ANALISIS YURIDIS EMPIRIS TERHADAP KEDUDU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum,
dengan landasan pandangan hidup berdasarkan Pancasila sebagai falsafah
negara. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, setelah Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945. Negara Indonesia
merupakan sebuah negara yang berbentuk Republik yang berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Karakteristik bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam ragam
bahasa, budaya, dan adat istiadat dalam masyarakat maka bermacamragam pula kaidah-kaidah, norma-norma yang hidup dan tumbuh serta
berkembang dalam setiap masyarakatnya. Di setiap masyarakat yang
terdapat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki
hukum adatnya masing-masing, yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya sebagai norma pengatur dalam kehidupan bermasyarakat.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan negara
Indonesia sebagai hukum ini sangat jelas dicantumkan dalam UndangUndang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan landasan pandangan
hidup berdasarkan Pancasila sebagai Falsafah Negara dan bangsa.


UUD 1945 dengan tegas mengakui keberadan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana disebutkan pada Pasal
18B(2)UUD 1945 yang berbunyi :“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undangundang”.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, dia hidup, tumbuh dan
berkembang dalam setiap kelompok masyarakat sebagai aturan hidup
masyarakat yang dipelihara dan ditaati oleh setiap kelompok masyarakat.
Hukum adat itu berbeda beda antara kelompok masyarakat yang satu
dengan kelompok masyarakat yang lainnya dan selalu dipertahankan
kemurniannya yang merupakan warisan turun-menurun. Contohnya dalam
masyarakat

hukum

adat

Aceh,


dimana

kedudukan

adat

selalu

dikedepankan bahkan sampai saat ini, hukum adat Aceh selalu hidup dan
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan.
Bushar Muhammad dengan mengacu pada pendapat Soekanto,
mengemukakan kompleks adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifisi (ongecodificeeerd) dan bersifat paksaan (dwang)
mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg),
komplek ini disebut hukum adat (adatrecht). Jadi maksud Soekanto ialah
hukum adat itu merupakan seluruh adat (yang tidak tertulis) dan hidup

dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang
mempunyai akibat hukum.1

Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum
didalamnya terkandung gagasan-gagasan, prinsip-prinsip, aturan-aturan
ataupun prosedur yang timbul dari berbagai sumber (resources) seperti
politik, ideologi, ekonomi maupun budaya hukum. Bekerjanya suatu
sistem sesungguhnya adalah suatu proses interaksi dimana terjadi saling
pengaruh dan mempengaruhi antara struktur, substansi dan kultur hukum2.
Sistem hukum adalah bagian dari sistem kontrol sosial. Dalam arti
yang paling luas, sistem kontrol ini merupakan fungsi dari sistem hukum;
semua sistem yang lainnya kurang lebih menjadi sekunder atau berada di
bawahnya. Dengan kata lain sistem hukum berkaiatan dengan perilaku
yang mengontrol. Sistem hukum semacam polisi lalu lintas resmi. Sistem
hukum memerintahkan orang apa yang harus atau jangan dilakukan dan
sistem hukum itu menjunjung perintah-perintahnya dengan paksa3.
Friedrich Carl von Savigny, dalam teorinya “hukum jiwa rakyat”,
mengkontruksikan teorinya tentang hukum. Menurut Savigny, terdapat
hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa.
Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, “hukum adat”
yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang
sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuatia
1 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya

Paramita, 1994, Cet. 9, hal. 11.
2 FX. Joko Priyono, Fungsi Pendekatan Sistem Sebagai Landasan Metodologis Bagi
Ilmu Hukum, http//epriets.undip.ac.id/20204/1/2473-ki-fh.2002.pdf, diakses 30 Januari 2012.
3 Lawrence M. Friendman, American Law an Introduction Second Edition, Hukum
Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001, hal, 11.

harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat
deklaratif terhadap hukum sejati itu4.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
keberadaan hukum dalam sistem hukum Indonesia memiliki kedudukan
yang khusus dan istimewa. Sebab pengakuan UUD 1945 terhadap
masyarakat hukum adat merupakan inti dari Pancasila. Dikatakan
demikian karena Pancasila merupakan perwujudan nilai-nilai dan normanorma yang hidup dalam masyarakat hukum adat Indonesia keseluruhan.
Berkenaan di Aceh, kedudukan hukum adat dalam masyarakat adat
Aceh sangat jelas terlihat sampai saat ini, dimana hukum selalu
dipertahankan eksistensinya. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin memperkuat
kedudukan hukum adat Aceh dalam sistem hukum nasional. Berlakunya
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan amanat
dari UUD 1945, sehingga mempertegaskan kembali keberadaan qanunqanun Aceh yakni Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pemerintahan Mukim, Qanun Aceh Nomor 5

Tahun 2003 tentang

Pemerintahan Gampong, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi DanTata Kerja Majlis Adat Aceh,
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat
dan Istiadat, dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga
Adat. Dengan kata lain keberadaan hukum adat dalam sistem peraturan
4 Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal, 103.

perundang-undangan Indonesia semakin kuat kedudukannya, dan tidak
bisa dihapuskan dari dulu, sekarang bahkan sampai hari esok. Dengan
adanya pengakuan terhadap hukum adat dalam konstitusi Indonesia
diharapkan dapat membawa nilai positif bagi pembentukan hukum
nasional.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disebutkan di atas,
sesuai dengan judul yang telah ditetapkan dalam penelitian ini adalah

Analisis Yuridis Normatif Empiris Terhadap Kedudukan Hukum Adat
Dalam Sistem Hukum Indonesia Khususnya Di Aceh, maka penelitian
diharapkan dapat menggambarkan bagaimanakah kedudukan hukum adat
dalam sistem hukum Indonesia khususnya di Aceh. Selanjutnya penelitian
juga diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembaharuan hukum
nasional. Oleh karena itu sesuai dengan judul yang telah peneliti pilih, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan hukum adat dalam sistem peraturan
perundang-undangan Indonesia?
2. Bagaimanakah peranan hukum adat dalam masyarakat adat Aceh?
3. Apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum adat?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka
yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan hukum adat dalam
sistem peraturan perundang-undangan Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan hukum adat Aceh dalam
masyarakat adat Aceh?

