Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB III

BAB III
AGAMA SIPIL SEBAGAI RELIGIOSITAS NEGARA KEBANGSAAN

III.1. Pengertian Agama Sipil
Istilah agama sipil diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau, sehingga pengertian
yang ada pada istilah ini, terkandung dalam gagasan Rousseau tentang agama sipil. Melalui
istilah “agama sipil” Rousseau menggagas betapa pentingnya negara-negara di Eropa
memiliki sebuah sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa, sehingga otoritas itu
dinamakan “agama”, dan juga bebas dari pengaruh gereja, sehingga dinamakan
“sipil”,1sebagai sumber legitimasi untuk menentukan batas-batas yurisdiksi, dan memberikan
persetujuan transendental demi terciptanya “kebersamaan sosial”,2 dimana pluralisme dan
toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan dalam masyarakat.3 Gagasan betapa perlunya
“moralitas masyarakat” atau “agama sipil” itu, dimunculkan oleh Rousseau sebagai respon
terhadap konteks masyarakat Eropa pada jamannya dimana ikatan primordial masyarakat
Eropa memudar, karena masyarakat tersebut kehilangan fondasimoral agama dalam proses
individualisasi yang bergerak cepat akibat pencerahan.4 Dalam pemikiran Rousseau yang
demikian ini, agama sipil bisa dikonstruksi secara top-down sebagai jalan untuk membangun
masyarakat ideal.
Bertolak dari gagasan Rousseau tentang agama sipil seperti termaksud di atas, maka
agama sipil dapat diartikan sebagai sebuah kontrak sosial, hasil kesepakatan seluruh
masyarakat, yang memiliki otoritas transendental sehingga menjadi sumber legitimasi untuk

mencapai secara bersama-sama kehendak umum masyarakat, yakni kesejahteraan bersama.
Oleh karena kehendak umum berupa kesejahteraan bersama itu, dipahami oleh masyarakat
memiliki nilai transendental, maka masyarakat memiliki kesadaran untuk berperan dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama itu. Terhadap pengertian imani yang seperti ini, negara
memang perlu menata peran masyarakat dengan membuat peraturan-peraturan yang bukan
berfungsi sebagai dogma sebagaimana layaknya dogma sebuah agama, namun sebagai

1

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj.G.D.H.Cole (New York: Dover Publications,2003),

93-5.
2

Ibid.,96.
Christopher Bertram,Rousseau and The Social
Routledge,2004),188.
4
Jean-Jacques Rousseau,On Social Contract . . . , 93.
3


66

Contract(London

and

New

York:

tuntunan dan tuntutan sosial agar melaluinya, setiap warga bisa menjadi warga negara yang
mengaktualisasikan agama sipilnya dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa.5
III.2. Gagasan Agama Dari Marx, Weber Dan DurkheimSemuara Dengan Agama Sipil
Dalam menelisik teori Marx, Weber dan Durkheim tentang agama, terlihat jelas bahwa
skema pemikiran mereka bertiga dalam membahas agama, adalah berupa gagasan-gagasan
mengenai agama yang terkait dengan kehidupan sosial dan bermuara pada kebersamaan
sosial. Marx menghendaki agar agama itu dipahami sebagai ekspresi penderitaan masyarakat
dan sekaligus sebagai protes atas penderitaan itu demi kesejahteraan manusia. Weber
mendambakan agar nilai-nilai agama itu merupakan rasionalisasi keyakinan agama terhadap

masalah-masalah sosial, agar perilaku keberagamaan manusia medatangkan kemajuan yang
mendamaikan. Durkheim mengaharap agama dimengerti sebagaikesadaran kolektif, dimana
semua kepentingan –kepentingan individu menyatu dalam sebuah kolektifitas masyarakat,
berupa kehendak bersama akan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat, sehingga
kehendak setiap anggota masyarakat bergerak secara spontan dan seperasaan, menunduk dan
menuju pada kehendak dari kesadaran kolektif yakni kohesi sosial.
Substansi gagasan agama dari Marx, Weber dan terutama dari Durkheim seperti
tersebut di atas, agaknya tidak keliru diduga semuara dengan gagasan agama sipil, walaupun
istilah“ agama sipil” itu sendiri tidak muncul dalam pembahasan mereka tentang agama.
Dugaan ini didasarkan pada fakta bahwa, tujuan yang hendak dicapai Rousseau dalam
gagasan agama sipilnya, sejalan dengan gagasan-gagasan agama sebagaimana dibangun oleh
Marx, Weber dan khususnya Durkheim.Konstruksi agama sipil dalam pemikiran Rousseau,
sangat erat kaitannya dengan apa yang Marx maksudkan dengan agama sebagai ekspresi
masyarakat atas penderitaannya dan sekaligus protesnya terhadap penderitaan itu, dengan apa
yang Weber maksudkan dengan perilaku keberagamaan yang berdasar pada rasionalisasi
keyakinan terhadap konteks sosial demi kemajuan dan kedamaian masyarakat, dan khususnya
dengan apa yang Durkheim maksudkan dengan kesadaran kolektif, yaitu kualitas
keberagamaan masyarakat berupa kohesi sosial. Gagasan agama sipil yang diperkenalkan
oleh Rousseau dan gagasan kesadaran kolektif yang ditemukan oleh Durkheim bertolak dari
pemahaman atau pengakuan yang sama dan bekiblat pada tujuan yang sama pula. Agama


John A.Titaley, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme
Agama”. Makalah disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia(PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004, 4.
5

