Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan

Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan untuk
Kesejahteraan Rakyat1
Benyamin Lakitan dan I Wayan Budiastra 2
Kementerian Riset dan Teknologi

Persoalan dalam proses produksi pangan segar dan olahan juga mempunyai banyak
dimensi, mulai dari persoalan penyusutan luas lahan produksi akibat konversi
penggunaannya untuk usaha non-pertanian pangan sampai pada petani yang tidak
termotivasi untuk meningkatkan produktivitas lahannya karena tidak berkorelasi positif
dengan peningkatan pendapatannya. Spektrum persoalan ini tak semuanya berada dalam
koridor teknologi.
Namun demikian, kompleksitas persoalan pangan tak boleh menyurutkan optimisme
untuk meningkatkan peran dan kontribusi teknologi terhadap upaya pemenuhan
kebutuhan pangan untuk seluruh rumah tangga Indonesia. Selain itu, tidak boleh juga
melupakan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dengan demikian maka pembangunan iptek
di bidang pangan, selain menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat, perlu
dipastikan pula bahwa pilihan teknologi yang diaplikasikan dan kebijakan yang
diberlakukan harus berdampak positif bagi upaya menyejahterakan petani, peternak,
nelayan, dan pembudidaya ikan.
Amanah konstitusi pasal 31 ayat 5 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa

pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditujukan untuk menyejahterakan
rakyat dan memajukan peradaban bangsa. Amanah ini tentunya termasuk untuk
pengembangan teknologi dalam rangka mendukung pembangunan ketahanan pangan.

1

Dipresentasikan pada Seminar Hari Pangan Sedunia XXXI, Jakarta, 29 September 2011

2

Deputi Bidang Kelembagaan Iptek dan Asisten Deputi Urusan Kompetensi Kelembagaan

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Pangan merupakan kebutuhan paling asasi bagi setiap manusia, sehingga persoalan
tentang pangan tidak hanya merupakan persoalan yang sangat mendasar dan universal,
tetapi juga dapat dilihat dari berbagai perspektif. Saat ini, pangan tak lagi hanya sebagai
bahan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan manusia
melalui serangkaian proses fisiologis. Jenis pangan yang dikonsumsi sekarang sering
diasosiasikan dengan status sosial ekonomi masyarakat. Pangan juga tidak jarang

dijadikan sebagai komoditas politik, karena isu pangan akan selalu menyangkut hajat hidup
orang banyak.

1

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan pentingnya pembangunan untuk
kesejahteraan pada 7 Desember 2009. Pe a gu a harus ersifat i klusif ...
Keberhasilan pembangunan perekonomian harus berdampak pada peningkatan
kesejahteraa para stakeholder a g terli at se ara erkeadila . Kabinet Indonesia
Bersatu II juga telah menetapkan visi yatu I do esia a g “ejahtera, De okratis, da
Berkeadilan .

Meskipun pemerintah telah menggarisbawahi bahwa pembangunan untuk kesejahteraan,
namun upaya pemerintah ini belum seluruhnya berhasil, khususnya untuk kesejahteraan
petani. Tingkat kesejahteraan petani tidak beranjak naik bahkan nilai tukar petani
cenderung menurun. Oleh karena itu, pembangunan ketahanan pangan harus dilakukan
secara komprehensif dan sinergis antar sektor terkait. Pembangunan ketahanan pangan
tidak hanya dilakukan oleh sektor pertanian, tetapi juga perlu didukung oleh sektor
lainnya.
Iptek memegang peranan penting dalam upaya pembangunan ketahanan pangan. Namun

teknologi tak dapat menyelesaikan semua persoalan pangan. Bahkan untuk persoalan
yang berada dalam koridor teknologipun, jika tanpa dukungan kebijakan lain (non iptek)
yang tepat, maka solusi teknologi yang ditawarkan tak selalu dapat mujarab
menyelesaikan persoalan pangan.
Oleh karena itu, Kementerian Riset dan Teknologi pada 2010-2014 menetapkan program
utama yaitu penguatan sistem inovasi nasional. Pengembangan Inovasi tidak dapat
dilakukan secara individu oleh masing aktor (pengembang, pengguna teknologi), tetapi
harus melibatkan kelembagaan pengembang dan pengguna teknologi, sumberdaya iptek,
jaringan kelembagaan, riset dan difusi iptek yang terarah dan regulasi yang kondusif
secara bersistem.

