Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB V

BAB V
ESENSI MISI GEREJA
DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM KONTEKS PANCASILA

Setiap agama, terutama agama-agama yang disebut agama dunia, yakni agama-agama
yang bersifat transnasional melampaui batas-batas etnik dan bangsa, seperti Hindu, Budha,
Kong Hu Chu, Islam dan Kristen, memiliki tuntutan keagamaan yang misiologis sifatnya,
yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada orang lain yang belum
memiliki kebenaran serupa, melalui tindak-siar agama baik langsung, maupun tidak
langsung. Penyiaran atau pemberitaan agama adalah jiwa dari agama.1 Oleh karena begitu
jiwa agama, maka tindak-siar agama adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib sifatnya, sebab
tanpa ada dimensi itu, kehidupan beragama akan menjadi mubasir. Perilaku setiap penganut
agama tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk melakukan tindak-siar agama, yang
dinampakkan dalam tindakannya sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama, maupun
dalam kehidupan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kewajiban melakukan misi agama
dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa adalah sesuatu yang harus dipenuhi.
Mengingkari kewajiban ini pada dasarnya adalah mengingkari hakikat agama itu sendiri.2
Sebagai salah satu dari agama dunia itu, agama Kristen juga memiliki dalam dirinya
kewajiban misiologis berupa misi gereja. Kalau bukan karena adanya kewajiban misiologis
ini, maka kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan misioner gereja adalah
sesuatu yang wajar bahkan esensial sifatnya. Karena begitu keadaannya, maka melakukan

misi adalah bagian hakiki dari kehidupan bergereja dan menggereja. Misi adalah sesuatu
yang inherent dalam gereja. Dengan kata lain hubungan antara misi dan gereja adalah seperti
relasi antara api dan pembakaran. Sama seperti api berada oleh pembakaran dan untuk
pembakaran, demikianlah gereja berada oleh misi dan untuk misi. Misi bukanlah suatu
kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja.3Mengingat misi
menjadi core businesnya , maka gereja mesti memahami sejarah misi dan patut selalu
memikirkan

hakikat

dan

rekonstruksi

misi

1

gereja,


agar

cara

misi

yang

Emanuel Gerrit Singgih,Menguak Isolasi, Menjalin Relasi(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 240.
John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi
Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di
Semarang (tanggal 3 Pebruari 1996), 1.
3
John Campbell-Nelson, “Misi Gereja dan Pelayanan Global: Pernyataan Misiologi dari United
Church of Christ di
Amerika Serikat”, dalam John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen
Suleeman(Peny.), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah
Theologia di Indonesia, 1995), 36-37.
2


153

dilakukannyaberpadanan dengan hakikat misi itu dan sekaligus sesuai dengan konteks
dimana gereja berada.
V.1.SEJARAHMISI GEREJA DARI ABAD KE-1 SAMPAI ABAD KE-20
J. Beckman seorang misiolog Jerman, sebagaimana direiterasi oleh Edmund Woga,4
mengklasifikasi dan memaparkan sejarah pelaksanaan dan karakter misi sepanjang dua puluh
abad dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20, sebagai berikut:
V.1.a. Sejarah Misi Pada Periode GerejaPerdana(Dari kelahiran Gereja-abad ke-4)
Sejarah misi pada periode ini bermula dari kisah tentang pelayanan misi para rasul,
khususnya Petrus sebagaimana diceriterakan oleh Kisah Para Rasul 1-12, dan Paulus seperti
dilaporkan oleh Kisah Para Rasul 13-28. Dua kota atau tempat yang menjadi pusat kegiatan
misioner pada periode Gereja Perdana adalah Yerusalem dan Antiokia. Yerusalem disamping
sebagai tempat lahirnya gereja, ia juga menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah timur
sampai ke India. Sedangkan Antiokia menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah barat
yakni ke Yunani dan Romawi. Sejarah misi sejak lahirnya gereja sampai abad ke-4, ditandai
juga dengan adanya masa penderitaan dan masa kejayaan. Pada masa pemerintahan kaisar
Nero (37–68), Markus Aurelius (177), dan Diokletianus (284-316) gereja mengalami banyak
penindasan. Tetapi pada masa pemerintahan kaisar Konstantin (285-337) dan kaisar
Theodosius I (337–380), ketika kedua kaisar ini menunjukkan sikapnya yang toleran terhadap

agama Kristen, gereja mengalami jaman keemasan, dimana pada tahun 313 oleh kaisar
Konstantin agama Kristen dinyatakan sebagai religio licita , dan pada tanggal 28 Pebruari 380
oleh kaisar Theodosius I agama Kristen diproklamirkan sebagai agama kekaisaran Romawi.5
V.1.b.Sejarah Misi Pada Periode Abad Pertengahan (Dari Abad 5-Abad 14)
Sejarah misi pada periode ini, ditandai dengan perkembangan gereja kepada bangsabangsa Inggris dan Jerman. Beberapa rupa dari perkembangan gereja termaksud ialah:
Pertama, pada tahun 498 raja Inggris Chlodwig I dibaptis. Kedua,banyak muncul misionarismisionaris perdana pada bangsa Inggris dan Jerman seperti: Patrisius, Agustinus dari
Canterbury, Kolumbanus, Gallus, Kilian, Wilfrith, Willibrordus dan Bonefasius. Sejarah misi
pada periode abad Pertengahan, tepatnya pada abad ke-9, juga ditandai dengan mulai
masuknya agama Kristen ke tengah-tengah bangsa Slavia di Eropa Timur. Masuk dan
4

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 19-21, 47.
Ibid., 47-48.

5

154

bertumbuhnya gereja di bangsa-bangsa Slavia, adalah karena adanya pelayanan misi yang
bernuansa penyebaran iman Kristen ke sana, yang dilakukan oleh uskup Kyrillos, Methodius,

para rahib Cisterciencer dan Premonstratenser. Sejarah misi pada abad Pertengahan, tepatnya
pada abad ke -13 dan ke-14, juga ditandai dengan penyebaran iman Kristen kearah timur,
kepada bangsa-bangsa Eropa yang beragama muslim dan kepada bangsa-bangsa Tartar,
Mongol, China dan Persia. Pelayanan misi gereja yang bercorak penyebaran iman Kristen ke
arah timur Eropa ini, didukung oleh ordo-ordo yang mencintai “hidup miskin” seperti ordo
Dominikan dan Fransiskan. Pelayanan misi gereja ke arah timur Eropa, sempat tidak
diteruskan pada waktu kerajaan Mongol hancur dan ketika benua Eropa dilanda penyakit
pes.6
Dalam kuliah dan diskusi tentang sejarah gereja Indonesia, cukup sering memang
tertayang informasi bahwa pada pertengahan abad ke-7, di Fansur Barus daerah pantai barat
Tapanuli Sumatera utara Indonesia terdapat banyak Gereja Nestorian. Sejarah menunjukkan
bahwa pelaksanaan misi oleh gereja Nestorian bersifat akomodatif terhadap kebudayaankebudayaan di daerah misi. Sehandainya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar telah ada
banyak gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana sering tertayang dalam informasiinformasi, maka pasti

