INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM PERSPEK
INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM:
PERSPEKTIF EKOLOGI
Oleh Nafis Irkhami*
*Silahkan dikutip dengan menyebut nama pengarang dan Jurnal Ulumuddin No.
03, th. X, Jan-Juni, 2007 (ISSN: 1410-5608)
Pendahuluan
Perhatian serius terhadap lingkungan hidup sebenarnya
baru mulai disadari pada tahun 1960-an. Persoalan polusi dan
pencemaran
lingkungan
yang
ditimbulkan
oleh
berbagai
perusahaan mulai menggugah kesadaran masyarakat akan
pentingnya
persoalan
ini,
terutama
setelah
ditemukannya
berbagai penyakit yang diduga sebagai akibat pencemaran
lingkungan. Kesadaran tersebut semakin menguat akhir-akhir
ini ketika masyarakat tidak hanya merasakan berbagai penyakit
“baru”, namun juga berbagai bencana alam yang ditimbulkan
dari kerusakan lingkungan.
Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis
modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah
membebani alam di atas ambang toleransi. Tidak ada atau
lemahnya pertimbangan moral dan etika di kalangan pelaku
bisnis dianggap sebagai salah satu faktor penting terjadinya
eskalasi kerusakan lingkungan. Ada kecenderungan pelaku
bisnis hanya mementingkan diri sendiri (self center oriented)
dengan prinsip homo homini lupus.1 Demi menjalankan bisnis
secara efisien, murah dan mendatangkan keuntungan yang
besar,
pelaku
pertimbangan
bisnis
etis
tidak
dalam
lagi
melibatkan
misalnya,
pertimbangan-
membuang
limbah,
merambah hutan dan mengebor sumber daya alam. Dengan kata
Achmad Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan kedalam Corporate Behavior," dalam SINERGI, VOL. 1,
No. 1,1998.
1
2
lain, selama aturan-aturan hukum dipenuhi, tanggung jawab
moral pelaku bisnis hanyalah menyediakan barang dan jasa
dalam rangka memperoleh keuntungan maksimal; di luar itu,
mereka tidak memiliki tanggung jawab moral apapun.2
Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an di Amerika
baru mulai terjadi kristalisasi terhadap pemahaman etika bisnis.
Berbagai perusahaan mulai menyusun kode etik, menempatkan
pejabat struktural yang mengurusi masalah etika dan tanggung
jawab sosial, menyediakan sarana hotline untuk mengantisipasi
komplain masyarakat terhadap produk dan layanan perusahaan
dan sebagainya. Namun, di sisi lain, resistensi terhadap konsep
penerapan etika dalam bisnis masih tetap saja terjadi. Di antara
mereka yang terkenal adalah Milton Friedman dan Theodore
Leavitt (professor marketing dan editor The Harvard Business
Review). Kedua ekonom ini tetap bersikukuh bahwa tanggung
jawab utama suatu perusahaan adalah menghasilkan profit. Bila
perusahaan dituntut untuk berbuat lebih dari itu, maka dinilai
berseberangan dengan prinsip-prinsip free enterprise.3
Persoalan tentang etika
bisnis
dan tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan sesungguhnya terkait dengan
masalah tanggung jawab sosial perusahaan ( corporate social
responsibility). Pembahasan tentang tanggung jawab sosial
perusahaan
ini
akan
menjadi
lebih
jelas
bila
kita
membedakannya dengan tanggung jawab yang lain, yaitu
tanggung jawab ekonomi.4
2
Fieser, J., “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996.
3
Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis…"
4
Dalam pembahasan-pembahasan ekonomi kontemporer, bisnis selalu
dikaitkan dengan dua tanggung jawab; ekonomi dan sosial, lihat misalnya
dalam K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal.
295
3
Tanggung jawab sosial
jawabnya
terhadap
ekonomis.
Dengan
perusahaan adalah tanggung
masyarakat
demikian,
di
bila
luar
kita
tanggung
berbicara
jawab
tentang
tanggung jawab sosial perusahaan, maka dimaksudkan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan
sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara
ekonomis. Menurut Bertens, kegiatan itu bisa terjadi dengan
dua cara: positif dan negatif. Secara positif perusahaan bisa
melakukan kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan
ekonomi, dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan sosial.
Sedangkan secara negatif, perusahaan bisa menahan diri untuk
tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang sebenarnya
menguntungkan
secara
ekonomi,
tetapi
akan
merugikan
masyarakat.5 Kegiatan-kegiatan tersebut, baik positif maupun
negatif, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan dalam praktek,
belum lagi bila terjadi konflik antara kepentingan ekonomis
dengan kepentingan sosial.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa gerakan etika
bisnis merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan
begitu saja. Upaya seperti ini akan terus berlanjut sampai
tercapainya kegiatan bisnis yang lebih bersih, lebih peduli sosial
dan
lingkungan.
Buchholz
(1986)
menganggap
bahwa
perusahaan merupakan bagian dari socio-political system. Jadi
tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas kepada para
stockholder namun juga kepada stakeholders yang lain. Dengan
demikian, perusahaan juga harus memperhatikan harapanharapan
masyarakat
(Anshen,
1980).
Hubungan
antara
perusahaan dengan masyarakat inilah yang disebut sebagai
kontrak sosial. Kontrak sosial, yang merupakan perjanjian tidak
tertulis dan bersifat informal, dengan demikian, tidak memiliki
5
Ibid., hal. 297.
4
sanksi hukum yang tegas. Namun hukuman masyarakat (sanksi
sosial) yang diberikan seringkali memiliki dampak yang sangat
besar bagi perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan mempunyai
komitmen untuk mengimplementasikan kontrak sosial sesuai
dengan harapan masyarakat, maka kontrak tersebut akan
menjadi safety net bagi perusahaan bersangkutan, yang dengan
sendirinya akan membantu perusahaan tersebut meningkatkan
profit dan performance.6
Dapat dipahami bahwa kontrak sosial sesungguhnya
merujuk kepada “kewajiban-kewajiban suatu organisasi untuk
melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat di mana
ia
berada.”7
Tanggung
jawab
yang
diemban
oleh
suatu
perusahaan terdiri dari tiga wilayah: kepada pelaku organisasi,
lingkungan alam, dan kesejahteraan secara umum.8
Berangkat dari deskripsi di atas, persoalan-persoalan yang
akan
diangkat
dalam
tulisan
ini
adalah
bagaimana
sesungguhnya kedudukan etika dalam diskursus ekonomi Islam?
Bagaimanakah konsep dasar (core concept) yang menjadi
pijakan internalisasi etika bisnis tersebut? Secara lebih khusus,
pembahasan tentang etika tersebut akan dikhususkan dalam
persoalan ekologi.
