Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II

BAB II
AGAMA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

II.1. Sejarah Terbentuknya Agama Dalam Praanggapan Manusia Modern
Menurut praanggapan manusia modern, sejarah terbentuknya agama

bermula dari

keberadaan manusia sebagai makhluk beragama(homo religious). Dalam pemikiran manusia
modern, sebagai makhluk beragama manusia berbeda dengan makhluk lain, dimana manusia
tidak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat materiel biologis seperti: bertempat tinggal,
makan, minum, dan kawin, tetapi juga sesuatu yang bersifat rohani seperti berbakti,
berrekreasi dan rasa bahagia.1 Dalam menapaki perjalanan hidup guna untuk memenuhi
semua kebutuhannya, manusia menyadari bahwa mereka

berulang kali ada dalam

ketidakpastian. Tidak semua yang menjadi keinginan manusia, baik itu keinginan yang tinggi
maupun keinginan yang rendah, dapat dicapainya, sekalipun manusia telah merencanakan
dengan perhitungan yang sangat cermat.
Baik manusia primitif yang batas-batas kemampuannya lebih sempit akibat dari

kurangnya pendidikan dan sarana-sarana yang dimilikinya, maupun manusia modern yang
lingkup kemahirannya dapat dikatakan sangat luas berkat pendidikan intelektualnya, pada
suatu titik tertentu mereka sama-sama menemukan dirinya ada dalam ketidakpastian dalam
mencapai cita-citanya baik yang sangat berguna bagi kepentingan pribadinya maupun untuk
kepentingan banyak orang. Berlandaskan pada pengalamannya, manusia juga menginsafi
bahwa dalam hidup ini, mereka

memiliki ketidakmampuan dalam menjawab semua

persoalan hidup. Manusia mempunyai keterbatasan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental, seperti pertanyaan: mengapa ada penyakit, mengapa manusia harus mati,
mengapa terjadi musibah yang mengerikan itu, apakah ada makna dibelakang semua kejadian
itu. Bertolak dari dua kelemahannya ini, manusia tidak menyerah kepada nasib, namun justru
melihat seluruh kompleks kelemahannya bukan sebagai rintangan yang menghalangi proses
perkembangannya, melainkan sebagai tantangan yang harus diatasi, minimal untuk
mengurangi pengaruh buruk dari ketidakpastian dan keterbatasan manusia.2

1

H.Dadang

Kahmad,Sosiologi
Agama,Cetakan
Kelima(Bandung:Penerbit
Rosdakarya,2009),19.
2
D.Hendropuspito,O.C, Sosiologi Agama(Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1983),30-2.

41

PT

Remaja

Dalam rangka berproses untuk bertumbuhkembang sebagai makhluk beragama,
manusia senantiasa berusaha menjinakkan lingkungan hidupnya yang ganas, dan selalu
berjuang untuk menguasai dan mengendalikannya. Hasil usaha dan perjuangannya dirakit
dalam suatu sistem sosial kultural yang semakin hari semakin disempurnakan untuk dijadikan
tempat tinggal dan tempat bersandar yang aman sentosa. Usaha-usaha manusia ini bergerak
dalam dua bidang kebutuhan, yaitu kebutuhan akan kebahagiaan sekarang ini dan kebutuhan
akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang sangat mendasar ini dapat dikatakan

dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris dan dunia supraempiris. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini,
dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia, karena ada di luar dunia
pengalaman ini. Dalam mencapai dua jenis kebahagiaan yang dibutuhkannya, manusia
melakukan usaha religius dan usaha nonreligius. Manusia menempuh usaha nonreligius,
selama ia masih sanggup meraih kebahagiaan itu dengan kekuatan manusiawinya sendiri.
Sedangkan jalan religius ditempuhnya tatkala manusia merasa tidak berdaya sama sekali
untuk merebut kebahagiaan itu. Dalam usaha religius, manusia tidak menggunakan kekuatan
sendiri, tetapi tenaga lain yang dipercayai berada di dunia lain yang tidak dapat dijangkau
oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya.3
Dalam usaha religiusnya sebagaimana termaksud di atas, sejarah menunjukkan bahwa
agama

mengalami perkembangan bentuk-bentuk, dari bentuk keagamaan yang masih

sederhana menuju bentuknya yang modern. Adapun urutan perkembangan bentuk-bentuk
keagamaan itu adalah mulai dari munculnya pra-animisme yang meliputi magisme, animisme
dan kemudian agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan gaib yang
dipercayai berada di dalam benda-benda yang tidak bernyawa seperti batu yang aneh dan
keris. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan makhluk yang bernyawa,
khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai memiliki kekuatan lebih tinggi

daripada manusia. Misalnya para arwah nenek moyang yang dipercayai sebagai roh-roh yang
menguasai sungai dan gunung. Dalam agama, manusia mengadakan hubungan dengan roh
yang tertinggi yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tidak terbatas yang oleh agamaagama dunia disebut Tuhan, yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Berdasarkan
pada sejarah terbentuknya agama, beberapa ahli seperti E.B.Tylor, James Fraser dan Andrew
Lang menyimpulkan bahwa agama itu ialah suatu sistem sosial yang dibuat oleh manusia,
berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris atau supernatural yang dipercayai dan
3

D.Hendropuspito,O.C, Sosiologi Agama . . . ,32-3.

42

didayagunakan manusia untuk menentukan corak dan cara hidup dalam meraih apa yang
menjadi kebutuhannya.4
II.2. Pendefinisian Agama Secara Etimologis
Pengertian tentang agama bisa diungkap dalam definisi dan bisa pula dalam teori.
Namun definisi dan teori itu berbeda. Definisi menjelaskan suatu hal sehingga sedapat
mungkin semua yang didefinisikan tercakup dalam definisi dan yang tidak termasuk dalam
definisi tidak termasuk. Definisi tidak menjelaskan hubungan yang didefinisikan dengan hal
lain. Dalam definisi tidak dijelaskan tentang hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terkait, antara faktor yang mempengaruhi dengan faktor yang dipengaruhi, atau antara
variabel independen dengan variabel dependen. Definisi adalah jawaban dari kata “what”.
Oleh karena demikian pemahaman definisi, maka definisi tentang agama pada prinsipnya
menjelaskan apa itu agama.Sedangkan teori itu menjelaskan hubungan antara dua hal atau
dua variabel atau lebih, antara variabel dependen dan variabel independen. Teori merupakan
jawaban dari pertanyaan “why” atau “how”. Oleh karena begitu pemahaman tentang teori,
maka teori tentang agama pada prinsipnya menjelaskan hubungan yang ada antara agama dan
penganut agama, antara agama dan masyarakat.5
Secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta. Agus Bustanuddin
mengatakan agama berasal dari kata a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Maka
agama berarti “tidak pergi, tidak hilang atau tidak putus”. Agama diartikan demikian agaknya
karena agama diajarkan oleh penganutnya secara turun-temurun atau karena agama pada
umumnya mengajarkan kekekalan hidup atau kematian bukanlah akhir kehidupan karena ada
lagi kehidupan selanjutnya di alam gaib dan akhirat.6 Oleh Dadang Kahmad kata gam
diterjemahkan dengankacau sehingga agama berarti tidak kacau. Bahwa agama berarti “tidak
kacau”, tulis Dadang Kahmad mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan
yang mengatur kehidupan manusia agar manusia sebagai penganut agama memiliki
pandangan hidup dan mempunyai jalan hidup yang tidak kacau tetapi teratur.7Menurut Harun
Nasution kata agama diartikan dengan “tuntutan”. Dengan mengartikan kata agamasebagai
4


D.Hendropuspito,O.C, Sosiologi Agama . . . , 33-4. Daniel L. Pas,Eight Theories of Religion,Second
Edition(New York:Oxford University Press,2006),88-90.
5
Agus Bustanuddin,Agama dan Fenomena Sosial Buku Ajar Sosiologi Agama(Jakarta:Penerbit
Universitas Indonesia,2010),32-3.
6
Ibid, 29.
7
H.Dadang Kahmad,Sosiologi Agama, Cetakan Kelima (Bandung:Penerbit PT Remaja
Rosdakarya,2009),13.