Adopsi Teknologi versus Kesejahteraan Petani. Perlu dipahami bahwa mengakselerasi
proses difusi (adopsi) teknologi pertanian tidak selalu berimplikasi pada peningkatan
kesejahteraan, khususnya kepada petani (Feder and Umali 1993). Hal ini dapat kita lihat
pada keadaan petani sekarang. Meskipun teknologi baru seperti varietas baru dan

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Beberapa Kementerian khususnya yang terkait dengan pembangunan ketahanan pangan
juga menyatakan dalam visi atau programnya bahwa pembangunan adalah untuk

kesejahteraan. Kementerian Riset dan Teknologi telah menetapkan visinya untuk periode
2010-2014 ya g sejala de ga a a ah ko stitusi, yak i: iptek u tuk kesejahteraa da
ke ajua peradaba . Ke e teria Perta ia telah e etapka e pat target e pat
sukses) untuk periode 20104, satu dia tara ya adalah Pe i gkata Kesejahteraa
Peta i . Ke e terian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan misinya untuk
e i gkatka kesejahteraa
asyarakat kelauta da perika a . Visi 2010-2014
Ke e teria Kehuta a adalah Huta Lestari u tuk Kesejahteraa ‘akyat ya g
Berkeadila .

2

mekanisasi diimplementasikan baru sebatas meningkatkan produktivitas tetapi belum
dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu adopsi
teknologi pertanian di tingkat petani di Indonesia berjalan lambat karena kurang
menguntungkan mereka. Padahal alasan utama petani melakukan adopsi teknologi adalah
karena adanya peningkatan produktivitas tanaman dan keuntungan (Kremer et al. 2001).
Faktor seperti resiko, ketidakpastian dan pembelajaran memainkan peranan nyata dalam
proses adopsi teknologi baru oleh petani. Ada beberapa elemen inti yang mendorong
petani melakukan adopsi teknologi baru (Marra, Pannell, and Ghadim, 2003) yaitu ;

-

Far er s a ilit to i ple e t the new technology,

-

Allows the farmer to make better decisions

-

Present and future probability of economic returns

-

Economic returns between new and old technologies,

-

Strength and direction of risk attitudes of the farmer (i.e. risk averse, risk neutral,
risk preferring), dan


-

Option value from delaying of adoption.

Inovasi Teknologi yang meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan sumberdaya lainnya
merupakan perangkat (tools) yang paling berharga sama halnya seperti mengelola
keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan memelihara ekosistem global (Burgess
and Morris , 2009). Gambar 1 menunjukkan bagaimana petani menggunakan lahan, tenaga
kerja, keuangan, perbaikan genetik, dan metode budidaya pengelolaan sebagai input kunci
dalam sistem produksi pertanian untuk menghasilkan produk, limbah, dampak lingkungan
dan informasi. Ada tujuh (7) area kunci dimana teknologi dapat mempengaruhi sistem
pertanian dan penggunaan lahan yaitu perbaikan genetik, pengurangan stress, tenaga
kerja, lahan, modal, hasil, limbah, lingkungan dan informasi.
Oleh karena itu, pengembangan sistem pertanian seyogyanya berlandaskan pada potensi
agroekosistem (Gambar 2). Potensi agroeksistem setidaknya tergantung pada empat (4)
faktor input yaitu lahan, teknologi, iklim dan ekonomi. Faktor yang menentukan dalam
pengelolaan lahan adalah adalah luas, kesuburan, konversi dan degradasi. Input Teknologi
sangat dipengaruhi oleh relevansi teknologi yang diintroduksikan dan kapasitas adopsi
teknologi dari pengguna. Faktor ekonomi yang penting dalam pengelolaan potensi

agroekosistem adalah biaya pengelolaan dan harga komoditas. Sedangkan faktor iklim
yang berpengaruh terhadap potensi agroekosistem adalah kesesuaian agroklimat,
perubahan dan prediksi iklim.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Praktisi pertanian tidak hanya bergantung pada kajian riset ilmiah semata untuk membuat
keputusan menerima teknologi baru (Wheeler, 2008).

