Respon Residen Terhadap Program Therapeutic Community (TC) oleh Panti Rehabilitasi Narkoba Al-kamal Sibolangit Centre

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon

2.1.1 Pengertian Respon

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata respon memiliki definisi sebagai tanggapan, reaksi ataupun jawaban. Respon menurut Darl Beum berarti tingkah laku balasan atau sikap yang menjadi tingkah laku adu kuat (Wirawan, 2000 : 96). Respon juga merupakan kesan-kesan yang mendalam yang dialami jika perangsang sudah tidak ada (Kartono, 2003 : 57).

Dalam ilmu psikologi, para psikolog menggunakan istilah respon untuk menamakan reaksi terhadap rangsangan yang diterima oleh panca indera, dan biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan oleh perangsangan. Teori Behaviorisme menggunakan istilah respon yang dipasangkan dengan rangsangan dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa respon merupakan tanggapan atas rangsangan yang diterima oleh panca indera. Kemudian diikuti oleh reaksi yang diwujudkan dalam tindakan atau bentuk perilaku terhadap rangsangan yang diterima tersebut.

2.1.2 Proses Terjadinya Respon

Terdapat beberapa gejala terjadinya respon berawal dari pengamatan hingga berpikir. Gejala tersebut menurut Suryabrata adalah sebagai berikut :


(2)

1. Pengamatan, yaitu kesan-kesan yang diterima sewaktu perangsang mengenai indera dan perangsangnya masih ada. Pengamatan ini merupakan bagian dari kesadaran dan pikiran yang merupakan abstraksi yang dikeluarkan dari arus kesadaran.

2. Bayangan pengiring, yaitu bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu warna. Bayangan pengiring itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bayangan pengiring positif yakni bayangan pengiring yang sama dengan objeknya, serta bayangan pengiring negatif adalah bayangan pengiring yang tidak sama dengan warna objeknya.

3. Bayangan editik, yaitu bayangan yang sangat jelas dan hidup sehingga menyerupai pengamatan. Respon, yaitu bayangan yang menjadi kesan yang dihasilakn dari pengamatan. Respon diperoleh dari penginderaan dan pengamatan.

Jadi respon terjadi melalui beberapa proses yaitu pertama-tama indera mengamati objek tertentu, setelah itu muncul bayangan pengiring yang berlangsung sangat singkat sesaat sesudah perangsang berlalu. Setelah bayangan perangsang muncul kemudian bayangan editis, bayangan ini sifatnya lebih tahan lama, lebih jelas dari bayangan perangsang. Lalu setelah itu muncul tanggapan dan kemudian pengertian (http://repository.usu.ac.id/ diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 17:37 WIB).

2.1.3 Indikator Respon

Dalam penelitian ini, respon akan diukur melalui tiga aspek yaitu persepsi, sikap, dan partisipasi. Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana


(3)

cara seseorang melihat sesuatu sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Menurut Morgan, King, dan Robingson persepsi menunjukan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mencium dunia sekitar, yang dengan kata lain persepsi dapat juga didefinisikan sebagai gejala suatu yang dialami oleh manusia.

Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima panca indera (disebut juga sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak dimana dikodekan serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Jadi persepsi merupakan suatu proses (Maramis, 2006 : 15-16).

Sikap pada dasarnya adalah rasa suka/tidak suka kita terhadap sesuatu. Sikap penting sekali karena memengaruhi tindakan. Perilaku seseorang juga sering ditentukan oleh sikap mereka. Thursnoe mengatakan, sikap adalah derajat efek positif dan negatif yang dikaitkan dengna objek psikologis. Objek psikologis yang dimaksud adalah lambang-lambang, kalimat, semboyan, institusi, pekerjaan, atau profesi, dan ide yang dapat dibedakn dalam perasan positif atau negatif (Azwar, 2007 : 25).

Pengukuran sikap dapat diketahui melalui : a. Pengaruh atau penolakan.

b. Penilaian.

c. Suka atau tidak suka.

d. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi (Mueller, 1996 : 4). Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat penting dalam mengukur suatu respon. Partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat


(4)

dalam proses yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah dan keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi perubahan yang terjadi (Adi, 2000 : 27). Theodorson dan Sumarto juga mendefinisikan partisipasi sebagai proses anggota masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut memengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung memengaruhi kehidupan mereka (Sulaeman, 2012 : 76).

2.2 Narkoba

2.2.1 Pengertian Narkoba

Istilah narkoba sesuai dengan Surat Edaran Badan Narkotika Nasional (BNN) No SE/03/IV/2002 merupakan akronim dari Narkoba, Psikoptropika, dan Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat-zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang.

I. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. (Undang-undang Nomor 22, Tahun 1997, tentang Narkotika)


(5)

Jenis-jenis Narkotika Yang Sering Disalahgunakan : A. Ganja

Berupa tanaman segar atau yang dikeringkan. Daun ganja bentuknya memanjang, pinggirannya bergerigi, ujungnya lancip, urat daun memanjang di tengah pangkal hingga ujung bila diraba bagian muka halus dan bagian belakang agak kasar. Jumlah helai daun ganja selalu ganjil yaitu 5, 7, atau 9 helai dan berwarna hijau tua segar dan berubah coklat bila sudah lama dibiarkan karena kena udara dan panas. Penggunaannya, dihisap dari gulungan menyerupai rokok atau dapat juga dihisap dengan menggunakan pipa rokok.

Efek paling buruk dari pemakaian ganja secara kronis dapat menyebabkan kanker paru-paru karena pengaruh kadar tar pada ganja jauh lebih tinggi dari pada kadar tar pada tembakau. Dan penggunaan ganja dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan.Hampir setiap orang yang menjadi pecandu narkoba yang lebih berat seperti heroin pada awalnya mengkonsumsi ganja.

B. Cocain

Berasal dari tanaman coca yang banyak dijumpai di Columbia di Amerika Latin. Berupa bubuk, daun coca, buah coca, cocain Kristal yang bewarna putih.Penggunaannya, dengan cara menghirup melalui hidung dengan menggunakan alat penyedot (sedotan) atau dapat juga dibakar bersama-sama dengan tembakau (rokok), ditelan bersama minuman, atau disuntikan pada pembuluh darah.


(6)

Selanjutnya apabila sudah pada tingkat over dosis atau takaran yang berlebihan dapat menyebabkan kematian, karena serangan dan gangguan pada pernafasan dan terhadap serangan jantung. Disamping itu juga dapat menimbulkan keracunan pada susunan saraf sehingga korban dapat mengalami kejang-kejang, tingkah laku kasar, fikiran yang kacau dan mata gelap. Dampak negatif yang sangat berbahaya dari penyalahgunaan kokain dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak (stroke).

C. Morfin dan Heroin

Berupa serbuk yang bewarna putih, abu-abu, kecoklatan hingga coklat tua. Penggunaannya, dengan cara menghirup asapnya setelah bubuk heroin dibakar di atas kertas timah pembungkus rokok (sniffing) atau dengan menyuntikkannya langsung ke pembuluh darah setelah heroin dilarutkan dalam air.

Efek yang ditimbulkan, menimbulkan rasa mengantuk, lesu, penampilan ―dungu‖ jalan mengambang, rasa sakit seluruh badan, badan gemetar, jantung berdebar-debar, susah tidur dan nafsu makan berkurang, matanya berair dan hidungnya selalu ingusan, problem pada kesehatan; bengkak pada daerah menyuntik, tetanus, HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, problem jantung, dada dan paru-paru, serta sulit buang air besar. Pada wanita mengganggu sirkulasi menstruasi.

Morfin dan Heroin berasal dari getah opium yang membeku sendiri dari tanaman Papaver Somniferum. Dengan melalui proses pengolahan dapat menghasilkan Morfin. Kemudian dengan proses tertentu dapat menghasilkan Heroin yang mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin.


(7)

Gejala putus zat (sakaw) adalah sangat menyiksa sehingga yang bersangkutan akan berusaha untuk mengkonsumsi heroin. Oleh karena itu, pecandu heroin akan berusaha dengan cara apapun dan resiko apapun guna memperoleh heroin. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan- tindakan kekerasan atau kejahatan, misalnya mencuri, menodong, merampok, dan melakukan pembunuhan. Telah banyak remaja puteri yang terlibat pelacuran (menjual diri) hanya sekedar untuk mendapatkan uang guna membeli heroin.

Pecandu heroin sangat sulit untuk mengehentikan pemakaian heroin dan cenderung untuk mengkonsumsi dalam jumlah/dosis semakin bertambah dan sesering mungkin. Akibatnya over dosis.

D. Ekstasy

Berupa tablet dan kapsul dan bewarna bermacam-macam. Penggunaannya, ditelan. Efek yang akan ditimbulkan, rasa gembira secara berlebihan. Banyak orang mengkonsumsi ekstasy untuk tujuan bersenang- senang. Ekstasy hanya digunakan oleh anak-anak muda agar dapat berpesta/diskotik sepanjang malam. Karena saking gembiranya kadang- kadang sampai lepas kendali sehingga tidak malu untuk melakukan pesta seks.

Pemakaian ecstasy dapat mendorong tubuh untuk melakukan aktifitas yang melampui batas kemampuannya. Akibatnya dapat menyebabkan kekurangan cairan pada tubuh (dehidrasi) karena terlalu banyak menggerakkan tenaga dan terlalu banyak berkeringat. Pada pemakaiannya


(8)

yang berlebihan (over dosis) mengakibatkan penglihatan kabur, mudah tersinggung (pemarah), tekanan darah meningkat, nafsu makan berkurang dan denyut jantung bertambah cepat. Kematian sering terjadi karena pemakaian yang berlebihan yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah diotak (stroke).

E. Shabu

Berupa kristal yang bewarna putih. Penggunaannya, dibakar dengan menggunakan aluminium foil dan asapnya dihirup melalui hidung. Dibakar dengan menggunakan botol kaca khusus (bong) dan disuntikkan.

