faktor faktor yang berhubungan dengan ke (5)
Jurnal Kesehatan Masyarakat
1
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
LEPTOSPIROSIS BERAT DI KOTA SEMARANG
Indah Multianingrum*, Irwan Budiono, Dina Nur Anggraini Ningrum
E-mail: [email protected]
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang Kampus Sekaran
Gunungpati Semarang 50229 Jawa Tengah-Indonesia Telp. (024) 8058007
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Leptospirosis masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negaranegara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. Kota
Semarang termasuk endemis leptospirosis dengan insiden leptopsirosis di Kota Semarang
4,59/100.000 dan mortality 17,28%. Kematian leptospirosis di Kota Semarang terjadi pada
leptospirosis berat yang sudah menyerang organ sebanyak 15-40%. Jenis penelitian adalah
studi observasional dengan desain penelitian kasus kontrol retrospektif. Teknik
pengambilan sampel menggunakan total sampling pada kelompok kasus dan simple random
sampling pada kelompok kontrol, masing-masing berjumlah 30 responden pada kelompok
kasus dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
menggunakan rumus uji chi-square (α=0,05) dengan penentuan odds ratio (OR). Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis
berat di kota semarang adalah kebiasaan merokok ( p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,20110,196), selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri
(p=0,004, OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Saran yang peneliti rekomendasikan adalah
memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya dari merokok yang dapat
memperparah penderita leptospirosis dan memberikan penyuluhan tentang pemeriksaan
lebih dini saat mulai gejala akan memperkecil suatu penyakit menjadi parah.
Kata Kunci : Faktor-Faktor, Leptospirosis Berat, Kota Semarang
ABSTRACT
Leptospirosis is one of health problems in entire world, especially in the countries
with tropic and subtropic climates, as well as in the countries with high rainfall. Semarang
city included in leptospirosis endemic area with incident of leptospirosis 4,59/100.000 and
mortality 17,28%. Death rate of leptospirosis in Semarang city is occured to the severe
leptospirosis which already attack organs 15-40%. This was observasional study with
retrospective case-control study. The samples amounted to 30 cases dan 30 controls. Total
sampling technique was used in the case group and sampling simple random sampling in the
control group, which is 30 respondents in the case group and the control group. Data items
were analyzed by statistical formula chi-square test (α=0,05) with determination of odds
ratio (OR). The result showed that factors related to severe leptospirosis occurrence in
Semarang city are smoking behaviour ( p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,201-10,196) and
interval time between early symptoms appeared until antibacterial therapy given (p=0,004,
OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Recommend is to educate the public about the dangers of
smoking which can worsen patients with leptospirosis and to provide education on early
examination when symptoms will begin to reduce the disease becomes severe.
Keywords: Factors, Severe Leptospirosis, Semarang City
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
2
PENDAHULUAN
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan
yang tinggi. WHO menyebutkan kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah
berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis
antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003: V).
Indonesia merupakan negara tropis dengan kejadian leptospirosis yang tinggi.
International Leptospirosis Sosiety (2001) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insiden leptospirosis tinggi dengan peringkat ketiga di dunia dibawah Uruguay dan India
untuk mortalitas (Ramadhani T. dan Yunianto B, 2010: S46).
Kota Semarang adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang melaporkan adanya
kasus leptospirosis. Insiden leptopsirosis di Kota Semarang 4,59/100.000 dan mortality
17,28% (Dinkesprov Jateng, 2012: 57).
Insiden leptospirosis di Indonesia seringkali luput didiagnosa karena gejala
leptospirosis yang timbul itu tidak khas, yang meliputi sakit kepala, demam, myalgia (flulike illness), keluhan gastrointestinal, manifestasi hemoragik ringan, seperti suffusi
konjungtiva, sehingga biasanya pasien tidak terlalu mendapat perhatian medik (Putra
AM,2008). Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir dibeberapa negara telah
menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging of
infectious disease, termasuk di Indonesia yang memiliki angka kematian leptospirosis ( Case
Fatality Rate) termasuk tinggi yaitu mencapai 2,5-16,45% (Ernawati K, 2008: 1).
Manifestasi leptospirosis berat terjadi pada 5-15% infeksi yang ditandai dengan: i)
Weill’s sindrom (Tiga serangkai penyakit kuning, pendarahan dan gagal ginjal akut), yang
memiliki Case Fatality Rate (CFR) 10-15%, dan ii) sindrom perdarahan paru berat ( Severe
Pulmonary Hemorrhage Syndrome), yang dapat dilihat sebagai gangguan pernafasan akut
dan dikaitkan dengan tingkat kasus kematian >50% (Tubiana S. et al, 2013: 2).
