Makna Hidup Pada Wanita Aceh Bergelar Syarifah Yang Melajang

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki cukup banyak suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2010). Suku Aceh adalah salah satu suku yang mendiami bagian utara Pulau Sumatera dan merupakan daerah paling barat dari wilayah Nusantara (Sufi, 2004).

Suku Aceh berasal dari suku-suku asli seperti suku Mante (Bante) dan Lhan. Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya (Aceh, 1971). Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa (Sufi, 2004). Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboja. Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing yang ada di Aceh, yaitu bangsa Arab dan India (Sulaiman, dkk, 1990). Kedatangan bangsa Arab dan India berhubungan erat dengan penyebaran agama Islam di Aceh. Oleh sebab itu, mayoritas penduduk Aceh beragama Islam (Sufi, 2004).

Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut yang memiliki marga-marga, seperti al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, aal- Almasyhur, Al-Fardhi, dan lain lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman (al-Masyhur, 2013). Mereka datang sebagai ulama dan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang di Indonesia.


(2)

Bangsa Arab yang tersebar di berbagai daerah Aceh hampir keseluruhan berdomisili di pesisir pantai. Laki-laki keturunan bangsa Arab mendapat gelar Sayyid atau Habib dan yang perempuan bergelar Syarifah (Sufi, 2004). Bangsa Arab di Aceh dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, sehingga kelompok ini merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh (Sufi, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan Ibu SM yang merupakan salah satu wanita bergelar Syarifah.

“Asal keturunan, kiban rhoh lon peugah, dari keturunan Rasulullah. Kamoe keturunan Quraisy sebenar jih. Cuma marga jih leu macam, na al-Habsyi, al-Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap marga na kekhasan tersendiri…”

“(asal keturunan, gimana ya mengatakannya, dari keturunan Rasulullah. Kami sebenarnya berasal dari keturunan kaum Quraisy. Dan marganya macam-macam, ada al-Habsyi, al- Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap marga punya kekhasan tersendiri…)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang berasal dari keturunan bangsa Arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW diharuskan untuk tetap mempertahankan keturunan, gelar dan marga yang mereka miliki. Hal ini tampak dalam hal pernikahan seorang Syarifah. Kekerabatan keturunan bangsa Arab bersifat patrilineal, dimana seorang anak mengikuti garis keturunan ayahnya dan mengenal endogamy yang ketat, sehingga hanya laki-laki yang diizinkan untuk menikah ke luar kelompoknya dan untuk menjaga garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Syarifah haruslah menikah dengan yang sekufu atau sebanding/sederajat, artinya jodoh Syarifah juga


(3)

haruslah dari sesama keturunan bangsa Arab khususnya keturunan Nabi Muhammad SAW (Kinasih, 2013).

Fenomena berlakunya peraturan keharusan wanita bergelar Syarifah mendapatkan jodoh seorang Sayyid juga masih terjadi hingga saat ini di Aceh. Namun, saat ini banyak dari mereka yang sudah melakukan perkawinan campuran dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Meski begitu, fenomena perkawinan campuran masih merupakan hal yang sangat ditentang dalam keluarga Sayyid/Syarifah. Salah satu alasan masyarakat keturunan Arab tidak ingin melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi karena mereka sangat mementingkan silsilah nasabnya dan tidak boleh memutuskan garis keturunan Rasulullah SAW (Kinasih, 2013).

Suatu hal yang universal bahwa setiap orang di seluruh dunia memiliki kebutuhan dan berkeinginan untuk berkomitmen dengan seseorang yang disukai (Matsumoto, 2008). Matsumoto (2008) menyatakan bahwa ada perbedaan secara budaya dimana orang-orang diseluruh dunia membentuk sebuah hubungan romantis. Hal ini pula yang mempengaruhi kehidupan di masa dewasa awal wanita bergelar Syarifah. Menurut Erickson (dalam Santrock, 2003), individu dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial akan menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain. Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya.


(4)

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan pasangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Pada masa dewasa awal inilah individu akan membuat komitmen personal dengan orang lain, yakni dengan membentuk sebuah keluarga.

Berbeda dengan sebagian wanita aceh bergelar Syarifah. Aturan untuk mempertahankan kemurnian keturunan dan marga, dan tuntutan untuk menikah mengharuskan wanita bergelar Syarifah menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid. Hal ini menyebabkan banyak wanita bergelar Syarifah belum memenuhi salah satu tugas perkembangan di masa dewasa awal, yaitu menikah. Umumnya, salah satu alasan wanita bergelar Syarifah belum menikah dikarenakan memilih untuk menunggu jodoh datang (laki-laki bergelar Sayyid) hingga umur mereka tidak lagi muda (Kinasih, 2013). Selain itu, ada Syarifah yang memang memilih untuk tidak menikah, dikarenakan adanya pertentangan oleh keluarga jika menikah dengan penduduk pribumi dan juga tidak mau dijodohkan. Hal tersebut menyebabkan banyak wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga usia mereka memasuki masa lanjut usia. Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan Ibu SM wanita yang bergelar Syarifah.


