Makna Hidup Pada Wanita Aceh Bergelar Syarifah Yang Melajang

(1)

MAKNA HIDUP PADA WANITA ACEH BERGELAR

SYARIFAH

YANG MELAJANG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

SRI RIZKI AMANDA

101301017

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

SKRIPSI

MAKNA HIDUP PADA WANITA ACEH BERGELAR

SYARIFAH YANG MELAJANG

Dipersiapkan dan disusun oleh:

SRI RIZKI AMANDA 101301017

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 26 Juni 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301371980032001

Dewan Penguji

1. Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog Penguji I/Pembimbing ________________ NIP. 198107232006042004

2. Meutia Nauly, M.Si Penguji II ________________ NIP. 196711272000032001

3. Liza Marini, M.Psi Penguji III ________________ NIP. 198105202005012003


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Makna Hidup Pada Wanita Aceh Bergelar Syarifah Yang Melajang

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2014

SRI RIZKI AMANDA NIM 101301017


(4)

Makna hidup pada wanita Aceh bergelar syarifah yang melajang Sri Rizki Amanda dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Syarifah memiliki peradaban yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, dimana seorang Syarifah diharuskan untuk menikah dengan laki-laki yang bergelar Sayyid. Penelitian ini dilakukan pada dua orang subjek bergelar Syarifah yang belum menikah karena adanya nilai budaya yang tidak membolehkan mereka menikah dengan orang tidak sekufu’ (setara). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teori makna hidup dari Bastaman. Makna hidup dianggap sebagai hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Terdapat 5 tahapan pencarian makna hidup, yaitu tahap derita, penerimaan diri, penemuan makna, realisasi makna dan tahap kehidupan bermakna. Selain itu, ada 3 sumber nilai yang mendukung tahap pencarian makna hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek menemukan makna hidupnya dalam menghadapi aturan sebagai seorang Syarifah. Subjek 1 menemukan makna hidup melalui nilai keimanan dan agama yang dianutnya. Subjek 1 menganggap aturannya sebagai seorang Syarifah adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Subjek 2 menemukan makna hidup dari hikmah yang ia dapatkan saat kedua orang tuanya jatuh sakit. Ia merasa bersyukur ia hidup melajang dan bisa merawat kedua orang tuanya dengan baik. Dampak dari penemuan makna hidup bagi kedua subjek adalah penerimaan diri yang positif dan adanya harapan untuk terus lebih baik di kemudian hari.


(5)

The Meaning of Life among single Aceh woman whose title ‘Syarifah’

Sri Rizki Amanda and Rahma Yurliani

ABSTRACT

The aim of this research was to know the meaning of life among single

Aceh woman whose title ‘Syarifah’. Syarifah has different culture from another people in majority, which is a Syarifah has to marry a ‘Sayyid’ man. Subjects of this research were two women of Syarifah that hasn’t married yet because of the

cultural value which isn’t allowed them to marry with with someone not of the

same level. This research used a qualitative approach with depth interview methods as primary data-collecting technique. The research used meaning of life theory from Bastaman. The meaning of life is an important thing that gives a special value to a person. So that is worth to be purposed in life. There are five stages to search meaning of life according to Bastaman, those are pain, self-acceptance, finding the meaning, fulfilling meaning and purpose of life, and the meaningful life. Besides that, there are three values to support the stage of finding the meaning of life. The result of the research showed that two subjects found their meaning of life when they had facing cultural value as Syarifah. The first subject found the meaning of life through her belief and religion. She thought the cultural value as a Syarifah was a form of love to Allah SWT and Prophet Muhammad. The second subject found the meaning of life when her parents were

sick. Both of subjects have the meaning of life’s effect, those are positive self -acceptance and hopes to be better in the future.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya maka penulis dapat menjalani tahap demi tahap penyusunan skripsi yang berjudul Kebermaknaan Hidup Pada Wanita Aceh Bergelar Syarifah yang Melajang hingga selesai tepat pada waktunya. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi.

Penulis menyadari bahwa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dalam masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat membantu penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang menjadi panutan bagi seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kesabaran Ibu dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan dan dukungan yang telah Ibu berikan kepada penulis.

3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd selaku Dosen Penasihat Akademik subjek. Terima kasih atas bimbingan dan dukungan yang Ibu berikan


(7)

kepada penulis selama penulis mengikuti masa perkuliahan di Fakultas Psikologi

4. Ibu Meutia Nauly, M.Si dan Ibu Liza Marini, M.Psi sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan, kritikan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi untuk menjadi semakin baik. 5. Bapak Jalaluddin, SP dan Ibu Nur Asyiah M. Ali, S.Pd, merupakan dua

orang hebat dalam hidup penulis. Ribuan terima kasih mungkin tidak cukup penulis berikan kepada mereka yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, perhatian, dukungan, dan semangat yang tanpa batas kepada Penulis. Hingga penulis mampu menyelesaikan masa perkuliahan dan menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya.

6. Seluruh Staff Pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Subjek yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, yakni Miwa Woi dan Cut Hawa. Terima kasih banyak telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kedua adik penulis, Julian Restieanty dan Fitri Restiananda. Terima kasih telah memberikan keceriaan dan semangat dalam perjalanan hidup penulis, yang senantiasa mendengar keluh kesah yang penulis alami di masa-masa perkuliahan dan maaf bila selama penyusunan skripsi kalian sering menjadi lampiasan emosi penulis.


(8)

9. Terima kasih kepada abang Mahlil yang tiada henti memberikan dukungan agar penulis segera menyelesaikan perkuliahan dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Teman-temanku tercinta, Cut Rafyqa, Anggi Nasution, dan Qiedeng yang selalu menemani hari-hari selama masa perkuliahan dan memberi dukungan terbaik kepada penulis saat proses penyelesaian skripsi. Terima kasih juga kepada Liliyana Sari yang tiada henti memberi bimbingan dan dukungan secara moril selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, kepada Indah teman seperjuangan skripsi (segera selesaikan skripsinya) dan seluruh teman-teman angkatan 2010 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

11.Penghuni kos Sumarsono 19, Rissa, Riri, Kak Yuli, Kak Wynda, dan Winda yang memberi semangat penulis untuk menyelesaikan tahap demi tahap perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

Penulis tahu bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari atas sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Penulis tentunya terbuka dengan berbagai kritik dan saran yang akan menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, 26 Juni 2014 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR BAGAN ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah Penelitian ...12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...13

1. Tujuan Penelitian ...13

2. Manfaat Penelitian ...13

D. Sistematika Penelitian ...14


(10)

A. Makna Hidup ...16

1. Pengertian Makna Hidup ...16

2. Sumber-sumber Untuk Menemukan Makna Hidup ...18

3. Tahap-tahap Mencapai Kebermaknaan Hidup ...20

4. Penghayatan Hidup Bermakna ...21

B. Sistem Pernikahan Sayyid/Syarifah ...22

C. Tahapan Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut) ...26

1. Perkembangan Dewasa Madya ...26

2. Perkembangan Dewasa Akhir (Usia Lanjut) ...28

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut) ...29

D. Kebermaknaan Hidup Wanita Aceh Bergelar Syarifah yang Melajang ...31

E. Paradigma Teoritis ...37

F. Paradigma Berpikir ...38

BAB III METODE PENELITIAN ...39

A. Metode Penelitian Kualitatif ...39

B. Metode Pengumpulan Data ...40

C. Lokasi Penelitian ...42

D. Subjek Penelitian ...42


(11)