Berdasarkan penelitian Tubiana S, et al (2013), terdapat hubungan antara
kebiasaan merokok, selang waktu >2 hari antara timbulnya gejala dan pemberian terapi
antibakteri dan infeksi bakteri leptospira interrogans serogroup icterohaemorrhagiae
sebagai menginfeksi ketegangan. Sedangkan dari hasil penelitian Rejeki, DSS (2005:94)
tentang faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat
(Studi kasus di Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang) menunjukkan bahwa kasus leptospirosis
mempunyai banyak faktor risiko yang dapat meneyebabkan kejadian leptospirosis berat.
Hasil analisis multivariat yaitu adanya sampah dalam rumah OR 5,1, curah hujan OR 5,7,
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
3
jarak rumah dengan selokan OR 5,3, adanya tikus didalam dan sekitar rumah OR 3,7. Lain
halnya dengan penelitian Nurmilawati (2005: 48) tentang faktor-faktor risiko kematian pada
penderita leptospirosis berat di rumah sakit Se-Kota Semarang menunjukkan bahwa dari
analisis multivariat dengan logistik ganda didapatkan 4 faktor risiko prognosis yang sangat
berpengaruh terhadap kematian antara lain kelainan EKG, leukositosis, ronkhi basah dan
hematemesis.
Dari permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara umur, jenis
kelamin, kebiasan merokok, konsumsi alkohol berat, riwayat hipertensi kronik, selang
waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang. Peneliti menganggap penting untuk mengkaji lebih
lanjut faktor-faktor tersebut karena dari hasil penelitian sebelumnya mempunyai hubungan
yang sangat besar terhadap kejadian terjadinya leptospirosis berat.
METODELOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan
penelitian adalah kasus kontrol retrospektif untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat (Feinstein, 1977 dalam Murti B, 2003:
111). Kelompok kasus dalam penelitian ini adalah semua pasien RSUP Dr Kariadi yang
memiliki catatan pada rekam medik sebagai penderita leptospirosis berat pada periode bulan
Januari 2011- Desember 2013, sedangkan kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah
semua pasien RSUP Dr Kariadi yang dirujuk balik ke puskesmas tanpa tanpa memiliki
catatan sebagai penderita leptospirosis berat tahun 2012-2013. Sampel berjumlah 30 kasus
dan 30 kontrol yang diperoleh dengan menggunakan teknik total sampling, sedangkan
teknik sampling pada kelompok kontrol menggunakan random sampling. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas
sebelum penelitian dilakukan.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Hasil Penelitian
Kejadian Leptospirosis Berat
Variabel
Kategori Leptospirosis Berat Leptospirosis
n
%
n
%
>40 tahun
23
76,7
18
60,0
6 bulan
18
60,0
9
30,0
Kebiasaan
5
hari
20
66,7
8
26,7
Pemberian
0-5 hari
10
33,3
22
73,3
terapi
antibakteri
Jumlah
30
100,0
30
100,0
Jumlah
n
41
19
60
42
18
60
27
33
60
9
51
%
68,3
31,7
100,0
70,0
30,0
100,0
45,0
55,0
100,0
15,0
85,0
60
12
100,0
20,0
48
80,0
60
28
32
60
100,0
46,7
53,3
100,0
p
value
OR
95%CI
0,267
2,190
0,71-6,69
0,159
0,375
0,11-1,19
0,038
3,5
1,20-10,19
0,472
2,25
0,50-9,99
0,107
3,857
0,92-16,04
0,004
5,5
1,81-16,68
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu
yaitu variabel jenis kelamin yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian leptospirosis berat dan variabel umur yang merancukan hubungan antara riwayat
hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan
variabel jenis kelamin dan umur dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata.
Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
5
Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat dengan Kebiasaan
Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat
dengan Riwayat Hipertensi Kronik Berdasarkan umur
Laki-laki
Kebiasaan
Merokok
Total
Perempuan
Kebiasaan
Merokok
Total
Umur
>40 th
Riwayat
Hipertensi
Kronik
Total
Umur
40 tahun yaitu 41 responden dengan persentase sebesar 68,3%, sedangkan responden
yang memiliki umur
0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki umur >40 tahun
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
6
(76,7%) sedangkan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki umur
>40tahun (60%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Spichler A. S, et al
(2008) yang menyatakan bahwa umur lebih dari 40 tahun memiliki prediktor kematian pada
leptospirosis. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa responden yang yang memiliki
umur lebih dari 40 tahun memiliki imunitas tubuh yang kurang baik dan mudah terinfeksi.