(5)

“Banyak yang golom menikah,sampe na padip-padip droe ka tuha, leu karena ureueng nyan galak keu ureueng biasa, sedangkan dari pihak keluarga han geutem, harus menikah ngon Sayyid, hanjeut ngon ureueng biasa. Alheueh nyan karena geu tentang meunan, kakeuh hana geutem menikah lee,ka patah hati, akhirnya memilih hidup sendiri.”

“(Banyak Syarifah yang belum nikah karena belum mendapatkan Sayyid, sampai uda tua-tua, sebagian bukan karena gak dapat Sayyid, tapi ada kayak perasaan patah hati. Karena Syarifah itu suka sama orang biasa, tapi gak boleh sama keluarga, ditentang habis-habisan. Jadi, karena sakit hati, memilih hidup sendiri.)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), ada konsekuensi yang harus diterima individu dari kegagalan menguasai tugas-tugas perkembangan. Para anggota kelompok sebaya individu bisa saja menganggapnya belum matang, sehingga memicu stigma negatif pada diri individu tersebut. Seorang Syarifah yang tidak menikah hingga masuk dewasa madya bahkan usia lanjut menyebabkan ia tidak memenuhi tugas perkembangan pada masa dewasa awal. Hal ini mengakibatkan adanya penilaian negatif pada dirinya yang akhirnya menumbuhkan konsep diri yang negatif pula (Hurlock, 1999). Situasi ini akan membuat kehidupan seorang Syarifah berada dalam keadaan penderitaan.

Al-Masyhur (2013) menyatakan bahwa hidup sebagai seorang Syarifah merupakan sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun, keharusan seorang Syarifah meneruskan keturunan dengan menikahi seorang Sayyid menjadi suatu situasi penderitaan bagi sebagian Syarifah. Hal ini tampak dari ungkapan seorang Syarifah pada sebuah artikel.


(6)

“Aku beranjak dewasa, dan kini sampailah di umurku yang telah berkepala dua. Maka tidaklah malu lagi bila di umurku ini aku dan keluargaku telah berfikir mengenai pendamping hidup. Namun aku di hadapkan pada keadaan ini, dan aku adalah seorang syarifah. Wajib bagiku (katanya) meneruskan nasab Rasul…

…. Aku kebingungan setengah mati di umurku yang mendekati kematangan ini, aku sungguh tiada mendustakan nikmat menjadi syarifah dengan segala keutamaan. Namun bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini.”

Dee (dalam artikel Kisahku Seorang Syarifah, 2013)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aturan yang mengharuskan wanita bergelar Syarifah untuk mempertahankan kemurnian keturunan menjadi salah satu situasi penderitaan bagi wanita bergelar Syarifah. Penderitaan lain yang dialami wanita bergelar Syarifah adalah hidup melajang hingga usia lanjut. Menurut Trovato dan Lauris (dalam DeGenova, 2008), secara umum, orang-orang yang melajang memiliki kesehatan yang lebih rendah daripada orang yang telah menikah dan juga memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Selain itu, perasaan kesepian, keterasingan dari lingkungan sosial, dan keinginan memiliki anak merupakan kerugian dan penderitaan yang akan dialami oleh wanita yang belum menikah (DeGenova, 2008). Status wanita bergelar Syarifah yang melajang hingga usia lanjut, pada awalnya menimbulkan perasaan kehampaan, kebingungan, putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup. Hal tersebut seperti ungkapan seorang wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga usia lanjut.

hai watee nyan na sit, merasa hana mangat, umu meutamah laju, ka tuha, pane na ureueng galak keu geutanyoe lom…”


(7)

“(waktu itu, ada juga merasa gimana gitu, umur semakin bertambah, semakin tua, mana ada lagi orang yang suka…)”

(Komunikasi Personal, 1 Desember 2013)