3

Gambar 2. Sistem Pertanian berbasis potensi agroekosistem

Sistem Inovasi Nasional Ketahanan Pangan. Inovasi serta riset dan pengembangan
merupakan dua istilah/hal yang berbeda definisi maupun tujuannya. Menurut Oslo Manual
(2005), inovasi didefinisikan sebagai implementasi dari produk baru (barang atau jasa),
atau proses atau metode pemasaran baru atau metode organisasi baru di dunia bisnis,
organisasi kerja, atau hubungan eksternal. Sedangkan riset dan pengembangan menurut
Fasciati Manual (2002) didefinisikan sebagai kegiatan yang kreatif yang dilakukan secara


Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Gambar 1. Model penerapan teknologi pada sistem produksi pertanian

4

sistematis untuk mengakumulasi pengetahuan, termasuk pengetahuan manusia, budaya
dan masyarakat dan menggunakan akumulasi pengetahuan untuk membuat aplikasi baru
dari pengetahuan itu.
Lebih jelasnya Bank Dunia (2010) mengatakan bahwa teknologi atau produk yang tidak
terdesiminasi dan digunakan bukanlah inovasi. Dengan demikian, hasil litbang terbaru dari
lembaga litbang pemerintah dan swasta yang belum digunakan dan dimanfaatkan oleh
pengguna (pemerintah, masyarakat dan industri) bukanlah inovasi, melainkan hanya
sebatas invensi.

Pengembangan teknologi pada saat ini umumnya masih kental bersifat supply-push.
Mengembangkan dulu teknologinya, baru kemudian mengupayakan agar digunakan oleh
para pelaku produksi pangan. Pendekatan ini sangat sering membuahkan kegagalan.
Walaupun secara teknis terkesan sesuai, namun tetap tidak diadopsi oleh petani. Sebagai
contoh alat pengering gabah memang dibutuhkan oleh petani padi, terutama untuk panen

pada musim hujan. Namun demikian adopsi alat pengering ini banyak terkendala, antara
lain karena mahalnya harga bahan bakar yang dibutuhkan untuk pemanas udara dan
keterbatasan kemampuan finansial petani untuk investasi pembelian alat ini, selain
persoalan teknis lainnya.
Untuk pencapaian target-target yang telah ditetapkan, terutama pemenuhan amanah
konstitusi untuk menyejahterakan rakyat, maka pengembangan teknologi perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi serta disesuaikan
dengan kapasitas adopsi (calon) penguna potensial. Pendekatan yang beroreintasi
kebutuhan (demand-driven) ini lebih sesuai untuk menguatkan Sistem Inovasi Nasional
(SINas) di semua sektor, tentunya termasuk untuk pembangunan ketahanan pangan.
Pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah mengembangkan proses produksi
pangan dengan memadukan input sumberdaya yang terdiri dari lahan, tenaga kerja,
teknologi, regulasi dan modal untuk mencapai sasaran pembangunan pertanian yaitu
kesejahteraan petani dan penguatan ketahanan pangan (Gambar 4). Kesejahteraan petani

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Sistem Inovasi nasional ketahanan pangan pada dasarnya terdiri dari 2 aktor penting yaitu
pengembang teknologi pangan dan pengguna teknologi pangan (Gambar 3) yang saling
berinteraksi sehingga aliran teknologi pertanian/pangan dari lembaga pengembang ke

pengguna teknologi serta aliran informasi dari lembaga pengguna ke pengembang
teknologi berjalan lancar. Pengembang teknologi harus mempunyai sensitivitas terhadap
kebutuhan pengguna dan mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan
pengguna serta sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna. Pengguna teknologi harus
secara terbuka memberikan informasi kebutuhan teknologi kepada pengguna.
Kesenjangan interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembang dan pengguna
teknologi dapat dijembatani oleh fasilitator, intermediator dan regulator. Pemerintah
(pusat dan daerah) dapat menjadi fasilitator dan regulator. Sedangkan intermediator
dapat dilakukan oleh penyuluh, lembaga swadaya masyarakat maupun swasta.