E. Alat Bantu Pengumpulan Data ...43

F. Prosedur Penelitian ...44

1. Tahap Persiapan Penelitian ...44

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ...45

3. Tahap Pencatatan Data ...48

G. Kredibilitas Penelitian ...49

H. Metode Analisis Data ...50

1. Organisasi Data ...50

2. Koding dan Analisa ...51

3. Pengujian Terhadap Dugaan ...51

4. Strategi Analisis ...52

5. Tahapan Interpretasi ...53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...54

A. Hasil ...55

1. Subjek 1 ...55

a. Hasil Observasi ...55

b. Rangkuman Hasil Wawancara ...62

2. Subjek 2 ...83

a. Hasil Observasi ...83

b. Rangkuman Hasil Wawancara ...90

B. Pembahasan ...111

1. Subjek 1 ...111


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...125

A. Kesimpulan ...125

B. Saran ...127

1. Saran Praktis ...127

2. Saran bagi Penelitian Selanjutnya ...128

DAFTAR PUSTAKA ...129 GLOSARRY


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Tugas Perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir menurut

Havighurst ... 29 Tabel 2 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 54 Tabel 3 Rekapitulasi Analisa Data

Proses Pencarian Makna Hidup Subjek I ... 78 Tabel 4 Rekapitulasi Data Sumber Makna Hidup Subjek I ... 80 Tabel 5 Rekapitulasi Analisa Data

Proses Pencarian Makna Hidup Subjek II ... 105 Tabel 6 Rekapitulasi Data Sumber Makna Hidup Subjek II ... 107 Tabel 7 Hasil Analisis-banding antar subjek


(14)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1 Paradigma Teoritis ... 37

Bagan 2 Paradigma Berpikir ... 38

Bagan 3 Pohon masalah proses pencarian makna hidup Subjek 1 ... 81

Bagan 4 Gambaran singkat proses pencarian makna hidup Subjek 1 ... 82

Bagan 5 Pohon masalah proses pencarian makna hidup Subjek 2 ...108


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Pedoman Wawancara

Lampiran B Lembar Observasi


(16)

Makna hidup pada wanita Aceh bergelar syarifah yang melajang Sri Rizki Amanda dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Syarifah memiliki peradaban yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya, dimana seorang Syarifah diharuskan untuk menikah dengan laki-laki yang bergelar Sayyid. Penelitian ini dilakukan pada dua orang subjek bergelar Syarifah yang belum menikah karena adanya nilai budaya yang tidak membolehkan mereka menikah dengan orang tidak sekufu’ (setara). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teori makna hidup dari Bastaman. Makna hidup dianggap sebagai hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Terdapat 5 tahapan pencarian makna hidup, yaitu tahap derita, penerimaan diri, penemuan makna, realisasi makna dan tahap kehidupan bermakna. Selain itu, ada 3 sumber nilai yang mendukung tahap pencarian makna hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek menemukan makna hidupnya dalam menghadapi aturan sebagai seorang Syarifah. Subjek 1 menemukan makna hidup melalui nilai keimanan dan agama yang dianutnya. Subjek 1 menganggap aturannya sebagai seorang Syarifah adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Subjek 2 menemukan makna hidup dari hikmah yang ia dapatkan saat kedua orang tuanya jatuh sakit. Ia merasa bersyukur ia hidup melajang dan bisa merawat kedua orang tuanya dengan baik. Dampak dari penemuan makna hidup bagi kedua subjek adalah penerimaan diri yang positif dan adanya harapan untuk terus lebih baik di kemudian hari.


(17)

The Meaning of Life among single Aceh woman whose title ‘Syarifah’

Sri Rizki Amanda and Rahma Yurliani

ABSTRACT

The aim of this research was to know the meaning of life among single

Aceh woman whose title ‘Syarifah’. Syarifah has different culture from another people in majority, which is a Syarifah has to marry a ‘Sayyid’ man. Subjects of this research were two women of Syarifah that hasn’t married yet because of the

cultural value which isn’t allowed them to marry with with someone not of the

same level. This research used a qualitative approach with depth interview methods as primary data-collecting technique. The research used meaning of life theory from Bastaman. The meaning of life is an important thing that gives a special value to a person. So that is worth to be purposed in life. There are five stages to search meaning of life according to Bastaman, those are pain, self-acceptance, finding the meaning, fulfilling meaning and purpose of life, and the meaningful life. Besides that, there are three values to support the stage of finding the meaning of life. The result of the research showed that two subjects found their meaning of life when they had facing cultural value as Syarifah. The first subject found the meaning of life through her belief and religion. She thought the cultural value as a Syarifah was a form of love to Allah SWT and Prophet Muhammad. The second subject found the meaning of life when her parents were

sick. Both of subjects have the meaning of life’s effect, those are positive self -acceptance and hopes to be better in the future.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki cukup banyak suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2010). Suku Aceh adalah salah satu suku yang mendiami bagian utara Pulau Sumatera dan merupakan daerah paling barat dari wilayah Nusantara (Sufi, 2004).

Suku Aceh berasal dari suku-suku asli seperti suku Mante (Bante) dan Lhan. Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya (Aceh, 1971). Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa (Sufi, 2004). Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboja. Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing yang ada di Aceh, yaitu bangsa Arab dan India (Sulaiman, dkk, 1990). Kedatangan bangsa Arab dan India berhubungan erat dengan penyebaran agama Islam di Aceh. Oleh sebab itu, mayoritas penduduk Aceh beragama Islam (Sufi, 2004).

Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut yang memiliki marga-marga, seperti al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, aal- Almasyhur, Al-Fardhi, dan lain lain, yang semuanya merupakan marga-marga bangsa Arab asal Yaman (al-Masyhur, 2013). Mereka datang sebagai ulama dan sebagian besar berprofesi sebagai pedagang di Indonesia.


(19)

Bangsa Arab yang tersebar di berbagai daerah Aceh hampir keseluruhan berdomisili di pesisir pantai. Laki-laki keturunan bangsa Arab mendapat gelar Sayyid atau Habib dan yang perempuan bergelar Sya rifah (Sufi, 2004). Bangsa Arab di Aceh dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, sehingga kelompok ini merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh (Sufi, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan Ibu SM yang merupakan salah satu wanita bergelar Syarifah.

“Asal keturunan, kiban rhoh lon peugah, dari keturunan Rasulullah.

Kamoe keturunan Quraisy sebena r jih. Cuma marga jih leu macam, na al-Habsyi, al-Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap marga na kekhasa n

tersendiri…”

“(asal keturunan, gimana ya mengatakannya, dari keturunan Rasulullah. Kami sebenarnya berasal dari keturunan kaum Quraisy. Dan marganya macam-macam, ada al-Habsyi, al- Aydrus, al-Attas, banyak.. dan setiap

marga punya kekhasan tersendiri…)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang berasal dari keturunan bangsa Arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW diharuskan untuk tetap mempertahankan keturunan, gelar dan marga yang mereka miliki. Hal ini tampak dalam hal pernikahan seorang Syarifah. Kekerabatan keturunan bangsa Arab bersifat patrilineal, dimana seorang anak mengikuti garis keturunan ayahnya dan mengenal endogamy yang ketat, sehingga hanya laki-laki yang diizinkan untuk menikah ke luar kelompoknya dan untuk menjaga garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Syarifah haruslah menikah dengan yang sekufu atau sebanding/sederajat, artinya jodoh Sya rifah juga


(20)

haruslah dari sesama keturunan bangsa Arab khususnya keturunan Nabi Muhammad SAW (Kinasih, 2013).