67

sipil dan kesadaran kolektif, bertolak dari pemahaman akan adanya dan pengakuan akan
perlu adanya“moralitas masyarakat” yaitu sumber otoritas milik bersama sebuah masyarakat,
dimana padanya terakomodir dan menyatu, kepentingan-kepentingan pribadi warga
masyarakat. Bertolak dari moralitas bersama seperti termaksud, agama sipil dan kesadaran
kolektif bekiblat pada tujua yang sama, yaitu menjadikan moralitas bersama itu sebagai
sumber otoritas dalam melegitimsi batas-batas yurisdiksi, dan memberikan persetujuanpersetujuan transendental, demi tercapainya kesatuan masyarakat, dimana pluralisme dan
toleransi dapat berjalan berkesinambungan dalam masyarakat.6
Bahwa Emile Durkheim, sekalipun dalam gagasan agamanya tidak menyebut istilah
“agama sipil”, namun

karena senyatanya “substansi agama sipil” ada pada gagasan


Durkheim tentang agama; oleh Robert N.Bellah dalam kata pengantarnya pada buku
kumpulan tulisan Durkheim ”On Morality and Society”, Durkheim bahkan disebut sebagai
teolog agama sipil. Bellah mengatakan,” Durkheim was a high priest and theologian of civil
religion in the Third Republic and a prophet calling not only modern France but modern
Western generally to mend its ways in the face of a great social and and moral
crisis”.7Bahwa konstruksi agama sipil telah ada dalam pemikiran Durkheim tentang agama,
oleh Ivan Varga dikatakan bahwa ide tentang “moralitas masyarakat” itu, yang berfungsi
sebagai kohesi sosial; memang tersirat dan tersurat jelas pada apa yang Durkheim sebut
dengan “kesadaran kolektif “8. Konsep Durkheim tentang “moralitas masyarakat”,
“kesadaran kolektif” dan “kohesi sosial” yang merupakan basis dari gagasan agama sipil itu,
terurai dalam beberapa karya Durkheim seperti : Division of Labor in Society, The
Elementary Forms of Religious Life, dan On Morality and Society.
III. 3.Substansi “Agama Sipil” Dalam Gagasan Agama Durkheim
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa gagasan Durkheim tentang moralitas
masyarakat, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang menjadi basis dari teori agama sipil
itu, tercermin dalam beberapa karya Durkheim seperti The Elementary Forms of Religious
Emile Durkheim menggagas “moralitas bersama dari masyarakat”
itu berdasarkan pada
penemuannya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Jean-Jacques Rousseau menggagas “agama sipil “ itu
dalam rangka dia menjawab konteks dari negara-negara Eropa pada jamannya dimana proses individualisasi

akibat pencerahan bergerak sangat cepat.Ikatan-ikatan primordial cendrung tercerabut. Melalui gagasan agama
sipilnya, Rousseau ingin agar masyarakat Eropa membangun kembali kohesi sosial mereka, sebab bagi
Rousseau tidak mungkin manusia bisa memperjuangkan kehidupannya secara eksklusif.
7
Emile Durkheim,On Morality and Society:Selected Writings,Robert Bellah(ed.)(Chicago:University
of Chicago Press,1973),x.
8
Ivan Varga, “Social Morals,the Sacred and State:Regulation in Durkheim’s Sociology”,Social
Compass 53.4.(2006),457.
6

68

Life, Division of Labor in SocietydanOn Morality and Society.Dalam karya-karya itu,
khususnya dalam The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim dengan tegas
mematahkan argumen dari E.B Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat
primitif sepenuhnya memahami “hal yang tertinggi itu” dalam kehidupan keberagamaan
mereka sebagai sesuatu yang supernatural.9 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada
supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Menurut Durkheim, dikotomi ini, hanya ada
pada masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat primitif.

Masih dalam karya The Elementary Forms of Religious Life,setelah dia berusaha untuk
melihat

bentuk-bentuk

dasar

darikepercayaan

masyarakat

primitif,Durkheim

berpendapatbahwa setiap masyarakat memiliki suatu kesatuan sistem keyakinan dan praktekpraktek dari keyakinan itu, dimana semua orang tunduk kepadanya atau dimana masyarakat
memberikan kesetiaannya. Kesatuan sistem keyakinan dan praktek-prakteknya dalam suatu
masyarakat moral (masyarakat beragama), dimana semua orang menundukkan diri padanya
dan dimana semua masyarakat memberikan kesetiaan padanya, oleh Durkheim dinamakan
“kesadaran kolektif” atau “moralitas masyarakat”. Terkait dengan pengertian tentang
“kesadaran kolektif” yang demikian ini, Durkheim mengemukakan bahwa


“kesadaran

kolektif” itu, akan muncul saat masyarakat mengalami “collective effervescent”,yaitu saat
dimana semua kepentingan individu menyatu dalam sebuah

kolektifitas masyarakat.

Bertolak dari pengertian tentang “collective effervescent” itu, Durkheim menegaskan bahwa
bentuk dasar dari agama adalah “totemisme”.Bahwa “totemisme” adalah bentuk dasar dari
agama, Durkheim mengatakan “what is fundamental to totemisme is that the people of the
clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made
of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged.”10
Selanjutnya, Durkheim berpandangan juga bahwa karakteristik paling mendasar dari
setiap kepercayaan agama bukanlah terletakpadaelemen-elemen “supernatural” melainkan
terletak pada konsep tentang “yang sakral”. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang
bersifat “sakral” itu adalahsesuatu yangsuperior, berkuasa, selalu dihormati, memiliki
pengaruh

luas,


menentukan

kesejaheraan

dan

kepentingan

seluruh

anggota

masyarakat.Pendapat-pendapat Durkheim sebagaimana tertuang dalam “The Elementary
Forms of Religious life” mengindikasikan bahwa esensi “sebuah agama bersama
9

Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006) Second
Edition, 88-90.
10
Emile Durkheim,The Elementary Forms . . . , 238.


69

masyarakat”dalam gagasan Durkheim adalah sebuah ekspresi kualitas keberagamaan
masyarakat yang terintegrasi, dimana substansi moralitas yang dikandungnya, adalah berupa
kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota masyarakat, yakni
kebersamaan sosial atau kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dalam gagasan Durkheim tentang agama sipil seperti tersebut di atas, tampak jelas
bahwa Durkheim mengkaitkan antara agama dengan integrasi masyarakat. Dalam gagasan
Durkheim itu terlihat jelas bahwa sebuah mayarakat yang betul terintegrasi, ekspresi
integrasinya akan berupa agama, sehingga bila ada konflik yang membahayakan integrasi
sosial, maka jalan untuk meresolusi konflik itu adalah mengekspresikan agama itu. Dalam
hal ini, di mata Durkheim, “kualitas keagamaan” akan

mengekspresikan dirinya pada

tindakan pembentukan masyarakat yang terintegrasi. Durkheim berpandangan demikian,
karena baginya, dasar yang paling hakiki dari agama sipil, yakni agama yang membangun
masyarakat yang terintegrasi, adalah sesuatu yang mengakar di dalam masyarakat berupa
“kesadaran kolektif”.11 Bagi Durkheim, “kesadaran kolektif” merupakan suatu yang esensial

