Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB IV

BAB IV
PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA

IV.1. Konteks Kelahiran Pancasila
Pancasila dan Indonesia adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Kelahiran negarabangsa Indonesia bersamaan dengan kelahiran karakter dan cita-cita Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Pancasila. Bertolak dari pengalaman sejarah bersamanya, kondisi dan situasi
riilnya pada masa pra Indonesia, khususnya pada era kolonial, rakyat Indonesia hendak
membangun sebuah negara bangsa merdeka dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi
politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi
Nusantara pada masa pra Indonesia, terutama pada era kolonial, sebagai konteks kelahiran
Pancasila, sangat menentukan esensi Pancasila sebagai falsafah dan karakter Indonesia.2
Nusantara yang dijajah lama oleh bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan
bangsa Jepang sehingga sangat lama juga ada dalam masa kesengsaraan, berbentuk gugusan
pulau yang terpisah namun saling terhubung oleh lautan. Letak geo-sosialnya yang terbuka
ini, membuat Nusantara sejak dulu kala menjadi sebuah wilayah kebudayaan yang selalu
terbuka. Ke dalam wilayah Nusantara yang demikian inilah, agama-agama dunia datang.
Agama Hindu dan Budha datang dari negeri India, agama konghucu datang dari negeri
China, agama Islam datang dari tanah Arab, agama Kristen dan Katolik datang dari Eropa
setelah migrasi dari Timur Tengah. Walaupun semua agama dunia ini, semula sebagai agama
asing yang tidak dikenal oleh penduduk Nusantara, namun di Nusantara mereka semua
mendapat tempat, mempribumi, mengkontekstualisasi bahkan nyaris menganti agama lokal

Nusantara.
Pada masa pra Indonesia, nasionalisme Nusantara baru berupa komunalisme saja,
karena hanya berbasis pada kesamaan bahasa yang sama yakni bahasa Melayu, berbasis pada
agama trans regional yang sama yang dianut oleh kebanyakan komunitas Nusantara, dan
berbasis pada kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk.3 Pada masa itu, di wilayah
1

John Titaley, Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca -sarjana Bidang Studi Agama
dan Masyarakat (PpsAM) (Salatiga: UKSW,1991), 2. Lihat juga John A. Titaley,Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Arah Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Agama Di Indonesia (Salatiga:Fakultas Teologi
UKSW,1999),26-27.
2
Ibid.
3
Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity,
(Honolulu: Hawaii University Press, 1983), 1-2. Bandingkan juga: George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan
Revolusi di Indonesia, Terjemahan Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid, Edisi bahasa

99


Nusantara, atau di wilayah Hindia Belanda, ada negara pribumi yang otonom dan masingmasing negara otonom itu memiliki sistem pemerintahan. Sistem pemerintahannya ialah
imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-kerajaan.Tetapi sesudah Belanda menanamkan
imperialisme modernnya secara intensif sejak abad ke lima belas, terutama ketika Belanda
dalam tahun 1830 sampai dengan 1870 menerapkan “Cultuurstelsel” ciptaan Van den Bosch,
dimana penduduk harus menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah kolonial sebesar pajak
tanah, semua negara itu kehilangan kemerdekaannya secara politik dan juga secara ekonomi.
Pelaksanaan cultuurstelsel mengakibatkan penduduk Nusantara terutama di Jawa menjadi
miskin dan kehilangan harkat dan martabat diri.4
Dahulu rakyat Nusantara pada masa Nusantara terdiri dari dari Negara-negara otonom,
terkenal sebagai pelaut yang gagah pemberani sehingga sanggup mengarungi lautan guna
meluaskan perdagangannya. Namun pada masa Belanda menjalankan kebijakan liberal
kolonial, rakyat Nusantara menjadi penakut, tertekan secara politik dan ekonomi. Sistem
kolonialisme dari kapitalisme Barat yang diterapakan Belanda dalam mendominasi Nusantara
sangat mencabut manusia Nusantara dari akar-akarnya sebagai manusia yang memiliki harkat
dan martabat diri sebagai penduduk pribumi Nusantara. Sembilan puluh lima persen
penduduk Nusantara pada masa penjajahan Belanda hidup dalam kesengsaraan. Mereka yang
keadaannya demikian ini, yang oleh Soekarno seorang intelektual kritis kelahiran 8 Juni l901,
dijuluki “rakyat kecil Indonesia” adalah para petani, nelayan, buruh, tukang gerobak, dan
intelektual.5
Pengalaman rakyat kecil Nusantara, yang menderita secara politis dan ekonomi atas

kolonialisme Belanda, melahirkan adanya sikap radikal untuk menghancurkan imperialisme
dan kapitalisme Belanda guna untuk meraih kemerdekaan. Pergerakan kemerdekaan ini yang
berlangsung hampir seratus tahun sepanjang abad ke sembilan belas, dilakukan oleh rakyat
Nusantara, namun tidak serentak padu melainkan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan

Malaysia,cetakan pertama(Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia,1980),4965. Dalam buku ini George McTurnan Kahin menjelaskan tentang lima faktor penting yang menjadi pemicu
pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Kelima faktor itu ialah: persamaan agama, persamaan bahasa,
pembentukan volksraad yang mewakili masyarakat Indonesia, penyebaran ide melalui surat khabar dan radio
nasional serta kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk, dan pendidikan Barat.
4
Sartono Kartodirjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah
Pergerakan Nasional, dari
Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia,1992), 13. Bandingkan G.J. Resink, Negara-Negara
Pribumi di Kepulauan Timur (Jakarta:Penerbit Bhrata, 1973 ), 7 – 34.
5
Benhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan,Terjemahan,Hasan Basari, Cetakan
I,(Jakarta: LP3ES,1987), 175-176. Bandingkan juga, Soekarno, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi”,
dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi,I (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964),
172-3.