Seluruh persoalan di atas tentu saja akan dianalisis dalam
perspektif ekonomi Islam. Namun sebelum melangkah lebih
jauh, perlu ditegaskan di awal bahwa dalam pandangan penulis,
ekonomi Islam tidak muncul dari “hampa budaya”. Artinya,
memang kita tidak bisa dengan serta merta mengadopsi
M.L. Pava dan J. Krausz, "The Association between Corporate Social
Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam
Journal of Business Ethics, 15 (1996), hal. 326
7
Sebagaimana dikutip dari Jay Barney dan Ricky W. Griffin oleh Rafik
Issa Beekun, Islamic Business Ethic, (Herndon, Virginia, USA: International
Institude of Islamic Thought, 1997), hal. 63
8
Ibid.
6
5
ekonomi positif (konvensional), karena kita telah memiliki
identitas kita sendiri, yaitu worldview Islam. Di sisi lain, kita
juga tidak bisa bersembunyi dan menolak begitu saja ekonomi
konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang telah
hidup dan berkembang di tengah-tengah kita. Oleh karena itu,
pembahasan-pembahasan dalam tulisan ini tidak bisa lepas dari
diskursus ekonomi positif.
Pergulatan Etika dengan Bisnis
Bisnis
mengarah
selama
pada
ini
dipahami
peningkatan
nilai
sebagai
aktivitas
tambah
melalui
yang
proses
penyediaan jasa, perdagangan atau pengolahan barang ( to
provide
products
or
services
for
profit).
Dalam
konteks
perusahaan atau entitas, bisnis dipahami sebagai suatu proses
keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman logika,
bahwa bisnis dirumuskan sebagai maksimalisasi keuntungan
(profit maximization) perusahaan dengan meminimumkan biayabiaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu bisnis seringkali
lebih
menetapkan
pilihan
strategis
daripada
pendirian
berdasarkan nilai (etik). Dalam hal ini pilihan-pilihan strategis
biasanya didasarkan kepada logika subsistem, yakni demi
keuntungan
dan
kelangsungan
hidup
bisnis
itu
sendiri.
Konsekuensi dari kesadaran seperti ini pada akhirnya menuntun
kepada
sikap
bisnis
yang
benar-benar
hanya
mempertimbangkan keuntungan. Bahkan kesadaran seperti ini
telah
menjadi
semacam
jargon
yang
dikenal
luas
dalam
masyarakat bahwa; "bisnis adalah bisnis," atau di Barat
dinyatakan dengan "the business of business is business."
Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya
toleransi,
kesetiaan,
kepercayaan,
persamaan,
religiusitas,
6
tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dipegangi oleh
para pelaku bisnis yang tidak atau kurang berhasil dalam bisnis.
Sementara itu para pelaku bisnis yang sukses banyak berpegang
pada prinsip-prinsip bisnis yang terpisah dari moral, misalnya
maksimalisasi
laba,
agresivitas,
individualitas,
semangat
persaingan, dan manajemen konflik.9 Kondisi seperti ini tidak
hanya terjadi di negara-negara industri maju atau Barat namun
juga di Dunia Timur, citra bisnis tidak selalu baik. Citra negatif
ini, menurut Dawam, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada
dasarnya
bisnis
berasaskan
ketamakan,
keserakahan,
dan
semata-mata berorientasi profit.10
Tidak
hanya
dalam
tataran
praksis,
dalam
tataran
teoritispun banyak ditemui para ilmuwan yang menentang
penerapan moral dan etika ke dalam kegiatan bisnis. Milton
Friedman misalnya, seorang profesor emeritus dari Universitas
Chicago dan pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada tahun
1976, adalah tokoh yang terkenal gigih mempertahankan tesis
pemisahan moral dengan bisnis. Pandangannya tersebut mulai
marak setelah pemuatan tulisannya The Social Responsibility of
Business is to Increase Profits dalam New York Times Magazine,
13 September 1970.11 Friedman berpendapat bahwa doktrin
tanggung jawab sosial dari bisnis akan merusak sistem ekonomi
pasar bebas. Ia menegaskan bahwa satu-satunya tanggung
jawab
perusahaan
memanfaatkan
adalah
sumber
kegiatan-kegiatan
yang
daya
meningkatkan
dan
bertujuan
profit,
melibatkan
untuk
diri
yakni
dalam
meningkatkan
9
Dawam Rahadjo, "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II,"
dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.16.
10
Ibid.
11
Dimuat dalam berbagai bunga rampai tentang etika bisnis, antara
lain misalnya Thomas Donaldson dan P. Werhane (ed.), Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach, (New Jersey: Prentice Hall, 1983).
7
keuntungannya, selama hal itu masih sebatas aturan-aturan
main.12
Lebih jauh, Friedman menyatakan bahwa perusahaan
tidak wajib mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengurangi
polusi
daripada
perusahaan
apa
dan
apa
yang
yang
seperlunya
dituntut
demi
oleh
kepentingan
hukum
demi
terwujudnya tujuan sosial, yakni menjaga lingkungan hidup. 13
Pemikiran ini menunjukkan bahwa tokoh sekaliber Friedman
sekalipun, tidak mengakui urgensi pertimbangan-pertimbangan
etika (lingkungan) dalam kegiatan bisnis.
Kenneth E. Boulding, salah seorang ekonom kontemporer,
dalam suatu karyanya Toward the Development of a Cultural
Economics mencoba menggugat kondisi ekonomi modern yang
menurutnya telah kehilangan arti, makna atau pengertian
kulturalnya, sehingga berubah menjadi suatu disiplin abstrak
yang hampa budaya.14 Perintis ekonomi ekologi ini berpendapat
bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab atas
pereduksian ilmu ekonomi menjadi abstraksi bebas nilai adalah
David Ricardo. Bila dirunut lebih jauh lagi, adalah Alfred
Marshall, Stanley Jevons dan Walras, pendiri aliran Neo-Klasik,
yang
dengan
matematika
ekonominya,
dengan
kalkulus
diferensial dan persamaan simultannya, membawa ilmu ekonomi
semakin jauh dari matriks kultural.15
Pijakan Epistemologis
Ibid., hal. 244: "There is one and only one social responsibility of
business – to use its resources and engage in activities designed to increase
its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, to
engages in open and free competition without deception or fraud."
13
Ibid., hal. 240.
14
Sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam pengantarnya
pada terjemahan S.N.H. Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami
(Bandung: Mizan, 1985), hal. 20.
15
Ibid.