Penggunaan shabu mendorong tubuh melakukan aktifitas yang melampaui batas kemampuan fisik/berkeringat secara berlebihan, sehingga dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh (dehidrasi). Bagi mereka yang sudah ketagihan, apabila pemakaiannya dihentikan (putus zat) akan timbul gejala-gejala seperti merasa lelah dan tidak berdaya dan tidak berdaya (stamina menurun), kehilangan semangat hidup (ingin bunuh diri), merasa cemas dan gelisah secara berlebihan, kehilangan rasa percaya diri, susah tidur.

II. Psikotropika

Zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Dalam bidang Farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:


(9)

a. Golongan Psikostimulansi

Jenis zat yang menimbulkan rangsangan. Jenis obat yang tergolong ini:

a) Amfetamine (lebih popular dikalangan masyarakat sebagai shabu dan ecstasy).

b) Desamfetamine. b. Golongan Psikodepresan

Golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas. Merupakan jenis obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas. Jenis obat yang termasuk golongan ini:

a) Amobarbital. b) Phenol karkital. c) Penti karkital.

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, dimasukkan dalam golongan III yaitu jenis psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak disalahgunakan untuk terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.

c. Golongan Sedativa

Jenis-jenis obat-obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi. Jenis obat yang masuk golongan ini adalah Diazepam, Klobazam, Bromazepam, Fenibarbital, Barbital, Klonazepam, Klordiazepam, Klordiazepoxide, Nitrazezam.


(10)

III. Zat Adiktif

Bahan-bahan aktif atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) yaitu keinginan untuk menggunakan kembali secara terus menerus.

Yang tergolong zat adiktif yang menimbulkan ketergantungan, yaitu: A. Alkohol (ethanol atau ethyl alcohol)

Hasil fermentasi/peragian karbohidrat; dari buir padi-padian, cassava, sari buah anggur, nira. Kadar alkohol minuman yang diperoleh melalui proses fermentasi tidak lebih dari 14%, karena ketika kadar alkohol mencapai 14%, mikroba raginya mati. Alkohol yang disebut methyl alkohol adalah jenis alkohol yang sangat berbahaya. Kadar alkohol dari bir 3-5%, Wine 10-14%,Whisky, Rhum, Gin, Vodka, dan Brendy, antara 40-50%. Manusia sudah sejak lebih dari lima millennia mengkonsumsi minuman beralkohol.

Akibat ditimbulkan oleh alcohol bagi kesehatan adalah: a. Menyebabkan depresi pada sistem syaraf pusat.

b. Jika penggunaan dicampur dengan obat lain sipemakai akan pingsan atau kejang-kejang tidak sadar diri.

c. Menyebabkan oedema otak (pembengkakan dan terbendungnya darah dari otak).

d. Menimbulkan habilutasi, toleransi dan ketagihan. e. Mengakibatkan mundurnya kepribadian.


(11)

g. Melemahkan jantung dan hati menjadi keras (Nasution, 2013:1- 15).

B. Kafein, caffeine (1.3.7. Trimethylsantine)

Alkaloida yang terdapat dalam buah tanaman kopi. Biji kopi mengandung 1-2,5% kafein. Kafein juga terdapat dalam minuman ringan.

Efek yang ditimbulkan dari kafein, yaitu: a. Keracunan kafein.

b. Kecemasan dan gangguan tidur. c. Kecanduan.

d. Menimbulkan masalah saluran pencernaan.

e. Beresiko terkena serangan jantung (Amazine, 2015). C. Nicotine (Nicotiana Tabacum L)

Nikotin terdapat dalam tumbuhan tembakau dengan kadar sekitar 1- 4%. Dalam setiap batang rokok terdapat sekitar 1,1mg nikotin. Nikotin menimbulkan ketergantungan. Dalam daun tembakau, terdapat ratusan jenis zat lainnya selain dari nikotin (BNN, 2004;23).

Efek yang ditimbulkan dari nicotine, yaitu:

a. Menyumbat saluran-saluran darah baik dari maupun menuju jantung sehingga memperlambat aliran darah.

b. Menimbulkan penyakit kanker. c. Serangan jantung.

d. Impotensi dan gangguan kehamilan dan janin (Nasution, 2013:17).


(12)

D. Zat sedative (penenang) dan hipnotika

Yang tergolong sedative/hipnotika diantaranya Benzodiazepin meliputi antara lain:

a. Temazapam. b. Diazeoam. c. Nitrazepam. d. Klonazepam. E. Halusinogen

Penggunaan halusinogen dapat menimbulkan perasaan tidak nyata yang dapat meningkat di halusinasi dengan persepsi yang salah. Oleh karena itu, jenis ini sering dinamakan zat penghayal. Halusinogen dapat menimbulkan ketergantungan fisik serta psikis dan efek toleransi. Yang termasuk halusinogen antara lain: LSD (Lysergic Acid Diethylamide), DOM, DMT, dll (Nasution, 2004:23).

F. Inhalen

Zat yang terdapat pada lem dan pengencer cat (thinner). Penyalahgunaan inhalen dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan otot, syaraf dan organ tubuh lainnya. Menghirup sambil menggunakan obat anti depresi seperti obat penenang obat tidur, alcohol akan meningkatkan resiko over dosis dan dapat mematikan dan jika pengguna melakukan aktifitas normal seperti berlari atau berteriak dapat mengakibatkan kematian karena gagal jantung.

Efek yang ditimbulkan dari inhalen, yaitu: a. Hilang ingatan.


(13)

b. Tidak dapat berfikir.

c. Mudah berdarah dan memar. d. Kerusakan system syaraf utama. e. Kerusakan hati dan ginjal. f. Sakit maag.

g. Sakit pada waktu buang air kecil.

h. Kejang-kejang otot dan batuk-batuk (Nasution, 2013:15).

2.2.2 Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu proses yang makin meningkat dari taraf coba-coba ke taraf penggunaan untuk hiburan, penggunaan situasional, penggunaan teratur sampai kepada ketergantungan. Memasuki taraf coba-coba bisa langsung terseret kepada taraf ketergantungan oleh karena sifat narkoba yang mempunyai daya menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan cara ditelan, dirokok, disedot dengan hidung, disuntikkan ke dalam pembuluh darah balik (intravena), disuntikkan ke dalam otot atau disuntikkan ke dalam lapisan lemak dibawah kulit.

Penggunaan narkoba secara suntik dan menggunakan jarum suntik secara bergilir dapat menimbulkan ketularan penyakit HIV/AIDS. Hepatitis B, Hepatitis C, dan penyakit infeksi lainnya yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh. Penggunaan narkoba secara berulang kali akan menimbulkan ketergantungan yang makin lama memerlukan jumlah narkoba yang makin tinggi dosisnya untuk menghasilkan khasiat yang sama (menimbulkan daya toleransi). Bila pemakaian


(14)

narkoba dihentikan atau dikurangi secara mendadak akan menimbulkan gejala putus narkoba (withdrawal syndrome), yaitu perasaan nyeri seluruh badan.

Sekali mencoba narkoba berisiko timbul keinginan untuk mencoba dan mencoba lagi sehingga akhirnya timbul ketagihan dan ketergantungan. Pada umumnya, baru timbul keinginan untuk menghentikannya dalam keadaan sudah terlambat, yaitu sudah berada dalam cengkeraman ketergantungan yang tidak bisa ditinggalkan (BNN, 2004: 9-10).

2.2.3 Ciri-ciri Penyalahgunaan Narkoba

Mereka yang mengkonsumsi narkoba akan mengalami gangguan mental dan perilaku, akibat terganggunya system neuron transmiter pada sel-sel susunan saraf pusat diotaknya. Gangguan pada system ini mengakibatkan terganggunya fungsi koqnitif atau alam pikiran, afektif atau alam perasaan/mood/emosi dan psikomotor atau perilaku.

Orang berpendidikan sekalipun akan menemui kesulitan untuk bisa mengetahui seseorang telah mengalami ketergantungan obat-obatan. Mengapa ? Bisa jadi karena mereka tidak tahu atau kurang pengetahuannya tentang ketergantungan obat. Bisa juga karena mereka menggangap remeh kadar penggunaan narkoba. Karena memang diawal penggunaan, seorang penyalahguna narkoba tidak begitu berbeda dari lainnya. Apalagi seorang anak yang pintar pasti akan memakai segala kepintarannya untuk menipu orang lain terutama orang tua agar tidak ketahuan bahwa dia telah memakai narkoba (BNN, 2007: 22).


(15)

2.3 Adiksi

2.3.1 Pengertian Adiksi

Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya. Dalam adiksi, terdapat tuntutan dalam diri penyalahguna narkoba untuk menggunakan secara terus menerus dengan disertai peningkatan dosis terutama setelah terjadinya ketergantungan secara fisik dan psikis serta terdapat pula ketidakmampuan untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi narkoba meskipun sudah berusaha keras.

Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif dan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :

I. Adanya Proses Toleransi

Individu membutuhkan zat yang dimaksud dalam jumlah yang semakin lama semakin besar, untuk dapat mencapai keadaan fisik dan psikologis seperti pada awal mereka merasakannya.

II. Adanya Gejala Putus Zat (Withrawl Syndrome)

Individu akan merasakan gejala-gejala fisik dan psikologis yang tidak nyaman apabila penggunaannya dihentikan. Perasaan tidak nyaman fisik seperti tulang sakit, mata berair, lemas, diare, muntah-muntah, dan lain- lain. Pada akhirnya gejala-gejala fisik tersebut dapat menurunkan berat badan dan menimbulkan ketergantungan pada narkoba, serta komplikasi medis. Secara psikologis, gejala putus obat ditandai dengan munculnya perasaan malu, rasa bersalah, curiga, tidak aman, marah, kesepian, tidak


(16)

percaya diri, cemas, emosi tidak terkontrol, gangguan kepribadian, tidak toleran, mengalami penolakan, curiga (terutama pada pengguna

methamphetamine), dan halusinasi.

Selain terhadap kondisi fisik dan psikologis, seorang pengguna (addict)

juga mengalami gangguan pada perilakunya. Dalam kehidupan sosial, seseorang penyalahguna narkoba akan mengisolasi diri, lari dari kenyataan, manipulative, mengalami kemunduran moral, motivasi rendah, berperilaku anti-sosial, kemampuan sosial menurun, egois, pandangan dunia yang tidak realistis, dan sebagainya.