100

daerah, golongan dan agama. Beberapa dari pergerakan termaksud ialah seperti perang yang
dipimpin oleh: Patimura di Maluku (1817), Badarudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di
Minangkabau (1821), Diponegoro di Jawa Tengah(1825-1830), Jelantik di Bali (1850),
Pangeran Antasari di Banjarmasin (1860), Panglimna Polim, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar
di Aceh(1871), Anak Agung Made di Lombok (1894), Sisingamangaraja di Batak (1900).
Semua perang yang menentang pemerintah kolonial Belanda ini memang bersifat
kedaerahan, namun semua perang itu menjadi pertanda awal gerakan rakyat sebagai
protonasionalisme Indonesia, menentang penderitaan yang diakibatkan kolonial atas rakyat.6
Perang terhadap pemerintah kolonial Belanda yang bersifat kedaerahan ini mudah dipatahkan
oleh Belanda karena Belanda menerapkan politik devide et invera (politik adu domba) yang
sangat berhasil di Nusantara yang sangat plural.7
Di awal abad ke dua puluh, organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan memang
sudah berskala Nusantara, sehingga dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar, namun
ketiga golongan itu tetap melakukan pergerakan kemerdekaan secara terpisah. Ketiga
golongan tersebut ialah: pertama, adalah golongan nasionalis yang terwakili dalam National
Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia.Kedua, adalah golongan Sosialis-Marxis yang
terwakili dalam Partai Komunis Indonesia. Ketiga, adalah golongan Agama yang terwakili
dalam Sarikat Islam (bagi agama Islam) dan Sarikat Ambon (bagi agama Kristen Ambon).

Perjuangan atau pergerakan kemerdekaan di awal abad ke dua puluh yang sudah berskala
nasional, namun karena sifatnya tidak

menyatu, tidak berhasil meraih kemerdekaan

Nusantara karena cara perjuangan yang demikian, mudah dipatahkan oleh Belanda.8
Salah satu contoh perjuangan sektarian itu adalah pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan pada tanggal 18 Juni
1926. Perjuangan ini dengan mudah dapat digagalkan oleh Belanda, bahkan oleh pemerintah
Belanda PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. F. Corsino MacArthur mengetengahkan
bahwa ada tiga faktor dari dalam Partai Komunis Indonesia yang menjadi penyebab
kegagalan pemberontakannya. Ketiga faktor termaksud: Pertama, disintegrasi yang terjadi di
antara Tan Malaka, Alimin dan Muso sebagai pemimpin partai mengenai waktu pelaksanaan
6

I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila dalam Perspektif Hindu (Surabaya: Penerbit Paramita,2012), 78.
Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-III (Jakarta: PN,
Balai Pustaka, 1993), 331.
8
Cindy Adams,Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta:Gunung Agung,1965), 119-120.

Bandingkan: Colin Wild dan Peter Carey,(Peny),Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1986), 26-8. Bandingkan juga: G.McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca
and London: Cornell University Press,1967), 37.
7

101

pemberontakan. Alimin dan Muso sangat mendukung hasil keputusan pertemuan di
Prambanan bahwa pemberontakan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 1926. Sedangkan
Tan Malaka, sejak masih di pembuangan menilai pemberontakan yang akan dilaksanakan itu
prematur adanya. Oleh karena itu ia berharap pengikut-pengikutnya tidak melibatkan diri
dalam pemberontakan itu. Kedua, rendahnya mutu dari para pemimpin yang tersisa. Ketiga,
kurangnya dukungan dari kalangan petani pada saat pelaksanaan pemberontakan.9
Kegagalan dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintah kolonial
Belanda memberikan dampak positif bagi nasionalisme Indonesia. Para nasionalis Indonesia
semakin sadar bahwa kolonialisme hanya bisa dilawan dengan persatuan. Bertolak dari
kegagalan pemberontakan PKI, Perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dikenal
dengan nama Perhimpunan Indonesia (PI) orang-orang dari daerah Nusantara yang pertama
kali memakai kata Indonesia10 untuk menunjuk kepada tanah dan penduduk dan budaya yang
ada di wilayah Nusantara, menetapkan gagasan persatuan sebagai ideologi Perhimpunan

Indonesia. Gagasan tentang persatuan ini kemudian menjadi inti ideologi yang dikembangkan
oleh Partai Nasional Indonesia. Dalam ideologi persatuan ini terkandung tiga prinsip
nasionalisme Indonesia yaitu: kebebasan(kemerdekaan), kesatuan, dan kesamaan. Karena
begitu konsep nasionalisme Indonesia, maka sifat nasionalisme Indonesia itu ialah
antikolonial dan selalu nonkooperasi terhadap penguasa colonial.11
Di tahun kegagalan pemberontakan PKI, 1926 dalam majalah Indonesia Muda terbitan
Studi Club Bandung, Soekarno menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan
Marxisme”. Artikel tersebut merupakan langkah awal Soekarno dalam merumuskan

pemikirannya mengenai wadah bersama yang selanjutnya ia sebut nasionalisme. Penjelasan
Soekarno mengenai nasionalisme, diawalinya dengan uraian mengenai latar belakang
munculnya kolonialisme. Demikian dijelaskan Soekarno: “Sebab tipisnja kepertjajaan itu
adalah bersendi pengetahuan, bersendi kejakinan, bahwa jang menjebabkan kolonialisasi itu
9

F.Corsino MacArthur, A Communist Revolutionary Movement As an International State-Actor: The
Case of The PKI Aidit, Cetakan Pertama (Singapore:Maruzen Asia,1982), 53. Bandingkan, Mohammad Hatta,
Memoir, Cetakan Pertama (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979), 205.
10
Mohammad Hatta menjelaskan bahwa kata”Indonesia”sudah dipakai oleh ethnolog Inggris bernama

G.R.Logan dalam bukunya The Ethnology of the Indian Archipelago pada tahun 1850, bahwa nama “Indonesia”
ditemukan Etnolog Inggris bernama G.R. Logan(1850), berasal dari kata India (Lathin:Hindia) dan Nesos
(Yunani:kepulauan), sehingga Indonesia berarti Kepulauan Hindia. Lihat Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta:
Tintamas Indonesia,1979), 126. Bandingkan juga:Hassan Shadiliy, Ensiklopedi Indonesia Vol.3 (Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve,1982), 1437.
11
John Ingelson,Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Terjemahan Nin
Bakdisoemanto, Cetakan I(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 15,16. Bandingkan Sartono Kartodirdjo,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasionalisme, cet.II (Jakarta: Gramedia, 1992), xi.