Tetapi dalam penelitian ini umur tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak selalu fungsi sistem imunitas tubuh
menurun sesuai umur sehingga kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi masih baik
karena sistem imun seseorang dipengaruhi oleh nutrisi yang dikonsumsinya setiap hari.
Selain itu memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi
dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia (Fatmah,2006: 48).
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin laki-laki yaitu 42 responden dengan persentase 70%, dan responden yang
memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 18 responden dengan persentase 30%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,159
(p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki jenis
kelamin laki-laki (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki
jenis kelamin laki-laki (80%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Jansen A, et al
(2007) yang menyatakan bahwa faktor risiko leptospirosis terkait dengan jenis kelamin lakilaki dengan pekerjaan seperti peternakan, perikanan, dan menyembelih.
Dalam penelitian ini jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis
berat karena jumlah penderita leptospirosis berat yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak
18 orang (60,0%) tidak jauh berbeda dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu
sebanyak 24 orang (80,0%), hal ini menunjukkan bahwa pembagian kerja gender adalah
pola pembagian kerja antara pasangan suami istri yang disepakati bersama, serta didasari
oleh sikap saling memahami dan saling mengerti. Pembagian kerja tersebut tidak dilakukan
berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas kerjasama yang harmonis dalam membangun
keluarga sehingga tidak ada perbedaan gender dalam pembagian kerja yang berakibat pada
pembagian kerja yang tidak adil pada jenis kelamin laki-laki. (Nurlian dan Daulay H, 2008).
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
7
Kebiasaan Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki
kebiasaan merokok yaitu 27 responden dengan persentase 45%, sedangkan responden yang
tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak 33 responden dengan persentase 55%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai
p=0,038 (p < 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki
kebiasaan merokok (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak
memiliki kebiasaan merokok (70%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,5
(OR>1) dengan interval 1,201-10,196 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang
memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko 3,5 kali mengalami leptospirosis berat
dibandingkan penderita yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Tubiana S,et al (2013)
yang menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko untuk keterlibatan pernafasan
pada penderita leptospirosis (p=0,003). Perokok tiga kali lebih mungkin untuk
mengembangkan leptospirosis berat dibandingkan non perokok dan risiko perdarahan
alveolar serta gangguan pernafasan pada perokok yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa beberapa komponen tembakau dapat mendukung pengembangan perdarahan paru
dengan meningkatkan daya serap pembuluh paru-paru, merusak membran dasar dan
meningkatkan respon peradangan lokal.
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu
yaitu variabel jenis kelamin yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kajadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan variabel jenis kelamin
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata
dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,5 yang artinya penderita yang
memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko 3,5 kali mengalami leptospirosis berat
dibandingkan dengan penderita yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Akan tetapi
setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel jenis kelamin laki-laki,
ternyata responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko kejadian
leptospirosis berat karena OR kasar < OR (laki-laki) (3,5 < 34,00), maka terdapat kerancuan
yang memperkecil hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat
yang sesungguhnya.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
8
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,5, setelah dilakukan analisis
berstrata untuk mengontrol variabel jenis kelamin perempuan didapatkan bahwa jenis
kelamin perempuan tidak meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena
ORkasar> OR (perempuan) (3,5 > 0,45), maka terdapat kerancuan yang memperbesar
hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat yang sesungguhnya.
Sehingga dapat diketahui bahwa variabel jenis kelamin merupakan variabel perancu dalam
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat karena pada
perhitungan rasio OR kasar (3,5) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (34,00) dan OR 2
(0,45).
Konsumsi Alkohol Berat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang
konsumsi alkohol berat yaitu 9 responden dengan persentase 15%, dan responden yang
tidak konsumsi alkohol berat sebanyak 51 responden dengan persentase 85%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara konsumsi alkohol berat dengan kejadian leptospirosis berat dengan
nilai p=0,472 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak
konsumsi alkohol berat (80%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak
konsumsi alkohol berat (90%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al
(2010) yang menyatakan konsumsi alkohol berat merupakan faktor terkait dengan
keparahan leptospirosis, karena konsumsi alkohol kronis juga dapat menyebabkan
komplikasi seperti hepatitis akut dan pankreatitis. Dalam penelitian ini konsumsi alkohol
berat tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah
penderita leptospirosis berat yang berisiko terhadap konsusmsi alkohol berat yaitu yang
mengkonsumsis alkohol berat sebanyak 6 orang (20,0%) tidak jauh dengan yang tidak
menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3 orang (10,0).
