T2 752015031 BAB III

BAB III
WAJAH ORANG BAJO MASA KINI
3.1.Wilayah Wakatobi

Gambar 1.1: Peta Kepulauan Wakatobi
(Sumber: http://discoveryourindonesia.com/how-to-get-to-wakatobi/, 2016)

Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Tenggara.Wakatobi
dikenal dengan pariwisata bawah lautnya, yang hampir dikenal di seluruh mancanegara.
Singkatan Wakatobi ini diambil dari empat pulau yang berada di dalamnya, yakni Wa adalah
pulau Wangi-Wangi, Ka adalah pulau Kaledupa, To adalah pulau Tomia, dan Bi adalah pulau
Binongko. Keempat pulau itu mempunyai kekhasan masing-masing, khususnya mengenai wisata

34

yang ditonjolkan oleh masing-masing tempat. Penelitian ini mengambil subyek penelitian, yakni
dari orang Bajo. Sebagaimana diketahui bahwa orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut,
dan mengembara di laut untuk memperoleh kehidupan.Di Wakatobi orang Bajo tersebar di
beberapa tempat, yakni di pulau Wangi –Wangi ada perkampungan Bajo di Desa mola, di pulau
Kaledupa ada orang Bajo yang hidup di daerah Mantigola, Sampela, dan La Hoa, serta yang
terakhir di pulau Tomia ada perkampungan Bajo La Manggau. Penelitian ini dilaksanakan di

desa Mola, pulau Wangi-Wangi, karena desa ini sudah mulai “terkontaminasi” oleh kebudayaan
global yang masuk melalui pariwisata di dalamnya, selain itu desa ini merupakan perkampungan
Bajo terbesar, karena penduduknya yang telah menetap, yang berjumlah kira-kira 6000
penduduk.
3.2. Wilayah Desa Mola Wakatobi

Gambar 2.1
(Sumber: Rancangan Pembangunan Jembatan di Desa Mola Wakatobi 2016)
Desa Mola terbagi atas lima desa, yakni Mola Selatan, Mola Utara, Mola Nelayan Bhakti,
Mola Bahari, dan Mola Samaturu. Berdasarkan sejarah lisan orang Bajo di desa Mola, yakni

35

mereka berasal dari suku Bajo Bone (Sulawesi Selatan) pada tahun 1957, dan berpindah ke
Kaledupa, Wakatobi.Pada saat itu pulau Kaledupa menjadi suatu kawasan perdagangan yang
ramai didatangi oleh masyarakat.Kira-kira pada tahun 1960, terjadi pergolakan politik di daerah
Kaledupa yang melibatkan DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia). Orang Bajo yang
berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat
lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo berpindah awalnya ke Liya dan Sempu, dan
melakukan perjalanan lagi karena merasa tidak aman, yakni berpindah di pinggiran daerah

Wanci, pulau Wangi-Wangi, yang dikenal saat ini dengan perkampungan Bajo Mola.

3.3. Jumlah Penduduk Desa Mola Tahun 2015
No
1
2
3
4
5

Desa
Jumlah Penduduk
Mola Selatan
2078
Mola Utara
883
Mola Nelayan Bhakti
1987
Mola Samaturu
992

Mola Bahari
1161
Total
(Sumber: Kecamatan Wangi-Wangi Selatan)

Luas Wilayah (Km2)
3,70
0,76
2,30
0,74
0,80
8,3

Menurut data penduduk terakhir yang diperbaharui oleh kecampatan Wangi-Wangi
Selatan, yakni pertumbuhan orang Bajo di desa Mola semakin pesat, sehingga desa Mola ini
diusulkan untuk menjadi satu kecamatan baru yang ada di pulau Wangi-Wangi. Orang Bajo yang
ada di desa ini mengalami banyak perubahan, baik pola hidup, pekerjaan dan ritual yang mereka
lakukan.Meskipun saat ini orang Bajo di desa Mola terbagi menjadi lima desa, namun kekhasan
orang Bajo tetap sama di setiap desa. Pembagian ini hanya sebagai cara untuk mempermudah
proses administrasi yang ada di desa tersebut. Rata-rata orang Bajo yang ada di desa Mola ini

mempunyai sumber penghasilan dari laut atau nelayan, meskipun sudah ada yang beralih profesi
untuk menjadi pegawai negeri, dan membuka usaha sendiri di lingkungannya. Namun, warna
36

kebajoan yang ada di desa ini masih ada, hal ini terlihat dari pasar yang ada di Mola Raya, di
tempat ini orang Bajo menjual hasil laut yang mereka dapatkan.
Orang Bajo yang berada di desa Mola ini sedikit berbeda dengan orang Bajo lainnya,
yang tersebar di beberapa pulau di Wakatobi. Orang Bajo di desa ini sudah dimasuki dan
memasuki proses modernisasi. Hal ini terlihat dari pemukiman-pemukiman yang mereka miliki,
yang sudah berubah menjadi rumah batu, awalnya adalah rumah tancap. Pola kehidupan mereka
berubah, awalnya menggunakan sampan atau perahu kecil sebagai sarana transportasi, sekarang
digantikan oleh motor sebagai alat transportasi orang Bajo. Sejak pariwisata di kabupaten
Wakatobi ini dikenal, maka hal itu berdampak kepada masyarakat yang berada di desa Mola
Wakatobi. Karena itu, perubahan demi perubahan ini dirasakan oleh orang Bajo di desa Mola,
sehingga berusaha mempertahankan dan memperkuat identitasnya melalui kebudayaan yang
mereka miliki.

3.4. Desa Mola Wakatobi di Antara Kawasan Pariwisata Wakatobi
Di tengah tantangan pariwisata yang hadir di kabupaten Wakatobi, desa Mola menyikapi
hal ini dengan serius dan bertindak proaktif dalam mendukung pariwisata yang ada. Karena

wilayah desa Mola begitu strategis dalam mengembangkan pariwisata, hal ini terlihat dari
wisatawan lokal, nasional maupun internasional yang akan mengunjungi spot-spot (titik-titik)
tertentu untuk melakukan diving, khususnya di Hoga (berada di Pulau Kaledupa), dan juga di
Pulau Tomia, maka salah satu jalan alternatif untuk menuju ke sana adalah dengan cara melewati
desa Mola Wakatobi. Meskipun sudah ada Bandar udara di pulau Tomia, namun lebih banyak
wisatawan yang datang melalui pulau Wangi-Wangi dan melanjutkan perjalanan laut melalui
dermaga yang ada di desa Mola Samaturu, sehingga para pelancong harus masuk dalam desa
Mola Wakatobi untuk menyebrang ke pulau Kaledupa, Tomia maupun pulau Binongko.
37

Meskipun masih banyak kekurangan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya sarana

dan prasarana, namun masyarakat desa Mola yakin bahwa mereka dapat menjalankan pariwisata
berdasarkan kekayaan budaya yang mereka miliki. Awalnya masyarakat tidak yakin akan
dibukanya obyek wisata di desa Mola, karena orang Bajo memiliki karakter yang rendah diri jika
bertemu dengan orang di luar Bajo (Sama).1 Namun, dengan berbagai pertimbangan dan bantuan
dari bank mandiri dan british council, maka desa Mola mulai mengembangkan pariwisata
budaya, sebagai ikonnya adalah Bajo Village (Perkampungan Bajo). Hal ini sedikit mengejutkan,
karena ini satu-satunya perkampungan orang Bajo yang dijadikan destinasi pariwisata.Adapun
paket wisata yang disediakan oleh Bajo Mola Tourism, yakni sebagai berikut:

3.4.1. Dolphin Watching
Mengamati lumba-lumba merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Bajo,
karena kehidupan keseharian mereka di laut, dan lumba-lumba sebagai alat untuk
memberi tahu tempat ikan-ikan berada.Hal ini dilihat sebagai satu kesempatan yang
menarik untuk dimasukan dalam paket wisata, karena yang menjadi ciri khas orang
Bajo adalah adaptasinya di tengah lautan, sehingga bisa mengetahui titik-titik (spot)
lumba-lumba biasa berada.Menurut pemandu wisata, yang sekaligus adalah orang
Bajo, mengatakan bahwa setiap mereka mendatangkan wisatawan untuk melihat
lumba-lumba, pasti para wisatawan merasa senang dan puas, karena benar-benar
merasakan sensasi kehidupan di laut yang sebenarnya.2 Orang Bajo mau
menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang menjaga kelestarian laut,
sehingga laut bisa menjadi masa depan anak-cucu mereka.
1

Wawancara dengan penduduk Desa Mola Samaturu, Bapak Rosman. Desa Mola, Wakatobi. Agustus

2

Wawancara dengan penduduk Desa Mola Selatan, Bapak Albar. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.


2016.

38

3.4.2.

Bajo Cultural Walking Tour

Gambar 3.1
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Perjalanan wisata berkeliling di daerah desa Mola Wakatobi ini, bukan
perjalanan yang biasa.Dengan berjalan kaki melewati gang-gang sempit dari
pemukiman Bajo yang kini telah menetap di Mola. Hal yang menarik ketika
menelusuri pemukiman Bajo ini adalah para pengunjung diajak untuk mengenal
sejarah dan budaya Bajo, yang kaya akan filosofi dan nilai-nilai kehidupannya. Pada
akhirnya, belajar dari budaya Bajo ini akan memberi suatu refleksi kritis dari
kehidupan pengunjung di dalam konteks dan budaya yang berbeda.

39


3.4.3. Canoeing

Gambar 3.2
(Sumber: Bajo Mola Tourism Dokumentasi)
Bersampan merupakan salah satu cara untuk mengingat dan melakukan
refleksi akan kebudayaan Bajo yang bertahan sekian lama di lautan. Orang Bajo
menyebut perahu dengan sebutan lepa, sehingga dengan menggunakan lepa ini,
mereka dapat hidup di berbagai tempat secara nomadik.Orang Bajo membuka paket
wisata ini dengan tujuan agar para pengunjung mengetahui sejarah orang Bajo dan
merasakan langsung kehidupan di atas lautan (mencari ikan, mengambil air dan
menikmati kehidupan di lautan).

3.4.4. Bajo Culinary
Sebagaimana kehidupan sehari-hari orang Bajo, yang hidup dikelilingi oleh
laut dan hidup melalui itu, maka mereka membuat suatu makanan khas untuk
dikonsumsi dalam keseharian mereka. Khususnya ketika orang Bajo, yang
mayoritasnya adalah nelayan, dan akan berpergian untuk melaut dalam waktu yang
lama, sehingga membutuhkan makanan yang bisa tahan lama. Karena itu, makanan
40


khas orang Bajo adalah Kasoami Bajo, yang terbuat dari singkong, sehingga dapat
menjadi pengganti nasi, dan dapat bertahan dalam waktu 3 hari.Kasoami ini
sebenarnya adalah makanan khas Wakatobi yang berbentuk kerucut, namun Kasoami
orang Bajo ini memiliki khas yang sama, namun berbentuk bulat pipih. Kuliner Bajo
ini disediakan kepada pengunjung, agar mereka dapat menikmati makanan khas orang
Bajo.Ada juga makanan khas lainnya, yakni roti Bajo, dinamakan roti Bajo karena
merupakan khas dari buatan tangan orang Bajo, dan roti ini dapat bertahan cukup
lama untuk dimakan. Selain itu, ada banyak kue-kue yang merupakan buatan tangan
dari orang Bajo di desa Mola, dan diperjualbelikan di pasar Mola Raya yang berada
dalam kawasan desa Mola, sehingga bukan hanya penduduk lokal (orang Bajo) yang
menikmati kuliner khas Bajo, tetapi penuduk luar desa Mola juga dapat
menikmatinya. Makanan utama yang menjadi kekhasan orang Bajo adalah hasil laut
yang didapatkan oleh penduduk desa Mola, karena mayoritas penduduknya adalah
nelayan, maka hasil laut mereka sangat bergantung pada laut.
3.4.5. Star Telling
Paket wisata yang dibuka ini merupakan satu hal yang menarik, karena
melalui cerita bintang, yang dilakukan oleh orang Bajo itu sendiri, mereka
memberitahu kepada para pengunjung bahwa mereka mempunyai cara tersendiri
untuk melihat arah angin, cuaca dan pasang surutnya air laut hanya melalui
pengamatan mereka terhadap benda-benda langit. Orang Bajo yang terbiasa hidup

di laut, mempunyai pola tersendiri untuk mengamati struktur benda langit dan
digunakan sebagai alat untuk mencari tempat tinggal ‘sementara’ maupun sebagai

41

alat untuk menunjukkan waktu, yang berguna bagi orang Bajo dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
3.5. Pola Hidup Orang Bajo Desa Mola
Orang Bajo di desa Mola Wakatobi merupakan suatu masyarakat yang hidup dalam
situasi tradisional di satu sisi, dan situasi modern di sisi lainnya. Kehidupan tradisional orang
Bajo Nampak dalam pola interaksi di antara masyarakat, yang begitu kental akan perasaanperasaan kebersamaan, serta kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat desa Mola.
Sesuai dengan observasi mendalam yang dilakukan oleh peneliti, terlihat bahwa kebanyakan dari
orang Bajo benar-benar memegang prinsip pembagian fungsi kerja dalam kehidupan rumah
tangga mereka. Misalnya, para nelayan yang adalah kaum pria, mempunyai tugas untuk mencari
makan dan kehidupan bagi keluarga yang ada di rumah. Sebaliknya, ibu rumah tangga dalam
masyarakat Bajo bertugas dalam hal domestik dalam rumah tangga. Banyak ibu rumah tangga
yang menunggu suaminya pulang dari laut dengan duduk di depan rumah, dan melihat perahu
maupun kapal yang ditumpangi suaminya, sehingga para ibu menyambut suami dengan cara naik
di atas perahu dan mengambil hasil tangkapan suami, kemudian mereka dapat mengelola hasil
tangkapan itu (ada yang langsung membagi lebih banyak hasil tangkapan untuk dijual di pasar,

namun ada juga yang mengatur dengan seimbang untuk rumah tangga dan dijual di pasar).
Dalam kesehariannya, orang Bajo, lebih banyak menghabiskan waktu berkumpul di
depan rumah dan hal itu sebagai simbol kebersamaan, serta kekeluargaan yang kental. Apabila
ada tetangga (nelayan) yang mendapatkan hasil laut berlebih, biasanya hasilnya dibagi-bagikan
kepada tetangga di sekitar rumahnya. Hal ini menjadi kebiasaan yang sampai sekarang berlaku,
dan bagi orang Bajo, mereka tidak pernah merasa kekurangan akan makanan. Karena menurut
masyarakat Bajo di desa Mola, laut itu sebagai sumber kehidupan mereka, dan mereka tidak
42

pernah kekurangan, karena apapun yang ada di dalam laut itu adalah makanan yang tersedia bagi
mereka, bahkan orang Bajo lebih senang akan hasil laut yang dimakan ‘mentah’ tanpa dimasak
maupun dibakar. Hal itu diteruskan kepada anak-anak mereka, sebagai penerus keturunan Bajo,
mereka diajarkan untuk hidup sebagaimana identitas mereka adalah orang laut, maka sejak kecil
anak-anak diajar untuk hidup di laut dan jangan takut kepada air laut, sehingga banyak anakanak di desa Mola menikmati kehidupan mereka di laut. Selain itu, sejak anak-anak, mereka
dibiasakan untuk menikmati hasil laut tanpa dimasak maupun dibakar, dan menariknya bahwa
anak-anak di desa Mola Wakatobi menikmati semua itu.