3. Untuk mengetahui apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan
hukum adat?
D. Manfaat Penelitian
1. Segi Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang
ilmu hukum adat dan dapat mengetahui bagaimanakah kedudukan
hukum adat dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia
sehingga dapat memberikan sumbangan atau bahan dalam rangka
pembentukan sistem hukum nasional.
2. Segi Praktis
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat dalam bidang
ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum, dan dapat mengetahui
kedudukan hukum adat Aceh dalam masyarakat adat Aceh.

BAB II
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HUKUM ADAT

A. Pengertian dan Istilah Hukum Adat
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan
yang berlaku disuatu wilayah5. Hukum adat adalah sistem hukum yang

dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negaranegara Asia lainnya seperti jepang, india dan tiongkok. Sumbernya adalah
peraturan-peratuan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
serta dipertahanakan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh serta kembanng, maka
hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis6.
Istilah hukum adat pertama kali diperkanalkan secara ilmiah oleh
C. Snouck Hurgronje, dalam bukunua “De Atjehers”. Menyebutkan istilah
hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa belanda) yaitu untuk memberi
nama pada suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Pada dasarnya penegak hukum adat adalah
pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan
hidup sejahtera.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu
bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
5 Andarini Saptika, Ensiklopedia, Kewarganegaraan, jilid 4, Multazam Mulia Utama,
2010, hal 8.
6Ibid, hal 9.

bersangkutan. Dan adat bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika” ini

tidak mati melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta
berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikut proses
perkembangan peradaban bangsanya. Adat istiadat yang hidup dan
berkembang serta yang berhubungan denga tradisi inilah yang merupakan
sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita7.
Hukum adat adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda
“Adatrech”, yang pertama kali dipakai oleh Snouck Hourgronje 8. Untuk
menyatakan hukum adat, istilah yang dipakai adalah bermacam-macam.
Misalnya, istilah dalam peraturan perundang-undangan adalah :
a. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving = “Ketentuanketentuan Umum Perundang-undangan”) Pasal 11 dipakai istilah :
“Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en Grebuken”. (peraturanperaturan Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaankebiasaan).
b. Dalam R.R. 1854 Pasal 75 ayat 3 : :Godsdientige Wetten, in
stellengen en Gebruiken”. (Peraturan-peraturan Keagamaan,
Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan).
c. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = peraturaan hukum Negara
Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi Hindia Belanda)
Pasal 128 ayat 4 : “Instelingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari
Rakyat).
d. Dalam I.S. Pasal 131 ayat 2, sub. B : “Met Hunne Godsdiensten en
Gewoonten Samenhangende Rechts Regelen”. (Aturan-aturan

Hukum yang Berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaankebiasaan Mereka).
e. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat 2 : “Godssdienstige Wetten en Oude
Herskomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Naluri-naluri)9.

7 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973,
hal, 1.
8 Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, hal, 118.
9 Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat,Liberty Yogyakarta, hal, 1-2.

Pada dasarnya, sumber hukum terdiri dari hukum tertulis dan
sumber hukum tidak tertulis. Zevenbergen menyebutkan sumber hukum
merupakan sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat
dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil.
Utrecht,menyebutkan sumber hukum materil yaitu perasaan hukum
(keyakinan hukum) indinvidu dan pendapat umum (public opinion) yang
menjadi diterminan materil membentuk hukum, menentukan isi hukum
sedangkan hukum formal yaitu menjedi determinan formil membentuk
hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri dari, undangundang, kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan yang
berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli

hukum yang terkenal (doktrina)10.
B. Dasar Yuridis Berlakunya Hukum Adat
Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945, artinya negara Indonesia salah satu negara yang berlandaskan
pada Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara11. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila merupakan perwujudan dari nilai-nilai
budaya, dana dat istiadat bangsa Indonesia. Setiap nilai dari sila-sila
Pancasila adalah mengandung nilai inti dari penyelenggraan sistem
pemerintahan di Indoensia untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang
10 Lilik Mulyadi, Makalah, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia Pengkajian
Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedurnya”, Laporan Penelitian ,Puslitbang Kumdil
Mahkamah Agung RI, 2010, Jakarta hal, 366.
11 Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