Prevalensi nasional minum alkohol adalah 4,5% dan secara nasional prevalensi
penduduk yang minum alkohol relatif rendah (Depkes RI, 2008: 18). Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi alkohol di Jawa Tengah rendah sehingga pada penderita leptospirosis yang
mengkonsumsi alkohol sangat sedikit.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
9
Riwayat Hipertensi Kronik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang
memilikiriwayat hipertensi kronik yaitu 12 responden dengan persentase 20%, dan
responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi kronik sebanyak 48 responden dengan
persentase 80%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat dengan
nilai p=0,107 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak
memiliki riwayat hipertensi kronik (70%) dan responden yang mengalami leptospirosis
cenderung tidak memiliki riwayat hipertensi kronik (90%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al
(2010) yang menyatakan bahwa hipertensi kronik merupakan faktor risiko terkuat untuk
penyakit berat. Dalam penelitian ini riwayat hipertensi kronik tidak berhubungan dengan
kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah penderita leptospirosis berat yang
berisiko terhadap riwayat hipertensi kronik yaitu yang riwayat hipertensi kronik sebanyak 9
orang (30,0%) tidak jauh dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3
orang (10,0).
Dalam penelitian ini, terdapat ada variabel yang berperan sebagai perancu atau
pengganggu yaitu variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat yang
merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat,
sehingga untuk mengendalikan variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
berat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Dalam hal ini, variabel
kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat tidak terbukti merancukan hubungan antara
riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat. Sedangkan variabel umur
terbukti merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian
leptospirosis berat. Adapun tabel perancu variabel umur dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan
kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,85. Akan tetapi setelah
dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel umur, ternyata responden yang
memiliki umur >40 tahun meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena
ORkasar< OR (umur >40 tahun) (3,85 < 4,26), maka terdapat kerancuan yang memperkecil
hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat yang
sesungguhnya.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat 10
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan
kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,85, setelah dilakukan
analisis berstrata untuk mengontrol variabel umur 5 hari yaitu 28 responden dengan persentase 46,7%,
sedangkan responden yang pemberian terapi antibakteri mulai 0-5 hari sebanyak 32
responden dengan persentase 53,3%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibekteri
dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,004 (p < 0,05). Responden yang
mengalami leptospirosis berat cenderung mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari
(66,7%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung mendapatkan pemberian
terapi antibakteri antara 0-5 hari (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,5
(OR>1) dengan interval 1,81-16,68 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang
mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari memiliki risiko 5,5 kali mengalami
leptospirosis berat dibandingkan penderita yang mendapatkan pemberian terapi antibakteri
antara 0-5 hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Tubiana S, et al (2013)
menyatakan bahwa menggambarkan kebutuhan awal memulai terapi antimikroba untuk
mengurangi keparahan penyakit (p=0,008). Menurut Amilasan TA, et al (2012), meskipun
semua pasien menerima terapi antimikroba cukup, tetapi tetap meninggal itu disebabkan
karena sindrom gangguan pernapasan akut dan gagal ginjal akut dalam waktu hanya 2 hari
masuk, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mencari perawatan terlambat. Awal
memulai terapi antimikroba 0-5 hari mempunyai risiko 5,5 kali lebih besar untuk terjadinya
leptospirosis berat dibandingkan yang memulai terapi antimikroba mulai >5hari.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat 11
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diagnosis
leptospira dicurigai dan sebaiknya sebelum hari kelima setelah gejala awal penyakit karena
untuk pengobatan lebih dari 5 hari itu manfaatnya masih diragukan. Manfaat antibiotik
setelah hari kelima pada penyakit leptospirosis masih kontroversial. Kasus antibiotik untuk
kuman leptospira antara lain penisilin, doxicycline, ceftriaxon dan cefotaxime (WHO,
2003:6).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian leptospirosis berat di kota semarang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1)
Sebagian besar responden memiliki umur >40 tahun (68,3%), jenis kelamin laki-laki (70%),
memiliki kebiasaan merokok
1
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
LEPTOSPIROSIS BERAT DI KOTA SEMARANG
Indah Multianingrum*, Irwan Budiono, Dina Nur Anggraini Ningrum
E-mail: [email protected]
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang Kampus Sekaran
Gunungpati Semarang 50229 Jawa Tengah-Indonesia Telp. (024) 8058007
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Leptospirosis masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negaranegara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. Kota
Semarang termasuk endemis leptospirosis dengan insiden leptopsirosis di Kota Semarang
4,59/100.000 dan mortality 17,28%. Kematian leptospirosis di Kota Semarang terjadi pada
leptospirosis berat yang sudah menyerang organ sebanyak 15-40%. Jenis penelitian adalah
studi observasional dengan desain penelitian kasus kontrol retrospektif. Teknik
pengambilan sampel menggunakan total sampling pada kelompok kasus dan simple random
sampling pada kelompok kontrol, masing-masing berjumlah 30 responden pada kelompok
kasus dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
menggunakan rumus uji chi-square (α=0,05) dengan penentuan odds ratio (OR). Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis
berat di kota semarang adalah kebiasaan merokok ( p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,20110,196), selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri
(p=0,004, OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Saran yang peneliti rekomendasikan adalah
memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya dari merokok yang dapat
memperparah penderita leptospirosis dan memberikan penyuluhan tentang pemeriksaan
lebih dini saat mulai gejala akan memperkecil suatu penyakit menjadi parah.
