Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang.

(1)

KESEPIAN PADA DEWASA MADYA YANG HIDUP

MELAJANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NOVITA SARI

051301033

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

Novita Sari NIM : 051301033


(3)

Kesepian Pada Dewasa Madya Yang Hidup Melajang Novita Sari dan Ika Sari Dewi

ABSTRAK

Kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan jenis hubungan sosial yang dimiliki (Perlman & Peplau, 1981). Wanita dewasa madya yang hidup melajang dengan usia 40-60 tahun jika belum memiliki pasangan akan menimbulkan kesepian karena tidak menjalankan tugas perkembangan yakni menjalankan rumah tangga, mendidik anak hingga anak-anak mereka dewasa (Havighurst, dalam Hurlock, 1998). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dinamika kesepian yang dirasakan oleh individu yang berada pada usia dewasa madya dan berstatus lajang serta mendapat gambaran tentang kesepian yang mereka rasakan yakni penyebab, perasaan dan faktor yang mempengaruhi kesepian itu sendiri serta reaksi mereka terhadap kesepian. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah wanita dewasa madya yang belum menikah sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden merasakan bentuk kesepian berdasarkan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda yaitu isolasi emosional dan durasi kesepian yaitu transcient loneliness, transtitional loneliness didapat pada responden III. Bentuk kesepian yang dirasakan ketiganya berdasarkan sifat kemenetapannya adalah state loneliness. Penyebab kesepian yang dirasakan pada responden I adalah tidak memiliki pasangan, tinggal sendiri, perubahan situasi, dan eksternal stabil. Pada responden II adalah perubahan situasi, eksternal-stabil, dan eksternal-tidak stabil. Pada responden III adalah tidak memiliki pasangan, ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tinggal sendiri, dan tidak bisa kemana-mana, perubahan suasana hati, internal-tidak stabil dan eksternal-stabil. Perasaan kesepian yang dirasakan pada responden I adalah putus asa, takut, merasa ditinggalkan, mendapat kecaman, bosan, ingin berada di tempat lain, kesulitan, marah, merasa tidak aman dan nyaman, sedih, menyesali diri, dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Pada responden II ditemukan perasaan takut, mendapat kecaman, bosan, ingin berada di tempat lain, marah, merasa tidak aman dan nyaman, sedih, menyesali diri, mengasingkan diri, dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Perasaan yang ditemukan pada responden III adalah tidak berdaya, takut, merasa ditinggalkan, mendapat kecaman, tidak sabar, bosan, ingin berada di tempat lain, marah, merasa tidak aman, sedih, hampa dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Faktor yang mempengaruhi ketiganya adalah usia dan status perkawinan.Reaksi kesepian yang dilakukan ketiga responden adalah melakukan kegiatan aktif, pasif, membuat kontak sosial dan melakukan kegiatan selingan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala yang telah memberikan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang”

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibunda tercinta, Hj. Hasnah; dan Ayahanda tersayang H. Ferrizal, SE, atas segala cinta, kasih sayang, do’a serta dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Tak lupa pula kepada kakak dan adikku, Ferra Andriani, SE, Hastina Febriaty, SE dan Rahmad Syahputra yang selalu memberikan kekuatan dan menjadi penghibur di saat-saat penuh tantangan. Semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya dan menjadi keluarga yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, selaku dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis dengan penuh kesabaran, pengertian dan semangat memberikan masukan, arahan, saran dan kritikan serta energi baru sehingga sangat membantu penulis dalam


(5)

memahami dan menemukan esensi dari sebuah penelitian dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat dan rintangan yang sangat berat.

3. Ibu Dra. Sri Supriyantini, M.Si, Psi. selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, bimbingan, masukan dan nasehat ibu dari awal saya kuliah sampai saat ini.

4. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan selama perkuliahan: Pak Iskandar, Pak Aswan, Pak Wanto, Kak Ari, Kak Devi, Bang Ali, Bu Ila dan Bu Ida yang selama ini membantu dalam urusan administrasi. Terima kasih ya.

5. Tante Siti, Ibu Sri, Wak As, Om Win dan Ibu Iyen yang selalu memberikan semangat dan membantu Novi dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Para senior Psikologi, terutama Kak Nina, Kak Debby, Bang Joko, dll yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah penulis serta berbagi ilmu dan memberikan masukan bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku, C3. Citra, Ita, Diah, Mega, Febri, Cici, terimakasih untuk brainstorming, dukungan, semangat, kritik, marah-marahnya dan semuanya. Untuk Almarhumah Anzel, terima kasih atas segalanya yang telah memberikan aspirasi bagi Novi dalam mengerjakan skripsi ini. Teman seperjuangan angkatan 2005. Terima kasih.

8. Sobat-sobat tercinta. Nani, Afni, Nita, Mbak Dewi, Maria, Yoland, Krista terima kasi ya teman-teman udah ngasih semangat dan doa buat Novi dalam


(6)

mengerjakan skripsi. Kalian telah menghibur hatiku saat aku sedang susah dan tidak berdaya.

9. Bang Ari, bang Endang, bang Hendra, bang Jono. Terima kasih atas segala dukungannya.

10.Gindi, Arif, Yuri, Willy, Sri, Ika, Irma dan Habib terima kasih udah ngasih semangat buat Novi untuk menyelesaikan skripsi ini. Makasih atas dukungan dan doa kalian.

11.Seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua. Amin.

Medan, Desember 2009

Penulis Novita Sari


(7)

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... .. iv

ABSTRACT ... ..v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..………...1

B. Perumusan Masalah...11

C. Tujuan Penelitian...11

D. Manfaat Penelitian...12

1. Manfaat Teoritis...12

2. Manfaat Praktis...12


(8)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kesepian...14

1. Pengertian Kesepian...14

2. Bentuk-bentuk Kesepian...15

3. Penyebab Kesepian………17

4. Perasaan Individu Ketika Mengalami kesepian………...22

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian………..25

6. Reaksi terhadap Kesepian…………...26

B. Dewasa Madya………...27

1. Pengertian Dewasa Madya………..27

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya………...28

3. Karateristik Dewasa Madya………..…...29

4. Penyesuaian pada Dewasa Madya………..….31

C. Melajang ………....33

1. Pengertian Melajang………...33

2. Sebab-sebab Melajang………...34

3. Faktor-faktor Melajang………..…..36

4. Jenis Individu yang Menjalani Status Lajang………..……37

D. Dewasa Madya Melajang………..…….38

E. Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang………..……….38


(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif………...…41

B. Metode Pengambilan Data………...42

1. Wawancara……….42

C. Responden Penelitian………...43

1. Karakteristik Responden………...43

2. Jumlah Responden……….44

3. Prosedur Pengambilan Responden……….45

D. Lokasi Penelitian………...45

E. Alat Bantu Pengumpulan Data………...46

F. Kredibilitas Penelitian………..47

G. Prosedur Penelitian………...48

1. Tahap Persiapan Penelitian………48

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian………50

3. Tahap Pencatatan Data………...51

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data………52

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Deskripsi Data ...54

1. Jadwal dan tempat wawancara ………..………. 54

B. Analisa Data ... 55

1. Responden I ... 55


(10)

3. Responden III...73

C. Interpretasi ...89

1. Responden I ...104

2. Responden II...111

3. Responden III...117

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...133

A. Kesimpulan...133

B. Diskusi...137

C. Saran ...140

1. Saran Praktis ... 140

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 141


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab...21 Tabel 2 Gambaran Umum Responden Penelitian………..54 Tabel 3 Perbandingan Latar Belakang Hidup Melajang Responden………...…123 Tabel 4 Perbandingan Kesepian pada Responden………...124