berdasarkan atas hukum agar terciptanya suatu keadilan dan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia, karena terwujudnya keadilan adalah satu
tujuan atau cita hukum dari Pancasila.
Mengenai keberadaan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia,
juga sangat tegas dicantumkan dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undangundang”12.
C. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional
Pengakuan terhadap otonomi masyarakat hukum adat telah pula
mendapatkan penegasannya di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu
negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat. dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Di dalam UUPA No. 5
Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3 juga
disebutkan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1
dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. Masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nasional dan Negara, yang
12 Lihat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi”.
Keberadaan hukum dalam setiap produk hukum nasional,
meskipun tidak dijelaskan secara jelas, namun pengakuan terhadap hukum
adat dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan hampir semua
tersirat mengenai pengakuan terhadap hukum adat. Namun setelah
amandemen kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional telah
mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indoensia. Dibawah ini merupakan dasar hukum berlakunya
hukum adat dan bukti pengakuan perundang-undangan mengenai
kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. UUDS 1950;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agrari;
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Poko
Kekuasaan Kehakiman;
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999;
7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh;
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua;
9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; yang diubah
dengan UNdang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;
13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 32 Tahun 32 tentang Pemerintahan Daerah;
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;dan
15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Hamid Sarong, dalam materi kuliahnya di Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala, hukum adat itu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat, dan tidak memiliki kebuntuan. Hukum adat itu
terus-menerus dan berjalan terus dan selalu hidup dalam masyarakat sesuai
dengan kehendak dan kebiasaan masyarakat sesuai dengan adat
masyarakat itu sendiri13.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat
Indonesia di masa kini dan di masa akan dating di dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan UUD 1945,
maka untuk penyusunan hukum nasional di perlukan adanya konsepsi
konsepsi dan asas asas hukum yang berasal dari hukum adat. Hukum adat
merupakan salah saatu faktor terpenting untuk memperoleh bahan bahan
baagi pembangunan hukum nasional menuju kearah univiksi hukum yang
terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundangundangan14.
Namun, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat
juga mendapat pengakuan yang tegas sebagai hak asasi manusia,

13 Hamid Sarong, Dosen Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh, dalam materi kuliahnya Kapita Selekta Hukum Adat di Pascasarjana Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh, 5 Juli 2011.
14 Hilma Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, Hal 1.

sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undag
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebtkan :
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan
kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah;
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat, selaras dengan perkembangan zaman66.
Berdasarkan uraian singkat di atas tentang keberadaan dan peranan
hukum adat di Indonesia sejak zaman penjajah sampai Indonesia merdeka,
hingga sekarang membuktikan bahwa hukum adat di Indonesia meskipun
sempat terpinggirkan, namun faktanya di dalam masyarakat adat Indonesia
nilai-nilai, adat istiadatnya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Andaikata
peraturan perundang-undangan menghapusannya percuma saja, malahan
hukum perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, karena
hukum adat itu akan dalam keadaan terus-menerus hidup dalam
masyarakatnya.
Keberadaan hukum adat yang tak dapat dipisahkan dari jiwa
bangsa Indonesia ini, merupakan salah satu faktor terpenting dalam
pembangunan hukum nasional di Indonesia. Karena disadari bahwa
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki pandangan hidupnya
yang sesuai dengan adat budaya yang ada pada masyarakat tertentu, dan
sumber hukum yang mengagumkan bagi bangsa Indonesia.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian
Suatu penelitian yang baik akan membawa hasil yang baik apa bila
dapat memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang
diangkat, mengenai hal ini Soerjono Soekanto berpendapat bahwa : “Suatu
penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan menganalisisnya15.
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini juga disebut dengan
istilah pendekatan/penelitian doktrinal atau dikenal pula penelitian hukum
normatif. Tahap penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan
(penelaalahan terhadap literatur).
Digunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dan empiris
untuk menjawab semua permasalahan yang telah diangkat maka penelitian
ini juga dilakukan pendekatan/penelitian empiris, dengan menelliti
keberlakuan hukum itu dari aspek kenyataan. Pendekatan ini dikenal
dengan penelitian hukum yang empirik atau penelitian hukum sosiologis.
Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penellitian Hukum, UI, Press, Jakarta, 1981, hal. 43.

suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perubahan pemikiran masyarakat16.
B. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini juga disebut dengan
istilah pendekatan/penelitian doktrinal atau dikenal pula penelitian hukum
normatif. Tahap penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan
(penelaalahan terhadap literatur).
Digunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dan empiris
untuk menjawab semua permasalahan yang telah diangkat maka penelitian
ini juga dilakukan pendekatan/penelitian empiris, dengan menelliti
keberlakuan hukum itu dari aspek kenyataan. Pendekatan ini dikenal
dengan penelitian hukum yang empirik atau penelitian hukum sosiologis.
Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku
suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
perubahan pemikiran masyarakat17.
C. Lokasi dan Populasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat
Aceh, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Sebagai sampel penelitian
dari wilayah tersebut, maka penelitian ini dilakukan di Kecamatan

16 Pedoman Penulisan Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, 2010, hal, 15-16.
17 Pedoman Penulisan Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, 2010, hal, 15-16.