43

tuntutan, Harun Nasution memandang agama sebagai ajaran yang mengandung tuntutan
untuk mengerjakan ibadat dan tuntutan untuk menghindari perbutan haram.8
Kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris dan religie
dalam bahasa Belanda, dimana keduanya berasal dari bahasa latin religio dari akar kata
religare yang mempunyai beberapa arti yaitu: membaca, mengumpulkandan mengikat.
Alasan kata yang mengandung tiga arti ini dipakai oleh agama karena ajaran agama yang

terkandung dalam kitab suci memang sering dibaca. Arti mengumpulkan juga dapat dipahami
karena ajaran agama dipercayai sebagai kumpulan cara mengabdi kepada Tuhan. Maksud lain
dari arti mengumpulkan ini juga dapat dihubungkan dengan sifat ajaran agama yang
mengumpulkan segenap aspek hidup dan kehidupan manusia penganutnya. Kemudian arti
mengikat juga dapat dipahami karena ajaran agama memang mengikat penganutnya untuk
melakukan suruhan dan menghentikan larangan.9
Menurut Agus Bustanuddin, dalam bahasa Arab agama disebut sebagai al-din. Lebih
jauh Bustanuddin menunjukkan bahwa kata al-din mengandung beberapa arti yaitu: paksaan
dan tekanan, ketaatan dan peribadatan, pembalasan dan perhitungan, sistem dan cara. Bahwa
agama diartikan sebagai paksaandan tekanan karena agama memang dipandang sebagai
ajaran yang memaksa dan menekan penganutnya untuk mengamalkan ajarannya. Kalau tidak
diamalkan, Tuhan akan murka kepada penganut agama yang tidak mengamalkan itu, dan di
akhirat kelak akan mendapat azab-Nya berupa masuk ke dalam api neraka. Bahwa agama
didefinisikan sebagai ketaatandanperibadatan karena agama memang dipandang sebagai
ajaran yang mengandung tuntutan Tuhan agar kita taat dan beribadah kepadaNya. Bahwa
agama dimaknai sebagai pembalasandan perhitungankarena agama memang dilihat sebagai
ajaran yang memuat adanya pembalasan bagi setiap amal yang dikerjakan di dunia ini, baik
pekerjaan baik

maupun pekerjaan buruk. Bahwa agama diartikan sebagai sistemdan


carakarena agama memang merupakan ajaran tentang sistem dan cara menjalani kehidupan
dalam berbagai aspeknya.10 Merujuk Al-Quran surat Al-Kafirun ayat 7 yang berbunyi:
“bagimu al-din kamu dan bagiku al-din aku”, mengindikasikan bahwa pengertian al-din yang

8

H. Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jilid I (Jakarta:Universitas Indonesia
Press,1979),1-2.
9
Ibid.
10
Agus Bustanuddin,Agama Dan . . . , 30-1.

44

berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya tidak ditujukan kepada salah satu
agama. Al-din adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.11
II. 3. Pendefinisian Agama Dalam Kehidupan Masyarakat
Pengertian agama sebagaimana didefinisikan atau dipahami masyarakat, sama

beragamnya dengan arti agama secara etimologis. Pengertian agama dalam kehidupan
masyarakat yang beragam itu, tidak selalu sama dengan pengertian agama menurut bahasa.
Keragaman pengertian agama di masyarakat, atau dengan kata lain, beragamnya sudut
pandang dan persepsi tentang agama dari manusia penganut agama itu, disebabkan karena
dalam diri agama itu sendiri terkandung dua faktor yang berbeda jenis tetapi sama-sama
dinamis yaknitradisi kumulatif yang historisdaniman personal manusia. Tradisi kumulatif
historis adalah kehidupan religius pada masa silam sebagai gambaran konkret agama,12 yang
dialihkan dari satu generasi ke generasi lain. Sedangkan iman personal manusia yang
merupakan konseptualisasi hati manusia atas Sang Transenden, ada di dalam hati manusia
melampaui tradisi-tradisi agama.13
Beragamnya pemahaman masyarakat tentang agama, selain diakibatkan karena dalam
diri agama itu terkandung faktor-faktor tradisi kumulatif historis dan iman personal manusia,
juga disebabkan karena agama itu terdiri dari beberapa unsur. Beberapa unsur yang melekat
pada agama itu, sebagaimana dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes terdiri
dari: creed, code of behaviour, cult dan community-structure.14 Dengan adanya creed yang
merujuk pada aspek kognitif dari agama, manusia dimungkinkan untuk membuat pilihan,
menafsirkan setiap kejadian dan merencanakan tindakan. Dengan adanya code of behaviour
yang merujuk pada aspek afirmatif dari agama, manusia mengafirmasi kredonya. Dengan
adanya unsur cult yang melekat pada agama, manusia tertuntun untuk berkomunikasi dengan
creed dan juga dengan sesama yang sewarga, sehingga cult itu bisa menambah intensitas

kebersamaan mereka. Dengan adanya unsur community-structure yang tidak bisa lepas dari
agama, yakni komunitas yang bersama-sama menjalankan creed, code of behaviour dan

11

H.Dadang Kahmad,Sosiologi Agama . . . , 13.
Contoh yang paling konkret menggambarkan tradisi kumulatif historis itu adalah: bangunanbangunan peribadatan, kitab-kitab suci, sistem teologi, kode moral dan mitos-mitos.
13
Wilfred Cantwel Smith,The Meaning and End of Religion,terjemahan(Bandung:Mizan,2004),269.
14
Leonard Swidler dan Paul Mojzes,The Study of Religion in an Age of Global
Dialogue(Philadelpia:Temple University Press,2000),7.
12