dalam masyarakat,karena ide masyarakat seperti kohesi sosialdan kebersamaan sosial adalah
jiwa dari agama.12 Jadi substansi agama sipil dalam gagasan Durkheim tentang agama
adalah, ekspresi dari kualitas keberagamaan masyarakat berupa masyarakat yang terintegrasi,
yang berpusat dan mengalir dari kesadaran bersama masyarakat (moralitas bersama
masyarakat).
III.4. Gagasan Agama Sipil Dari Jean-Jacques Rousseau
Pada jaman Rousseau, masyarakat Eropa ada dalam masa pencerahan. Manusia
pencerahan berjuang gigih menaklukkan alam semesta denganakal dan rasio. Segala
kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Oleh karenanya, pada masa
pencerahan sains dan teknologi berkembang sangat pesat. Pada perkembangan sains dan
teknologi yang begitu pesat, ada sisi yang mengembirakan, namun padanya terdapat juga sisi
yang memprihatinkan. Dilihat dari sisinya yang mengembirakan, perkembangan sains dan
teknologi membuat manusia berhasil meletakkan fondasi revolusi industri, dan menciptakan
mesin-mesin uap. Sedangkan dari sisinya yang memprihatinkan, perkembangan sains dan
teknologi pencerahan, telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang
Bandingkan dengan Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State...” dalam Social Compas
53. 4. 2006, 457.
12
Emile Durkheim, The Elementary Forms . . . , 419.
11

70

sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Iadilihat sebagai mesin-mesin, tidak
lebih dari itu. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama sekali tidak
dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia. Pada masa yang demikian
pula, bangsa-bangsa Eropa melakukan penjelajahan dan penjajahan ke Asia, Fasifik, Afrika,
dan Amerika Utara.13Pada masa pencerahan, dimana sains dan teknologi sangat maju,
penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh gereja, juga dikritik oleh para pemikir, yaitu
oleh mereka yang tidak merasa takut lagi dengan hukuman akhirat, yang walaupun jumlah
mereka tidak banyak, tetapi kritikan mereka sangat memudarkan beberapa ajaran gereja,
sehingga negara-negara Eropa juga menjadi merasa kehilangan fondasi moral mereka.14
Dalam keadaan masyarakat Eropa seperti tergambar di atas, Rousseau hadir
memperkenalkan filsafat politiknya. Mengawali filsafat politiknya, Rousseau mengemukakan
bahwa, keluarga adalah masyarakat politik pertama.15 Penguasanya adalah sang ayah dan
anak-anak adalah rakyatnya.16Mereka semua dilahirkan sama dalam kebebasan dan
kesetaraan. Bertolak dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan
pentingnya menghancurkan pemberhalaan terhadap akal, sebagai jalan dia mengkritisi
manusia yang cendrung dituntun oleh akal semata sampai terjadi dehumanisasi. Bagi
Rousseau, perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang rakus
dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran.Kepada manusia yang mengagungkan rasio,
Rousseau memberitahu mereka betapa pentingnya untuk memahami keadaan alamiah(state of
nature)dari manusia. Manusia dalam keadaan alamiahnya adalah makhluk yang memiliki
tubuh dan roh. Sebagai makhluk yang berbadan kasar dan halus, manusia tidak hanya
memiliki rasio saja, tetapi juga emosi dan perasaan.17
Menyambung pemberitahuannya tentang keadaan alamiah manusia seperti tersebut di
atas, Rousseau mengajak manusia untukkembali ke alam, agar manusia menjadi dirinya dan
terhindar dari kehancuran total. Menurut Rousseau, dalam keadaan alamiah manusia pada
dasarnya adalah makhluk yang baik. Sebagai makhluk alami yang baik, manusia tidak
menghendaki perang dan konflik. Oleh karena begitu keadaan alamiah manusia, maka perang
bukanlah fenomena alamiah (natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social
Christopher D.Wraight, Rousseau’s The Social Contract:A Readers Guide, (New York and London:
Continuum International Publishing Group,2008),1.
14
Ibid., 2.
15
Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G. D. H. Cole (New York: Dover Publications,
2003), 2.
16
Ibid.
17
Ibid., 5.
13

71

phenomenon). Jika ada perang terjadi, tulis Rousseau, itu adalah karena adanya pergeseran
dalam diri manusia dari yang alamiah keyang sosial. Lebih jauh, Rousseau mengemukakan
bahwa, dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Bahkan kebebasan
merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah. Dalam hal ini,
Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu mementingkan
keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno, yaitu manusiayang tidak baik dan
buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis. Manusia yang hanya hidup polos dan mencintai diri
secara spontan.18
Melanjutkan uraiannya tentang kebebasan manusia, Rousseau menegaskan bahwa
manusia yang alamiah, senyatanya adalah manusia dalam keadaan bebas sejak dilahirkan.
Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan karena manusia bersentuhan
dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang melibatkan lembaga ekonomi dan politik.
Rousseau bilang, “man, is born free and everywhere he is in chains.”19Kebebasan menurut
Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan pada manusia untuk menaklukkan
sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa ketakutan akan kemungkinan terjadinya
penaklukan atas dirinya secara persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan
sebagai hak untuk melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya.
Kebebasan di mata Rousseau juga dipahami sebagai keadaan dimana keadilan sepenuhnya
ditegakkan, sehingga tidak ada manusia yang hidup terbelenggu.20
Masih terkait dengan pembahasan tentang kebebasan

manusia, Rousseau

mengidentifikasi ada dua kebebasan yang dimiliki manusia, yaitu kebebasan alamiah dan
kebebasan sipil. Kebebasan alamiah dikendalikan oleh kekuatan individu, sedangkan
kebebasan sipil dibatasi oleh “general will”yang dituangkan pada “kontrak sosial”. Kontrak
sosial membuat kebebasan alamiah manusia dan hak yang tidak terbatas untuk melakukan
sesuatu, terhilang dari manusia. Kontrak sosial memberi manusia kebebasan sipil. Kata
Rousseau, kebebasan sipil manusia yang dibatasi oleh kehendak bersama masyarakat, hanya
bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a positive title.21 Dengan maksud untuk
menjelaskan makna kebebasan sipil yang hanya ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a
positive title, Rousseau menguraikan bahwa, negara merupakan produk perjanjian sosial.