5

seyogyanya menjadi sasaran yang lebih penting dibandingkan sasaran penguatan
ketahanan pangan. Karena dengan petani sejahtera maka dengan sendirinya ketahanan
pangan akan menguat. Sebaliknya, apabila petani tidak sejahtera, maka ketahanan pangan
akan semakin rapuh.

Gambar 4. Sasaran pembangunan pertanian

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat


Gambar 3. Unsur esensial Sistem Inovasi

6

Amanah konstitusi yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi harusnya ditujukan untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban
bangsa belum kentara dipanut dalam pengembangan teknologi bidang pangan. Teknologi
yang dikembangkan dan diimplementasikan lebih banyak mengarah pada upaya
peningkatan produksi pangan dengan semangat untuk mencapai status swasembada
pangan, tetapi mengabaikan kesejahteraan aktor yang paling berjasa dalam proses
tersebut, yakni petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan (Gambar 5).
Kementerian Riset dan Teknologi sudah menetapkan visi pembangunan iptek dalam
Rencana Strategis periode 20104, yak i Iptek u tuk Kesejahteraa da Ke ajua
Peradaba . Visi i i sudah sesuai dengan amanah konstitusi. Selanjutnya juga sedang
disiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Inovasi Nasional yang diharapkan
mampu menjadi landasan hukum yang kuat dalam rangka pengembangan teknologi yang
sesuai kebutuhan (demand-driven) sehingga adopsi teknologi oleh pihak pengguna tidak
lagi diposisikan sebagai keharusan, tetapi didasarkan atas kebutuhan nyata.

Menyejahterakan petani dan aktor produsen pangan lainnya bukanlah sasaran ikutan dari
upaya mencapai swasembada pangan, tetapi ia menjadi prasyarat utama agar upaya
tersebut dapat dicapai dan terjamin keberlanjutannya. Swasembada beras yang (mungkin)
dicapai pada beberapa tahun terakhir ini dirasakan sangat rapuh, karena dicapai dengan
subsidi yang sangat besar.
Mempersenjatai petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan dengan teknologi yang
tepat (sesuai dengan kapasitas adopsinya: teknis, finansial, dan sosio-kultural) merupakan
sebuah keharusan, tetapi bekal teknologi semata tetap tidak cukup. Upaya sisi teknologi
harus bergandengan dengan upaya dukungan kebijakan. Jika dan hanya jika keduanya
dilakukan maka inovasi pertanian yang menyejahterakan petani dan pelaku produksi
pangan lainnya dapat menjadi kenyataan. Dengan dibayang-bayangi oleh ambisi untuk
mewujudkan swasembada untuk beberapa jenis pangan pokok, maka pengembangan
tek ologi di bida g pa ga terlalu fokus pada tek ologi ya g la gsu g e duku g
peningkatan produktivitas. Hal-hal yang sesungguhnya menjadi prasyarat agar teknologi
tersebut efektif berdampak pada peningkatan produksipun kadang ikut terabaikan,
misalnya kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan luas lahan yang dikelola petani,
kecukupan bahan baku yang dibutuhkan, kapasitas adopsi petani, dan dampaknya
terhadap penambahan ongkos produksi sering tidak diperhitungkan secara cermat.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Disadari betul bahwa kalaupun semua kendala teknis adopsi bisa diatasi, teknologi tidak
akan memberikan kontribusi yang maksimal jika tidak didukung oleh peraturan dan
kebijakan yang kondusif. Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional yang akan dilahirkan,
diharapkan bisa memenuhi harapan ini, yakni mewujudkan suasana yang kondusif untuk
pengembangan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna untuk diadopsi dalam proses
produksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, sehingga berkontribusi nyata
terhadap pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

7

Tujuh strategi yang dipilih lebih dominan ditujukan untuk peningkatan produksi pangan
dalam rangka pencapaian swasembada pangan, kecuali strategi revitalisasi teknologi dan
industri hilir yang diharapkan memberi nilai tambah bagi produk pertanian yang
diasumsikan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani.
Upaya mendorong diversifikasi pangan kelihatannya belum didukung dengan strategi yang
spesifik ditujukan untuk itu, malah terkesan diversifikasi pangan diposisikan sebagai
bagian dari skenario untuk pencapaian swasembada pangan, karena akan mengurangi
demand terhadap pangan pokok utama, yakni beras.
Di antara empat target yang ditetapkan, upaya peningkatan kesejahteraan petani yang
paling belum kentara kaitan langsungnya dengan tujuh strategi yang dipilih.