102

bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah
kenginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu
ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk,- sebagai jang telah diadjarkan oleh Gustav
Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama
menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja
sendiri....itulah pula jang mendjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana
mereka bisa mendapat rezeki itu.”12
Uraian Soekarno tersebut di atas, dimaksudkannya untuk menggugah kesadaran rakyat

mengenai kehidupan ekonomi dan politik yang buruk akibat kolonialisme. Melalui paparan
ini,Soekarno ingin merombak pandangan yang telah lama berakar dalam masyarakat
Indonesia, mengenai pemerintah kolonial yang dipandang sebagai saudara tua yang akan
memberikan kemerdekaan di suatu hari nanti. Soekarno berbuat demikian, karena menurut
dia, tidak ada satupun negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber
rezeki mereka. Cara pandang Soekarno terhadap pemerintah kolonial yang sangat radikal ini,
sangat dipengaruhi oleh dua tokoh nasionalis di Bandung yaitu Douwes Deker dan Tjipto
Mangunkusomo. Dari kedua nasionalis tersebut, Soekarno belajar bahwa kemerdekaan
Indonesia harus diusahakan sendiri melalui pergerakan rakyat, dan bukan dalam usaha
dewan-dewan, juga tidak akan dicapai secara berangsur-angsur melalui kerjasama dengan
pemerintah kolonial Belanda.13
Penilaian Soekarno terhadap pemerintah kolonial Belanda seperti termaksud di atas,
telah bergeser dari penilaiannya semula semasa dia berada di Surabaya. Semasa di Surabaya
Soekarno banyak dipengaruhi oleh pandangan dua orang gurunya di Hogere Burger
School(HBS) Surabaya yaitu Tjokroaminoto dan C.Hartogtog. Pengaruh pandangan dari

kedua tokoh tersebut memberikan penilaian positif terhadap peran pemerintah kolonial dalam
mewujudkan pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Salah satu tulisan Soekarnoyang
menyuratkan penilaian positifnya terhadap pemerintahan kolonial ialah sebagai berikut: “.....
kebutuhan rakyat telah melahirkan Sarekat Islam, dan bahwa salah satu tujuannya adalah

pemerintahan sendiri. Masalah-masalah kritis hanya bisa dipecahkan apabila rakyat
berpemerintahan sendiri, dan apabila ada persamaan kepentingan yang nyata antara
Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1928, dalam, Di
Bawah Bendera Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 2.
13
Soekarno, “Dimanakah Tinju?”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1927,dalam “Di Bawah Bendera
Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 33. Bandingkan juga dengan John Legge, Sukarno
Sebuah Otobiografi Politik, Terjemahan Tim Sinar Harapan,Cetakan ke II (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 97.
12

103

pemerintah dan rakyat. Tetapi itu tidak bisa terjadi dengan segera.Terlebih dulu rakyat
Indonesia harus belajar.Untuk itu rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan
kesempatan yang baik sekali.14
Pergerakan kemerdekaan rakyat kecil Nusantara yang sendiri-sendiri ini, oleh Soekarno
pendiri Partai Nasional Indonesia pada tanggal 4 Juli 1927, diprediksi sebagai perjuangan
yang tidak akan menghasilkan kemerdekaan seluruh negara Nusantara yakni kemerdekaan
Indonesia. Dalam berprediksi demikian Soekarno bertimbang, sehandainya golongan Islam
saja yang memperjuangkan kemerdekaan, berarti akan berdiri negara Islam di kepulauan

Nusantara. Bila golongan komunis saja yang berjuang untuk kemerdekaan di kepulauan
Nusantara, kemungkinan besar akan ada usaha dari kelompok komunis untuk membentuk
negara Komunis Nusantara. Bertolak dari asumsi yang demikian ini, Soekarno berkeinginan
agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu-padu melawan penjajahan Belanda
secara bersama-sama, guna sama-sama merdeka untuk membentuk sebuah negara bersama
yaitu negara Indonesia merdeka. Keinginan Soekarno ini segera berwujud dengan lahirnya
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, (PPPKI) pada tanggal 17
Desember 1927. PPPKI merupakan gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia
yaitu: Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond,
Kaum Betawi, dan Kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya. PPPKI menjadi bukti keseriusan
para nasionalis Indonesia dalam usaha membentuk satu kekuatan nasional guna menghadapi
kolonialisme dan imperialisme. Para nasionalis yang dalam batas-batas tertentu saling
bertentangan, terutama soal koperasi dan non koperasi dengan pemerintah kolonial, mulai
menyadari pentingnya kerja sama untuk mencapai kemerdekaan.15
Pembentukan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia memberikan
dampak positif dalam kehidupan pergerakan nasionalisme Indonesia. Pembentukan PPPKI
telah menjadi pemicu semangat persatuan di kalangan nasionalis Indonesia di masa itu,
terutama di kalangan pemuda. Ikrar bersama yang dicetuskan oleh para pemuda Indonesia,
antara lain Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Bataksbond, Jong Sumatra,
pada konggres pemuda di Batavia yang berlangsung dari tanggal 27-28 Oktober 1928,
menjadi bukti dari kesadaran akan pentingnya persatuan Indonesia. Sumpah Pemuda tersebut

14

Audrey Kahin(ed.),Regional Dynamics . . . , 50.
Soekarno, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam Soekarno, Di Bawah Bendera
Revolusi I (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1964), 83. Bandingkan Marwati Djoened
Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-V,198.
15

104

telah mendobrak batas-batas suku, dan agama, ketika keinginan untuk berbangsa satu,
bertanah air satu, dan berbahasa satu menjadi keinginan bersama.16
Kerjasama beberapa partai dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk
merdeka. Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan
di antara partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.
Cuplikan salah satu tulisan Soekarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:
“Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soalyang dapat membahayakan pemufakatankita.
Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal koperasi dan non koperasi, soal
apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari halhal yang lebih mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang
mempersatukan kita.”17
Terkait dengan keinginannya agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu
karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu menghapus imperialisme Belanda, Soekarno
menyadari bahwa masing-masing golongan yang ada di bumi Nusantara memiliki
pemahaman politik yang pada berbeda. Berangkat dari kesadaran ini, Soekarno seorang
intelektual yang sangat anti dengan imperialisme dan kapitalisme Barat, menjembatani semua
golongan yang ada di bumi Nusantara dengan satu pemahaman politik yang sama untuk
semua golongan. Menurut Soekarno, hanya dengan memiliki satu pemahaman politik yang
sama, semua golongan akan berhasil menghapus kolonialisme dan membentuk negara
merdeka.Satu pemahaman politik yang sama diusulkan Soekarno untuk menjadi pemahaman
politik bersama semua golongan dalam menghapus imperialisme dan membentuk sebuah
negara merdeka ialah Marhaenisme.18
Konsepsi Marhaenisme dari Soekarno ialah suatu ajaran sosio nasionalisme dan sosio
demokratisme. Melalui konsepsi ini soekarno ingin agar seluruh rakyat di bumi Nusantara ini
memiliki kemauan bersatu-padu untuk bertindak secara revolusioner dalam memperjuangkan
kemerdekaan semua, demi kelak diperoleh keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran
bersama. Persatuan dan gotong-royong dari semua negara dalam kepulauan Nusantara untuk
meraih kepentingan bersama yakni kemerdekaan menjadi jiwa dari Marhaenisme. Berangkat
dari konsepsi Marhaenisme yang demikian, Soekarno ingin memasukkan sebanyak mungkin
16