18

Jean-Jacques Rousseau,On Social Contract . . . , 6-7.
Ibid., 1.
20
Ibid., 10.
21
Ibid., 12.
19

72

Individu dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu
kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara, kedaulatan rakyat,
kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan makna dengannya. Dengan
menyerahkan hak itu, individu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaannya dan negara
menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat
untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka.
Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara menjalankan fungsi-fungsinyasesuai
dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu, negara harus selalu berusaha mewujudkan
kehendak umum dari rakyat.22
Meneruskan

pandangannya

tentang

esensi

“kedaulatan

negara”,

Rousseau

mengutarakan bahwa, bila kedaulatan negara menyimpang dari kehendak rakyat, kedaulatan
negara akan mengalami krisis. Dalam hal ini, filsafat politik Rousseautentang kontrak sosial,
merupakan antitesisterhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori sosialnya khususnya teori
negaranya ini, Rousseau membalikkan sumber kekuasaan dari legitimasi tuhan ke
manusia.Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa semua orang dalam sebuah
negara,mempunyai tanggungjawab bersama bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi
juga untuk kebaikan kolektif.23
Dalam mengupas teori negaranya lebih dalam, Rousseau menunjukkan bahwa bentuk
awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.24 Bentuk pemerintahan teokrastis, tulis
Rousseau, menyebabkan lahirnya politeisme; dimana setiap kelompok masyarakat
memilikituhan. Dengan kata lain, Rousseau menyatakan bahwa politeisme hadir karena
kelahiran bangsa. Penyataan ini dijelaskan oleh Rousseau dengan sebuah analogi bahwa
bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak mungkin akan tunduk pada satu
kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya Rousseau, “Dua kelompok rakyat yang asing satu
sama lain, dan hampir selalu bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikanyang sama dalam
waktu lama. Demikian pula duaangkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat
mematuhi pemimpin yang sama.” Mereka pasti memiliki tuannya masing-masing yang pada
berbeda.25

22

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 13-4.
Ibid., 12
24
Ibid., 89.
25
Ibid
23

73

Dalam negarateokratis dimana masyarakatnya berkeyakinan politeistis, memang sangat
dimungkinkan terjadi perang agama. Hal itu terjadi demikian, kata Rousseau, karena setiap
negara teokratis yang tengah melakukan perang agama, tidak membedakan antara kekuasaan
politis dan teologis. Dalam masyarakat teokratis kejahatan terhadap negara juga merupakan
kejahatan terhadap agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.26 Oleh
Rousseau dikatakan, pola ini berubah karena kekristenan. Maksud Rousseau,kekristenan
melakukan pemisahan urusan agama dan negara. Para rakyat yang berpikir teokratis dan
politeistis, melihat kekristenan itu sebagai pemberontak yang sangat kejam.27 Oleh karenanya
mereka mematuhi pemisahan urusan agama dan negara secara munafik, dan berusaha untuk
memerdekakan diri.Dalam keadaan yang demikian, kekristenan juga kemudian membuat
perubahan nama atas pemisahan antara urusan agama dan negara itu, menjadi pemisahan
antara kerajaan dunia dan kerajaan sorga. Menurut Rousseau, penghadiran kerajaan sorga
dalam sebuah kerajaan dunia,merupakan despotisme yang paling bengis.28Hal itu dikatakan
demikian, karena kekuasaan ganda agama dan negara (kerajaan sorga dan kerajaan dunia)
dalam sebuah negara menimbulkan konflik yurisdiksi. Rakyat selalu dibuat gamang dalam
memahami siapa yang wajib mereka patuhi, pemimpin agama atau pemimpin negara.
Mencermati fakta ini, bagi Rousseau, tidak mungkin diciptakan suatu pemerintahan yang
baik di negara Kristen.29
Bertolak dari asumsinya bahwa tidak mungkin diciptakan suatu pemerintahan yang
baik di negara Kristen, Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes atas
keberhasilannya, mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan negara
dan agama yang dibuat olehkekristenan.30 Hobbes mengusulkan untuk mengembalikannya
kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah tidak akan bisa dibentuk dengan baik.
Di mata Rousseau, usul Hobbes ini tentu baik sebagai upaya mengatasi ketegangan yang
ditimbukan oleh sistem kekuasaan ganda dalam suatu negara, namun tidak mudah untuk
merealisasikannya, karena kepentingan para imam selalu akan lebih kuat daripada

26

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 90.
Ibid., 91.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid., 92.
27

74

kepentingan negara.31 Dalam merespon realitas ini, Rousseau kemudian mengemukakan
tentang tiga kategori agama, yakni agama manusia, agama masyarakat, dan agama imam.32
Dalam penjelasannya tentang ketiga agama ini, Rousseau mengemukakan bahwa
Agama manusia adalah agama yang menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan
kepada Tuhan.33Rousseau menyebut juga agama ini sebagai “the religionof Gospel”.34
Agama manusia semata-mata merupakan pemujaan terhadap tuhan dalam hati masing-masing
dan pada kewajiban moral yang abadi. Sikap bakti dari penganut agama ini terhadap
tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama manusia murni semata-mata
keyakinan privat atau individual.Sementara, agama masyarakat dijelaskan Rousseau adalah
agama dari sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa.35 Agama ini berlaku di suatu
negeri. Dewa dari agama ini menjadi pengayom seluruh warga. Agama ini terorganisirdan
hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama masyarakat mengajarkan cinta
tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Tentang agama imam, dijelaskan
oleh Rousseau bahwaagama imam memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua
pemimpin, dua tanah air, dan memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan yang
menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara sekaligus. Menurut
Rousseau, ketiga agama yang dikemukakan dan dijelaskannya ini, tidak bisa dijalankan
secara baik dalam sebuah komunitas masyarakat.36
Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menyebutkan bahwa ada
tiga aspek dalam agama. Ketiga aspek termaksud ialah: keyakinan pribadi, doktrin dan
perilaku.37 Keyakinan pribadi, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi fokus dari
otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang relasinya berkaitan dengan
masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau mulai mengenalkan civil
profession of faith dimana seseorang harus mengakui kaidah atau kode moral. Sementara
fanatisme harus ditolak, bukan karena tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga
negara bebas untuk memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral,
sebagai bahan dimana seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya. Dalam
31