45

cult,senyatanya agama itu melahirkan kesadaran pada manusia untuk memiliki kelompok
keagamaan.15
Bertolak dari keberadaan agama seperti termaksud di atas, dan mencermati proses
pemahaman masyarakat terhadap agama, maka pemahaman dan penerimaan masyarakat

terhadap agama terkesan ambivalen. Ada model pemahaman dan penerimaan masyarakat
yang melihat agama itu sebagai kepercayaan yang pada satu pihak membangkitkan rasa
persatuan diantara komunitas yang seagama, namun pada pihak lain mempertajam konflik
antar penganut agama yang berbeda. Ada jenis sikap dan penerimaan masyarakat yang
memandang agama itu sebagai paham yang di satu pihak dapat memberikan rasa bahagia,
namun di lain pihak dapat juga menimbulkan rasa berdosa yang mendalam. Ada model sikap
dan penerimaan masyarakat yang menyikapi agama itu pada satu sisi sebagai keyakinan yang
menggerakkan optimisme dalam mengahadapi berbagai masalah kehidupan, namun pada sisi
lain sebagai keyakinan yang melahirkan sikap pasrah saja kepada nasib yang menimpa
mereka. Ada model sikap dan penerimaan masyarakat yang memposisikan agama itu di satu
pihak sebagai paham yang dapat membuat mereka menjadi lebih supel, terbuka atau inklusif
dalam bergaul, namun di lain pihak sebagai paham yang harus dipegang secara fanatik,
sehingga mereka lebih bersikap tertutup, eksklusif dan kaku.16
Melihat sejarah terbentukya agama, menyimak pendefinisian agama secara etimologis,
mencermati pemahaman masyarakat tentang agama yang sangat beragam karena agama
memang mengandung beraneka faktor dan unsur, dapat disimpulkan bahwa agama itu
kompleks. Dalam rangka memilah-milah agama yang kompleks itu agar kita bisa
memahaminya, sesuai dengan segi dan sisinya, nampaknya baik kita mengingat apa yang
dikatakan Joachim Wach bahwa agama itu memiliki tiga ekpresi umum. Secara teoritis
agama merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis agama adalah sistem ibadah. Dan
secara sosiologis agama adalah sistem hubungan masyarakat.17Berdasarkan pada eksistensi
agama yang bisa dipilah demikian, dan demi kemajuan kita dalam beragama di masyarakat,
yakni menghadirkan keberagamaan yang melahirkan kesejahteraan masyarakat, kita patut
memahami dan memaknai agama dalam pendekatan sosiologis lebih daripada pendekatan
teologis. Hal itu dikatakan demikian karena pemahaman dan pemaknaan agama dalam

15

Meredith B. McGuire,Religion:The Social Context(California:Wadsworth,1992),16.
Agus Bustanuddin,Agama dan Fenomena Sosial . . . , 30-1.
17
Joachim Wach,Sociology of Religion(Chicago:The University of Chicago Press,1958),17-34.
16

46

pendekatan teologis sangat berbeda sekali dengan pemahaman dan pemaknaan agama dalam
pendekatan sosiologis.
II.4. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Dalam Pendekatan Teologis
Dalam pendekatan teologis, masyarakat pada umumnya memahami dan memaknai
agama yang dianutnya itu, sebagai sebuah institusi pemilik kebenaran yang melangit bukan
kebenaran yang membumi. Maksudnya dalam pendekatan teologis, agama pada umumnya
dipahami oleh para penganutnya bukan sebagai sebuah institusi yang tengah mencari
kebenaran yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia, namun sebagai sebuah institusi
penerima wahyu dari Tuhan Sang Mutlak sehingga ia sekaligus adalah sebuah institusi
pemilik kebenaran mutlak.18 Kemudian pengalaman banyak masyarakat di berbagai tempat
menunjukkan bahwa, ketika klaim kebenaran mutlak dari agama yang dianut oleh
sekelompok masyarakat dihadapkan pada klaim kebenaran agama yang lain, tidak jarang
menimbulkan benturan, perselisihan bahkan peperangan yang bernuansa agama.
Bahwa sebuah agama yang mengekpresikan dirinya sebagai pemilik kebenaran mutlak,
selalu mengakibatkan adanya benturan di masyarakat adalah suatu hal yang sangat wajar
terjadi. Hal itu dikatakan demikian, karena senyatanya tidak ada satu agamapun dan tidak ada
seorang manusiapun dapat membuktikan secara empirik bahwa dirinya menerima penyataan
atau pewahyuan dari Tuhan. Memang Tuhan sebagai Sang Mutlak itu ada dan berhubungan
dengan manusia, namun Ia tidak pernah hadir secara empirik dalam kehidupan manusia,
sehingga manusia juga tidak dapat berkomunikasi secara langsung dan empirik denganNya.
Oleh karena itu, belum ada seorang manusia yang dapat membuktikan secara empirik bahwa
ia telah berjumpa dengan Tuhan Sang Mutlak itu. Penyataan Yang Mutlak dalam
kenyataannya selalu secara tidak langsung, yaitu bisa melalui penglihatan atau bisa dalam
mimpi. Kenyataan ini tidak dapat membuktikan bahwa penyataan Sang Mutlak itu adalah
suatu kebenaran yang bersifat empirik. Kenyataan seperti ini adalah kenyataan yang tidak
rasional, tidak berhubungan dengan akal pikiran manusia. Bahwa penyataan Sang Mutlak itu
tidak rasional, memang bukan harus diartikan sebagai sesuatu yang tidak benar.Namun ia
tidak dapat dibuktikan seperti halnya menunjukkan vidio yang dapat dilihat secara obyektif.19

Peter Berger, “Religion and Global Society”, dalam Mark Juergensmeyer(ed.),Religion in Global
Civil Society(New York:Oxford University Press,2005),21.
19
John A. Titaley,Religiositas di Alinea Ketiga:Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi AgamaAgama(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),29-32.
18

47

Bahwa penyataan Sang Mutlak kepada seseorang tidak dapat dibuktikan secara
obyektif, adalah karena penyataan itu bersifat subyektif. Penyataan yang bersifat subyektif itu
adalah berupa pemahaman, perasaan, kesadaran dan keyakinan seseorang akan keberadaan
Sang Mutlak yang tidak dapat dirasakan oleh semua orang secara sama. Pemahaman dan
keyakinan dari seseorang atau sebuah agama akan keberadaan Sang Mutlak yang demikian
ini, adalah sebuah pemahaman atau keyakinan mereka sendiri yang dibangun berdasarkan
interpretasi. Oleh karena pemahaman dan keyakinan seseorang atau sebuah agama akan
keberadaan Sang Mutlak dan tentang kebenaran mutlak bersifat interpretasi, maka seorang
manusia atau setiap agama tidak boleh mengklaim secara mutlak bahwa pemahaman dan
keyakinannya adalah benar seratus persen berasal dari Sang Mutlak, dan juga tidak boleh
memposisikan diri sebagai pribadi dan institusi pemilik Kebenaran Yang Mutlak.Hal itu
dikatakan demikian karena keyakinan seseorang atau sebuah agama akan Sang Mutlak dan
Kebenaran Mutlak, yang bertumpu pada interpretasi manusia atas pengalamannya dengan
Sang Mutlak, pasti banyak melibatkan unsur kemanusiaan dan kebudayaan yang mengitari
seseorang atau sebuah agama itu.20
Bahwa semua yang ada dalam setiap agama tidak sepenuhnya berasal dari Sang
Mutlak, sehingga agama tidak memiliki kebenaran mutlak, karena pemutlakan kebenaran itu
hanya berada dalam diri Sang Mutlak itu sendiri; tetapi justru semua yang ada dalam agama
adalah pemahaman manusia terhadap Sang Mutlak dalam budayanya masing-masing, terlihat
jelas dalam penamaan yang dilakukan oleh masing-masing agama akan Sang Mutlak itu.
Beberapa contoh dapat diungkap di sini, bangsa Yahudi menyebut Sang Mutlak itu Yahweh.
Bangsa Arab menyebutNya Allah Subhanahu wa Tahala. Bangsa Indonesia menyebutNya
Tuhan. Ketika Sang Mutlak itu dipahami secara budayawi seperti ini, maka pemahaman akan
Sang Mutlak itu menjadi pemahaman berdasar pada budaya dari masing-masing bangsa.
Penamaan Sang Mutlak itu sebagai Allah Subhanahu wa Tahala berasal dari budaya Arab.
Penamaan Sang Mutlak itu sebagai Tuhan berasal dari budaya Indonesia.21
Melihat fakta bahwa pemahaman dan keyakinan manusia akan Sang Mutlak sangat
budayawi sifatnya karena dipengaruhi oleh aspek sosiokultural, maka pemahaman dan
pemaknaan agama dalam pendekatan teologis, yang melihat agama itu memiliki kebenaran
yang absolut karena mendapat wahyu dari Sang Mutlak, sangat tidak berdasar dan tidak