Kata Kunci : Faktor-Faktor, Leptospirosis Berat, Kota Semarang
ABSTRACT
Leptospirosis is one of health problems in entire world, especially in the countries
with tropic and subtropic climates, as well as in the countries with high rainfall. Semarang
city included in leptospirosis endemic area with incident of leptospirosis 4,59/100.000 and
mortality 17,28%. Death rate of leptospirosis in Semarang city is occured to the severe
leptospirosis which already attack organs 15-40%. This was observasional study with
retrospective case-control study. The samples amounted to 30 cases dan 30 controls. Total
sampling technique was used in the case group and sampling simple random sampling in the
control group, which is 30 respondents in the case group and the control group. Data items
were analyzed by statistical formula chi-square test (α=0,05) with determination of odds
ratio (OR). The result showed that factors related to severe leptospirosis occurrence in
Semarang city are smoking behaviour ( p= 0,038, OR=3,5; 95% CI 1,201-10,196) and
interval time between early symptoms appeared until antibacterial therapy given (p=0,004,
OR=5,5; 96% CI 1,813-16,681). Recommend is to educate the public about the dangers of
smoking which can worsen patients with leptospirosis and to provide education on early
examination when symptoms will begin to reduce the disease becomes severe.
Keywords: Factors, Severe Leptospirosis, Semarang City
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
2
PENDAHULUAN
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan
yang tinggi. WHO menyebutkan kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah
berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis
antara 10-100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003: V).
Indonesia merupakan negara tropis dengan kejadian leptospirosis yang tinggi.
International Leptospirosis Sosiety (2001) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insiden leptospirosis tinggi dengan peringkat ketiga di dunia dibawah Uruguay dan India
untuk mortalitas (Ramadhani T. dan Yunianto B, 2010: S46).
Kota Semarang adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang melaporkan adanya
kasus leptospirosis. Insiden leptopsirosis di Kota Semarang 4,59/100.000 dan mortality
17,28% (Dinkesprov Jateng, 2012: 57).
Insiden leptospirosis di Indonesia seringkali luput didiagnosa karena gejala
leptospirosis yang timbul itu tidak khas, yang meliputi sakit kepala, demam, myalgia (flulike illness), keluhan gastrointestinal, manifestasi hemoragik ringan, seperti suffusi
konjungtiva, sehingga biasanya pasien tidak terlalu mendapat perhatian medik (Putra
AM,2008). Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir dibeberapa negara telah
menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging of
infectious disease, termasuk di Indonesia yang memiliki angka kematian leptospirosis ( Case
Fatality Rate) termasuk tinggi yaitu mencapai 2,5-16,45% (Ernawati K, 2008: 1).
Manifestasi leptospirosis berat terjadi pada 5-15% infeksi yang ditandai dengan: i)
Weill’s sindrom (Tiga serangkai penyakit kuning, pendarahan dan gagal ginjal akut), yang
memiliki Case Fatality Rate (CFR) 10-15%, dan ii) sindrom perdarahan paru berat ( Severe
Pulmonary Hemorrhage Syndrome), yang dapat dilihat sebagai gangguan pernafasan akut
dan dikaitkan dengan tingkat kasus kematian >50% (Tubiana S. et al, 2013: 2).
Berdasarkan penelitian Tubiana S, et al (2013), terdapat hubungan antara
kebiasaan merokok, selang waktu >2 hari antara timbulnya gejala dan pemberian terapi
antibakteri dan infeksi bakteri leptospira interrogans serogroup icterohaemorrhagiae
sebagai menginfeksi ketegangan. Sedangkan dari hasil penelitian Rejeki, DSS (2005:94)
tentang faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat
(Studi kasus di Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang) menunjukkan bahwa kasus leptospirosis
mempunyai banyak faktor risiko yang dapat meneyebabkan kejadian leptospirosis berat.
