Pasang Surut Hubungan Australia Indonesi

Pasang Surut Hubungan IndonesiaAustralia
Muhammad Farizky Priambudi (112105060)

Tidak ada persahabatan yang tidak diuji, entah dengan konflik,
ataupun dengan hal-hal lainnya, itulah yang sedang terjadi pada
Indonesia dan Australia, Bagaimana tidak, hubungan antara Indonesia dan
Australia bukanlah sekedar hubungan diplomatik, lebih dari itu, Australia
dulu memiliki andil dalam kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
dengan membantu mewakili Indonesia di UNGOC (United Nations Good
Offices Committee)1 pada tahun 1947. Akhirnya terjalinlah hubungan
yang spesial antara kedua negara, namun setelah hal-hal yang
nampaknya menggembirakan, Indonesia mulai mencari perhatian ke
negara lain seperti Uni Soviet dan China. Seperti yang telah diprediksi,
hubungan keduanya mulai rapuh, terutama setelah masalah Timor Timur.
Puncak konflik keduanya adalah pada tahun 1986 ketika surat kabar
Australia, Sydney Morning Herald, memajang artikel tentang masalah
keuangan Presiden Soeharto dan keluarganya, dan dibandingkan dengan
kasus korupsi Ferdinand Marcos dari Filipina. Artikel tersebut menimbulkan
protes besar dari pihak Indonesia. Ketika presiden Amerika, Ronald
Reagan datang ke Bali, wartawan Australia yang datang kesana dilarang
masuk oleh penjaga bandara, namun ketegangan tersebut tidak

berlangsung lama, tetapi tetap terjadi sentimen antara kedua negara. 2
tahun kemudian, ketegangan berhasil diredam seutuhnya ketika terjadi
pertemuan antar Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Menteri
Luar Negeri Australia Gareth Evans di Jakarta dan Canberra pada tahun
19882. Tidak hanya menjadwalkan pertemuan tingkat menlu reguler,
Institut Australia-Indonesia juga dibangun pada tahun 1989 untuk
1 Gareth Evans dan Grant Bruce, Australia’s Foreign Relation in the world of the 1990s,
Melbourne University Press, Melbourne, 1991, halaman 186-187.
2 ibid

memperkuat hubungan antara Australia dan Indonesia juga sebagai media
promosi di kedua negara3.

Kedekatan antar kedua negara tersebut semakin kedepan semakin
baik, di bidang pendidikan, jumlah pelajar Indonesia yang berada di
Australia berjumlah 20.000 pada tahun 2001 dan masih meningkat,
jumlah tersebut melebihi jumlah pelajar Indonesia yang berada di Amerika
Serikat atau Eropa. Hal tersebut merupakan prospek yang bagus bagi
Indonesia karena secara tidak langsung juga akan mempererat hubungan
secara individual diluar pemerintah. Selain pendidikan, Indonesia dan

Australia juga bekerjasama di bidang militer, kerjasama tersebut yang
sangat penting bagi Indonesia juga Australia, contohnya berlatih bersama.
Pada tahun 1996, Indonesia dan Australia memperkuat kerjasama bidang
militer dengan menandatangani Future Directions Paper (FDP) oleh
KASUM TNI dan VCDF (Vice Chief of Defence Force) dengan sasaran utama
adalah untuk menciptakan mutual understanding dan membangun
kepercayaan antara ADF (Australian Defence Force) dan ABRI. Namun,
kerjasama militer antara Indonesia dan Australia beberapa kali terguncang
karena beberapa hal termasuk kasus Timor Timur.
Spionase Australia terhadap Indonesia
Pada Oktober 2013 lalu, Indonesia dikejutkan dengan kabar bahwa
Australia telah melakukan penyadapan terhadap Indonesia, hal tersebut
dibocorkan kepada publik oleh surat kabar harian Australia, Sydney
Morning Herald juga surat kabar harian Jerman, Der Spiegel. Informasi
tersebut didapatkan dari salah satu mantan kontraktor junior NSA
(National Security Agency), Edward Snowden. Snowden berhasil
mengakses kurang lebih 20 ribu dokumen rahasia Australia yang disimpan
di Amerika4. Spionase ini dilakukan semenjak pemerintahan perdana
3 Dfat.gov.au/aii, diakses pada 11 Desember 2013 pukul 17:18
4 http://zeenews.india.com/news/world/snowden-may-have-accessed-20-000-australianfiles-report_894501.html Diakses pada 12 Desember 2013 pukul 11:13