20
21

John A. Titaley,Religiositas di Alinea . . . , 29-32.
Ibid., 33.

48

realistis. Oleh karena begitu realitanya, maka agama wahyu dan pemahaman agama hanya
berdasarkan pada pendekatan teologis, tidak akan pernah mampu menuntun masyarakat
mengekspresikan keberagamaan yang mewujudkan bumi bersukacita dalam damai sejahtera.
Dalam rangka menata masyarakat dan demi terciptanya dunia yang mensejahtera, maka
pemahaman dan pemaknaan agama dalam pendekatan sosiologis sangat patut dilakukan.22
II.5. Pemahaman Dan Pemaknaan Agama Dalam Pendekatan Sosiologis
Dalam memahami dan memaknai agama secara sosiologis, para sosiolog tidak
memposisikan agama sebagai ajaran Tuhan yang sakral tetapi sebagai fenomena sosial.
Dalam memposisikan agama sebagai fenomena sosial, para sosiolog

membangun teori

tentang agama berdasar pada analisa terhadap cara beragama masyarakat. Dalam menganalisa
cara beragama masyarakat, para sosiolog menemukan bahwa cara beragama masyarakat
sering dipengaruhi oleh pranata kehidupan manusia diluar agama seperti : ekonomi, politik,
dan budaya. Para sosiolog meyakini bahwa kemiskinan, tekanan politik, dominasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta ekspansi budaya asing acapkali mempengaruhi kehidupan
beragama masyarakat. Berangkat dari keyakinannya ini, maka dalam membangun teori
tentang agama, para sosiolog mengkaji pengaruh dari berbagai pranata kehidupan terhadap
agama. Jadi titik tolak kajian para sosiolog dalam membangun teori tentang agama bukan
wahyu Tuhan atau ajaran agama mengenai suatu masalah, tetapi justru pranata sosial yang
diduga sangat mempengaruhi cara beragamanya masyarakat.23
Para sosiolog yang cukup berperan dalam pembahasan agama sebagai fenomena sosial
ialah: Karl Marx24, Max Weber25 dan Emile Durkheim.26 Masing-masing teori dari mereka

22

Agus Bustanuddin,Agama Dan Fenomena Sosial . . . , 34-35.
Ibid, 13-15.
24
Karl Mark lahir 5 Mei 1818 di kota Tier daerah Rhine Jerman. Ayahnya Heinrich Marx dan ibunya
Henrietta berasal dari keluarga rabi Yahudi. Heinrich Marx bekerja sebagai pengacara sukses sehingga berstatus
berjuis yang hidup dalam kemewahan. Pada tahun 1814 empat tahun sebelum Karl Marx lahir, ketika
pemerintah Prusia mengambil alih kota Tier dari Prancis dan sekaligus mengesahkan hukum anti Yahudi, demi
kepentingan politik, ekonomi dan sosial, ayahnya Karl Marx mengajak seluruh keluarganya berpindah ke agama
Kristen Protestan. Karl Marx belajar filsafat di universitas Berlin pada masa pengaruh pemikiran Hegel sangat
kental. Karl Marx menerima pandangan Hegel yang bersifat idealistik dialektik, bahwa kekuatan yang
mendorong perubahan sejarah adalah berupa proses penolakan atas ide-ide yang ada dan menggantinya dengan
ide-ide baru yang bertentangan. Namun Karl Marx menolak pandangan Hegel yang mengatakan bahwa roh akal
budi yang abadi menjadi pengawas setiap pergantian ide-ide perubahan itu. Sesudah menyelesaikan disertasi
doktornya, Karl Marx sempat tinggal sebagai orang buangan yang melarat di beberapa negara Eropa seperti di
Prancis, Brusell dan Inggris. Pada masa Marx sendiri hidup dalam kemelaratan, dia juga menyaksikan konflik
sosial yang terjadi di antara kaum buruh industri dengan para pemilik mesin-mesin dan pabrik-pabrik, yang
dipicu oleh sebab-sebab ekonomis dan cara-cara konflik itu dibendung oleh kelas-kelas yang berkuasa.
Fenomena ini membuat Marx bersifat pesimis terhadap kapitalisme. Informasi ini ada pada Doyle Paul
23

49

tentang agama sebagai fenomena sosial yang melucuti corak transendental agama, namun
mendorong praktek agama yang bersanding dan bergulat dengan masalah-masalah sosial dan
dengan institusi-institusi sosial, guna untuk mensejahterakan masyarakat, dapat dipaparkan
seperti di bawah ini.
II.5.a. Teori Karl Marx Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial
Teori