pendekatan misi gereja Nestorian yang akomodatif itulah, yang

membuat penduduk Fansur daerah Tapanuli Sumatera dapat menerima bahkan memeluk
agama Kristen. Demikian pula, kalau sekiranya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar
telah ada gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana hal itu acapkali muncul sebagai
informasi, maka hal ini mengindikasikan bahwa kekristenan telah tiba di Indonesia untuk

pertama kali sebelum Islambahkan sebelum Hindu dan Budhamasuk ke Indonesia. Namun,
sangat disayangkan kita tidak memiliki catatan sejarah baik mengenai kelahirangereja
Nestorian di Fansur Barus maupun mengenai ketiadaannya. Sehandainya pernah ada gereja
Nestorian di Fansur Barus pada pertengahan abad ke-7, kehadirannya dan kelenyapannya
sama sekali tidak meninggalkan bekas dan berita.7
V.1.c.Sejarah Misi Pada Periode Penemuan Benua-Benua Baru(Abad15-Abad 17)
Sejarah misi pada periode ini dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok. Ada
kelompok misi gerejaKatolik dan ada kelompok misi gereja-gereja Protestan. Sejarah misi
gereja Katolik sangat diperankan oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Hal itu terjadi demikian
6

Edmund Woga, CSsR, Dasar . . . , 48.
F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia
(Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), 450.
7

155

karena kedua bangsa ini memang mendapat wewenang khusus dari Paus Aleksander VI pada
tahun 1493 dan dari Paus Yulius II pada tahun 1508 untuk menangani misi gereja, berupa

penyebaran iman Kristen ke benua-benua yang baru ditemukan yaitu Afrika, Amerika dan
Asia. Sedangkan pekerjaan misi pada kelompok gereja-gereja Protestan sangat diperankan
oleh bangsa Belanda, Jerman dan Inggris. Misi gereja pada abad ke-15 sampai dengan abad
ke-17, baik yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol yakni penyebaran iman Kristen dari
gereja Katolik, maupun yang dilakukan oleh Belanda, Jerman dan Inggris yakni penyebaran
iman Kristen dari gereja Protestan, berjalan bergandengan dengan usaha kerajaan Portugis,
Spanyol, Belanda, Jerman dan Inggris untuk menemukan, menaklukkan dan menguasai
daerah-daerah baru dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Tindakan kekerasan
yang dipakai kaum kolonial untuk menaklukkan daerah tertentu, juga dipakai oleh gereja
dalam melaksanakan penyebaran iman Kristen. Misi pada periode ini semakin menjadi
sebuah proses imperialisme Kristen dari rasa superior agama Kristen. Misi gereja dijalankan
sebagai perjuangan untuk ekspansi, pendudukan daerah, penaklukkan para penganut agamaagama lain untuk disatukan ke dalam agama Kristen karena agama Kristen diyakini sebagai
satu-satunya agama yang benar.8 Misi gereja Katolik dan misi

gereja-gereja Protestan

merupakan bagian dari kekuatan kolonialisme Barat. Ini tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan kepentingan antara kepentingan pekabaran Injil dengan kepentingan kolonial.
Perbedaan kepentingan memang ada. Namun cara yang digunakan oleh kedua kekuatan yang
beraliansi ini adalah sama, yaitu cara kekerasanuntuk menaklukkan orang yang hendak

dijajah dengan orang yang hendak dikristenkan.9
Pada awal lahirnya reformasi, gereja-gereja Protestan di Eropa memang tidak semangat
melaksanakan misi keluar negeri. Hal itu terjadi demikian, bukan karena para Reformator
seperti Luther, Bucer dan Calvin tidak melihat misi itu sebagai tugas hakiki dari gereja.
Sebaliknya melalui interpretasinya terhadap beberapa teks Alkitab seperti: Kejadian 1-11,
Kejadian 12: 1-3, Kejadian 12: 14-16, Kejadian 22: 18, Kejadian 35:2, Mazmur 117, Yesaya
42: 6, Yesaya 49: 6, Matius 28: 19, Markus 16: 15, Lukas 2: 10, Efesus 2: 14, 1 Petrus 2 :9,
para Reformator justru sangat menggelorakan semangat pekabaran Injil yang terancam oleh
hierarki gereja. Pelaksanaan misi keluar negeri, pada masa awal reformasi terkesan tertidur
adalah karena para Reformator harus memprioritaskan pembinaan umat yang bersifat ke
dalam melalui pengajaran dan khotbah agar reformasi berhasil menghadapi kontra reformasi.
8

Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 48-49.
Victor I. Tanja, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama-Agama Lain”, dalam Chris Hartono
ed.Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia,1995), 17.
9

156


Situasi di luar Eropa berada di luar jangkauan mereka. Jadi pelaksanaan misi keluar negeri
yang tertidur di kalangan gereja-gereja Protestan di masa awal reformasi sangat ditentukan
oleh situasi mereka.10 Konsepsi misi yakni pergi menjumpai dunia, yang dibangun oleh para
Reformator, baru bisa diaktualisasikan dalam pietisme yang lahir dalam abad ke-17 dan abad
ke-18. Jadi di kalangan gereja-gereja Protestan, gerakan pietismelah yang menghidupkan
semangat misi keluar negeri yang sebenarnya sudah dikonsep oleh para Reformator namun
sempat tertidur pada masa-masa awal reformasi.11
Pada masa penemuan dan pendudukan benua-benua baru, pelaksanaan misi gerejagereja Barat digerakkan oleh semangat pembentukancorpus christianum. Bangsa-bangsa
Eropa yang telah beragama Kristen seperti Portugis, Spanyol dan Belanda melihat diri
mereka sebagai corpus christianum. Berangkat dari keadaan ini mereka berkehendak agar
semua bangsa yang akan ditundukkannya juga menjadi corpus christianum.12Dengan
berorientasipada perluasan corpus christianum, perjumpaan para misionaris Katolik dan para
misionaris Protestan dengan orang-orang di daerah koloni, menyebabkan gereja Barat
memikirkan langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil bagi penduduk di daerah
koloni, untuk mengkristenkan mereka. Dalam misi yang digerakkan oleh semangat
pembentukan corpus christianumke seluruh benua yang ditemukan dan ditaklukkan,
evangelisasi senyatanya memang

bergandengan dengan kolonisasi, sehingga misi yang


dilakukan gereja Barat berwajah kolonialis dan imperialis Barat. Anton Wesel sempat
mengkritisi misi gereja Barat yang berwajah kolonialis dan imperialis ini, sebagai misi yang
sering memberitakan Kristus sebagai sosok yang menentang kebudayaan dan agama, sebagai
sosok yang menindas.13
Beberapa tokoh yang berperan besar sebagai misionaris dan misiolog pada periode ini
adalahi Las Casas (di Amerika Latin), Fransiskus Xaverius (di Asia), Hadrianus Saravia
(Belanda), William Carey (Inggris),Robert de Nobili, dan Matteo Ricci. Ordo-ordo Gereja
baik yang telah lama ada seperti Dominikan dan Fransiskan, maupun yang baru terbentuk