menteri sebelumnya, Kevin Rudd. Badan intelijen Australia, ASD
(Australian Signals Directorate) dibawah kepemimpinan Rudd menyadap
setidaknya 10 orang pejabat tinggi termasuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) serta istrinya Kristiani Yudhoyono. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sendiri disadap oleh Australia selama 15 hari pada
Agustus 2009, mengetahui hal ini, Indonesia, terutama presiden, Badan
Intelijen Negara(BIN) serta menteri luar negeri RI marah besar, mereka
dianggap dikhianati oleh sahabat sendiri, atas kemarahan tersebut
Indonesia memanggil duta besarnya di Australia, Nadjib Riphat Kesoema,
untuk kembali ke tanah air untuk waktu yang lama. Selain
dilatarbelakangi oleh kemarahan, pemanggilan kembali tersebut dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang apa yang terjadi di Canberra5. Tidak
hanya pemanggilan kembali duta besar RI, SBY juga menghentikan serta
mengkaji ulang beberapa kerjasama bilateral seperti kerjasama
pertahanan, dan pertukaran informasi intelijen, kepolisian serta militer 6.
Kemarahan yang dipicu oleh penyadapan Australia ternyata tidak
hanya ditunjukkan pejabat tinggi saja, beberapa elemen masyarakat turut
berkomentar atas apa yang terjadi terhadap Indonesia, banyak yang
mengutuk perbuatan Australia terhadap negara “sahabat”nya sendiri.

Namun justru hal-hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang
keamanan Indonesia, apakah sudah cukup aman?
Berkirim Surat
Merespon tindakan Australia, SBY memutuskan untuk mengirim
surat untuk meminta penjelasan mengenai yang dilakukan oleh Australia,
beberapa waktu kemudian, Tony Abbott membalas surat SBY, mereka
memutuskan untuk membangun kembali hubungan bilateral yang
didasarkan mutual trust, dari surat tersebut, SBY merespon dengan 6 hal,
yaitu:

5 http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/64787-australia-berkhianat Diakses
pada 12 Desember 2013 pukul 11:25
6 http://news.viva.co.id/news/read/463767-menhan-australia--butuh-waktu-lamaperbaiki-hubungan-dengan-ri diakses pada 12 Desember 2013 pukul 11:30

1. Menugaskan Menlu atau utusan khusus lainnya untuk
mendiskusikan isu tersebut secara komprehensif. Juga merumuskan
protokol kerjasama bilateral
2. Setelah mencapai kesepakatan bersama dan pemahaman bersama,
akan dilanjutkan dengan pembahasan kode etik dan protokol kedua
negara

3. Kode etik dan protokol tersebut akan diperiksa secara khusus oleh
SBY
4. Saat disahkan, pengesahan harus dilakukan didepan SBY dan Tony
Abbott sebagai kepala pemerintahan
5. Kedua negara harus memastikan serta membuktikan kode etik
tersebut dijalankan, oleh karena itu harus ada observasi dan
evaluasi
6. Terakhir, setelah mutual trust sudah mantap, serta kode etik dan
protokolnya berjalan, maka Indonesia akan memutuskan untuk
menjalankan kembali hubungan bilateralnya dengan Australia7
Setelah surat tersebut dibalas, Tony Abbott dan Australia
meyakinkan Indonesia untuk tidak lagi mengganggu kedaulatan serta
melakukan hal-hal yang nantinya akan merugikan Indonesia. Pihak istana
pun yakin bahwa Australia tidak akan mengganggu Indonesia lagi,
berdasarkan isi surat yang dikirim oleh Abbott. Namun, tetap masih ada
beberapa hal yang harus diperbaiki oleh Indonesia, dan juga harus
diwaspadai tentunya.
Pertama, anggaran untuk BIN tergolong sedikit, terutama jika
mengenai keamanan suatu negara yang besar dan berpopulasi banyak.
Untuk tahun 2012-2013 hanya Rp1,141 triliun atau setara dengan US$94

Juta saja8, sementara Australia menganggarkan untuk keamanan
nasionalnya sebanyak US$ 16 miliar9, berdasarkan data tersebut terlihat
bahwa ada kesenjangan yang besar dalam pengalokasian anggaran
7 http://news.detik.com/read/2013/11/26/194005/2424424/10/2/tanggapi-surat-balasanpm-tony-abbott-ini-6-respon-presiden-sby diakses pada 15 Desember 2013 pukul 01:32
8 http://ekbis.sindonews.com/read/2012/09/10/33/671471/2012-2013-anggaran-bin-naikrp3-5-m diakses pada 14 Desember 2013 pukul 12:52
9 Setelah dikonversikan dari dollar Australia ke dollar Amerika, referensi
http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-05-28/pasca-serangan-peretasanggaran-badan-intelejen-ditambah/1137426 diakses pada 14 Desember 2013 pukul
00:08