Beutong Kabupaten Nagan Raya. Dan sampel penelitian tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
a. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ditentukan secara pusrposif sampling, dimana dari
keseluruhan pupolusi dipilih beberapa responden dan informan yang
mengatahui tentang masalah yang diteliti dan dapat mewakili keseluruhan
populasi yang ada di wilayah tersebut. Adapun sampel penelitian
dimaksud terdiri dari responden dan informan yaitu :
1. Informan :
a. Ketua Majlis Adat Kabupaten Nagan Raya;
b. Imuem Mukim terdiri 1 orang;
c. Keuchik Gampong terdiri dari 1 orang;
2. Responden :
a. Tuha Pheuet Gampoeng terdiri dari 1 orang;
b. Imuem Meunasah terdiri dari 1 orang;
D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang diperoleh adalah dengan cara melakukan
penelitian kepustakaan (library resecrh) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari bahan-bahan berupa
peraturan perundang undangan dan karya ilmiah yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti. Dilakukan penelitian lapangan (field resecrh)
guna untuk mendapatkan penjelasan yang berkenaan dengan sanksi adat
sebagai pengganti pidana penjara. Pengumpulan data kepustakaan dan

penelitian lapangan akan dipadukan untuk menjawab semua permasalahan
yang telah peneliti tetapkan dalam penulisan ini. Guna penelitian lapangan
untuk mendukung atau pelengkap dalam penelitian kepustakaan dalam
menjawab semua permasalahan penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan terlebih dahulu
melakukan studi kepustakaan dan data penelitian lapangan yang meliputi :
a. Bahan Hukum Primer :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh;
4. Qanun Nomor Aceh 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim;
5. Qanun Nomor Aceh 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Gampoeng;
6. Qanun Nomor Aceh 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Istiadat;
7. Qanun Nomor Aceh 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat;
8. Keputusan Bersama Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah
Aceh dan Ketua Majlis Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011,
tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim
atau Nama Lain di Aceh.

b. Bahan hukum skunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai hukum primer seperti hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang
berkaitan dengan kajian yang ditelilti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan

hukum

skunder

yaitu

kamus

umum,

kamus

hukum,

majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang mengenai informasi yang
relevan dengan materi penelitian.18
d. Teknik pengumpulan data lapangan, yaitu penelitian lapangan yang
dimaksud untuk memperoleh data primer, dengan teknik melakukan
wawancara yang mendalam dengan informan dan responden yang
telah peneliti tetapkan. Wawancara dengan informan dan responden
tersebut

dimaksudkan

untuk

mengetahui

dan

mendapatkan

penjelasan yang kongkrit terhadap permasalahan penellitian.
E. Analisis Data
Setelah data penelitian kepustakaan dan data penelitian lapangan
yang diperoleh melalui wawancara terkumpulkan, dan kemudian data
dikelompokkan atas data yang sejenis dan data akan dianalisis yang
sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, sosiologis, sistematis dengan
menggunakan metode induktif dan deduktif.

18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1995, hal.. 23.

Penelitian ini dengan menggunakan metode induktif dan deduktif
ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana Penerapan Sanksi
Adat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang dikaji secara normatif.
Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh
kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Dengan demikian dapat diketahui bekerjanya hukum dari aspek kenyataan,
dan

diharapkan

penelitian

dapat

memberikan

pembangunan hukum pidana di Indonesia.

sumbangan

bagi

BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

A. Eksistensi Hukum Adat Dalam Masyarakat Adat Aceh
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat
tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat.
Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini khususnya bagi masyarakat
adat Aceh yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan
hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh
masyarakat adat Aceh.
Konstitusi

kita

sebelum

amandemen

tidak

secara

tegas

menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat.
Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusanrumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila,
hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai,
pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B
ayat (2) yang menyatakan : “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan

masyarakat

hukum

adat

beserta

hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang”.
Penegakakan hukum adat sebenarnya, sudah sejak zaman dahulu
berlaku di Indonesia, dan di Aceh dasar berlakunya hukum adat terdapat
dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan qanun-qanun yang
menyatakan keberlakuan hukum adat di Aceh. Eksistensi hukum adat di
Indonesia sampai sekarang masih tetap dipertahankandan ditaati oleh
masyarakat. Hal ini karena masyarakat Indonesia pada umumnya hidup di
dalam masyarakat yang majemuk, dan memiliki kearifan lokalnya masingmasing. Hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh merupakan hukum
dasar bagi masyarakat Aceh, dan keberadaan hukum adat ditengah-tengah
masyarakat betul-betul dapat dirasakan rasa keadilan bagi masyarakat, ini
disebabkan karena hukum adat pada prinsipnya damai, tentram, rukun dan
kekeluargaan19.
Berkaitan dalam konteks Aceh, dimaksudkan dengan daerah
otonom yang memiliki otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah Aceh,
Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Pemerintah Mukim, dan Pemerintah
Gampong sebagai suatu pemerintahan otonom khas dan masyarakat
hukum adat di Aceh senyatanya sejak dari zaman dahulu telah menguasai

19 Airi Safrijal, Penerapan Sanksi Adat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, (Suatu
Penelitian dalam Wilayah Hukum Kabupaten Nagan Raya), Program Pascasarjana Universitas
Syiah Kuala, 2012, hlm, 107.

sumberdaya alam didalam jangkauannya. Penegasan UUD 1945 terhadap
hukum adat jelas termuat pada Pasal 18B ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan Aceh, pengakuan terhadap hukum adat telah
mendapatkan pengakuan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999, tentang Penyelengaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pemerintahaan Mukim dalam Provinsi Naggroe Aceh Darussalam,Qanun
Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampoeng, Qanun Aceh
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat dan Qanun Aceh Nomor 3
Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim, dan Qanun Aceh
Nomor Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan
Istiadat. Maka keberadaan mukim kembali diakui dalam sistem hukum
pemerintahan Indonesia, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Majlis Adat Aceh, dan
Keputusan Bersama Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan
Ketua

Majlis

Adat

Aceh,

No.