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 92.
Ibid., 93.
33
Ibid., 93.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
37
Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia, Disertasi (Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2015), 24.
32

75

menjelaskan lebih detail tentang “civil profession of faith”, Rousseau menyatakan bahwa
“civil profession of

faith”, bukanlah dogma agama, tetapi sentimensosial atau

kebersamaansosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara.Kata Rousseau lebih
lanjut, dalam rangka

menjadikan kebersamaan sosial itu sebagai kode moral untuk

menciptakan warga negara yang baik dan setia,pemerintah boleh mengusir warga negara
yang tidak bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama itu. Dalam hal ini, Rousseau
menegaskan bahwa pengusiran itu dilakukan oleh pemerintah bukan karena warga itu kafir,
tetapi jika mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau bila mereka tidak bersedia
menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam “civil profession of faith” itu atau dalam
“kesepakatan bersama” itu, atau dalam “agama sipil” itu.38
Mencermati gagasan Rousseau tentang agama sipil, tampak jelas bahwa dengan agama
sipil Rousseau mencoba membangun kesatuan masyarakat afektif dimana pluralisme dan
toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan dalam masyarakat.39Merujuk pada latar
belakang masyarakat Eropa pada masa pencerahan, dan memperhatikan sistem pemisahan
antara agama dan negara yang diterapkan kekristenan, maka terlihat bahwa ada dua hal pokok
mengapa agama sipil dikonstruksi oleh Rousseau. Kedua hal termaksud ialah: Pertama,
agama sipil dikonstruksi untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi masyarakat
yang kepercayaannya, telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan. Kedua, agama
sipil dibangun untuk menyelaraskan dan mencari kesinambungan antara agama dan politik.
Jadi di tangan Rousseau, agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi
untuk

menentukan

batas-batas

yurisdiksi

dan

memberikan

persetujuan-persetujuan

transendental. Rousseau menyebutotoritas baru itu agama sipil, karena dia menginginkan
sumber otoritas baru itu, bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan juga bebas dari
pengaruh gereja.40
Bertolak dari gagasan agama sipilnya dengan karakter seperti tersebut di atas,
Rousseau berpendapat bahwa, agama sipil tetap harus memiliki dogma, namun dogma yang
patut dikembangkan dalam agama sipil itu haruslah sederhana. Dogma termaksud cukup
memuat pokok-pokok ajaran seperti: keyakinan akan eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan
datang, pahala bagi yang berbuat baik, hukuman bagi yang berbuat jahat, dan sanksi dari

38

Jean-Jacques Rousseau,On Social Contract . . . , 96.
Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract . . . , 188.
40
Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 93-5.

39

76

kontrak social. 41Semua ajaran tersebut dinamakan oleh Rousseau sebagai dogma positif dari
agama sipil. Sementara dogma negatif dari agama sipil, kata Rousseau adalah berupa
intoleransi yang mesti ditolak.42Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang
politik dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seorang bisa hidup damai dengan
orang yang dianggap kafir dan murtad, sebab menyukai mereka berarti membenci tuhan yang
menghukumnya. Menurut Rousseau, setiap warga masyaraakat yang intoleran harus
disadarkan, sebab sikap intoleran dari setiap warga masyarakat pasti memiliki dampak
sosial.43 Dalam gagasan agama sipilnya, Rousseau sepertinya hendak memperlihatkan bahwa
ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Kemudian, gagasan agama
sipilnya Rousseau nampaknya juga memiliki implikasi bahwa dalam sebuah negara, tidak
boleh ada agama nasional yang eksklusif,dan sembari demikian semua agamasepanjang
dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka agama apapun
harus diterima dalam sebuah negara.
Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, bahwa Rousseau menggagas agama sipil dari
sebuah konteks. Oleh karena itu,gagasan Rousseau juga harus dipahami sesuai konteksnya.
Jika kita mencermati situasi dan kondisiyang berkembang pada masa sebelum pencerahan,
identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas primordialnya seperti: gereja, ras dan
suku. Tetapi pada masa pencerahan dan setelah pencerahan, masyarakat Eropa seperti
kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan primordial
tercerabut.

Dalam

konteks

inilah,konsepsisocialkontrakdanagama

sipil

Rousseau

dikonstruksi. Rousseau sepertinya hendak menyambungkan ikatan primordial yang memudar
akibat pencerahan. Dalam konsepsi “sosial kontrak dan agama sipil” nya, terkandung
kesadaran dan cita-cita Rousseau, bahwa betapa pentingnya membangun kohesi sosial,sebab
manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan kehidupannya secara eksklusif. Bahkanketika
seseorang harus berjuang untuk kepentingan dirinya sendiri pun, ia harus berjejaring. Disini
kita bisa memahami ide Rousseau dalam agama sipilnya ialah soal penyerahan sebagian dari
hak warga negara kepada kolektifitas atau negara.

41

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract . . . , 95.
Ibid.
43
Ibid.,97.
42

