Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi Adilk
Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, Adilkah?
www.berseripos.co.id /read/berita-8064/sistem-akreditasi-perguruan-tinggi-adilkah.php
Selasa, 20 Juni
2017
Afred Suci (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning)
Pekanbaru (Berseripos.co.id)
Penulis : Afred Suci
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning)
Internasionalisasi Mutu Perguruan Tinggi
Industrialisasi pendidikan tinggi dewasa ini menuntut adanya fokus
strategis dari pengelola Perguruan Tinggi (PT) untuk menciptakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan memperbaiki mutunya secara
berkelanjutan. Ladang pertempuran PT dewasa ini tak lagi dalam skala
lokal, namun sudah nasional bahkan global.
Hal ini dibuktikan dengan penerapan standar mutu PT menggunakan
parameter Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk
skala nasional, dan bahkan sejumlah PT ternama sudah beranjak ke
standar ISO yang digunakan dalam skala global. Seluruh pengukuran pencapaian standar mutu PT mengacu
kepada salah satu atau kedua lembaga tersebut.
Tujuannya jelas agar PT di Indonesia memiliki daya saing yang relatif sama dengan seluruh PT lain, baik dalam
skala nasional maupun global. Terlebih lagi, dengan adanya MEA, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk
masuknya PT dan tenaga-tenaga pendidik berskala internasional untuk merangsek ke ring persaingan di industri
pendidikan tinggi di seluruh pelosok Indonesia.
Pola penggunaan satu standar mutu untuk semua kategori PT, tampaknya hingga saat ini masih menjadi jurus
pamungkas pemerintah mengantisipasi ancaman ini.
Satu Timbangan Untuk Semua, Adilkah?
Pertanyaan besar yang tersisa adalah, “Adilkah mempertandingkan raksasa dengan para kurcaci didalam ring yang
sama? Polemik ini sama persis kondisinya dengan praktek Ujian Nasional yang menggunakan standar yang sama
untuk menilai kualitas akademik siswa di seluruh Indonesia. Baik yang tinggal di kota maupun di hutan; baik siswa
yang khatam fitur-fitur gadget mutakhir maupun siswa yang melihat ponsel saja belum pernah; baik siswa yang
diajar guru-guru bersertifikasi internasional maupun siswa yang di sekolahnya ada guru saja sudah luar biasa.
Baca juga : Optimalkan Pengamanan, Sat Sabhara Polresta Pekanbaru lakukan Patroli ke Lapas
Syukurlah praktek ini kemudian dikoreksi oleh pemerintah dengan tidak lagi menjadikan UN sebagai ukuran tunggal
kelulusan siswa. Sistem akreditasi PT, tak berbeda dengan praktek UN sebelumnya. Satu timbangan standar mutu
untuk mengukur seluruh pencapaian kualitas seluruh PT yang ada di Indonesia. Baik yang di ibukota negara sampai
yang terpencil di kaki gunung; baik yang beraset hingga triliunan rupiah hingga PT yang keringatan memikirkan
apakah semester depan masih akan ada yang mendaftar atau tidak; baik yang memiliki jejeran guru besar dan
doktor bereputasi hingga PT yang masih megap-megap memikirkan bagaimana menggenapkan jumlah dosen
berijazah S2; baik universitas negeri raksasa yang kaya hibah, maupun PT yang sekedar ingin menambah 1 kelas
saja kewalahan bukan main.
1/3
Semua fenomena dan para pemain itu, diadu dalam satu gelanggang besar bernama akreditasi! Alhasil, banyak PT
kejang-kejang, kolaps dan tutup tak sanggup bertarung lagi. Meskipun ada sedikit “keajaiban” di sejumlah PT kecil,
faktanya sangat sulit bagi PT menengah kebawah untuk bisa meraih predikat A karena tak memiliki modal kapital
kuat. Bahkan banyak PT yang dari sisi modal merupakan petarung kelas elite, juga tak beruntung meraih predikat
akreditasi A. Padahal modal – baik sendiri maupun bantuan atau hibah, merupakan salah satu faktor vital bagi PT
untuk menjaga mutu sarana dan prasarana fisik, peningkatan modal intelektual, dan kenyamanan suasana
akademik di lingkungan PT.