Hasil analisis multivariat yaitu adanya sampah dalam rumah OR 5,1, curah hujan OR 5,7,
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
3
jarak rumah dengan selokan OR 5,3, adanya tikus didalam dan sekitar rumah OR 3,7. Lain
halnya dengan penelitian Nurmilawati (2005: 48) tentang faktor-faktor risiko kematian pada
penderita leptospirosis berat di rumah sakit Se-Kota Semarang menunjukkan bahwa dari
analisis multivariat dengan logistik ganda didapatkan 4 faktor risiko prognosis yang sangat
berpengaruh terhadap kematian antara lain kelainan EKG, leukositosis, ronkhi basah dan
hematemesis.
Dari permasalahan diatas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara umur, jenis
kelamin, kebiasan merokok, konsumsi alkohol berat, riwayat hipertensi kronik, selang
waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibakteri dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang. Peneliti menganggap penting untuk mengkaji lebih
lanjut faktor-faktor tersebut karena dari hasil penelitian sebelumnya mempunyai hubungan
yang sangat besar terhadap kejadian terjadinya leptospirosis berat.
METODELOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan
penelitian adalah kasus kontrol retrospektif untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat (Feinstein, 1977 dalam Murti B, 2003:
111). Kelompok kasus dalam penelitian ini adalah semua pasien RSUP Dr Kariadi yang
memiliki catatan pada rekam medik sebagai penderita leptospirosis berat pada periode bulan
Januari 2011- Desember 2013, sedangkan kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah
semua pasien RSUP Dr Kariadi yang dirujuk balik ke puskesmas tanpa tanpa memiliki
catatan sebagai penderita leptospirosis berat tahun 2012-2013. Sampel berjumlah 30 kasus
dan 30 kontrol yang diperoleh dengan menggunakan teknik total sampling, sedangkan
teknik sampling pada kelompok kontrol menggunakan random sampling. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas
sebelum penelitian dilakukan.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Hasil Penelitian
Kejadian Leptospirosis Berat
Variabel
Kategori Leptospirosis Berat Leptospirosis
n
%
n
%
>40 tahun
23
76,7
18
60,0
6 bulan
18
60,0
9
30,0
Kebiasaan
5
hari
20
66,7
8
26,7
Pemberian
0-5 hari
10
33,3
22
73,3
terapi
antibakteri
Jumlah
30
100,0
30
100,0
Jumlah
n
41
19
60
42
18
60
27
33
60
9
51
%
68,3
31,7
100,0
70,0
30,0
100,0
45,0
55,0
100,0
15,0
85,0
60
12
100,0
20,0
48
80,0
60
28
32
60
100,0
46,7
53,3
100,0
p
value
OR
95%CI
0,267
2,190
0,71-6,69
0,159
0,375
0,11-1,19
0,038
3,5
1,20-10,19
0,472
2,25
0,50-9,99
0,107
3,857
0,92-16,04
0,004
5,5
1,81-16,68
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu
yaitu variabel jenis kelamin yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kejadian leptospirosis berat dan variabel umur yang merancukan hubungan antara riwayat
hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan
variabel jenis kelamin dan umur dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata.
Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
5
Tabel 2. Crosstab Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat dengan Kebiasaan
Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Hubungan antara Kejadian Leptospirosis Berat
dengan Riwayat Hipertensi Kronik Berdasarkan umur
Laki-laki
Kebiasaan
Merokok
Total
Perempuan
Kebiasaan
Merokok
Total
Umur
>40 th
Riwayat
Hipertensi
Kronik
Total
Umur
40 tahun yaitu 41 responden dengan persentase sebesar 68,3%, sedangkan responden
yang memiliki umur
0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki umur >40 tahun
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
6
(76,7%) sedangkan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki umur
>40tahun (60%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Spichler A. S, et al
(2008) yang menyatakan bahwa umur lebih dari 40 tahun memiliki prediktor kematian pada
leptospirosis. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa responden yang yang memiliki
umur lebih dari 40 tahun memiliki imunitas tubuh yang kurang baik dan mudah terinfeksi.
Tetapi dalam penelitian ini umur tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak selalu fungsi sistem imunitas tubuh
menurun sesuai umur sehingga kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi masih baik
karena sistem imun seseorang dipengaruhi oleh nutrisi yang dikonsumsinya setiap hari.
Selain itu memelihara kehidupan sosial yang aktif dan memperoleh pengobatan depresi
dapat meningkatkan sistem imun kelompok lansia (Fatmah,2006: 48).
