INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM PERSPEK

INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM:
PERSPEKTIF EKOLOGI
Oleh Nafis Irkhami*
*Silahkan dikutip dengan menyebut nama pengarang dan Jurnal Ulumuddin No.
03, th. X, Jan-Juni, 2007 (ISSN: 1410-5608)

Pendahuluan
Perhatian serius terhadap lingkungan hidup sebenarnya
baru mulai disadari pada tahun 1960-an. Persoalan polusi dan
pencemaran

lingkungan

yang

ditimbulkan

oleh

berbagai


perusahaan mulai menggugah kesadaran masyarakat akan
pentingnya

persoalan

ini,

terutama

setelah

ditemukannya

berbagai penyakit yang diduga sebagai akibat pencemaran
lingkungan. Kesadaran tersebut semakin menguat akhir-akhir
ini ketika masyarakat tidak hanya merasakan berbagai penyakit
“baru”, namun juga berbagai bencana alam yang ditimbulkan
dari kerusakan lingkungan.
Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis
modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah

membebani alam di atas ambang toleransi. Tidak ada atau
lemahnya pertimbangan moral dan etika di kalangan pelaku
bisnis dianggap sebagai salah satu faktor penting terjadinya
eskalasi kerusakan lingkungan. Ada kecenderungan pelaku
bisnis hanya mementingkan diri sendiri (self center oriented)
dengan prinsip homo homini lupus.1 Demi menjalankan bisnis
secara efisien, murah dan mendatangkan keuntungan yang
besar,

pelaku

pertimbangan

bisnis
etis

tidak
dalam

lagi


melibatkan

misalnya,

pertimbangan-

membuang

limbah,

merambah hutan dan mengebor sumber daya alam. Dengan kata
Achmad Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan kedalam Corporate Behavior," dalam SINERGI, VOL. 1,
No. 1,1998.
1

2

lain, selama aturan-aturan hukum dipenuhi, tanggung jawab

moral pelaku bisnis hanyalah menyediakan barang dan jasa
dalam rangka memperoleh keuntungan maksimal; di luar itu,
mereka tidak memiliki tanggung jawab moral apapun.2
Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an di Amerika
baru mulai terjadi kristalisasi terhadap pemahaman etika bisnis.
Berbagai perusahaan mulai menyusun kode etik, menempatkan
pejabat struktural yang mengurusi masalah etika dan tanggung
jawab sosial, menyediakan sarana hotline untuk mengantisipasi
komplain masyarakat terhadap produk dan layanan perusahaan
dan sebagainya. Namun, di sisi lain, resistensi terhadap konsep
penerapan etika dalam bisnis masih tetap saja terjadi. Di antara
mereka yang terkenal adalah Milton Friedman dan Theodore
Leavitt (professor marketing dan editor The Harvard Business

Review). Kedua ekonom ini tetap bersikukuh bahwa tanggung
jawab utama suatu perusahaan adalah menghasilkan profit. Bila
perusahaan dituntut untuk berbuat lebih dari itu, maka dinilai
berseberangan dengan prinsip-prinsip free enterprise.3
Persoalan tentang etika


bisnis

dan tanggung jawab

perusahaan terhadap lingkungan sesungguhnya terkait dengan
masalah tanggung jawab sosial perusahaan ( corporate social

responsibility). Pembahasan tentang tanggung jawab sosial
perusahaan

ini

akan

menjadi

lebih

jelas


bila

kita

membedakannya dengan tanggung jawab yang lain, yaitu
tanggung jawab ekonomi.4

2

Fieser, J., “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996.
3
Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis…"
4
Dalam pembahasan-pembahasan ekonomi kontemporer, bisnis selalu
dikaitkan dengan dua tanggung jawab; ekonomi dan sosial, lihat misalnya
dalam K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal.
295

3


Tanggung jawab sosial
jawabnya

terhadap

ekonomis.