Baca juga : Arogan! Pengelola Ramayana Bangkinang Gembok Sejumlah Kios Pedagang Tanpa Alasan Jelas
Seorang profesor dari sebuah universitas besar di Palembang pernah mengatakan bahwa lembaganya
mengeluarkan dana sekitar Rp 1,2 triliun untuk menjadikan universitasnya mendapatkan predikat akreditasi A.
Bahkan ada yang menyebut angka dua triliun hingga 3 triliun! Jika sudah begitu, bagaimana dengan kampuskampus swasta di pinggiran kota yang kondisi keuangannya tidak semegah mereka?
Klasterisasi Standar Mutu
Dengan mahzab satu timbangan mutu saat ini, maka peluang PT menengah kebawah akan sangat sulit untuk bisa
mendapatkan nilai akreditasi yang layak. Boro-boro mimpi dapat A, bisa B saja bagi sebagian besar PT kecil, itu
sudah ajaib.
Sementara banyak industri hanya menerima lulusan PT berakreditasi minimal B. Memang muncul pernyataan
skeptis, “jika memang tidak punya modal finansial dan human capital, ya tutup saja!”
Jangan lupa, mayoritas daya tampung mahasiswa hingga hari ini didominasi oleh PTS karena kapasitas PTN tak
mampu untuk itu. Kebanyakan PTN dan PTS mapan ada di ibukota. Banyak PTS menengah kebawah di pinggiran
kota adalah pahlawan bagi mereka yang ingin menimba ilmu, namun memiliki keterbatasan finansial untuk
merantau. Padahal setiap jiwa di republik ini memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi yang
belum bisa dipenuhi secara utuh oleh negara.
Celakanya, hampir sebagian besar kebijakan yang dikeluarkan terkait mutu PT, dirumuskan oleh pakar-pakar dari
PTN-PTN raksasa. Keterwakilan PTS menengah kebawah sangat minim secara proporsional – atau bahkan bisa
dikatakan nihil!
Larangan ini-itu bagi PTS, semakin mengerdilkan kemampuan PTS. Pakar-pakar itu lupa, bahwa PTS bisa
menyambung nyawanya dari “ini-itu” yang dilarang, sementara mereka bisa tenang dengan input mahasiswa yang
melimpah dan berkah hibah serta subsidi dari pemerintah dan swasta.
Baca juga : Cabuli Gadis Dibawah Umur, Seorang Pemuda Warga Desa Pulau Tinggi Dipolisikan
Salah satu solusi untuk memberikan keadilan bagi PTS menengah kebawah adalah melakukan klasterisasi standar.
Bayangkan seorang petinju berbobot 50kg harus diadu di ring dengan petinju berbobot 100kg! Ya, bonyok! Adil toh
tidak perlu sama, namun yang perlu adalah proporsional. Praktek klasterisasi ini sudah diterapkan dalam
pengalokasian dana hibah riset dikti untuk dosen-dosen PTN maupun PTS.
Ada klaster binaan (untuk PT yang kualitas dan kuantitas penelitiannya belum mapan); madya (sedang); dan utama
(maju). Dengan pola ini setiap dosen memiliki kesempatan yang sama untuk bisa mendapatkan hibah dikti sesuai
dengan klaster mutu penelitian di PT masing-masing.
Jika diklaster, maka PTS menengah kebawah hingga kecil berkesempatan mendapatkan akreditasi B – bahkan A –
sesuai dengan klaster mutunya.
Klasterisasi ini bisa saja ditetapkan melalui ukuran aset PT, jumlah mahasiswa, lama beroperasi, jumlah guru
2/3
besar/doktor, kondisi sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas publikasi, jarak PTS ke pusat kota dan aspek
lainnya. Dengan begitu, PTS dari klaster binaan misalnya, berpeluang mendapatkan akreditasi B – bahkan A –
sehingga mahasiswanya bisa layak diterima oleh industri lokal dimana PTS berada. Secara bertahap PTS binaan
didorong untuk naik klaster. Tentunya industri juga perlu diberi pemahaman dan kesadaran serta dukungan terhadap
klasterisasi mutu ini.
Sedangkan secara nasional dan global, pertarungan mutu pendidikan tinggi yang sebenarnya bisa diserahkan
kepada para raksasa yang ada di klaster utama.