Fenomena berlakunya peraturan keharusan wanita bergelar Syarifah mendapatkan jodoh seorang Sayyid juga masih terjadi hingga saat ini di Aceh. Namun, saat ini banyak dari mereka yang sudah melakukan perkawinan campuran dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Meski begitu, fenomena perkawinan campuran masih merupakan hal yang sangat ditentang dalam keluarga Sayyid/Sya rifah. Salah satu alasan masyarakat keturunan Arab tidak ingin melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi karena mereka sangat mementingkan silsilah nasabnya dan tidak boleh memutuskan garis keturunan Rasulullah SAW (Kinasih, 2013).

Suatu hal yang universal bahwa setiap orang di seluruh dunia memiliki kebutuhan dan berkeinginan untuk berkomitmen dengan seseorang yang disukai (Matsumoto, 2008). Matsumoto (2008) menyatakan bahwa ada perbedaan secara budaya dimana orang-orang diseluruh dunia membentuk sebuah hubungan romantis. Hal ini pula yang mempengaruhi kehidupan di masa dewasa awal wanita bergelar Sya rifah. Menurut Erickson (dalam Santrock, 2003), individu dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial akan menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain. Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya.


(21)

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan pasangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Pada masa dewasa awal inilah individu akan membuat komitmen personal dengan orang lain, yakni dengan membentuk sebuah keluarga.

Berbeda dengan sebagian wanita aceh bergelar Syarifah. Aturan untuk mempertahankan kemurnian keturunan dan marga, dan tuntutan untuk menikah mengharuskan wanita bergelar Syarifah menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid. Hal ini menyebabkan banyak wanita bergelar Syarifah belum memenuhi salah satu tugas perkembangan di masa dewasa awal, yaitu menikah. Umumnya, salah satu alasan wanita bergelar Syarifah belum menikah dikarenakan memilih untuk menunggu jodoh datang (laki-laki bergelar Sayyid) hingga umur mereka tidak lagi muda (Kinasih, 2013). Selain itu, ada Syarifah yang memang memilih untuk tidak menikah, dikarenakan adanya pertentangan oleh keluarga jika menikah dengan penduduk pribumi dan juga tidak mau dijodohkan. Hal tersebut menyebabkan banyak wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga usia mereka memasuki masa lanjut usia. Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan Ibu SM wanita yang bergelar Syarifah.


(22)

“Banyak yang golom menikah,sampe na padip-padip droe ka tuha, leu karena ureueng nyan galak keu ureueng biasa, sedangkan dari pihak keluarga han geutem, harus menikah ngon Sayyid, hanjeut ngon ureueng biasa. Alheueh nyan karena geu tentang meunan, kakeuh hana geutem menikah lee,ka patah hati, akhirnya memilih hidup sendiri.”

“(Banyak Syarifah yang belum nikah karena belum mendapatkan Sayyid, sampai uda tua-tua, sebagian bukan karena gak dapat Sayyid, tapi ada kayak perasaan patah hati. Karena Syarifah itu suka sama orang biasa, tapi gak boleh sama keluarga, ditentang habis-habisan. Jadi, karena sakit hati, memilih hidup sendiri.)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), ada konsekuensi yang harus diterima individu dari kegagalan menguasai tugas-tugas perkembangan. Para anggota kelompok sebaya individu bisa saja menganggapnya belum matang, sehingga memicu stigma negatif pada diri individu tersebut. Seorang Syarifah yang tidak menikah hingga masuk dewasa madya bahkan usia lanjut menyebabkan ia tidak memenuhi tugas perkembangan pada masa dewasa awal. Hal ini mengakibatkan adanya penilaian negatif pada dirinya yang akhirnya menumbuhkan konsep diri yang negatif pula (Hurlock, 1999). Situasi ini akan membuat kehidupan seorang Syarifah berada dalam keadaan penderitaan.

Al-Masyhur (2013) menyatakan bahwa hidup sebagai seorang Syarifah merupakan sebuah nikmat yang diberikan Allah SWT. Namun, keharusan seorang Syarifah meneruskan keturunan dengan menikahi seorang Sayyid menjadi suatu situasi penderitaan bagi sebagian Syarifah. Hal ini tampak dari ungkapan seorang Syarifah pada sebuah artikel.


(23)

“Aku beranjak dewasa, dan kini sampailah di umurku yang telah

berkepala dua. Maka tidaklah malu lagi bila di umurku ini aku dan keluargaku telah berfikir mengenai pendamping hidup. Namun aku di hadapkan pada keadaan ini, dan aku adalah seorang syarifah. Wajib

bagiku (katanya) meneruskan nasab Rasul…

…. Aku kebingungan setengah mati di umurku yang mendekati

kematangan ini, aku sungguh tiada mendustakan nikmat menjadi syarifah dengan segala keutamaan. Namun bagaimana aku harus melanjutkan

hidup ini.”

Dee (dalam artikel Kisahku Seorang Syarifah, 2013)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aturan yang mengharuskan wanita bergelar Syarifah untuk mempertahankan kemurnian keturunan menjadi salah satu situasi penderitaan bagi wanita bergelar Syarifah. Penderitaan lain yang dialami wanita bergelar Syarifah adalah hidup melajang hingga usia lanjut. Menurut Trovato dan Lauris (dalam DeGenova, 2008), secara umum, orang-orang yang melajang memiliki kesehatan yang lebih rendah daripada orang yang telah menikah dan juga memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Selain itu, perasaan kesepian, keterasingan dari lingkungan sosial, dan keinginan memiliki anak merupakan kerugian dan penderitaan yang akan dialami oleh wanita yang belum menikah (DeGenova, 2008). Status wanita bergelar Syarifah yang melajang hingga usia lanjut, pada awalnya menimbulkan perasaan kehampaan, kebingungan, putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup. Hal tersebut seperti ungkapan seorang wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga usia lanjut.

“hai watee nyan na sit, merasa hana mangat, umu meutamah laju, ka


(24)

“(waktu itu, ada juga merasa gimana gitu, umur semakin bertambah,

semakin tua, mana ada lagi orang yang suka…)”

(Komunikasi Personal, 1 Desember 2013)

Setiap orang dalam hidupnya tentu pernah mengalami penderitaan, terlepas dari berat-ringannya penderitaan yang ada. Oleh karena itu, Bastaman (2007) menyatakan bahwa untuk dapat bertahan pada setiap penderitaan yang dialami, tentunya diperlukan kepribadian yang sehat dan tangguh berupa tubuh sehat, akhlak yang luhur, sikap tegas, keyakinan dan tujuan hidup yang jelas dalam kehidupan. Hal ini juga yang dilakukan oleh seorang wanita bergelar Syarifah dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan sebagai seorang yang bergelar Syarifah. Wanita bergelar Syarifah menjalani kehidupan dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ibu SM, saudara perempuan wanita bergelar Syarifah.

“meunyoe kak, hana meu kon teuh. Geu seumbahyang hantom tinggai, geu puasa sabee na, jadi hana lee geu pike keu nyang laen-laen. Kiban

nyang lagee na…

“(Kakak saya (belum menikah), masalah ketaatan, sangat bagus. Shalat tidak pernah tinggal, puasa wajib dan puasa sunat selalu, jadi tidak lagi berpikir yang macam-macam, hidup sebagaimana adanya…)”

(Komunikasi Personal, 13 Oktober 2013)

Frankl (2004) mengungkapkan bahwa penderitaan dan rintangan akan memberikan seseorang kesempatan yang banyak meskipun dalam keadaan yang paling sulit, sebagai proses untuk memaknai segala peristiwa dalam hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa, di balik penderitaan yang


(25)

dialami sebagai wanita bergelar Syarifah, bukan berarti nilai dan arti kehidupan tidak dapat ditemukan. Frankl (dalam Schultz, 1994) percaya bahwa makna dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk dalam situasi menjalani penderitaan. Frankl menyatakan.