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


(13)

Kesepian Pada Dewasa Madya Yang Hidup Melajang Novita Sari dan Ika Sari Dewi

ABSTRAK

Kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan jenis hubungan sosial yang dimiliki (Perlman & Peplau, 1981). Wanita dewasa madya yang hidup melajang dengan usia 40-60 tahun jika belum memiliki pasangan akan menimbulkan kesepian karena tidak menjalankan tugas perkembangan yakni menjalankan rumah tangga, mendidik anak hingga anak-anak mereka dewasa (Havighurst, dalam Hurlock, 1998). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dinamika kesepian yang dirasakan oleh individu yang berada pada usia dewasa madya dan berstatus lajang serta mendapat gambaran tentang kesepian yang mereka rasakan yakni penyebab, perasaan dan faktor yang mempengaruhi kesepian itu sendiri serta reaksi mereka terhadap kesepian. Teknik pengambilan responden pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah wanita dewasa madya yang belum menikah sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden merasakan bentuk kesepian berdasarkan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda yaitu isolasi emosional dan durasi kesepian yaitu transcient loneliness, transtitional loneliness didapat pada responden III. Bentuk kesepian yang dirasakan ketiganya berdasarkan sifat kemenetapannya adalah state loneliness. Penyebab kesepian yang dirasakan pada responden I adalah tidak memiliki pasangan, tinggal sendiri, perubahan situasi, dan eksternal stabil. Pada responden II adalah perubahan situasi, eksternal-stabil, dan eksternal-tidak stabil. Pada responden III adalah tidak memiliki pasangan, ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tinggal sendiri, dan tidak bisa kemana-mana, perubahan suasana hati, internal-tidak stabil dan eksternal-stabil. Perasaan kesepian yang dirasakan pada responden I adalah putus asa, takut, merasa ditinggalkan, mendapat kecaman, bosan, ingin berada di tempat lain, kesulitan, marah, merasa tidak aman dan nyaman, sedih, menyesali diri, dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Pada responden II ditemukan perasaan takut, mendapat kecaman, bosan, ingin berada di tempat lain, marah, merasa tidak aman dan nyaman, sedih, menyesali diri, mengasingkan diri, dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Perasaan yang ditemukan pada responden III adalah tidak berdaya, takut, merasa ditinggalkan, mendapat kecaman, tidak sabar, bosan, ingin berada di tempat lain, marah, merasa tidak aman, sedih, hampa dan berharap memiliki seseorang yang spesial. Faktor yang mempengaruhi ketiganya adalah usia dan status perkawinan.Reaksi kesepian yang dilakukan ketiga responden adalah melakukan kegiatan aktif, pasif, membuat kontak sosial dan melakukan kegiatan selingan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah masa dewasa. Papalia (2008) mendefinisikan masa dewasa madya dalam terminologi kronologis, yaitu tahun-tahun antara usia 45 dan 65 tahun. Jung (dalam Papalia, 2008) berpendapat bahwa perkembangan dewasa madya yang sehat menuntun individuasi yaitu kemunculan diri sejati melalui penyeimbangan atau pengintegrasian bagian kepribadian yang saling berlawanan, termasuk bagian-bagian yang sebelumnya diabaikan. Hal ini berarti individu dewasa madya berkonsentrasi pada kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat serta mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang akan membantu mereka mencapai tujuan eksternal.

Dewasa madya merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena masa ini ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam, menuntut peran dan tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun perusahaan, merawat orangtua mereka, membesarkan anak, dan mulai menata karir yang baru (Gallagher, 1993; Lachman, 2001; Lachman, Lewkowicz, Marcus & Peng, 1994; Merril & Verbrugge, 1999, dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008). Pada saat yang sama, banyak individu pada masa dewasa madya membesarkan anak mereka, memiliki peningkatan kebebasan dan independensi (Lachman, 2001). Usia dewasa madya juga dapat merupakan


(15)

masa reevaluasi target dan aspirasi, dan memutuskan cara terbaik menggunakan sisa umur (Lachman & James, 1997, dalam Papalia, 2008). Hal inilah yang mendorong terjadinya krisis dan menjadikan kehidupan dewasa madya lebih sulit untuk dilalui. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh individu dewasa madya menurut Havighurst (1982) adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik, perubahan minat, penyesuaian kejuruan dan tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.

Sejalan dengan tugas perkembangan dewasa madya yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, terdapat tuntutan dimana pada masa ini individu sudah harus menjalani kehidupan rumah tangga baik menjadi suami atau isteri sampai mempunyai anak. Sudah seharusnya individu memiliki pasangan untuk berbagi pekerjaan maupun perasaan dimana tugas perkembangan yang berkaitan dengan hal tersebut sudah dilalui pada masa dewasa dini. Intinya, berkeluarga, menikah, menjalankan rumah tangga, mempunyai anak, memelihara anak, mendidik anak hingga mereka dewasa sudah harus dilakukan pada masa dewasa madya. Hal ini sejalan dengan teori perkembangan psikososial dari Erikson (dalam Papalia, 2004) dimana pada dewasa madya mengalami generativity vs stagnasi dimana generativity merupakan kematangan pada usia dewasa untuk membangun dan membina serta mempengaruhi generasi selanjutnya dan akan terjadi stagnasi jika individu tidak menemukan jalan keluar untuk memperoleh generativity.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu dewasa madya seharusnya sudah berstatus menikah atau mempunyai pasangan hidup, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat individu dewasa madya yang


(16)

belum menikah atau dengan kata lain individu tersebut masih menjalani status lajang, baik itu pria maupun wanita.

Menurut Stein (1976) melajang (single) adalah individu yang tidak menikah atau terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual. Hal ini menandakan bahwa melajang adalah suatu keadaan dimana individu belum mempunyai teman hidup untuk berbagi dan melakukan hubungan baik secara fisik, emosional maupun sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, karakteristik individu dewasa madya yang hidup melajang adalah cenderung memiliki pendidikan yang tinggi sehingga mereka ingin mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi, memilih pencapaian karir yang lebih tinggi lagi hingga mereka melupakan tugas mereka untuk hidup berkeluarga dan meyakini bahwa pernikahan akan menguasai mereka (dalam Dacey & Travers, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dewasa madya yang hidup melajang adalah individu yang bekerja.

Karakteristik individu lajang yang bervariasi di atas berhubungan dengan penyebab yang dapat menjelaskan mengapa mereka hidup melajang. Menurut Austrom dan Hanel (1985), Frazier dkk., (1996), dan Lewis dan Moon (1997), sebab-sebab individu dewasa hidup melajang yaitu pilihan personal, keadaan eksternal dan defisit personal. Oleh karena itu, alasan individu dewasa madya yang hidup melajang bervariasi, mulai dari keingian bertahan untuk tidak menikah karena pilihan sendiri, keadaan eksternal yang ditandai dengan tidak ditemukannya seorang pasangan hidup yang cocok, hingga menyalahkan diri sendiri karena penurunan fisik yang tidak menarik lagi. Pemaparan pada wanita lajang mengenai penyebab melajang adalah:


(17)

“Mungkin belum jodohnya... Tuhan mungkin punya rencana lain buat tante…” SN (Komunikasi personal, 7 September 2008)

“Ya kalo gak cocok cemana? Berkelahi aja la pula kita dalam berumah tangga. Ya kan? Ada orang baru seminggu kawin dah tang tung tang tung, piring terbang yang terjadi. Gak cocok kan?” S (Komunikasi personal, 25 Juli 2009)