terhadap keamanan nasional masing-masing negara. Wajar saja jika
Indonesia dapat disadap dengan mudah dan tanpa sepengetahuan BIN
sekalipun.
Yang kedua, politik luar negeri yang digunakan SBY adalah “A
million friends, zero enemy”. Diplomasi seperti ini memang terbilang
aman, namun terdengar sangat idealis, juga cenderung tidak tegas.
Contohnya, hubungan yang berbasiskan mutual trust. Hubungan tersebut
tidak sepenuhnya salah sebenarnya, namun logikanya, jika kepercayaan
tersebut sudah mencapai level yang tinggi, maka logika objektif pun akan
cenderung diabaikan, dan inilah yang terjadi kepada Indonesia dan
diplomasi “A million friends, zero enemy”. Mutual trust tersebut seakan

membutakan Indonesia untuk berpikir lebih objektif terhadap negaranegara “sahabat”nya.
Indonesia selalu telat dalam bereaksi, terutama masalah hukum.
Kasus penyadapan ini bukan yang pertama bagi Indonesia. Pada 4
Februari 2004 dubes RI untuk Australia, Imron Cotan juga disadap,
sayangnya Kementrian Luar Negeri tidak bereaksi terhadap penyadapan
tersebut. Terdapat kelalaian dalam penanganan mengenai penyadapan
tersebut, padahal, ini berkaitan erat dengan keamanan nasional juga
kewajiban negara untuk menjamin keamanan rakyatnya. SBY baru
melayangkan protes kepada pemerintah Australia setelah kejadian ini
terulang lagi, memaksa pemerintah Australia untuk meminta maaf kepada
Indonesia atas terjadinya hal ini, namun PM Australia, Tony Abbott
menolak untuk melakukan hal tersebut dan menganggap hal tersebut
lazim. Pernyataan Abbott tidak salah, karena memang tugas intelijen
adalah mengumpulkan informasi berbagai negara, namun tidak juga
benar, karena melanggar kode etik diplomasi, yaitu tidak boleh mematamatai negara lain. Pelajaran utama bagi Indonesia adalah, menyiapkan
tindakan preventif dalam hal apapun, terlihat jelas bahwa tidak ada
preemptive measures atau preventive measures dalam menghadapi
skenario terburuk, pola pemikiran tersebut yang juga membuat Indonesia
selalu kecolongan.


Penarikan dubes RI dari Australia dalam beberapa perspektif
merupakan salah satu tindakan yang mencerminkan ketegasan
pemerintah Indonesia atas kasus ini, secara subjektif, tindakan tersebut
memang benar, mengingat kedaulatan negara Indonesia sedang
“ditodong” oleh Australia, akan tetapi, belum diketahui apakah Indonesia
sudah menyiapkan langkah preventif untuk kasus terburuk yang akan
datang. Apabila yang dilakukan Indonesia tidak menjadi bumerang pada
akhirnya, Indonesia beruntung, tetapi jika yang dilakukan Indonesia
kembali kepada Indonesia, itulah yang nantinya harus jadi pelajaran bagi
Indonesia. Indonesia seharusnya tidak langsung menarik duta besarnya
dari Australia, karena dengan begitu, tidak ada hal yang dapat
mengancam Australia lagi, kecuali dengan mengusir duta besar Australia.
Indonesia bisa saja menurunkan status duta besar menjadi konsulat,
dengan kata lain, Indonesia seharusnya menggertak pelan-pelan, dengan
begitu, Indonesia dapat melakukan penarikan duta besar sebagai jalan
terakhir. Dan dampak jera akan lebih besar dibandingkan langsung
menarik duta besar.
Indonesia terlihat terlalu emosi pada saat pengambilan keputusan
untuk menarik duta besarnya kembali ke Indonesia, hal ini ditunjukkan
oleh respon dari Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa di beberapa

media, Marty menyatakan bahwa hal tersebut sangat “meremehkan
Indonesia”. Selain Marty Natalegawa, beberapa tokoh serta pejabat juga
ikut berkomentar sama, Menkominfo Tifatul Sembiring turut berkomentar
dan meminta International Telecommunication Union (ITU), salah satu
badan PBB untuk menindaklanjuti spionase yang dilakukan oleh Australia
terhadap Indonesia10. Sementara itu Komisi I DPR Mahfudz Siddiq
mengatakan bahwa Australia “bukan tetangga yang baik”. Atas dorongan
dari beragam individu, maka keputusan Indonesia terhadap Australia
terlihat seperti sesuatu yang wajar dan mencerminkan ketegasan, tetapi
itu hanya di perspektif Indonesia.