2.3.2 Model-model Adiksi

Ada beberapa model ketergantungan yang digunakan untuk menjelaskan ketergantungan narkoba dalam program rehabilitasi. Tidak ada model yang dianggap lebih baik dan lebih bermanfaat dalam suatu penyembuhan (treatment).

Kebanyakan model-model itu digunakan secara eklektik/gabungan dari beberapa model. Berikut ini adalah beberapa model diantaranya:

a. Model Belajar Berperilaku (Learning Model)

Model ini beranggapan bahwa seseorang menyalahgunakan narkoba karena pengalaman pertamanya memperoleh ―imbalan‖ yang menyenangkan dan

―positif‖. Hal-hal yang menyenangkan dan positif tersebut menyebabkan orang mengulang kembali perilaku penyalahgunaan tersebut.

b. Model Kognitif (Cognitive Model)

Model kognitif ini beranggapan bahwa pikiran dan keyakinan adalah faktor-faktor penyebab utama dalam penyalahgunaan narkoba masalah


(17)

medis, keuangan, dan masalah sosial yang serius bukanlah penyebab seseorang mulai menggunakan narkoba, tetapi merupakan sifat dasar yang membawa seseorang pada tanggapan emosional dan mendorong pada suatu keyakinan adikstif yang menghasilkan perilaku ketergantungan.

c. Model Penyakit (Disease Model)

Dalam model ini penyalahguna narkoba dianggap sebagai kebiasaan menyimpang yang menyebabkan kondisi menyakitkan pada fisik yang bersangkutan dan ketergantungan. Melalui penggunaan yang terus-menerus seorang penyalahguna narkoba akan kehilangan kendali dan perilakunya. d. Model Gaya Hidup (Lifestyle Model)

Dalam pandangan model ini imbalan kehidupan yang menyenangkan mengubah kesadaran pada hal-hal yang destruktif, penyalahgunaan narkoba. Orang-orang yang sudah mengalami ketergantungan akan sulit mengulangkan kebiasaan penyalahgunaan narkoba karena dapat dianggap menghilangkan eksistensi dirinya.

e. Model Pengaruh Orangtua (Parental Influence Model)

Penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh orangtua dapat menjadi contoh buruk bagi anak-anak. Orangtua dapat menjadi munafik dan mengatakan kepada anak-anaknya ―kerjakan apa yang saya bilang, bukan yang saya lakukan‖. Maka anak akan menanggapi dengan pernyataan sinis,

―kalau orangtua memakai, kenapa saya tidak‖. f. Model Kelompok Sebaya (Peer Cluster Model)

Model ini beranggapan bahwa penyalahguna narkoba dimulai dan menjadi kebiasaan dalam kelompok sebaya. Dalam rangka menjaga hubungan


(18)

dalam kelompok, orang meniru perilaku penyalahgunaan narkoba oleh kelompok. Kemudian terjadi pembenaran-pembenaran yang akan mengubah keyakinan, nilai, perilaku, dan alasan-alasan.

g. Model Pintu Gerbang (Gateway Model)

Penyalahgunaan narkoba tidak terjadi secara tiba-tiba. Seseorang penyalahguna narkoba mulai menggunakan narkoba mulai dari yang

―ringan‖ seperti rokok, alcohol, ganja, sampai yang ―berat‖ seperti morphine, putaw, shabu-shabu, kokain, dan sebagainya. Zat adiktif yang

―ringan‖ tersebut adalah pintu gerbang kearah penggunaan narkoba yang lebih ―berat‖.

h. Model Sosial Budaya (socio Cultural Model)

Model ini membahas faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap individu. Lingkungan menjadi faktor utama, termasuk aspek etnografi dan demografi seperti jenis ras, umur, norma, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, pendidikan, system kepercayaan, tingkat konsumsi, dan sebagainya. Semua faktor tersebut menjadi penentu dalam penyalahgunaan narkoba.

2.3.3 Proses Terjadinya Adiksi

Untuk sampai pada kondisi ketergantungan, seseorang akan mengalami tahap sebagaimana yang tergambar pada kontinum berikut ini:


(19)

Gambar 1. Kontinum Pengguna Narkoba Sumber : Doweiko, 1999

Keterangan : Daerah hitam (yang diarsir) mencerminkan tingkat penggunaan narkoba

Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Abstinence

Adalah periode dimana seseorang sama sekali tidak menggunakan narkoba untuk tujuan rekresional.

b. Social Use

Periode dimana individu mulai coba-coba menggunakan narkoba untuk tujuan rekreasional, namun sama seklai tidak mengalami problem yang terkait dengan aspek sosial, financial, medis dan sebagainya. Umumnya individu masih bisa mengontrol penggunaan zatnya.

c. Early Problem Use

Adalah periode dimana individu sudah menyalahgunakan narkoba dan perilaku penyalahgunaan itu mulai berpengaruh pada kehidupan sosial


(20)

individu tersebut, seperti misalnya timbulnya malas belajar, malas sekolah, keinginan bergaul, hanya dengan orang-orang tertentu, dan lain-lain.

d. Early Addiction

Adalah periode dimana individu sampai pada perilaku ketergantungan baik fisik, maupun psikologis, dan perilaku ketergantungan ini sangat mengganggu kehidupan sosial individu tersebut. Yang bersangkutan nyaris sulit mengikuti pola hidup orang normal sebagaimana mestinya dan mulai terlibat pada perbuatan yang melanggar norma dan nilai yang berlaku.

e. Severe Addiction

Adalah periode dimana individu hanya hidup untuk mempertahankan ketergantungannya, sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sosial dan dirinya sendiri. Pada tahap ini, individu biasanya sudah terlibat pada tindakan criminal yang dilakukan demi memperoleh narkoba yang diingankan.

Kapan seseorang sampai pada tahap kontinum terakhir (ketergantungan berat/severe addiction), sangat tergantung pada beberapa hal:

a) Factor individu: biologis, psikologis, dan sosial

b) Jenis zat: opiat adalah zat paling cepat menimbulkan ketergantungan (high addict)

2.3.4 Dampak Adiksi Terhadap Penyalahguna

Dalam kecanduan seseorang terdapat suatu lingkaran yang tidak berhenti kecuali seseorang mulai melakukan intervensi (memutuskan pola adiksi tersebut). Pada intinya, lingkaran ini menjelaskan ketidaknyamanan yang dialami seseorang dimana dia menggunakan narkoba sebagai sarana untuk meningkatkan


(21)

kondisinya, yang selanjutnya justru akan mendorong penyalahguna tersebut untuk mengalami rasa tidak nyaman kembali. (Dytop inc., 2001).

Keadaan fisik dan psikis yang muncul ketika penyalahguna narkoba mulai mengalami ketergantungan narkoba menyebabkan ketidaknyamanan yang ditunjukkan oleh perubahan perilaku dan ekspresi secara verbal dan non-verbal. Pola perilaku negative pada diri penyalahguna narkoba tersebut menambah parah keadaan psikis yang sebaliknya akan juga memperburuk keadaan perilaku penyalahguna narkoba tersebut. Berbagai macam pola negatif (fisik, psikis, dan perilaku) mendorong penyalahguna narkoba untuk ―harus‖ mengkonsumsi narkoba (kompulsif). Hal ini akan memperburuk kembali keadaan fisik dan psikisnya dan akan membentuk perilaku yang semakin negatif. Skema menunjukkan lingkaran adiksi yang semakin parah dan tidak pernah berakhir kecuali adanya usaha secara sungguh-sungguh baik dari diri penyalahguna narkobanya maupun orang-orang disekelilingnya untuk menghentikan perputaran lingkaran tersebut (tidak intervensi).

2.3.5 Tahap-tahap Perubahan

Sebagai suatu penyakit kronis, adiksi tidak dapat disembuhkan. Pulih merupakan kata yang lebih tepat dalam menggambarkan upaya seseorang mengatasi penyakit ini. Pemulihan (recovery) seorang penyalahguna narkoba berlangsung seumur hidup dimana dia dan lingkungannya harus berjalan beriringan dalam mempertahankan pemulihan mereka. Tujuan pemulihan diawali oleh stabilitas fisik penyalahguna. Selanjutnya diarahkan agar penyalahguna memandang dirinya serta lingkungannya melalui sudut pandang yang positif


(22)

disertai dengan penerimaan diri, sehingga penyalahguna menyadari dirinya sebagai individu yang memiliki peran, hak serta kewajiban di dalam masyarakat. Dalam proses tersebut penyalahguna tidak akan mempertahankan pemulihannya jika tidak didukung oleh pola interaksi yang sehat dengan lingkungan.

Pada dasarnya program pemulihan ditargetkan kepada proses reintegrasi penyalahguna ke masyarakat umum dimana dirinya memiliki peran serta kualitas hidup yang memadai untuk hidup wajar sebagai bagian dari masyarakat. Memotivasi individu yang mengalami ketergantungan pada narkoba untuk mau menghentikan pola penggunaan zatnya bukanlah hal mudah. Ada tahap-tahap perubahan yang dialami oleh seorang penyalahguna narkoba yang mempengaruhi proses pemulihannya.

Tahap-tahap perubahan tersebut yaitu: a. Precontemplation

Tahap dimana penyalahguna umumnya belum mau mengakui bahwa perilaku penggunaan narkobanya merugikan dirinya sendiri, keluarga dan lingkungannya. Pada tahap ini seorang penyalahguna akan menampilkan mekanisme pertahanan diri agar mereka dapat tetap mempertahankan pola ketergantungan narkobanya. Jenis mekanisme pertahanan diri yang paling sering muncul adalah penyangkalan (denial), dimana penyalahguna selalu

―mengelak‖ atas kenyataan-kenyataan negatif yang ditimbulkan akibat pengguna narkobanya. Jenis mekanisme pertahanan diri yang lain adalah mencari pembenaran (rasionalisasi), dimana penyalahguna akan selalu berdalih untuk melindungi perilaku ketergantungannya.