Theo Kobong, “Konsepsi Tentang Misi Dalam Teologi Para Reformator”, dalam John CampbellNelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds., Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,Studi Institut
Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 4-15.
11
A.A.Yewangoe, “Gereja Tua, Gereja Muda dalam Pekabaran Injil: suatu perspektif sejarah”, dalam
John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds.,Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,
Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia,1995), 16-20.
12
J. R. Hutauruk, “Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam Chris Hartono(ed.), Perjumpaan Gereja di
Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta:Perseria,1995),95-96.
13
Anton Wesel, Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya (Jakarta: BPK Gunung

Mulia,1990), 122.
10

157

seperti Yesuit, Agustiner, Mercedarian dan Theatiner, juga sangat berperan dalam sejarah
misi pada periode penemuan benua-benua baru, yang sangat bercorak penyebaran iman
Kristen atau Kristenisasi. Melalui misi yang berkarakter demikian, gereja pada periode ini
juga melakukan usaha untuk membendung perkembangan agama Islam ke daerah-daerah
baru di Afrika dan Asia.14
V.1.d.Sejarah Misi Pada Periode Pasca Pendirian Sacra Congregatio De Propaganda
Fide(Abad17-Abad18)

Pada tahun 1622 gereja Katolik mendirikan Sacra Congregatio de Propaganda Fide
(SCPF). Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk mengembalikan karya misi, yang telah
sangat lama diidentikkan dengan penyebaran kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan, ke
dalam urusan yang murni berpusat pada kekuasaan kepausan di Roma. Pada awal berdirinya,
SCPF ditolak di daerah-daerah kekuasaan Spanyol dan Portugis. SCPF dapat masuk ke
daerah Asia Timur dan Tenggara, karena adanya perselisihan antara Spanyol dan Portugis.
Munculnya SCPF menyebabkan sejarah misi berupa karya penyebaran iman Kristen,
mengalami kesulitan dan hambatan. Disamping munculnya SCPF yang menghambat sejarah
misi dalam arti penyebaran iman Kristen pada abad ke-17 dan abad ke-18, karya misi dalam
pengertian yang demikian ini, yakni pengembangan gereja, juga dipersulit oleh lahirnya masa
pencerahan, oleh dampak dari munculnya reformasi Luther (1517), Zwingli dan Calvin
(1523), dan oleh munculnya revolusi Prancis (1789), dimana dalam arti tertentu semua yang
muncul itu berseberangan atau bermusuhan dengan gereja Katolik.15
Pada periode ini, sejarah misi juga diwarnai dengan gerakan pietisme yaitu, kegiatan
rohani dari gereja-gereja Protestan untuk mencapai suatu kehidupan yang saleh (pia
desiseria ) di dunia ini, yang mengutamakan pertobatan pribadi dan keselamatan rohani,

dimana benih gerakan ini sesungguhnya telah mucul pada abad ke 16 di Eropa, tetapi
mencapai puncak pertumbuhan dan pengaruhnya pada abad ke-17 dan ke-18 baik di Eropa
terlebih lagi di Amerika. Pada dasarnya gerakan pietisme yang lahir dari dua denominasi
yang ada di Eropa

yaitu dari Lutheran dan Calvinis, adalah sebagai kritik atas situasi

kehidupan konkret gereja-gereja dan atas realitas sosial kemasyarakatan Eropa pada abad ke16 yang hampir tidak jauh berbeda. Sebagai gerakan rohani dalam gereja-gereja Protestan,
Pietisme merupakan gerakan yang paling berpengaruh sejak jaman reformasi. Atas pengaruh

14
15

Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar . . . , 48-49.
Ibid., 49.

158

pietisme, di Eropa dan di Amerika, banyak bermunculan badan-badan pekabaran Injil.
Badan-badan Zending ini dengan semangat yang besar siap mewartakan Injil ke seluruh
dunia dan sembari dengan itu juga menanamkan pengaruhnya di tanah misi.16
Ragam gerakan pietisme itu beraneka. Antara gerakan pietisme yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat disamakan begitu saja. Masing-masing gerakan pietisme memiliki
tuntutan sendiri-sendiri dalam melaksanakan praxis pietatisnya. Pietisme atau puritantisme
Inggris berkarakter hendak menegakkan pemerintahan Kristus di bumi. Corak pietisme atau
puritantisme Belanda hendak menguduskan seluruh bangsa. Lalu, warna pietisme atau
puritantisme Lutheran Jerman terbagi-bagi dalam keinginan berkehidupan yang saleh yang
membuahkan pembaharuan kehidupan rohani dan kesejahteraan seluruh dunia. Gerakan
pietisme sejak awal kemunculannya telah banyak menghasilkan karya yang berkaitan erat
dengan pembaharuan kehidupan sosial dan kemasyarakatan dunia sekitar. Beberapa dari
karya pietisme itu baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di ladang misi adalah seperti:
pelayanan terhadap orang miskin terutama anak yatim piatu, pelayanan dalam dunia
pendidikan, pelayanan dalam dunia kesehatan, pelayanan untuk ekumene yakni pelayanan
untuk menyatukan gereja-gereja dari berbagai konfesi dan denominasi.17
V.1.e.Sejarah Misi Pada Periode Abad ke-19 Sampai Pada Awal Abad ke-20
Pada abad ke-19 sampai pada awal abad ke-20, sejarah misi dalam pengertian
penyebaran iman Kristen atau pengembangan gereja ke luar daerah, baik yang dilakukan oleh
gereja Katolik maupun oleh gereja-gereja Protestan mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Di kalangan gereja Katolik, hal itu terjadi demikian disebabkan oleh dua hal: Pertama,
pada masa ini, baik ordo-ordo gereja seperti Societas Verbi Domini (SVD) maupun beberapa
kongregasi hidup membiara seperti Spiritaner, Missionaris Lyon, sangat tergerak untuk
mengkhususkan diri berkarya di daerah misi. Kedua, pada abad ke-19 sampai pada awal
abad ke-20, juga semarak muncul dalam gereja, organisasi-organisasi baru yang berdiri untuk
menunjang pertumbuhan dan kehidupan gereja Katolik di daerah misi. Beberapa dari

16

Christian de Jonge dan Jan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Ekkesiologi
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-2, 1993), 48. Bandingkan juga Christ Hartono, Pietisme di Eropa dan
Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 56.
17
Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan, Sumbangsih Gereja-gereja Barat
terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk, (peny)(ed),
Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999), 136-139. Bandingkan juga Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending: Sebuah Pemahaman
Ulang Bagi Gerakan Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam Pengantar ke Teologi Lambaran,Obyek-Persoalan
Dasar-Metode (Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM-UKSW, 1998), 146.