“Masa’ si Andung (tante dari wanita lajang) bilang tante harus operasi, apa sih maksudnya? Biar muka tante jelek, tapi apa yang dikasih oleh Tuhan yah terimalah….” SN (Komunikasi personal, 4 Oktober 2008)

“Z itu udah tua, badannya juga udah lemah, ngomongnya juga kayak kumur-kumur, gak jelas, gimana mau dapat suami….” H (Komunikasi personal pada kerabat Z, 5 September 2008)

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa beberapa penyebab individu melajang adalah pilihan sendiri, takut berkomitmen, ketakutan akan mengalami perceraian dan kondisi fisik yang mengalami penurunan. Papalia, Olds dan Feldman (1998) juga menjelaskan bahwa banyak sekali orang yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi akan membawa akibat bagi tugas perkembangan lain yaitu semakin berambisi untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen terhadap karier dan penundaan dalam pernikahan. Selain itu, standar dalam pemilihan pasangan hidup juga merupakan sumber lain yang berhubungan dengan keadaan eksternal dimana individu lajang belum menemukan seseorang yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Z (50 tahun):

“Kalo bisa Tante dapat om Kau yang pendidikannya tinggi, kalo bisa S2, kaya, gagah…” Z (Komunikasi personal, 7 September 2008)

“Ya mapan, abis itu ya taat beribadah ya. Ya kayak gitu. Ya maksudnya ya yang pengertian sama kita.” I (Komunikasi personal, 10 Agustus 2009)


(18)

Sehubungan dengan penyebab individu dewasa madya yang hidup melajang, muncul penilaian masyarakat terhadap status pernikahan individu tersebut. Masyarakat akan menilai bahwa individu dewasa madya yang hidup melajang adalah individu yang “tidak laku” atau dikatakan “perawan tua” untuk wanita dan “bujang lapuk” untuk pria.

“Ya dibilang lah, gini, macam-macam lah. Kayak dibilang orang yang belum berumah tangga. Kan tau sendiri Sari gimana. Di bilangin begini-begini…” S (Komunikasi personal, 5 Oktober 2009)

Tentunya label yang diberikan pada masyarakat akan menimbulkan perasaan sedih pada individu lajang.

Ketika perasaan sedih itu muncul, individu dewasa madya yang hidup melajang merasakan bahwa dirinya kurang berarti. Perasan tersebut merupakan indikator kesepian. Begitu juga dengan adanya penilaian pada diri individu bahwa ada beberapa tujuan hidup yang tidak terpenuhi, dalam hal ini adalah memiliki pasangan hidup, maka individu tersebut akan merasakan kesepian dalam hidupnya karena mereka tidak memiliki pasangan hidup yang dapat berbagi perasaan maupun pekerjaan. Kesepian yang individu rasakan adalah tidak tercapainya tujuan hidup yang harus mereka penuhi yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus mereka lalui yaitu tugas yang berhubungan dengan kehidupan keluarga seperti menjalankan rumah tangga dan memiliki keturunan (Havighurst dalam Hurlock, 1998).

Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan jenis hubungan sosial yang dimiliki (Perlman & Peplau,


(19)

1981). Hal ini memungkinkan individu mengalami kesendirian dan kekosongan. Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm dkk, 2002), individu yang merasakan kesepian merupakan individu yang mempunyai perasaan keputusasaan, bosan, menyalahkan diri sendiri, dan depresi. Kesepian bisa menyerang siapa saja bagi mereka yang merasakan hal-hal tersebut.

Menurut Brehm dkk (2002) salah satu hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian adalah ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu. Hal ini berarti bahwa jika hubungan seseorang tidak adekuat dengan orang lain, maka seseorang tidak puas dan bosan dengan kehidupan yang mereka miliki. Berkaitan dengan kehidupan melajang, Rubenstein dan Shaver (1982) menyatakan ada beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh individu yang kesepian, salah satunya adalah being unattached yaitu tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, dan berpisah dengan pasangannya. Dalam wawancara pada SN (46 tahun) berbunyi:

“Rasanya kalo gak ada suami gak enak juga, tante sebenernya pengen punya suami, supaya tante bisa curhat-curhatan sama dia. Kadang-kadang tante iri liat kawan-kawan tante pergi-pergi dengan suaminya….” SN (Komunikasi personal, 5 Oktober 2008)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa responden terkadang merasa bosan dengan kehidupannya. Salah satu indikator perasaan kesepian dirasakan oleh responden tersebut yaitu perasaan bosan. Pernyataan bahwa kehilangan hubungan pernikahan atau tidak adanya status pernikahan juga menyebabkan seseorang merasa kesepian dan merasa sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm dkk, 2002). Oleh karena


(20)

itu tidak adanya pasangan hidup memungkinkan individu dewasa madya merasakan kesepian.

Sebagian besar individu dewasa madya dan yang lebih tua optimistis tentang kualitas kehidupan seiring dengan pertambahan usia, merujuk pada survey surat terhadap 1.384 orang dewasa dengan usia 45 tahun ke atas (NFO Research, Inc., 1999). Walaupun mereka menganggap relasi seksual yang sukses sebagai suatu yang penting bagi kualitas hidup, relasi sosial bahkan lebih penting. Sekitar sembilan dari sepuluh pria dan wanita menyatakan bahwa hubungan yang baik dengan pasangan merupakan hal yang penting bagi kualitas hidup mereka, dan demikian pula ikatan yang kuat dengan teman dan keluarga (dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu individu membutuhkan ikatan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengurangi kesepian yang melanda mereka.

Kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya bukan merupakan sebuah kontinum. Terkadang individu merasakan kesepian dan terkadang individu tidak merasakan kesepian. Durasi kesepian yang dirasakan pun bervariasi. Individu dewasa madya yang tidak memiliki pasangan terkadang merasa puas akan kehidupan yang dijalani dan ada juga yang merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalani.

“Yah puas lah dengan kehidupan yang tante jalani, toh tante punya banyak teman dan tidak harus memikirkan rumitnya kehidupan berumah tangga….” Z (Komunikasi personal, 14 September 2008)

“Ya pastinya sedih ya, saya gak ngapa-ngapain tapi diomongin yang enggak-enggak, cuma kan saya gak mau mikirkan kali. Nanti saya bisa stres.” RL (Komunikasi personal, 12 Oktober 2009)

“Sebenarnya dibilang enak ya nggak enak, dibilang gak enak ya mau dibilang apa ya kan?” SN (Komunikasi personal tanggal 6 Oktober 2009)


(21)

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kadar perasaan kesepian yang bervariasi, tergantung pada banyaknya hubungan sosial dan dukungan sosial yang mereka miliki. Individu lajang tersebut bisa benar-benar merasa setiap hari kesepian atau mereka sering merasa tidak kesepian karena mempunyai banyak dukungan sosial dari orang lain jika dikaitkan dengan karakteristik individu lajang yang sebagian besar bekerja, mereka mendapatkan dukungan sosial dari rekan kerja ataupun teman-temannya. Begitu juga dengan individu lajang yang memiliki banyak hubungan sosial di sekitar lingkungannya. Wanita lajang mengemukakan:

“Tante kan banyak temen, tante setiap hari minggu ikut klub-klub senam gitu, kalo tiap jum’at ikut pengajian, kadang-kadang kami ikut tour wisata sama orang pengajian. Kadang-kadang tante gak merasa sendiri sih karena banyak juga temen-temen tante yang senang sama tante dan mereka suka bercanda sama tante….” SN (Komunikasi personal, 5 Oktober 2008)