Setiap orang dalam hidupnya tentu pernah mengalami penderitaan, terlepas dari berat-ringannya penderitaan yang ada. Oleh karena itu, Bastaman (2007) menyatakan bahwa untuk dapat bertahan pada setiap penderitaan yang dialami, tentunya diperlukan kepribadian yang sehat dan tangguh berupa tubuh sehat, akhlak yang luhur, sikap tegas, keyakinan dan tujuan hidup yang jelas dalam kehidupan. Hal ini juga yang dilakukan oleh seorang wanita bergelar Syarifah dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan sebagai seorang yang bergelar Syarifah. Wanita bergelar Syarifah menjalani kehidupan dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ibu SM, saudara perempuan wanita bergelar Syarifah.

meunyoe kak, hana meu kon teuh. Geu seumbahyang hantom tinggai, geu puasa sabee na, jadi hana lee geu pike keu nyang laen-laen. Kiban nyang lagee na…”

“(Kakak saya (belum menikah), masalah ketaatan, sangat bagus. Shalat tidak pernah tinggal, puasa wajib dan puasa sunat selalu, jadi tidak lagi berpikir yang macam-macam, hidup sebagaimana adanya…)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Frankl (2004) mengungkapkan bahwa penderitaan dan rintangan akan memberikan seseorang kesempatan yang banyak meskipun dalam keadaan yang paling sulit, sebagai proses untuk memaknai segala peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa, di balik penderitaan yang


(8)

dialami sebagai wanita bergelar Syarifah, bukan berarti nilai dan arti kehidupan tidak dapat ditemukan. Frankl (dalam Schultz, 1994) percaya bahwa makna dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk dalam situasi menjalani penderitaan. Frankl menyatakan.

“Hidup adalah menderita, tetapi untuk menemukan suatu arti dalam penderitaan seseorang adalah tetap hidup.”

(Frankl dalam Schultz, 1994)

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dalam penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Frankl (2004) mengemukakan lebih lanjut, makna hidup bahkan dapat ditemukan saat seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak membawa harapan, dihadapkan pada nasib yang tidak bisa diubah.

Penelitian dilakukan oleh Putri (2009) mengenai makna hidup pada perempuan dewasa yang berperan ganda, menunjukkan bahwa dua dari tiga subjek dalam penelitian ini mampu memaknai kehidupannya secara baik, karena subjek tidak merasa bahwa peran ganda adalah hal yang menyakitkan. Subjek memiliki hidup yang lebih bermakna karena dapat merasakan kebahagiaan selama menjalani peran ganda serta mampu membahagiakan orang lain.

Sejalan dengan kasus dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri (2009), tentang perempuan yang memutuskan hanya menjalani satu peran hidup sebagai wanita yang melajang. Lisa (35 tahun) menyatakan bahwa tetap merasa bahagia dengan statusnya yang melajang, berikut penyataan Lisa:


(9)

“Walaupun tidak memiliki pendamping hidup saya tidak merasa sedih dan kesepian, pekerjaan saya saja sudah sangat menyita waktu tidak ada waktu untuk mengurusi keluarga jika saya menikah. Saya sudah bahagia dengan hidup saya yang seperti ini. Keluarga pun mendukung keputusan saya”

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun, baik keadaan menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, makna hidup seharusnya dapat ditemukan oleh setiap orang (Frankl, 2004). Sebaliknya tidak semua orang mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalani, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Putri (2009) mengenai makna hidup pada wanita dewasa madya yang berperan ganda. Putri (2009) menyatakan bahwa subjek penelitiannya yang ketiga memiliki kehidupan yang kurang bermakna, dimana subjek hanya merasa telah bisa membahagiakan orang tua namun tidak dapat merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan berperan ganda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa walaupun seharusnya setiap orang mampu menemukan makna hidup, namun tidak semua orang mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalaninya (Bastaman, 2007).

Setiap manusia pada dasarnya, memiliki hasrat untuk menemukan makna, tidak terkecuali wanita bergelar Syarifah. Kehidupan yang bermakna akan menyebabkan kehidupan yang dijalani lebih berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness) (Bastaman, 2007). Perasaan bahagia tersebut merupakan hasil dari kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya.


(10)

Menurut Bastaman (1996) dalam proses menemukan hidup bermakna, terdapat beberapa tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut digolongkan menjadi lima, yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna.

Penderitaan merupakan tahap awal dalam proses mendapatkan hidup yang bermakna. Pada tahap derita, individu akan dihadapkan pada situasi dimana individu tidak mampu untuk mengubah atau menghindarinya berupa kondisi nasib yang tidak bisa di ubah (Frankl, dalam Schultz, 1994). Apabila seseorang berhadapan dengan situasi tersebut, satu-satunya cara yang rasional yang dapat dilakukan adalah menerimanya. Cara bagaimana seseorang mampu mengubah sikapnya terhadap nasib yang tidak bisa diubah dan melihat makna dari penderitaan yang telah dialami merupakan proses kedua yang dilalui oleh individu dalam menemukan hidup bermakna, yaitu penerimaan diri. Hal inilah yang dilakukan oleh wanita bergelar Syarifah terhadap keadaannya yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut. Seperti ungkapan wanita bergelar Syarifah berikut.

ta pikee ju ka lagee nyoe tekeudi geubi le Poe, ta jalani kiban nyang na, keu peu ta peususah droe teuh..