(23)

b. Contemplation

Tahap dimana penyalahguna narkoba mulai menyadari bahwa perilaku penggunaan narkobanya merugikan diri sendiri, keluarga dan lingkungannya, tetapi sering merasa ragu-ragu (ambivalen) untuk menjalani proses pemulihan. Proses wawancara motivasional sangat menentukan apakah penyalahguna narkoba kembali pada tahap

Precontemplation di atas atau justru semakin termotivasi untuk pulih.

c. Preparation

Tahap dimana individu mempersiapkan diri untuk berhenti dari pola penggunaan narkobanya. Umumnya yang bersangkutan mulai mengubah pola fikirnya yang dianggapnya dapat membantu usahanya untuk dapat membebaskan diri dari narkoba.

d. Action

Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba dengan kesadaran sendiri mencari pertolongan untuk membantu pemulihannya.

e. Maintenance

Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba berusaha untuk mempertahankan keadaan bebas narkobanya (abstinensia).

f. Relapse

Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba kembali pada pola perilaku penggunaan narkobanya yang lama sesudah ia mengalami keadaan bebas narkoba (Nasution, 2013: 23-37).


(24)

2.4 Therapeutic Community (TC)

2.4.1 Sejarah Therapeutic Community (TC)

Program terapi bagi pecandu narkoba merupakan hal yang relative baru berkembang. Program terapi ini kurang lebih mulai timbul dalam bentuk yang terorganisasi pada tahun 1960 sebagai respons terhadap masalah sosial dan masalah kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Pertumbuhan fasilitas terapi pada tahun 1960 dan 1970 mencerminkan berbagai pandangan tentang masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Selain itu juga dipengaruhi oleh tuntutan bagaimana masalah tersebut dapat ditangani secara efektif.

Diluar unit detoksifikasi, yang ditujukan sebagai langkah awal terapi, terdapat tiga modalitas terapi yang dominan dalam penatalaksanaan penyalahgunaan narkoba; program rawat jalan, program terapi rumatan metadon, dan program residensial rawat inap jangka panjang yang disebut sebagai TC. Program TC saat itu berorientasi pada kondisi bebas zat (abstinensia), dimana residen diharapkan tidak lagi menggunakan zat selama dalam program dan setelah selesai program. Pada tahun 90-an, muncul program residensial rawat inap jangka pendek yang menggunakan pendekatan 12 langkah atau pendekatan lainnya (Institute Of Medicine, 1990). Sementara pada akhir tahun 90-an beberapa Negara, khususnya Belanda dan Australia mulai memodifikasi program TC dengan memasukkan pendekatan pengurangan dampak buruk dalm program- programnya, sebagai suatu upaya menekan laju penularan HIV di kalangan pengguna narkoba.


(25)

2.4.2 Program TC Secara Global

Program TC yang saat ini lebih diasosiasikan sebagai salah satu modalitas terapi penyalahgunaan narkoba, sesungguhnya berawal dari pendekatan perawatan masalah kesehatan jiwa (psikiatris) pada tahun 40-an di Inggris. Sekalipun pengaruh TC psikiatris ala Inggris ini terhadap TC adiksi narkoba belum begitu jelas, namun pendekatan yang dilakukan pada TC Psiakiatris menyerupai gambaran pendekatan-pendekatan yang umumnya dilakukan pada TC adiksi narkoba secara umum (Deleon, 2000). Kehadiran TC psikiatris seringkali dipandang sebagai bagian dari revolusi psikiatris yang ketiga, dimana terjadi perubahan dari pendekatan individual kepada pendekatan sosial dengan menekankan keterlibatan banyak pihak, penggunaan metode kelompok, terapi norma nilai dan psikiatri administrative.

Melacak sejarah TC adiksi narkoba bukanlah perkara mudah karena hingga 2000 tidak ada kajian komprehensif tentang sejarah TC adiksi. Penelitian yang terbatas ini mengatakan bahwa konsep-konsep, keyakinan dan praktek TC ditengarai dan dipengaruhi secara tidak langsung oleh agama, filsafat, psikiatri dan ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Beberapa tulisan merujuk pada kemungkinan keberadaan TC sejak zaman kuno, terutama dalam upaya masyarakat melakukan pengobatan dan dukungan.

Cikal bakal TC dalam adiksi narkoba berawal pada 1960 di Amerika Serikat dan kemudian di Eropa. Pada periode 1964-1971 program TC dikembangkan secara langsung atau tidak langsung karena pengaruh Synanon dan Daytop Village (termasuk Gateway House, Gaudenzia, Marathon House, Odyssey House, Phoenix House, Samaritan House, and Walden House). TC


(26)

Synanon secara tegas mengajarkan norma dan nilai tentang etos kerja, mutual

concern, sharing guidance, kejujuran, ketulusan, tidak egois, pembelajaran diri,

penerimaan atas karakter yang negatif, membuat kompensasi atas perbuatan yang merugikan dan bekerja dengan orang lain. Nilai-nilai 12 langkah dan 12 tradisi juga digunakan dan diadaptasi pada penyelenggaraan TC ini. Walaupun Synanon mempertahankan tradisi Alcoholic Anonymous atas kemandirian fiscal, tetapi orientasinya adalah kewirausahaan. Mereka mengembangkan bisnis yang beorientasi pada keuntungan dan menggalang dana dari sector public maupun swasta. Organisasi TC Synanon merupakan struktur yang hirarkis. Walaupun setiap anggota dapat melangkah hingga struktur yang lebih tinggi, namun pengambilan keputusan bersifat otokratik, tergantung pada tangan beberapa orang saja.

Setelah era TC Synanon, pengembangan TC kemudian melibatkan bantuan dan keterlibatan pemimpin masyarakat pemuka agama, tokoh politik, professional kesehatan dan layanan masyarakat. Jadi, walaupun TC tradisional dikembangkan oleh pecandu, perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu seperti pendidikan, kedokteran, psikiatri, hukum, agama dan ilmu-ilmu sosial. Peran para professional ini terutama dalam hal teknis praktis dan politis, diantaranya menjaga agar TC tetap berdiri dan dapat berkembang.

Saat ini, TC yang ada berkembang dan berbeda satu sama lainnya. Perkembangan ini meliputi sumber daya yang bervariasi diantaranya psikiater, psikologis, pendidik, pelatihan vokasional dan layanan public. Sekalipun nilai- nilai dasar Synanon masih dipertahankan oleh sebagian besar saat ini, namun berbagai pengaruh membuat perbedaan dalam organisasi, filosofi dan praktek


(27)

penyelenggaraannya. Banyak TC kemudian mengembangkan sendiri filosofi yang kembangkannya, melakukan adaptasi sesuai konteks budaya setempat.

12 langkah :

a. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.

b. Kita tiba pada keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri yang mampu mengembalikan pada kita kewarasan.

c. Kita membuat keputusan untuk mengalihkan niat dan kehidupan kita pada kasih Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan.

d. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, seluruh dan tanpa rasa gentar.

e. Kita mengakui kepada Tuhan kepada diri kita sendiri, serta kepada seseorang manusia lainnya, setepat mungkin dari kesalahan-kesalahan kita. f. Kita menjadi siap secara penuh agar Tuhan menyingkirkan semua

kecacatan karakter kita.

g. Kita dengan rendah hati memintaNya untuk menyingkirkan kelemahan- kelemahan kita.

h. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk menebusnya kepada mereka semua.

i. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.

j. Kita terus menerus melakukan inventaris pribadi kita dan bilamana kita bersalah segera mengakui kesalahan kita.


(28)

k. Kita melakukan pemberian doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan, berdoa hanya untuk mengetahui mata Tuhan atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.

l. Setelah memperoleh pencerahan pribadi sebagai akibat dari langkah- langkah ini, kita mencoba untuk membawa pesan ini kepada para pecandu, dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam semua urusan keseharian kita.

12 tradisi :

a) Kesejahteraan kita bersama harus dinomor-satukan diatas yang lainnya: kemajuan pribadi tergantung pada kesatuan kita.

b) Demi kepentingan kelompok, hanya ada satu otoritas utama yakni Tuhan yang Maha Pengasih sebagai mana Tuhan mengekspresikan dirinya melalui hati nurani kelompok. Pemimpin kita adalah pelayan terpercaya Tuhan. Mereka tidak memerintah.

c) Satu-satunya prasyarat keanggotaan adalah keinginan sungguh-sungguh untuk berhenti menggunakan zat adiktif.

d) Setiap kelompok harus memiliki otonomi, kecuali dalam hal yang dapat mempengaruhi kelompok lain.

e) Setiap kelompok hanya mempunyai satu tujuan utama – membawa pesan penyembuhan bagi pecandu yang masih menderita.

f) Kelompok kami tidak selayaknya memberikan dukungan keuangan, meminjamkan nama kelompok kepada usaha bisnis guna menghindari,


(29)

masalah dengan orang, kepemilikan, property dan prestise yang dapat mengalihkan focus utama kita dan tujuan spiritual kita bersama.

g) Setiap kelompok harus mendukung dirinya sendiri secara financial, menolak dana dari luar

h) Pekerjaan langkah ke-12 harus selalu dan selamanya bersifat non- profesional, namun pusat pelayanan kita dapat mempekerjakan staff khusus.

i) Kelompok kita tidak selayaknya diorganisir sedemikian rupa, namun kita boleh membentuk dewan pelayanan atau panitia yang bertanggung jawab pada kelompok yang mereka layani.

j) Kelompok tidak mempunyai pendapat berkaitan dengan masalah diluar, sehingga nama kita sebagai kelompok tidak akan ditarik dalam kontroversi public.

k) Hubungan masyarakat kita dilandaskan pada keterkaitan dan bukan promosi. Kita perlu mempertahankan Anonimitas pribadi pada taraf massa media radio, televise dan film. Kita perlu melindungi kebutuhan Anonimitas semua anggota keluarga kita.

l) Anonimitas adalah landasan spiritual semua tradisi keluarga dan persaudaraan kita, selalu mengingatkan kita untuk meletakan prinsip diatas pribadi-pribadi (Hutauruk, 2011).