159

organisasi tersebut adalah seperti: Opus Sancti Petri, Karya Penyebaran Iman, dan
Persekutuan Kanak-Kanak Yesus.18 Sedangkan di kalangan gereja Protestan, semaraknya
misi berupa penyebaran iman ke bangsa-bangsa lain, disebabkan karena pada masa abad ke19 sampai dengan awal abad ke-20, bagi para misionaris Protestan, pergi ke seberang lautan
merupakan sebuah bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan yang telah memanggil dan
mengutus mereka, untuk mewartakan cinta kasih dan khabar keselamatan kepada segala
bangsa dalam rangka memenangkan jiwa-jiwa melalui pertobatan pribadi.19Sampai pada
menjelang berakhirnya era kolonial, misi gereja-gereja Barat masih menekankan pertobatan
individu dan memandang penganut agama lain tidak memiliki kebenaran ilahi. Nilai-nilai
positif yang terdapat dalam agama-agama lain tidak dihargai. Pandangan yang demikian ini
didasari oleh asumsi teologis bahwa gereja ialah “umat terpilih” yang memperoleh prioritas
penting dan superior atas dunia untuk mengemban Amanat Agung Kristus karena misi Allah
dalam dunia hanya dipahami lewat gereja saja.20
Pekerjaan misi oleh gereja-gereja Protestan dari dunia Barat ke dunia non Barat pada
periode abad ke-19 sampai awal abad ke-20 juga diwarnai oleh adanya dua kelompok gereja
Protestan yang pola pendekatannya dalam cara bermisi pada berbeda. Pada satu pihak, ada
kelompok gereja Protestan yang pola pendekatan misinya bersifat ekumenikal, sementara itu
ada

kelompok

gereja

Protestan

yang

pola

pendekatan

misinya

bersifat

evangelical.21Golongan ekumenikal menitikberatkan segi antropologis dari Injil dan

keselamatan yang berdampak sosial dan kemanusiaan secara utuh.Sedangkan golongan
18

Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . ,49-50.
Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan,Sumbangsih Gereja-Gereja Barat
terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-Gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk.,(Peny.)(ed.),
Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera (Jakarta:BPK.Gunung
Mulia,1999), 133. Juga: Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending:Sebuah Pemahaman Ulang Bagi Gerakan
Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam,Pengantar ke Teologi Lambaran,Objek-Persoalan DasarMetode(Salatiga:Fak.Teologi dan PpsAM-UKSW,1998),146.
20
Widi Artanto,Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta:Kanisius dan
Jakarta:BPK Gunung Mulia,1997),179.
21
Kata “Evangelical” yang diindonesiakan sebagai “Injili”, berasal dari dunia AngloSaxon yang
berlatar belakang sejarah gereja Inggris pada abad ke-19. Pada zaman Reformasi kata “Injili” berarti “setia
kepada Injil” yaitu mereka yang membedakan diri dengan kelompok yang setia kepada Paus di Roma, yang
kemudian juga disebut “kaum Protestan”. Pada abad ke-19, kata “Injili” mulai dipakai untuk menunjukkan
orang-orang Protestan yang menekankan kesetiaan kepada Injil yang disertai dengan semangat kebangunan
rohani dan keinginan untuk mengadakan evangelisasi. Kemudian, pada abad ke-20, terjadi polarisasi antara
kelompok evangelical dan kelompok ekumenikal yang juga disebut dengan kelompok keesaan Gereja. Kaum
Injili percaya penuh akan otoritas Alkitab, penebusan dosa hanya melalui darah Kristus, dan bahwa di luar
Kristus dunia akan binasa. Itu sebabnya pewartaan Injil bagi kaum Injili merupakan panggilan utama yang harus
dilakukan. Uraian ini didasarkan pada data yang ada pada Yakub B. Susabda, Kaum Injili,Membangkitkan
Kembali Iman Kristiani Ortodoks (Malang:Gandum Mas,cet-2,1997),12. Menurut Christ Hartono gerakan
evangelical nampaknya dipengaruhi oleh pietisme atau puritanisme Eropa. Christ Hartono, Pietisme di Eropa
dan Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1974), 13-39.
19

160

evangelikal menekankan segi transendental dengan dimensi spiritual individual dari Injil.
Pemahaman misi kaum evangelical didasarkan pada “Amanat Agung” Kristus sebagaimana
tertulis dalam Matius 28:19-20. “Amanat Agung” oleh kelompok evangelical dipandang
sebagai amanat misi yang paling penting dalam Alkitab, sehingga baginya pertobatan dan
kesalehan merupakan kunci keselamatan manusia. Polarisasi misi yang demikian, yang
dibawa oleh gereja-gereja Protestan ke ladang misi menjadi fenomena global di lingkungan
gereja-gereja Protestan di seluruh dunia.22
V.1.f.Sejarah Misi Sejak Awal Abad ke-20 Sampai Sekarang
Sejarah misi sejak permulaan abad ke-20 sampai sekarang, ditandai dengan:
kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, sekularisme masyarakat Eropa, dan
kesadaran gereja-gereja di daerah misi akan integritas dan jati dirinya sebagai gereja pribumi
atau gereja setempat yang utuh. Seiring dengan kemerdekaan bangsanya, gereja-gereja
pribumi hendak melepaskan diri dari dominasi gereja-gereja Barat dan mencari
keberagamaan yang khas dengan bangsanya. Mereka mulai menyadari bahwa kekristenan
bukan hak milik bangsa Barat saja, sebab kekristenan adalah sebuah fenomena global.
Mereka mulai mempertanyakan konsep misi “dari Barat ke Timur”, dan konsep misi yang
selalu diartikan sebagai usaha mengkristenkan dunia non Barat yang selalu dipandang
sebagai dunia kafir. Bersamaan dengan lahirnya kesadaran yang demikian, agama-agama
yang telah ada di benua ladang misi seperti Hindu, Budha dan Islam juga mengalami
kebangkitan. Berdasarkan pada realitas sosial yang demikian ini, perubahan pandangan
mengenai misi terjadi pada gereja-gereja Barat, baik pada kalangan gereja-gereja Protestan
maupun pada gereja Katolik.23
Perubahan pandangan tentang misi dikalangan gereja-gereja Protestan kelompok
ekumenical, tampak di dalam beberapa konferensi yang diselenggarakannya. Pertama, dalam
konferensi Edinburgh Skotlandia yang berlansung pada tahun 1910. Dalam konferensi ini
disepakati bahwa lapangan misi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada Asia atau Afrika, namun
mencakup seluruh dunia. Misi bukan hanya tugas gereja-gereja di Barat, tetapi tugas semua
gereja di seluruh dunia. Kedua, dalam konferensi Yerusalem yang berlangsung pada tahun
1928. Dalam konferensi Yerusalem yang merupakan kelanjutan dari konferensi Edinburgh,
Richard AD Siwu, “Oikumenikalisme Dan Evangelicalisme:Fenomena modern Gerakan Misi
Kristen dan Kehadiran PGI”,dalam Gerakan Oikumene Tegar Mekar di bumi Pancasila, Buku Peringatan 40
tahun PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-3,1997), 304.
23
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50.
22