12
8
Konsep dasar (core concept) yang mendasari seluruh
kehidupan umat Islam adalah tawhid. Terkait dengan konsep ini,
Chapra menyatakan bahwa, “On this concept rests its whole
worldview and strategy. Everything else logically emanates from
it...” 16 Menjadi seorang Muslim berarti meyakini ke-esa-an Allah
dan menghadirkan Allah dalam perilaku kesehariannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ketawhidan merupakan konsep
dasar dalam spiritualitas Islam. Sesuai dengan makna literalnya,
Muslim
dapat
diartikan
sebagai
seseorang
yang
telah
menundukkan diri kepada Allah. Dengan penundukan diri
tersebut, seluruh aspek kehidupan muslim harus merujuk
kepada kehendak Tuhan. Dalam pengertian tersebut maka
aspek ekonomi, misalnya, harus menjadi bagian dari agama.
Worldview Islam tersebut akan menjadi starting point,
sekaligus sebagai pembeda dengan ekonomi konvensional yang
menempatkan agama pada wilayah yang berbeda sama sekali
dan tidak dapat disentuh oleh domain lain yang terkait dengan
masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya
domain ekonomi. Agama tidak memiliki campur tangan dengan
urusan materi (ekonomi) manusia. Oleh karena itu, pengejaran
materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu
ekonomi
sekuler,
yang
oleh
Adam
Smith
dan
kemudian
dilanjutkan oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the
wealth (kesejahteraan).
Sebagai
konsekuensinya,
rasionalitas
menuntut
pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai tujuan
akhir yang harus dicapai. Inilah yang menjadi fondasi ilmu
ekonomi konvensional, dari Adam Smith bahkan sampai Keynes.
Definisi
ilmu
ekonomi
yang
populer,
adalah
ilmu
yang
mempelajari bagaimana manusia menggunakan sumber daya
16
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, hal. 202.
9
yang
terbatas
untuk
memenuhi
terbatas, mengilustrasikan
manusia
terhadap
keinginannya
penegasan
kepuasan
akan
material
yang
tidak
kecenderungan
sebanyak-banyaknya
sebagai tujuan akhir.
Dengan demikian, secara ontologis ekonomi mainstream
sangat dipengaruhi oleh physical realism yang menganggap
realitas obyektif berada secara bebas dan terpisah di luar diri
manusia. Dalam hal ini Chua, sebagaimana dikutip oleh Iwan
Triyuwono mengatakan:
Apa yang ada “di luar sana” (obyek) dianggap independen
dari yang mengetahui (subyek), dan pengetahuan dicapai
ketika
subyek
merefleksikan
secara
benar
dan
“menemukan” realitas obyektif...17
Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis
sebenarnya
untuk
merupakan pandangan ontologi yang tidak tepat
memahami
fenomena
sosial.
Menurut
Capra,
para
ilmuwan sosial memang telah mencoba dengan sangat serius
untuk
memperoleh
kehormatan
dengan
cara
mengadopsi
paradigma ala Descartes dan metode-metode fisika ala Newton
(yang mekanistis), namun demikian, kerangka ala Descartes
seringkali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang
mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka menjadi
semakin tidak realistis.18
Lebih jauh Capra mengatakan:
Ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan
reduksionis dan terpecah-pecah... Para ahli ekonomi
biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu
aspek dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial;
Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta:
LkiS, 2000), hal. xvi.
18
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 252-53.
17
10
suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia yang saling
berinteraksi secara terus menerus...19
Secara metodologis, pendekatan dalam ekonomi harus rasional,
obyektif, kualitatif, linear, dan kausal. Namun sesungguhnya
anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas dari nilai
adalah justru merupakan pandangan yang tidak realistis. Setiap
analisis fenomena sosial yang diyakini oleh penelitinya sebagai
“bebas nilai” sesungguhnya didasarkan pada asumsi-asumsi
sistem nilai yang telah terbangun di dalam pikiran peneliti
tersebut. Secara implisit pelibatan nilai tersebut tercermin
dalam pemilihan dan interpretasi data. Penafian isu tentang nilai
justru menjadikan suatu penelitian kurang ilmiah karena di
dalam penelitian itu tidak ada asumsi-asumsi yang mendasari
teori mereka.
Ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam
dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik-sosial
al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan komposisinya maka ia
bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu
ekonomi neo-klasik. Usaha Robbin untuk memisahkan etika
dengan ilmu ekonomi tidak dapat diterima oleh sejumlah
kalangan, bahkan dalam ilmu ekonomi modern. 20 Ilmu ekonomi
Islam bahkan justru menuntut dimasukkannya secara eksplisit
nilai-nilai etik ke dalam ekonomi, yakni menerima agama
sebagai sumber nilai etik tersebut.21
Upaya membangun sebuah sistem moral ekonomi tidak
hanya membutuhkan perangkat kelembagaan yang secara
formal berlaku, tetapi juga perangkat ilmu yang secara teoritis
Ibid., hal. 253
Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, terj. M.
Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal.
28
21
Ibid., hal. 19
19
20
11
dapat diterapkan. Dengan kata lain kita tidak sekedar perlu
membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang secara normatif
benar-benar sejalan dengan nilai moral yang diharapkan (Islam),
namun
kita
masih
membutuhkan
perangkat
ilmu
untuk
aktualisasinya.22 Untuk membangun konstruksi ilmu yang kokoh
maka kita perlu melacak landasan filosofis yang terdiri dari tiga
kerangka, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Pada tahap ontologi kita perlu menemukan nilai etika
asumtif yang dapat digunakan untuk mengisi kerangka landasan
filsafat ilmu tersebut. Selanjutnya dalam tahap epistemologi kita
akan memerlukan pijakan empirik tertentu sebagai sumber
keabsahan etika yang akan dikembangkan. Pijakan empirik ini
dapat dianggap sebagai kancah pengalaman nilai moral tauhid,
yakni kesatuan dan pembebasan. Dari kajian terhadap dua hal
tersebut, yakni secara filosofis mencoba menggali nilai-nilai
dasar dan instrumental
dalam Islam dan secara empiris
mengambil bahan-bahan kajian dari realitas masyarakat Muslim,
maka sebuah bangunan etika ekonomi menurut Islam mungkin
akan terkonstruk.
Berdasarkan sifatnya yang normatif, maka pendekatan
yang semestinya digunakan dalam persoalan ini adalah dengan
mereformulasikan nilai-nilai etik Islam ke dalam seperangkat
aksioma, yang dapat menyediakan suatu frame work yang
memadai untuk melakukan deduksi, baik mengenai normanorma tingkah laku maupun pedoman-pedoman kebijakan.
Landasan Teologis Etika Lingkungan
Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme
yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju.
A. M. Saefuddin, "Pengantar: Berbagai Arus Pemikiran Ekonomi,"
dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogya: Tiara
Wacana, 1992), hal. xvii.