3.6. Orang Sama dan Bagai di Masa Kini
Hal lain yang peneliti amati di desa Mola Wakatobi adalah mengenai kesadaran mereka
akan identitasnya sebagai orang sama (Bajo), yang membedakan mereka dengan orang Bagai
(Bukan Bajo). Hal ini terlihat ketika peneliti datang dan berkeliling desa Mola, maka kebanyakan
orang Bajo dengan cepat menyadari akan hadirnya orang asing (Bagai) yang datang di desa
mereka, tatapan mereka yang penuh kecurigaan memandang peneliti, apapun yang peneliti
lakukan, segala gerak-gerik diperhatikan. Bahkan, tidak jarang peneliti mendengar kata-kata
seperti, “woi Bagai ya.Bagai?”Artinya, “hei kamu orang luar ya?”. Sepanjang perjalanan,
peneliti melakukan observasi, tatapan itu terus hadir, dan seakan memberi jarak antara “kamu
dan aku.”Bukan hanya orang dewasa yang menyatakan hal itu (sebutan Bagai), namun anakanak kecil telah sadar akan identitas mereka sebagai orang sama dan menunjukkan bahwa
mereka berbeda dari orang luar komunitas mereka (Bagai). Menariknya, ketika peneliti
mendekat mereka dan mengajak untuk mengobrol, kebanyakan dari mereka memperhatikan
dengan baik, dan sesekali tersenyum akan setiap obrolan yang peneliti lontarkan. Kemudian
43

melalui itu, peneliti membangun trust kepada masyarakat sekitar agar mereka dapat menerima
peneliti hadir di lingkungan mereka dengan baik.
Orang Bajo mempunyai karakter yang khas dalam kehidupannya, misalnya saja ketika
mereka akan melanjutkan studi ke luar daerah (Wakatobi), dan pasti mereka (orang Bajo)
memilih jurusan yang sama dengan teman-temannya, sehingga hal ini menjadi suatu kebiasaan
bagi orang Bajo, misalnya: ketika berada di perantauan, mereka selalu hidupnya bergerombolan
(sama seperti ikan), yang selalu bersama-sama di mana komunitasnya pergi, maka ia harus
mengikutinya.3 Hal ini menjadi suatu pola hidup orang Bajo perantauan, dan terkadang, masih
ada orang Bajo yang ketika berada di luar daerahnya (Wakatobi), mereka menyembunyikan
identitasnya di depan masyarakat. Mereka menunjukkan diri sebagai orang Wakatobi, namun
identitas sebagai orang Bajo ditutupi/disembunyikan oleh berbagai cara, salah satunya dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Karena ingatan masa lampau orang Bajo begitu kuat, yakni berdasarkan cerita-cerita
orang-orang tua, bahwa orang bagai itu lebih hebat dari orang sama, karena kehidupan orang
bagai tidak tergantung dari laut, dan sangat mudah memperoleh segala sesuatu di darat. Hal ini
membuat banyak orang Bajo membuat tingkat status sosial berdasarkan refleksi kritis dalam
kehidupan yang mereka alami.

3.7. Perekonomian Orang Bajo
Orang Bajo menganggap bahwa kehidupan ini hanya untuk saat ini saja, sehingga
pengelolaan uang masyarakat tidak berjalan dengan baik, akibatnya mereka merasakan sendiri

3

Wawancara dengan penduduk desa Mola Bahari, Bapak Jamarudin. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

44

kurang sejahteranya kehidupan mereka.Ini dibuktikan dari hasil kelompok diskusi yang dibangun
oleh Bajo Mola Tourism dalam menelisik permasalahan yang dialami oleh orang Bajo di Desa
Mola saat ini. Kemudian dirumuskan dalam pohon persoalan yang dibangun sebagai upaya
penyadaran dan tindak lanjut aparat desa terhadap persoalan yang dialami oleh masyarakat.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang Bajo di desa Mola Wakatobi, banyak yang merasa tidak
sejahtera dalam kehidupannya. Terlihat dari banyaknya pengangguran muda-mudi di desa
tersebut, kemudian masyarakat menyatakan bahwa kesempatan kerja yang kurang memadai, dan
kurangnya usaha dari orang Bajo untuk struggle (berjuang) dalam dunia kerja, hal ini
diakibatkan oleh karena habitus yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar untuk menjadi nelayan
(hidup di laut). Pandangan seperti ini yang masyarakat mau ubah, karena jika tidak dilakukan
penyadaran terhadap hal ini, maka perekonomian orang Bajo di desa Mola akan stagnan, tidak
berkembang, bahkan menurun akibat dari perilaku yang sulit lepas dari kehidupan laut.
Dari pohon persoalan yang dihadapi oleh orang Bajo di desa Mola Wakatobi tersebut,
ditemukan bahwa orang Bajo buruk dalam pengelolaan pendapatan. Alasan utamanya, yakni
kurangnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di desa Mola, yang menjurus kepada
kurangnya keterampilan kerja, kurangnya ilmu pengetahuan dan kurang bimbingan moral.
Karena hampir semua orang Bajo, khususnya yang hidup sebagai nelayan dan keluarga nelayan,
tidak mempunyai keterampilan lain agar bisa digunakan sebagai peningkat status perekonomian
keluarga mereka. Akar persoalan dari kurang sejahteranya orang Bajo, yaitu karena kurangnya
motivasi dari orang Bajo sendiri terhadap perubahan sosial yang terjadi. Orang Bajo sudah
sangat nyaman dengan komunitas dan pola hidup mereka yang berkecukupan, namun di sisi lain,
mereka menganggap bahwa kehidupan mereka kurang sejahtera, karena tidak mampu mengelola
perekonomian keluarga mereka.
45

Aparat desa sudah beberapa kali mencoba
melakukan

program

pemberdayaan

Gambar 4.1 (Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Pasar Tradisonal orang Bajo.

terhadap

masyarakat desa Mola, namun di tengah jalan
selalu berhenti, karena berbagai alasan dan
ketidaknyamanan akan program desa tersebut.
Salah satu program besar yang diadakan di desa
Mola adalah pasar tradisional desa Mola, yang
diresmikan tahun 2014 secara langsung oleh
ketua MPR RI dan Bupati Wakatobi sebagai
pasar tradisional khas suku Bajo yang berada di
desa Mola Wakatobi.4 Namun, sejak kali pertama
peneliti datang di desa ini tahun 2015, ternyata pasar tradisional ini sudah tidak berjalan lagi,
hingga sekarang, pasar tradisional desa Mola ini hanya sebagai pajangan saja, namun dalam
kesehariannya sudah tidak digunakan sama sekali. Seperti yang terlihat pada gambar di samping,
yang diambil oleh peneliti tahun 2016. Pasar tradisional ini berhenti di tengah jalan, karena
menurut pandangan masyarakat Bajo yang berjualan di daerah tersebut, bahwa pasar ini tidak
memberi keuntungan bagi mereka, karena pasar ini berada di dalam desa Mola, sehingga
dianggap kurang strategis untuk memasarkan hasil laut di rumah sendiri. Jadi, satu persatu
pindah haluan berjualan di pasar tradisional yang sudah lama ada di desa Mola Bahari.
Pemahaman dari Bapak Majarudin (orang Bajo) tepat jika diposisikan dalam konteks ini, bahwa
orang Bajo itu berkumpul layaknya ikan-ikan, sehingga jika diperhadapkan kepada suatu

4

http://www.antarasultra.com/berita/273502/ketua-mpr-resmikan-pasar-tradisional-desa-mola, diunduh
pada tanggal 20 September 2015, pukul 12.28 AM.