161

disepakati bahwa pemahaman tentang misi tidak lagi sebagai usaha mengkristenkan dunia
non Barat, melainkan sebagai tugas bersama dalam menjawab masalah-masalah dunia ini,
khususnya tantangan sekularisme, ateisme, komunisme dan masalah hubungan dengan agama
Yahudi dan Islam. Dalam konferensi Yerusalem, gereja-gereja Protestan dari kalangan
ekumenikal melihat misi dalam wawasan keterbukaan agama Kristen terhadap perkembangan
zaman.24 Ketiga, dalam konferensi Tambaran di India yang berlangsung pada tahun 1938
dengan tema “World Mission of the Church”. Dalam konferensi Tambaran, gereja-gereja
Protestan dari kalangan ekumenical di seluruh dunia Barat dan Timur, dengan berbekal
pendekatan kritis historis terhadap Alkitab memaknai misi sebagai panggilan gereja di
seluruh dunia, dan menetapkan “Amanat Agung” sebagai misi holistik berupa keselamatan
pribadi dan perwujudan keadilan, kemerdekaan, perdamaian.25
Perkembangan dalam pemikiran teologi khususnya kemajuan dalam studi biblis dengan
pendekatan kritik historis, memang sangat mendorong lahirnya perubahan pandangan tentang

misi pada gereja-gereja Protestan di kalangan ekumenikal. Studi kritis historis terhadap Injil
Matius 28: 16-20 yang dikenal sebagai Amanat Agung, yang telah dimulai pada tahu 1940an, misalnya, telah membuat gereja-gereja ekumenikal tidak lagi menjadikannya sebagai teks
khusus dalam menyusun teologi misi. Dalam menyusun teologi misi, pada umumnya para
teolog dari kalangan ekumenikal lebih suka memilih teks-teks lain seperti Lukas 4: 16-19.
Matius 25: 31-46 dan Yohanes 17: 21. Hal itu terjadi demikian, karena berdasarkan pada
pendekatan kritik historis, kata-kata dalam Matius 28:16-20, bukanlah kata-kata yang berasal
dari Yesus. Kata-kata itu berasal dari penulis Injil pertama sendiri. Pandangan ini dikuatkan
oleh fakta bahwa, kata-kata sebagaimana ada pada teks termaksud tidak pernah muncul
dalam kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya.26
Berdasarkan pada keputusan sidang International Missionary Council (IMC ) atau
Dewan Misi Internasional (DMI) pada tahun 1958 di Achimota, IMC diintegrasikan dengan
World Council of Churches (WCC ) atau Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) yang

pendekatan misinya sangat bersifat ekumenikal. Gereja-gereja Protestan dari kelompok
ekumenikal sangat senang dengan penggabungan IMC ke dalam WCC. Namun, kelompok
evangelical sangat berkeberatan karena menurut mereka kaum ekumenikal telah melalaikan
24

Richard AD Siwu, Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evangelikal Asia, 1910-19611991(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996), 1-2.
25
Richard AD Siwu,Misi Dalam . . . , 38. Lihat juga:Gerald D. Gort, “Sinkretisme dan Dialog:
Berbagai Persepsi Orang Kristen dalam Sejarah dan Pada Awal Kegiatan Ekumenis”, dalam Peninjau, XIV/2 &
XV/1 (Jakarta: PGI, 1990), 48.
26
David J. Bosch, Transforming Mission . . . , 56-57.

162

tugas pewartaan Injil kepada setiap orang27. Berangkat dari keberatan yang seperti itu, gerejagereja Protestan dari kelompok evangelical pada Sidang Raya WCC III yang diselenggarakan
di New Delhi India pada tahun 1961, menyatakan keluar dari keanggotaan WCC. Mereka lalu
membentuk wadah sendiri, yang menghimpun kaum evangelical sedunia dalam semangat
evangelisasi yang dipengaruhi oleh fundamentalisme,28 pada kongres Internasional pertama
yang berlangsung di Woudschoten Belanda pada tahun 1961. Wadah yang dibentuknya itu
diberi nama ”World Evangelical Fellowship ” (Persekutuan Evangelical Sedunia).29
Sejak tahun 1961 polarisasi antara ekumenikal dan evangelical semakin terlihat dalam
cara bermisi. Kaum evangelical senantiasa membendung pengaruh liberalisme dalam
lingkungan kehidupan gereja, khususnya metode penelitian Alkitab secara ilmiah yakni
metode kritis historis. Kaum evangelical selalu mempertahankan semangat misioner bagi
evangelisasi dunia seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Kaum evangelical
senantiasa menjawab dari sudut pandang mereka masalah-masalah yang diakibatkan oleh
modernisme, kebangkitan agama-agama non Kristen dan pluralitas kebudayaan.30 Gerejagereja Protestan dari kalangan evangelical agak berorientasi ke belakang. Mereka tidak
seperti kaum ekumenikal yang berani mengembangkan teologi,misi dan identitas yang
dinamis seiring dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan yang tidak pernah berhenti
berkembang. Dalam hal ini, gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal lebih sejalan
dengan gereja Katolik. Gereja Katolik sebagaimana diperlihatkannya dalam Konsili Vatikan
II, berorintasi ke depan. Penghargaannya yang semakin besar terhadap kebudayaan bangsabangsa, kesadarannya bahwa agama-agama non Kristen juga merupakan sarana keselamatan,

27

Chris de Jonge,Menuju Keesaan Gereja,Sejarah,Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan
Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia,cet-3,1996), 17, 57,143.
28
Fundamentalisme merupakan corak tertentu dalam gerakan evangelical yang menunjuk pada suatu
gerakan keagamaan yang muncul di Amerika Utara pada dekade terakhir abad ke-19. Fundamentalisme sebagai
gerakan merupakan reaksi negatif terhadap modernisme yang dianggap merusak ajaran Kristen. Oleh karena itu
Fundamentalisme sangat menekankan otoritas Alkitab sebagai sumber mutlak pengenalan Allah dan keadaan
manusia, ketuhanan Kristus yang universal sebagai satu-satunya Juru Selamat manusia, mementingkan
pengalaman pribadi terhadap kuasa penyelamatan Kristus, dan menekankan pekabaran Injil keseluruh dunia
agar seluruh manusia berpeluang memperoleh keselamatan. Informasi ini didapat dari Jan Aritonang, Berbagai
Aliran Di Dalam dan Disekitar Gereja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1995),232-233. Dan juga dari Zakaria
J.Ngelow, “Fundamentalisme Kristen”, dalam Peninjau XVIII/2&XVIII/I, (Jakarta: PGI,1993), 41.
29
Richard AD Siwu,”Asia dan Gerakan Evangelikalisme Baru”, dalam Mendidik Dengan Alkitab dan
Nalar,Kumpulan Karangan Dalam Rangka Penghormatan Kepada Pdt. Prof.Richard W.Haskin,Ph.D, Ioanes
Rahmat(peny),(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1995), 361.
30
William R.Hutchinson,Errant to the world: American Protestant Thought and Foreign
Mission (Chicago:The University of Chicago Press,1987), 101, 104.