2.4.3 Program TC di Indonesia

Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, pertumbuhan rehabilitasi dengan pendekatan TC di Indonesia dimulai dari kegelisahan keluarga pecandu


(30)

heroin yang tidak memperoleh layanan terapi ketergantungan heroin bagi anak/ keluarganya di Indonesia. Beberapa keluarga membawa anggota keluarganya yang mengalami kecanduan heroin pada berbagai tempat rehabilitasi dengan pendekatan TC atau 12 langkah yang terdapat di luar negeri, khususnya Malaysia dan Singapura. Para alumni rehabilitasi TC ini dengan dukungan penuh keluarganya kemudian mendirikan program TC di Indonesia. Sekalipun pada pertengahan tahun 90 telah dirintis program rehabilitasi TC oleh beberapa professional medis, namun pionir program ini yang dikenal oleh masyarakat secara luas adalah Yayasan Titihan Respati yang didirikan pada tahun 1997, kemudian diikuti dengan berbagai yayasan lainnya seperti Yayasan Terakota , Yayasan Insan Pengasuh Indonesia, Yayasan Bandulu, dan lainnya. Beberapa program TC yang juga dimotori oleh kalangan professional medis bekerja sama dengan konselor adiksi diantaranya adalah Wisma Adiksi, Sport Campus Wijaya Kusuma, Wisma Srikandi dan Arjuna RS Marzoeki Mahdi (kemudian memisahkan diri dari RS dan berdiri sendiri menjadi Yayasan Permata Hati Kita) dan Wisma Sirih RS Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pembelajaran program TC saat itu Daytop Village, di New York, Amerika Serikat- sebagai pusat pelatihan sebagian besar konselor, baik yang berada di Malaysia, Singapura maupun Indonesia.

Program ini menarik minat yang luar biasa, terutama dari kalangan menengah keatas dan berkembang secara cepat. Pada tahun 2000 tercatat lebih 80 lembaga rehabilitasi yang dijalankan dengan metode TC. Lebih dari 85% lembaga ini merupakan inisiatif masyarakat, selebihnya merupakan inisiatif professional kesehatan, pekerjaan sosial, maupun tokoh agama. Bahkan beberapa panti


(31)

rehabilitasi sosial milik Kementerian Sosial seperti Galih Pakuan, Bogor juga mengadopsi pendekatan ini pada program rehabilitasinya. Biaya operasional penyelenggaraan program umumnya mengandalkan pola tarif layanan yang dibebankan pada residen serta dari donatur, kecuali lembaga rehabilitasi yang berada dalam system pemerintahan. Dukungan pemerintah dalam bentuk biaya perawatan bagi para residen yang mengikuti program rehabilitasi swadaya masyarakat belum tersedia. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila pada umumnya lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat mengenakan pola tarif yang cukup tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Hingga saat ini dukungan pemerintah dalam pembinaan lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat masih terbatas pada peningkatan kapasitas lembaga ataupun sumber daya manusianya.

Euphoria terhadap program TC di Indonesia secara bertahap mulai menurun pada tahun 2002. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu daya jangkau masyarakat terhadap layanan rehabilitasi TC yang semakin melemah; epidemic HIV di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun) yang merubah orientasi terapi rehabilitasi adiksi narkoba dari abstinensia kepada pengurangan dampak buruk; serta adanya program terapi rumatan yang tidak mengharuskan pecandu berada di dalam lembaga untuk waktu yang lama. Hal ini mempengaruhi eksistensi program-program yang ada sehingga satu persatu tidak dapat lagi menjalankan layanannya.

Saat ini secara nasional keberadaan lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat dengan pendekatan TC sangatlah terbatas. Kendala utama adalah beratnya beban biaya operasional TC, sementara sumber dana- baik yang berasal


(32)

dari residen, maupun dalam bentuk bantuan- semakin lama semakin minim. Daya jangkau masyarakat terbatas dan bantuan dana tidak diterima secara berkesinambungan, sehingga banyak program TC ditutup. Hal ini tentunya bukanlah suatu yang menggembirakan, karena bagaimanapun juga pecandu perlu memiliki berbagai pilihan terapi sehingga dapat memiliki kebutuhan setiap individu. Dalam hal ini perlu disadari bahwa tidak ada satu program pun yang cocok buat semua orang- salah satu prinsip terapi yang efektif dari National Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009).

2.4.4 Filosofi Therapeutic Commnunity Dan Penerapan Metode Pekerjaan Sosial

I. Filosofi

Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik tertulis maupun yang tidak tertulis (unwritten philosophy). Filosofi TC yang tertulis merupakan sesuatu hal yang harus dihayati, dianggap sacral, tidak boleh diubah dan harus dibaca setiap hari. Sementara filosofi tidak tertulis

(unwritten philosophy) adalah merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan

dalam proses pemulihan yang maknanya mengandung nilai-nilai kehidupan yang universal, artinya filosofi ini tidak mengacu kepada kultur, agama dan golongan tertentu.

A. Filosofi TC yang tertulis

―Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari diri sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insane yang lain. Saya masih berlari, sehingga saya belum sanggup merasakan kepedihan


(33)

dan menceritakan segala rahasia diri saya ini, saya tidak dapat mengenal diri saya sendiri yang lain, saya akan senantiasa sendiri. Dimana lagi kalau bukan di sini, dapatkah saya melihat cermin diri ini?. Disinilah, akhirnya, saya jelas melihat wujud diri sendiri. Bukan kebesaran semu dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya. Tetapi seperti seorang insane, bagian dari masyarakat yang peduh kepedulian. Disini saya dapat tumbuh dan berakar, bukan lagi seorang seperti dalam kematian tetapi dalam kehidupan nyata dan berharga baik untuk diri sendiri maupun orang lain.‖

B. Filosofi tidak tertulis (unwritten philosophy)

Filosofi-filosofi yang ada di bawah ini tidak mengenal hirarki, dalam arti tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya, melainkan merupakan nilai-nilai kehidupan yang seluruhnya diterapkan dalam keseharian aktivitas para residen di panti rehabilitasi (facility).


(34)

The Unwritten Philosophies

Honesty

No free lunch Trust Your

Environment

Understand is rather Than To Be Understood

Blind Faith To be Aware is To be alive

Do You things right everything else will

Follow

Be careful what You ask for, You Might

just get it

You can’t keep it unless You give it

away

What goes around shall comes around

Compensation is valid

Act as it Personal growth

before vested status Bagan 2.1 The Unwritten Philosophies

The Unwritten Philosophies :

a. Honesty (kejujuran): kejujuran adalah nilai hakiki yang harus dijalankan para residen, setelah sekian lama mereka hidup dalam kebohongan.

b. No free lunch (tidak ada yang gratis di dunia ini): tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang didapatkan tanpa usaha terlebih dahulu.


(35)

c. Trust your environment (percayalah lingkunganmu): percaya pada lingkungan panti rehabilitasi (facility) dan yakin bahwa lingkungan ini mampu membawa residen pada kehidupan yang positif.

d. Understand is rather than to understood (pahami lebih dahulu orang lain sebelum kita minta dipahami): sebelum kita minta untuk dipahami orang lain, adalah jauh lebih positif apabila kita pahami dahulu orang lain. Sikap ini akan lebih menggiring kita untuk berfikir bijaksana dan sabar.

e. Blind faith (keyakinan total pada lingkungan): keyakinan total pada lingkungan panti rehabilitasi akan makin membantu perbaikan diri residen. f. To be aware is to be alive (waspada adalah inti kehidupan): sikap waspada

sangat diperlukan dalam kehidupan , sehingga kita tidak mudah terjerumus pada hal-hal negatif.

g. Do you things right everything else will follow (pekerjaan yang dilakukan dengan benar, akan memberikan hasil positif): lakukan tugas-tugas kita sebagaimana mestinya, kita pasti akan memetik buahnya kemudian.

h. Be careful what you ask for, you might just get it (mulutmu harimaumu): jagalah mulut kita, karena ucapan-ucapan negatif dapat menjadi kenyataan. i. You can‘t keep it unless You give it away (sebarkanlah ilmumu pada banyak orang): tidak ada gunanya segenap pengetahuan yang kita miliki bila tidak kita sebarkan pada orang lain.

j. What goes around comes around (perbuatan baik akan berbuah baik): setiap perilaku kita yang positif akan memberikan dampak positif.

k. Compensation is valid (selalu ada ganjaran pada perilaku kita): hati-hatilah dalam bertindak, sebab selalu ada resiko yang menyertai tindakan itu.


(36)

l. Act as it (bertindak sebagaimana mestinya): bertindaklah apa adanya, namun apabila tidak sesuai dengan hati nurani, bertindaklah sebagaimana mestinya.

m. Personal growth before vested status (kembangkan dirimu seoptimal mungkin): pengembangan diri mutlak diperlukan sebelum kita mendapatkan jabatan/kepercayaan diri orang lain.

C. Empat Struktur dan Lima Pilar

Dalam menjalankan metode TC, tidak cukup hanya menerapkan filosofi tertulis dan filosofi tidak tertulis saja. Masih ada komponen lain yang disebut sebagai empat struktur dan lima pilar (four structures and five

pillars).

a. Empat struktur, yang dimaksud adalah sasaran perubahan yang diinginkan dari metode TC, yaitu:

a) Manajemen/pembentukan perilaku, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma kehidupan masyarakat.

b) Emosional/psikologis, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara emosional dan psikologis, seperti murung, tertutup, cepat marah, perasaan bersalah, dan lain-lain kea rah perilaku positif.