Pengembangan teknologi untuk petani wajib memperhatikan dua dimensi penting, yakni:
[1] sebagai solusi untuk persoalan teknis yang secara langsung dihadapi petani (kualitas
lahan yang rendah atau sub optimal, kehilangan hasil, pemenuhan kebutuhan air); dan [2]
sesuai kapasitas adopsi petani (investasi awal dan biaya aplikasi rendah, teknis
operasionalnya sederhana). Koridor fleksibilitas pengembangan teknologi menjadi sangat
terbatas de ga ada ya dua di e si pe batas i i. De ga bahasa sederha a: tek ologi

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Gambar 5. PETA KETERKAITAN STRATEGI DAN TARGET PEMBANGUNAN PERTANIAN
2010-2014

8

yang dikembangkan harus handal dan sesuai kebutuhan, sekaligus juga murah dan
e gu tu gka bagi peta i .
Dalam perspektif yang lebih operasional, teknologi yang dikembangkan harus diyakini
mampu meningkatkan produktivitas petani, baik produktivitas secara agronomis yang
berorientasi pada hasil komoditas pangan, maupun produktivitas secara ekonomi yang
bermakna peningkatan pendapatan bersih petani. Lebih sempurna jika kedua ukuran
produktivitas tersebut dapat dipenuhi.
Selayaknya (dan sangat logis jika) produktivitas petani diposisikan sebagai pemicu dan titik
awal dari semua upaya untuk menggapai empat target pembangunan pertanian. Aliran
proses menuju keempat target disajikan pada Gambar 6. Saat ini, yang sangat dominan
adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas agronomis yang bermuara pada
pencapaian status swasembada pangan, tetapi dalam konteks penyejahteraan petani,
maka produktivitas ekonomi menjadi lebih penting.

Kebijakan [1] dan [2] diharapkan bermuara pada peningkatan pendapatan petani, yang
secara langsung juga akan meningkatkan kapasitas adopsi teknologi oleh petani pangan.
Jika kapasitas adopsi yang meningkat ini dipadankan dengan ketersediaan teknologi yang
sesuai kebutuhan, maka diyakini akan mampu meningkatkan produktivitas petani secara
agronomis. Selanjutnya jika peningkatan produktivitas agronomis ini dibarengi dengan
peningkatan nilai tukar petani [kebijakan 3], maka target meningkatkan kesejahteraan
petani dapat diharapkan untuk tercapai.
Jika diasumsikan total luas panen tetap atau meningkat, maka peningkatan produktivitas
agronomis akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi pangan nasional. Jika laju
peningkatan produksi ini sebanding atau lebih tinggi dibandingkan dengan total konsumsi
domestik, maka status swasembada beras dapat dipertahankan [lihat alur tengah diagram
Gambar 6]. Walaupun beberapa asumsi digunakan untuk mencapai target swasembada
pangan ini, namun arah/alur pendekatan untuk pencapaiannya tetap akan sama.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjadikan asumsi-asumsi
tersebut menjadi fakta/realita. Teknologi dibutuhkan untuk peran mengubah asumsi
tersebut menjadi realita.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Peran teknologi akan menjadi sangat strategis dalam upaya meningkatkan produktivitas
petani, terutama produktivitas agronomis. Jika teknologi dipadukan dengan regulasi dan
kebijakan teknis yang tepat, maka akan efektif pula untuk meningkatkan produktivitas
ekonomi petani. Kebijakan yang dibutuhkan termasuk untuk: [1] menjaga kesesuaian dan
stabilitas harga pangan, terutama kebijakan subsidi output yang tepat dan efektif; [2]
mengurangi beban ongkos produksi yang ditanggung petani, terutama kebijakan subsidi
input langsung pada petani produsen pangan; [3] meningkatkan nilai tukar petani, melalui
regulasi harga untuk barang/jasa non-pangan yang dibutuhkan petani [lihat blok kananbawah diagram Gambar 6].