163

menuntun gereja Katoliktidak lagi melihat pelayanan misi gereja sebagai propaganda iman,
tetapi sebagai komunikasi iman.31
Sementara gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal bersama gereja Katolik
berpandangan demikian, gereja-gereja Protestan dari kalangan evangelical semakin
menegaskan bahwa mereka mempercayai Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
secara keseluruhan sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis tanpa salah
(innerransi),32 serta satu-satunya pedoman yang benar bagi iman dan kehidupan ini. Bertolak
dari keyakinan ini dan melalui Kongres Internasional Injili di Berlin 23 Oktober-4 Nopember
1966, gereja-gereja Protestan dari kelompok evangelical atas kontribusi pemikiran dari
Harold J. Ockenga, memutuskan bahwa yang paling fundamental dalam Protestantisme ialah
pentingnya otoritas Alkitab bagi evangelisasi sedunia dalam rangka melaksanakan
evangelisasi ke seluruh dunia.33Dalam rangka melaksanakan evangelisasi ke seluruh dunia,
kaum evangelical atas kontribusi pemikiran dari John R.Stott dan Donald McGavran juga
menegaskan bahwa pekerjaan misi itu adalah sebuah upaya penanaman gereja yang berlanjut
dengan upaya penumbuhan gereja dengan penekanan pada pemuridan atau pertambahan
jumlah anggota gereja. Bagi kaum evangelical, di antara sekian banyak tanggung jawab yang
dimiliki gereja, menjadikan segala bangsa sebagai murid Kristus merupakan tugas gereja
yang paling utama.34

31

Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50.
Doktrin innerancy lahir sebagai lawan atas rasionalisme. Pada dasarnya rasionalisme berasumsi
bahwa yang dapat disebut realitas hanyalah hal-hal yang dapat menjadi objek pengamatan dan pemikiran
manusia. Pengaruh rasionalisme sangat besar dalam kehidupan kekristenan. Rasionalisme melepaskan Alkitab
dari unsur inspirasi. Menurut rasionalisme segala yang Sang Khalik lakukan harus disesuaikan dengan hukum
alam dan dapat menjadi objek observasi. Menurut Yakub B. Susabda, rasionalismelah yang melahirkan adanya
Biblical Critism. Lihat:Yakub B. Susabda, “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang seorang Injili”, dalam
Forum Biblika,No.4,edisi April 1994 (Jakarta:Lembaga Alkitab Indonesia,1994),46. Gereja yang memandang
Alkitab sebagai inerransi menerima adanya peran manusia di dalam proses penulisan Alkitab, namun Roh
Kudus menuntun dan mengendalikan seluruh proses penulisan. Oleh karena para penulis Alkitab diberi ilham
Allah (2Timothius 3:16) maka yang dikatakan dalam tulisan-tulisan itu dalam segala uraiannya tidak dapat
salah. Karenanya, Alkitab dipandang memiliki wibawa. Pada hakekatnya, Alkitab berisi warta keselamatan yang
tidak dapat salah. Lihat: Ioanes Rahmat, “Ditengah Arus Fundamentalisme Dalam Gereja,” dalam
Soetarman,Fundamentalisme,Agama -Agama dan Teknologi,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-3,1996),43-44.
Menurut Ioanes Rahmat, alasan Alkitab dipercaya dan dipertahankan sampai begitu rupa, berkaitan dengan
lahirnya fundamentalisme Protestan yang muncul pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat, yang tidak dapat
dilepaskan dari kandungan paradigma reformasi Protestan Injili abad ke-16. Pemahaman seperti itu
dimaksudkan untuk menolak dan menyerang pendekatan historis kritis terhadap Alkitab yang mempergunakan
prinsip-prinsip penalaran. Lihat: Ioanes Rahmat,”Tempat Fundamentalisme Protestan dalam Teologi-Teologi
Kristen Memasuki Milenium III”, dalam,Penuntun ,Vol.2,No.8,Juli 1996 (Jakarta:Pokja GKI Jabar),418.
33
C.F.Henry dan Mooneyham(eds.),One Race,One Gospel,One Task(Berlin: World Congress on
Evangelism,1966),97.
34
John R. Stott, “The Great Commision”, dalam F.H.Henry dan W.S Mooneyham(eds.), One Race . . .
,37. Donald McGavran,The Bridges of God: A study in the Strategy of Missions(New York: Friendship
Press,1955), 14-15.
32

164

Sejarah misi dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20 menunjukkan bahwa,
pemahaman Injil yang dibawa oleh gereja-gereja Barat ke tanah misi (Asia dan Afrika)
terbungkus dalam kepingan-kepingan perbedaan teologi misi. Perbedaan-perbedaan teologi
misi yang ada dalam gereja-gereja pemberita Injil itu, secara historis disebabkan karena
adanya perbedaan perbedaan denominasi, aliran dan pemahaman teologis dalam gereja itu
sendiri, yang sudah ada sejak zaman Reformasi. Perbedaan yang dimulai dengan perpecahan
antara gereja Katolik dan Protestan, berlanjut dengan perpecahan di dalam kalangan
reformasi sendiri antara pengikut Luther dan Calvin yang dalam perkembangan selanjutnya
juga melahirkan berbagai aliran seperti Pietisme, Puritanisme, kelompok gereja ekumenikal
dan kelompok gereja evangelical. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelahiran gerejagereja di tanah misi, berasal dari tiga tradisi besar gereja yaitu tradisi gereja Katolik, tradisi
gereja-gereja Protestan yang ekumenikal yang melahirkan gereja-gereja dalam gerakan
keesaan Gereja, dan tradisi gereja-gereja Protestan yang evangelical yang melahirkan gerejagereja dalam gerakan Injili.
Melihat sejarah pelaksanaan misi gereja sejak kelahiran gereja sampai pada
pertengahan abad ke-20, dapat disimpulkan bahwa berbicara tentang sejarah misi gereja
ternyata kita berbicara tentang sejarah gereja itu sendiri secara dinamis. Hal itu terjadi
demikian nampaknya karena seiring dengan perkembangan gereja dalam dunia yang
berkembang, berkembang pula pemahaman gereja tenatang misinya. Semula misi dipahami
sebagai usaha perluasan gereja secara triumfalistis dan para misionaris dilihat sebagai duta
dari superioritas budaya bangsa-bangsa Barat atas budaya bangsa-bangsa di luar bangsa
Barat, karena gereja mengerti dirinya sebagai umat pilihan Tuhan, umat yang telah
diselamatkan dalam Kristus dan yang harus menjadikan setiap bangsa murid Kristus agar
mereka juga terselamatkan. Ketika pengenalan gereja akan dirinya dan juga pengenalan
gereja akan dunianya mengalami perubahan, dimana dia dan sesamanya dipahami sama
sebagai sesama manusia ciptaan yang dikasihi dan diselamatkan Tuhan sang pencipta semua
makhluk, sebagaimana terungkap dalam Konferensigereja-gereja Protestan ekumenikal yang
diselengarakan di Edinburgh 1910, di Yerusalem 1928, di Tambaran India 1938, di New
Delhi India 1961, dan dalam Konsili Vatikan II gereja Katolik yang berlangsung pada
pertengahan tahun 1962,gereja tidak lagi menjadikan misinya sebagai propaganda iman
tetapi sebagai komunikasi iman.