Benhard Dahn, Soekarno Dan Perjuangan . . . , 121.
Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics . . . , 98.
18
Grasindo, Bung Karno.Tentang Marhaen Dan Proletar (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia,1999), 22-24.
17

105

golongan-golongan yang ada di bumi Nusantara, agar kekuatan revolusioner semakin
bertambah banyak dan semakin bertambah kuat untuk menghapus imperialisme Belanda dan
mencapai Nusantara merdeka.19
Dalam konteks kolonial, Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno menunjuk pada
kesatuan unsur-unsuryang mampu menjadi potensi kolektif apabila diarahkan kepada tujuan
bersama. Unsur-unsur termaksud adalah kenyataan penjajahan yang mengakibatkan
kemelaratan dan semangat persatuan demi pencapaian kemerdekaan. Dalam hal ini, Soekarno
ada mengemukakan bahwa, “Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh suatu
keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah jajahan,
adalah semangat ingin merdeka. Nah, kami ingin menyuburkan semangat ingin merdeka itu
pada rakyat Indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan keinsafan kelas sebagai
pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan keinsafan bangsa, dengan
keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasasi oleh
bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan
imperialisme bangsa lain, tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu,
adalah berbudi akal nasionalistis.”20
Menyimak kalimat Soekarno di atas, Marhaenisme atau nasionalisme yang dikonsep
Soekarno tidak hanya fundamental menciptakan solidaritas, tetapi juga potensial untuk
mewujudkan loyalitas yang mentransendensi loyalitas kedaerahan atau golongan.
Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno berhakiki dan berperan sebagai konditio sine qua
non semua negara di kepulauan Nusantara merdeka. Marhaenisme atau sosialisme Soekarno
nampaknya memang adalah sosialisme campuran dari apa yang baik dari declaration of
independence dari America, apa yang benar dari spiritualitas agama-agama, dan apa yang

tepat dari teori Karl Marx. Sebagai sosialisme atau nasionalisme campuran dari ketiga unsur
tersebut di atas, nasionalisme Soekarno memiliki ajaran untuk hidup bekerja-sama,
mempunyai ajaran tentang Tuhan, dan sangat menekankan tentang anti kapitalisme dan

Soekarno, “Marhaen dan Proletar”, dalam Soekarno,Dibawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitia
Penerbit di bawah Bendera Revolusi, 1964), 253.
20
Soekarno, Indonesia Menggugat:Pidato Pembelaan Bung Karno Di Muka Hakim Kolonial (Jakarta:
Departemen Penerangan Republik Indonesia,Tanpa Tahun), 117. Bandingkan: Rupert Emerson, “The progress
of Nationalism,” dalam Philip W. Thayer (ed.).Nationalism and Progress in Free Asia (Baltimore:The John
Hopkins Press,1956), 72,73. Buku ini berisi kajian yang dilakukan Rupert Emersontentang faktor penyebab
lahirnya nasionalisme di Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan kajian tersebut, Emerson menjelaskan, ketika
kehidupan dan martabat satu bangsa terancam oleh kekuatan asing, nasionalisme muncul sebagai kekuatan
perjuangan menghadapi ancaman tersebut. Realitas tersebut mengantar Rupert Emerson pada kesimpulan,
bahwa pemunculan nasionalisme dalam bangsa yang terjajah merupakan konsekuensi dari kolonialisme.
19

106

sosialisme Barat. Nasionalisme Soekarno menolak adanya kaum berjuis atau kaum ningrat di
bumi Nusantara, memimpikan adanya tatanan sosial yang adil di persada Nusantara, dan
memimpikan masyarakat Nusantara hidup mandiri, mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk
kepentingan diri sendiri.21
Paham nasionalisme seperti termaksud di atas, pada masa perjuangan kemerdekaan,
penekanan operasionalnya memang lebih pada taraf ingin mempunyai negara merdeka.
Dengan kemerdekaan yang dimimpikannya itu, rakyat ingin mengatur negaranya menurut
konsepsi yang berdasar pada kesejarahan dan kebudayaannya sendiri. Dalam keadaan yang
demikian, para intelektual

seperti Soekarno menyadari bahwa rakyat Nusantara perlu

diberdayakan dengan pengetahuan sejarah tentang negara-negara dalam kepulauan
Nusantara. Bertolak dari kesadaran ini, maka Soekarno bersama para pemikir dan propaganda
revolusi, baik yang belajar di dalam negeri maupun luar negeri, seperti: Sutomo, Hatta,
Sartono, Budiarto, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, demikian juga bersama dengan
para pemimpin Partai Komunis Indonesia seperti: Darsono, Semaun, dan Abdul Muis, selalu
mengkaitkan gerakan kebangsaan dengan jaman- jaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit.
Mereka juga sering mengadopsi tokoh-tokoh pewayangan sebagai alat propaganda politik
perjuangan, serta mengadopsi ramalan-ramalan Prabu Jayabaya seperti akan datangnya
“ratu adil” sebagai bahan untuk membangkitkan harapan rakyat akan hari depan yang gilanggemilang berupa kemerdekaan Nusantara.22
Pada tahun 1930–an dunia ada pada zaman malaise yaitu ada dalam masa krisis
ekonomi.