1054/MAA/XII/2011,

tentang

Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di
Aceh.
Keberlakuan hukum adat dan pengakuan undang-undang terhadap
hukum adat merupakan salah satu faktor dimana hukum adat itu tidak
dapat dihilangkan dalam diri masyarakat Aceh, yang sudah menyatu
dengan masyarakat Aceh. Menurut Soepomo,hukum adat terus-menerus

dalam

keadaan

tumbuh

dan

berkembang

seperti

hidup

itu

sendiri.20Selanjutnya, hadih maja penting dalam kehidupan masyarakat
Aceh yang telah menjadi pegangan umum, dan tak bisa dipisahkan dalam
diri masyarakat Aceh yaitu “Adat Bak Po Teumeureuhom; HukomBak
Syiah Kuala; Qanun Bak Putro Phang; Reusam Bak Laksamana”, (Adat
dari Sultan, Hukum dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, Reusam dari
Laksamana)21.
Pada prinsipnya hakikat dari kesadaran hukum sebenarnya
merupakan inti dari pada sistem budaya suatu masyarakat, sehingga ada
yang berpendapat sistem budaya merupakan suatu sistem normatif.
Kesadaran hukum itulah yang menimbulkan pelbagai sistem norma, oleh
karena inti dari kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk senantiasa
hidup secara teratur22.
Pada hakikatnya eksistensi hukum adat di indonesia khususnya di
Aceh, adalah dari dulu sampai sekarang tidak pernah hilang dalam
masyarakat adat indonesia khususnya di Aceh. Hal ini membuktikan
bahwa kedudukan hukum adat di indonesia merupakan hukum bangsa asli
indonesia yang selalu dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Andaikata hukum nasional menghapus hukum adat, maka hukum nasional
akan kehilangan sumber dayanya dan hukum adat tidak akan pernah mati,

20 Ibid, hlm 109-110.
21 Hadih maja, di atas merupakan pepatah leluhur yang menjadi pegangan bagi
masyarakata adat Aceh dari generasi ke generasi yang sampai saat ini masih dijaga dan
dipertahankan oleh masyarakat adat Aceh.
22 Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 110.

karena hukum adat adalah pangkal dari segala sumber hukum indonesia,
yang menjelma dalam Pancasila.
Hukum adat adalah aturan hukum tidak tertulis ia hidup, tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat adat dan akan tetap hidup selama
masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan
kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,
keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional
tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan tidak
berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan
selalu ada dan hidup di dalam masyarakat indonesia khususnya di Aceh
sebagai warisan leluhur dari generasi ke generasi.
B. Kedudukan Hukum Adat Dalam Masyarakat Adat Aceh
Hukum adat pada dasarnya sama dengan hukum lainnya ia hidup,
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tertentu. Hukum adat
merupakan panutan dan pedoman sepak terjang anggota masyarakat dalam
praktek sehari-hari. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional atau turun
temurun dan tidak tertulis serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan
mareka sendiri.
Hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia khususnya aceh.
Merupakan sikap dan tata tertib kehidupan orang aceh, yang tentunya
berbeda adat istiadatnya dengan hukum adat yang berada di wilayah
Indonesia yang lain. Namun, Aceh telah mempunyai wewenang didalam

konstitusi, artinya hukum adat yang berlaku di Aceh telah mendapatkan
pengakuan dari UUD 1945.
Hukum adat merupakan metoda atau alternatif yang sangat efektif
bagi masyarakat Aceh. Hal ini ada tiga penyebab utama dipergunakannya
cara non-ligitasi dalam penyelesaian sengketa yakni dengan cara
perdamaian. Pertama,di

Indonesia

khususnya

di

Aceh

tata

cara

penyelesaian sengketa damai telah lama dipraktekkan oleh masyarakat
adat Aceh secara turun-temurun, dengan menempatkan pemangku adat
sebagai hakim atau penengah dalam memberi putusan adat bagi sengketa
di antara warga. Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian perkara
melalui pengadilan formal, yang disebabkan selain ongkos perkara dan
prosesnya penyelesaiannya yang berlarut-larut. Ketiga, pada masyarakat
Indonesia khususnya Aceh terdapat kecenderungan menyelesaikan
sengketa dengan cara adat sebagai sarana penyelesaian sengketa hukum
yang sangat tepat karena silaturahmi terbina kembali baik dalam aspek
perdata maupun aspek pidana23.
Khusus di Aceh, bahwa telah membuktikan hukum adat sampai
sekarang masih sangat dipertahankandengan lahirnya Keputusan Bersama
antara Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majlis
Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011tentang Penyelenggaraan Peradilan
Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh. Sebagaimana