22
12
Menurutnya,
peniadaan
sakralitas
dalam
era
modern
merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan
proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita
oleh manusia dewasa ini.23 Secara artikulatif, Nasr membongkar
akar-akar
budaya
penyebab
terhadap
modernitas
tercerabutnya
alam
semesta,
yang
dianggapnya
sebagai
tradisional
religius
pandangan
yakni
alam
sebagai
tanda-tanda
kebesaran Tuhan.24
Berbeda
modernitas
dari
yang
wacana
dan
akhir-akhir
ini
corak
banyak
kritik
terhadap
dilontarkan
oleh
berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti
pada
aspek
dilontarkan
Abdullah,
kognitif-konseptual,
oleh
kelompok
mempunyai
kritik
dan
agama-agama,
dimensi
praktis.
koreksi
yang
menurut
Amin
Konsepsi
yang
ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada
dimensi praktis (tingkah manusia).25 Lebih jauh, menurutnya, AlQuran lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah
lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi
terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung
dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif
merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori
dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara
dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis,
seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya
untuk
menyatukan
23
pemikiran
dan
perbuatan
merupakan
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second (Lahore: Suhail
Academy
Press. 1988), hlm. 6.
24
Ibid. hlm. 75.
25
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, hal.116.
13
problem
yang
begitu
mendasar
dalam
diskursus
filsafat
kontemporer.26
Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang
terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran,
berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam
adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total,
yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia.
Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan,
menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam
yang diperintahkan
oleh
Allah.
Ketika
Aisyah,
istri
Nabi
Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika
Nabi adalah seluruh al-Qur’an”. Al-Qur’an tidak mengandung
nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung
instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview.
Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi
berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.
Dalam
lingkungan
Islam,
dibangun
hubungan
oleh
antara
persepsi
individu
moral
dengan
tertentu.
Ini
berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan
oleh Allah kepada mereka di atas bumi ( Khalifat Allah fi
al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan
dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”...Allah telah membuat
kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu
kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah
telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan
di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponenkomponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di
mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut.
26
M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46,
1991, hlm. 91-92.
14
Peran
manusia
tidak
hanya
untuk
menikmati,
menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga
dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan
oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan
dalam al-Qur’an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi
tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya,
dan
menempatkan
gunung-gunung
di
atasnya,
dan
telah
menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain
Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)
Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan
dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga
manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan
lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri.
Sikap
ini,
kata
Shihab,
berbeda
dengan
sikap
sebagian
teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai
tujuan konsumtif.27 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk
menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah
dan menyia-nyiakan (tabdzir).
Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan
oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang
bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-Qur’an menggambarkan:
”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka
berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi
juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak
membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup
maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni
sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual,
bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk
beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat
27
Quraih Shihab, Membumikan al-AQur’an, hal. 296-7
15
untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan
untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya
adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan
untuk bersuci (ketika tidak ada air).
Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik
dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya
dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan
(perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati
keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan kesejahteraan
spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar
kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip
ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya
sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh
(tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai
kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk
wawasan lingkungan, atau environmentalism.
Penutup
Perlakuan terhadap lingkungan sangat terkait dengan worldview yang
berkembang di masyarakat. Pandangan yang berkembang di dunia Barat adalah
bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu (antroposentrisme).
Dengan akalnya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional sehingga dapat
menduduki martabat yang unik, yakni menjadi penguasa alam semesta. Bila
ukuran itu diterjemahkan ke dalam ekonomi, maka yang terjadi adalah tuntutan
pemisahan nilai dari kegiatan ekonomi. Paham ini pada gilirannya tentu akan
memberi kontribusi negatif bagi pelestarian alam.
Jawaban dari kekacauan itu adalah perlunya menggeser pandangan yang
bersifat antroposentris tersebut dengan paham yang menjadikan manusia sebagai
bagian dari kosmologi.
Islam memiliki landasan teologis etika
16
lingkungan yang memandang alam sebagai media bagi manusia
untuk mengabdi kepada Allah.
17
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005.
___________ “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam AlJami’ah, No. 46, 1991
Ahmad, M. Business Ethics in Islam (Pakistan: International
Institute of Islamic Thought, 1995)
Anshen, M. “Changing the Social Contract: A Role for Business,”
dalam Columbia Journal of World Business, Nov-Des, 1980
Badroen, Faisal, (ed.). Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006)
Beekun, Rafik Issa. Islamic Business Ethics (Virginia:
International Institute of Islamic Thought, 1997),
terjemahannya oleh Muhammad, Etika Bisnis Islami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Bertens, K. Pengantar
Kanisius, 2000).
Etika Bisnis
(Yogyakarta:
Penerbit
Buchholz, R.A. Business Environment and Public Policy (New
Jersey: Prentice Hall Inc., 1986).
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) (Yogyakarta: Bentang,
1997).
Donaldson, Thomas dan P. Werhane (ed.). Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach (New Jersey: Prentice
Hall, 1983).
Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam (Leiden, London, and
Kobenhaven: E.J. Brill, 1991), terjemahannya oleh
Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996).
Fieser, J. “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15.
th. 1996
Friedman, M. The Social Responsibility of Business is to
Increase Profit (Harvard: Harvard Business Scholl, 1970).
Gambling, T. dan R. Karim. Business and Accounting Ethics in
Islam (London: Mansell, 1991).
18
Karim, M. Rusli, (ed.). Berbagai Aspek
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).
Ekonomi
Islam
Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (London: The Islamic Foundation, 1981),
terjemahannya oleh Husin Anis dan Asep Hikmat. Etika
dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung; Mizan,
1985)
_____________Islam, Economics, and Society (London: The Islamic
Foundation, 1994), terjemahannya oleh M. Saiful Anam
dan M. Ufuqul Mubin. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Second (Lahore:
Suhail Academy Press. 1988)
Pava, M.L. dan J. Krausz. "The Association between Corporate
Social Responsibility and Financial Performance: The
Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics,
15 (1996).
Qardhawi, Yusuf. Daur al-Qiyam al-Akhlaqiyyah fi al-Iqtisha alIslamy (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995).
Rahadjo, Dawam. "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II," dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995).
Sobirin, Achmad. “Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan ke dalam Corporate Behavior,”
dalam SINERGI, Vol. 1 No. 1, 1998.
Yusuf, Choirul Fuad, "Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif
Lingkungan Global," dalam ULUMUL QUR'AN No. 3, VII,
1997, hal. 14-15.
Triyuwono,
Iwan.