“Hidup adalah menderita, tetapi untuk menemukan suatu arti dalam

penderitaan seseorang adalah tetap hidup.”

(Frankl dalam Schultz, 1994)

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dalam penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Frankl (2004) mengemukakan lebih lanjut, makna hidup bahkan dapat ditemukan saat seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak membawa harapan, dihadapkan pada nasib yang tidak bisa diubah.

Penelitian dilakukan oleh Putri (2009) mengenai makna hidup pada perempuan dewasa yang berperan ganda, menunjukkan bahwa dua dari tiga subjek dalam penelitian ini mampu memaknai kehidupannya secara baik, karena subjek tidak merasa bahwa peran ganda adalah hal yang menyakitkan. Subjek memiliki hidup yang lebih bermakna karena dapat merasakan kebahagiaan selama menjalani peran ganda serta mampu membahagiakan orang lain.

Sejalan dengan kasus dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri (2009), tentang perempuan yang memutuskan hanya menjalani satu peran hidup sebagai wanita yang melajang. Lisa (35 tahun) menyatakan bahwa tetap merasa bahagia dengan statusnya yang melajang, berikut penyataan Lisa:


(26)

“Walaupun tidak memiliki pendamping hidup saya tidak merasa sedih

dan kesepian, pekerjaan saya saja sudah sangat menyita waktu tidak ada waktu untuk mengurusi keluarga jika saya menikah. Saya sudah bahagia dengan hidup saya yang seperti ini. Keluarga pun mendukung keputusan

saya”

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun, baik keadaan menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, makna hidup seharusnya dapat ditemukan oleh setiap orang (Frankl, 2004). Sebaliknya tidak semua orang mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalani, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Putri (2009) mengenai makna hidup pada wanita dewasa madya yang berperan ganda. Putri (2009) menyatakan bahwa subjek penelitiannya yang ketiga memiliki kehidupan yang kurang bermakna, dimana subjek hanya merasa telah bisa membahagiakan orang tua namun tidak dapat merasakan kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan berperan ganda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa walaupun seharusnya setiap orang mampu menemukan makna hidup, namun tidak semua orang mampu menemukan makna dari kehidupan yang dijalaninya (Bastaman, 2007).

Setiap manusia pada dasarnya, memiliki hasrat untuk menemukan makna, tidak terkecuali wanita bergelar Syarifah. Kehidupan yang bermakna akan menyebabkan kehidupan yang dijalani lebih berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness) (Bastaman, 2007). Perasaan bahagia tersebut merupakan hasil dari kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya.


(27)

Menurut Bastaman (1996) dalam proses menemukan hidup bermakna, terdapat beberapa tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut digolongkan menjadi lima, yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna.

Penderitaan merupakan tahap awal dalam proses mendapatkan hidup yang bermakna. Pada tahap derita, individu akan dihadapkan pada situasi dimana individu tidak mampu untuk mengubah atau menghindarinya berupa kondisi nasib yang tidak bisa di ubah (Frankl, dalam Schultz, 1994). Apabila seseorang berhadapan dengan situasi tersebut, satu-satunya cara yang rasional yang dapat dilakukan adalah menerimanya. Cara bagaimana seseorang mampu mengubah sikapnya terhadap nasib yang tidak bisa diubah dan melihat makna dari penderitaan yang telah dialami merupakan proses kedua yang dilalui oleh individu dalam menemukan hidup bermakna, yaitu penerimaan diri. Hal inilah yang dilakukan oleh wanita bergelar Syarifah terhadap keadaannya yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut. Seperti ungkapan wanita bergelar Syarifah berikut.

“ta pikee ju ka lagee nyoe tekeudi geubi le Poe, ta jalani kiban nyang na, keu peu ta peususah droe teuh..”

“(berpikir positif, memang sudah seperti ini taqdir Allah, jalani saja

sebagaimana mestinya, tidak perlu bersedih hati...)”

(Komunikasi Personal, 1 Desember 2013) Ada tiga nilai-nilai sikap sebagai cara memberi makna bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup,


(28)

apabila nilai-nilai tersebut diterapkan dan dipenuhi. Dengan memasukkan ketiga nilai tersebut, seseorang memasuki tahap ketiga dalam proses penemuan hidup bermakna, yaitu tahap penemuan makna, dimana adanya kemampuan seseorang memberi arti dari setiap peristiwa yang dialami. Ketiga nilai tersebut menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007) adalah nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Proses menemukan kebermaknaan hidup yang terakhir adalah tahap realisasi makna dan tahap hidup bermakna. Pada tahap ini individu mampu melakukan kegiatan yang terarah untuk penemuan makna dan pemenuhan tujuan hidup. Hal ini seperti yang ditulis oleh Frankl:

“Kekhasan manusia ialah dia hanya dapat hidup dengan melihat masa

depan.”

(Frankl, dalam Schultz, 1994) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki alasan untuk tetap meneruskan kehidupan, untuk menyelesaikan tujuan di masa yang akan datang. Selain itu seseorang harus memiliki komitmen ( self-commitment) terhadap makna dan tujuan hidup dengan memberi sesuatu kepada dunia. Hal ini dapat direalisasikan dengan baik melalui pekerjaan atau tugas seseorang. Karena, menurut Frankl (dalam Schultz, 1994), seseorang dapat menemukan makna melalui pekerjaan, sehingga makna dapat ditemukan hampir pada setiap pekerjaan mana pun juga. Oleh karena itu, penghayatan kehidupan bermakna dapat dicapai apabila seseorang telah


(29)

berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga menimbulkan kebahagiaan.

“… dengan melibatkan diri dalam kegiatan bermakna, seseorang akan

menikmati kebahagiaan sebagai hasil sampingan…,”

William S. Sahakian (dalam Bastaman, 2007) Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah disebutkan, makna hidup tentu dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang dewasa (seharusnya) mampu menemukannya, tetapi dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan (Bastaman, 2007). Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menemukan makna. Hal ini juga terjadi pada wanita bergelar Syarifah. Makna hidup tidak akan didapat begitu saja tanpa wanita bergelar Syarifah mampu melawan berbagai permasalahan dan menyikapi dengan lebih bijaksana. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses seorang wanita bergelar Syarifah yang belum menikah hingga memasuki usia lanjut dalam menemukan makna hidup di tengah berbagai permasalahan yang mungkin dialami sebagai wanita yang menyandang gelar Syarifah.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan yaitu:

a. Bagaimana tahapan pencarian makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?


(30)

b. Bagaimana sumber makna hidup ikut berperan dalam pencarian makna hidup wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses mencapai makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

- Memberi pengetahuan baru bagi mahasiswa mengenai gambaran makna hidup pada wanita bergelar Syarifah

- Menambah wawasan mengenai kehidupan seorang bergelar Syarifah dan bagaimana peradaban masyarakat keturunan Arab di Aceh.

b. Manfaat Praktis

- Subjek (wanita bergelar Syarifah) lebih dapat mengenali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki dan menjalani kehidupan dengan baik dan bahagia.

- Menjadi salah satu sumber rujukan bagi penelitian yang bertemakan kehidupan bermakna dalam konteks budaya.