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki
jenis kelamin laki-laki yaitu 42 responden dengan persentase 70%, dan responden yang
memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 18 responden dengan persentase 30%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,159
(p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki jenis
kelamin laki-laki (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung memiliki
jenis kelamin laki-laki (80%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Jansen A, et al
(2007) yang menyatakan bahwa faktor risiko leptospirosis terkait dengan jenis kelamin lakilaki dengan pekerjaan seperti peternakan, perikanan, dan menyembelih.
Dalam penelitian ini jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis
berat karena jumlah penderita leptospirosis berat yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak
18 orang (60,0%) tidak jauh berbeda dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu
sebanyak 24 orang (80,0%), hal ini menunjukkan bahwa pembagian kerja gender adalah
pola pembagian kerja antara pasangan suami istri yang disepakati bersama, serta didasari
oleh sikap saling memahami dan saling mengerti. Pembagian kerja tersebut tidak dilakukan
berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas kerjasama yang harmonis dalam membangun
keluarga sehingga tidak ada perbedaan gender dalam pembagian kerja yang berakibat pada
pembagian kerja yang tidak adil pada jenis kelamin laki-laki. (Nurlian dan Daulay H, 2008).
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
7
Kebiasaan Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden memiliki
kebiasaan merokok yaitu 27 responden dengan persentase 45%, sedangkan responden yang
tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak 33 responden dengan persentase 55%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai
p=0,038 (p < 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung memiliki
kebiasaan merokok (60%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak
memiliki kebiasaan merokok (70%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 3,5
(OR>1) dengan interval 1,201-10,196 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang
memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko 3,5 kali mengalami leptospirosis berat
dibandingkan penderita yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Tubiana S,et al (2013)
yang menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko untuk keterlibatan pernafasan
pada penderita leptospirosis (p=0,003). Perokok tiga kali lebih mungkin untuk
mengembangkan leptospirosis berat dibandingkan non perokok dan risiko perdarahan
alveolar serta gangguan pernafasan pada perokok yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa beberapa komponen tembakau dapat mendukung pengembangan perdarahan paru
dengan meningkatkan daya serap pembuluh paru-paru, merusak membran dasar dan
meningkatkan respon peradangan lokal.
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu
yaitu variabel jenis kelamin yang merancukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kajadian leptospirosis berat, sehingga untuk mengendalikan variabel jenis kelamin
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata
dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,5 yang artinya penderita yang
memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko 3,5 kali mengalami leptospirosis berat
dibandingkan dengan penderita yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Akan tetapi
setelah dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel jenis kelamin laki-laki,
ternyata responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko kejadian
leptospirosis berat karena OR kasar < OR (laki-laki) (3,5 < 34,00), maka terdapat kerancuan
yang memperkecil hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat
yang sesungguhnya.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
8
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,5, setelah dilakukan analisis
berstrata untuk mengontrol variabel jenis kelamin perempuan didapatkan bahwa jenis
kelamin perempuan tidak meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena
ORkasar> OR (perempuan) (3,5 > 0,45), maka terdapat kerancuan yang memperbesar
hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat yang sesungguhnya.
Sehingga dapat diketahui bahwa variabel jenis kelamin merupakan variabel perancu dalam
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian leptospirosis berat karena pada
perhitungan rasio OR kasar (3,5) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (34,00) dan OR 2
(0,45).
Konsumsi Alkohol Berat
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang
konsumsi alkohol berat yaitu 9 responden dengan persentase 15%, dan responden yang
tidak konsumsi alkohol berat sebanyak 51 responden dengan persentase 85%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara konsumsi alkohol berat dengan kejadian leptospirosis berat dengan
nilai p=0,472 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak
konsumsi alkohol berat (80%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung tidak
konsumsi alkohol berat (90%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al
(2010) yang menyatakan konsumsi alkohol berat merupakan faktor terkait dengan
keparahan leptospirosis, karena konsumsi alkohol kronis juga dapat menyebabkan
komplikasi seperti hepatitis akut dan pankreatitis. Dalam penelitian ini konsumsi alkohol
berat tidak berhubungan dengan kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah
penderita leptospirosis berat yang berisiko terhadap konsusmsi alkohol berat yaitu yang
mengkonsumsis alkohol berat sebanyak 6 orang (20,0%) tidak jauh dengan yang tidak
menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3 orang (10,0).