46

persoalan, maka mereka akan pindah secara bergerombol. Hal ini yang menjadi permasalahan
bagi orang Bajo di desa Mola untuk membangun perekonomian mereka.
3.8. Perekonomian Keluarga Orang Bajo
Peneliti melakukan observasi sekaligus terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari
orang Bajo di desa Mola wakatobi. Beruntungnya, tempat tinggal peneliti adalah di rumah
keluarga yang mempunyai kios (tempat berjualan), secara langsung maupun tidak, peneliti
mengobservasi pola hidup konsumerisme yang begitu kental menjamur di desa ini. Mulai dari
anak kecil sampai orang dewasa setiap hari membeli hal-hal yang seharusnya menjadi kebutuhan
mereka, salah satunya adalah membeli aqua gelas, yang seharusnya menjadi kebutuhan harian
keluarga, namun seringkali peneliti melihat bahwa mereka membeli hal seperti itu terus menerus.
Alasan yang peneliti dapatkan, yaitu bahwa orang Bajo di lingkungan tersebut lebih nyaman
dengan aqua gelas daripada minum melalui air galon. Padahal, harga aqua gelas (minimal lima
gelas setiap hari) jauh lebih mahal dibandingkan dengan isi ulang galon, dan ini telah menjadi
kebiasaan orang Bajo untuk mengeluarkan uangnya setiap saat. Apalagi jika anak-anaknya
meminta uang kepada orang tuanya untuk dibelikan snack (makanan ringan), dan itu terjadi
setiap hari, sehingga terlihat bahwa sejak dini, anak-anak di desa Mola Wakatobi diajarkan untuk
terlibat langsung dalam kehidupan konsumerisme. Orang tua menganggap hal ini sebagai hal
biasa, dan hal seperti ini sulit untuk diubah.
Pada tahun 2015, sempat ada beberapa mahasiswa/i dari Universitas Indonesia (UI)
Fakultas Ekonomi, melakukan penelitian terhadap pola perekonomian masyarakat di desa Mola
Wakatobi. Melalui informasi yang peneliti temukan, bahwa di setiap rumah dilakukan pendataan
secara terperinci, total pengeluaran dan pemasukan masing-masing keluarga. Rata-rata
pengeluaran dari setiap keluarga (orang Bajo di desa Mola Wakatobi) lebih besar, dibandingkan
47

dengan pemasukan yang mereka dapatkan. Ternyata, banyak pengeluaran yang dipakai untuk
hal-hal yang bukan merupakan kebutuhan dari keluarga, sehingga lebih banyak adalah
keinginan-keinginan masyarakat untuk membelanjakan uangnya agar dilihat sebagai orang yang
memiliki status sosial di masyarakat.
3.9. Rumah Orang Bajo Sebagai Cerminan Identitas
Gambar 1

Gambar 2

Gambar 5.1
Rumah orang Bajo tampak belakang (gambar 1) dan rumah orang Bajo yang
sudah dimodifikasi (gambar 2)
(Sumber: Dokumentasi Peneliti)

Orang Bajo dikenal sebagai suku yang terbiasa hidup di atas laut (rumah di atas laut) dan
melaksanakan prosesi ritual melalui tangga-tangga yang ada depan rumah.Namun, seperti yang
terlihat dari gambar 2 di atas, bahwa sudah banyak rumah-rumah orang Bajo yang ditimbun oleh
karang, tanah maupun semen, sehingga rumah orang Bajo mengalami perubahan dari segi
arsitektur bangunannya. Rata-rata rumah orang Bajo di desa Mola sudah hampir sama dengan
rumah yang ada di darat, yakni dibangun berdasarkan kemampuan ekonomi dari masyarakat
Bajo dan berdasarkan keinginan masing-masing rumah tangga. Berdasarkan informasi yang
peneliti temukan, bahwa orang Bajo yang telah melakukan modifikasi pada bangunan rumahnya,
48

merasa lebih nyaman terhadap kondisi tersebut.Dalam kondisi tersebut orang Bajo bisa menjadi
orang ‘darat’ karena rumah sebagai simbol untuk menunjukkan identitas komunitas maupun
budaya yang ada di dalamnya.
Rumah orang Bajo yang asli adalah rumah tancap, yang berada persis di atas laut, dan
rumah itu dibuat berdasarkan nilai-nilai luhur budaya yang terpelihara di dalamnya, yaitu harus
hidup berdampingan dengan laut, sehingga “haram” hukumnya untuk tinggal di darat. Karena
budaya orang Bajo terbentuk berdasarkan setiap ritual yang mereka lakukan, mulai dari kelahiran
hingga kematian mengikuti ritual budaya Bajo, meskipun di dalamnya sudah masuk nilai-nilai
dari agama islam. Namun, ritual itu terus dilakukan hingga saat ini, dan setiap ritual
membutuhkan tangga yang berjumlah ganjil di depan rumah, serta yang lebih penting adalah
tangga tersebut langsung bersentuhan dengan air laut. Karena itu, ‘diwajibkan’ secara adat setiap
rumah orang Bajo harus memiliki tangga, jika tidak, maka ritual tidak bisa dilaksanakan, karena
ritual penurunan adat (Kaka), harus dilakukan di bawah rumah yang mempunyai tangga, yang
langsung bersentuhan dengan air laut. Namun, kini ritual yang dilaksanakan tersebut ditoleransi
oleh pemuka adat dan Sanro (Dukun Adat Orang Bajo), yang menyatakan bahwa ritual itu bisa
dilaksanakan dengan cara ‘meminjam rumah’ orang yang masih mempunyai tangga di bawah
rumah untuk melaksanakan ritual.5 Melalui cara seperti itu, maka ritual tetap dijalankan seperti
biasa dan sebagian masyarakat yang ‘meminjam rumah’ untuk melaksanakan ritual, merasa hal
yang sedikit berbeda, karena tidak begitu terasa suasana seperti yang dirasakan di masa lampau,
yaitu langsung melaksanakan ritual di bawah rumah.

