Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaima

Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di
mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa cultuurstelsel, masa
desentralisasi dan emansipasi, masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa
Binnenlands Bestuur dan ambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan
bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa
presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai
pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi
pegawai pemerintahan Indonesia [1]

Daftar isi [sembunyikan]
1

Birokrasi dalam budaya barat

1.1

Teori-teori dalam birokrasi

2


Sejarah

2.1

Peran birokrasi pada masa kolonial

2.2

Awal kemerdekaan

2.3

Birokrasi dalam perkembangan

3

Organisasi

4


Korupsi

5

Administrasi publik

6

Akuntabilitas Publik

7

Lihat pula

8

Referensi

9


Pranala luar

10

Pustaka

Birokrasi dalam budaya barat[sunting | sunting sumber]

Contoh diagram dari administrasi publik

Birokrasi (bahasa Inggris:bureaucracy ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs) (bahasa
Perancis: bureaucratie) mempunyai arti bureau + cratie atau sistem struktur
manajemen pemerintahan negara atau administrasi besar atau organisasi sesuai
dengan kebutuhan atau keinginan yang kompleks yang ditandai dengan otoritas
hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang tetap

Teori-teori dalam birokrasi[sunting | sunting sumber]
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang
menggambarkan bentuk birokrasi [2]sebagai cara ideal mengatur organisasi

pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat
adanya struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan
dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan
pengambilan keputusan, manajemen dengan aturan yang jelas adanya
pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat
pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat
di bawahnya, organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam
unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian,
mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan
dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani
kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani
organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan,
perlakuan secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan
kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh
perbedaan individu, bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan
perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenangwenang dalam saat menjalankan tugasnya. Akan tetapi, menurut Cyril Northcote
Parkinson seorang sejarawan angkatan laut Inggris yang menulis bahwa Weber
kurang menyadari bahwa manajemen dan staf profesional akan cenderung
tumbuh mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi[3]

sedangkan David Osborne dan Ted Gaebler menyarankan bahwa birokrasi harus
berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat,
adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan bukan lagi
merupakan dominasi atau kontrol [4]. Berikut rangkuman dari teori-teori
birokrasi.

Sistem Birokrasi I

Rowing (Mendayung/bekerja sendiri)
Service (Melayani)
Monopoly (Menguasai sendirian)

Rule-driven (Digerakan oleh aturan)
Budgeting inputs (Menunggu anggaran)
Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat)
Spending (Pengeluaran)
Curing (Penyembuhkan)
Hierarchy (Berjenjang)
Organization (Organisasi, lembaga)


Sistem Birokrasi II

Steering (Menyetir/mengarahkan)
Empowering (Memberdayakan)
Competition (Ada persaingan)
Mission-driven (Digerakkan oleh misi)
Funding outcomes (Menghasilkan dana)
Customer-driven (Dikendalikan pelanggan/pembayar pajak)
Earning (Penghasilan/tabungan)
Preventing (Pencegahan)
Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok)
Market (Pasar, keseimbangan orang banyak)

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Peran birokrasi pada masa kolonial[sunting | sunting sumber]
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana
mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan
wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam
melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya
partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi


dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan
dan pengaruh kolonialisme.

Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di Batavia (sekarang Jakarta)
melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama kerajaan
Belanda (dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai
gubernur jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van
Nederlands-Indië), sekretariat umum (algemene secretarie), departemen
administrasi umum (departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan
daerah (het binnenlands bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup
kerja terbatas bagi bangsa Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di
bawah pengarahan langsung dari pemerintahan lokal Inlandsche Bestuur
(pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut dengan
wilayah Hindia Belanda, pemerintahan sendiri seperti raja, pangeran dengan
melalui kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial namun ada pula daerah
yang dikuasai secara langsung dimana pemerintahan kolonial ikut membentuk
birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti yang
terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun
1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama

dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan cultuurstelsel berangsurangsur berubah dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain
perkebunan dan perindustrian dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di
bidang perkebunan, perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu
budaya politik saat itu mulai ikut menumbuhkan gerakan nasionalisme di
Indonesia.

Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan
terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada
tahun 1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan
sendiri dengan walikota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa,
pada 1918 mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari
berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925
wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa
dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan
Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa dan Madura ke pemerintah daerah
asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi tersebut.