“(berpikir positif, memang sudah seperti ini taqdir Allah, jalani saja sebagaimana mestinya, tidak perlu bersedih hati...)”

(Komunikasi Personal, 1 Desember 2013) Ada tiga nilai-nilai sikap sebagai cara memberi makna bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup,


(11)

apabila nilai-nilai tersebut diterapkan dan dipenuhi. Dengan memasukkan ketiga nilai tersebut, seseorang memasuki tahap ketiga dalam proses penemuan hidup bermakna, yaitu tahap penemuan makna, dimana adanya kemampuan seseorang memberi arti dari setiap peristiwa yang dialami. Ketiga nilai tersebut menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) adalah nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai-nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Proses menemukan kebermaknaan hidup yang terakhir adalah tahap realisasi makna dan tahap hidup bermakna. Pada tahap ini individu mampu melakukan kegiatan yang terarah untuk penemuan makna dan pemenuhan tujuan hidup. Hal ini seperti yang ditulis oleh Frankl:

“Kekhasan manusia ialah dia hanya dapat hidup dengan melihat masa

depan.”

(Frankl, dalam Schultz, 1994) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki alasan untuk tetap meneruskan kehidupan, untuk menyelesaikan tujuan di masa yang akan datang. Selain itu seseorang harus memiliki komitmen (self-commitment) terhadap makna dan tujuan hidup dengan memberi sesuatu kepada dunia. Hal ini dapat direalisasikan dengan baik melalui pekerjaan atau tugas seseorang. Karena, menurut Frankl (dalam Schultz, 1994), seseorang dapat menemukan makna melalui pekerjaan, sehingga makna dapat ditemukan hampir pada setiap pekerjaan mana pun juga. Oleh karena itu, penghayatan kehidupan bermakna dapat dicapai apabila seseorang telah


(12)

berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga menimbulkan kebahagiaan.

“… dengan melibatkan diri dalam kegiatan bermakna, seseorang akan menikmati kebahagiaan sebagai hasil sampingan…,”

William S. Sahakian (dalam Bastaman, 2007) Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah disebutkan, makna hidup tentu dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang dewasa (seharusnya) mampu menemukannya, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan (Bastaman, 2007). Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menemukan makna. Hal ini juga terjadi pada wanita bergelar Syarifah. Makna hidup tidak akan didapat begitu saja tanpa wanita bergelar Syarifah mampu melawan berbagai permasalahan dan menyikapi dengan lebih bijaksana. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses seorang wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut dalam menemukan makna hidup di tengah berbagai permasalahan yang mungkin dialami sebagai wanita yang menyandang gelar Syarifah.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan yaitu:

a. Bagaimana tahapan pencarian makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?


(13)

b. Bagaimana sumber makna hidup ikut berperan dalam pencarian makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses mencapai makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

- Memberi pengetahuan baru bagi mahasiswa mengenai gambaran makna hidup pada wanita bergelar Syarifah

- Menambah wawasan mengenai kehidupan seorang bergelar Syarifah dan bagaimana peradaban masyarakat keturunan Arab di Aceh.

b. Manfaat Praktis

- Subjek (wanita bergelar Syarifah) lebih dapat mengenali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki dan menjalani kehidupan dengan baik dan bahagia.

- Menjadi salah satu sumber rujukan bagi penelitian yang bertemakan kehidupan bermakna dalam konteks budaya.


(14)

D. Sistematika Penelitian Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis, yakni pembahasan teori makna hidup dan pembahasan teori mengenai keturunan Nabi Muhammad SAW (sistem pernikahan Sayyid/Syarifah). Teori tersebut tentunya berhubungan dengan fokus penelitian. Bab ini diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II


(15)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan memberikan saran berupa saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(1)

Menurut Bastaman (1996) dalam proses menemukan hidup bermakna, terdapat beberapa tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut digolongkan menjadi lima, yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna.