Prevalensi nasional minum alkohol adalah 4,5% dan secara nasional prevalensi
penduduk yang minum alkohol relatif rendah (Depkes RI, 2008: 18). Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi alkohol di Jawa Tengah rendah sehingga pada penderita leptospirosis yang
mengkonsumsi alkohol sangat sedikit.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat
9
Riwayat Hipertensi Kronik
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebagian besar responden yang
memilikiriwayat hipertensi kronik yaitu 12 responden dengan persentase 20%, dan
responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi kronik sebanyak 48 responden dengan
persentase 80%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat dengan
nilai p=0,107 (p > 0,05). Responden yang mengalami leptospirosis berat cenderung tidak
memiliki riwayat hipertensi kronik (70%) dan responden yang mengalami leptospirosis
cenderung tidak memiliki riwayat hipertensi kronik (90%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Storck C. H, et al
(2010) yang menyatakan bahwa hipertensi kronik merupakan faktor risiko terkuat untuk
penyakit berat. Dalam penelitian ini riwayat hipertensi kronik tidak berhubungan dengan
kejadian leptospirosis berat karena besarnya jumlah penderita leptospirosis berat yang
berisiko terhadap riwayat hipertensi kronik yaitu yang riwayat hipertensi kronik sebanyak 9
orang (30,0%) tidak jauh dengan yang tidak menderita leptospirosis berat yaitu sebanyak 3
orang (10,0).
Dalam penelitian ini, terdapat ada variabel yang berperan sebagai perancu atau
pengganggu yaitu variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat yang
merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat,
sehingga untuk mengendalikan variabel umur, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol
berat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Dalam hal ini, variabel
kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol berat tidak terbukti merancukan hubungan antara
riwayat hipertensi kronik dengan kajadian leptospirosis berat. Sedangkan variabel umur
terbukti merancukan hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kajadian
leptospirosis berat. Adapun tabel perancu variabel umur dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan
kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,85. Akan tetapi setelah
dilakukan analisis berstrata untuk mengontrol variabel umur, ternyata responden yang
memiliki umur >40 tahun meningkatkan risiko kejadian leptospirosis berat karena
ORkasar< OR (umur >40 tahun) (3,85 < 4,26), maka terdapat kerancuan yang memperkecil
hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan kejadian leptospirosis berat yang
sesungguhnya.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat 10
Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara riwayat hipertensi kronik dengan
kejadian leptospirosis berat di Kota Semarang menghasilkan OR = 3,85, setelah dilakukan
analisis berstrata untuk mengontrol variabel umur 5 hari yaitu 28 responden dengan persentase 46,7%,
sedangkan responden yang pemberian terapi antibakteri mulai 0-5 hari sebanyak 32
responden dengan persentase 53,3%.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara selang waktu antara timbulnya gejala dengan pemberian terapi antibekteri
dengan kejadian leptospirosis berat dengan nilai p=0,004 (p < 0,05). Responden yang
mengalami leptospirosis berat cenderung mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari
(66,7%) dan responden yang mengalami leptospirosis cenderung mendapatkan pemberian
terapi antibakteri antara 0-5 hari (73,3%). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,5
(OR>1) dengan interval 1,81-16,68 (tidak mencakup angka 1), artinya penderita yang
mendapatkan pemberian terapi antibakteri >5 hari memiliki risiko 5,5 kali mengalami
leptospirosis berat dibandingkan penderita yang mendapatkan pemberian terapi antibakteri
antara 0-5 hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Tubiana S, et al (2013)
menyatakan bahwa menggambarkan kebutuhan awal memulai terapi antimikroba untuk
mengurangi keparahan penyakit (p=0,008). Menurut Amilasan TA, et al (2012), meskipun
semua pasien menerima terapi antimikroba cukup, tetapi tetap meninggal itu disebabkan
karena sindrom gangguan pernapasan akut dan gagal ginjal akut dalam waktu hanya 2 hari
masuk, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mencari perawatan terlambat. Awal
memulai terapi antimikroba 0-5 hari mempunyai risiko 5,5 kali lebih besar untuk terjadinya
leptospirosis berat dibandingkan yang memulai terapi antimikroba mulai >5hari.
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurnal Kesehatan Masyarakat 11
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diagnosis
leptospira dicurigai dan sebaiknya sebelum hari kelima setelah gejala awal penyakit karena
untuk pengobatan lebih dari 5 hari itu manfaatnya masih diragukan. Manfaat antibiotik
setelah hari kelima pada penyakit leptospirosis masih kontroversial. Kasus antibiotik untuk
kuman leptospira antara lain penisilin, doxicycline, ceftriaxon dan cefotaxime (WHO,
2003:6).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian leptospirosis berat di kota semarang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1)
Sebagian besar responden memiliki umur >40 tahun (68,3%), jenis kelamin laki-laki (70%),
memiliki kebiasaan merokok