(31)

D. Sistematika Penelitian Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis, yakni pembahasan teori makna hidup dan pembahasan teori mengenai keturunan Nabi Muhammad SAW (sistem pernikahan Sayyid/Sya rifah). Teori tersebut tentunya berhubungan dengan fokus penelitian. Bab ini diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II


(32)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan memberikan saran berupa saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini menjelaskan mengenai teori makna hidup dan penjelasan mengenai sistem pernikahan yang dianut oleh para Sayyid/Syarifah. Teori yang akan dijelaskan sejalan dengan fokus penelitian yaitu makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Menjawab rumusan masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian makna hidup, sumber makna hidup dan tahap pencapain kehidupan bermakna yang dikemukakan oleh Bastaman (1996). Teori mengenai tahapan perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir juga akan diuraikan, mengingat subjek dalam penelitian ini berada pada tahap perkembangan usia dewasa madya hingga dewasa akhir.

A. Makna Hidup

1. Pengertian Makna Hidup

Keinginan manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya. Makna hidup merupakan sesuatu yang unik dan khusus; artinya makna hidup hanya dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan, hanya dengan cara itulah individu dapat memiliki arti yang bisa memuaskan keinginannya untuk mencari makna hidup (Frankl, 2004).

Ada berbagai cara dalam memberi arti bagi kehidupan, namun Frankl (dalam Schultz, 1994) tetap mempertahankan bahwa hanya ada satu jawaban terhadap setiap situasi, yaitu makna. Menemukan makna hidup dan


(34)

menetapkan tujuan hidup merupakan upaya untuk mengembangkan hidup yang bermakna. Hasrat untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang yang selalu menginginkan hidup yang bermakna dan bahagia.

Frankl (2004) mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya satu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau dalam kalimat yang sederhana, menyadari apa ya ng bisa dilakukan di dalam situasi tertentu.

Bastaman (2007) mendefinisikan makna hidup sebagai hal yang dianggap penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Apabila makna hidup berhasil ditemukan maka seseorang akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran (rewa rd) dari hidup yang bermakna adalah perasaan bahagia (happiness). Sebaliknya, jika makna hidup belum berhasil ditemukan maka kehidupan akan dirasa tidak bermakna (meaningless) yang apabila berlarut-larut dapat menimbulkan neurosis noogenik.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah makna atau arti yang diperoleh dari penghayatan pada setiap peristiwa yang dialami oleh individu baik peristiwa yang menyenangkan, tidak menyenangkan, bahkan penderitaan, yang jika berhasil ditemukan akan membuat hidup seseorang bermakna sehingga akan muncul perasaan bahagia,


(35)

namun jika tidak dapat membawa seseorang pada kehidupan yang tidak bermakna.

2. Sumber-sumber Untuk Menemukan Makna Hidup

Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengemukakan bahwa makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun, selama individu mampu melihat hikmah-hikmahnya. Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), dalam kehidupan ada tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya. Nilai-nilai tersebut adalah.

a. Creative Values (Nilai-nilai kreatif)

Creative Values merupakan nilai-nilai yang didapat melalui kegiatan berkarya, bekerja, menciptakan serta melaksanakan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja individu dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna.

b. Experiential Values (Nilai-nilai penghayatan)

Experiential Values adalah nilai yang didapat dari keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan hidup seseorang berarti. Banyak orang-orang yang merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada sebagian orang yang menghabiskan separuh usianya untuk menekuni suatu


(36)

cabang seni tertentu. Cinta kasih juga dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Mencintai dan dicintai akan membuat seseorang merasa hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.

c. Attitudial Values (Nilai-nilai bersikap)

Attitudinal Values merupakan nilai yang diperoleh dari penerimaan dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan yang tak mungkin diubah atau dihindari. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah dapat mengubah pandangan individu untuk mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan. Penderitaan dapat memberikan makna apabila individu mengubah sikap terhadap penderitaan menjadi lebih baik. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun (sakit, nista, dosa, bahkan maut) arti hidup masih tetap ditemukan, dengan mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya.

Berdasarkan tiga nilai yang dikemukakan Frankl, Bastaman (2007) menambahkan nilai lain yang dapat menjadikan hidup lebih bermakna yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena terdapat keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan


(37)

sikap optimis terhadap masa depan. Nilai kehidupan ini disebut dengan nilai pengharapan (Hopeful Values).

3. Tahap-tahap Mencapai Kebermaknaan Hidup

Menurut Bastaman (1996) dalam proses perubahan dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi hidup bermakna dapat dideskripsikan dari tahapan pengalaman tertentu. Tahapan tersebut adalah.

a. Tahap Derita

Pada tahap derita, seseorang dihadapkan pada pengalaman hidup yang tragis dan penderitaan. Pengalaman tragis dan penderitaan tersebut membawa seseorang pada kehidupan tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa, bosan, tidak berarti, tidak memiliki tujuan hidup, dan putus asa.

b. Tahap Penerimaan Diri

Pada tahap penerimaan diri terjadi proses pemahaman diri dan perubahan sikap. Individu mulai dapat memahami dirinya, menerima apa adanya dan mengubah sikap terhadap penderitaan.

c. Tahap Penemuan Makna

Tahap ini ditandai dengan kemampuan individu dalam memaknai peristiwa hidup yang dialami dan mulai menentukan tujuan hidup.

d. Realisasi Makna

Individu melakukan kegiatan-kegiatan yang terarah untuk menemukan makna hidup dan pemenuhan tujuan hidup. Hal ini berarti bahwa


(38)

seseorang harus bersedia melakukan self-commitment terhadap makna dan tujuan hidup serta meningkatkan keterlibatan diri (self-involvement) pada berbagai aktivitas dalam kehidupan.

e. Kehidupan Bermakna

Pada tahap ini, seseorang telah mencapai kehidupan bermakna yang ditandai dengan gairah hidup, semangat hidup, tujuan hidup jelas, kegiatan terarah, dan lainnya. Penghayatan kehidupan bermakna tersebut dapat dicapai apabila individu telah berhasil menemukan makna dan merealisasikannya sehingga akan menimbulkan perasaan bahagia.

4. Penghayatan Hidup Bermakna

Bastaman (2007) menggambarkan orang-orang yang menghayati hidup bermakna sebagai berikut:

a. Individu menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa.

b. Individu mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.

c. Individu memiliki kegiatan-kegiatan terarah dan dapat merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.

d. Individu memiliki tugas-tugas dan pekerjaan yang dianggap sebagai sumber kepuasan dan kesenangan yang dilakukan dengan penuh semangat dan tanggung jawab.


(39)

e. Individu dapat menemukan pengalaman baru setiap hari yang dapat menambah pengalaman hidupnya.

f. Individu dapat menghargai hidup yang dijalani.

g. Individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari batasan-batasan lingkungan, dan dari batasan tersebut individu dapat menentukan apa yang paling baik untuk mereka lakukan.

h. Individu mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain, dan menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang membuat hidup indah.

B. Sistem Pernikahan Sayyid/Syarifah

Penggunaan gelar Sayyid/Sya rifah merupakan suatu gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Mereka merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.

Keturunan Hasan dan Husain disebut dengan Sayyid dengan jamak Sadat. Hal ini dikarenakan Nabi SAW mengatakan ‘Kedua Anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di syurga.’ Di beberapa daerah lain disebut dengan Syarif, yang berarti orang mulai atau orang berbangsa, dengan jamak Asyraf. Bagi wanita keturunan ahlul bait Rasulullah SAW mendapat gelar berupa Sayyidah atau Syarifah (Al Hinduan, 2007).