3/3
www.berseripos.co.id /read/berita-8064/sistem-akreditasi-perguruan-tinggi-adilkah.php
Selasa, 20 Juni
2017
Afred Suci (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning)
Pekanbaru (Berseripos.co.id)
Penulis : Afred Suci
(Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lancang Kuning)
Internasionalisasi Mutu Perguruan Tinggi
Industrialisasi pendidikan tinggi dewasa ini menuntut adanya fokus
strategis dari pengelola Perguruan Tinggi (PT) untuk menciptakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan memperbaiki mutunya secara
berkelanjutan. Ladang pertempuran PT dewasa ini tak lagi dalam skala
lokal, namun sudah nasional bahkan global.
Hal ini dibuktikan dengan penerapan standar mutu PT menggunakan
parameter Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk
skala nasional, dan bahkan sejumlah PT ternama sudah beranjak ke
standar ISO yang digunakan dalam skala global. Seluruh pengukuran pencapaian standar mutu PT mengacu
kepada salah satu atau kedua lembaga tersebut.
Tujuannya jelas agar PT di Indonesia memiliki daya saing yang relatif sama dengan seluruh PT lain, baik dalam
skala nasional maupun global. Terlebih lagi, dengan adanya MEA, maka hanya tinggal menunggu waktu untuk
masuknya PT dan tenaga-tenaga pendidik berskala internasional untuk merangsek ke ring persaingan di industri
pendidikan tinggi di seluruh pelosok Indonesia.
Pola penggunaan satu standar mutu untuk semua kategori PT, tampaknya hingga saat ini masih menjadi jurus
pamungkas pemerintah mengantisipasi ancaman ini.
Satu Timbangan Untuk Semua, Adilkah?
Pertanyaan besar yang tersisa adalah, “Adilkah mempertandingkan raksasa dengan para kurcaci didalam ring yang
sama? Polemik ini sama persis kondisinya dengan praktek Ujian Nasional yang menggunakan standar yang sama
untuk menilai kualitas akademik siswa di seluruh Indonesia. Baik yang tinggal di kota maupun di hutan; baik siswa
yang khatam fitur-fitur gadget mutakhir maupun siswa yang melihat ponsel saja belum pernah; baik siswa yang
diajar guru-guru bersertifikasi internasional maupun siswa yang di sekolahnya ada guru saja sudah luar biasa.
Baca juga : Optimalkan Pengamanan, Sat Sabhara Polresta Pekanbaru lakukan Patroli ke Lapas
Syukurlah praktek ini kemudian dikoreksi oleh pemerintah dengan tidak lagi menjadikan UN sebagai ukuran tunggal
kelulusan siswa. Sistem akreditasi PT, tak berbeda dengan praktek UN sebelumnya. Satu timbangan standar mutu
untuk mengukur seluruh pencapaian kualitas seluruh PT yang ada di Indonesia. Baik yang di ibukota negara sampai
yang terpencil di kaki gunung; baik yang beraset hingga triliunan rupiah hingga PT yang keringatan memikirkan
apakah semester depan masih akan ada yang mendaftar atau tidak; baik yang memiliki jejeran guru besar dan
doktor bereputasi hingga PT yang masih megap-megap memikirkan bagaimana menggenapkan jumlah dosen
berijazah S2; baik universitas negeri raksasa yang kaya hibah, maupun PT yang sekedar ingin menambah 1 kelas
saja kewalahan bukan main.
1/3
Semua fenomena dan para pemain itu, diadu dalam satu gelanggang besar bernama akreditasi! Alhasil, banyak PT
kejang-kejang, kolaps dan tutup tak sanggup bertarung lagi. Meskipun ada sedikit “keajaiban” di sejumlah PT kecil,
faktanya sangat sulit bagi PT menengah kebawah untuk bisa meraih predikat A karena tak memiliki modal kapital
kuat. Bahkan banyak PT yang dari sisi modal merupakan petarung kelas elite, juga tak beruntung meraih predikat
akreditasi A. Padahal modal – baik sendiri maupun bantuan atau hibah, merupakan salah satu faktor vital bagi PT
untuk menjaga mutu sarana dan prasarana fisik, peningkatan modal intelektual, dan kenyamanan suasana
akademik di lingkungan PT.