77

III.5.GagasanRobert N. Bellah Tentang Agama Sipil Amerika
Gagasan Robert N. Bellah tentang agama sipil Amerika dikonstruksi dari eksistensi
keberagamaan masyarakat Amerika pada jamannya, dimana perilaku keagamaan masyarakat
Amerika itu nampaknya sangat dipengaruhi oleh sejarah perpindahan masyarakat Eropa ke
Amerika yang terjadi pada tahun 1600an dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu alasan
terjadinya imigrasi itu ialah kaum imigran mencari kebebasan agama dan politik. Pada abad
16-17, di Inggris memang muncul gejolak ketika ada tuntutan dari kelompok Puritan yang
ingin merombak tatanan gereja resmi Inggris dari dalam.44 Kaum Puritan mengendaki
semacam puritanisme yang lebih luas terhadap gereja nasional, dan ingin menyederhanakan
sistem keyakinan serta tata ibadah. Oleh kerajaan Inggris, gagasan kaum Puritan ini dilihat
sebagai ancaman yang berpotensi memecah belah rakyat dan merongrong wibawa raja,
sehingga dianggap sangat membahayakan keutuhan bangsa Inggris.45
Keadaan dimana gerakan kaum Puritan dicurigai sangat membahayakan keutuhan
bangsa Inggris, sehingga pada masa pemerintahan raja James I 1603-1625, mereka
dikondisikan untuk tidak mungkin melakukan dogma seperti yang mereka kehendaki,
mengakibatkan beberapa orang dari kaum Puritan meninggalkan Inggris dan berangkat
menuju Leiden Belanda guna untuk bisa beribadah menurut cara yang diyakininya. Pada
tahun 1620, sebagian kecil dari mereka yang datang ke Belanda meninggalkan Belanda
menuju ke Plymouth. Pada masa pemerintahan raja Charles I yang dimulai pada tahun 1625,
situasi tak kunjung membaik bagi nasib kelompok Puritan di Inggris. Negara semakin kuat
mengkondisikan agar kaum Puritan tidak bisa menciptakan dogma seperti yang mereka
kehendaki, seperti melakukan pembatasan khotbah bagi para pendeta Puritan. Kebijakan
pemerintahan Inggris pada masa raja Charles I, tidak hanya membatasi kebebasan kaum
Puritan tetapi juga membuat kelompok Kristen lainnya seperti gereja denominasi Quaker dan
juga gereja Mennonite tidak mendapatkan ruang untuk mengekspresikan keyakinan
keagamaannya. Kebijakan pemerintahan Inggris pada masa raja Charles I seperti tersebut di
atas, membuat banyak masyarakat Inggris dari kelompok Puritan, dari aliran Quaker dan juga
dari gereja mennonite pada tahun 1630, meninggalkan Inggris dan berlayar ke Amerika.46

44

Keith W.Olson,et.al.,An Outline of American History(United States Information Agency,1990),4.
Ibid.,4.
46
Ibid.
45

78

Melihat latar belakang sejarah kedatangan awal orang-orang Eropa ke Amerika, tampak
jelas bahwa salah satu motivasi yang mendorong mereka berimigrasi ke Amerika adalah
kebebasan beragama. Pendefinisian awal mereka tentang kolektifitas adalah agama.
Kolektifitas bangsa Amerika adalah agama. Dengan kata lain, agama menjadi pendefinisi
komunitas-komunitas di Amerika. Oleh karena begitu peranan agama, maka koloni-koloni
awal yang didirikan bangsa Amerika adalah koloni-koloni berdasarkan kelompok Puritan,
Quacker, dan Mennonite. Walaupun varian kekristenan di Amerika beraneka, namun Tuhan
mereka ada dalam konsep christendom. Maksudnya mereka melihat Yesus Kristus sebagai
juru selamat mereka, yang mengutus mereka di dunia untuk memberitakan Injil sembari
melakukan arak-arakan rohani menuju surga mulia. Pengalaman pahit mereka bergereja di
Inggris dimana gereja dalam berupaya menjadi gereja yang establish begitu menyatu dan
dikendalikan oleh negara, masih terbawa sehingga di Amerika pun mereka bersikap anti akan
“established church”.47
Berdasarkan pada perilaku keagamaan kaum migran dari Eropa seperti tergambar di
atas, maka dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang sangat penting.
Orang Amerika selalu iklas mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi keagamaan.48
Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan ibadah setiap minggu dan 60
persen dari mereka merupakan anggota dari perkumpulan keagamaan.49 David C. Leege
menulis bahwa sekitar tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari gerejagereja, sinagoge-sinagoge atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan
bahwa 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk menggunakan
identitas agama mereka. Dalam pengamatan Leege, agama di Amerika tak hanya berfungsi
sebagai afinitas, tetapi juga merupakan sesuatu yang dijalankan baik secara privat maupun
publik. Oleh karena itulah, mereka yang hadir dalam pelbagai kegiatan keagamaan seperti
menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih banyak dibanding dengan warga Amerika yang
menonton program keagamaan dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.50
Leege juga mengemukakan bahwa, oleh karena kehidupan keagamaannya yang begitu
energik, gereja Amerika menanamkan di hati masyarakat Amerika berbagai keyakinan dan
47

Keith W.Oslon, An Outline of American . . . , 4-5.
Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper
and Rows Publishers, 1986), 219, 63.
49
Ibid.
50
David C.Leege dan Lyman A.Kellstedt,Rediscovering the Religious Factor in American
Politics,terj.Debbie A. Lubis dan A.Zaim Rofiqi, “Agama dalam Politik Amerika”(Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia dan Freedom Institute,2006), 4.
48

79

membentuk pandangan dunia. Gereja membangun struktur-struktur pemahaman, yakni
pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta menawarkan berbagai norma-norma
sosial. Gereja juga membangun asumsi menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang
melekat pada diri manusia.Gereja Amerika selalu berupaya merumuskan pemikiranpemikiran bagi masyarakat Amerika guna untuk mendesain tujuan sistem-sistem politik, dan
senantiasamembangkitkan

di

hati

masyarakat

Amerika

tentang

harapan

akan

akhirzaman.Dalam kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan masyarakat
Amerika, Leege mengemukakan bahwa institusi keagamaan seringkali menutupi latar
belakang etnis atau kedaerahan. Sebagai contoh, mereka yang berasal dari Irlandia, Italia atau
Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka
beragama Lutheran. Jika mereka tumbuh di Utahatau Great Basin, mereka beragama
Mormon, dan jika mereka tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis. Prinsipnya,
penduduk Amerika yang berasal dari berbagai suku, mereka tidak terorganisir berdasarkan
suku, namun tertata,tercorakdan teridentifikasi oleh suatu afiliasi keagamaan.51
Leege menegaskan, agama senyatanya sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Amerika dan agama dipraktekkan secara nyata oleh penduduk Amerika di lokasi-lokasi
kediaman mereka. Kekhawatiran memang sempat muncul pada awal tahun 1980-an ketika
para pemuka agama melihat perkembangan “gereja elektronik” yang bukan mustahil akan
menggantikan perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.52 Tetapi ternyatakekhawatiran itu
tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak bersifat
substitutif, tetapi kumulatif.Budaya keagamaan Amerika oleh Leege digambarkan seperti
sebuah pasar. Di tempat mana pun, seseorang yang tergerak untuk berbakti kepada Tuhan,
bisa mendirikan sebuah rumah untuk kebaktian dan pelayanan-pelayanan kerohanian lainnya.
Kemudian Leege juga menyebutkan bahwa, pada akhir abad ke 19 ketika masyarakat
Amerika, dipengaruhi oleh munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru, hadirnya
sekularisme, hadirnya lebih banyak lagi kaum Katolik, Yahudi, dan para dosen dan
mahasiswa, mereka sempat memaknai agama itu secara sekuler. Dalam keadaannya yang
demikian, tulis Leege, agama oleh sebagian masyarakat Amerika, hanya dipandang sebagai

51

David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American Politics,
terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, “Agama dalam Politik Amerika” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
dan Freedom Institute, 2006), 5.
52
David C.Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor . . . , 5.