(40)

Menurut Prof. Dr. HAMKA (al-Masyhur,2013), sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain datang ke Indonesia. Sejak dari Semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Banyak jasa mereka dalam penyebaran agaman Islam di seluruh Nusantara. Penyebaran Islam dan pendiri kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang berasal dari Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah putus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayyid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid al-Qadri. Kerajaan Siak merupakan keluarga bangsa Sayyid Bin Syahab.

Al-Masyhur (2013) mengemukakan bahwa kebanyakan para Sayyid yang datang ke Indonesia menjadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut (Yaman) dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang ke Indonesia dari berbagai keluarga. Berbagai keluarga yang banyak dikenal adalah keluarga al-Attas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, al-Habsyi, al-Haddad, Bin Smith, Bin syahab, dan lain-lain.

Menurut Al-Masyhur (2012) menyatakan bahwa para keturunan Rasulullah SAW yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah SWT, karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. keturunan Rasulullah SAW menjadi manusia yang memiliki kemuliaan dan keutamaan, sehingga mereka seharusnya tetap mempertahankan kemuliaan dan keutamaan pada diri dan keturunan mereka melalui pernikahan. Mereka


(41)

menjaga keturunan mereka dengan mengawinkan wanita-wanita Sya rifah dengan laki-laki Sayyid.

Berdasarkan hasil pre-eliminaryresearch yang dilakukan peneliti dengan Sayyid Lukman, yaitu ketua Sayyid Se-Aceh saat ini, dikatakan bahwa aturan pernikahan Sayyid/Syarifah didasarkan pada pernikahan putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fathimah dengan sepupu Nabi Muhammad yaitu Ali bin Abi Thalib. Berikut pernyataan Sayyid Lukman.

“Perkawinan Saiyidina Ali radhiallahu ‘anhu dengan Siti Fathimah

radhiallahu ‘anhu adalah sekufu (sederajat) dan beliau adalah contoh

yang wajib kami ikuti, karena beliau adalah nenek moyang kami. Perkawinan beliau menghasilkan keturunan yaitu Al Hasan dan Al Husein yang merupakan asal usul Syarif/Sayyid dan Syarifah/Sayyidah. Itu perlu kamu ketahui. Keturunan Al Hasan dan Al Husein inilah yang tidak boleh dikawini oleh siapapun, kecuali dari golongan itu sendiri.

Bahwa ada hadist yang mengatakan: ‘bahwa keturunan Rasulullah SAW tidak akan terputus hingga hari kemudian’.”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Berdasarkan pre-eliminary resea rch peneliti juga menemukan bahwa akan ada berbagai konsekuensi jika para Sya rifah menikah bukan dengan laki-laki Sayyid, diantaranya adalah: akan putus hubungan nasabnya dengan keluarga dan Rasulullah SAW; mendapatkan dosa; dan keturunannya tidak lagi bergelar Sayyid/Syarifah. Seperti ungkapan berikut.

“Wanita Sayyid/Syarif yakni Syarifah, apabila telah mempersuamikan

lelaki biasa, maka putuslah hubungan kekeluargaannya dari rumpun familinya, kecuali family yang sudah setuju, namun kenyataan yang kita lihat, jauh lebih banyak family yang tidak setuju daripada yang setuju, sehingga terasinglah wanita tersebut dari keluarganya dan putus pula silaturrahminya. Lagi pula, orang yang sengaja memutuskan silaturrahmi


(42)

dengan cucu Rasulullah SAW akan menjadi dosa besar dan menimbulkan permusuhan yang tidak akan berakhir. Bahkan sampai anak cucunya kelak, karena dianggap mengkhianati bangsanya dan memurkai turunannya yang suci dari Rasulullah SAW, nauzubillahi minzallik !”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Jika telah terjadi pernikahan anatara Syarifah dengan lelaki yang bukan Sayyid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan Sayyid, karena anak mengikuti garis ayahnya. Hal ini mengakibatkan keutamaan dan kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah SWT untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang Syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan Sayyid (al Masyhur, 2012).

Lampiran berkas surat tanggal 28 Agustus 1995 yang ditujukan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, menjelaskan isi ceramah yang disampaikan oleh Habib Muhammad Mohdar Al Mahdar dan Habib Musthafa

Al Haddad di Mesjid Jami’ Sulthan Abdurrahman. Ceramah tersebut berisikan

pembahasan mengenai masalah Hukum Perkawinan/Pernikahan antara perempuan Syarifah dengan laki-laki yang bukan dari keturunan Syarif/Sayyid. Berikut kutipan isi ceramah.

“Tidak ada satu dalilpun yang dapat mengesahkan Pernikahan Syarifah

pada bukan Sayyid/Syarif. Berani mengesahkannya berarti gugurlah semua kitan dan fatwa dari pada Imam al-Mujtahid serta para ulama yang besar, dan memang begitulah sejarah yang di alami oleh Keturunan Rasulullah SAW mulai dari: Sayyidina Hasan ra.; Sayyidina Husain, juga cucunya Al Hasan dan Al Husein. Kembalilah pada sejarah pada Zaman Pemerintahan Bani Umayyah dan BAni Abbas apa yang terjadi saat itu. Tapi jangan lupa bahwa duna sudah tua, yang tak pernah terjadi akan terjadi, salah satu contoh: 1) Berlainan Agama dapat kawin, yang satu Islam yang satunya agama selain Islam, padahal HUKUM SUDAH


(43)

ADA, tapi seperti itu; 2) Seorang akan kawin pada seorang wanita sesama Islam, dalam hal ini Walinya tidak setuju, tapi dinikahkan juga, menurut Hadist, BATAL NIKAH TANPA WALI, kalaupun keduanya kawin, jelas HUKUMNYA ZINA !. kedua calon suami isteri akan kawin, walinya tidak setuju, kemudian mereka lari kesuatu daerah, yang oleh penghulu setempat dinikahkan, apa Hukumnya SAH? – tentu tidak, padahal orang tua perempuan masih ada, hanya tidak setuju saja. Kasus tersebut dalam hal ini sudah sering terjadi, padahal HUKUMNYA JELAS ADA. Bagi kami yang tahu Hukum Perkawinan Syarifah tetap mempertahankannya, kalau tidak siapa llagi yang akan menegakkannya. Karena Datuk kami Rasulullah SAW telah memberi contoh kepada anak keturunannya (ahlul bait) dan ‘ilmu rumah tangga tak akan jatuh pada orang luar, kecuali orang tumah tak mau belajar dan orang luar yang mau

belajar malah lebih tahu’. Bagi yang mau memakai silahkan, begitu juga

yang tidak terserah masing-masing.”

Banyak sumber hukum yang menjelaskan mengenai sistem pernikahan Sayyid/Syarifah. Berbagai dalil dalam Al Qur’an, Hadist, Ijma’ Ulama, dan hukum Qias yang menjelaskan hukum pernikahan Sayyid dan Syarifah. Namun, dalam hal ini peneliti tidak membahas lebih dalam, dikarenakan fokus penelitian ini di pandang dari kacamata psikologi, mengenai keadaan Syarifah yang melajang karena nilai yang dianutnya, yakni tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan dari golongan Sayyid.

C. Tahapan Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut) 1. Perkembangan Dewasa Madya

Hurlock (1999) menyatakan usia dewasa madya dipandang sebagai usia antara 40 hingga 60 tahun. Masa dewasa madya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi pernurunan daya ingat. Meningkatnya kecenderungan untuk pensiun pada usia


(44)

enampuluhan tahun dianggap sebagai garis batas antara usia dewasa madya dengan usia lanjut.