Keadaan

ini

tidak

membendung

gerakan

nasionalisme,

namun

justru

menstimulasinya. Dalam gerakan nasionalisme yang memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, Soekarno mensintesiskan ketiga kekuatan ideologis yang pada berbeda namun
yang sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yaitu: nasionalisme, agama dan
komunisme menjadi satu kekuatan dalam apa yang disebut NASAKOM.Gerakan
nasionalisme Indonesia adalah gerakan kerakyatan yang tidak sekedar memimpikan
pembentukan negara dan bangsa Indonesia saja, melainkan gerakan yang mendambakan
kemerdekaan dan keadilan. Dalam posisi demikian, nasionalisme Indonesia merupakan gejala
historis sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh
situasi kolonial. Nasionalisme Indonesia merupakan raungan historis dari rakyat banyak
Soekarno, “Marhaen dan Proletar” dalam Soekarno Dibawah Bendera Revolusi . . . , 178-182.
John Ingleson,Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement 1923-1928,
(Monash Papers on Southeast Asia, Nu.4, 1975), 2-4. Peter Carey,”Mitos,Pahlawan dan Perang”, dalam Wild
Colin, Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,1986), 7-14.
21

22

107

khususnya dari kaum muda yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan agama yang mau
bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Nasionalisme Indonesia bukan sekedar
konsep politik. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas dan sekaligus etika hidup bersama
masyarakat Indonesia. Nasionalisme Indonesia adalah sarana untuk menegakkan martabat
dan persamaan manusia. Sebagai suatu gerakan emansipasi rakyat semesta Nusantara,
nasionalisme Indonesia mengandung visi, budaya, solidaritas dan kebijakan; sebagai jawaban
atas kebutuhan dan aspirasi-aspirasi politik, ideologi, budaya, sosial dan ekonomi untuk
perbaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.23
Berdasarkan konteks kelahiran nasionalisme Indonesia atau keindonesiaan seperti
terurai di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila sesunguhnya adalah ekspresi dan
sekaligus perlawanan seluruh rakyat Indonesia terhadap penderitaan atas kolonialisme,
imperialisme dan kapitalisme, guna untuk meraih kemerdekaan sebagai jalan bagi rakyat
Indonesia menjadi sebuah bangsa-negara yang memiliki kedaulatan politik, ekonomi, sosial
dan kepribadian nasional.
IV.2. Proses Penetapan Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia
Benih nasionalisme Indonesia yang bisa dilihat sebagai cikal bakalIdeologi politik
Indonesia, karena berupakemauan masyarakat Indonesia untuk bersatu guna memperbaiki
diri, yang telah ada pada masa kolonial Belanda, disemai oleh masyarakat Indonesia, pada
saat Indonesia mempersiapkan dan menjadikan dirinya sebagai sebuah negara bangsa, yaitu
Indonesia dalam fenomena baru dan modern yang berbeda dari Indonesia dalam fenomena
sebelumnya.24 Indonesia dalam fenomena sebelumnya berupa kerajaan-kerajaan dan
kolonialisme

yang

ditandai

dengan

segregasi

manusia-manusia

Indonesia

dalam

pengelompokkan menurut ras,25 agama dan kepentingan sosial kemasyarakatan.26Sedangkan
23

Soekarno,Indonesia Menggugat . . . , 58. Bandingkan: Hans Kohn, Nasionalisme dan Sejarahnya,
terjemahan Sumantri Mertodipuro, cetakan kedua (Jakarta: PT.Pembangunan Jakarta,1961), 12. Menurut Hans
Kohn, memang dalam satu negara terdapat unsur unsur objektif yang membedakan bangsa yang satu dengan
yang lain, misalnya persamaan agama, bahasa, turunan, kesatuan politik, adat istiadat, dan tradisi dari satu
bangsa. Tetapi menurut Kohn, bukan berarti tanpa persamaan turunan atau agama dan lain-lain, persatuan atau
nasionalisme tidak akan terwujud. Kohn berpendirian demikian karena baginya, faktor utama pembentukan
nasionalisme terletak pada kemauan bersama dari bangsa tersebut untuk bersatu demi perbaikan diri dan
kepentingan bersama. Bandingkan, Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28
Mei–22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), 75-76. Lihat juga, Th. Sumartana,
“Nasionalisme Indonesia sebagai Gerakan Emansipasi Rakyat”, dalam Bina Dharma (Salatiga: No.35, tahun ke
– 9, 1991), 8-13.
24
John Titaley,Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca -sarjana Bidang Studi Agama
dan Masyarakat(PPsAM),(Salatiga:UKSW,1991),2.
25
Ras Belanda sebagai penguasa, ras Tionghoa dan Asia lainnya sebagai kelas menengah, sedangkan
orang- orang pribumi Indonesia digolongkan sebagai kelas ketiga. Pada masa Indonesia fenomena lama, orang-

108

Indonesia sebagai sebuah fenomena baru adalah Indonesia yang kehendak bersamanya untuk
bersatu guna merubah nasib, mendapatkan bentuk politiknya sebagai suatu bangsa yang
merdeka serta memiliki suatu pemerintahan yang sah, yang harus bersikap adil kepada setiap
rakyatnya, tanpa melihat agama, etnis, dan latar belakang budaya mereka. Indonesia sebagai
sebuah fenomena baru dan modern lahir secara resmi pada saat Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Baru karena fenomena Indonesia ini
adalah fenomena yang belum pernah ada sebelumnya, dalam pengertian suatu lingkungan
wawasan daerah, budaya, sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang secara sadar
menyatakan diri satu dalam bentuk seperti Indonesia. Modern, karena kesatuannya itu
dinyatakan dalam bentuk pemerintahan Republik, bukan kerajaan seperti kenyataankenyataan pemerintahan yang pernah ada di jaman pra Indonesia. Jadi Indonesia yang
Indonesia, adalah Indonesia fenomen per 17 Agustus 1945.27
Lahirnya Pancasila sebagaiideologi politik dari Indonesia fenomena baru, yaitu
Indonesia merdeka, tertayang untuk pertama kalinya pada pergumulan, perdebatan
ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh

dan

Badan Penyelidik Usaha–usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI yang disebut Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai
dibentuk oleh pemerintahJepang pada tanggal 1 Maret 1945, diketuai oleh dokter Radjiman
Wedjodiningrat, beranggotakan 59 orang berasal dari hampir semua kelompok sosial dan
kelompok etnis masyarakat Indonesia dan ditambah tujuh orang Jepang. BPUPKI bersidang
selama dua masa sidang, 29 Mei-1 Juni dan 10 Juli-17 Juli 1945 di gedung Chuo Sangi In
Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada masa
sidang pertamanya, BPUPKI membahas pemerumusan dasar negara yang akan dibentuk.
Memperhatikan pendapat-pendapat yang berkembang, dan menyimak pertentangan yang
tajam antar kelompok dalam persidangan itu, tampak jelas bahw ada tiga kelompok ideologi,
yang karena merasa telah bekerja keras dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, saling

orang Tionghoa dan orang orang Asia lainnya adalah suatu masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu terhadap yang lain dalam kesetiaan politik. Bandingkan J.S. Furnivall, Nederlands India: A
Study of Plural Economy (Cambridge: The University Press,reprinted 1967), 446-469.
26
Agama Kristen dipandang oleh kolonial Belanda sebagai idola untuk meningkatkan mutu, harkat
kemanusiaan dan kematangan budaya golongan pribumi. Sedangkan agama Islam lebih dipandang sebagai
kekuatan yang mampu menggalang kekuatan rakyat untuk melawan kepentingan kolonial di Indonesia. Oleh
karena itu pada masa penjajahan Jepang, Islam dimanfaatkan untuk melawan Barat. Dengan demikian secara
historis posisi agama Islam bermusuhan dengan agama Kristen. Sedangkan agama Hindu dan Budha oleh
kolonial Belanda dipandang sebagai lapisan dasar masyarakat Indonesia yang secara politik dan budaya kurang
begitu mampu memberikan perlawanan ideologis terhadap kepentingan kolonial. Lihat Harry J. Benda, Bulan
Sabit dan Matahari Terbit,Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang (Jakarta:Pustaka Jaya,1985),175.
27
John A. Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama Agama (Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),154.

109

berusaha memperjuangkan pandangan ideologinya masing-masing sebagai acuan untuk
merumuskan dasar negara dari proyek

Indonesia merdeka. Ketiga kelompok ideologi

termaksud ialah: Agama (Syarikat Islam, Masyumi), Sosial-Marxis (Partai Komunis,
Sosialis), dan Nasionalisme(Partai Nasional Indonesia). Kelompok agama memperjuangkan
agar

Islam

menjadi

dasar

negara.

Sementara

itu

kelompok

Sosial-Marxis

dan

Nasionalismemenentang Islam sebagai dasar negara dan mengusulkan agar kebangsaan
sebagai dasar negara.28
Ditengah-tengah pertentangan tiga kelompok ideologi yang ada pada para anggota
BPUPKI seperti termaksud di atas, dan didorong oleh keinginannya untuk mempersatukan
golongan agama, nasionalis, dan marxis-sosialis, sebagaimana telah dipikirkannya di era
1920-an dan 1930-an, Soekarno mengajukan Pancasila sebagaiideologi politik negara.
Pancasila usulan Soekarno, memuat pemikiran Soekarno yang sarat dengan penegasan
mengenai keharusan untuk bersatu, sebagai syarat terbentuknya negara Indonesia merdeka.
Dalam pola pikir demikian, masing-masing sila dari Pancasila harus dipahami sebagai upaya
meredam perbedaan dan pertentangan yang meruncing selama sidang BPUPKI berlangsung.
Berdasarkan proses lahirnya yang demikian, menampak sekali bahwa Pancasila usulan
Soekarno mengalir dari semangat nasionalisme. Hal itu dikatakan demikian, karena Pancasila
senyatanya adalah merupakan rumusan kompromis dari Soekarno seorang pemikir dan
politisi nasional, yang sangat bergumul dengan keinginannya untuk membangun Indonesia
merdeka, namun berangkat dari fakta kemajemukan bangsanya. Bagi Soekarno, kaum
nasionalis, marxis dan Islam perlu bekerjasama dan tidak jegal-menjegal satu terhadap yang
lainnya, karena sama-sama mereka dibutuhkan untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Hanya ketika mereka bersatu, maka tujuan bisa dicapai. Tujuan tidak akan bisa
dicapai ketika hanya satu saja yang merasa dirinya paling benar dan paling baik.29
Rumusan dan urutan Pancasila yang lahir dari konteks kemajemukan Indonesia dan
keinginan Indonesia menjadi negara merdeka, sebagaimana diusulkan Soekarno untuk
menjadi dasar dan sekaligus gagasan politis negara adalah sebagai berikut: Kebangsaan,

28

George McTurman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Diterjemahkan oleh Nin Bakdi
Sumantri (Jakarta: Sebelas Maret University Press, 1995), 153. Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting), Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,1995), 38.
Bandingkan Eka Darmaputra, Pancasila, Identitas dan Modernitas, cet.III (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 1991),
104 -105.
29
Roeslan Abdulgani(Ketua Panitia Penerbit),Bahan–bahan Pokok Indoktrinasi, (Jakarta: Prapanca,
1965, Tjetakan ke III), 46. Lihat juga John Titaley, Panggilan Gereja Dalam Heterogenitas Masyarakat
Indonesia (Salatiga: Makalah, 19 Juli 1997), 2