Marx tentang agama,

berangkat dari pemahamannya tentang sejarah dan

kesadaran diri serta dibangun berdasarkan pada kritiknya terhadap pengeksploitasian agama
di Eropa yang dilakukan oleh negara dan kaum kapitalis pada jamannya.
Johnson,Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perpectives,Diindonesiakan oleh Robert
M.Z.Lawang, Cetakan Kedua (Jakarta:PT Gramedia,1988), 122.
25
Max Weber lahir di Erfurt Thuringia 1864 tetapi dibesarkan di Berlin. Keluarganya adalah orang
Protestan kelas menengah atas. Ayahnya adalah seorang hakim di Erfurt dan ketika ia dan keluarganya pindah
ke Berlin dia menjadi seorang penasihat di pemerintahan kota dan kemudian menjadi anggota Prussian House
of Deputies dan German Reichstag. Ayah Weber juga terlibat dalam Partai Liberal Nasional. Ayah Weber
nampaknya tidak memiliki keyakinan yang mendalam atau idealisme yang tinggi, sehingga ia senang dengan
kompromi politik dan menyukai kehidupan gaya berjuis. Ibunya yang bernama Helene Fallenstein Weber
memiliki watak yang sangat berbeda dengan ayahnya. Keyakinan agama Ibu Weber serta perasaan saleh
Calvinis yang ada dalam dirinya jauh lebih besar daripada suaminya. Ketika masih kecil Max Weber adalah
seorang pemalu dan sering sakit, namun dia adalah seorang yang sangat jenius. Pada usia 18 tahun Weber
belajar hukum di Universitas Heidelberg. Selama menjadi mahasiswa Max Weber berinteraksi dekat dengan
tantenya Ida adik dari Ibunya yang kawin dengan Herman Baumgarten. Ida sama seperti Ibunya Weber adalah
seorang yang sangat saleh. Paman dan tantenya ini hidup rukun, berbeda dengan ayah dan ibunya. Paman dan
tantenya sangat memberi kehangatan emosional kepada Max Weber. Max Weber sangat dipengaruhi oleh
paman dan tantenya. Sebagai akibatnya Weber sangat mengikuti ibunya. Weber menolak sikap ayahnya yang
amoral dan mengarahkan perilakunya kepada ideal-ideal etika Protestanisme. Iklim sosial dan politik di Jerman
pada masa Weber, juga diakibatkan oleh revolusi industri walaupun itu terjadi lebih kemudian di Jerman
daripada di Prancis dan Inggris. Struktur politik dan sosial di Jerman pada masa Weber sangat tegang dan
kontradiktif. Perkembangan industri dan kekuasaan ekonomi berjuis meluas dengn pesat di belahan barat
Jerman, sedangkan di bagian timur Jerman masih didominasi oleh pola feodal tradisional dimana gaya hidup
masih sangat aristokratik. Struktur ekonomi Jerman dikuasai oleh sistem industri dan kaum berjuis, sedangkan
struktur poliitik dan sistem budaya masih dikuasai oleh nilai-nilai tradisional. Di atas kontradiksi internal yang
sangat mendasar ini, ada panggilan pada bangsa Jerman untuk mewujudkan tujuan nasionalisme Jerman yakni
Jerman yang kuat, satu dan dominan dalam bidang kebudayaan. Berdasarkan pada panggilan nasionalisme
Jerman ini, maka sekalipun Max Weber simpatik terhadap masalah-masalah kelas pekerja, perhatian utama
Weber adalah bahwa kelas pekerja itu harus terlibat dalam mendukung tujuan nasionalisme jerman. Informasi
ini ada pada Doyle Paul Johnson,Sociological Theory Classical Founders and contemporary
Perspectives,Diindonesiakan oleh Robert M.Z.Lawang, Cetakan Kedua(Jakarta:PT Gramedia,1988), 209-213).
26
Emile Durkheim lahir di Desa Epinal, Vosges, Strasbourg sebuah perkampungan kecil orang Yahudi
di bagian timur Prancis pada 15 April 1858. Ia berasal dari keluarga Yahudi bahkan ayah dan kakeknya adalah
rabi. Emile Durkheim sempat masuk agama Katolik di bawah pengaruh seorang gurunya yang beragama
Katolik. Durkheim meninggalkan agama Katolik dan menjadi seorang yang tidak mau tahu dengan agama.
Walau Durkheim menjadi seorang agnostik, dia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah-masalah
moralitas dan usaha-usaha meningkatkan moralitas masyarakat. Semasa hidup Emile Durkheim, Prancis sedang
dalam revolusi industri yang disemangati oleh kebebasan individu untuk mengupayakan pendapatan demi
kemajuan hidup. Revolusi industri membawa perubahan besar dalam hubungan sosial masyarakat Prancis,
dimana muncul keteraturan sosial yang baru yang hendak memadamkan keteraturan tradisional, namun
keteraturan sosial yang baru itu masih dalam keadaan goyah. Berdasar pada konteks sosial Prancis yang
demikian, Emile Durkheim membangun teori sosial yang kental dengan keyakinan kuat akan moralitas umum
yang sarat dengan perasaan akan solidaritas terhadap bangsa sebagai satu keseluruhan. Informasi ini didapat dari
K.J.Veeger,Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala
Sejarah Sosiologi(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1993), 140-2.

50

Pemahaman Marx tentang sejarah berbeda dengan pemahaman Hegel walaupun Marx
dengan jujur mengakui bahwa Hegellah yang memberikan dia sebuah perangkat analisis
sejarah yang sangat penting. Menurut Hegel sejarah adalah perkembangan dan konflik
berbagai prinsip abstrak kebudayaan, agama, dan filsafat melalui proses dialektik. Bahwa
sejarah ada dalam proses dialektik, dijelaskan oleh Hegel, karena dalam sejarah selalu ada
konflik antara kondisi sekarang dengan kondisi sebelumnya, namun dalam setiap kondisi itu
terdapat benih-benih dari destruksi dan transformasi dirinya menuju tingkat yang lebih tinggi.
Lebih jauh, Hegel mengemukakan bahwa proses dialektika sejarah ini, berlangsung dalam
dunia ide melalui berpikir murni dan sempurna dalam dirinya di bawah kendali atau kontrol
“sang ide kekal”. Maksud Hegel, aktivitas-aktivitas berpikir di bawah bimbingan “sang idea
kekal” ini, berlangsung terpisah dari aktivitas-aktivitas nyata dalam dunia sosial.Manusia
bekerja dengan kategori-kategori universal sebagai kebenaran-kebenaran kekal yang terberi
dalam pikiran manusia.27
Pendekatan Hegel terhadap sejarah seperti tersebut di atas bersifat idealistik,
transendentalis dan spekulatif. Pendekatan yang demikian ini cukup berpengaruh di Jerman
pada masa Marx. Para filsuf dan teolog kritis Jerman pun yang oleh Marx disebut “kaum
ideologi“ seperti Bruno

Bauer sering terperangkap olehnya dan sulit melepaskan diri

darinya. Penilaian ini didasarkan pada fakta bahwa, ketika “kaum ideologi” Jerman mencoba
mengelaborasi pemahaman sejarah Hegel yang bercorak dialektis idealis, sebagai titik tolak
kritisisme mereka terhadap sistem sosial kapitalis pada jaman mereka, yang nyata-nyata
menimbulkan problem-problem material kehidupan, mereka senyatanya tetap berpegang pada
keyakinan bahwa pergulatan dialektis ide-ide lama dan baru yang merubah sejarah
berlangsung dalam dunia idea, sehingga mereka tidak mengambil bagian dalam kondisi
sosial-kritis. Melihat fakta ini, oleh Marx, kaum ideologi dikatakan tidak sungguh-sungguh
menggunakan filsafat atau ilmu untuk menangani problem-problem material kehidupan nyata
yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi dan sistem produksi masyarakat kapitalis.28
Sementara Hegel dan kaum ideologi Jerman berpendirian bahwa proses terbentuknya
dialektika ide-ide lama dan baru yang mentransformasi sejarah, ada pada dunia ide sehingga
kebenaran dalam pikiran manusia adalah kebenaran yang terberi oleh sang ide kekal, Marx
27

Greggory Baum, Religion and Alienation, A Theological Reading of Sociology,Second
Edition(Ottawa:Saint Paul University,2006), 33. Robert C.Tucker,The Marx-Engels Reader(New
York&London:W.W Norton&Company,1978),66-125.
28
Rolan Boer, “Friends, Radical and Estranged: Bruno Bauer and Karl Marx”.Journal, Religion and
Theology 17 (2010), 358-401.