(37)

c) Intelektual/spiritual, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tugas-tugas kehidupannya serta didukung dengan nilai-nilai spiritual, etika, estetika, moral dan sosial.

d) Keterampilan vokasional/mempertahankan diri, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari dan tugas-tugas kehidupannya.

b. Lima pilar yang dimaksud adalah metode-metode yang digunakan untuk mencapai perubahan yang diinginkan:

a) Family milieu concept, yaitu suatu metode yang

menggunakan konsep kekeluargaan dalam proses dan pelaksanaannya.

b) Peer pressure, yaitu suatu metode yang menggunakan

kelompok sebagai metode perubahan perilaku.

c) Therapeutic session, yaitu suatu metode yang

menggunakan pertemuan sebagai media penyembuhan.

d) Religious session, yaitu suatu metode yang memanfaatkan

pertemuan-pertemuan keagamaan untuk meningkatkan nilai-nilai kepercayaan atau spiritual residen.

e) Role model, yaitu suatu metode yang menggunakan tokoh


(38)

II. Prinsip pekerjaan sosial dalam TC

Prinsip yang mendasari dilaksanakannya konsep TC adalah bahwa setiap orang pada prinsipnya dapat berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah perilaku yang positif. Dalam proses perubahan seperti ini, seseorang sangat memerlukan bantuan pihak lain termasuk kelompok. Oleh karena itu, dalam proses pengubahan perubahan perilaku, TC dianggap sebagai keluarga besar. Konsep TC pada umumnya menerapkan pendekatan self help, artinya residen dibiasakan mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan kebutuhan sehari-hari, misalnya memasak, mencuci, membersihkan fasilitas TC, memperbaiki gedung dan sebagainya, disamping kegiatan yang bersifat pemberian keterampilan. Dalam hal ini, setiap kegiatan residen mempunyai tanggung jawab mengubah tingkah laku, baik bagi diri sendiri, maupun orang lain, jadi bukan semata-mata tanggung jawab petugas.

Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana berlaku system reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu juga digunakan pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Dalam pelaksanaannya, berbagai pendekatan tersebut merupakan penerapan dari beberapa prinsip-prinsip pekerjaan sosial.

A. Prinsip-prinsip Umum

a) Adanya keyakinan akan kebaikan, integritas dan kebebasan residen dalam menentukan hidupnya.


(39)

b) Adanya keyakinan bahwa setiap residen memiliki kebutuhan baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis, dan kebutuhan- kebutuhan lain-lainnya. Dalam pemenuhannya residen mempunyai hak untuk menentukan sendiri.

c) Adanya keyakinan bahwa setiap residen mempunyai kesempatan yang sama tetapi kesempatan tersebut dibatasi oleh kemampuan sendiri.

d) Adanya keyakinan bahwa setiap residen mempunyai tanggungjawab sosial untuk terlibat di dalam proses pemecahan masalah residen lainnya yang diwujudkan dalam tindakan bersama.

B. Prinsip-prinsip Dasar

a) Penerimaan (Acceptance)

Pekerja sosial harus mengerti bagaimana memahami dan menerima residen „apa adanya‟. Penerimaan ini berarti menerima keseluruhan dimensi yang ada dalam diri residen seperti kekuatan, kelemahan, keistimewaan baik yang positf maupun yang negatif, karakteristik yang tersembunyi, serta aspek tingkah laku negatif yang dapat merusak diri residen. Penerapan prinsip ini diwujudkan dalam bentuk perhatian yang sungguh-sungguh, penerimaan yang hangat, didengarkan dengan baik dan sebagainya.


(40)

b) Perbedaan individu

Prinsip ini menekankan bahwa setiap individu/ residen yang mendapat pelayanan mempunyai kepribadian, agama, kemampuan, latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, dalam setiap pelayanan/tindakan ditujukan kepada residen hendaknya didasarkan pada perbedaan tersebut.

c) Pengungkapan perasaan

Prinsip ini melihat bahwa setiap residen mempunyai perasaan- perasaan, keinginan, harapan yang akan diungkapkan. Oleh karena itu, pekerja sosial harus memberikan kesempatan yang luas untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan- perasaannya. Hal ini memungkinkan residen untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.

d) Tidak memberikan penilaian (non-judgmental)

Dalam prinsip ini diharapkan pekerja sosial yang bekerja dalam program TC hendaknya tidak memberikan penilaian baik/buruk, berguna atau tidak. Pekerja sosial hanya memberikan penilaian secara objektif dan professional serta tidak menghakimi residen sehingga dapat mendorong keterlibatan dalam proses pelayanan serta meningkatkan kepercayaan diri residen.

e) Objektivitas

Dalam prinsip objektivitas pekerja sosial harus bertindak jujur, tidak memihak dan menilai berdasarkan realitas yang terjadi di


(41)

dalam melakukan atau memberikan pelayanan kepada residen, juga tidak memberikan suatu prasangka yang mengarah kepada penilaian yang dapat merugikan residen.

f) Keterlibatan emosional

Dalam prinsip ini, pekerja sosial dituntut untuk memiliki perasaan empati, yang artinya perlu ikut merasakan apa yang dirasakan residen. Namun tidak berarti bahwa empati harus menerima kesalahan residen/terlibat lebih jauh di dalam kehidupan residen yang dapar merugikan residen dan diri pekerja sosial itu sendiri.\

g) Menentukan dirinya sendiri

Prinsip ini didasarkan pada suatu nilai bahwa residen mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Karena itu, dalam prinsip ini seorang pekerja sosial yang harus bertanggungjawab dalam mengembangkan relasi sosial yang dapat menggali dan mempermudah residen dalam membentuk dirinya sendiri dan membantu dalam mencari alternative-alternatif pemecahan masalah serta dalam pengambilan keputusan.

h) Aksesibilitas terhadap sumber

Prinsip ini melihat bahwa setiap residen memiliki potensi dan akses terhadap sumber yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, dalam penerapan prinsip ini pekerja sosial harus memberikan peluang tehadap aksesibilitas berbagai sumber dan


(42)

kesempatan yang bisa merealisasikan harapan dan potensi residen. Pekerja sosial diharapkan mampu membantu residen dalam memanfaatkan sumber-sumber yang diperlukan.

i) Kerahasiaan

Dalam proses pelayanan, pekerja sosial harus tetap menjaga segala kerahasiaan residen, seperti hal-hal yang berhubungan dengan masalahnya, latar belakang kehidupannya, dan lain- lain. Kecuali untuk kepentingan atau penyelesaian masalah residen, seperti pembahasan kasus (case conference). Dalam proses ini semua harus dicatat untuk kepentingan proses penanganan residen.

j) Kesinambungan

Prinsip ini menekankan perlunya kesinambungan pelayanan kepada residen baik di dalam panti maupun di dalam masyarakat. Karena itu, pekerja sosial harus merencakan suatu pelayanan yang menekankan pada prinsip-prinsip kesinambungan.

k) Ketersediaan pelayanan

Prinsip ini menekankan perlunya ketersediaan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan diri residen serta kemampuan lembaga.


(43)

2.5 Proses pelayanan Sibolangit Centre 2.5.1 Gambaran umum pelayanan

Metode TC merupakan salah satu modalitas terapi dalam bentuk rehabilitasi residensial jangka panjang yang dapat mencapai jangka panjang waktu satu tahun atau lebih. Prinsip dasar dari metode ini adalah addict to addict,

maksudnya para pengguna membentuk suatu komunitas untuk saling membantu dalam proses pemulihan dari masalah ketergantungan NAPZA. Selain prinsip

addict to addict para residen juga diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan

semua unsur/petugas yang terlibat dalam panti tersebut.

Peran keluarga maupun masyarakat diperlukan dalam proses rehabilitasi. Hal ini sangat penting mengingat pada akhirnya mereka harus kembali pada keluarga dan masyarakat yang dekat dalam kehidupannya. Peran keluarga maupun orang-orang terdekatnya dibagi menjadi 2 (dua) bentuk kegiatannya itu:

a. Family visit (kunjungan keluarga)

Dalam kegiatan ini residen yang sudah disetujui untuk bertemu dengan orangtua, boleh dikunjungi sesuai waktu yang telah ditentukan pada umumnya 2 (dua) minggu sekali.

b. Family support grup/FSG (kelompok dukungan keluarga)

Kegiatan ini merupakan pertemuan antara orangtua residen saja, dimana mereka dapat berbagi perasaan, pengalaman, dan harapan mereka umumnya dilakukan 2 (dua) minggu sekali


(44)

2.5.2 Tahapan Pelayanan

Ada beberapa tahap-tahap pelayanan yang dilakukan di Sibolangit Centre : a. Proses Penerimaan (intake process)

Calon residen datang ke panti dengan membawa test urine negatif, maka langsung diadakan wawancara yang di dalamnya berisi proses assement. Kemudian setelah dilakukan wawancara dan berbagai data/informasi tentang calon klien (calon residen) dan pihak keluarga (orang tua), mengisi perjanjian yang telah disepakat oleh orang tua dan calon residen dan dibuat oleh lembaga didokumentasikan kedalam file. Kemudian calon residen memasuki primary stage namun sebelum residen masuk secara fisik ke dalam fasilitas TC/lembaga kepada klien dilakukan pemeriksaan (penggeladahan) secara teliti. Badan, pakaian, dan segala apa yang dibawa residen diperiksa untuk memastikan residen tidak membawa NAPZA, proses ini disebut ―spot check”.

Bagi calon residen yang datang tanpa membawa hasil tes urine atau hasi, l test urine menunjukkan positif, maka dilakukan terlebih dahulu proses detosifikasi dengan berbagai metode seperti Coldturkey,

Konvensional (Simptomatik), substitusi ataupun UROD (Ultra Rapid

Opioid Detoxification). Setelah selesai proses detoksifikasi calon

residen masuk kembali dalam panti untuk mengikuti tahap berikutnya. Setelah proses intake calon residen memasuki tahap orientasi.