165

V.2. ModelMisiGereja EropaDi Indonesia Pada Masa Penemuan Dan Penaklukkan
Benua-Benua Baru
Ekspansi imperialis dan kolonialis Barat ke Asia termasuk di dalamnya ke Indonesia
berlangsung dalam kurun waktu lima abad dari tahun 1492 sampai dengan 1947. Era ini
disebut juga sebagai era Vasco Da Gama , sebab Vasco Da Gama adalah tokoh yang
menemukan rute laut ke India sebagai rute yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa:
Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jerman dalam melancarkan ekspansinya ke wilayah
Asia. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menduduki Malaka sebuah kota strategis di Asia
Tenggara, kemudian menjelajahi Maluku, Flores dan Timor yang kaya akan rempah-rempah.
Kehadiran Portugis ke Asia terutama didorong oleh motif ekonomi, motif politik dan motif
agama yaitu keinginan untuk mewartakan Injil. Jatuhnya Malaka di bawah kekuasaan
Portugis membuat Malaka menjadi pusat politik, ekonomi dan pusat kegiatan misi. Usaha
misi agama bangsa Portugis membuahkan hasil. Sejumlah penduduk pribumi di Maluku,
Timor, dan Flores menerima baptisan dan menjadi warga gereja Katolik mulai pada tahun
1543.35Pelaksanaan misi agama bangsa Portugis senyatanya bergandengan tangan dengan
penjajahan dan perdagangan, sehinggamotif misi agama bangsa Portugisdikaburkan oleh
motif ekonomi danmotif politiknya.36
Sekalipun motif misi agama bangsa Portugis dikaburkan oleh motif ekonomi dan
politiknya, negara Portugis memandang penyiaran agama Katolik sebagai tugasnya, sehingga
ia membiayai seluruh usaha pekabaran Injil. Di setiap kapal Portugis selalu ada imam-imam
yang memeliara kerohanian awak kapal dan yang sesudah mendarat, berdoa kepada Tuhan,
memohon berkat atas perdagangan maupun pekabaran Injil, dan kemudian mulai
mengabarkan Injil kepada penduduk setempat. Selain memburu rempah-rempah, bangsa
Portugis yang datang ke Indonesia juga membawamentalitas superior dan memori kolektif
yang buruk dalam hubungannya dengan komunitas muslim,dari negara asalnya.37
Berdasarkan motif dan muatan yang terbawa oleh bangsa Portugis dalam
kedatangannya ke Nusantara, maka pada masa kolonial Portugis, terjadi dua persaingan di
wilayah Nusantara. Pertama, persaingan antar kekuatan politik, baik di kalangan kekuasaan di
Dick Hartono S.Y. “Iman dan Adat Istiadat:Sebuah Pergumulan Klasik” dalam Chris
Hartono(ed.),Perjumpaan
Gereja
di
Indonesia
Dengan
Dunianya
Yang
Sedang
Berubah (Jakarta:Persetia,1995),159.
36
F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang . . . , 453.
37
Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Jakarta:Komunitas
Bambu,2011), 45.
35

166

wilayah Nusantara maupun antar kekuatan bangsa-bangsa asing dalam memperebutkan
monopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia. Kedua, persaingan antar misi Kristen dan
misi Islam yang menyebar di wilayah Nusantara melalui pusat-pusat kekuasaan dari
Sumatera sampai Ternate. Misi agama dipakai dalam percaturan politik sehingga permusuhan
antara penguasa-penguasa Kristen dan penguasa-penguasa Islam di Barat terbawa ke
Indonesia. Persaingan antara KristenKatolik (Portugis dan Spanyol) dengan KristenProtestan
(Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1602 dengan motif yang sama dengan motif
Portugis) juga terjadi pada era kolonial Portugis.38
Bangsa Belanda dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC ) datang ke
Indonesia pada tahun 1602, satu abad setelah kedatangan Portugis. Oleh karena bangsa
Belanda adalah pedagang, maka tujuan utama Belanda datang ke Indonesia melalui wadah
VOC adalah untuk mendapatkan monopoli dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1605
Belanda melalui pertempuran mengusir orang-orang Portugis dari Maluku. Kemudian sebagai
pemilik VOC yang merupakan perusahan dagang terbesar pada abad ke-17, Belanda
mendirikan koloni tetap di Indonesia dan itu terus dipertahankannya hingga pada pertengahan
abad ke-20. VOC sesungguhnya tidak banyak melakukan pekerjaan misi. Pekerjaan misi
dalam arti penyebaran iman Kristen, sesungguhnya banyak dihindari oleh VOC karena
mereka takut akan berpengaruh negatif terhadap perolehan keuntungan ekonomi.39 Di bidang
misi, VOC pada umumnya hanya memimpin kebaktian di kalangan pemimpin yang
mempekerjakan mereka atau di rumah para pedagang Belanda.Sebuah karyapenyebaran iman
Kristenyang cukup monumental dilakukan VOC adalahhanya menerbitkan Perjanjian Baru
dalam bahasa Indonesia.40
Mencermati sikap pemerintah Belanda dalam penginjilan pada masa kolonialnya di
Indonesia seperti tersebut di atas, Saut Sirait memandang penjajahan Belanda merupakan
38

Van Den End,Harta Dalam Bejana (Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-7,1988), 165. Juga Christian de
Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,cet-2,1993), 90.
39
Pemerintah kolonial Belanda pernah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa beberapa daerah
jajahan di Nusantara seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat khususnya Banten ditutup bagi pemberitaan Injil.
Kebijakan itu dibuat karena kepentingan politik dan ekonomi pemerintah Belanda, yang sudah berjalan baik
karena adanya kerjasama antara mereka dengan pemerintah dan masyarakat setempat, akan sangat terganggu
bila kedatangan gereja tidak bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Dalam hal ini, pelaksanaan
misi gereja dikorbankan oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Lihat
J.R.Hutauruk,”Sejarah Gereja di Indonesia” dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan
Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta:Persetia,1995),105,133.
40
Th Van Den End, Ragi Carita 1, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1980),
32-33. Lihat juga: Stephen Neil,A History of Christian Missions(London: Overseas Missionary Felloship, 1967),
16-17.