23 Tjuet Adek, wawancara dengan Ketua Majlis Adat Aceh, Kabupaten Nagan Raya,
pada hari rabu tanggal, 10 Juli 2015.

disebutkan pada bagian ke-satu, ke-dua, dan ke-enam yang mengatakan
bahwa :
a. Bagian Kesatu : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat
Gampong dan Mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib
diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan
Mukim atau Nama Lain di Aceh;
b. Bagian Kedua : Aparat Kepolisian memberikan kesempatan agar
setiap sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dalam diktum
kesatu untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan
AdatGampongdan Mukim atau nama lain di Aceh;
c. Bagian Keenan : Putusan peradilan Adat Gampong dan Mukimatau
nama lain di Aceh bersifat final dan mengikat serta tidak dapat
diajukan lagi pada peradilan umum atau peradilan lainnya24.
Penggunaan jasa hukum adat dalam masyarakat adat Aceh
merupakan praktek hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan bagi para
pihak, dan tidak menimbulkan rasa dendam, sehingga kedudukan hukum
adat di Aceh dari dulu sampai sekarang masih sangat eksis ditengahtengah masyarakat Aceh, karena penggunaan hukum dalam pembinaan
silaturhami dalam masyarakat inti dari jiwa bangsa Aceh, sebagaimana
disebutkan dalam hadih maja : “Yang Ceukoe Tapeujeureuneh, Yang Tabeu
Tapeumameh”. Hadih maja ini bermakna bahwa perspektif masyarakata
adat Aceh, selalu mengupayakan perdamaian dan dalam menyelesaikan
konflik masyarakat tersebut yng hendak diwujudkan adalah permasahan
yang sudah ada harus terselesaikan secara rukun dan damai serta
permasalahan yang sudah ada tersebut diupayakan agar terwujud rasa

24 Keputusan Bersama antara Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Ketua
Majlis adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011, Tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong
dan Mukim atau Nama Lain di-Aceh.

aman dan tentram kembali dalam masyarakat sehingga tidak menyebar
terus-menerus.
Realitas kehidupan masyarakat Aceh di gampong-gampong tetap
berada dalam lingkungan adat dan adat istiadat, meskipun ada gesekangesekan pengaruh global. Mereka tetap memelihara tatanan kehidupan
bermasyarakatnya dalam ikatan kebersamaan, yang berprinsip pada
ketenangan, kerukunan dan kedamaian sebagai pola kehidupan sejahtera,
lebih-lebih disaat terjadinya sengketa yang bersifat delik-delik hukum.
Mereka tidak ingin terusik dengan oleh yang satu terhadap yang lain,
sehingga setiap persoalan yang mengganggu kehidupannya dapat
diselesaikan melalui musyawarah/mufakat dan perdamaian. Mereka ingin
hidup dalam keseimbangan (equilibrium) antara sesamanya. Prinsip
sengketa mereka adalah terwujudnya “perdamaian”. Dengan demikian
dapat diperoleh kembali “kerukunan dan keseimbangan”25.
Berdasarkan uraian di atas, mengenai kedudukan hukum adat
dalam masyarakat adat Aceh, dari dulu sampai sekarang masih sangat
eksis dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh. Kedudukan hukum
adat dalam sistem hukum nasional semakin kuat kedudukannya dengan
ada pengakuan dalam UUD 1945. Sehubungan di Aceh, keberadaan
hukum adat semakin kuat sebagaimana telah dikeluarkannya UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

25 Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 171.

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Penegakan Hukum Adat
b. Faktor Pendukung Penegakan Hukum Adat
Badruzzaman Ismail, menurut pandangannya mengatakan bahwa,
filosofi masyarakat Aceh “Adat Deungoen Huku Lagee Zat Deungoen
Sifeuet”26, artinya tidak bisa dipisahkan, hukum adat itu ruhnya
masyarakat

Aceh.

Menurutnya

diterimanya

hukum

adat

atau

dipertahankannya hukum adat oleh masyarakat adalah hukum adat itu
sesuai dengan jiwa rakyat dan hukum nasional bukan merupakan hukum
yang hidup dalam masyarakat dan tidak dipandang sebagai hukum yang
memiliki rasa keadilan, hukum adat lebih baik dari pada hukum pidana
yang merupakan peninggalan kolonial belanda.
Keputusan hukum adat adalah prinsip damai, rukun dan tenteram.
Dalam kaitannya dengan penerapan hukum adat dan kenapa hukum adat
tetap dipertahankan. Badruzzaman Ismail, menjelaskan beberapa faktor
pendukung kenapa tetap dipertahankannya hukum adat dalam masyarakat
adat Aceh antara lain sebagai berikut27 :
1. Kondisi praktek dilapangan, hukum tidak puas dengan hukum
nasional;
2. Bagi masyarakat, hukum adat adalah masuknya kembali kedalam
ruhnya masyarakat yaitu damai;
3. Prosedur tidak panjang dan nilai nilai kebersamaan bisa dibangun
kembali.
4. Hukum adat memudahkan dan menjalin hubungan persaudaraan
kembali dan kalau hukum positif menyulitkan masalah dan
menyimpan rasa dendam;
26 Hadih Maja, yang merupakan pepatah leluhur yang sampai saat ini masih
dipertahankan oleh masyarakat adat Aceh dari generasi ke generasi. Hadih maja ini adalah pondasi
kuat bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosial,
sehingga keberadaan hukum adat sejalan dengan jiwa bangsa Aceh karena hukum adat dipandang
sesuai dengan prinsip Syariat Islam.
27 Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 209-210.

5. Hukum adat bersih dan damai;
6. Dipertahankan hukum adat karena pemberi putusan hukum adat
berasal dari lingkungan masyarakat;
7. Ekonomi, waktu dan silaturrahmi terbina kembali;
8. Tersentuh dan tidak mengenal kalah dan menang;
9. Hukum adat tidak melenceng dari agama Islam, dan mengiringi
hukum oleh hukum agama;
10. Kekeluargaan dan tidak ada rasa dendam;
11. Aparat kepolisian mendukung usaha keputusan hukum adat dari
aparat gampong;
12. Dengan hukum adat selesai semua permasalahan; dan
13. Dengan hukum adat tidak mendapat hukuman kurungan/penjara
yang merugikan pihak yang dihukum28.
Dalam pandangan masyarakat adat Aceh, hukum adat adalah
hukum yang sesuai dengan pandangan hidup rakyat Aceh. Antara hukum
adat dengan hukum Islam tidak ada pertentangan dan sangat erat
hubungannya, apa yang diputuskan dalam hukum adat merupakan sematamata demi kerukunan dan keadilan, sehingga masyarakat tidak merasa
dirugikan.