9

Inti dari skenario peran teknologi dalam upaya mencapai empat target pembangunan
ketahanan pangan adalah peningkatan produktivitas petani.
Produktivitas petani mempunyai dua dimensi, yaitu: [1] produktivitas agronomis – volume
pangan yang dihasilkan per satuan luas lahan yang dikelola; dan [2] produktivitas ekonomi
– pendapatan bersih petani dari usaha tani.
Teknologi akan memberikan kontribusi jika digunakan. Penggunaan teknologi tergantung
pada kesesuaian dengan kebutuhan dan kapasitas adopsi petani.
Produktivitas agronomi akan mendukung swasembada dan penyediaan bahan baku
industri untuk peningkatan nilai tambah, sedangkan produktivitas ekonomi akan berbuah
kesejahteraan.
Diversifikasi akan memudahkan pencapaian swasembada pangan pokok.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

GAMBAR 6. SKENARIO PERAN TEKNOLOGI UNTUK PENCAPAIAN TARGET
PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN

10

Peningkatan kesejahteraan petani selain sebagai target, juga dapat ditranslasi menjadi
aset, karena kesejahteraan akan berbuah sumberdaya manusia yang lebih berkualitas,
diindikasikan dari peningkatan jenjang pendidikan dan derajat kesehatan. Pemahaman
yang benar tentang gizi dan kesehatan diyakini akan meningkat dan pola tindak juga
diyakini akan lebih rasional. Kondisi ini diharapkan akan memperlancar upaya mendorong
diversifikasi pangan sehingga target pembangunan pangan ini juga dapat dicapai.
Selanjutnya diversifikasi pangan yang berhasil akan mengurangi konsumsi pangan pokok
yang selama ini sangat diidolakan, yakni beras; sehingga tentu akan ikut mengamankan
status swasembada beras [lihat sisi kiri Gambar 6].
Peningkatan produksi pangan segar membuka peluang untuk tumbuh-kembang industri
pengolahan pangan, baik karena secara alami komoditas pangan tergolong gampang rusak
(perishable) sehingga perlu diawetkan atau diolah menjadi produk olahan yang lebih
tahan-simpan, maupun karena kelimpahan produk pangan segar yang dihasilkan yang
dapat dijadikan bahan baku industri pengolahan pangan. Skenario ini akan mengarah pada
pencapaian target untuk meningkatkan nilai tambah produk pangan yang dihasilkan petani
(lihat sisi kanan-atas Gambar 6); baik untuk tujuan ekspor, terlebih lagi untuk pemenuhan
permintaan pasar domestik agar tidak dibanjiri oleh produk serupa yang diimpor.

Hanya sekitar 18 persen lahan pertanian Indonesia yang tergolong subur, selebihnya dapat
digolongkan sebagai lahan-lahan sub-optimal dengan kendala agronomis yang beragam,
termasuk miskin hara, terlalu kering, beresiko tergenang/banjir, atau kendala spesifik
lainnya. Lahan-lahan yang terdegradasi kualitasnya akibat tercemar atau salah-kelola,
secara teknis dapat pula diklasifikasikan sebagai lahan sub-optimal. Karena peningkatan
produktivitas akan semakin sulit secara teknis dan ekonomi, maka perluasan lahan
produksi menjadi opsi yang lebih rasional, walaupun nyatanya perluasan tersebut berarti
melakukan budidaya pada lahan-lahan sub-optimal.
Berhadapan dengan persoalan teknis yang dihadapi pada lahan-lahan sub-optimal, maka
teknologi menjadi tumpuan harapan. Perlu dikembangkan solusi teknologi untuk masingmasing karakteristik lahan sub-optimal. Solusi teknologi yang ditawarkan (belajar dari
pengalaman masa lalu) harus tidak hanya mujarab secara teknis, tetapi juga sesuai dengan
kapasitas adopsi petani Indonesia.
Sesungguhnya banyak riset yang sudah dilakukan untuk masing-masing jenis lahan suboptimal. Banyak pula teknologi yang sudah dikembangkan untuk menyiasati berbagai
kendala pada lahan-lahan sub-optimal tersebut agar dapat menjadi lahan pertanian yang
produktif. Untuk beberapa jenis tanaman pangan pokok sudah pula dihasilkan varietas

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Pengembangan industri kecil berbasis bahan baku lokal (baik pangan maupun non-pangan)
di perdesaan dapat merupakan sumber tambahan pendapatan. Teknologi untuk
menyejahterakan petani dan masyarakat perdesaan tak harus selalu terkait kegiatan onfarm, tetapi juga perlu diperluas cakupannya untuk memberikan dukungan terhadap
kegiatan-kegiatan off-farm, agar ada nilai tambah komoditas pangan yang dihasilkan.