Organisasi
(Yogyakarta: LkiS, 2000).
dan
Akuntansi
Syari’ah
PERSPEKTIF EKOLOGI
Oleh Nafis Irkhami*
*Silahkan dikutip dengan menyebut nama pengarang dan Jurnal Ulumuddin No.
03, th. X, Jan-Juni, 2007 (ISSN: 1410-5608)
Pendahuluan
Perhatian serius terhadap lingkungan hidup sebenarnya
baru mulai disadari pada tahun 1960-an. Persoalan polusi dan
pencemaran
lingkungan
yang
ditimbulkan
oleh
berbagai
perusahaan mulai menggugah kesadaran masyarakat akan
pentingnya
persoalan
ini,
terutama
setelah
ditemukannya
berbagai penyakit yang diduga sebagai akibat pencemaran
lingkungan. Kesadaran tersebut semakin menguat akhir-akhir
ini ketika masyarakat tidak hanya merasakan berbagai penyakit
“baru”, namun juga berbagai bencana alam yang ditimbulkan
dari kerusakan lingkungan.
Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis
modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah
membebani alam di atas ambang toleransi. Tidak ada atau
lemahnya pertimbangan moral dan etika di kalangan pelaku
bisnis dianggap sebagai salah satu faktor penting terjadinya
eskalasi kerusakan lingkungan. Ada kecenderungan pelaku
bisnis hanya mementingkan diri sendiri (self center oriented)
dengan prinsip homo homini lupus.1 Demi menjalankan bisnis
secara efisien, murah dan mendatangkan keuntungan yang
besar,
pelaku
pertimbangan
bisnis
etis
tidak
dalam
lagi
melibatkan
misalnya,
pertimbangan-
membuang
limbah,
merambah hutan dan mengebor sumber daya alam. Dengan kata
Achmad Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan kedalam Corporate Behavior," dalam SINERGI, VOL. 1,
No. 1,1998.
1
2
lain, selama aturan-aturan hukum dipenuhi, tanggung jawab
moral pelaku bisnis hanyalah menyediakan barang dan jasa
dalam rangka memperoleh keuntungan maksimal; di luar itu,
mereka tidak memiliki tanggung jawab moral apapun.2
Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an di Amerika
baru mulai terjadi kristalisasi terhadap pemahaman etika bisnis.
Berbagai perusahaan mulai menyusun kode etik, menempatkan
pejabat struktural yang mengurusi masalah etika dan tanggung
jawab sosial, menyediakan sarana hotline untuk mengantisipasi
komplain masyarakat terhadap produk dan layanan perusahaan
dan sebagainya. Namun, di sisi lain, resistensi terhadap konsep
penerapan etika dalam bisnis masih tetap saja terjadi. Di antara
mereka yang terkenal adalah Milton Friedman dan Theodore
Leavitt (professor marketing dan editor The Harvard Business
Review). Kedua ekonom ini tetap bersikukuh bahwa tanggung
jawab utama suatu perusahaan adalah menghasilkan profit. Bila
perusahaan dituntut untuk berbuat lebih dari itu, maka dinilai
berseberangan dengan prinsip-prinsip free enterprise.3
Persoalan tentang etika
bisnis
dan tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan sesungguhnya terkait dengan
masalah tanggung jawab sosial perusahaan ( corporate social
responsibility). Pembahasan tentang tanggung jawab sosial
perusahaan
ini
akan
menjadi
lebih
jelas
bila
kita
membedakannya dengan tanggung jawab yang lain, yaitu
tanggung jawab ekonomi.4
2
Fieser, J., “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996.
3
Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis…"
4
Dalam pembahasan-pembahasan ekonomi kontemporer, bisnis selalu
dikaitkan dengan dua tanggung jawab; ekonomi dan sosial, lihat misalnya
dalam K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal.
295
3
Tanggung jawab sosial
jawabnya
terhadap
ekonomis.
Dengan
perusahaan adalah tanggung
masyarakat
demikian,
di
bila
luar
kita
tanggung
berbicara
jawab
tentang
tanggung jawab sosial perusahaan, maka dimaksudkan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan
sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara
ekonomis. Menurut Bertens, kegiatan itu bisa terjadi dengan
dua cara: positif dan negatif. Secara positif perusahaan bisa
melakukan kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan
ekonomi, dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan sosial.
Sedangkan secara negatif, perusahaan bisa menahan diri untuk
tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang sebenarnya
menguntungkan
secara
ekonomi,
tetapi
akan
merugikan
masyarakat.5 Kegiatan-kegiatan tersebut, baik positif maupun
negatif, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan dalam praktek,
belum lagi bila terjadi konflik antara kepentingan ekonomis
dengan kepentingan sosial.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa gerakan etika
bisnis merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan
begitu saja. Upaya seperti ini akan terus berlanjut sampai
tercapainya kegiatan bisnis yang lebih bersih, lebih peduli sosial
dan
lingkungan.
Buchholz
(1986)
menganggap
bahwa
perusahaan merupakan bagian dari socio-political system. Jadi
tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas kepada para
stockholder namun juga kepada stakeholders yang lain. Dengan
demikian, perusahaan juga harus memperhatikan harapanharapan
masyarakat
(Anshen,
1980).
Hubungan
antara
perusahaan dengan masyarakat inilah yang disebut sebagai
kontrak sosial. Kontrak sosial, yang merupakan perjanjian tidak
tertulis dan bersifat informal, dengan demikian, tidak memiliki
5
Ibid., hal. 297.
4
sanksi hukum yang tegas. Namun hukuman masyarakat (sanksi
sosial) yang diberikan seringkali memiliki dampak yang sangat
besar bagi perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan mempunyai
komitmen untuk mengimplementasikan kontrak sosial sesuai
dengan harapan masyarakat, maka kontrak tersebut akan
menjadi safety net bagi perusahaan bersangkutan, yang dengan
sendirinya akan membantu perusahaan tersebut meningkatkan
profit dan performance.6
Dapat dipahami bahwa kontrak sosial sesungguhnya
merujuk kepada “kewajiban-kewajiban suatu organisasi untuk
melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat di mana
ia
berada.”7
Tanggung
jawab
yang
diemban
oleh
suatu
perusahaan terdiri dari tiga wilayah: kepada pelaku organisasi,
lingkungan alam, dan kesejahteraan secara umum.8
Berangkat dari deskripsi di atas, persoalan-persoalan yang
akan
diangkat
dalam
tulisan
ini
adalah
bagaimana
sesungguhnya kedudukan etika dalam diskursus ekonomi Islam?
Bagaimanakah konsep dasar (core concept) yang menjadi
pijakan internalisasi etika bisnis tersebut? Secara lebih khusus,
pembahasan tentang etika tersebut akan dikhususkan dalam
persoalan ekologi.