Prinsip

hukum

adat

adalah

asas

kekeluargaan

dan

mengutamakan perdamaian dalam hidup bersama.
Menurut Teuku. Mansur29, hukum adat bagi masyarakat Aceh
diibaratkan suloeh/lampu atau penerang bagi masyarakat. Dalam
masyarakat Aceh hukum adat adalah merupakan norma-norma, dan
kaidah-kaidah yang mengandung nilai keadilan sehingga keberadaan
hukum adat bagi masyarakat Aceh merupakan sumber untuk terciptanya
kerukunan dalam masyarakat, sebab hukum adat di gali dari nilai religius
dan nilai-nilai kearifan lokal yang diyakini kebenarannya.

28 Ibid, hlm, 210.
29 Teuku. Mansur, wawancara dengan Imuem Mukim, Kemukiman Puloe Raga,
Kecamatan Beutoeng, pada hari senin tanggal 26 Juli 2015.

c. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Adat
Sejauh ini Mustafa Hamzah, mengatakan hukum adat itu sangat
cocok karena dalam mewujudkan niai keadilan karena sesuai dengan
prinsip keadilan dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat.
Namun kelemahan dalam membangun hukum adat itu justru terletak pada
diri kita sendiri yang tidak mau tahu tentang hukum adat itu sendiri,
sedangkan pengukuhannya sudah ada dan diakui keberadaan hukum adat
itu sendiri, khususnya di Aceh sekarang baik dalam peraturan perundangundangan maupun dalam qanun-qanun Aceh30.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan maka, dapat
kita pahami bahwa hukum adat merupakan hukum yang didambakan oleh
masyarakat. Masyarakat memilih hukum adat sebagai salah satu hukum
dalam mengatur bagaimana cara untuk hidup damai, rukun dan tenteram.
Namun dalam penegakan hukum adat sekarang, masyarakat masih ada
yang kurang paham dan kurang peduli terhadap keberadaan hukum adat
ditengah-tengah masyarakat.
Kendala-kendala

dalam

penegakan

hukum

adat

di Aceh

sebagaimana pengakuan dari para pemangku adat yang ada di gamponggampong. dengan mengukutip dalam tesis Airi Safrijal, para pemangku
adat selama ini dalam hal penegakan hukum adat sudah sangat baik dan
sangat cocok dalam masyarakat, tetapi masih terdapat kendala-kendala
dalam penegakan hukum adat tersebut, dan masalah yang dihadapi dalam
30 Mustafa Hamzah, wawancara dengan Mantan Keucik dan sekarang menjabat sebagai
Ketua Tuha Peuet gampong Mnasah Pante, pada hari minggu tanggal 2 Agustus 2015.

pembangunan hukum adat disebabkan oleh beberapa faktor yang
diantaranya sebagai berikut :
a. Ketidak pahaman orang/masyarakat terhadap hukum adat;
b. Pemahaman dibirokrat yang sudah punah dari nilai nilai jiwa
bangsa;
c. Para intelektual keluar dari nilainya, ini artinya banyak intelektual
kita sudah melupakan budayanya sendiri dan mengambil nilai
budaya orang lain dengan melupakan nilai budaya kita sendiri;
d. Para pemangku adat/tuha peuet kurang memahami tugas
pokok/fungsinya sehingga susah dalam penegakan hukum adat;
e. Tidak adanya dana pelatihan pilot projek kesemua gampong;
f. Para pemangku adat bukan orang-orang yang mengerti tentang
hukum adat;
g. Adanya kelompok tertentu yang tidak mau menerima putusan
hukum adat;
h. Pihak yang terkena hukuman tidak mau menerima putusan adat
karena menganggap dirinya benar31.
Menurut Ali Akbar32, pelaksanaan hukum adat yang sekarang
berlaku di Aceh sebenarnya sudah baik tetapi masih terdapat kendala,
dalam hal penegakan hukum adat Aceh, ini disebatkan karena kurang
perhatian dari pemerintah, dan pihak pemangku adat dalam menjalankan
tugasnya masih ada yang kurang memahi terhadap hukum adat itu sendiri,
ini disebabkan para pemangku di gampong-gampong merupakan orangorang yang masih muda dan kurang memahami apa hukum adat itu, ini
jelas bahwa dalam penegakan dan pembangunan hukum adat di Aceh
untuk kedepan tidak akan berjalan secara maksimal.
Jailani Ibrahim, mengatakan bahwa harapannya agar pemerintah
mau mengusulkan dana ke DPRD/K untuk menplotkan dana pelatihan31 Airi Safrijal, Op. Cit. Hasil wawancara yang mendalam dengan para tokoh adat di
gampong-gampong, dalam Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya, pada tanggal 10-25
Februari 2012. Hlm, 186-187.
32 Ali Akbar, wawancara dengan Imuem Meunasah, Gampong Kuta Jeumpa, Kecamatan
Beutong Kabupaten Nagan Raya, pada hari rabu tanggal, 29 Juli 2015.