5

Wawancara dengan kepala desa Mola Nelayan Bakti, Bapak Jamrin. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

49

3.10. Bahasa Lokal Sebagai Kekuatan Budaya
Menurut masyarakat Bajo desa Mola bahwa kehidupan mereka telah mengalami
perubahan ‘drastis’, terlihat dari perubahan rumah yang menjadi identitas orang Bajo, sehingga
sebagian masyarakat sadar akan bertahannya identitas orang Bajo melalui bahasa sebagai media
untuk melestarikan budaya orang Bajo.Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Bajo,
yang lebih nyaman menggunakan bahasa Bajo daripada bahasa Indonesia. Sejak dini (anak-anak)
telah diajar menggunakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Bajo, yang sarat akan makna di dalam
kebudayaan mereka. Orang Bajo dikenal karena bahasanya, yang menjadi kekhasan tersendiri
adalah, di manapun orang Bajo berada dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia, bahasa mereka tetap sama, meskipun ada dialek atau logat yang sudah
terkontaminasi oleh budaya tempat mereka (orang Bajo) tinggal.6 Hal ini yang terus bertahan
dan menjadi kekuatan terdepan bagi orang Bajo untuk mempertahankan identitas mereka di
tengah arus perubahan dunia.
3.11. Pembangunan dan Nilai Kehidupan Orang Bajo

Gambar 6.1 : Kanal di Desa Mola
(Dokumentasi Peneliti)

Camat Wangi-Wangi Selatan menyatakan bahwa di
desa Mola terdapat dua pandangan yang muncul dalam
masyarakat

Bajo

tentang

pembangunan

jalan

yang

dijalankan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Desa
(Bappeda). Pandangan pertama, yaitu melihat pembangunan
jalan maupun penutupan kanal-kanal sebagai hal yang baik
dalam memajukan desa, serta membuat masyarakat menjadi

6

Wawancara dengan Masyarakat Desa Mola. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

50

lebih modern, daripada sebelumnya.Pandangan seperti ini umumnya ditemui bagi masyarakat
yang telah hidup di rumah atas tanah (lihat Gambar 2). Sedangkan, pandangan kedua, yang
menyatakan bahwa pembangunan jalan yang merembes kepada penimbunan rumah-rumah
tancap (asli orang Bajo), membuat orang Bajo kehilangan identitas dan pemaknaan akan budaya
mereka.7
Pembangunan jalan dan jembatan di desa Mola Wakatobi merupakan salah satu program
pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan. Karena itu, dalam perjalanannya, peneliti
melakukan observasi terhadap pembangunan jalan dan jembatan di desa Mola Wakatobi tahun
2016, yang menunjukkan bahwa aparat desa telah menyampaikan pandangannya kepada
Bapedda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) untuk membangun jembatan dan jalan di
desa Mola Wakatobi, dengan ketentuannya adalah tidak boleh menutup kanal-kanal tempat
perahu (Lepa) berjalan. Karena sudah banyak lokasi kanal ditimbun, dan mengakibatkan
semakin kecilnya tempat berjalan Lepa, dan ini mengakibatkan banyak orang Bajo yang berada
di desa bagian ujung (Mola Selatan dan Mola Utara) sudah jarang menggunakan Lepa sebagai
sarana transportasinya, melainkan menggunakan motor maupun ojek sebagai alat transportasi
untuk menuju ke pasar. Karena itu, aparat desa mengambil keputusan itu berdasarkan refleksi
masyarakat Bajo terhadap identitas budaya mereka yang tergerus oleh perubahan sosial yang
terjadi akibat dari pembangunan, apalagi telah menutup sebagian kanal, yang berfungsi sebagai
jalannya transportasi angkutan laut orang Bajo dalam mengambil air, menjual ikan di pasar, dan
berbagai aktifas lainnya dilakukan menggunakan perahu yang menelusuri kanal-kanal tersebut.

7

Wawancara dengan Camat Wangi-Wangi Selatan, Bapak Nursiddin. Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.
Agustus 2016.

51

3.12. Sanro Dalam Masyarakat Bajo
Gambar 7.1 : Sanro Tertua di desa Mola

Proses pengobatan tradisional orang Bajo
dilakukan oleh sanro. Namun, Sanro di bidang
pengobatan berbeda dengan sanro dalam hal
kelahiran. Sanro yang menangani orang sakit
mendapatkan ilmu atau keahlian secara turun
temurun (garis keturunan keluarga), ada juga
yang belajar untuk menjadi seorang sanro dalam
masyarakat.Namun, tidak semua orang Bajo bisa
menjadi sanro dalam masyarakat, karena dibutuhkan keterampilan khusus dalam menjalankan
setiap proses ritual yang ada, dan setiap prosesnya mempunyai sifat kesakralan, sehingga harus
dengan sungguh-sungguh dilakukan. Sanro memiliki peran sentral dalam masyarakat Bajo,
karena sanro sebagai sosok perantara yang bisa menghubungkan dunia orang hidup dan dunia
supranatural. Gambar di atas menunjukan seorang sanro yang sudah berusia lanjut (Mbo Takide),
ia dikenal sebagai sanro dalam penyembuhan tradisional kepada orang Bajo. Kini, karena usia
lanjut, ia sudah tidak bisa melakukan ritual tersebut, dan ia akan menurunkan ‘ilmunya’ kepada
anaknya, yang telah bersedia untuk menjadi seorang sanro di desa Mola.
Di dalam masyarakat Bajo, sanro dikenal sebagai sosok yang ‘biasa saja’ karena
masyarakat menganggap bahwa sanro adalah orang Bajo juga, namun mempunyai kelebihan
(anugerah) dalam menyembuhkan seseorang. Di ruang publik, dalam kehidupan bermasyarakat,
sanro sama halnya dengan orang Bajo lainnya. Namun dalam ruang privat, sanro menampakkan
karismanya. Dengan keahlian yang ia miliki dan berbagai doa yang ia kuasai, yang membuatnya
tampil sebagai sosok yang ‘disegani’ ketika melakukan ritual dalam masyarakat. Dari setiap desa
52

yang ada, biasanya memiliki masing-masing sanro untuk melaksanakan ritual di desanya sendiri.
Namun, ada juga desa yang meminta sanro dari desa lain untuk melakukan ritual, hal itu terjadi
karena faktor kedekatan emosional orang Bajo yang telah lama mengenal sanro dari desa
sebelah. Sanro dari tiap-tiap desa mempunyai prosesi ritual yang sama, dan tidak ada yang
berbeda. Karena itu, nilai filosofis orang Bajo dan kesakralan tetap terasa ketika suatu ritual
dilaksanakan.
Hal yang menjadi persoalan orang Bajo saat ini adalah, kurangnya minat dari orang Bajo
(khususnya keturunan Sanro) untuk meneruskan profesi sebagai seorang sanro di dalam
masyarakat. Banyak pertimbangan oleh mereka, misalnya, profesi itu (sanro) tidak begitu
menjamin perekonomian dalam masyarakat, sulit untuk mempelajari ritual itu secara mendetail,
sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya sanro yang ada di desa Mola, khususnya sanro
di bidang pengobatan tradisional.