Dengan

perusahaan adalah tanggung

masyarakat
demikian,

di

bila

luar

kita

tanggung
berbicara

jawab
tentang

tanggung jawab sosial perusahaan, maka dimaksudkan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan
sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara
ekonomis. Menurut Bertens, kegiatan itu bisa terjadi dengan
dua cara: positif dan negatif. Secara positif perusahaan bisa
melakukan kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan
ekonomi, dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan sosial.
Sedangkan secara negatif, perusahaan bisa menahan diri untuk
tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang sebenarnya
menguntungkan

secara


ekonomi,

tetapi

akan

merugikan

masyarakat.5 Kegiatan-kegiatan tersebut, baik positif maupun
negatif, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan dalam praktek,
belum lagi bila terjadi konflik antara kepentingan ekonomis
dengan kepentingan sosial.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa gerakan etika
bisnis merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan
begitu saja. Upaya seperti ini akan terus berlanjut sampai
tercapainya kegiatan bisnis yang lebih bersih, lebih peduli sosial
dan

lingkungan.


Buchholz

(1986)

menganggap

bahwa

perusahaan merupakan bagian dari socio-political system. Jadi
tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas kepada para

stockholder namun juga kepada stakeholders yang lain. Dengan
demikian, perusahaan juga harus memperhatikan harapanharapan

masyarakat

(Anshen,

1980).


Hubungan

antara

perusahaan dengan masyarakat inilah yang disebut sebagai
kontrak sosial. Kontrak sosial, yang merupakan perjanjian tidak
tertulis dan bersifat informal, dengan demikian, tidak memiliki
5

Ibid., hal. 297.

4

sanksi hukum yang tegas. Namun hukuman masyarakat (sanksi
sosial) yang diberikan seringkali memiliki dampak yang sangat
besar bagi perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan mempunyai
komitmen untuk mengimplementasikan kontrak sosial sesuai
dengan harapan masyarakat, maka kontrak tersebut akan
menjadi safety net bagi perusahaan bersangkutan, yang dengan
sendirinya akan membantu perusahaan tersebut meningkatkan
profit dan performance.6
Dapat dipahami bahwa kontrak sosial sesungguhnya
merujuk kepada “kewajiban-kewajiban suatu organisasi untuk
melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat di mana
ia

berada.”7

Tanggung

jawab

yang

diemban

oleh

suatu

perusahaan terdiri dari tiga wilayah: kepada pelaku organisasi,
lingkungan alam, dan kesejahteraan secara umum.8
Berangkat dari deskripsi di atas, persoalan-persoalan yang
akan

diangkat

dalam

tulisan

ini

adalah

bagaimana

sesungguhnya kedudukan etika dalam diskursus ekonomi Islam?
Bagaimanakah konsep dasar (core concept) yang menjadi
pijakan internalisasi etika bisnis tersebut? Secara lebih khusus,
pembahasan tentang etika tersebut akan dikhususkan dalam
persoalan ekologi.
Seluruh persoalan di atas tentu saja akan dianalisis dalam
perspektif ekonomi Islam. Namun sebelum melangkah lebih
jauh, perlu ditegaskan di awal bahwa dalam pandangan penulis,
ekonomi Islam tidak muncul dari “hampa budaya”. Artinya,
memang kita tidak bisa dengan serta merta mengadopsi
M.L. Pava dan J. Krausz, "The Association between Corporate Social
Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam
Journal of Business Ethics, 15 (1996), hal. 326
7
Sebagaimana dikutip dari Jay Barney dan Ricky W. Griffin oleh Rafik
Issa Beekun, Islamic Business Ethic, (Herndon, Virginia, USA: International
Institude of Islamic Thought, 1997), hal. 63
8
Ibid.
6

5

ekonomi positif (konvensional), karena kita telah memiliki
identitas kita sendiri, yaitu worldview Islam. Di sisi lain, kita
juga tidak bisa bersembunyi dan menolak begitu saja ekonomi
konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang telah
hidup dan berkembang di tengah-tengah kita. Oleh karena itu,
pembahasan-pembahasan dalam tulisan ini tidak bisa lepas dari
diskursus ekonomi positif.
Pergulatan Etika dengan Bisnis
Bisnis
mengarah

selama
pada

ini

dipahami

peningkatan

nilai

sebagai

aktivitas

tambah

melalui

yang
proses

penyediaan jasa, perdagangan atau pengolahan barang ( to

provide

products

or

services

for

profit).