11

yang dilaporkan mampu beradaptasi pada kondisi lahan sub-optimal. Tantangan yang
dihadapi sekarang adalah menjadikan teknologi-teknologi tersebut affordable secara
ekonomi dan applicable secara teknis oleh petani Indonesia dengan segala
keterbatasannya, serta tetap mempunyai prospek untuk memberikan keuntungan bagi
petani yang mengadopsinya.
Komunitas dan kelembagaan pengembang teknologi dalam negeri cenderung berhenti
hanya sampai pada posisi menghasilkan teknologi yang secara teknis dapat diaplikasikan
pada lahan-lahan sub-optimal, selanjutnya terkesan enggan untuk menghadapi the e t
level of halle ge : menjadikan teknologi tersebut sesuai dengan kapasitas adopsi petani
Indonesia.

Penutup. Mungkin saja banyak pihak yang terkejut jika dinyatakan bahwa tantangan
terbesar peningkatan kontribusi teknologi dalam rangka menyejahterakan rakyat
sebagaimana yang diamanahkan konstitusi adalah mengubah mindset para pengembang
teknologi itu sendiri dan para pihak pembuat kebijakan pendukungnya. Bukan utamanya
karena keterbatasan anggaran, bukan pula karena kualitas sumberdaya manusia Indonesia
yang rendah, dan tidak juga karena keterbatasan sarana dan prasarana riset. Tiga
keterbatasan yang disebut belakangan hanya merupakan persoalan sekunder.
Pengembangan teknologi yang berpijak pada realita dan berorientasi kebutuhan
/persoalan nyata (demand-driven) perlu dijadikan budaya kerja baru. Perlu didefinisi-ulang
tentang apa yang dianggap sebagai tekonologi yang hebat, yakni adalah teknologi yang
secara nyata bermanfaat, bukan semata teknologi ultra- aju hasil kreasi para de a
iptek . Sesu gguh ya Siste I o asi Nasio al SINas erupaka la gkah strategis u tuk
menyediakan wadah yang pas untuk budaya kerja baru tersebut bagi para pengembang
teknologi.
Teknologi bidang pangan tentu perlu ikut mentranformasi diri agar cocok dengan skenario
besar penguatan SINas. Walaupun benar pemerintah telah membuat pernyataan
kebijakan dalam Rencana Strategis kementerian teknis yang membidangi, namun jika
dibedah a oto i kegiata ya asih belu ke tara be a g erah a tara aksi ya g
dilakukan dengan dampak positifnya bagi kesejahteraan rakyat.
Pengubahan mindset dan penumbuhan kultur baru memang tidak dapat dilakukan secara
instan. Proses ini tentu akan bersifat gradual. Memahami tentang bagaimana proses
perubahan ini dapat berlangsung, maka yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan
kesadaran semua pihak bahwa perubahan ini perlu dan tak dapat dihindari. Selanjutnya,

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Walaupun banyak ragam teknologi yang dibutuhkan terkait dengan upaya mewujudkan
ketahanan pangan yang berkelanjutan, tetapi ada tiga kelompok yang patut diunggulkan
untuk produksi pangan asal tanaman, yakni: [1] teknologi budidaya tanaman di lahan suboptimal, [2] teknologi pengurangan kehilangan hasil, dan [3] teknologi pengelolaan air
untuk tanaman.

12

perlu upaya konsisten dan persisten untuk mengawal perubahan agar selalu berada pada
arah dan koridor yang benar. Insentif perlu disiapkan agar laju perubahan dapat
mengalami akselerasi. Regulasi dan kebijakan yang tepat sangat dibutuhkan untuk
menciptakan kondisi yang kondusif agar viabilitas proses perubahan kultur komunitas
teknologi terus terjaga.
Sesuatu yang menggembirakan dan menumbuhkan optimisme adalah pembentukan
Komite Inovasi Nasional oleh Pemerintah dengan salah satu tugas penting dan
strategisnya, yakni menyiapkan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional. Penyiapan
produk legislasi ini dilakukan bersama Kementerian Riset dan Teknologi.

