tata bahasa yang sesuai dengan aturan yang berlaku di tiap negara di
dunia media sosial seringkali diabaikan, sehingga hal ini bisa membuat
semakin membudayakan menulis di luar Ejaan Yang Disempunakan
(EYD) dan dalam bahasa Indonesia tidak sesuai dengan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Kemunculan bahasa alay adalah bukti nyata
tentang hal ini.
3. Situs jejaring sosial menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan. Kasus
penculikan dan kekerasan dapat dimulai dari perkenalan mereka dengan
orang yang tidak dikenal melalui situs pertemanan di media sosial. Sejauh
ini sampai pada tahun 2012, 27 dari 129 anak-anak yang dilaporkan hilang
kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia diyakini telah
diculik setelah bertemu penculiknya di Facebook atauakan dibunuh.
Fenomena penggunaan media sosial saat ini semakin menekankan pada
persoalan tentang personal menjadi hal yang paling dominan saat ini. Menurut
Santosa, personalisasi penggunaan media ini menjadi menarik dikarenakan
pengguna media sosial merasa bahwa yang terlibat dalam jual beli informasi
adalah mereka yang menjadi anggota jejaring yang relatif mereka kenal secara
sosial, sehingga sering disebut bahwa media sosial merupakan praktek
kekerabatan berbasis teknologi media internet, sehingga status yang sifatnya
personal dianggap relevan untuk diketahui kerabat mereka di jejaring sosial (
Nur dan Junaedi, 59:2013),.
Mayfield dalam bukunya What is social media, membagi media sosial
menjadi tujuh jenis dasar. Pembagian ini menjelaskan beberapa hal mengenai
fungsi di media sosial. Pembagian media sosial berdasarkan fungsi tersebut akan
dijelaskan di bawah ini (Harwina (2011) Skripsi Peranan Kaskus dalam
Mengkomunikasikan Kegiatan Klastic Yogyakarta, Universitas Atma Jaya), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Sosial Networks.
Situs yang mendukung orang-orang dalam membangun halaman web
pribadi dan dapat berkomunikasi dengan teman lama maupun menemukan teman
baru, berbagi ilmu, pengetahuan dan menjalin komunikasi, selain itu social
networks juga medapat menyediakan berbagai fitur yang memudahkan
penggunanya dalam membagikan file yang dapat berupa dokumen, video, audio,
dan bahkan ada yang menyediakan fitur video call yang dapat membuat pengguna
melakukan panggilan dengan melihat langsung lawan bicaranya melalui video.
Sosial networks saat ini semakin banyak dibuat oleh berbagai negara,seperti Line
yang berasal dari Jepang, dan Facebook yang berasal dari Amerika.
2. Blogs
Blogs adalah bentuk dari media sosial yang dapat berupa jurnal online,
berita ringan, dan bahkan menceritakan kisah kehidupannya berupa tulisan yang
tidak dibatasi. Penulisan di blog sedikit lebih rumit dibandingkan dengan media
sosial biasa, karena tidak hanya perlu mengatur tulisan dan gambar, tetapi juga
harus menyesuaikan segala konten yang akan disediakan oleh pengguna, misalnya
video, tema, atau efek-efek lainnya. Contoh dari blogs adalah Wordpress dan
Blogger.
3. Wiki
Situs yang mengizinkan orang untuk berkontribusi atau menyusun isi di
dalam wacana. Wiki tergolong dalam kolaborasi yang baik, untuk menulis
dokumen terbesar instansi atau perencanaan karya dengan kelompok di beberapa
kantor. Sifatnya dapat bersifat pribadi atau umum, tergantung orang yang menulis
di dalam dokumen, namun tidak sedikit orang-orang yang dapat memanipulasi
segala

Dokumen yang terkait

Konsep Diri Mahasiswa dalam Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dalam Media Sosial Instagram)

6 40 132

POLA KOMUNIKASI PENGGUNA SOSIAL MEDIA PATH (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Pengguna Sosial Media Path di Kalangan Mahasiswa).

0 2 27

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

4 27 110

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

0 1 7

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

0 0 2

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

0 1 6

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

0 0 2

Kesadaran Kritis Mahasiswa Terhadap Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Tentang Kesadaran Kritis Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU Terhadap Media Sosial)

0 0 22

Kesadaran Kritis Remaja Terhadap Sinetron (Studi Literasi Media tentang Kesadaran KritisRemaja terhadap Sinetron di SMK Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK) Medan

0 1 15

Kesadaran Kritis Remaja Terhadap Sinetron (Studi Literasi Media tentang Kesadaran KritisRemaja terhadap Sinetron di SMK Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK) Medan

0 0 2