Seluruh persoalan di atas tentu saja akan dianalisis dalam
perspektif ekonomi Islam. Namun sebelum melangkah lebih
jauh, perlu ditegaskan di awal bahwa dalam pandangan penulis,
ekonomi Islam tidak muncul dari “hampa budaya”. Artinya,
memang kita tidak bisa dengan serta merta mengadopsi
M.L. Pava dan J. Krausz, "The Association between Corporate Social
Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam
Journal of Business Ethics, 15 (1996), hal. 326
7
Sebagaimana dikutip dari Jay Barney dan Ricky W. Griffin oleh Rafik
Issa Beekun, Islamic Business Ethic, (Herndon, Virginia, USA: International
Institude of Islamic Thought, 1997), hal. 63
8
Ibid.
6
5
ekonomi positif (konvensional), karena kita telah memiliki
identitas kita sendiri, yaitu worldview Islam. Di sisi lain, kita
juga tidak bisa bersembunyi dan menolak begitu saja ekonomi
konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang telah
hidup dan berkembang di tengah-tengah kita. Oleh karena itu,
pembahasan-pembahasan dalam tulisan ini tidak bisa lepas dari
diskursus ekonomi positif.
Pergulatan Etika dengan Bisnis
Bisnis
mengarah
selama
pada
ini
dipahami
peningkatan
nilai
sebagai
aktivitas
tambah
melalui
yang
proses
penyediaan jasa, perdagangan atau pengolahan barang ( to
provide
products
or
services
for
profit).
Dalam
konteks
perusahaan atau entitas, bisnis dipahami sebagai suatu proses
keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman logika,
bahwa bisnis dirumuskan sebagai maksimalisasi keuntungan
(profit maximization) perusahaan dengan meminimumkan biayabiaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu bisnis seringkali
lebih
menetapkan
pilihan
strategis
daripada
pendirian
berdasarkan nilai (etik). Dalam hal ini pilihan-pilihan strategis
biasanya didasarkan kepada logika subsistem, yakni demi
keuntungan
dan
kelangsungan
hidup
bisnis
itu
sendiri.
Konsekuensi dari kesadaran seperti ini pada akhirnya menuntun
kepada
sikap
bisnis
yang
benar-benar
hanya
mempertimbangkan keuntungan. Bahkan kesadaran seperti ini
telah
menjadi
semacam
jargon
yang
dikenal
luas
dalam
masyarakat bahwa; "bisnis adalah bisnis," atau di Barat
dinyatakan dengan "the business of business is business."
Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya
toleransi,
kesetiaan,
kepercayaan,
persamaan,
religiusitas,
6
tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dipegangi oleh
para pelaku bisnis yang tidak atau kurang berhasil dalam bisnis.
Sementara itu para pelaku bisnis yang sukses banyak berpegang
pada prinsip-prinsip bisnis yang terpisah dari moral, misalnya
maksimalisasi
laba,
agresivitas,
individualitas,
semangat
persaingan, dan manajemen konflik.9 Kondisi seperti ini tidak
hanya terjadi di negara-negara industri maju atau Barat namun
juga di Dunia Timur, citra bisnis tidak selalu baik. Citra negatif
ini, menurut Dawam, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada
dasarnya
bisnis
berasaskan
ketamakan,
keserakahan,
dan
semata-mata berorientasi profit.10
Tidak
hanya
dalam
tataran
praksis,
dalam
tataran
teoritispun banyak ditemui para ilmuwan yang menentang
penerapan moral dan etika ke dalam kegiatan bisnis. Milton
Friedman misalnya, seorang profesor emeritus dari Universitas
Chicago dan pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada tahun
1976, adalah tokoh yang terkenal gigih mempertahankan tesis
pemisahan moral dengan bisnis. Pandangannya tersebut mulai
marak setelah pemuatan tulisannya The Social Responsibility of
Business is to Increase Profits dalam New York Times Magazine,
13 September 1970.11 Friedman berpendapat bahwa doktrin
tanggung jawab sosial dari bisnis akan merusak sistem ekonomi
pasar bebas. Ia menegaskan bahwa satu-satunya tanggung
jawab
perusahaan
memanfaatkan
adalah
sumber
kegiatan-kegiatan
yang
daya
meningkatkan
dan
bertujuan
profit,
melibatkan
untuk
diri
yakni
dalam
meningkatkan
9
Dawam Rahadjo, "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II,"
dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.16.
10
Ibid.
11
Dimuat dalam berbagai bunga rampai tentang etika bisnis, antara
lain misalnya Thomas Donaldson dan P. Werhane (ed.), Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach, (New Jersey: Prentice Hall, 1983).
7
keuntungannya, selama hal itu masih sebatas aturan-aturan
main.12
Lebih jauh, Friedman menyatakan bahwa perusahaan
tidak wajib mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengurangi
polusi
daripada
perusahaan
apa
dan
apa
yang
yang
seperlunya
dituntut
demi
oleh
kepentingan
hukum
demi
terwujudnya tujuan sosial, yakni menjaga lingkungan hidup. 13
Pemikiran ini menunjukkan bahwa tokoh sekaliber Friedman
sekalipun, tidak mengakui urgensi pertimbangan-pertimbangan
etika (lingkungan) dalam kegiatan bisnis.
Kenneth E. Boulding, salah seorang ekonom kontemporer,
dalam suatu karyanya Toward the Development of a Cultural
Economics mencoba menggugat kondisi ekonomi modern yang
menurutnya telah kehilangan arti, makna atau pengertian
kulturalnya, sehingga berubah menjadi suatu disiplin abstrak
yang hampa budaya.14 Perintis ekonomi ekologi ini berpendapat
bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab atas
pereduksian ilmu ekonomi menjadi abstraksi bebas nilai adalah
David Ricardo. Bila dirunut lebih jauh lagi, adalah Alfred
Marshall, Stanley Jevons dan Walras, pendiri aliran Neo-Klasik,
yang
dengan
matematika
ekonominya,
dengan
kalkulus
diferensial dan persamaan simultannya, membawa ilmu ekonomi
semakin jauh dari matriks kultural.15
Pijakan Epistemologis
Ibid., hal. 244: "There is one and only one social responsibility of
business – to use its resources and engage in activities designed to increase
its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, to
engages in open and free competition without deception or fraud."
13
Ibid., hal. 240.
14
Sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam pengantarnya
pada terjemahan S.N.H. Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami
(Bandung: Mizan, 1985), hal. 20.
15
Ibid.