80

narasi yang berakar pada tribalisme dan takhyul, hanya berguna untuk ditelaah sejauh
manusia punya keingintahuan akan masa lampau.53
Menyimak agama di Amerika sempat berada dalam keadaan seperti termaksud di atas,
Leege menyatakan bahwa oleh sebagian masyarakat Amerika, agama diduga akan tergerus
oleh dahsyatnya sekularisasi. Perkiraan itu ternyata tidak menjadi kenyataan, sebab
sekularisasi ternyata tidak membuat agama menghilang dari kehidupan masyarakat Amerika.
Minat terhadap studi agama dan politik justru semakin menunjukkan gejala yang masif.
Menurut Leege kebangkitan minat tersebut muncul di kalangan masyarakat Amerikakarena:
Pertama,adanya kesadaran bahwa zaman keemasan tidak akan datang melalui kolaborasi
negara dan universitas. Kedua,adanya sikap penasaran terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi
berkembang dalam berbagai program sosial yang bermaksud baik. Ketiga, adanyapengakuan
bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan sekularisasi. Keempat,
munculnya kembali pelembagaan program-program studi agama di kampus-kampus negeri
dan swasta. Kelima, adanyakeingintahuan akan pandangan bahwa dalam masyarakat dengan
budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan masyarakattetapi
juga bisa menjadi kekuatan yang memecah belah masyarakat.54
Di mata Leege, agama memang memiliki arti penting dalam kehidupan budaya
manusia. Agama sebagai penunjuk identitas dimana ia mengatakan siapa kita. Agama sebagai
petunjuk norma-norma dimana ia mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku.
Agama sebagai pemeliara tapal-batas, dimana ia mengatakan kepada kita, tentang siapa dan
peilaku apa yang bukan bagian kita.55 Leege juga melihat bahwa agama dalam kehidupan
politik Amerika, sama seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang
penting. Maksud Leege, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara para
elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga menyangkut isu-isu
yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia keagamaan dan mobilisasi gereja. Para
politisi Amerika selalu menggunakan metafor-metafor keagamaan dalam kampanye mereka.
Lebih jauh Leege juga mengungkap bahwa, para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama
sebagai lem perekat yang menyatukan masyarakat, dan memberikan legitimasi atas

53

David C. Leege and Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious . . . ,7.
Ibid.
55
Ibid., 15-6.
54

81

perubahan sosial serta mendefinisikan harapan masyarakat Amerika menyangkut tatanan
politik.56
Eksistensi dan fungsi agamadalam masyarakat Amerika seperti terdiskripsi di atas,
disebutkan oleh Leege, menghadirkan ragam pemikiran tentang posisi agama itu sendiri,
apakah ia bersifat privat ataukah publik. Dalam menanggapi persoalan ini, Leege mengatakan
ada beberapa pandangan umum yang mengemuka dalam masyarakat Amerika. Ada sebagian
masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan privat yang harus
dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara yang lain, ada yang memahami
bahwa agama itu memang privat di satu sisi, tetapi juga menjadi sebuah kendaraanutama bagi
ekspresi nasional bahkan urusan yang bersifat global.Meski masyarakat Amerika secara
umum menerima doktrin pemisahan gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, bahwa
agama memiliki peranan penting untuk bermain di aras publik.57
Berkenaan dengan relasi antara agama dan negara dalam kehidupan masyarakat
Amerika, Bellah mengemukakan bahwa hubungan antara agama dan negara di Amerika,
selalu berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat Amerika. Kedua
pandangan yang dimaksudBellah ialah:Pertama, ide yang berasal dari gagasan keagamaan
bahwa satu masyarakat satu iman. Kedua, gagasan yang tidak dikaitkan sama sekali dengan
organisasi keagamaan sehingga satu individu satu iman. Gagasan satu individu satu iman
adalah gagasan dari sebagian masyarakat Amerika yang menisbatkan agama dari apa yang
publik pikirkan tentang agama. Salah satu contoh dari gagasan agama yang demikian,
ditunjukkan Bellah terdapat pada diri Sheila Larson. Sheila Larson adalah seorang perawat
yang menyebut agamanya atau keyakinan yang dipeluknya sebagai “Sheilaism”.58Fenomena
Sheilaism bagi Bellah merupakan salah satu ekspresi dari fenomena satu individu satu
iman.59
Kekristenan di negara-negara Eropa, tempat kekristenan Amerika berasal diposisikan
sebagai religious legitimationbagi kebijakan negara-negara di Eropa. Sedangkan kekristenan
di Amerika, dalam sejarah perkembangannya tidak diberi kesempatan oleh negara untuk
terlibat di dalamnya. Relasi antara agama dan negara di Amerika yang demikian ini, agaknya
56

David C. Leege and Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious . . . , 10
Ibid., 15-6.
58
Robert N.Bellah et.al.,Habits of the Heart:Individualism and Commitment in American Life(New
York:Harper and Rows Publishers,1986), 63.
59
Robert N. Bellah and Frederick E. Grenspahn (eds.), Uncivil Religion: Interreligious Hostility in
America (New York: Crossroad. 1987), 221.
57