Dalam

konteks

perusahaan atau entitas, bisnis dipahami sebagai suatu proses
keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman logika,
bahwa bisnis dirumuskan sebagai maksimalisasi keuntungan
(profit maximization) perusahaan dengan meminimumkan biayabiaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu bisnis seringkali
lebih

menetapkan

pilihan

strategis

daripada

pendirian

berdasarkan nilai (etik). Dalam hal ini pilihan-pilihan strategis
biasanya didasarkan kepada logika subsistem, yakni demi
keuntungan

dan

kelangsungan

hidup

bisnis

itu

sendiri.

Konsekuensi dari kesadaran seperti ini pada akhirnya menuntun
kepada

sikap

bisnis

yang

benar-benar

hanya

mempertimbangkan keuntungan. Bahkan kesadaran seperti ini
telah

menjadi

semacam

jargon

yang

dikenal

luas

dalam

masyarakat bahwa; "bisnis adalah bisnis," atau di Barat
dinyatakan dengan "the business of business is business."
Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya
toleransi,

kesetiaan,

kepercayaan,

persamaan,

religiusitas,

6

tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dipegangi oleh
para pelaku bisnis yang tidak atau kurang berhasil dalam bisnis.
Sementara itu para pelaku bisnis yang sukses banyak berpegang
pada prinsip-prinsip bisnis yang terpisah dari moral, misalnya
maksimalisasi

laba,

agresivitas,

individualitas,

semangat

persaingan, dan manajemen konflik.9 Kondisi seperti ini tidak
hanya terjadi di negara-negara industri maju atau Barat namun
juga di Dunia Timur, citra bisnis tidak selalu baik. Citra negatif
ini, menurut Dawam, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada
dasarnya

bisnis

berasaskan

ketamakan,

keserakahan,

dan

semata-mata berorientasi profit.10
Tidak

hanya

dalam

tataran

praksis,

dalam

tataran

teoritispun banyak ditemui para ilmuwan yang menentang
penerapan moral dan etika ke dalam kegiatan bisnis. Milton
Friedman misalnya, seorang profesor emeritus dari Universitas
Chicago dan pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada tahun
1976, adalah tokoh yang terkenal gigih mempertahankan tesis
pemisahan moral dengan bisnis. Pandangannya tersebut mulai
marak setelah pemuatan tulisannya The Social Responsibility of

Business is to Increase Profits dalam New York Times Magazine,
13 September 1970.11 Friedman berpendapat bahwa doktrin
tanggung jawab sosial dari bisnis akan merusak sistem ekonomi
pasar bebas. Ia menegaskan bahwa satu-satunya tanggung
jawab

perusahaan

memanfaatkan

adalah

sumber

kegiatan-kegiatan

yang

daya

meningkatkan
dan

bertujuan

profit,

melibatkan
untuk

diri

yakni
dalam

meningkatkan

9
Dawam Rahadjo, "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II,"
dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.16.
10
Ibid.
11
Dimuat dalam berbagai bunga rampai tentang etika bisnis, antara
lain misalnya Thomas Donaldson dan P. Werhane (ed.), Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach, (New Jersey: Prentice Hall, 1983).