“Tante punya banyak kenalan kok, temen tante lumayan lah dan tante senang banyak teman….” Z (Komunikasi personal, 7 September 2008)

Perasaan stress yang dijalani individu juga bervariasi:

“Stress pasti ada, tapi jarang tante ngerasainnya, tante kan banyak teman, kadang-kadang aja ngerasainnya…” Z (Komunikasi personal tanggal 14 September 2008)

“Stress iya lah, gak ada suami, gak ada teman curhat, gak ada yang bisa nyayangi. Tapi tante bawa enjoy aja. Cari aktivitas lah yang banyak…..” SN (Komunikasi personal tanggal 14 September 2008)

Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas perasaan kesepian yang dialami individu dewasa madya yang hidup melajang bervariasi, mulai dari frekuensi, durasi dan kuat lemahnya perasaan saat individu-individu tersebut merasakan kesepian. Hal ini berkaitan dengan kualitas dan kuantitas kesepian yang dialami dewasa madya yang hidup melajang. Terkadang individu


(22)

merasa punya kebebasan dalam hidupnya tapi juga merasakan kesepian. Pada umumnya, lajang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hidupnya, mereka menikmati kebebasan dan fleksibilitas tapi juga merasakan kesepian, ketidakpuasan dalam hubungan, kehidupan sosial yang terbatas pada masyarakat yang berorientasi pada pasangan, dan kurangnya perasaan keamanan (Chasteen dalam Cavanaugh dan Fields, 2006).

Penelitian Russel (1982) juga menemukan bahwa kesepian diasosiasikan dengan perasaan tidak bahagia dan kesedihan. Hal tersebut menandakan bahwa perasaan tidak bahagia dan kesedihan merupakan perasaan kesepian dimana saat seseorang merasa ketidakbahagiaan, maka individu tersebut akan merasa kesepian. Ternyata pernyataan yang dikemukakan oleh Puput (2008) pada tulisannya tentang “Indahnya Melajang” (www.spirit-zone.logspot.com) mengatakan hal yang bertentangan:

“Anggapan bahwa hidup melajang bukanlah hidup yang membahagiakan adalah anggapan yang salah, Yang seharusnya dilakukan seseorang untuk menikmati kondisi hidupnya dalam keadaan apa pun, baik melajang atau menikah, adalah mengubah pola pikirnya mengenai kondisinya saat ini. Melajang atau menikah sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada satu yang lebih unggul daripada yang lain, jadi apakah seseorang bahagia atau tidak tergantung dari sudut pandang mana ia melihat.” (Indahnya Melajang, 23 November 2008)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perasaan bahagia atau tidaknya individu yang hidup melajang tergantung pada bagaimana individu tersebut memandangnya. Jadi, belum tentu individu lajang merasakan perasaan tidak bahagia atau kesepian.

Berkaitan dengan perasaan kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya, cara mereka dalam menanggulangi perasaan kesepiannya juga bervariasi.


(23)

Hal ini diasosiasikan dengan reaksi kesepian. Individu lajang dapat melakukan kegiatan aktif, membuat kontak sosial, melakukan kegiatan pasif atau melakukan kegiatan-kegiatan lain (Shaver & Rubeinstein, dalam Brehm dkk, 2002). Pemaparan oleh responden wanita lajang:

“Sekarang yang terpenting tante nyibukin diri dulu menjahit, ini kan hobi dan kerjaan tante, lumayan lah dapat duit tambahan…” Z (Komunikasi personal, 14 September 2008)

“Ambil wudhu, sholat, tidur…” S (Komunikasi personal, 25 Juli 2009)

Melihat sisi ekonomi dari wanita lajang jika dibandingkan dengan wanita menikah, penelitian mengindikasikan kebanyakan wanita menikah memiliki pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita lajang. Hal ini terjadi karena wanita menikah menerima materi dari pihak keluarga terutama suami (B.A. Hahn, dalam DeGenova 2008). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa wanita lajang memiliki kesejahteraan ekonomi yang kurang jika dibandingkan dengan wanita menikah. Hal ini menyebabkan wanita lajang mengalami kesulitan dalam ekonomi karena tidak mendapat bantuan dari pihak lain terutama suami atau pasangan hidup.

Kesepian pada dewasa yang hidup melajang juga berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm dkk, 2002) menyatakan bahwa laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Borys dan Perlman mengemukakan bahwa pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Oleh karena itu sangat sulit bagi laki-laki untuk mengakui perasaan


(24)

kesepiannya jika dibandingkan dengan perempuan. Hal ini juga terlihat di lapangan dimana peneliti beberapa kali ditolak untuk mewawancarai laki-laki dewasa madya yang hidup melajang. Sekali laki-laki dewasa madya lajang ingin diambil datanya via telepon dan laki-laki dewasa madya lajang yang lain tidak ingin diwawancara untuk yang kedua kalinya. Individu lain tidak mau diwawancara sejak awal.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kualitas dan kuantitas perasaan kesepian individu tersebut bervariasi, mulai dari durasi, frekuensi maupun kuat lemahnya perasaan kesepian yang dirasakan oleh individu lajang. Mengapa terjadi demikian? Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana dinamika kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya yang hidup melajang.

B. Perumusan Masalah

Peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu bagaimana dinamika kesepian pada dewasa madya yang masih lajang.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika kesepian yang dirasakan oleh individu yang berada pada masa usia dewasa madya yang masih lajang serta mendapat gambaran tentang kesepian yang mereka rasakan yakni penyebab, perasaan, faktor yang mempengaruhi dan reaksi kesepian.


(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi perkembangan, yaitu mengenai kesepian pada dewasa madya yang masih lajang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi perkembangan sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Pada dewasa madya yang melajang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada dewasa madya yang melajang tentang dinamika kesepian yang terjadi pada individu dewasa madya yang melajang agar dapat menanggulangi perasaan kesepian yang individu lajang rasakan.

b. Pada masyarakat luas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat luas tentang dinamika kesepian yang dirasakan pada masa dewasa madya khususnya pada dewasa madya yang hidup melajang, penyebab kesepian, perasaan kesepian dan faktor yang mempengaruhi kesepian tersebut.

c. Pada penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai kesepian pada dewasa madya yang melajang dan menambah bahan pengetahuan


(26)

tentang dinamika kesepian pada dewasa madya yang melajang jika tidak tercakup di dalam penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian.

Bab III : Metode Penelitian berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi berisi pendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran yang menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesepian

1. Pengertian Kesepian

Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki (Perlman & Peplau, 1981). Kesepian merupakan hidup tanpa melakukan hubungan (Baron, 1991), tidak punya keinginan untuk melakukan hubungan interpersonal yang akrab (Peplau & Perlman, 1982). Dalam suatu penelitian menemukan bahwa kesepian diasosiasikan dengan perasaan depresi, kecemasan, ketidakpuasan, tidak bahagia, dan kesedihan (Russel, 1982). Jones, Hanson, dan Smith (1980) mengemukakan bahwa kesepian juga diasosisikan dengan kepercayaan bahwa cinta merupakan dasar yang tidak begitu penting bagi pernikahan dimana mereka punya pandangan bahwa pernikahan seseorang akan berakhir dengan perceraian (dalam Baron & Byrne, 1991).

Kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

Kesepian berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000). Menurut Brehm dan Kassin, kesepian adalah perasaan


(28)

kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan emosi-emosi negatif dan perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang serta adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dan ketersediaan hubungan yang dimiliki.

2. Bentuk-bentuk Kesepian

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu:

a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.

b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk kesepian yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas.