51

justru berpendapat bahwa proses dialektis ide-ide yang mentransformasi sejarah itu, dibentuk
dalam dunia material-sosial. Oleh karena proses dialektis antara ide-ide lama dan baru yang
mentrasformasi sejarah berlangsung dalam dunia sosial, maka menurut Marx , elemen utama
dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan sosial sehari-hari. Produksi dan
reproduksi sosial ini, dilakukan oleh manusia sendiri dalam dunia nyata sebagai pencipta
sejarahnya. Penciptaan sejarah manusia, dalam pengamatan Marx, dilakukan manusia di
bawah asumsi-asumsi dan kondisi-kondisi tertentu, serta berlangsung dalam kontestasi
konfliktual antara berbagai kekuatan kehendak, paham, cita-cita dan program. Produksi dan
reproduksi kehidupan sehari-hari, di mata Marx, menjadi medan pengembangan berbagai
teori atau ilmu29. Sebagai produksi sosial, teori atau ilmu itu, dalam pandangan Marx,
merupakan pengorganisasian konsep-konsep yang berlangsung dalam masyarakat, yang harus
digunakan secara efektif agar menjadi kekuatan praktis yang membebaskan dan mengubah
dunia.30
Pemahaman Marx mengenai kesadaran dirijuga tidak sama dengan pemahaman Hegel.
Menurut Hegel kesadaran diri merupakan konsep dasar utama yang mengintegrasikan proses
mengetahui manusia. Kesadaran diri ini, di mata Hegel, dibentuk melalui proses mental atau
berpikir secara abstraktif pada tataran ideal, dalam dunia idea, dunia yang mengatasi dan
terpisah dari dunia sosial material faktual. Lebih jauh Hegel mengemukakan bahwa
kesadaran diri abstraktif yang egoistik ini, melahirkan konsep-konsep berupa: relasi sosial,
karya manusia, dan ketidakbebasan manusia. Bagi Marx kesadaran diri abstraktif egoistik ini
memproduksi kesadaran diri palsu, yaitu suatu keadaan mental yang tercekoki oleh konsepkonsep yang mengaburkan pemahaman masyarakat akan kekuatan-kekuatan yang secara
nyata membimbing dan mengarahkan pemikiran mereka. Oleh Marx kesadaran diri palsu itu,
dikarakterisasi sebagai ketidaksadaran manusia akan keasalan ide-ide yang mencekoki
mereka itu adalah dari dalam kondisi-kondisi sosial dan dan juga sebagai ketidaksadaran
manusia akan peran yang dimainkan oleh ide-ide termaksud dalam rangka mempertahankan
atau mengubah kondisi-kondisi yang melingkupi mereka.31

29

Robert C. Tucker,The Marx-Engels Reader . . . , 67,71,301.
Stephen A.Resnick and Richard D.Wolff, Knowledge and Class:A Marxian Critique of Political
Economy (Chicago: University of Chicago Press,1989), 27. Lihat juga Robert C.Tucker,The Marx-Engels
Reader . . . , 143-5.
31
Leszek Kolakowski,Main Currents of Marxism: The Founders (Oxford: Oxford University
Press,1978), 153-5.
30

52

Pemahaman Marx tentang kesadaran diriitu, sebagaimana menampak nyata dalam
pengembangan pikiran Marx yang dilakukan oleh George Lukacs dan Antonio Gramsci,
adalah kesadaran sosial yang bersifat riil dan komunal sehingga tidak bersifat individual. Hal
itu terjadi demikian, karena ia muncul dari kelompok kelas terjajah yang menceburkan diri
dan hidup dalam seluruh pengalaman kelas terjajah. Kesadaran diri yang demikian ini, bukan
merupakan bentukan realitas-realitas spiritual, tetapi justru ia terbentuk dari realitas-realitas
sosial. Oleh karena begitu pembentukannya, maka kesadaran sosial itu adalah expressi diri
dari masa kelas terjajah yang sadar akan penderitaannya, dan yang kini siap mewujudkan
mimpinya akan transformasi sosial melalui persuasi, intelektual, kultural dan moral.32
Pada jamannya, Marx memang melihat bahwa ide-ide yang berkuasa adalah ide-ide
kelas penguasa, yaitu kelas yang menguasai kekuatan material dan intelektual masyarakat.
Kelas berkuasa memproduksi ideologi dominan yang senyatanya adalah kesadaran palsu
untuk mempertahankan status hegemoni dan dominasi sosial, politik dan ekonomi mereka
atas masyarakat. Mereka mendiseminasi kesadaran palsu untuk menguasai kesadaran
masyarakat. Dalam menghegemoni kesadaran sosial masyarakat, kelas berkuasa melakukan
indoktrinasi, tekanan dan pembatasan serta pengawasan terhadap masyarakat. Dalam
mengindoktrinasi masyarakat, Marx juga menyaksikan bahwa negara dan masyarakat
memposisikan agama sebagai institusi yang memiliki daya otoritatif metafisik, lalu
mengeksploitasinya sebagai bagian dari sistem penghasil dan indoktrinator kesadaran sosial
palsu atau ideologi dominan kelas berkuasa.33
Bertolak dari pemahamanya tentang perkembangan sejarah dan tentang kesadaran
sosial, demikian juga berangkat dari pengamatannya bagaimana agama diposisikan dan
dieksploitasi oleh negara dan kelas kapitalis seperti terpapar di atas, Marx meyebut agama
yang bercorak transendental, yang dengan impresi metafisiknya dipakai untuk memproduksi
kesadaran palsu, hiburan semu, dan mencipta dunia lain sebagai ilusi atau fantasi-fantasi
metafisik yang mampu membuat masyarakat tidak menyadari realitas sosial historisnya,
sehingga manusia tidak pernah meraih kebahagiaan yang sejati, bukanlah agama dalam arti
yang sebenarnya. Marx berpandangan demikian karena baginya agama yang bercorak
transendental itu senyatanya adalah produksi dari keteralienasian manusia. Dengan mengikuti
32

George Lukacs,History and the Class Consciousness:Studies in Marx Dialectics
(Cambridge&Massachusetts:The MIT Press,1971),41-82. Antonio Gramsci,Selection from The Prison
Notebooks(New York:International Publisher,1971),45,47,114,120,206,238.
33
Robert C. Tucker,The Marx-Engels Reader . . . , 172. Max Horkheimer,Crtical Theory-Selected
Essays(New York:Continum Publishing Company,1992),198.