pelatihan terhadap pemangku-pemangku adat yang ada di gamponggampong. Selama ini pihak Majlis Adat Aceh Kabupaten Nagan Raya dan
aparat Kepolisian atau Trainer Kapolres Kabupaten Nagan Raya, sudah
membrikan pelatihan-pelatihan dengan terjun langsung kelapangan untuk
memantapkan para pemangku adat di gampong-gampong dengan cara
memberi pemahaman terhadap hukum adat, tetapi pelatihan tersebut
sangat terbatas, karena tidak ada tersedianya dana untuk melakukan
pelatihan-pelatihan selanjutnya. Menurutnya untuk memantapkan para
pemangku adat di gampong-gampong atau ditingkat mukim, maka perlu
perhatian yang serius dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat,
sehingga hukum adat itu dapat terwujud sebagaimana mestinya33.
Menurut hemat penulis, penggunaan hukum adat dalam masyarakat
adat di Indonesia khususnya di Aceh baik dari zaman dahulu sampai
sekarang merupakan bukan hal yang baru lagi. Keberadaan hukum adat
ditengah-tengah masyarakat merupakan hukum yang bersumber pada
tingkahaku masyarakat indonesia asli, yang mengatur bagaimana tata cara
berkehidupan dengan baik di dalam masyarakat.
Penegakan hukum adat di indonesia khususnya di Aceh sekarang
sudah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi karena telah
mendapatkan pengakuan dalam UUD 1945. Khususnya di aceh penegakan
hukum adat saat ini sudah sesuai dengan harapan dan cita-cita hukum yang
berlandaskan pada Pancasila. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang telah berlaku tidak ada alasan bagi pemerintah dan para pembuat
33 Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 188-189.

undang-undang untuk mengenyamping hukum adat, karena hukum adat
merupakan sumber pembaharuan hukum nasional dengan memperhatikan
unsur-unsur dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam hukum adat
demi tegaknya keadilan, dan efektifitas hukum. Kearifan lokal merupakan
cerminan terwujudnya suatu hukum yang baik di Indonesia khususnya
hukum nasional.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan yang telah diuraian di atas
sebagaimana telah dirumuskan dalam permasalahan dalam bab-bab penulisan
karya ilmiah ini, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan dan saran
diantaranya sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Pada hakikatnya dari dulu sampai sekarang dalam masyarakat adat
Indonesia khususnya di Aceh masih tetap dipertahankan, karena
hukum adat di Aceh sesuai dengan prinsip Syariat Islam, dan berasal
dari tingkahlaku bangsa Indonesia asli yang sesuai dengan harapan dan
cita-cita hukum Pancasila.
2. Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum adat di Aceh adalah
kurangnya perhatian yang serius dari pemerintah dalam menegakkan
hukum adat, dan tingkat pemehaman para tokoh-tokoh adat terhadap
hukum adat masih kurang peduli, padahal kedudukan hukum adat
sudah jelas kedudukannya baik di dalam undang-undang maupun di
dalam Qanun-qanun Aceh.
3. Hukum adat, dalam masyarakat Aceh, lagee zat deungoen sifeuet,
(seperti zat dengan sifatnya) tidak bisa dipisahkan, dan hukum adat
dalam masyarakat Aceh merupakan hukum yang tidak bertentangan
dengan agama Islam, dan hukum Islam mengirinya hukum adat. Bagi
masyarakat Aceh hukum adat ibarat suloeh/lampu/penerang, sebagai
petunjuk jalan atau arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Saran
1. Demi terciptanya keadilan dan tegaknya hukum adat serta demi
terwujudnya pembangunan hukum nasional maka perlu perhatian yang
khusus dari pihak pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat.
Diharapkan kepada pemerintah agar dapat mengusulkan dana kepada
DPRD/K, guna untuk dana pelatihan bagi pemangku adat baik
ditingkat gampong-gampong maupun tingkat mukim, supaya aparat
penegak hukum adat memahami tentang hukum adat secara mantap.
2. Disarankan bahwa, demi tegaknya rasa keadilan bagi masyarakat
diharapkan penegakan hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh
betul-betul dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
karena hukum adat di Indonesia dan di Aceh telah mendapatkan
pengakuan dari UUD 1945..
3. Untuk pembangunan hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh,
maka pemerintah dalam merumuskan undang-undang khususnya RUU
nasional,

harus

memperhatikan

nila-nilai

yang

hidup

dalam

masyarakat, karena nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah yang
hidup

dalam

masyarakat

merupakan

pembentukan hukum positif di Indonesia.

sumber

hukum

dalam

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Andarini Saptika, Ensiklopedia, Kewarganegaraan, jilid 4, Multazam
Mulia Utama, 2010.
Airi Safrijal, Penerapan Sanksi Adat Dalam Penyelesaian Perkara
Pidana, (Suatu Penelitian dalam Wilayah Hukum Kabupaten
Nagan Raya), Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
2012.
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Jakarta,
Pradnya Paramita, 1994.
Hilma Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003.
Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat,Liberty Yogyakarta, 1981.
Lilik Mulyadi, Makalah, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia
Pengkajian Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedurnya”,
Laporan Penelitian ,Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI,
2010.
Lawrence M. Friendman, American Law an Introduction Second Edition,
Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki,
Tatanusa, Jakarta, 2001.
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung, 1973.
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1991.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penellitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981.
Pedoman Penulisa

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26