Menurut Lachman (dalam Papalia & Olds & Feldman, 2009), usia dewasa madya adalah waktu untuk mengevaluasi kembali tujuan dan aspirasi dan sejauh mana individu pada usia ini telah memenuhinya, usia ini juga usia untuk memutuskan bagaimana cara terbaik dalam menggunakan sisa dari setengah rentang kehidupan. Pada beberapa budaya, seperti Amerika, usia dewasa madya merupakan masa paling sulit dalam rentang kehidupan (Hurlock, 1999). Bagaimanapun baiknya individu berusaha untuk menyesuaikan diri hasilnya akan tergantung pada dasar-dasar yang ditanamkan pada tahap awal kehidupan, khususnya harapan tentang penyesuaian diri terhadap peran dan harapan sosial dari masyarakat dewasa. Kesehatan mental yang baik yang dibutuhkan pada masa-masa dewasa, memberi kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap pelbagai peran baru dan harapan sosial usia dewasa madya.

Hurlock (1999) mengemukakan beberapa karakteristik dewasa madya, diantaranya adalah periode yang sangat ditakuti, masa transisi, masa stress, usia yang berbahaya, usia canggung, masa berprestasi, masa evaluasi, masa sepi, dan masa jenuh. Erickson (dalam Papalia; Olds; & Feldman, 2009) memandang usia 40 tahun sebagai masa ketika individu memasuki tahap normatif, yaitu generativity versus stagnation. Individu pada tahapan ini menurut Erickson, mengembangkan suatu kepedulian untuk membangun, membimbing, dan memenuhi generasi berikutnya, jika tidak, individu akan


(45)

mengalamani stagnasi (perasaan ketidakaktifan dalam kehidupan). Generativity berkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang menentukan penyesuaian psikososial pada masa dewasa madya. Menurut Erickson, banyaknya peran dan tantangan pada masa ini, seperti tuntutan pekerjaan dan keluarga, menuntut respons yang generatif pada individu dewasa madya.

2. Perkembangan Dewasa Akhir (Usia Lanjut)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya yang tidak bahagia (Hurlock, 1999). Ada beberapa masalah tertentu dari penyesuaian diri dan sosial yang bersifat unik pada individu usia lanjut, misalnya meningkatnya ketergantungan fisik dan ekonomi pada orang lain, membentuk kontak sosial baru, mengembangkan keinginan dan minat baru dan kegiatan untuk memanfaatkan waktu luang yang jumlahnya meningkat, belajar memperlakukan anak yang sedang tumbuh sebagai orang dewasa, dan menjadi korban karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan diri.

Bahaya yang potensial terhadap penyesuaian pribadi dan sosial pada usia lanjut disebabkan oleh menurunnya fungsi fisik dan mental sebagai ciri-ciri usia lanjut, yang mengakibatkan orang usia lanjut mudah diserang penyakit dan sebagian lagi disebabkan oleh kurangnya pengenalan terhadap bahaya potensial yang berasal dari kelompok sosial. Bahaya fisik yang bersifat umum


(46)

pada individu usia lanjut adalah penyakitan, hambatan yang bersifat jasmaniah, kurang gizi, gigi banyak yang tanggal, kecelakaan dan hilangnya kemampuan seksual. Bahaya yang bersifat psikologis meliputi kepercayaan terhadap pendapat klise tentang usia lanjut, perasaan rendah diri, perasaan tak berguna, dan perasaan tidak enak sebagai akibat dari perubahan fisik, perubahan pola hidup, perasaan bersalah karena menganggur, terutama yang mau tidak mau harus mengakibatkan perubahan pola hidup

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut)

Tabel 1. Tugas perkembangan dewasa madya dan dewasa akhir menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999)

Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Tugas Perkembangan Dewasa Akhir

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga Negara b. Membantu anak-anak remaja

belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan bahagia

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa

d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier pekerjaan

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua

a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga

c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan f. Menyesuaikan diri dengan peran


(47)

Masalah-masalah tertentu yang timbul dalam penyesuaian diri merupakan ciri dari usia dewasa madya. Masalah utama yang harus diselesaikan dan disesuaikan secara memuaskan selama usia dewasa madya mencakup apa saja yang menjadi tugas-tugas perkembangan selama periode ini. Tugas perkembangan dewasa madya tidak seluruhnya dapat dikuasai dalam waktu yang sama atau dengan cara yang sama oleh setiap orang. Beberapa tugas tampaknya lebih dikuasai pada awal dewasa madya, dan lainnya pada akhir periode tersebut. Keadaan ini tentunya akan bervariasi untuk individu-individu yang berbeda pula (Hurlock, 1999).

Kebanyakan tugas perkembangan usia madya mempersiapkan individu bagi penyesuaian yang berhasil terhadap usia tua. Hal ini mengindikasikan penguasaan tugas-tugas ini penting artinya untuk keberhasilan dan kebahagiaan baik pada usia madya maupun pada tahun-tahun terakhir kehidupan serta pemanfaatan kegiatan pada waktu luang. Menurut Hurlock (1999) sebagian besar pengembangan tugas usia madya diarahkan pada persiapan individu demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan di usia lanjut nanti hingga akhir kehidupan.

Tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada orang lain. Individu pada tahap usia lanjut lebih diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka juga


(48)

diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda.

Sejalan dengan tugas perkembangan usia lanjut, Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa kepercayaan umum yang menyatakan bahwa orang usia lanjut yang tidak pernah menikah akan tidak bahagia dan tidak benar kalau perasaan kesepian di masa usia lanjut disebabkan oleh pengalaman nyata. Wanita usia lanjut yang melajang akan membangun kehidupan sendiri, dan telah belajar selama bertahun-tahun untuk mengembangkan minatnya dan mulai ikut terlibat dalam kegiatan penanggulangan masalah keluarga yang kurang hubungan sosial. Hal ini menyebabkan individu harus menjaga terus agar dirinya bahagia hingga usia tua. Walaupun mereka pensiun, biasanya mereka mempunyai pendapatan dari dana pensiun, atau tunjangan jaminan sosial dan dari tabungannya, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup bahagia dan berbuat apa saja yang diinginkannya. Karena mereka tidak pernah menggunakan waktu senggangnya untuk keperluan keluarga, maka mereka mempunyai kesempatan untuk memantapkan banyak minat yang dapat menjauhkan dari kehidupan yang sepi apabila mencapai masa pensiun.

D. Kebermaknaan Hidup Wanita Aceh Bergelar Syarifah yang Melajang Seorang Syarifah merupakan wanita keturunan ahlul bait Rasulullah SAW yang berasal dari keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hasan dan Husain. Saat ini kemurnian keturunan ahlul bait Rasulullah SAW masih tetap terjaga dan telah tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di


(49)

Indonesia (al-Masyhur, 2013). Banyak keturunan Nabi Muhammad SAW datang ke Indonesia sejak zaman kebesaran Aceh. Mereka berasal dari Hadramaut, dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Kedudukan mereka di Nusantara telah turun temurun sehingga mereka telah menjadi bagian dari warga Negara Indonesia tempat mereka berdomisili.

Menurut al-Masyhur (2012), kaum Alawiyin (ahlul bait Rasulullah SAW) diseluruh dunia memelihara nasab-nasab mereka. Sudah menjadi keharusan bagi keturunan Hasan dan Husain untuk menjaga nasabnya, sehingga tidak mudah orang merusak keturunan mereka. al-Masyhur (2012) menambahkan bahwa seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukur, dikarenakan Allah SWT telah menjadikan mereka manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan. Oleh karena itu, tidak seharusnya mereka kufur akan nikmat yang telah diberikan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan dirinya melalui pernikahan yang tidak

sekufu’, yaitu dengan menikahkan para Syarifah dengan laki-laki yang bukan Sayyid.