Awal kemerdekaan[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948
pemerintah RI yang berkedudukan di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan

Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk
masalah kepegawaian dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di

Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor Urusan
Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun
dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun
1948 membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan
Umum Pegawai (DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor
Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masingmasing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme
dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1950 dibentuklah Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan
Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan
berada di bawah dan bertanggugjawab kepada perdana menteri akan tetapi
karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang akan
menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disusul pada
tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS berubah menjadi
UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke
negara kesatuan. Tahun seribu sembilan ratus lima puluh tiga 1953 T.R. Smith
membantu menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara berjudul Public

Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari Cornell
University, School of Business and Public Administration Amerika yang diundang
ke Indonesia yaitu Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang berhasil
menyusun laporan rekomendasi yang berjudul Training for Administration in
Indonesia[5][6]. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April
1957) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia
Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau Panitia
Organisasi Kementerian (PANOK) sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai
(KUP) serta ikut dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang bertugas
menyempurnakan administratur negara atau birokrasi keduanya berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri.

Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 1959 melarang PNS golongan F menjadi anggota dari partai politik
selanjutnya pada tahun 1961 dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun
1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang menghasilkan Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah

negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 98
Tahun 1964 dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR)
merupakan kelanjutan dari Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling
atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis
dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang
memerintah (the ruling party) atau yang dianggap tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintahan republik.

Birokrasi dalam perkembangan[sunting | sunting sumber]
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan
ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan
sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan building block kekuasaan
melalui pos-pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber
daya kelangsungan partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen
birokrasi ikut mengalami spoil system yang merajalela mulai dari pengangkatan,
penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan
kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta
unsur-unsur lainnya di luar tugas birokrasi.

Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan MPRS
Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan
ketua presidium Kabinet Ampera melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera
Nomor 266 Tahun 1967 kembali membentuk panitia pengorganisasian birokrasi
sebagai pembantu presidium yang kemudian dikenal dengan nama Tim
Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau
disingkat menjadi Tim PAAP yang beranggotakan sebelas orang dengan Menteri
Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur LANsebagai sebagai
sekretaris serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit
kerja baru bernama Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal dan Inspektorat
tercermin dalam Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta
dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada kementerian negara melalui
Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan pengubahan
penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai
dengan IV.

Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia Koordinasi Efisiensi
Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah yang disebut pula sebagai
Proyek 13 disusul dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968, Proyek 13
ini kemudian berganti nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan Penertiban
Administrasi Negara yang lebih dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota
terdiri dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, Departemen Tenaga
Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi. yang diketuai oleh
Awaloeddin Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas
agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.

Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk kementerian nomenklatur
baru yaitu Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara bertugas antara lain melanjutkan pembersihan birokrasi dari unsur-unsur
apa yang disebut dengan berpolitik kepartaian lalu berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps
Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi
seluruh pegawai pemerintahan Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya
Tim PAAP dan Proyek 13 akhirnya dilebur kedalam Kementerian Negara
Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara sedangkan Sektor Aparatur
Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan kebijaksanaan,
perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan penelitian
dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan
Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara yang
dipimpin oleh seorangan menteri merangkap menjadi anggota Sektor N
(Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q (Keamanan dan Ketertiban) dan
dengan Keppres Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian Negara Penyempurnaan
dan Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali menjadi Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada
kementerian tersebut merangkap pula sebagai wakil Ketua Bappenas.

Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27
September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja
yaitu hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan
Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (PNS) (Zero Growth) seta
perampingan organisasi.

Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 mengenai keberadaan pegawai
negeri sipil (PNS) sebagai anggota partai politik lalu diubah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 yang membuat pegawai negeri sipil (PNS)
kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai keanggotaan
dalam partai politik apapun.

Organisasi[sunting | sunting sumber]

contoh diagram ini menunjukkan kedudukan kementerian dalam struktur
administrasi publik
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kementerian Indonesia

Sejak kemerdekaan 63 tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang panjang,
akhirnya Indonesia baru mempunyai pengaturan organisasi kementerian
sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan kementerian negara.

Korupsi[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Korupsi di Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan Indeks Persepsi Korupsi
Usaha rasionalisasi organisasi pemerintah pusat sebenarnya sudah dimulai sejak
masa Kabinet Wilopo (3 April 1952 -1 Agustus 1953) yang berusia hanya sekitar
limabelas bulan kemudian diteruskan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus
1953 - 12 Agustus 1955) bernasib sama berusia dua tahun yang mempunyai
program antara lain menyusun aparatur pemerintah yang efisien serta
pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf
kehidupan pegawai serta memberantas korupsi dalam birokrasi dengan
pembentukan Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementeriankementerian (PANOK) yang bekerja antara tahun 1952 sampai dengan 1954.

Pada 2009, bila merujuk pada laporan dari Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia masih menunjukan
angka yang buruk terutama dalam hal hambatan birokrasi atau red tape barriers
[7]