Baca juga : Arogan! Pengelola Ramayana Bangkinang Gembok Sejumlah Kios Pedagang Tanpa Alasan Jelas
Seorang profesor dari sebuah universitas besar di Palembang pernah mengatakan bahwa lembaganya
mengeluarkan dana sekitar Rp 1,2 triliun untuk menjadikan universitasnya mendapatkan predikat akreditasi A.
Bahkan ada yang menyebut angka dua triliun hingga 3 triliun! Jika sudah begitu, bagaimana dengan kampuskampus swasta di pinggiran kota yang kondisi keuangannya tidak semegah mereka?
Klasterisasi Standar Mutu
Dengan mahzab satu timbangan mutu saat ini, maka peluang PT menengah kebawah akan sangat sulit untuk bisa
mendapatkan nilai akreditasi yang layak. Boro-boro mimpi dapat A, bisa B saja bagi sebagian besar PT kecil, itu
sudah ajaib.
Sementara banyak industri hanya menerima lulusan PT berakreditasi minimal B. Memang muncul pernyataan
skeptis, “jika memang tidak punya modal finansial dan human capital, ya tutup saja!”
Jangan lupa, mayoritas daya tampung mahasiswa hingga hari ini didominasi oleh PTS karena kapasitas PTN tak
mampu untuk itu. Kebanyakan PTN dan PTS mapan ada di ibukota. Banyak PTS menengah kebawah di pinggiran
kota adalah pahlawan bagi mereka yang ingin menimba ilmu, namun memiliki keterbatasan finansial untuk
merantau. Padahal setiap jiwa di republik ini memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi yang
belum bisa dipenuhi secara utuh oleh negara.
Celakanya, hampir sebagian besar kebijakan yang dikeluarkan terkait mutu PT, dirumuskan oleh pakar-pakar dari
PTN-PTN raksasa. Keterwakilan PTS menengah kebawah sangat minim secara proporsional – atau bahkan bisa
dikatakan nihil!
Larangan ini-itu bagi PTS, semakin mengerdilkan kemampuan PTS. Pakar-pakar itu lupa, bahwa PTS bisa
menyambung nyawanya dari “ini-itu” yang dilarang, sementara mereka bisa tenang dengan input mahasiswa yang
melimpah dan berkah hibah serta subsidi dari pemerintah dan swasta.
Baca juga : Cabuli Gadis Dibawah Umur, Seorang Pemuda Warga Desa Pulau Tinggi Dipolisikan
Salah satu solusi untuk memberikan keadilan bagi PTS menengah kebawah adalah melakukan klasterisasi standar.
Bayangkan seorang petinju berbobot 50kg harus diadu di ring dengan petinju berbobot 100kg! Ya, bonyok! Adil toh
tidak perlu sama, namun yang perlu adalah proporsional. Praktek klasterisasi ini sudah diterapkan dalam
pengalokasian dana hibah riset dikti untuk dosen-dosen PTN maupun PTS.
Ada klaster binaan (untuk PT yang kualitas dan kuantitas penelitiannya belum mapan); madya (sedang); dan utama
(maju). Dengan pola ini setiap dosen memiliki kesempatan yang sama untuk bisa mendapatkan hibah dikti sesuai
dengan klaster mutu penelitian di PT masing-masing.
Jika diklaster, maka PTS menengah kebawah hingga kecil berkesempatan mendapatkan akreditasi B – bahkan A –
sesuai dengan klaster mutunya.
Klasterisasi ini bisa saja ditetapkan melalui ukuran aset PT, jumlah mahasiswa, lama beroperasi, jumlah guru
2/3
besar/doktor, kondisi sarana dan prasarana, jumlah dan kualitas publikasi, jarak PTS ke pusat kota dan aspek
lainnya. Dengan begitu, PTS dari klaster binaan misalnya, berpeluang mendapatkan akreditasi B – bahkan A –
sehingga mahasiswanya bisa layak diterima oleh industri lokal dimana PTS berada. Secara bertahap PTS binaan
didorong untuk naik klaster. Tentunya industri juga perlu diberi pemahaman dan kesadaran serta dukungan terhadap
klasterisasi mutu ini.
Sedangkan secara nasional dan global, pertarungan mutu pendidikan tinggi yang sebenarnya bisa diserahkan
kepada para raksasa yang ada di klaster utama.
3/3