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) kesepian dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi kesepian yang dialaminya, yaitu:


(29)

a. Transcient loneliness yaitu perasaan kesepian yang singkat dan muncul sesekali, banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Meer mengemukakan bahwa transcient loneliness memiliki jangka waktu yang pendek, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (dalam Newman & Newman, 2006).

b. Transitional loneliness yaitu ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru).

c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000)


(30)

Selanjutnya Shaver dkk (dalam Wrightsman, 1993) mengemukakan tipe-tipe kesepian yang lain berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu:

1) Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah, dan biasanya dialami oleh orang yang memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti.

2) State loneliness, yaitu kesepian yang bersifat temporer, biasanya

disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang.

3. Penyebab Kesepian

Menurut Brehm dkk (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu:

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm dkk (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimiliki, merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian, yaitu sebagai berikut:

1) Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner

seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.

2) Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.


(31)

3) Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. 4) Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit,

tidak bisa kemana-mana.

5) Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm dkk, 2002).

Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe kesepian dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karaktersitik individu yang kesepian, sedangkan forced isolation dan discolation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa kesepian.

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Menurut Brehm dkk (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm dkk, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu:


(32)

1) Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

2) Usia, seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan.

3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Brehm dkk (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami kesepian.

c. Self-esteem

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami kesepian.


(33)

d. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan.

Orang yang mengalami kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang mengalami kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang mengalami kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm dkk, 2002). e. Atribusi penyebab

Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm dkk, 2002) perasaan kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasannya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:


(34)

Tabel 1

Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab

Kestabilan Internal Ekternal

Stabil

Saya kesepian karena saya tidak dicintai. Saya tidak akan pernah dicintai

Orang-orang di sini tidak menarik. Tidak satupun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah.

Tidak stabil

Saya kesepian saat ini, tapi tidak akan lama. Saya akan menghentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru.

Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang

Sumber: Shaver & Rubeinstein (dalam Brehm dkk, 2002) hlm: 413.

Tabel di atas menunjukkan bahwa individu yang memandang kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. Individu yang memandang kesepian secara internal dan tidak stabil menganggap kesepian yang dialaminya hanya bersifat sementara dan berkeinginan menemukan orang lain untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Individu yang memandang kesepian secara eksternal dan stabil menganggap hanya karena keadaan lingkunganlah yang menyebabkannya merasakan kesepian. Sedangkan, individu yang memandang kesepian secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut.


(35)

4. Perasaan Individu Ketika Mengalami kesepian

Ketika mengalami kesepian, individu akan merasakan ketidakpuasan, kehilangan, dan distress, namun hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm dkk, 2002).

Berdasarkan survei mengenai kesepian yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver dan Peplau (dalam Brehm dkk, 2002) diuraikan bahwa empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu:

a. Desperation (Pasrah)

Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang, serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional.


(36)

b. Impatient Boredom (Tidak Sabar dan Bosan)

Impatient boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator impatient boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sangat menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu.

c. Self-Deprecation (Mengutuk Diri Sendiri)

Self-deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator self-deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya inteligensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.


(37)

d. Depression (Depresi)

Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai

dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator depression menurut Brehm dkk (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.

Menurut M.J. Saks dan E. Krupat (1988) ada dua hal yang memicu munculnya perasaan kesepian, yaitu:

a. Sifat dan taraf hubungan sosial seseorang dapat berubah. Misalnya adalah perceraian, putus cinta, perpisahan secara fisik, meninggalnya orang yang dicintai, pengangguran, pensiun, atau ketika opname di rumah sakit. Semua ini dapat memunculkan perasaan kesepian.

b. Kebutuhan seseorang untuk persahabatan dan keintiman dan dapat barubah. Misalnya pasangan yang anaknya sudah dewasa dan pergi meninggalkan rumah, akan mencari kesenangan yang baru dan membina hubungan yang baru.


(38)

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian diantaranya: a. Usia

Orang yang berusia tua memiliki stereotip tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa kesepian.

b. Status Perkawinan

Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm dkk, 2002). Berdasarkan penelitian Perlman dan Peplau; Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002), menyimpulkan bahwa kesepian lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) dan ketidakhadiran dari pasangan suami/isteri pada diri seseorang.

c. Gender

Studi mengenai kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm dkk, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Borys dan Perlman mengemukakan bahwa berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993).


(39)

d. Status sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm dkk, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

e. Karakteristik latar belakang yang lain

Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih kesepian ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm dkk (2002) proses perceraian meningkatkan kesepian ketika anak-anak tersebut dewasa.

6. Reaksi terhadap Kesepian

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian, yaitu:

a. Melakukan kegiatan aktif

Reaksi terhadap kesepian berupa kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan


(40)

musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca atau memainkan alat musik, menggunakan internet.

b. Membuat kontak sosial

Reaksi terhadap kesepian berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, chatting, dan mengunjungi seseorang.

c. Melakukan kegiatan pasif

Reaksi terhadap kesepian yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk, dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk.

d. Kegiatan selingan yang kurang membangun

Reaksi terhadap kesepian berupa menghabiskan uang dan berbelanja.

B. Dewasa Madya

1. Pengertian Dewasa Madya

Menurut Gallagher, Lachman, Lewkowctz, dan Peng (2001), dewasa madya ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam, menuntut peran, tanggung jawab sebagai seorang yang menjalankan rumah tangga, perusahaan, membesarkan anak, dan mungkin merawat orang tua mereka, mulai menata karir yang baru. Menurut Lachman (2001), dewasa madya merupakan waktu untuk mengevaluasi kembali tujuan dan aspirasi dan sejauh mana mereka telah memenuhinya dan memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan waktu yang tersisa dalam hidup mereka.


(41)

Menurut Hurlock (1998), dewasa madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia dan dibagi ke dalam dua sub bagian, yaitu: a. Usia madya dini (40-50 tahun)

b. Usia madya lanjut (50-60 tahun)

Menurut Levinson (dalam Monks, 2002), pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Dalam usia 40-45 tahun seseorang menghadapi tiga macam tugas: (1) penilaian kembali masa lalu, (2) merubah struktur kehidupan, dan (3) proses individuasi. Orang menilai masa lalu, membedakan ilusi dan kenyataan, dan dengan pandangan ke depan merubah struktur kehidupannya. Proses individuasi yang bermula pada kelahiran, dalam masa peralihan ini dibangunlah struktur kehidupan baru yang berlangsung sampai fase penghidupan yang berikutnya, yaitu permulaan dewasa madya (45-50 tahun). Fase berikutnya (50-55 tahun) seringkali merupakan krisis bila seseorang tidak sepenuhnya berhasil dalam pengstrukturan kembali hidupnya pada peralihan ke dewasa madya. Sesudah itu datanglah masa puncak (55-60 tahun) yang sekaligus menandai masuk ke dalam masa dewasa akhir.

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock, 1998) membagi tugas perkembangan dewasa madya menjadi empat kategori utama:

1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik


(42)

2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat

Berasumsi terhadap tanggung jawab warga negara dan sosial, minat pada waktu luang yaitu orientasi kedewasaan dan tempat kegiatan.

3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan

Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup relatif mapan. 4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

Berkaitan dengan pasangan, penyesuaian dengan lansia, membantu remaja menjadi dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

3. Karateristik Dewasa Madya

Menurut Hurlock (1998), karakteristik dewasa madya adalah: 1. Periode yang sangat ditakuti

Terdapatnya kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan mental, fisik dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa pentingnya masa muda.