167

bagian kegagalan dan kekacauan penginjilan di Indonesia terutama pasca kemerdekaan.
Selama kekuasaan penjajahan, Belanda dianggap memiliki peran utama dalam penginjilan
hingga berdirinya gereja-gereja di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kekristenan
diidentikkan dengan penjajahan Belanda atau paling tidak merupakan bagian dari strategi
penjajahan. Padahal dalam kenyataannya, banyak kebijakan dan tindakan Belanda yang justru
menghempang penginjilan dan kemajuan gereja-gereja di Indonesia. Fakta selama 350 tahun
menjadi penguasa di bumi Nusantara, tetapi penganut Kristen teramat minoritas merupakan
bukti bahwa penjajahan Belanda tidak sepenuhnya bertalian dengan kekristenan.41
Seiring dengan perjalanan waktu sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, monopoli
VOC tidak hanya pada perdagangan, tetapi juga di bidang gerejawi. Hal itu terjadi demikian,
karena VOC memahami bahwa ia adalah pelaksana pemerintahan Hindia-Belandasehingga
gereja di Indonesia ada di bawah wewenangnya. Orang KristenIndonesia tidak diperbolehkan
menempuh kebijakan sendiri dalam bergereja. Sementara melaksanakan kebijakan demikian,
pihak VOC tidak memiliki niat untuk mendidik orang-orang Indonesia menjadi pelayan
gereja. GerejaIndonesia diurus oleh tenaga dari Belanda yang dibiayai oleh VOC dalam
suasana paternalistik. Dalam keadaan yang demikian, berbicara tentang sejarah gereja
Indonesia pada jaman VOC adalah berbicara tentang sejarah gereja Nederland di
Indonesia.42Keengganan para missionaris Belanda pada waktu itu untuk memberi tempat
pada gereja pribumi, didasarkan pada pandangan bahwa semua warisan dan nilai budaya
pribumi masih kafir. Para misionaris Belanda berpendirian bahwa bila warga pribumi hendak
menjadi penganut agamaKristen, maka semua warisan dan nilai budaya harus ditinggalkan
dan menggantikannya dengan unsur budaya Barat. Dengan kata lain, menjadi Kristen berarti
tercabut dari sosio-budaya-religius tempat warga pribumi berakar, kemudian di-Baratkan.Hal itu dilakukan demikian karena kristenisasi yang dilakukan oleh gereja Belanda dalam
misi agamanyadiidentikan dengan westernisasi.43
Selama hampir dua ratus tahun, dari tahun 1602 sampai tahun 1795, dalam asuhan
VOC Kekristenan di Indonesia tidak berkembang karena tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan teologi dan keberadaannya. Menurut Van Den End, pada akhir abad ke-18,

41

Saut Sirait,Teologi Kenegaraan Negara Dalam Rancangan Tuhan (Jakarta:BPK Gunung
Mulia,2016),2.
42
Van Den End, Harta Dalam . . . , 218-226.
43
Christian de Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja . . . , 92.

168

gereja Indonesia bagaikan tanaman yang hampir mati,44 karena pada masa kejayaan VOC
Belanda tidak memiliki upaya penyebaran agama Kristen secara besar-besaran di Indonesia.
Bahkan pada jaman kejayaan VOC, pulau Jawa Timur, Jawa Barat khususnya Banten dan
pulau Bali dinyatakan tertutup bagi penyebaran agama Kristen. VOC hanya melanjutkan
pemeliaraan jemaat-jemaat Kristen Indonesia yang ditinggalkan Portugis seadanya saja.
Bahkan kadangkala VOC mengorbankan gereja demi kepentingan ekonominya.
Ketika VOC bubar pada akhir abad ke-18, maka babakan baru dalam sejarah gereja
Indonesia dimulai. Pemerintah kolonial Belanda menangani langsung umat Kristen Indonesia
dengan menata ulang organisasi gereja-gerja Indonesia. Pada masa yang demikian,tepatnya
pada tahun 1835, dilakukan pembentukan gereja kesatuan Indonesia dengan menyatukan
seluruh golongan Protestan (Hervormd dan Lutheran) dengan nama De Protestansche Kerk
in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di India Belanda). Dengan penetapan itu, gereja

ProtestanIndonesia tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan gereja

Belanda, namun

menjadi bagian dari lembaga pemerintahan kolonial. Dari De Protestanche Kerk in
Nederlandsch Indie, lahir gereja-gereja etnis di Indonesia bagian Timur yaitu: Gereja Masehi
Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) pada tahun 1935,
Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) pada tahun 1947, dan jemaat-jemaat lainnya tergabung
dalam sinode tersendiri yaitu Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) pada tahun
1948.45
Pada abad ke-19, pekerjaan misi di Indonesia disamping dilakukan oleh gereja-gereja
Barat yang bergandengan tangan dengan kekuasaan pemerintahan kolonial, diselenggarakan
pula oleh para misionaris Eropa dan Amerika yang terlepas dari kekuasaan pemerintahan
kolonial. Para misionaris yang datang ke Nusantara pada abad ke-19 yang terlepas dari
kekuasaan pemerintahan kolonial, adalah para misionaris dari gerakan pietisme dan
revivalisme46. Misi para misionaris Barat dari gerakan pietisme dan revivalisme hanya

berorientasi pada hidup di seberang dunia ini. Bertolak dari orientasi misi yang demikian,
mereka hanya menekankan pertobatan pribadi demi keselamatan rohani perorangan. Sebagai
bagian dari bangsa dan budaya Barat, dalam pelaksanaan misinya kaum pietis dan
Van Den End, Harta Dalam . . . , 227. Lihat juga: F.Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di
Indonesia”, dalam MA.Ihromi(peny), Theo-Doron, Pemberian Allah, Kumpulan Karangan dalam rangka
menghormati usia 75 tahun Prof Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1979), 60-62.
45
Zakaria J Ngelow, “Gereja di Tengah Bangsa dan Masyarakat Indonesia”, dalam Sularso Soepater,
dkk(peny.), Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998),15.
46
Van den End,Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta:Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta
Wacana, 1988), 57.
44

169

revivalistidak memperkembangkan sikap kritis terhadap kekuasaan kolonialisme. Mereka
melaksanakan misi

dengan berlomba-lomba baik secara halus maupun kasar, mencari

pengikut untuk dijadikan orang yang seagama dengan mereka.
Dalam pelaksanan misinya seperti terurai di atas, kaum pietis dan revivalis sekalipun
tidak terikat dengan kekuasaan kolonialisme, namun mentalitas mereka sama seperti
mentalitaspara misionaris bangsa Eropa yang datang pada abad ke-16 dan yang terikat
dengan pemerintahan kolonial, yakniselalu mau menang sendiri.Mentalitas yang demikian itu
bersumber dari pemahaman gereja Eropa bahwa agama Kristen diyakini lebih unggul dari
semua agama yang te

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII

0 4 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI

0 6 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB IV

1 3 55

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB I

0 1 16