10 www.Detik.com/news/read/2013/11/18/162626/2416188/10 diakses pada 17
November 2013 pukul 21:55

Secara eksplisit, tidak ada hukum internasional yang membahas
tentang spionase atau penyadapan, namun, untuk mencegah hal tersebut
dapat dibuat semacam protokol, contohnya, Verification Protocol pada
Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty yang membuat prosedur agar
negara anggota traktat dapat mengawasi secara langsung di tempat.
Kesalahan Indonesia adalah tidak membuat protokol dan kode etik

sebelum terjadi hal seperti ini, seperti yang disebutkan di atas, Indonesia
selalu telat dalam membuat kebijakan, beberapa kali membuat kebijakan
setelah peristiwa atau kasus terjadi, hal tersebut membuat Indonesia akan
diserang melalui celah-celah lain, padahal Indonesia, sebagai negara,
wajib melindungi warga negaranya dari ancaman, dan kebebasan dari
rasa takut (freedom of fear). Dan ruang lingkup perlindungan tersebut
tidak hanya sebatas satu atau dua orang, namun sifatnya komunitarian
atau seluruh kerangka masyarakat.
Oleh karena itu, Indonesia haruslah mengambil banyak pelajaran
dari apa yang telah terjadi dan dilakukan oleh Australia, bukan hanya
belajar, namun harus memprediksi apa yang akan terjadi kedepannya.
Indonesia dapat melakukan hal tersebut jika pemerintah tidak hanya
berdiam dan berleha-leha. Kemungkinan, celah yang dimiliki Indonesia
masih sangat banyak dan tidak tertutupi, maka itu, pemerintah Indonesia
sebagai legitimasi yang berurusan langsung dengan urusan negara
haruslah serius menanggapi hal ini, bukan hanya berkomentar normatif
atau negatif atas isu yang telah terjadi, namun juga bergerak, terlihat
sekali beberapa komentar dari pemerintah sangat normatif dan negatif
tanpa merekomendasikan solusi yang tepat. Selain itu, presiden serta
Menteri Luar Negeri dan Komisi I DPR yang bekerja dalam bidang

hubungan internasional harus lebih waspada akan perjanjian atau
kerjasama dengan negara-negara asing, semua kemungkinan dapat
terjadi, dalam politik tidak ada baik atau jahat, namun kepentingan
masing-masing, Indonesia harus lebih cermat dalam menjalin hubungan
dengan negara lain. Masyarakat, sebagai pendukung pemerintah dan juga
warga negara Indonesia juga harus turut berpartisipasi dalam membela
negaranya, pembelaan negara tidak selalu bermakna perang, namun,

dengan memberi saran kepada pemerintah atau memberitahu
masyarakat lain dengan mengadakan seminar atau simposium terkait
Indonesia, tujuannya selain meningkatkan ketahanan nasional juga
meningkatkan keinginan untuk membela negara. Terakhir, sebagai solusi
untuk pemerintah, presiden bisa saja menggunakan politik luar negeri “A
million friends, zero enemy” sebagai haluan utamanya, namun tetap,
dibalik itu ada beberapa hal yang harus dieksplor lebih dalam, presiden
tidak bisa memaknai hal tersebut dengan “semua akan baik-baik saja jika
memiliki banyak teman”, beliau harus benar-benar jeli melihat kerjasama
antarnegara, apakah merugikan atau menguntungkan, jika
menguntungkan, apakah skenario terburuknya? Hal-hal kecil seperti itu
harus benar-benar menjadi concern utama presiden. Indonesia memiliki
potensi besar untuk menjadi negara maju, Indonesia juga dibutuhkan
Australia dan beberapa negara lain, tetapi Indonesia juga harus menata
negaranya terlebih dahulu, politik luar negeri tidak akan kuat jika politik
dalam negeri saja masih berantakan.

REFERENSI
- Evans, Gareth & Bruce Grant (1991). Australia’s Foreign
Relations In The World of The 1990s. Melbourne:
Melbourne University Press
- Darmono, Bambang (2010). Keamanan Nasional: Sebuah
Konsep dan Sistem Keamanan bagi Bangsa Indonesia.
Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional
- Singh, Bilveer (2002). Defense Relations between
Australia and Indonesia in the Post-Cold War Era
Contributions in Military Studies. Greenwood Publishing
Group
- Baker, Christopher D. (2003). Tolerance of International
Espionage: A Functional Approach. American University
International Law Review, 19(5), 1091-1111.
- Wanandi, Jusuf (2001). Future Relations between Indonesia
and Australia. The Indonesian Quarterly, 29(1), 4-10.