7

keuntungannya, selama hal itu masih sebatas aturan-aturan
main.12
Lebih jauh, Friedman menyatakan bahwa perusahaan
tidak wajib mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengurangi
polusi

daripada

perusahaan

apa

dan

apa

yang
yang

seperlunya
dituntut

demi
oleh

kepentingan
hukum

demi

terwujudnya tujuan sosial, yakni menjaga lingkungan hidup. 13
Pemikiran ini menunjukkan bahwa tokoh sekaliber Friedman
sekalipun, tidak mengakui urgensi pertimbangan-pertimbangan
etika (lingkungan) dalam kegiatan bisnis.
Kenneth E. Boulding, salah seorang ekonom kontemporer,
dalam suatu karyanya Toward the Development of a Cultural

Economics mencoba menggugat kondisi ekonomi modern yang
menurutnya telah kehilangan arti, makna atau pengertian
kulturalnya, sehingga berubah menjadi suatu disiplin abstrak
yang hampa budaya.14 Perintis ekonomi ekologi ini berpendapat
bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab atas
pereduksian ilmu ekonomi menjadi abstraksi bebas nilai adalah
David Ricardo. Bila dirunut lebih jauh lagi, adalah Alfred
Marshall, Stanley Jevons dan Walras, pendiri aliran Neo-Klasik,
yang

dengan

matematika

ekonominya,

dengan

kalkulus

diferensial dan persamaan simultannya, membawa ilmu ekonomi
semakin jauh dari matriks kultural.15

Pijakan Epistemologis
Ibid., hal. 244: "There is one and only one social responsibility of
business – to use its resources and engage in activities designed to increase
its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, to
engages in open and free competition without deception or fraud."
13
Ibid., hal. 240.
14
Sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam pengantarnya
pada terjemahan S.N.H. Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami
(Bandung: Mizan, 1985), hal. 20.
15
Ibid.
12

8

Konsep dasar (core concept) yang mendasari seluruh
kehidupan umat Islam adalah tawhid. Terkait dengan konsep ini,
Chapra menyatakan bahwa, “On this concept rests its whole

worldview and strategy. Everything else logically emanates from
it...” 16 Menjadi seorang Muslim berarti meyakini ke-esa-an Allah
dan menghadirkan Allah dalam perilaku kesehariannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ketawhidan merupakan konsep
dasar dalam spiritualitas Islam. Sesuai dengan makna literalnya,
Muslim

dapat

diartikan

sebagai

seseorang

yang

telah

menundukkan diri kepada Allah. Dengan penundukan diri
tersebut, seluruh aspek kehidupan muslim harus merujuk
kepada kehendak Tuhan. Dalam pengertian tersebut maka
aspek ekonomi, misalnya, harus menjadi bagian dari agama.

Worldview Islam tersebut akan menjadi starting point,
sekaligus sebagai pembeda dengan ekonomi konvensional yang
menempatkan agama pada wilayah yang berbeda sama sekali
dan tidak dapat disentuh oleh domain lain yang terkait dengan
masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya
domain ekonomi. Agama tidak memiliki campur tangan dengan
urusan materi (ekonomi) manusia. Oleh karena itu, pengejaran
materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu
ekonomi

sekuler,

yang

oleh

Adam

Smith

dan

kemudian

dilanjutkan oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the

wealth (kesejahteraan).
Sebagai

konsekuensinya,

rasionalitas

menuntut

pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai tujuan
akhir yang harus dicapai. Inilah yang menjadi fondasi ilmu
ekonomi konvensional, dari Adam Smith bahkan sampai Keynes.
Definisi

ilmu

ekonomi

yang

populer,

adalah

ilmu

yang

mempelajari bagaimana manusia menggunakan sumber daya
16

M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, hal. 202.