53

3.13. Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo
Orang Bajo memiliki beberapa ritual yang biasa dilakukan dalam siklus kehidupan
mereka, misalnya ritual kelahiran, yakni dengan menurunkan ari-ari yang telah dipotong dan
dilaksanakan suatu ritual untuk itu.Selain itu, ritual yang paling sering dilakukan hingga kini
adalah, ritual penyembuhan, orang Bajo menyebutnya sebagai pengobatan tradisional Kaka, Tuli,
Kutta, Kadilaok Kadara. Keempat pengobatan tradisional orang Bajo itu masih dilakukan hingga
kini, dan keempat jenis pengobatan tersebut memiliki tahapan-tahapan dan kekhasan sendiri.
Pada akhirnya, jika telah mengikuti empat pengobatan tersebut, namun orang yang sakit belum
juga mendapatkan tanda-tanda kesembuhan, maka dilaksanakan ritual pengobatan terbesar orang
Bajo, yakni duata, yang merupakan suatu gabungan dari keseluruhan prosesi ritual orang Bajo,
sehingga membutuhkan biaya besar untuk melaksanakan hal itu.
3.13.1. Ritual Kelahiran orang Bajo
Ritual ini dilaksanakan sebagai pertanda lahirnya generasi baru orang Bajo, dan melalui
ritual ini, orang Bajo terus dikenal memiliki kedekatan emosional dan spiritual terhadap laut.
Karena kelahiran adalah tanda kebahagiaan bagi keluarga dan sanak saudara, sehingga ritual
menurunkan ari-ari di laut, lebih tepatnya di bawah rumah tancap orang Bajo merupakan hal
yang harus dilaksanakan bagi setiap keluarga di masyarkat Bajo. Pada masa lampau, ritual ini
dilakukan hanya oleh Sanro (dukun adat orang Bajo) saja, tanpa menggunakan bantuan medis.
Sanro memotong ari-ari bayi dengan menggunakan pisau yang terbuat dari sayatan bambu
(sembilu). Namun, kini melalui himbauan dari aparat desa selaku perwakilan pemerintah, yang
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan lagi ritual dengan cara tradisional seperti itu, karena
akan membahayakan kesehatan dari bayi yang baru lahir. Karena itu, pemerintah bekerjasama
dengan lembaga kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan puskesdes) untuk membentuk suatu
54

strategi, yakni ritual itu bisa dilaksanakan, dengan syarat bahwa yang melakukan pemotongan
ari-ari adalah pihak dari lembaga kesehatan setempat. Kemudian, ritual itu bisa dilaksanakan
oleh sanro yang bersangkutan. Hal ini nampak dari adanya data tentang jumlah sanro yang ada
di salah satu desa di Mola.
Jadi, di masa sekarang, proses kelahiran ditangani oleh dua pihak, yakni pihak lembaga
kesehatan (dokter maupun perawat) dan pihak yang berkompeten menangani ritual kelahiran,
yang dikenal dengan sanro. Karena itu, proses melahirkan ditangani oleh lembaga kesehatan,
dan selanjutnya prosesi ritual ditangani oleh sanro. Proses melahirkan yang ditangani oleh
lembaga kesehatan sama dengan penanganan pada umumnya. Sedangkan, sanro bertugas untuk
mendampingi pihak kesehatan, dan sanro memiliki tugas utama untuk melihat kecenderungan
karakter dari si bayi yang baru lahir, yakni dengan cara melihat arah dari jatuhnya ari-ari ketika
dipotong. Jika ari-ari tersebut menghadap ke atas, berarti bayi itu memiliki kecenderungan
mengikuti karakter dari sang ayah (keras dan tegas), sehingga sanro mengamati bahwa bayi itu
mempunyai kagumbarang (kembaran) tuli, yang memiliki arti buaya. Buaya memiliki nilai
filosofis dari orang Bajo sebagai sosok binatang yang kuat, dan memiliki sifat menerkam
mangsanya dengan penuh keberanian.Jika ari-ari menghadap ke bawah, berarti bayi itu memiliki
kecenderungan mengikuti karakter yang persis dengan sang ibu, penuh kelembutan, merawat dan
melindungi. Kagumbarang bayi ini adalah kutta, yang mempunyai arti gurita. Gurita dilihat oleh
orang Bajo mempunyai sifat memeluk, yakni memiliki arti filosofis sebagai sosok yang lembut
dan menjaga, sehingga kutta dijadikan sebagai simbol dari identitas orang Bajo yang
dihubungkan dengan kecenderungan karakter yang dimiliki sang bayi.
Manfaat mengetahui kagumbarang bagi orang Bajo adalah mereka dapat memahami
dengan jelas identitas dirinya, yang berarti ia memiliki kecenderungan maupun karakter seperti
55

siapa (ayah atau ibu), dan lebih penting bahwa ia dapat mengetahui di masa hidupnya kelak,
ritual pengobatan apa yang harus ia lakukan. Jadi, jika ia mempunyai kagumbarang tuli, maka
kelak jika ia sakit ia harus melakukan ritual maduai tuli (menurunkan tuli). Sebaliknya jika ia
mempunyai kagumbarang kutta, ia harus melakukan ritual maduai kutta (menurunkan kutta).
Selain itu, ada pemahaman dari masyarakat Bajo tentang

kutta dan tuli itu sebagai suatu

penggambaran akan proses hubungan suami-istri, bapak digambarkan sebagai sosok tuli (buaya)
sebagai simbol penyergap, penerkam dan lainnya. Sedangkan ibu, digambarkan sebagai sosok
kutta (gurita) yang mempunyai sifat memeluk atau menerima. Melalui nilai filosofis dari
pemaknaan akan simbol tuli dan kutta tersebut, orang Bajo bisa menyadari akan realitas akan
penciptaan mereka hadir di dunia ini. Namun, ada pemahaman dari masyarakat, yang memahami
bahwa ia benar-benaradalah kagumbarang kutta dan tuli, sehingga pemahaman akan identitas
diri mereka berdasarkan cerita-cerita orang Bajo di masa lampau tentang pemaknaan
kagumbarang di dalam diri setiap orang Bajo. Meskipun ada dua pandangan dari orang Bajo
tentang kagumbarang ini, namun substansinya adalah, orang Bajo tetap melaksanakan ritual
tersebut.
3.13.2. Proses Inisiasi Dalam Ritual Kelahiran
Prosesi ritual yang dilakukan oleh sanro, yakni mulai dari mencuci pakaian ibu maupun
mencuci ari-ari dari bayi, serta dalam tahap selanjutnya, yaitu melakukan prosesi penurunan ariari di laut yang dilakukan oleh ayah dari sang bayi, jika sang ayah tidak mengerti tata cara
penurunan ari-ari tersebut, maka diminta bantuan dari sanro untuk mendampingi prosesi
penurunan ari-ari itu ke laut. Waktu penurunan ari-ari ini pada umumnya dilaksanakan sore hari,
tetapi ada juga yang biasa melaksanakannya pada pagi hari. Ritual itu dilaksanakan dengan
tahapannya, yakni ari-ari itu dibungkus dengan sirih pinang, gambir dan tembakau, serta ditutup
56

oleh kain putih. Kemudian sang ayah atau didampingi oleh sanro dalam mengantarkan ari-ari itu
untuk menurunkannya ke dalam laut, dan dalam proses menurunkannya tidak boleh secara
‘kasar’, namun menurunkannya dengan perlahan di dalam laut. Karena ari-ari menurut orang
Bajo adalah kagumbarang (kembaran) mereka atau disebut sebagai kaka (kakak atau saudara
kandung) dari orang Bajo. Karena itu, dalam proses penurunan ari-ari diharuskan secara
perlahan, sebagai tanda menghargai kagumbarang maupun kaka dari orang Bajo.
Pada masa lampau, setelah melahirkan, orang Bajo melakukan proses inisiasi dengan cara
langsung merendam bayi ke dalam laut, menurut cerita yang beredar dalam masyarakat bahwa
jika bayi itu mampu bertahan dalam waktu yang ditentukan oleh sanro, berarti bayi itu mampu
beradaptasi dengan lingkungan sekitar, khususnya dalam komunitas Bajo yang kehidupannya
bersumber dari laut. Sedangkan, jika bayi tersebut tidak mampu bertahan, berarti bayi tersebut
tidak tangguh menghadapi gemuruh laut, yakni kehidupan di atas laut. Namun kini, ritual
tersebut tidak digunakan lagi, karena dianggap berbahaya bagi sang bayi.8
Proses inisiasi di masa kini, melalui cara sebagai berikut, setelah proses pemotongan ariari itu dilaksanakan, kemudian sanro bertugas untuk memandinkan bayi dengan air laut yang ada
di dalam baskom. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi itu telah diterima dalam komunitas
orang Bajo. Air laut dijadikan sebagai simbol representatif bagi ‘orang baru’ yang masuk dalam
komunitas Bajo, sehingga bayi itu didoakan agar memegang teguh nilai-nilai Bajo dalam
hidupnya kelak. Suatu kebanggan dan kebahagiaan dari keluarga dan sanak saudara mempunyai
anak, karena anak-anak dapat meneruskan warisan dan nilai luhur Bajo dalam kehidupan
mereka.