2. Masa transisi

Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa madya yaitu perubahan pada ciri jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

3. Masa stres

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah terutama karena perubahan fisik dimana terjadi pengrusakan homeostatis fisik dan psikologis. Pada wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause


(43)

dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria terjadi pada usia 50-an saat masuk pensiun.

4. “Usia yang berbahaya”

Terjadi kesulitan fisik dimana usia ini banyak bekerja, cemas yang berlebihan, kurang perhatian terhadap kehidupan dimana hal ini dapat menganggu hubungan suami-isteri dan bisa terjadi perceraian, gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

5. “Usia canggung”

Serba canggung karena bukan “muda” lagi dan bukan juga “tua”. Kelompok usia madya seolah berdiri di antara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi senior.

6. Masa berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung untuk menghasilkan) - stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya. Peran kepemimpinan dalam pekerjaan merupakan imbalan atau prestasi yang dicapai yaitu generasi pemimpin. 7. Masa evaluasi

Terutama terjadi evaluasi diri. Jika berada pada puncak evaluasi maka terjadi evaluasi prestasi.

8. Dievaluasi dengan standar ganda

a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani yaitu rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur.


(44)

b. Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu tetap merasa muda dan aktif tetapi menjadi tua dengan anggun, lambat, hati-hati hidup dengan nyaman. 9. Masa sepi

Masa sepi atau empty nest terjadi jika anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua. Lebih terasa traumatik bagi wanita khususnya wanita yang selama ini mengurus pekerjaan rumah tangga dan kurang mengembangkan minat saat itu. Pada pria mengundurkan diri dari pekerjaan.

10.Masa jenuh

Pada pria jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga dengan sedikit hiburan. Pada wanita jenuh dengan urusan rumah tangga dan membesarkan anak-anak.

4. Penyesuaian pada Dewasa Madya

1. Penyesuaian pekerjaan

Penyesuaian diri terhadap pekerjaan bagi pria dan wanita rumit karena berbagai faktor seperti sikap sosial yang tidak menyenangkan, sistem kontrak kerja, penggunaan mesin otomatis, kelompok kerja, peran isteri meningkat, harus pensiun, dominasi perusahaan besar, dan relokasi perusahaan. Kondisi yang menunjang kepuasan kerja pada usia madya yaitu kepuasan yang diperoleh anggota keluarga karena prestasi kerja, adanya kesempatan untuk aktualisasi diri dalam bekerja, hubungan baik dengan sesama pegawai, puas karena kebijakan organisasi seperti tunjangan kesehatan, cuti, kecelakaan,


(45)

pensiun, dan lain-lain, aman dengan pekerjaan, tidak ada paksaan untuk pindah tugas dan tanggung jawab tertentu.

2. Penyesuaian terhadap perubahan pola keluarga

Perubahan karena berkurangnya jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah. Tahap mengecilnya daur keluarga yaitu masalah penyesuaian kehidupan yakni periode sarang kosong atau emptynest yang berkaitan dengan hubungan berorientasi pada pasangan. Pada usia madya seks merupakan faktor penting bagi kepuasan pasangan suami isteri yaitu ada peningkatan dalam pencapaian kepuasan seks. Pada usia madya terjadinya penyesuaian terhadap keluarga anak, keluarga pasangan seperti merawat orangtua yang sudah lansia, penyesuaian menjadi kakek-nenek yaitu hubungan kesenangan tanpa tanggung jawab.

3. Penyesuaian diri dengan hidup sendiri

Wanita lajang pada usia madya menyesuaikan pola hidup dengan tepat dan perhatian ke pekerjaan. Usia madya pada wanita lajang yang bekerja kurang menyenangkan karena rasa tidak aman dalam pekerjaan (tidak ada promosi kerja) seperti pada masa dewasa dini.

4. Penyesuaian diri dengan ambang masa pensiun dan usia lanjut

Merupakan tugas yang penting pada usia madya yaitu kesulitan karena sikap sosial yang kurang menyenangkan dan menghambat persiapannya (perilaku keluarga). Persiapan pensiun yang perlu dibicarakan dengan anggota keluarga. Persiapan menghadapi usia lanjut yakni lebih tenang dan mudah menyesuaikan terhadap berbagai masalah menjadi lebih mudah.


(46)

C. Melajang

1. Pengertian Melajang

Menurut Stein (1976) melajang (single) adalah individu yang tidak menikah atau terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual.

a. Keuntungan Melajang

Beberapa keuntungan melajang adalah (dalam DeGenova, 2008):

1) Lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan personal.

2) Adanya kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda dan untuk mengembangkan serta menikmati pertemanan yang berbeda.

3) Kebebasan secara ekonomi dan pembekalan diri. 4) Lebih tervariasi pengalaman seksualnya.

5) Kebebasan untuk mengontrol kehidupannya sendiri.

6) Lebih memiliki kesempatan untuk mengubah, mengembangkan karir. b. Kerugian Melajang

Beberapa kerugian melajang adalah (dalam DeGenova, 2008): 1) Kesepian dan hubungan persahabatan yang kurang.

2) Kesulitan ekonomi.

3) Merasa terasing dalam beberapa pertemuan sosial. 4) Frustrasi seksual.

5) Tidak memiliki anak atau keluarga yang dapat membawa anak-anak. Beberapa individu merasakan banyak keuntungan dalam mempertahankan status lajang, yang meliputi:


(47)

a. Memiliki waktu dan kesempatan untuk membuat keputusan sendiri tentang tujuan hidup.

b. Memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan finansial untuk mencapai tujuan.

c. Bebas untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan rencana dan minat yang telah direncanakan sendiri.

d. Memiliki kesempatan untuk mencari tempat-tempat baru dan mencoba sesuatu yang baru.

e. Mempertahankan privacy.

2. Sebab-sebab Melajang

Penelitian Austrom dan Hanel (1985), Frazier dkk (1996), Lewis dan Moon, 1997) menunjukkan sebab-sebab individu dewasa hidup melajang yaitu:

a. Pilihan personal yaitu hidup melajang karena merupakan pilihan mereka sendiri, dan mempunyai argumen positif untuk tetap melajang

b. Keadaan eksternal, misalnya tidak menemukan seseorang yang cocok, dan c. Defisit personal atau menyalahkan diri sendiri, misalnya merasa malu atau

merasa tidak menarik

Menurut Sunarto (2000) salah satu faktor yang menyebabkan enundaan perkawinan atau bahkan keinginan untuk tetap hidup melajang di kalangan orang muda adalah keinginan untuk tetap bebas, seperti bebas untuk mengambil resiko, bebas bereksperimen dan membuat suatu perubahan tanpa memikirkan efek dari pemenuhan terhadap orang lain. Ada juga yang menikmati kebebasan dalam


(48)

hubungan seksual, menganggap bahwa melajang itu menyenaangkan, dan ada yang senang dengan kesendirian. Selain itu ada juga yang menghindari perkawinan karena takut bercerai (Papalia & Olds, 1995).

Kephart (dalam Dyer, 1983) selain faktor-faktor yang bersifat individual di atas terdapat faktor sosial, ekonomi, dan demografi yang memicu peningkatan hidup melajang. Pada populasi perempuan, peningkatan hidup melajang dipengaruhi tingkat pendidikan, perluasan kesempatan kerja (yang memampukan mereka untuk menghidupi diri sendiri) dan pergerakan liberal perempuan. Berkurangnya kekhwatiran para perempuan terhadap stigma yang berlaku di masyarakat terutama label “perawan tua” juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya jumlah perempuan yang melajang.