9

yang

terbatas

untuk

memenuhi

terbatas, mengilustrasikan
manusia

terhadap

keinginannya

penegasan

kepuasan

akan

material

yang

tidak

kecenderungan

sebanyak-banyaknya

sebagai tujuan akhir.
Dengan demikian, secara ontologis ekonomi mainstream
sangat dipengaruhi oleh physical realism yang menganggap
realitas obyektif berada secara bebas dan terpisah di luar diri
manusia. Dalam hal ini Chua, sebagaimana dikutip oleh Iwan
Triyuwono mengatakan:
Apa yang ada “di luar sana” (obyek) dianggap independen
dari yang mengetahui (subyek), dan pengetahuan dicapai
ketika
subyek
merefleksikan
secara
benar
dan
“menemukan” realitas obyektif...17
Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis
sebenarnya
untuk

merupakan pandangan ontologi yang tidak tepat

memahami

fenomena

sosial.

Menurut

Capra,

para

ilmuwan sosial memang telah mencoba dengan sangat serius
untuk

memperoleh

kehormatan

dengan

cara

mengadopsi

paradigma ala Descartes dan metode-metode fisika ala Newton
(yang mekanistis), namun demikian, kerangka ala Descartes
seringkali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang
mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka menjadi
semakin tidak realistis.18
Lebih jauh Capra mengatakan:
Ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan
reduksionis dan terpecah-pecah... Para ahli ekonomi
biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu
aspek dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial;

Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta:
LkiS, 2000), hal. xvi.
18
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) yogyakarta: Bentang, 1997), hal. 252-53.
17

10

suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia yang saling
berinteraksi secara terus menerus...19
Secara metodologis, pendekatan dalam ekonomi harus rasional,
obyektif, kualitatif, linear, dan kausal. Namun sesungguhnya
anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas dari nilai
adalah justru merupakan pandangan yang tidak realistis. Setiap
analisis fenomena sosial yang diyakini oleh penelitinya sebagai
“bebas nilai” sesungguhnya didasarkan pada asumsi-asumsi
sistem nilai yang telah terbangun di dalam pikiran peneliti
tersebut. Secara implisit pelibatan nilai tersebut tercermin
dalam pemilihan dan interpretasi data. Penafian isu tentang nilai
justru menjadikan suatu penelitian kurang ilmiah karena di
dalam penelitian itu tidak ada asumsi-asumsi yang mendasari
teori mereka.
Ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam
dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik-sosial
al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan komposisinya maka ia
bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu
ekonomi neo-klasik. Usaha Robbin untuk memisahkan etika
dengan ilmu ekonomi tidak dapat diterima oleh sejumlah
kalangan, bahkan dalam ilmu ekonomi modern. 20 Ilmu ekonomi
Islam bahkan justru menuntut dimasukkannya secara eksplisit
nilai-nilai etik ke dalam ekonomi, yakni menerima agama
sebagai sumber nilai etik tersebut.21
Upaya membangun sebuah sistem moral ekonomi tidak
hanya membutuhkan perangkat kelembagaan yang secara
formal berlaku, tetapi juga perangkat ilmu yang secara teoritis
Ibid., hal. 253
Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, terj. M.
Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal.
28
21
Ibid., hal. 19
19
20

11

dapat diterapkan. Dengan kata lain kita tidak sekedar perlu
membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang secara normatif
benar-benar sejalan dengan nilai moral yang diharapkan (Islam),
namun

kita

masih

membutuhkan

perangkat

ilmu

untuk

aktualisasinya.22 Untuk membangun konstruksi ilmu yang kokoh
maka kita perlu melacak landasan filosofis yang terdiri dari tiga
kerangka, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Pada tahap ontologi kita perlu menemukan nilai etika
asumtif yang dapat digunakan untuk mengisi kerangka landasan
filsafat ilmu tersebut. Selanjutnya dalam tahap epistemologi kita
akan memerlukan pijakan empirik tertentu sebagai sumber
keabsahan etika yang akan dikembangkan. Pijakan empirik ini
dapat dianggap sebagai kancah pengalaman nilai moral tauhid,
yakni kesatuan dan pembebasan. Dari kajian terhadap dua hal
tersebut, yakni secara filosofis mencoba menggali nilai-nilai
dasar dan instrumental