110

Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakatatau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan
Ketuhanan. Makna kebangsaan menurut Soekarno adalah gabungan antara manusia dan
tempatnya. Dalam makna ini bangsa Indonesia, menurut Soekarno adalah seluruh manusia
yang menurut geopolitik tinggal di semua pulau Indonesia dan memiliki perangai mencintai
Indonesia. Namun kebangsaan yang dicita citakan Soekarno, bukan chauvinisme, bukan
kebangsaan yang menyendiri. Oleh karena itu, makna Internasionalisme atau perikemanusiaan, sesuai dengan paparan Soekarno adalah persaudaraan dunia. Kemudian, makna
Mufakat atau Demokrasi dalam uraian Soekarno adalah Indonesia bukan negara untuk satu
golongan melainkan untuk semua golongan. Lalu makna Kesejahteraan Sosial sesuai uraian
Soekarno adalah Indonesia yang sama-sama berkesejahteraan di bidang ekonomi. Makna
Ketuhanan dalam paparan Soekarno adalah Indonesia yang keyakinannya akan ketuhanan
mengakomodir semua konsep ketuhanan agama-agama yang ada di Indonesia. Perumusan
Pancasila yang demikian ini selaras dengan prinsip-prinsip nasionalisme yang telah bergema
dalam hati dan pikiran Soekarno sejak tahun 1920 an.30Menurut Soekarno, lima sila yang
diusulkannya sebagai dasar politik negara, dapat diperas menjadi tiga sila (SosioNasionalisme, mencakup kebangsaan dan Perikemanusiaan, Sosio-Demokrasi mencakup
Demokrasi dan Kesejahteraan, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan, dapat juga diperas
menjadi satu sila yaitu Gotong-Royong. Dalam hal ini, prinsip utama dalam Pancasila yang
diusulkan Soekarno sebagai ideologi politik negara adalah persatuan dan kesederajatan
Indonesia.31
Pancasila usulan Soekarno untuk menjadi ideologi politik Indonesia dalam pemahaman
seperti terpapar di atas, menunjukkan bahwa eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang
hendak dibangun adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok, dimana nanti di
dalam negara bangsa Indonesia itu, semua golongan dan kelompok diakui eksistensinya dan
ditempatkan dalam kedudukan yang setara. Dalam paparannya tentang Pancasila dengan
gagasan yang demikian, Soekarno ada mengatakan: “Negara Indonesia yang kita semua harus
mendukung dan mencintainya, Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan

Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dalam Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:
Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1963), 1-23.
31
John Legge,Sukarno Sebuah Biografi Politik, Terjemahan Tim Penerbit Sinar Harapan(Jakarta:Sinar
Harapan,1995), 218.Bandingkan Saafroedin Bahar dkk., Risalah Sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan
Indonesia(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia,1995), 82.Bandingkan,Parakitri T.Simbolon,Menjadi Indonesia:Akar-akar Kebangsaan
Indonesia (Jakarta: Kompas Grasindo,1995),250-251. Bandingkan juga John A Titaley,A Socio historical
Analysis of The Pancasila as Indonesia’s State Ideology in The Light of The Royal I deology in The Davidic
State (Th.D.diss., Graduate Theological Union Berkeley,California,1991),141.
30

111

golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitidemito yang kaya untuk Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia!semua buat semua. Prinsip gotong-royong diantara yang kaya dan tidak kaya, antara Islam
dan Kristen, antara yang

Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi Indonesia”.

Perkataan Soekarno ini mempertegas bahwa eksistensi Indonesia Pancasila adalah sebuah
bangsa yang dibentuk di atas perbedaan baik daerah, etnis, agama, ras dan golongan, namun
hendak hidup bersama dalam negara bangsa yang bernama Indonesia. Keindonesiaan adalah
sinergi dari bermacam kelompok yang berbeda yang ada di wilayah Indonesia.32
Usulan Pancasila Soekarno tentu dengan maknanya pula, dapat diterima oleh BPUPKI
dalam sidangnya yang pertama. Namun dalam sidangnya yang kedua, 10-17 Juli 1945, ketika
BPUPKI melakukan pembahasan lanjutan tentang dasar negara dan Undang-Undang Dasar,
pernyataan kemerdekaan Indonesia, bentuk negara, wilayah negara, warga negara, keuangan
negara dan pembelaan negara, persoalan kedudukan agama dalam negara diperdebatkan
kembali. Melalui perdebatan yang panjang, pada tanggal 16 Juli 1945, BPUPKI menyepakati
rancangan pembukaan UUD,33 yang didalamnya tercantum dasar negara Indonesia, yaitu
Pancasila yang populer dengan sebutan Pancasila versi Piagam Jakarta.Urutan dan rumusan
Pancasila versi Piagam Jakarta adalah sebagai berikut: Ketuhanan dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatanyang dipimpin olehhikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.34
Pancasila versi Piagam Jakarta seperti terpapar di atas, adalah hasil rumusan panitia
kerja BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan Pembukaan UUD. Panitia ini terdiri dari
sembilan orang sehingga disebut juga dengan nama Panitia Sembilan. Kesembilan orang itu
adalah sebagai berikut: Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A
Subardjo, A.A.Maramis, K.H.Muzakhir, K.H.Wachid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso dan

32

Saafroedin Bahar,dkk.,(Penyunting), Risalah Sidang . . . , 82.
Soekarno menyebut rancangan Pembukaan UUD ini dengan nama “Mukadimah”, oleh Mohammad
Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, sedangkan oleh Soekiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s
Agreement”. Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna,Historisitas,Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,cetakan keempat,2012),284. Rumusan Piagam Jakarta dari Panitia Kerja
9 BPUPKI tertera dalam lampiran 1 dari disertasi ini.
34
Saafroedin Bahar dkk., (Penyunting), Risalah Sidang . . . , 69-76. Lihat Yudi Latif, Negara
Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
cetakan keempat, 2012), 78.
33

112

K.H. Agus salim.35 Dalam Pancasila versi Piagam Jakarta Kebangsaan digeser oleh
Ketuhanan. Terjadinya pergeseran ini saja, oleh Darmaputra sudah ditafsirkan sebagai
kesepakatan kompromis kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam Panitia Sembilan
untuk memenuhi aspirasi kelompok Islam yang memang menghendaki ideologi Islam sebagai
ideologi negara.36
Dalam Pancasila dan UUD kesepakatan 16 Juli 1945, yang nampaknya memang
sebagai sebuah kesepakatan kompromistis

antara golongan ideologi kebangsaan dan

golongan ideologi Islam, masyarakat Islam diberi hak khusus, berbeda dari komunitaskomunitas Indonesia lainnya. Hak khusus ini, oleh wakil kaum Islam memang sangat
diperjuangkan dengan alasan, pertama, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara sebab Islam
mengandung ideologi negara, dan kedua, karena komunitas Islam adalah mayoritas. Hak
khusus ini sudah terlihat jelas dalam sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta sebagaimana
tertuang dalam rumusan: “ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Hak khusus bagi kaum Islam, tercantum pula dalam pasal 29 ayat 1
dan pasal 6 ayat 1 UUD. Dalam pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang
Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Dalam
pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”37
Makna Indonesia sebagai sebuah fenomena baru, dimana Pancasila adalah ideologi
politiknya, tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang
diambil dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI yang disebut
Dokuritzu zyunbi Iinkai juga dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945,

sehari setelah Amerika membom Hiroshima. PPKI yang anggotanya adalah semua orang
Indonesia, dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua.
Dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, PPKI mengamandemen hak khusus kaum Islam dalam Pancasila dan dalam
UUD hasil kesepakatan 16 Juli 1945. Peniadaan hak khusus kaum Islam ini terjadi karena
keberatan dari wakil-wakil Katolik dan Protestan yang memandang bahwa kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, (dalam Pancasila Piagam Jakarta
dan UUD pasal 29 ayat 1 keputusan BPUPKI 16 Juli 1945) dan kalimat “Presiden ialah orang
35

Saafroedin Bahar,dkk(penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha -usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta:Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995), 94-95, 120, 177.
36
Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas , cetakan III (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia,1991), 108.
37
Roeslan Abdulgani,Bahan-bahan Pokok . . . , 266, 351.