8

Wawancara dengan kepala desa Mola Nelayan Bakti, Bapak Jamrin. Desa Mola, Wakatobi, Agustus 2016.

57

3.13.3. Ritual Pengobatan Tradisional Orang Bajo
Ritual yang masih dijalankan oleh orang Bajo sampai saat ini adalah ritual kaka, ritual ini
seharusnya dilaksanakan setiap tahun oleh setiap individu dalam komunitas Bajo. Karena makna
dalam ritual ini adalah perayaan hari ulang tahun kepada kagumbarang (kembaran) orang Bajo,
yang dianggap sebagai saudara yang tidak kelihatan, dan kagumbarang itu berguna untuk
menjaga setiap individu suku Bajo. Namun saat ini, pemahaman tentang dirayakannya ulang
tahun kagumbarang orang Bajo bukan menjadi sesuatu yang ‘benar-benar wajib’, karena ini
tergantung dari setiap keluarga maupun setiap orang yang ingin merayakan ulang tahun
kagumbarang-nya itu. Rata-rata orang Bajo saat ini melakukan ritual kaka hanya dalam momen
tertentu saja, misalnya ketika sedang sakit, kurang semangat dalam beraktifitas, merasa tidak
nyaman dalam hidup kesehariannya dan lainnya. Jadi, ritual untuk merayakan ulang tahun
kagumbarang sudah berubah menjadi ritual yang bersifat pengobatan. Karena orang Bajo
mempercayai bahwa ketika mereka mengalami sakit maupun kurang semangat dalam menjalani
kehidupannya, berarti ada ritual yang belum dilaksanakan dalam hidupnya, yakni ritual kaka,
yang harusnya setiap tahun dilaksanakan, terlebih khusus di saat bulan kelahirannya. Orang Bajo
menyadari bahwa kagumbarang-nya sedang mengganggunya, dan berusaha membuat
kehidupannya tidak semangat, serta itu merupakan tanda bagi orang Bajo agar segera
melaksanakan ritual kaka tersebut. Menurut masyarakat Bajo, setelah melaksanakan ritual kaka,
biasanya tidak lama setelah itu mereka merasa lebih segar dan lebih sehat dari sebelumnya. Ini
menunjukkan adanya dampak spiritual dari yang sakral itu terhadap kehidupan orang Bajo,
khususnya jika dihubungan dengan kepercayaan orang Bajo. Ritual yang dilaksanakan oleh
orang Bajo tidak mempunyai waktu yang menentu, karena semuanya sesuai dengan permintaan
dari keluarga atau orang yang sakit. Biasanya ada keluarga yang tidak mengijinkan setiap prosesi

58

ritualnya dilihat oleh orang luar (Bagai), karena ingin menjaga kesakralan dalam ritual tersebut,
namun ada juga yang memperbolehkannya untuk dilihat oleh orang luar.

3.13.3.1. Prosesi Ritual Kaka

Pasien berbaju merah dan didampingi keluarga, dan di
depannya adalah sanro yang melaksanakan ritual.
(Gambar 8.1: Dokumentasi Peneliti)

Sanro yang melaksanakan ritual ini bernama Mbo Canni yang berasal dari Mola Utara.
Mbo Canni dipanggil oleh keluarga untuk melakukan ritual ini. Dalam pelaksanaannya, Ritual
Kaka membutuhkan beberapa bahan-bahan khusus untuk dilaksanakan, dan bahan-bahan ini
biasanya yang mempersiapkan adalah keluarga, bahan-bahan yang digunakan adalah tempurung
kelapa, nasi sembilan kepal, garam, tiga buah sarung, benang kenur, cangkir, kendi, lilin, kelapa,
beras, janur dan sirih pinang atau rokok. Ritual kaka ini dilaksanakan ketika waktu air surut,
yang dalam bahasa Bajo disebut meti. Waktu meti adalah sore hari, sekitar jam lima sore
biasanya ritual ini dilaksanakan. Dalam prosesinya, sanro datang ke rumah keluarga yang akan
melaksanakan ritual, kemudian sanro mempersiapkan bahan-bahan tersebut. Pada awalnya,
sanro ini datang dan duduk di atas tikar dalam rumah keluarga. Sedangkan orang yang sakit
59

didampingi oleh keluarga, serta duduk berhadapan dengan sanro, serta mengikuti setiap proses
dari ritual kaka itu, mulai dari persiapan sampai berakhirnya ritual tersebut. Menariknya, dalam
mempersiapkan bahan-bahan untuk ritual tersebut, sanro membangun percakapan dengan orang
sakit, yang isinya adalah sudah berapa lama ia mengalami sakit tersebut, sudah berobat dimana
saja, bagaimana perasaannya saat ini, dan lainnya. Sanro dan orang yang sakit beserta
keluarganya membangun interaksi guna membuat suatu kedekatan emosional di antara orang
Bajo, apalagi dalam percakapannya menggunakan bahasa Bajo, yang sarat akan makna dan
perasaan orang Bajo.
Peneliti mengobservasi bahwa ritual kaka melalui tiga tahap di dalamnya.Tahap pertama,
Sanro melipat sarung yang dipersiapkan oleh keluarga, lipatan demi lipatan mempunyai teknik
tersendiri.Sanro melanjutkan persiapannya dengan mengambil benang kenur untuk diikatkan
pada kendi. Sambil proses ritual itu dipersiapkan, kemudian dupa dibakar, sehingga rumah
dipenuhi dengan asap-asap kecil, yang menjadi tanda bahwa ritual kaka sedang dilaksanakan.
Setelah itu, sanro mengambil garam dan meletakkannya di dalam tempurung kelapa.Sanro
melanjutkan persiapannya dengan mencelupkan tangannya ke dalam air yang berada dalam
baskom, hal itu dilakukan agar tangannya basah, sehingga dapat mengepal nasi dengan baik.
Sanro membuat Sembilan kepalan-kepalan nasi, yang berbentuk seperti bola tenis meja
(pingpong), dan setiap kali sanro mengepal nasi tersebut, sambil doa-doa diucapkan. Setelah
sanro mengepal setiap nasi itu, kemudian nasi yang berbentuk bulat tersebut dimasukan ke
dalam tempurung kelapa. Kepalan nasi itu dimasukan dengan rapi, agar setiap kepalan nasi yang
berjumlah total sembilan kepalan dapat menjadi lapisan yang baik di dalam tempurung kelapa
tersebut. Nasi merupakan lapisan kedua, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa garam