dalam Islam dan secara empiris

mengambil bahan-bahan kajian dari realitas masyarakat Muslim,
maka sebuah bangunan etika ekonomi menurut Islam mungkin
akan terkonstruk.
Berdasarkan sifatnya yang normatif, maka pendekatan
yang semestinya digunakan dalam persoalan ini adalah dengan
mereformulasikan nilai-nilai etik Islam ke dalam seperangkat
aksioma, yang dapat menyediakan suatu frame work yang
memadai untuk melakukan deduksi, baik mengenai normanorma tingkah laku maupun pedoman-pedoman kebijakan.

Landasan Teologis Etika Lingkungan
Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme
yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju.
A. M. Saefuddin, "Pengantar: Berbagai Arus Pemikiran Ekonomi,"
dalam M. Rusli Karim (ed.), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogya: Tiara
Wacana, 1992), hal. xvii.
22

12

Menurutnya,

peniadaan

sakralitas

dalam

era

modern

merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan
proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita
oleh manusia dewasa ini.23 Secara artikulatif, Nasr membongkar
akar-akar

budaya

penyebab
terhadap

modernitas

tercerabutnya
alam

semesta,

yang

dianggapnya

sebagai

tradisional

religius

pandangan
yakni

alam

sebagai

tanda-tanda

kebesaran Tuhan.24
Berbeda
modernitas

dari

yang

wacana

dan

akhir-akhir

ini

corak
banyak

kritik

terhadap

dilontarkan

oleh

berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti
pada

aspek

dilontarkan
Abdullah,

kognitif-konseptual,
oleh

kelompok

mempunyai

kritik

dan

agama-agama,

dimensi

praktis.

koreksi

yang

menurut

Amin

Konsepsi

yang

ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada
dimensi praktis (tingkah manusia).25 Lebih jauh, menurutnya, AlQuran lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah
lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi
terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung
dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif
merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori
dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara
dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis,
seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya
untuk

menyatukan

23

pemikiran

dan

perbuatan

merupakan

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second (Lahore: Suhail
Academy
Press. 1988), hlm. 6.
24
Ibid. hlm. 75.
25
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, hal.116.

13

problem

yang

begitu

mendasar

dalam

diskursus

filsafat

kontemporer.26
Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang
terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran,
berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam
adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total,
yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia.
Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan,
menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam
yang diperintahkan

oleh

Allah.

Ketika

Aisyah,

istri

Nabi

Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika
Nabi adalah seluruh al-Qur’an”. Al-Qur’an tidak mengandung
nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung
instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview.
Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi
berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.
Dalam
lingkungan

Islam,
dibangun

hubungan
oleh

antara

persepsi

individu

moral

dengan

tertentu.

Ini

berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan
oleh Allah kepada mereka di atas bumi ( Khalifat Allah fi

al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan
dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”...Allah telah membuat
kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu
kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah
telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan
di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponenkomponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di
mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut.
26

M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46,
1991, hlm. 91-92.

14

Peran

manusia

tidak

hanya

untuk

menikmati,

menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga
dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan
oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan
dalam al-Qur’an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi
tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya,
dan

menempatkan

gunung-gunung

di

atasnya,

dan

telah

menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain
Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)
Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan
dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga
manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri,
namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan
lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri.
Sikap

ini,

kata

Shihab,

berbeda

dengan

sikap

sebagian

teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai
tujuan konsumtif.27 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk
menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah
dan menyia-nyiakan (tabdzir).
Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan
oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang
bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-Qur’an menggambarkan:
”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka
berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi
juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak
membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup
maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni
sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual,
bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk
beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat
27

Quraih Shihab, Membumikan al-AQur’an, hal. 296-7

15

untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan
untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya
adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan
untuk bersuci (ketika tidak ada air).
Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik
dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya
dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan
(perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati
keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan kesejahteraan
spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar
kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip
ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya
sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh
(tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai
kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk
wawasan lingkungan, atau environmentalism.