Tahap orientasi adalah tahap pengenalan dan proses adaptasi pada program, lingkungan dan berbagai aturan yang ada dip anti dan berbagai fasilitas di dalamnya. Aturan-aturan tersebut dimodifikasikan


(45)

dalam satu buku (walking paper) pada masa ini masih diberikan toleransi terhadap peraturan-peraturan panti, keluarga tidak diperkenankan mengunjungi selama proses orientasi. Pada masa ini residen didampingi oleh seorang residen senior (buddy) atau pekerja sosial. Tahap ini berlangsung selama lebih kurang 28 hari.

b. Tahap Awal (Primary Stage)

Tahap ini dilaksanakan selama kurang lebih 6 s/d 9 bulan yang terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:

a) Younger member

Pada tahap ini residen mulai mengikuti program dengan proaktif, artinya ia telah aktif mengikuti program yang telah ditetapkan oleh lembaga. Residen diwajibkan mengikuti aturan- aturan yang ada dan bila melakukan kesalahan diberi sanksi tetapi masih diberikan pula toleransi-toleransi dengan batasan- batasan tertentu.

b) Middle peer

Pada tahap ini residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional panti/lembaga, membimbing

younger member dan induction (residen yang masih dalam proses

orientasi), menerima telepon tanpa pendamping, meninggalkan panti bersama (didampingi) orang tua dan senior (Day With


(46)

Pada tahap ini residen telah diberikan sanksi sepenuhnya dan dapat berperan sebagai pendamping (buddy) bagi residen yang baru masuk.

c) Older member

Pada tahap ini residen harus bertanggung jawab pada staf dan lebih bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasional panti dan bertanggung jawab terhadap residen junior. Bila residen melakukan kesalahan, sanksi yang diberikan dilaksanakan sepenuhnya tanpa toleransi.

Setelah mengikuti tahap awal dan evaluasi, jika hasil evaluasi menunjukkan keberhasilan maka residen dinyatakan lulus (graduate), untuk kemudian memasuki tahap lanjutan. Ketika residen dinyatakan lulus, biasanya diadakan acara ritual seremonial sabagai suatu ungkapan bahagia dan ucapan selamat terhadap residen tersebut. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh komunitas dan masing-masing orang tua mereka terutama orang tua dari residen yang lulus.

Kegiatan-kegiatan yang ada dalam tahap ini adalah:

i. Morning meeting

Morning meeting adalah komponen utama dilaksanakan

setiap pagi hari yang mengawali kegiatan residen dan diikuti oleh seluruh residen. Morning meeting merupakan satu forum untuk membangun nilai-nilai system pada kehidupan yang baru berdasarkan Witten Phylosophy


(47)

Honesty, Trust Environment, Responsibility, Dan

Comitment.

ii. Encounter Group

Group ini dirancang khusus untuk mengekspresikan atau menyatakan perasaan kesal, kecewa, marah, sedih dan lain-lain. Group ini adalah bagian untuk memodifikasi perilaku agar menjadikan lebih displin.

iii. Static Group

Static group adalah bentuk kelompok lain yang digunakan

dalam upaya pengubahan perilaku dalam TC. Kelompok ini membicarakan berbagai macam permasalahan kehidupan seharian dan kehidupan yang lalu.

iv. PAGE (Peer Accountability Group Evaluation)

Suatu kelompok yang mengajarkan residen untuk dapat memberikan suatu penilaian positif dan negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas.

v. Haircut

Salah satu bentuk sanksi yang diberikan kepada residen yang melakukan pelanggaran secara berulang-ulang dan telah diberikan sanksi talking to (teguran lisan secara langsung saat terjadi pelanggaran) dan pull up (peringatan


(48)

dan nasehat yang disampaikan pada forum Morning Meeting).

vi. Weekend Wrap Up

Suatu kegiatan yang membahas perjalanan kehidupan selama 1 minggu. Adapun kekhususan kelompok ini terfokus pada residen-residen yang mendapatkan satu kelonggaran untuk keluar bersama keluarga ataupun bersama teman angkatannya.

vii. Learning Experience

Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan setelah menjalani

Haircut, Family haircut dan general meeting. Tujuannya

agar residen belajar dari pengalamannya untuk mengubah perilaku (behaviour shapping).

Bentuk sanksi dalam learning experience:

Other yaitu bentuk hukuman/sanksi teringan

dengan diberikan tugas yang ringan misalnya menulis tentang perilaku yang dilakukan,

confrontation table yaitu duduk dalam satu meja

dengan mendapat masukan dari residen lain.

Potsink yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan

memberikan tugas kepada residen untuk mencuci peralatan dapur/peralatan makan.

Grounds yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan


(49)

memotong atau mencabut serta menyapu rumput di taman.

Sparepart yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan

memberikan tugas kepada residen pada setiap departemen tergantung koordinator.

Extracuriculer/limbo yaitu bentuk

hukuman/sanksi dengan memberikan tugas kepada residen misalnya untuk menyikat lantai. Pelaksanaan sanksi tersebut akan dievaluasi oleh staff, bagaimana kualitas dan waktu terhadap perubahan perilaku dan emosional dari sanksi tersebut. Apabila perubahan perilaku dan emosional lebih cepat dan kualitasnya baik sanksi dapat dicabut dari waktu yang diberikan.

c. Tahap lanjutan (Re-Entry Stage)

Suatu tahapan proses lanjutan setelah tahap primer dengan tujuan mengembalikan residen kedalam kehidupan masyarakat (resosialisasi) pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 sampai dengan 6 bulan. Tahap ini meliputi:

a) Orientasi

Tahap adaptasi terhadap lingkungan re-entry (pengenalan program). Di dalam orientasi residen didampingi oleh buddy

(dengan syarat sudah lepas dari orientasi) yang ditunjuk oleh staf. Selama orientasi residen tidak boleh meninggalkan panti.


(50)

Tahap ini dilaksanakan selama 2 minggu. Residen belum mendapatkan uang jajan, tidak boleh bertemu orang tua, dan sanksi atas pelanggaran berupa tugas-tugas rumah (task).

b) Fase A

Pada fase ini residen sudah mendapatkan hak berupa. Residen boleh mempunyai aktifitas di luar panti bersama residen lain misalnya Narotic Anonymous Meeting, Sport Out Doors, acara ulang tahun salah satu residen tetapi harus bersama residen lain. c) Fase B

Pada fase ini residen sudah mendapatkan hak berupa; boleh melakukan aktifitas diluar seperti les ataupun bekerja. Hak-hak lain seperti Fase A. pada setiap residen datang dari luar panti harus dilakukan spot shek (pemeriksaan).

d) Fase C

Pada fase ini residen memiliki hak yang sama seperti pada Fase A dan B yang berbeda pada home leave (ijin pulang) tergantung

request dan keputusan staf, misalnya hari senin, selasa, rabu

(hari biasa) dengan tujuan agar residen dapat mengantisipasi apabila di rumah tidak ada orang tua.

Apabila residen sudah melewati Fase A, B, C dengan baik, residen akan mendapatkan konseling perorangan untuk menentukan apakah residen dapat resosialisasi ke masyarakat atau tidak.


(51)

Dalam fase ini juga dilakukan family counseling yaitu konseling yang dilaksanakan antara konselor dengan orang tua membahas isu-isu yang ada di keluarga, apakah sudah diselesaikan atau belum, apakah orang tua siap menerima anaknya atau belum. Kemudian dilakukan pula final counseling (konseling akhir) yang diikuti oleh staf, residen dan orang tua untuk mempersiapkan residen kembali ke rumah dan orang tua kembali menerima anaknya dan membuat komitmen-komitmen dari isu-isu yang ada.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama tahap Re-entry, yaitu:

i. Group Re-entry

Suatu wadah di mana dapat banyak membantu perubahan terhadap sikap dan perilaku dari seseorang residen kearah yang lebih baik.

ii. Treatment

Task (tugas)

Dalam re-entry kita juga akan memberikan hukuman bagi residen yang melanggar peraturan, tetapi bukan

Learning Experience seperti di tahap awal, kita hanya

memberikan tugas-tugas sebagai hukuman yang tidak terlalu berat.

Chores/Function

Agar residen terbiasa untuk melakukan pekerjaan sehari- hari di rumah dan rajin tidak malas.


(52)

Spritual

Dalam re-entry memang ada religious class setiap harinya, tetapi khusus untuk yang beragama Islam juga ditekankan untuk menjalani sholat lima waktu setiap harinya secara teratur.

Counseling

Di dalam re-entry aka nada banyak sekali counseling,

karena residen kemungkinan akan menghadapi banyak sekali masalah baru, sehingga residen sangat membutuhkan sekali pandangan dari konselor terhadap masalahnya.

• Les, Kuliah, Sekolah, Kerja

Gunanya hal tersebut adalah untuk mengembalikan residen ke dunia luar dengan cara bersosialisasi dengan masyarakat umum dan lainnya, dan juga untuk meningkatkan kompetensi dirinya sebagai bekal kehidupan residen di masa yang akan datang.

Time Management

Di dalam re-entry ada banyak sekali waktu senggang, belajar mengatur diri dan waktu setiap harinya, juga belajar mengeluarkan inisiatif diri sendiri untuk mengisi waktu yang kosong.


(53)

Request

Dalam re-entry residen diberi kesempatan untuk meminta barang-barang yang diperlukan. Tidak semua permintaan (request) dikabulkan oleh staf hal ini untuk mengajarkan kepada residen bagaimana mengahargai barang.

Night Entertaiment

Dalam re-entry residen diberikan kesempatan untuk keluar ke tempat hiburan dengan didampingi oleh staf atau keluarga dengan tujuan untuk menguatkan mental dari residen sendiri.

Businness Pass

Residen diberi ijin keluar panti selama 1 hari tanpa menginap untuk memenuhi keperluannya, misalnya mengurus masalah les, kuliah, ada pesta pernikahan, dan lain-lain.

Leisure Time

Waktu luang yang ada di antara setiap kegiatan di dalam panti yang dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang positif misalnya, membaca koran, olahraga, menulis dan lain-lain.

Out Door Sport

Kegiatan olahraga bersama-bersama yang dilakukan di luar panti dan didampingi oleh staf atau senior residen.


(54)

Static Outing

Kelompok kecil dalam tahap re-entry (2-5 residen) yang melakukan kegiatan di luar panti dan di damping oleh

state leader (coordinator/counselor) dengan tujuan

untuk mempererat hubungan antara satu sama lain.

Family Outing

Kegiatan di luar panti yang dilakukan seluruh residen dalam fasilitas dengan didampingi oleh semua koordinator/staf dengan tujuan untuk mempererat hubungan satu sama lain.