113

Indonesia aseli yang beragama Islam” (UUD pasal 6 alinea 1 keputusan BPUPKI 16 Juli
1945) sebagai politik diskriminasi yang sengaja dimuat dalam dasar negara dan undang
undang dasar terhadap kelompok minoritas. Keberatan dan pandangan para wakil Katolik dan
Protestan membuat PPKI meyadari bahwa politik diskriminasi memang sepatutnya tidak
boleh ada pada dasar negara dan UUD dari Indonesia merdeka. Hal itu disadari demikian,
karena masyarakat Indonsia yang pluralistis suku dan agama, dengan spirit dan prinsipprinsip nasionalisme telah menyatakan kemerdekaannya sebagai kemerdekaan dari satu
bangsa yaitu bangsa Indonesia.38
Berdasarkan keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Pancasila
yang absah secara yuridis konstitusional berlaku sebagai dasar negara Indonesia adalah
Pancasila tanpa hak khusus bagi kaum Islam. Pancasila dalam bentuk definitif dan resmi itu,
tercantum dalam pembukaan UUD keputusan PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan dan urutan
dari Pancasila termaksud ialah sebagai berikut:Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawarahtan-perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Urutan Pancasila ini tidak bersifat sequent atau prioritas, tetapi justru masingmasing sila ini saling kait mengait.
Dilihat dari proses penetapannya sebagai dasar negara Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa Pancasila dikonstruksi berlandaskan pada kesadaran dan kesepakatan bersama bangsa
Indonesia, sebagai sumber otoritas transendental bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
pluralitasnya dan dalam kebersamaan sosialnya
IV. 3. Maksud Perumusan Masing-Masing Sila Dari Pancasila
Memperhatikan konteks kelahirannya dan mencermati proses perumusan dan penetapan
Pancasila sebagai karakter dan dasar negara sebagaimana terpapar pada uraian-uraian di poin
IV.1 dan IV.2, maka maksud urutan dan rumusan masing-masing sila dari Pancasila dpat
didiskripi sebagai berikut:
IV.3.a. Maksud Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ditetapkannya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dimaksudkan sebagai
dasar yang memimpin. Artinya kelima sila dari Pancasila tidak ada yang lepas dari yang lain.
38

Mohammad Hatta,Memoir (Jakarta:Tinta Nas Indonesia,1979), 458-9. Lihat Saafroedin Bahar dkk.,
Risalah Sidang . . . , 415.

114

Sila yang satu harus djalankan bersamaan dengan sila-sila yang lainnya. Tidak ada yang
boleh terlepas dengan sendirinya. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai lapis etik dari
dasar negara didahulukan, karena ia merupakan sumber yang tidak hanya semata-mata
rasional, sehingga bila suatu saat bangsa Indonesia buntu jalan atau sesat jalan, ada unsur
gaib yang memberikan petunjuk dan yang akan mendorong bangsa ini menuju ke jalan yang
benar39. Dengan berdasar

“Ketuhanan Yang Maha Esa”, nasionalisme Indonesia ialah

nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut
perkataan C.R. Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme
yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang digerakkan oleh spirit bahwa Indonesia
adalah perkakasnya Tuhan sehingga harus hidup dalam roh.40
Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah negara demokrasi
yang memberi tempat pada peran publik agama tanpa terjebak dalam paham teokrasi. Dalam
hal ini, bangsa Indonesia tidak meniru sejarah negara-negara Barat yang mengalami
pertentangan antara agama dan negara. Mulanya gereja menguasai segala-galanya termasuk
negara. Kemudian negara memprotes sampai akhirnya berbagi tugas, dunia diurus negara,
akhirat diurus gereja. Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah
negara demokrasi dimana fungsi antara agama dan negara tidak dalam pola penyatuan atau
pemisahan namun dalam pola pembedaan, ada urusan agama dan ada urusan negara. Dalam
pola yang demikian, negara tidak dikendalikan oleh agama dan agama tidak diperalat oleh
negara.41
IV.3.b.Maksud Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Dengan ditetapkannya “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, sebagai sila kedua dari
Pancasila, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghargai manusia sebagi
manusia dari segi batinnya. Melalui sila kedua ini, Pancasila yang adalah karakter dan
falsafah Indonesia melihat semua anak manusia yang walaupun pada berbeda suku, ras dan
agama adalah sesama manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat.
Sebagai bangsa yang berperikemanusiaan, Indonesia hendak menjalankan perilaku yang anti
kekerasan dan anti penyiksaan42. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan,
39

Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab,Cetakan ketiga(Jakarta:Gunung Agung,1980),90-91.
Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 68.
41
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab. . . . , 89. Lihat juga Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 72-4.
42
Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab . . . , 90.
40

115

Indonesia memiliki kesadaran bersama bahwa setiap manusia dari latar belakang apapun dia,
adalah teman dan kawan seperjuangan, bukan musuh, bukan benda atau mesin atau barang
mati. Oleh karena begitu kesadaran bersama Pancasila, Indonesia melihat bahwa unsur
manusia sangat penting dihormati dan jangan sampai diinjak atau terinjak.

Dalam hal ini,

kekerasa, intimidasi, teror, mau menang sendiri bukanlah jiwa Indonesia.43
Prinsip kehidupan dalam sila “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” seperti
termaksud di atas, memberi tempat bagi semua agama di Indonesia ada dalam posisi yang
setara, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua agama di Indonesia memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua agama
Indonesia memiliki tanggung jawab bersama untuk membangun Indone

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB IV

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII

0 4 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI

0 6 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB V

0 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB I

0 1 16