12
8
Konsep dasar (core concept) yang mendasari seluruh
kehidupan umat Islam adalah tawhid. Terkait dengan konsep ini,
Chapra menyatakan bahwa, “On this concept rests its whole
worldview and strategy. Everything else logically emanates from
it...” 16 Menjadi seorang Muslim berarti meyakini ke-esa-an Allah
dan menghadirkan Allah dalam perilaku kesehariannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ketawhidan merupakan konsep
dasar dalam spiritualitas Islam. Sesuai dengan makna literalnya,
Muslim
dapat
diartikan
sebagai
seseorang
yang
telah
menundukkan diri kepada Allah. Dengan penundukan diri
tersebut, seluruh aspek kehidupan muslim harus merujuk
kepada kehendak Tuhan. Dalam pengertian tersebut maka
aspek ekonomi, misalnya, harus menjadi bagian dari agama.
Worldview Islam tersebut akan menjadi starting point,
sekaligus sebagai pembeda dengan ekonomi konvensional yang
menempatkan agama pada wilayah yang berbeda sama sekali
dan tidak dapat disentuh oleh domain lain yang terkait dengan
masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya
domain ekonomi. Agama tidak memiliki campur tangan dengan
urusan materi (ekonomi) manusia. Oleh karena itu, pengejaran
materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu
ekonomi
sekuler,
yang
oleh
Adam
Smith
dan
kemudian
dilanjutkan oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the
wealth (kesejahteraan).
Sebagai
konsekuensinya,
rasionalitas
menuntut
pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai tujuan
akhir yang harus dicapai. Inilah yang menjadi fondasi ilmu
ekonomi konvensional, dari Adam Smith bahkan sampai Keynes.
Definisi
ilmu
ekonomi
yang
populer,
adalah
ilmu
yang
mempelajari bagaimana manusia menggunakan sumber daya
16
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, hal. 202.
9
yang
terbatas
untuk
memenuhi
terbatas, mengilustrasikan
manusia
terhadap
keinginannya
penegasan
kepuasan
akan
material
yang
tidak
kecenderungan
sebanyak-banyaknya
sebagai tujuan akhir.
Dengan demikian, secara ontologis ekonomi mainstream
sangat dipengaruhi oleh physical realism yang menganggap
realitas obyektif berada secara bebas dan terpisah di luar diri
manusia. Dalam hal ini Chua, sebagaimana dikutip oleh Iwan
Triyuwono mengatakan:
Apa yang ada “di luar sana” (obyek) dianggap independen
dari yang mengetahui (subyek), dan pengetahuan dicapai
ketika
subyek
merefleksikan
secara
benar
dan
“menemukan” realitas obyektif...17
Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis
sebenarnya
untuk
merupakan pandangan ontologi yang tidak tepat
memahami
fenomena
sosial.
Menurut
Capra,
para
ilmuwan sosial memang telah mencoba dengan sangat serius
untuk
memperoleh
kehormatan
dengan
cara
mengadopsi
paradigma ala Descartes dan metode-metode fisika ala Newton
(yang mekanistis), namun demikian, kerangka ala Descartes
seringkali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang
mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka menjadi
semakin tidak realistis.18
Lebih jauh Capra mengatakan:
Ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan
reduksionis dan terpecah-pecah... Para ahli ekonomi
biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu
aspek dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial;
Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta:
LkiS, 2000), hal. xvi.
18
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 252-53.
17
10
suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia yang saling
berinteraksi secara terus menerus...19
Secara metodologis, pendekatan dalam ekonomi harus rasional,
obyektif, kualitatif, linear, dan kausal. Namun sesungguhnya
anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas dari nilai
adalah justru merupakan pandangan yang tidak realistis. Setiap
analisis fenomena sosial yang diyakini oleh penelitinya sebagai
“bebas nilai” sesungguhnya didasarkan pada asumsi-asumsi
sistem nilai yang telah terbangun di dalam pikiran peneliti
tersebut. Secara implisit pelibatan nilai tersebut tercermin
dalam pemilihan dan interpretasi data. Penafian isu tentang nilai
justru menjadikan suatu penelitian kurang ilmiah karena di
dalam penelitian itu tidak ada asumsi-asumsi yang mendasari
teori mereka.
Ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam
dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik-sosial
al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan komposisinya maka ia
bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu
ekonomi neo-klasik. Usaha Robbin untuk memisahkan etika
dengan ilmu ekonomi tidak dapat diterima oleh sejumlah
kalangan, bahkan dalam ilmu ekonomi modern. 20 Ilmu ekonomi
Islam bahkan justru menuntut dimasukkannya secara eksplisit
nilai-nilai etik ke dalam ekonomi, yakni menerima agama
sebagai sumber nilai etik tersebut.21
Upaya membangun sebuah sistem moral ekonomi tidak
hanya membutuhkan perangkat kelembagaan yang secara
formal berlaku, tetapi juga perangkat ilmu yang secara teoritis
Ibid., hal. 253
Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, terj. M.
Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal.
28
21
Ibid., hal. 19
19
20
11
dapat diterapkan. Dengan kata lain kita tidak sekedar perlu
membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang secara normatif
benar-benar sejalan dengan nilai moral yang diharapkan (Islam),
namun
kita
masih
membutuhkan
perangkat
ilmu
untuk
aktualisasinya.22 Untuk membangun konstruksi ilmu yang kokoh
maka kita perlu melacak landasan filosofis yang terdiri dari tiga
kerangka, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Pada tahap ontologi kita perlu menemukan nilai etika
asumtif yang dapat digunakan untuk mengisi kerangka landasan
filsafat ilmu tersebut. Selanjutnya dalam tahap epistemologi kita
akan memerlukan pijakan empirik tertentu sebagai sumber
keabsahan etika yang akan dikembangkan. Pijakan empirik ini
dapat dianggap sebagai kancah pengalaman nilai moral tauhid,
yakni kesatuan dan pembebasan. Dari kajian terhadap dua hal
tersebut, yakni secara filosofis mencoba menggali nilai-nilai
dasar dan instrumental
dalam Islam dan secara empiris
mengambil bahan-bahan kajian dari realitas masyarakat Muslim,
maka sebuah bangunan etika ekonomi menurut Islam mungkin
akan terkonstruk.
Berdasarkan sifatnya yang normatif, maka pendekatan
yang semestinya digunakan dalam persoalan ini adalah dengan
mereformulasikan nilai-nilai etik Islam ke dalam seperangkat
aksioma, yang dapat menyediakan suatu frame work yang
memadai untuk melakukan deduksi, baik mengenai normanorma tingkah laku maupun pedoman-pedoman kebijakan.
Landasan Teologis Etika Lingkungan
Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme
yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju.
A. M. Saefuddin, "Pengantar: Berbagai Arus Pemikiran Ekonomi,"
dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogya: Tiara
Wacana, 1992), hal. xvii.