Narcotic Anonymous

Kelompok self help yang pesertanya dari berbagai macam alumni rehabilitasi atau recovering addict yang mengadakan pertemuan secara berkala satu minggu sekali yang membahas isu-isu yang ada di antara peserta dengan tujuan berbagi pengalaman atau isu yang ada baik yang negatif maupun positif dan peserta dapat mengambil hikmahnya bagi diri sendiri.

d. Aftercare Program (Bimbingan Lanjut)

Program yang ditujukan bagi eks residen/alumni program ini dilaksanakan di luar panti dan diikuti oleh semua angkatan di bawah supervise dari staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama (Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA, 2002).


(55)

2.6 Kerangka Pemikiran

Narkoba merupakan masalah yang universal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat. Hingga kini penyalahgunaan narkoba hampir tidak bisa dicegah. Bahkan, hampir seluruh penduduk di dunia dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Peredaran narkoba pun semakin merajalela, sehingga angka pemakai/pecandu pun semakin meningkat. Faktor-fakor terjadinya penyalahgunaan narkoba biasanya disebabkan oleh pergaulan antar sesama teman. Efek yang ditimbulkan bila menyalahgunakan narkoba bisa saja membunuh bahkan menghancurkan masa depan bagi si pemakai. Upaya pencegahan pun dilakukan untuk dapat menyelesaikan masalah yang sangat berefek fatal bagi kehidupan masyarakat dengan mengatasi oknum- oknum yang tidak bertanggungjawab ataupun para bandar yang semakin tersebar luas di setiap lapisan masyarakat. Semakin maraknya peredaran narkoba, maka semakin banyak pula jatuhnya korban (pecandu narkoba). Salah satu upaya penyelesaian permasalahan narkoba adalah dengan melalui program rehabilitasi yaitu Therapeutic Community (TC).

Panti rehabilitasi yang menjalankan program TC yang berada di Sumatera Utara, salah satunya adalah Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre atau yang dikenal dengan nama Sibolangit Centre. P erbedaan program TC Sibolangit Centre dengan panti rehabilitasi lainnya yaitu dalam proses treatment.

Sibolangit Centre menambahkan proses treatment yaitu minuman jamu dan pemandian oukup bagi residen. Untuk mengetahui respon residen terhadap program Therapeutic Community (TC) dapat dilihat dari tingkah laku balas atau tindakan yang merupakan wujud dari persepsi, sikap, dan partisipasi residen.


(56)

Persepsi meliputi pengetahuan residen tentang program Therapeutic Community (TC) serta tujuan dan manfaat dari dilaksanakannya program tersebut. Sikap meliputi tentang penilaian terhadap program, apakah program itu diterima atau ditolak dan mengaharapkan atau menghindari program yang diberikan. Partisipasi meliputi tentang menikmati, melaksanakan, memelihara, menilai, frekuensi dan kualitas.


(57)

Bagan Alur Pikir

Program Therapeutic Community (TC)

Residen Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre

RESPON

Persepsi Sikap Partisipasi

Positif Negatif


(58)

2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1 Definisi Konsep

Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah merupakan proses dan upaya penegasan, dan penegasan makna konsep dalam suatu penelitian. Perumusan definisi konsep juga memiliki pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011 : 136-138).

Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Respon adalah tanggapan, reaksi maupun jawaban yang berwujud persepsi, sikap, partisipasi yang didalamnya memuat pemahaman, penilaian, penolakan, penerimaan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada program Therapeutic Community.

2. Residen adalah seluruh penghuni Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

3. Program Therapeutic Community adalah program rehabilitasi yang dibuat dengan tujuan untuk memulihkan dan mengembalikan fungsi sosial daripada residen.

4. Pusat Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Center adalah panti rehabilitasi narkoba non-government yang menerapkan program Therapeutic Community yang berada di kota Sibolangit, Sumatera Utara.

2.7.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian dapat diukur sehingga terjadi transformasi dari unsur konseptual ke dunia nyata. Definisi operasional adalah lanjutan dari perumusan definisi konsep. Jika


(59)

perumusan definisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman mengenai konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan definisi operasional memiliki tujuan untuk mengupayakan transformasi konsep ke dunia nyata, sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141).

Respon residen terhadap program Therapeutic Community oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre dapat diukur dari:

1. Sikap residen terhadap Program Therapeutic Community, meliputi:

a. Penilaian residen adalah pengetahuan atau informasi yang dimiliki residen terhadap program Therapeutic Community yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

b. Penolakan atau penerimaan residen terhadap program Therapeutic Community yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

c. Mengharapkan atau menghindari adalah kesiapan residen panti rehabilitasi untuk menerima dan menjalankan program Therapeutic Community.

2. Persepsi residen panti rehabilitasi tentang Program Therapeutic Community, meliputi:

a. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang program Therapeutic Community.

b. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang tujuan dan manfaat program Therapeutic Community.


(60)

c. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang bagaiamana pelaksanaan program Therapeutic Community.

3. Partisipasi residen panti rehabilitasi terhadap program Therapeutic Community, meliputi:

a. Intensitas kehadiran residen dalam program Therapeutic Community di Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

b. Minat residen dalam memberikan kritik dan saran terhadap pelayanan pekerja sosial di Panti Rehabilitasi Narkoba Sibolangt Centre.

c. Memelihara infrastruktur, sarana dan prasarana Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Center.

d. Mentaati peraturan prosedur program Therapeutic Community di Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit.


(1)

2.6 Kerangka Pemikiran

Narkoba merupakan masalah yang universal yang tidak asing lagi di telinga masyarakat. Hingga kini penyalahgunaan narkoba hampir tidak bisa dicegah. Bahkan, hampir seluruh penduduk di dunia dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Peredaran narkoba pun semakin merajalela, sehingga angka pemakai/pecandu pun semakin meningkat. Faktor-fakor terjadinya penyalahgunaan narkoba biasanya disebabkan oleh pergaulan antar sesama teman. Efek yang ditimbulkan bila menyalahgunakan narkoba bisa saja membunuh bahkan menghancurkan masa depan bagi si pemakai. Upaya pencegahan pun dilakukan untuk dapat menyelesaikan masalah yang sangat berefek fatal bagi kehidupan masyarakat dengan mengatasi oknum- oknum yang tidak bertanggungjawab ataupun para bandar yang semakin tersebar luas di setiap lapisan masyarakat. Semakin maraknya peredaran narkoba, maka semakin banyak pula jatuhnya korban (pecandu narkoba). Salah satu upaya penyelesaian permasalahan narkoba adalah dengan melalui program rehabilitasi yaitu Therapeutic Community (TC).

Panti rehabilitasi yang menjalankan program TC yang berada di Sumatera Utara, salah satunya adalah Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre atau yang dikenal dengan nama Sibolangit Centre. P erbedaan program TC

Sibolangit Centre dengan panti rehabilitasi lainnya yaitu dalam proses treatment.

Sibolangit Centre menambahkan proses treatment yaitu minuman jamu dan

pemandian oukup bagi residen. Untuk mengetahui respon residen terhadap program Therapeutic Community (TC) dapat dilihat dari tingkah laku balas atau tindakan yang merupakan wujud dari persepsi, sikap, dan partisipasi residen.


(2)

Persepsi meliputi pengetahuan residen tentang program Therapeutic Community (TC) serta tujuan dan manfaat dari dilaksanakannya program tersebut. Sikap meliputi tentang penilaian terhadap program, apakah program itu diterima atau ditolak dan mengaharapkan atau menghindari program yang diberikan. Partisipasi meliputi tentang menikmati, melaksanakan, memelihara, menilai, frekuensi dan kualitas.


(3)

Bagan Alur Pikir

Program Therapeutic Community (TC)

Residen Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre

RESPON

Persepsi Sikap Partisipasi

Positif Negatif


(4)

2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1 Definisi Konsep

Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah merupakan proses dan upaya penegasan, dan penegasan makna konsep dalam suatu penelitian. Perumusan definisi konsep juga memiliki pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011 : 136-138).

Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah:

1. Respon adalah tanggapan, reaksi maupun jawaban yang berwujud persepsi, sikap, partisipasi yang didalamnya memuat pemahaman, penilaian, penolakan, penerimaan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada program Therapeutic Community.

2. Residen adalah seluruh penghuni Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

3. Program Therapeutic Community adalah program rehabilitasi yang dibuat dengan tujuan untuk memulihkan dan mengembalikan fungsi sosial daripada residen.

4. Pusat Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Center adalah panti

rehabilitasi narkoba non-government yang menerapkan program

Therapeutic Community yang berada di kota Sibolangit, Sumatera Utara.

2.7.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian dapat diukur sehingga terjadi transformasi dari unsur konseptual ke dunia nyata. Definisi operasional adalah lanjutan dari perumusan definisi konsep. Jika


(5)

perumusan definisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman mengenai konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan definisi operasional memiliki tujuan untuk mengupayakan transformasi konsep ke dunia nyata, sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141).

Respon residen terhadap program Therapeutic Community oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre dapat diukur dari:

1. Sikap residen terhadap Program Therapeutic Community, meliputi:

a. Penilaian residen adalah pengetahuan atau informasi yang dimiliki residen terhadap program Therapeutic Community yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

b. Penolakan atau penerimaan residen terhadap program Therapeutic Community yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

c. Mengharapkan atau menghindari adalah kesiapan residen panti

rehabilitasi untuk menerima dan menjalankan program

Therapeutic Community.

2. Persepsi residen panti rehabilitasi tentang Program Therapeutic Community, meliputi:

a. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang program Therapeutic Community.

b. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang tujuan dan manfaat program Therapeutic Community.


(6)

c. Pengetahuan residen panti rehabilitasi tentang bagaiamana pelaksanaan program Therapeutic Community.

3. Partisipasi residen panti rehabilitasi terhadap program Therapeutic Community, meliputi:

a. Intensitas kehadiran residen dalam program Therapeutic Community di Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Centre.

b. Minat residen dalam memberikan kritik dan saran terhadap pelayanan pekerja sosial di Panti Rehabilitasi Narkoba Sibolangt Centre.

c. Memelihara infrastruktur, sarana dan prasarana Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit Center.

d. Mentaati peraturan prosedur program Therapeutic Community di Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamaal Sibolangit.