82

tidak keliru untuk dipandang sebagai sesuatu yang modern tetapi sekaligus sebagai sesuatu
yang meragukan.60 Bahwa pemisahan antara kekristenan dan negara disebut sebagai sesuatu
yang modern karena kekristenan di negara-negara Eropa berbeda dengan kekristenan di
Amerika. Bahwa pemisahan antara kekristenan dan negara disebut sebagai sesuatu yang
meragukan karenadi Amerika, pemisahan antara agama dan negara tidak memiliki dasar
konstitusi.61 Berdasarkan pada relasi antara agama dan negara yang demikian ini,kekristenan
atau agama lain tidak menjadi agama Negara di Amerika.62
Bertolak dari pengamatannya tentang posisi kekristenan dan juga posisi agama-agama
lain di Amerika, yang eksis dan berfungsi penting namun tidak menjadi agama negara; dan
berbekal pemahamannya tentang agama sipil dari Durkheim dan Rousseau, Bellah
mengintrodusirgagasannya tentang agama sipil di Amerika. Mengawali gagasannya tentang
agama sipil Amerika, Bellah mengatakan bahwa di Amerika ada sebuah agama sipil yang
tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengankekristenan, namun juga secara
jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari kekristenan. Agama sipil Amerika yang demikian
ini, oleh Bellah, bukanlah dimaksudkan sebagai “national self-worship”, tetapi sebagai
bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etika yang melampaui
keberagamaan formal. Jadi semangat keagamaan

yang muncul dari berbagai ekspresi

keberagamaan formal, untuk menundukkan diri pada prinsip-prinsip etika yang
mengakomodir etika dari masing-masing agama formal, oleh Bellah disebut sebagai “agama
sipil”.Dalam hal ini,

agama sipil Amerika bisa dibedakan dari “institusi” agama sipil

dipelbagai negara lainnya, karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun
negara.63
Dengan maksud untuk menunjukkan ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah
meyatakan bahwa hal itu terkandung pada fenomena yang unik sebagaimana tertuang dan
tertayang dalam momen“state funeral” dan “pidato-pidato Presiden Amerika saat diangkat
menjadi kepala Negara”.Salah satu contoh dari momen yang mengungkap ekspresi agama
sipil Amerika yang diangkat Bellah, ialah pidato John F.Kennedy saat pengangkatannya
menjadi presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengungkapkan tiga kali kata
60

Robert N. Bellah, "Religion and the Legitimation of the American Republic", Society, no. 4, 1978,
16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: AmericanCivil Religion in Time of
Trial (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), 169.
61
Ibid
62
Robert N. Bellah, The Broken Covenant . . . , 166.
63
Robert N.Bellah,Beyond Belief . . . ,1-22. John A Coleman, “Civil Religion” . . . , 67-77.

83

“Tuhan”.Pertama,kata Tuhan terungkapketika Kennedy mengatakan, “...karena saya telah
menyatakan sumpah di hadapan anda sekalian dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Kedua,kata Tuhan diungkapkannya ketika Kennedy mengatakan, “...keyakinan bahwa hakhak manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga,Kennedy
mengungkapkan kata Tuhan, pada saat dia mengatakan,“...karya Tuhan harus benar-benar
menjadi karya kita”.64Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy pada momentmoment tersebut di atas, adalah indikator yang memperlihatkan tentangposisi agama di
Amerika yang masih berlangsung sampai dewasa ini. Ketika Kennedy mengucapkan kata
Tuhan, tulis Bellah, Kennedytidak mengacu kepada Yesus Kristus, melainkan kepada konsep
tentang Tuhan yang bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.65 Kemudian dengan
maksud menjelaskan makna tentang Tuhan yang diekspresikan dalam sebuah negara yang
memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama dan Negara, Bellah menyatakan
bahwa pemisahan antara agama dan negara itu tidak megingkari dimensi keagamaan dalam
bidang politik.66 Maksud Bellah,meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas
tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh
masyarakat Amerika sebagai sebuah bangsa. Dimensi dari keyakinan bersama masyarakat
Amerika itu, diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritus yang oleh Bellah
disebut sebagai “American Civil Religion”.67
Setelah Bellah menjelaskan gagasannya tentang agama sipil Amerika seperti
terdiskripsi di atas, dia juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga
masa percobaan. Ketiga masa percobaan termaksud ialah: Pertama, masa kemerdekaan.
Kedua, masa perbudakaan. Ketiga, situasi yang saatini tengah dihadapi, dimana Amerika
secara militer, ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di
dunia.68Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Hal itu terjadi demikian
karena,bagi Bellah, agama sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada
prinsip-prinsip etis yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu
dinilai.69Pemikiran seperti ini, dalam bayangan Bellah, bisa berimbas pada sikap eksklusif
bangsa Amerika. Oleh karena itu,Bellah berkehendak agar pemikirannya tentang agama sipil
ini, dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikatyang baru saja keluar sebagai
64

Robert N. Bellah, Beyond Belief . . . , 170-1.
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid.
68
Ibid., 176-9.
69
Ibid., 171.
65

84

pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme atau sikap
patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika Serikat ke suatu
kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan
bahwa agama sipil Amerika, haruslah ditempatkan dalam perspektif Agama sipil dunia
supaya mendapatkan maknanya. Maksud Bellah, agama sipil Amerika tidak hanya harus
dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga dari konteks Amerika
sebagai salah satu peradaban yang memberikan pengaruh sangat luas terhadap masyarakat
dunia. Dengan mengingatkan agama sipil Amerika harus ditempatkan dalam perspektif
agama sipil dunia, Bellah menyerukan agar agama sipil Amerika ditempatkan dalam
konstelasi ideologi dunia.70
Gagasan Bellah tentang agama sipil Amerika sperti telah terdiskripsi di atas, mendapat
tantangan yang sangat keras, terutama dari gereja-gereja Amerika yang eksklusif. Gerejagereja Amerika yag eksklusif sangat keberatan dengan gagasan agama sipil Bellah, karena
mereka disamping berkarakterAmericanism, mereka jugaadalah warisan dan berwawasan
teologi yang triumfalistik. Dengan berkarakter dan berwawasan yang demikian, mereka
menciptakan kekuatan primordial Amerika yang dijustifikasi secara teologis, karena mereka
menganggap Amerika sebagai Jerusalem Baru.71Disamping adanya keberatan dari gerejagereja eksklusif, gagasan Bellah tentang agama sipil Amerika, juga m

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB III

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap Konsep Gedung Gereja Bale Bengong di Desa Bontihing, Bali Utara

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VII

0 4 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI

0 6 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB V

0 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB IV

1 3 55

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB I

0 1 16