53

teori Ludwig Feuerbach tentang keatheisan agamawi, Marx menegaskan bahwa agama itu
dibuat oleh manusia sendiri, namun hasil karyanya itu diasingkan darinya sehingga ia
teralienasi dari karyanya, dan hasil karyanya itu diobyektifikasi kepada Sang Ideal lalu ia
menundukkan diri kepada Sang Ideal itu yang sesungguhnya adalah karyanya sendiri. Marx
menganalogikan pandangannya ini dengan cara produksi dari kaum buruh di pabrik. Apa
yang dihasilkan kaum buruh adalah dirinya sendiri yang telah diwujudkan dalam bentuk
benda fisik. Setelah benda diproduksi, benda itu menjadi komoditas dengan kebebasan dan
kekuatan yang lebih besar dari pembuatnya. Kaum buruh teralienasi dari karyanya bahkan
kaum buruh tunduk tidak berdaya atas hasil kerjanya sendiri.34
Dalam mengembangkan teori Ludwig Feuerbach tentang “keatheisan agamawi” yang
oleh Marx dinilai hanya berdasar pada ilusi idealistik, dalam arti hanya berupa faham bahwa
kecerdasan dapat merubah kesadaran manusia, tidak bersentuhan dengan fakta sosial padahal
fakta sosial berupa penderitaan manusia itulah yang menyebabkan manusia mencipta ilusi
keagamaan. Marx memandang esensi agama itu sebagai opium dalam arti sebagai ekspresi
historis dari penderitaan manusia dan sekaligus sebagai protes atas penderitaan manusia itu.
Dengan memandang agama demikian, Marx menunjukkan bahwa agama itu adalah produksi
dari sistem sosial, politik, ekonomi dan kultur suatu masyarakat, guna untuk penciptaan
masyarakat egaliter bebas, dan manusiawi.35
II.5.b. Teori Max Weber Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial
Teori Weber tentang agama berangkat dari pemahamannya mengenai esensi perilaku
sosial. Menurut Weber tindakan sosial itu, dalam bentuknya yang paling dasar senyatanya
ditentukan atau digerakkan oleh nilai agama yang berorientasi ke dunia ini.36 Weber juga
menegaskan bahwa tindakan sosial yang digerakkan oleh nilai agama yang berorientasi ke
dunia ini, tidak bisa dipisahkan dari nilai agama yang bersentuhan dengan ekonomi, sebab
manusia adalah makhluk berekonomi.37 Sembari memposisikan Hindu, Budhisme, Judaisme,
Kristen dan Islam sebagai agama, Weber mengemukakan bahwa perilaku keberagamaan

34

Gregory Baum,Religion and Alienation . . . , 34-5. Robert C.Tucker,The Marx-Engels Reader . . . ,

53-4,71-2.

.Andrew M.McKinnon,”Opium as Dialectic of Religion:Metaphor, Expression and Protest” dalam
Warren S. Goldstein(ed.), Marx, Crtical Theory,and Religion - A Critique of Rational Choice
(Leiden/Boston:Brill,2006),11-29.
36
Guenter Roth and Claus Wittich(ed.),Max Weber:Economy and Society,Vol.I(Los
Angeles:University of California Press,1978),399.
37
Ibid., 400.
35

54

dari sebuah agama dalam berekonomi pasti pada berbeda, sebab nilai penggerak perilaku itu
dibuat oleh masing-masing agama. Dengan berpijak pada pemahamannya yang demikian,
Weber berpendirian bahwa, perilaku keberagamaan dari sebuah agama dalam berekonomi
sangat ditentukan oleh nilai, doktrin, etika, dan ide-ide yang dibuat oleh masing-masing
agama.38
Dalam menunjukkan kebenaran dari pendiriannya tersebut di atas,Weber memaparkan
adanya perbedaanmakna etika tarakdi kalangan kaum Katolik dan Protestan di Jerman,
sehingga kedua denominasi ini memiliki perilaku keberagamaan yang berbeda dalam cara
mereka berekonomi. Dalam “etika tarak Katolik”, panggilan kerja itu dibuat sangat berbentuk
monastic asceticism dan bersifat other worldly,sedangkan dalam “etika tarak Protestan”
panggilan kerja itu berbentuk non monastic asceticism dan bersifat inner worldly. Dalam
etika tarak Katolik, “kebiaraan” yaitu panggilan menjauhkan diri dari dunia untuk
melaksanakan suatu hidup meditasi adalah sangat sentral. Sedangkan dalam etika
tarakProtestan, panggilan yang justru sentral adalah bekerja di dalam dunia dan mengubah
dunia menjadi sebuah biara. Etika tarak Katolik menekankan perhatian umat pada kehidupan
sesudah kematian, sehingga memandang kegiatan ekonomi sebagai sesuatu yang tidak
penting karena bersifat duniawi semata. Sedangkan etika tarak Protestan, dalam setiap
pelaksanaan tugas di dunia ini, menekankan gaya hidup tidak menuruti kenikmatan
materialistik, sehingga bisa mengejar tujuan hidup lebih tinggi yang bersifat spiritual yaitu
memuliakan Tuhan. Etika tarak Protestan mengajar umat untuk rajin menunai semua tugas di
dunia, untuk bersikap jujur dan tidak serakah dalam bekerja serta berhemat dalam mengelola
hasil kerja demi kemuliaan Tuhan. Melalui paparan ini, Weber memperlihatkan bahwa etika
asketik yang dibangun kaum Protestan, membentuk perilaku umat untuk menempatkan
pekerjaan ekonomi dan sekuler lainnya adalah juga pekerjaan yang berkarakter agamawi.39
Bahwa “etika tarak Protestan” menempatkan pekerjaan ekonomi dan sekuler lainnya
sebagai pekerjaan yang berkarakter agamawi, sehingga membuat orang-orang dari golongan
Protestan lebih maju dibandingkan dengan orang-orang dari kelompok Katolik, baik dalam
bertransisi diri dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi kapitalis,40 maupun dalam
38

Max Weber,The Protestant Ethic And The Spirit of Capitalism,Translated by Talcott Parsons with a
Foreword by R.H. Tawney(New York:Dover Publications INC.,2003),xiv-xvi,1(b),1(c),20,26,27,40,43.
39
Max Weber,The Protestant . . . , xvii,2,6,27,62,79,81,98,109-110,163,169-170.
40
Dalam sistem ekonomi tradisional manusia tempo dulu bekerja hanya untuk memperoleh
penghasilan sebanyak keperluan hidup saja. Mereka tidak mengejar uang lebih banyak dari yang diperlu. Dalam
sistem ekonomi kapitalis manusia bekerja tidak hanya untuk memperoleh penghasilan sebanyak keperluan hidup