Penderitaan merupakan tahap awal dalam proses mendapatkan hidup yang bermakna. Pada tahap derita, individu akan dihadapkan pada situasi dimana individu tidak mampu untuk mengubah atau menghindarinya berupa kondisi nasib yang tidak bisa di ubah (Frankl, dalam Schultz, 1994). Apabila seseorang berhadapan dengan situasi tersebut, satu-satunya cara yang rasional yang dapat dilakukan adalah menerimanya. Cara bagaimana seseorang mampu mengubah sikapnya terhadap nasib yang tidak bisa diubah dan melihat makna dari penderitaan yang telah dialami merupakan proses kedua yang dilalui oleh individu dalam menemukan hidup bermakna, yaitu penerimaan diri. Hal inilah yang dilakukan oleh wanita bergelar Syarifah terhadap keadaannya yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut. Seperti ungkapan wanita bergelar Syarifah berikut.

ta pikee ju ka lagee nyoe tekeudi geubi le Poe, ta jalani kiban nyang na, keu peu ta peususah droe teuh..

“(berpikir positif, memang sudah seperti ini taqdir Allah, jalani saja sebagaimana mestinya, tidak perlu bersedih hati...)”

(Komunikasi Personal, 1 Desember 2013) Ada tiga nilai-nilai sikap sebagai cara memberi makna bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup,


(2)

apabila nilai-nilai tersebut diterapkan dan dipenuhi. Dengan memasukkan ketiga nilai tersebut, seseorang memasuki tahap ketiga dalam proses penemuan hidup bermakna, yaitu tahap penemuan makna, dimana adanya kemampuan seseorang memberi arti dari setiap peristiwa yang dialami. Ketiga nilai tersebut menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) adalah nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai-nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Proses menemukan kebermaknaan hidup yang terakhir adalah tahap realisasi makna dan tahap hidup bermakna. Pada tahap ini individu mampu melakukan kegiatan yang terarah untuk penemuan makna dan pemenuhan tujuan hidup. Hal ini seperti yang ditulis oleh Frankl:

“Kekhasan manusia ialah dia hanya dapat hidup dengan melihat masa depan.”

(Frankl, dalam Schultz, 1994) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki alasan untuk tetap meneruskan kehidupan, untuk menyelesaikan tujuan di masa yang akan datang. Selain itu seseorang harus memiliki komitmen (self-commitment) terhadap makna dan tujuan hidup dengan memberi sesuatu kepada dunia. Hal ini dapat direalisasikan dengan baik melalui pekerjaan atau tugas seseorang. Karena, menurut Frankl (dalam Schultz, 1994), seseorang dapat menemukan makna melalui pekerjaan, sehingga makna dapat ditemukan hampir pada setiap pekerjaan mana pun juga. Oleh karena itu, penghayatan kehidupan bermakna dapat dicapai apabila seseorang telah


(3)

berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga menimbulkan kebahagiaan.

“… dengan melibatkan diri dalam kegiatan bermakna, seseorang akan menikmati kebahagiaan sebagai hasil sampingan…,”

William S. Sahakian (dalam Bastaman, 2007) Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah disebutkan, makna hidup tentu dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang dewasa (seharusnya) mampu menemukannya, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan (Bastaman, 2007). Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menemukan makna. Hal ini juga terjadi pada wanita bergelar Syarifah. Makna hidup tidak akan didapat begitu saja tanpa wanita bergelar Syarifah mampu melawan berbagai permasalahan dan menyikapi dengan lebih bijaksana. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses seorang wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut dalam menemukan makna hidup di tengah berbagai permasalahan yang mungkin dialami sebagai wanita yang menyandang gelar Syarifah.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan yaitu:

a. Bagaimana tahapan pencarian makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?


(4)

b. Bagaimana sumber makna hidup ikut berperan dalam pencarian makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses mencapai makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

- Memberi pengetahuan baru bagi mahasiswa mengenai gambaran makna hidup pada wanita bergelar Syarifah

- Menambah wawasan mengenai kehidupan seorang bergelar Syarifah dan bagaimana peradaban masyarakat keturunan Arab di Aceh.

b. Manfaat Praktis

- Subjek (wanita bergelar Syarifah) lebih dapat mengenali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki dan menjalani kehidupan dengan baik dan bahagia.

- Menjadi salah satu sumber rujukan bagi penelitian yang bertemakan kehidupan bermakna dalam konteks budaya.


(5)

D. Sistematika Penelitian Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis, yakni pembahasan teori makna hidup dan pembahasan teori mengenai keturunan Nabi Muhammad SAW (sistem pernikahan Sayyid/Syarifah). Teori tersebut tentunya berhubungan dengan fokus penelitian. Bab ini diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II


(6)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan memberikan saran berupa saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.