Menurut Hurlock (1980) kebanyakan orang yang tidak menikah mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk tetap melajang. Beberapa dari alasan tersebut adalah karena faktor lingkungan, dan beberapa lagi karena faktor pribadi. Alasan yang paling umum diberikan adalah sebagai berikut:

a. Penampilan seks yang tidak menarik dan tidak tepat. b. Cacat fisik atau penyakit lama.

c. Sering gagal dalam mencari pasangan.

d. Tidak mau memikul tanggung jawab perkawinan dan orangtua.

e. Keinginan untuk meniti karir yang menuntut kerja lama dan jam kerja tanpa batas dan banyak bepergian.

f. Tidak seimbangnya jumlah anggota masyarakat wanita dan pria di masyarakat tempat ia tinggal.


(49)

g. Jarang mempunyai kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang dianggap cocok dan sepadan.

h. Mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu untuk orangtua dan saudara-saudaranya.

i. Kekecewaan yang pernah dialami karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia pada masa lalu atau pengalaman pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya.

j. Mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa menikah. k. Gaya hidup yang menggairahkan.

l. Besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir.

m. Kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup.

n. Mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada menikah.

o. Persahabatan dengan anggota kelompok seks sejenis yang begitu kuat dan memuaskan.

p. Homoseksual.

3. Faktor-faktor Melajang

Menurut Stein (dalam Lefrancois, 1993), beberapa faktor sosial yang berkontribusi pada peningkatan jumlah individu melajang (belum pernah menikah):


(50)

a. Besarnya jumlah wanita yang kuliah dan memulai karir sebelum menikah. b. Berkembangnya kesempatan untuk berkarir bagi wanita.

c. Besarnya jumlah wanita daripada pria pada kebanyakan umur yang pantas untuk menikah.

d. Meningkatnya perceraian, sehingga mengurangi keinginan untuk menikah. e. Meningkatnya cohabitation (tinggal serumah selayaknya suami isteri tanpa

ada ikatan pernikahan) yang diterima oleh masyarakat.

Faktor lainnya yang dapat menjelaskan mengapa seseorang melajang adalah (dalam Hoyer dan Roodin, 2003):

a. Melajang menawarkan fleksibilitas dan kebebasan dalam membuat keputusan dan berinteraksi sosial dengan orang lain.

b. Perubahan sikap antara banyak wanita dan pria terhadap karir dan pemenuhan pribadi.

c. Banyak pilihan untuk mengembangkan karir individu lajang sebelum mengasumsikan tanggung jawab mengenai pernikahan.

d. Menikmati hubungan intim ketika individu lajang telah sukses dan menghindari masalah pernikahan yang buruk (dalam Craig, 1996)

4. Jenis Individu yang Menjalani Status Lajang

Menurut Jana Darrington, Kathleen W. Piercy, dan Sylvia (2005), ada dua jenis dari individu yang menjalani status lajang:


(51)

a. Individu yang memeluk gaya hidup dan menikmati gaya hidup tersebut.

b. Individu yang tidak puas dengan kehidupan lajang dan menyalahkan status mereka yang tidak menikah karena ketidakcukupan personal dan situasional. Pada budaya tertentu, ajaran agama, hubungan keluarga, dan hubungan pertemanan secara khusus berpengaruh pada usaha individu lajang untuk merasakan dan menciptakan makna dari kehidupan single mereka.

D. Dewasa Madya Melajang

Dewasa madya yang hidup melajang merupakan individu yang berumur antara 40-60 tahun yang berstatus belum menikah atau belum pernah menikah. Sekitar satu dari 20 orang pada usia madya belum menikah (Sensus USA, 1996). Umumnya, orang yang tidak pernah menikah pada usia madya tidak akan menikah. Beberapa individu lajang cenderung memiliki status pendidikan yang lebih tinggi atau pendidikan yang lebih rendah. Wanita mungkin memilih pendidikan yang lebih tinggi dan karir daripada menikah karena mereka menganggap bahwa pernikahan akan menguasai mereka.

E. Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang

Kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang mengalami perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang individu inginkan dan jenis hubungan sosial yang individu miliki (Perlman & Peplau, 1981). Kualitas dan kuantitas kesepian yang individu rasakan bervariasi, meliputi durasi, frekuensi dan kuat lemahnya perasaan


(52)

kesepian yang individu alami. Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006), bentuk kesepian berdasarkan durasi meliputi perasaan kesepian yang muncul sesekali, mengalami kesepian setelah mengalami gangguan pada jaringan sosialnya dan tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya dalam jangka waktu tertentu.

Dewasa madya yang hidup melajang bisa merasakan kesepian dari beberapa uraian di atas tergantung kepada jenis jaringan sosial yang ia miliki dihubungkan dengan pekerjaan individu. Penyebab inividu lajang merasakan kesepian adalah ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki yakni being unattached dimana sebab individu lajang merasakan kesepian adalah karena tidak memiliki pasangan hidup atau partner seksual. Faktor yang mempengaruhi kesepian pada dewasa madya adalah usia dimana individu dewasa madya yang akan memasuki masa lansia tetapi belum juga memiliki pasangan. Hal ini berhubungan dengan faktor selanjutnya yaitu status perkawinan dimana menurut Freedman; Perlman dan Peplau (dalam Brehm dkk, 2002), individu yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan individu yang menikah. Dewasa madya yang hidup melajang juga kesepian karena merasakan emosi-emosi negatif. Emosi negatif tersebut meliputi desperation (pasrah), impatient boredom (bosan), self-deprecation (mengutuk diri sendiri), dan depression atau depresi (dalam Brehm dkk, 2002). Oleh karena itu individu yang merasakan kesepian adalah individu yang setidaknya merasakan keempat perasaan di atas


(53)

F. Kerangka Berpikir Penelitian

Keterangan:

: Terbagi/meliputi/akan terjadi

: Mempengaruhi

: Yang ingin diteliti

Dewasa madya

Paling sulit Masa evaluasi Tugas

Berhubungan dengan kehidupan

kel arga

Menjalankan rumah tangga, menghasilkan

keturunan, mendidik anak

Seharusnya sudah menikah

Melajang

Penilaian masyarakat (label yang

diberikan)

Kesedihan, ketidakbahagiaa

Kesepian

Perasaan dan bentuk kesepian bervariasi

Penyebab dan faktor


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuaannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hubungan lainnya (dalam Strauss dan Corbin, 2003).

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui dinamika kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah pendekatan kualitatif, kesepian adalah hal yang bersifat subjektif yang dirasakan oleh setiap individu. Oleh karena itu peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang.


(55)

B. Metode Pengambilan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam.

Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kulitatif adalah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Alasan peneliti menggunakan wawancara karena dalam pengambilan data, informasi yang sangat diperlukan adalah berupa kata-kata yang dikemukakan oleh subjek atau responden penelitian secara langsung, sehingga data tersebut benar-benar mewakili perasaan dan informasi yang diperlukan dalam penelitian.

2. Wawancara

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dalam Poerwandari, 2007).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview). Pertanyaannya ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003). Dalam penelitian ini peneliti dilengkapi


(56)

dengan pedoman wawancara yang berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended question (pertanyaan-pertanyaan terbuka) yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang. Meliputi penyebab individu melajang dan penyebab kesepian, perasaan-perasaan kesepian, faktor yang mempengaruhi kesepian, dan reaksi kesepian individu dewasa madya lajang.

C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian ini akan diambil tiga responden. Adapun ciri-ciri responden tersebut adalah:

a. Wanita yang belum menikah b. Menjalani masa dewasa madya c. Usia 40-60 tahun.