55

berbisnis,41 Weber berpendapat bahwa hal itu terjadi demikian, karena dalam kelompok
Protestan khususnya pada denominasi Calvinis ada doktrin tentang predistinasi danada nilai
pada predestinasi itu yang menjiwai etika asketik Protestan. Dalam pengamatan Weber,
doktrin ini sangat berpengaruh dalam denominasi Calvinis dan juga cukup bergema dalam
denominasi-denominasi Protestan lainnya seperti pada denominasi Methodis, Baptis dan
Pietis. Pada dirinya dan pada mulanya, doktrin predestinasi memang hanya mengajarkan
umat untuk percaya bahwa Tuhan telah menentukan siapa yang terpilih (selamat) dan siapa
yang tidak terpilih (binasa). Namun dalam perkembangannya, ketika umat memerlukan tanda
bahwa seseorang diselamatkan atau tidak, makna predestinasi juga menampilkan pengajaran
bahwa kekayaan yang diburu dan dihasilkan oleh seseorang dalam pekerjaannya, merupakan
tanda bahwa orang itu adalah orang yang terpilih dan diselamatkan. Melalui analisa ini,
Weber ingin menegaskan bahwa makna doktrin predestinasi yang dibuat oleh kaum Protestan
yang sesunguhnya adalah rasionalisasi agama (rasionalisasi keyakinan Protestan), sangat
membentuk perilaku mereka dan sekaligus sangat membantu mereka dalam menyikapi spirit
kapitalisme yang melanda mereka.42
Dalam menggambarkan secara dramatis betapa berpengaruhnya keyakinan agama yang
dirasionalisasi dengan roh kapitalismebagi perilaku keberagamaan dalam berekonomi, Weber
dengan merujuk tulisan Martin Offenbacher menuturkan tentang beberapa perbedaan yang
ada antara tradisi Katolik dan Protetsan yang terkait dengan kehidupan ekonomi. Orangorang Katolik pada umumnya lebih tenang, mempunyai keinginan yang lebih kecil untuk
memperoleh sesuatu, mereka lebih menyukai pekerjaan dengan kenyamanan yang terjamin
walau hanya dengan mendapat penghasilan yang lebih kecil daripada memilih pekerjaan yang
penuh resiko kendati jenis pekerjaan itu memberi banyak kesempatan untuk mendapat
kehormatan dan kekayaan. Jika kepada orang Katolik dan orang Protestan diperhadapkan
pilihan “makan enak atau tidur enak”, Weber berkomentar, “Protestant prefers to eat well,
the Catholic to sleep undisturbed”.43 Tidak berseberangan dengan maksud Weber untuk
menunjukkan bahwa ajaran agama senyatanya sangat berpengaruh terhadap perilaku
keagamaan dalam berekonomi, walau dengan gambaran yang terBalik Weber bertutur bahwa
saja. Mereka memburu uang lebih banyak dari yang diperlu. Max Weber,The Protestant Ethic . . . , 21-31,
52,81.
41
Data statistik di negara-negara Eropa pada jaman Weber menunjukkan bahwa, para pemimpin bisnis
dan pemilik modal maupun karyawan perusahaan yang memiliki kemampuan tinggi ataupun staf terdidik, baik
secara teknis maupun komersil, ternyata kebanyakan adalah orang-orang Protestan. Max Weber,The Protestant
Ethic . . . , 35.
42
Max Weber,The Protestant Ethic . . . , 9,11,81,98-108.
43
Ibid., 40-1.

56

kapitalisme di dunia Timur seperti di India, Cina dan di dunia Timur Tengah seperti di
Madinah tidak bisa maju semaju di dunia Barat, dilatari oleh nilai-nilai agama yang tidak
terasionalisasi dengan roh kapitalisme, yakni nilai-nilai agama yang tidak melegitimasi
pergerakan kapitalisme.44
Dengan memperhatikan konteks sosial dari negara Jerman pada jamannya, yang ada
dalam masa transisi dari sistem ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi kapitalis,
menyimak cita-citanya agar Jerman tetap menjadi negara bersatu, maka melalui teorinya
bahwa tindakan keberagamaan dalam berekonomi sangat ditentukan oleh doktrin (baca: nilai)
hasil rasionalisasi agama dalam menyikapi roh kapitalisme, Weber mau memperlihatkan
bahwa agama itu adalah sistem nilai yang dibangun berdasar pada pemikiran-pemikiran
rasional, bukan berdasar pada hal-hal yang tidak rasional dan yang tidak mengandung fantasi
atau mitos, agar para pemeluk agama itu merasa puas dan aman mengekspresikan perilaku
keberagamaannya dalam berekonomi, bermasyarakat dan berpolitik guna untuk menunjang
kesejahteraan masyarakat.45
II.5.c. Teori Emile Durkheim Tentang Agama Sebagai Fenomena Sosial
Dengan maksud untuk mengetahui bentuk dasar dari agama agar dari padanya
ditemukan apa itu agama,46 Durkheim meneliti dan menganalisa sistem agama primitif dari
suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia. Durkheim meneliti dan menganalisa
keyakinan dari masyarakat primitif ketimbang keyakinan dari masyarakat modern, dengan
alasan karena konteks keyakinan pada masyarakat primitif yang sederhana seperti masyarakat
Aborigin, dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibandingkan dengan konteks
keyakinan masyarakat modern yang kompleks.47Penggalian Durkheim tentang esensi agama
pada masyarakat primitif, dikatakannya juga sama sekali tidak menurunkan nilai agama,
karena bagi Durkheim agama primitif itu, tidak kurang terhormat dibandingkan agama
lainnya. Semua agama di mata Durkheim merespon kebutuhan yang sama dari manusia,

44

H.H.Gerth and C.Wright Mills(Transl and Eds)Max Weber,Essays in Sociology(New York:Oxford
University Press,1958),399-415, 417-444. Guenther Roth and Claus Wittich (eds)Max Weber, Economy And
Society,Volume I, An Outline of Interpretive Sociology(Berkeley:The University of California Press,1978),611634.
45
Guenther Roth and Claus Wittich (eds.) Max Weber, Economy And Society, Volume I, An Outline of
Interpretive Sociology (Berkeley:The University of California Press,1978), 410,427-432,444-446,576589.Richard L. Means, “Weber’s Thesis of the Protestant Ethic:The Ambiguities of Received Doctrine”,The
Journal of Religion,Vol.45,No.1(Jan.,1965),1-11.
46
Emile Durkheim,The Elementary Forms of Religious Life(New York:The Free Press,1995), 21.
47
Ibid., 3.

57

memainkan peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama, meskipun dengan jalan
yang berbeda, sehingga dengan demikian, agama primitif dapat berfungsi untuk menunjukkan
sifat kehidupan keagamaan dengan baik.48
Melihat sikap Durkheim terhadap semua agama seperti terurai di atas, menampak jelas
bahwa ia tidak melihat agama itu dari sudut pandang supernatural dan tidak mengartikan
agama itu sebagai keyakinan pada “adanya spiritual being”. Budhisme yang tidak memiliki
ide tentang Tuhan dan roh, demikian juga beberapa sekte dalam Budhisme yang juga
menolak eksistensi Tuhan dan dewa-dewi, oleh Durkheim diposisikan sebagai agama49.
Sebelum meneliti bentuk-bentuk dasar kehidupan agamawi suku Arunta, Durkheim telah
memiliki pemahaman tentang
“Belief”

dipahami

“belief”, “ritus”, “perbedaan antara

sebagaistates

“ritus”sebagaitindakan komunitas

of

opinion

and

consist

of

magis dan agama”.
representations,dan

yang mengekspresikan states of opinion itu.50 Bagi

Durkheim “magis” itu merupakan upaya individual, sedangkan “agama”, baginya tidak dapat
dipisahkan dari gagasan komunitas dan institusi sosial, sebab lembaga ini menurut Durkheim
yang menilai dan melegitimasi sesuatu itu bersifat sakral atau profan.51Berdasarkan
pemahaman yang telah ada padanya pada masa pra penelitian, dan berdasarkan pada temuantemuannya tentang bentuk-bentuk dasar kehidupan keagamaan suku Arunta, Durkheim
berkesimpulan,bahwa karakteristik paling mendasar dari setiap agama bukanlah terletak pada
elemen-elemen supernatural seperti keyakinan manusia tentang Tuhan, roh dan akhirat,
melainkan terletak pada

elemen-elemen natural (sosial) dari masyarakat tentang “yang

sakral”.52
Dalam menjabarkan pemahamannya bahwa karakteristik agama yang paling dasar
terletak pada elemen-elemen natural (sosial)“dari masyarakat”, Durkheim me

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB II

0 2 49

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII

0 4 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI

0 6 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB V

0 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB IV

1 3 55

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB I

0 1 16