22
12
Menurutnya,
peniadaan
sakralitas
dalam
era
modern
merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan
proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita
oleh manusia dewasa ini.23 Secara artikulatif, Nasr membongkar
akar-akar
budaya
penyebab
terhadap
modernitas
tercerabutnya
alam
semesta,
yang
dianggapnya
sebagai
tradisional
religius
pandangan
yakni
alam
sebagai
tanda-tanda
kebesaran Tuhan.24
Berbeda
modernitas
dari
yang
wacana
dan
akhir-akhir
ini
corak
banyak
kritik
terhadap
dilontarkan
oleh
berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti
pada
aspek
dilontarkan
Abdullah,
kognitif-konseptual,
oleh
kelompok
mempunyai
kritik
dan
agama-agama,
dimensi
praktis.
koreksi
yang
menurut
Amin
Konsepsi
yang
ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada
dimensi praktis (tingkah manusia).25 Lebih jauh, menurutnya, AlQuran lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah
lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi
terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung
dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif
merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori
dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara
dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis,
seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya
untuk
menyatukan
23
pemikiran
dan
perbuatan
merupakan
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second (Lahore: Suhail
Academy
Press. 1988), hlm. 6.
24
Ibid. hlm. 75.
25
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, hal.116.
13
problem
yang
begitu
mendasar
dalam
diskursus
filsafat
kontemporer.26
Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang
terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran,
berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam
adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total,
yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia.
Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan,
menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam
yang diperintahkan
oleh
Allah.
Ketika
Aisyah,
istri
Nabi
Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika
Nabi adalah seluruh al-Qur’an”. Al-Qur’an tidak mengandung
nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung
instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview.
Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi
berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.
Dalam
lingkungan
Islam,
dibangun
hubungan
oleh
antara
persepsi
individu
moral
dengan
tertentu.
Ini
berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan
oleh Allah kepada mereka di atas bumi ( Khalifat Allah fi
al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan
dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”...Allah telah membuat
kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu
kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah
telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan
di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponenkomponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di
mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut.
26
M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46,
1991, hlm. 91-92.
14
Peran
manusia
tidak
hanya
untuk
menikmati,
menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga
dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan
oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan
dalam al-Qur’an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi
tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya,
dan
menempatkan
gunung-gunung
di
atasnya,
dan
telah
menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain
Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)
Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan
dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga
manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan
lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri.
Sikap
ini,
kata
Shihab,
berbeda
dengan
sikap
sebagian
teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai
tujuan konsumtif.27 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk
menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah
dan menyia-nyiakan (tabdzir).
Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan
oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang
bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-Qur’an menggambarkan:
”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka
berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi
juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak
membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup
maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni
sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual,
bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk
beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat
27
Quraih Shihab, Membumikan al-AQur’an, hal. 296-7
15
untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan
untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya
adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan
untuk bersuci (ketika tidak ada air).
Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik
dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya
dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan
(perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati
keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan kesejahteraan
spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar
kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip
ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya
sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh
(tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai
kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk
wawasan lingkungan, atau environmentalism.
Penutup
Perlakuan terhadap lingkungan sangat terkait dengan worldview yang
berkembang di masyarakat. Pandangan yang berkembang di dunia Barat adalah
bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu (antroposentrisme).
Dengan akalnya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional sehingga dapat
menduduki martabat yang unik, yakni menjadi penguasa alam semesta. Bila
ukuran itu diterjemahkan ke dalam ekonomi, maka yang terjadi adalah tuntutan
pemisahan nilai dari kegiatan ekonomi. Paham ini pada gilirannya tentu akan
memberi kontribusi negatif bagi pelestarian alam.
Jawaban dari kekacauan itu adalah perlunya menggeser pandangan yang
bersifat antroposentris tersebut dengan paham yang menjadikan manusia sebagai
bagian dari kosmologi.
Islam memiliki landasan teologis etika
16
lingkungan yang memandang alam sebagai media bagi manusia
untuk mengabdi kepada Allah.
17
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005.
___________ “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam AlJami’ah, No. 46, 1991
Ahmad, M. Business Ethics in Islam (Pakistan: International
Institute of Islamic Thought, 1995)
Anshen, M. “Changing the Social Contract: A Role for Business,”
dalam Columbia Journal of World Business, Nov-Des, 1980
Badroen, Faisal, (ed.). Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006)
Beekun, Rafik Issa. Islamic Business Ethics (Virginia:
International Institute of Islamic Thought, 1997),
terjemahannya oleh Muhammad, Etika Bisnis Islami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Bertens, K. Pengantar
Kanisius, 2000).
Etika Bisnis
(Yogyakarta:
Penerbit
Buchholz, R.A. Business Environment and Public Policy (New
Jersey: Prentice Hall Inc., 1986).
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) (Yogyakarta: Bentang,
1997).
Donaldson, Thomas dan P. Werhane (ed.). Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach (New Jersey: Prentice
Hall, 1983).
Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam (Leiden, London, and
Kobenhaven: E.J. Brill, 1991), terjemahannya oleh
Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996).
Fieser, J. “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15.
th. 1996
Friedman, M. The Social Responsibility of Business is to
Increase Profit (Harvard: Harvard Business Scholl, 1970).
Gambling, T. dan R. Karim. Business and Accounting Ethics in
Islam (London: Mansell, 1991).
18
Karim, M. Rusli, (ed.). Berbagai Aspek
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).
Ekonomi
Islam
Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (London: The Islamic Foundation, 1981),
terjemahannya oleh Husin Anis dan Asep Hikmat. Etika
dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung; Mizan,
1985)
_____________Islam, Economics, and Society (London: The Islamic
Foundation, 1994), terjemahannya oleh M. Saiful Anam
dan M. Ufuqul Mubin. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Second (Lahore:
Suhail Academy Press. 1988)
Pava, M.L. dan J. Krausz. "The Association between Corporate
Social Responsibility and Financial Performance: The
Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics,
15 (1996).
Qardhawi, Yusuf. Daur al-Qiyam al-Akhlaqiyyah fi al-Iqtisha alIslamy (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995).
Rahadjo, Dawam. "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II," dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995).
Sobirin, Achmad. “Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan ke dalam Corporate Behavior,”
dalam SINERGI, Vol. 1 No. 1, 1998.
Yusuf, Choirul Fuad, "Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif
Lingkungan Global," dalam ULUMUL QUR'AN No. 3, VII,
1997, hal. 14-15.
Triyuwono,
Iwan.
Organisasi
(Yogyakarta: LkiS, 2000).
dan
Akuntansi
Syari’ah