Penutup
Perlakuan terhadap lingkungan sangat terkait dengan worldview yang
berkembang di masyarakat. Pandangan yang berkembang di dunia Barat adalah
bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu (antroposentrisme).
Dengan akalnya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional sehingga dapat
menduduki martabat yang unik, yakni menjadi penguasa alam semesta. Bila
ukuran itu diterjemahkan ke dalam ekonomi, maka yang terjadi adalah tuntutan
pemisahan nilai dari kegiatan ekonomi. Paham ini pada gilirannya tentu akan
memberi kontribusi negatif bagi pelestarian alam.
Jawaban dari kekacauan itu adalah perlunya menggeser pandangan yang
bersifat antroposentris tersebut dengan paham yang menjadikan manusia sebagai
bagian dari kosmologi.

Islam memiliki landasan teologis etika

16

lingkungan yang memandang alam sebagai media bagi manusia
untuk mengabdi kepada Allah.

17

Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif
Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005.
___________ “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:
Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam AlJami’ah, No. 46, 1991
Ahmad, M. Business Ethics in Islam (Pakistan: International
Institute of Islamic Thought, 1995)
Anshen, M. “Changing the Social Contract: A Role for Business,”
dalam Columbia Journal of World Business, Nov-Des, 1980
Badroen, Faisal, (ed.). Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006)
Beekun, Rafik Issa. Islamic Business Ethics (Virginia:
International Institute of Islamic Thought, 1997),
terjemahannya oleh Muhammad, Etika Bisnis Islami,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Bertens, K. Pengantar
Kanisius, 2000).

Etika Bisnis

(Yogyakarta:

Penerbit

Buchholz, R.A. Business Environment and Public Policy (New
Jersey: Prentice Hall Inc., 1986).
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.) (Yogyakarta: Bentang,
1997).
Donaldson, Thomas dan P. Werhane (ed.). Ethical Issues in
Business. A Philosophical Approach (New Jersey: Prentice
Hall, 1983).
Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam (Leiden, London, and
Kobenhaven: E.J. Brill, 1991), terjemahannya oleh
Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996).
Fieser, J. “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the
Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15.
th. 1996
Friedman, M. The Social Responsibility of Business is to
Increase Profit (Harvard: Harvard Business Scholl, 1970).
Gambling, T. dan R. Karim. Business and Accounting Ethics in
Islam (London: Mansell, 1991).

18

Karim, M. Rusli, (ed.). Berbagai Aspek
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).

Ekonomi

Islam

Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis (London: The Islamic Foundation, 1981),
terjemahannya oleh Husin Anis dan Asep Hikmat. Etika
dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung; Mizan,
1985)
_____________Islam, Economics, and Society (London: The Islamic
Foundation, 1994), terjemahannya oleh M. Saiful Anam
dan M. Ufuqul Mubin. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Second (Lahore:
Suhail Academy Press. 1988)
Pava, M.L. dan J. Krausz. "The Association between Corporate
Social Responsibility and Financial Performance: The
Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics,
15 (1996).
Qardhawi, Yusuf. Daur al-Qiyam al-Akhlaqiyyah fi al-Iqtisha alIslamy (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995).
Rahadjo, Dawam. "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II," dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995).
Sobirin, Achmad. “Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan ke dalam Corporate Behavior,”
dalam SINERGI, Vol. 1 No. 1, 1998.
Yusuf, Choirul Fuad, "Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif
Lingkungan Global," dalam ULUMUL QUR'AN No. 3, VII,
1997, hal. 14-15.
Triyuwono,
Iwan.
Organisasi
(Yogyakarta: LkiS, 2000).

dan

Akuntansi

Syari’ah