Proyeksinya, Undang-Undang SINas yang sedang disiapkan tersebut dapat efektif
menumbuhkan kondisi yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas, membuka peluang
bagi teknologi untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan
nasional, termasuk di dalamnya kontribusi terhadap upaya bersama untuk
menyejahterakan rakyat. Amanah konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945) agar
ilmu pengetahuan dan teknologi dibangun dalam rangka menyejahterakan rakyat
diharapkan dapat terlaksana.
Perubahan mindset dan budaya kerja komunitas teknologi yang lebih berorientasi
demand-driven yang dipadu dengan regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk tumbuhkembang SINas akan menjadi landasan yang kokoh untuk membangun iptek yang
menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2010a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi
Indonesia – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2010b. Data Strategis BPS – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Burgess, PJ. And J. Morris. 2009. Agricultural Technology and Land Use Future: the UK case.
Land Use Policy 26S:222-229
Calverley, D.J.B. 1994. Programme for the prevention of food losses: a study of eleven
projects in Asia concerned with rice. Final Report. Food and Agriculture
Organization, Rome.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dilengkapi
dengan beberapa peraturan pemerintah yang mengikutinya, ternyata masih belum efektif.
Regulasi yang dirancang agar hasil riset dan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri
dipergunakan oleh dunia usaha ternyata masih belum membuahkan hasil yang
memuaskan. Belum banyak teknologi domestik yang diadopsi dalam proses produksi
barang dan jasa di Indonesia. Kondisi ini dapat menjadi pertanda bahwa SINas belum
tumbuh sesuai harapan.

13

Feder, G. And D.L. Umali. 1993. The Adoption of Agricultural Innovations: a review.
Technological Forecasting and Social Change 43:215-239
Kremer, K.S., M. Carolan, S. Gasteyer, S.N. Tirmizi, P.F. Korsching, G. Peter, and P. Tong.
2001. Evolution of an Agricultural Innovation: the N-Trak Soil Nitrogen Test – Adopt
and Discontinue, or Reject? Technology in Society 23:93-108
Lakitan, B. 2010a. Kebijakan Riset dan Teknologi untuk Pencapaian Ketahanan Pangan dan
Peningkatan Kesejahteraan Petani. Makalah Seminar Hari Pangan Sedunia XXX,
Senggigi, Lombok, 6-8 Oktober 2010
Lakitan, B. 2010a. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung
Sistem Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan
Litbang, Pascasarjana Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010
Lakitan, B. 2010b. Mewujudkan Sistem Inovasi Pertanian Daerah. Makalah utama pada
Se i ar Nasio al Me ggali Pote si Daerah Dala ‘a gka Me ujudka Ketaha a
Pa ga Nasio al , U i ersitas Jambi, 19 Februari 2011
Lakitan, B. 2010b. National Innovation System in Indonesia: Present Status and Challenges.
Paper presented at The Annual Meeting of Science and Technology Studies, GRIPSTokyo, 10-12 Juni 2011
Marra, M. DJ. Pannell, and AA. Ghadim. 2003. The Economic of Risk, Uncertainty and
Learning in The Adoption of New Agricultural Technologies: where are we on the
learning curve? Agricultural Systems 75:215-234

Sumarno. 2010. Masalah Pokok Kecukupan Produksi Tanaman Pangan dan Kebutuhan
Teknologi. Bahan FGD Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta, 15 September
2010.
Supadi dan S.H. Susilowati. 2004. Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia.
ICASERD Working Paper No.41. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Departemen
Pertanian, Bogor.
Wheeler, S.A. 2008. What Influences Agricultural Professionals Views Towards Organic
Agriculture? Ecological Economics 65:145-154
World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. Washington DC.

Lakitan & Budiastra: SINas Pangan untuk Kesejahteraan Rakyat

Mejia, D.J. 2003. An Overview of Rice Post-harvest Technology: use of small metallic silos
for minimizing losses. In: Dat Van Tran (editor), Sustainable Rice Production for Food
Security. Food and Agriculture Organization, Rome.

14