Alasan peneliti mengambil responden wanita dewasa madya lajang karena sebagian besar responden dewasa madya lajang yang peneliti temui dan peneliti kenal adalah berjenis kelamin wanita. Wanita lajang dewasa madya juga mudah peneliti dapat dikarenakan peneliti memiliki koneksi dari berbagai rekan untuk mencari wanita lajang dewasa madya.


(57)

Awalnya peneliti menentukan empat responden penelitian. Dua responden laki-laki dewasa madya yang masih lajang dan dua responden perempuan yang masih lajang. Akan tetapi, pada prosesnya sangat sulit untuk melakukan pendekatan pada responden laki-laki dewasa madya yang masih lajang. Peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan tiga orang responden laki-laki. Satu dari tiga responden menolak di awal pendekatan. Dua dari tiga responden laki-laki telah menerima kesepakatan yang responden buat untuk diteliti. Pada awalnya kedua responden tersebut mau diwawancara. Tetapi di tengah jalan satu responden ingin diwawancara via telepon dan tidak mau diwawancara secara langsung. Satu responden lagi tidak mau diwawancara untuk kedua kalinya dan secara tidak langsung responden yang kedua menolak untuk diwawancara. Oleh karena itu responden memutuskan untuk mewawancara responden wanita lajang dewasa madya sebanyak tiga orang.

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita dewasa madya yang hidup melajang. Alasan utama pengambilan jumlah sampel tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri baik itu waktu, biaya maupun


(58)

kemampuan peneliti. Satu dari tiga wanita lajang tersebut sudah peneliti kenal sejak lama. Dua orang lagi baru peneliti kenal sejak peneliti melakukan penelitian. Satu orang peneliti kenal dari saudara peneliti, dimana wanita lajang tersebut merupakan teman saudara peneliti dari pengajian. Satu orang lagi peneliti kenal dari sahabat peneliti dimana wanita lajang tersebut merupakan tante dari sahabat peneliti tersebut.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori melajang pada dewasa madya yang hidup melajang dan kesepian yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili fenomena yang dipelajari.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian karena lokasi peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian bisa berada dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden untuk diambil datanya.


(59)

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisa berdasarkan atas ”kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005) Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan oleh subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang


(60)

dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya. Pedoman wawancara terdiri dari penyebab individu melajang dan penyebab kesepian, perasaan-perasaan kesepian, faktor yang mempengaruhi kesepian, dan reaksi kesepian individu dewasa madya lajang. (Pedoman wawancara terlampir)

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah wanita dewasa madya yang hidup melajang

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kesepian yang akan digali meliputi perasaan kesepian dan faktor-faktor yang menyebabkan dan


(61)

mempengaruhi kesepian, perasaan kesepian dan reaksi kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian.

5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian.

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang.


(1)

2. Saran penelitian selanjutnya

a. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan responden pria sehingga didapat gambaran yang lebih luas dan bervariasi tentang kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang.

b. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih memperhatikan kondisi dan lingkungan saat proses wawancara berlangsung.

c. Penelitian berikutnya diharapkan melakukan pengambilan data tambahan seperti dokumentasi pribadi seperti catatan harian responden.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Baron, Robert A. & Donn Byrne (2000). Social Psychology (9th edition). USA: Allyn & Bacon.

Brehm, S. et al (2002). Intimate Relationship. Newyork: Mc Graw Hill.

Bruno, F.J. (2000). Conquer Loneliness, Menakluakan Kesepian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Calhoun, James f. & Acocella, J.R. (1990). Psychology of Adjustment and Human

Relationship (3th edition). New York: Mc Graw Hill.

Cavanaugh, John C. & Fredda Blanchard-Fields (2006). Adult Development and

Aging (5th edition). USA: Thomson Wadsworth.

Chaerunnisa (2008, 28 April). Hidup Melajang, Bahagia Tidak? [10 paragraf]. FTP: lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/04/28/197/104597/hidup-melajang-bahagia-tidak [On-line]. FTP: 23 November 2008

Craig, Grace J. (1996). Human Development (7th edition). New Jersey: Pretice Hall.

Dacey, John S. & Travers, J.F. (2002). Human Development Across the Lifespan (5th edition). USA: Mc Graw Hill.

Darrington, J., Piercy, K. W., & Niehuis, S. (2005). The Social and Cultural Construction of Singlehood among Young, Single Mormons [77 paragraf]. The Qualitative Report, 10(4), 639-661[On-line]. FTP: Hostname: nova.edu/ssss/QR/QR10-4/darrington.pdf. Volume:10

Data Statistik Indonesia Tahun 2005. http://www.datastatistik-indonesia.com [online]. FTP: 20 Oktober 2008

Dayakisni, T. & Hudaniah (2003). Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Malang: UMM Press.

DeGenova, Maty K. (2008). Intimate Relationship, Marriage, & Family 7th

Edition. New York: McGraw Hill .

Dyers, D.E. 1998. Courtships, Marriage & Family: American Style. Illinois: The Dorsey Press.


(3)

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Melajang. http://kamus.landak.com/cari/melajang [On-line]. FTP: 23 November 2008

Lefrancois, Guy R. (1993). The Lifespan Development (4th edition). USA: Wadsworth.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke duapuluh

satu. Bandung: PT Remaja Rodakarya Offset.

Monks (1996). Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: UGM Press.

Newman & Newman (2006). Developmental Through Life, A Psychosocial

Approach (9th edition). USA: Thomson Higher Education.

Papalia, Duane E. & Sally W.O. (2004). Human Development (9th edition). USA: McGraw-Hill.

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan

Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia.

Puput. Indahnya Melajang. http://spirit-zone.blogspot.com/2008/04/indahnya-melajang.html [online]. FTP: 23 November 2008

Saks, M.J. & Krupat, E. 1998. Social Psychology & It’s Application. New York: Harper & Row Pub.

Santrock, John W. (1999). Life-span Development (7th edition). USA: McGraw Hill.

Sears, Freedman, Peplau (1991). Psikologi Sosial. Edisi Kelima. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi ke-2. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Wrightsman, L.S. (1993). Social Psychology in the 90’s. USA: Brooks/Cole Pub.Co.


(4)

(5)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Dewasa Madya

- Penyesuaian yang dilakukan selama menjalani masa dewasa madya - Perasaan dewasa madya melajang: berhubungan tugas perkembangan

2. Melajang

- Reaksi dan tuntutan masyarakat - Perasaan terhadap kelajangan - Penyebab melajang

- Keuntungan dan kerugian yang dirasakan dari hidup melajang

- Jenis responden yang menjalani status melajang (menikmati atau tidak puas)

3. Kesepian

- Penyebab kesepian

a. Hubungan yang dimiliki dengan lawan jenis dan orang lain b. Perubahan yang terjadi terhadap hubungan yang dijalani c. Perilaku interpersonal dengan orang lain

d. Internal eksternal, stabil dan tidaknya hubungan yang dimiliki - Faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian

- Perasaan kesepian

a. Perasaan yang dirasakan ketika mengalami kesepian - Bentuk kesepian

a. Hubungan yang intim dengan seseorang (isolasi emosional)

b. Keterlibatan dalam suatu kelompok atau komunitas atau orang lain (isolasi sosial)

c. Jangka waktu yang dirasakan dan durasi - Reaksi kesepian


(6)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Peneliti : Novita Sari

NIM : 051301033

Fakultas : Psikologi USU

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang.

Peneliti dalam hal ini akan menggunakan data wawancara hanya untuk kepentingan penelitian Tugas Akhir. Peneliti akan berjanji tidak akan membeberkan hasil wawancara kecuali untuk kepentingan penelitian Tugas Akhir.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.