60

sebagai lapisan pertama yang berada di dalam tempurung kelapa. Karena garam diibaratkan
sebagai air laut, tempat orang Bajo berasal dan hidup melalui itu.
Lapisan ketiga adalah ikatan dari sirih pinang dan rokok (buatan sendiri dan bisa
diperoleh di pasar) yang berjumlah sembilan buah, masing-masing ikatan tersebut dimasukan
dalam tempurung kelapa. Berikutnya, dimasukkan potongan-potongan kecil kelapa yang
berjumlah sembilan buah, yang melengkapi lapisan yang ada dalam tempurung kelapa tersebut,
sehingga tempurung kelapa semakin berisi oleh karena setiap lapisannya. Selanjutnya, sanro
mengambil lilin-lilin dan menancapkannya satu persatu di sekeliling tempurung kelapa tersebut.
Setelah mempersiapkan bahan-bahan yang telah dimasukan dalam tempurung kelapa, kemudian
sanro mengambil satu persatu kain yang telah dilipatnya, dan memasukan beras ke dalam setiap
lipatan kain tersebut, jadi ketiga kain tersebut di dalamnya berisi beras yang dimasukan oleh
sanro.
Dalam ritual ini, angka sembilan menjadi simbol yang menarik, mulai dari kepalan nasi
yang harus berjumlah sembilan, sembilan buah sirih pinang dan rokok yang telah diikat menjadi
satu, dan sembilan buah lilin. Sembilan dijadikan simbol kesempurnaan oleh orang Bajo, yang di
dalamnya mengandung makna proses mengandung seorang ibu dalam kandungan, yang
berjumlah sembilan bulan, dan pada akhirnya lahirlah seorang anak, sehingga menjadi simbol
kesempurnaan (lengkapnya) anggota keluarga.

61

Bahan Ritual Kaka yang telah dipersiapkan oleh sanro
(Gambar 8.2: Dokumentasi Peneliti)

Ritual dilanjutkan dengan mengambil sumbu dan dinyalakan oleh sanro menggunakan
korek api, dan mengambil satu lilin sebagai alat untuk menyalakan atau membakar sembilan
lilin, yang telah dibuat oleh sanro di atas tempurung kelapa.Sekilas, ketika melihat bahan ritual
yang telah selesai sama seperti kue ulang tahun, karena berisi lilin-lilin disertai dengan
bentuknya yang bundar dan memiliki isi yang padat di dalamnya. Dalam prosesi penyalaan lilin
yang dilakukan oleh sanro, keluarga mematikan lampu yang ada dalam rumah, sehingga hanya
nyala lilin yang terlihat dalam rumah. Kemudian dimasukan cangkir di dalam tempurung kelapa
tersebut atau lapisan teratas, yang berada di antara lilin-lilin. Kemudian, Sanro membakar dupa,
dan mengambil tempurung kelapa tersebut untuk diasapi oleh dupa. Proses ritual telah
berlangsung, yakni ketika sanro mengambil tempurung kelapa tersebut (berisi bahan ritual),
kemudian diangkat di atas dupa yang berasap, dan sambil membaca doa-doa, tempurung kelapa
itu diperhadapkan di depan orang sakit, pada waktu yang sama tempurung kelapa tersebut
diputar sebanyak tiga kali, yang putarannya berlawanan dengan detak jarum jam. Setelah itu,
tempurung kelapa diturunkan kembali di atas tikar dan lilin tetap menyala, kemudian cangkir
yang ada dalam tempurung kelapa dikeluarkan oleh sanro. Sekarang giliran dari orang sakit yang

62

bertindak, dan diberi kesempatan memakai jari telunjuknya untuk menusuk kepalan nasi yang
ada dalam tempurung kelapa tersebut. Setelah itu, Sanro kembali memasukan cangkir di dalam
tempurung kelapa dan dibaca-baca (didoakan) untuk melanjutkan proses ritual kaka.

Gambar 8.3
Proses Menurunkan Sesajen.

Tahap kedua, Ritual dilanjutkan dengan mengambil tempurung kelapa itu dan beras yang
dipersiapkan oleh keluarga. Selanjutnya, seorang dari anggota keluarga mengangkat tempurung
kelapa dan beras itu, dan membantu sanro untuk mengantarkannya ke depan rumah, lebih
tepatnya di bawah tangga depan atau belakang rumah yang langsung bersentuhan dengan air laut.
Masyarakat Bajo menyatakan bahwa lilin yang ada di sekitar tempurung kelapa itu harus tetap
menyala sampai proses penurunannya di laut, tetapi sanro menyatakan bahwa tidak apa-apa jika
lilinnya mati dalam perjalanan, yang penting sudah didoakan sebelum diturunkan di laut. Dalam
ritual penurunan tempurung kelapa itu, orang yang sakit tidak melihat proses ini, dan hanya
63

berada di dalam rumah saja, sehingga sanro yang melanjutkan proses ritual ini. Setelah sampai di
bawah tangga, sanro naik di atas perahu kecil dan mengambil beras yang berada dalam
mangkuk, sanro menggenggam beras itu sambil menaikan doa-doa, kemudian beras itu
dilemparkannya sebanyak tiga kali di air laut yang berada di hadapannya. Dilanjutkan dengan
mengambil tempurung kelapa yang telah dipersiapkan dan menurunkannya di laut. Karena itu,
ritual ini dinamakan sebagai ritual maduai kaka (menurunkan kaka/saudara tertua), seperti dalam
proses ritualnya, tempurung kelapa serta isinya diturunkan di laut, sambil doa-doa itu dinaikan
oleh sanro. Ketika tempurung kelapa dan isinya telah tenggelam, yang diambil hanyalah cangkir
putih oleh sanro, dan cangkir tersebut didoakan oleh sanro yang berada di atas perahu, kemudian
dimasukan air laut dalam cangkir itu sebanyak tiga kali, sementara cangkir dimasukan air laut,
sanro membaca doa-doa, dan kembali memasukan cangkir itu ke dalam lingkaran rotan, yang
tadinya dijadikan sebagai pengalas tempurung kelapa. Kemudian, sanro mengambil kendi yang
berada di samping beras yang berisi air, lalu dituangkannya air dalam kendi tersebut ke dalam
laut sebanyak tiga kali, sambil doa dibaca oleh sanro (bismillah). Setelah air dalam kendi kecil
itu habis, kemudian sanro memasukan air laut ke dalam kendi tersebut sebanyak tiga kali
pengambilan (diambil sedikit-sedikit). Kemudian tangan kiri sanro tetap memegang kendi kecil
itu, dan pada saat yang sama, tangan kanan sanro bergerak mengambil segenggam beras yang
berada dalam wadah yang berwarna hijau itu, lalu menuangkannya kembali ke dalam laut
sebanyak tiga kali. Setelah itu, kendi kecil itu dimasukan ke dalam wadah hijau yang berisi
beras.

64

Gambar 8.4
Tali Sumanga yang diikat
di tangan orang sakit.

Tahap ketiga, Sanro dan keluarga yang berada di luar rumah kembali masuk untuk
melanjutkan ritual di dalam rumah. Ketika berada di dalam rumah yang masih dalam suasana
‘gelap’ karena lampu dipadamkan, sanro kemudian mengambil benang dan memegang benang
itu memakai tangan kanannya, sedangkan di tangan kiri sanro terdapat lilin yang menyala
sehingga berfungsi sebagai penerang untuk mencelupkan benang itu ke dalam cangkir. Benang
ini dikenal oleh orang Bajo sebagai tali sumanga atau tali semangat, benang ini berfungsi sebagai
penyemangat orang sakit akibat ketidakharmonisannya dengan kaka-nya