Keadaan pada saat ini berbanding terbalik sebagaimana fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Kemuliaan sebagai keturunan Rasulullah SAW seharusnya menjadi kenikmatan dan kebanggaan bagi seorang Syarifah (al-Masyhur, 2012). Kenikmatan dan kebanggaan sebaliknya, telah menjadi suatu masalah pada saat ini. Aturan menikah harus dengan laki-laki bergelar Sayyid menyebabkan sebagian wanita bergelar Syarifah sulit untuk menikah. Beberapa wanita bergelar Syarifah bahkan tidak menikah hingga usia lanjut.


(50)

Suatu keharusan bahwa seorang Sya rifah menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid (al-Masyhur, 2012). Keadaan tersebut menjadi lebih sulit bagi Syarifah ketika ia menyukai laki-laki yang bukan dari golongan Sayyid, sedangkan ia harus mempertahankan nasabnya sebagai keturunan Rasulullah. Berdasarkan hasil data awal, beberapa dari mereka bahkan lebih memilih untuk tidak menikah dan hidup melajang. Ada juga Syarifah yang kebingungan dengan kelanjutan hidupnya ketika usianya memasuki masa dewasa, yang dituntut oleh tugas perkembangan yaitu menikah. Oleh sebab itu, kenikmatan menjadi seorang Syarifah membawa mereka pada situasi penderitaan ketika memasuki usia dewasa awal. Lebih lanjut lagi, ketika usia bertambah dan hidup sebagai seorang yang melajang tentunya memunculkan penderitaan lain bagi Syarifah.

Fenomena melajang bagi wanita hingga usia lanjut menjadi suatu masalah tersendiri. Hal ini juga dialami oleh wanita bergelar Syarifah. Permasalahan psikologis seperti kesepian dan hasrat untuk memiliki anak menjadi hal yang harus dihadapi oleh para wanita bergelar Syarifah. Belum lagi tekanan sosial dari lingkungan sekitar menambah penderitaan bagi mereka (DeGenova, 2008).

Penderitaan yang dialami wanita bergelar Syarifah adalah salah satu keadaan yang sulit untuk diubah. Menurut Frankl, nasib dan tugas-tugas individu adalah unik bagi individu di setiap periode waktu dalam kehidupan dan dalam semua situasi tentunya memiliki makna, sehingga merupakan tugas individu untuk menemukan makna dari penderitaan tersebut (dalam Schultz,


(51)

1994). Makna yang dimaksud adalah arti yang dapat diperoleh dari penghayatan tentang segala hal yang dilaksanakan, dihadapi, dan dijalani dalam berbagai situasi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa setiap pengalaman hidup tentu memiliki makna, asalkan seseorang mampu melihat atau menemukan makna tersebut (Frankl, 2004). Demikian halnya pada wanita bergelar Syarifah. Penderitaan yang dialami sebagai seorang Syarifah dan menjadi wanita yang hidup melajang hingga memasuki usia lanjut merupakan sebuah tantangan unik yang menawarkan arti untuk dimaknai. Makna tersebut dapat diperoleh ketika wanita bergelar Syarifah mampu melihat makna dari penderitaan yang dialami.

Pencarian makna hidup merupakan suatu pergerakan dan perjuangan menuju tujuan tertentu yang layak bagi seseorang, yaitu makna (Frankl, dalam Schultz, 1994). Dalam proses pencarian makna hidup, individu dapat memilih untuk tetap aktif mencari makna kehidupan atau memilih untuk menghentikan pencarian makna hidupnya. Mereka yang tidak berhasil menemukan makna hidup pada umumnya akan merasa kehampaan, putus asa, sehingga individu akan berada dalam keraguan. Individu yang berhasil menemukan makna hidup akan merasakan kepuasaan dan kebahagiaan dalam kehidupan yang dijalani (Bastaman, 2007).

Individu yang tetap aktif mencari makna hidup merupakan individu yang memiliki motivasi dan berkeinginan menjadi pribadi yang berharga dan berarti. Makna hidup dapat ditemukan melalui lima tahapan, yaitu tahap


(52)

derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna (Bastaman, 1996). Kelima tahapan penemuan makna hidup ini berperan aktif ketika individu mengubah kondisi hidup tidak bermakna menjadi kehidupan yang lebih baik.

Tahap derita adalah tahap dimana seseorang mengalami peristiwa tragis, dan mengalami kehidupan tanpa makna. Tahap penerimaan diri merupakan tahap dimana seseorang mampu memahami diri dan timbul perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi berbagai masalah. Perubahan sikap biasanya disertai peningkatan gairah hidup dan secara sadar melakukan berbagai kegiatan yang terarah, seperti pengembangan bakat, keterampilan dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi makna hidup dan tujuan hidup. Ketika tahap ini berhasil dilalui, maka akan ada perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan penghayatan hidup bermakna (the meaningful life) disertai perasaan bahagia (Bastaman, 1996).

Tahapan penemuan makna hidup juga dipengaruhi oleh empat sumber nilai makna hidup, yaitu, creative values, experiential values, attitudinal values dan hopeful values (Bastaman, 2007). Nilai kreatif realisasinya melalui berbagai kegiatan seperti berkarya, bekerja, interaksi sosial dan melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab. Nilai penghayatan dapat diperoleh dengan penerimaan diri yang baik, keyakinan diri, emosi yang positif, dan peningkatan ibadah melalui realisasi nilai-nilai agama.

Realisasi nilai bersikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaannya. Realisasinya melalui sikap ikhlas,


(53)

tawaqal, optimis, dan dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa (Bastaman, 2007). Dalam kehidupan wanita bergelar Syarifah, realisasi ketiga nilai-nilai tersebut tampak dari bagaimana ia menjalani kehidupannya dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Wanita bergelar Syarifah juga memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana ia menyikapi terhadap pengalaman hidupnya. Baik memilih untuk aktif dalam penemuan makna maupun pasif mencari makna. Proses pencarian makna hidup pada wanita bergelar Syarifah merupakan proses yang dijalani untuk mencari makna dalam pengalaman hidup sebagai wanita bergelar Syarifah, ahlul bait dari Rasulullah SAW, dengan segala aturan budaya yang mengikatnya. Tentunya mereka memiliki kebebasan untuk memilih caranya sendiri untuk melanjutkan kehidupan.


(54)

E. Paradigma Teoritis

Bagan 1. Paradigma Teoritis

Kehidupan wanita Aceh bergelar Syarifah

Dewasa Madya

Tugas Perkembangan

→ Mencapai tangggungjawab sbg warga Negara

→ Membantu remaja menjadi idv dewasa yg bertanggungjawab → Mengembangkan kegiatan waktu

senggang

→ Menerima dan menyesuaikan diri dg perubahan fisiologis

→ Mencapai dan mempertahankan prestasi karier

→ Menyesuaikan diri dg orang tua yang semakin tua

Usia Lanjut

Tugas Perkembangan

→ Menyesuaikan diri dg menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan → Menyesuaikan diri dg masa pensiun

dan berkurangnya pendapatan → Membentuk hubungan dg

orang-orang yg seusia

→ Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

→ Mneyesuaikan diri dengan peran sosial

Belum/Tidak menikah

Keinginan hidup bermakna

Sumber makna → Creative values → Attitudinal values → Experiential values → Hope values

Tahapan pencarian makna → Tahap derita

→ Tahap penerimaan diri → Tahap penemuan makna → Tahap realisasi makna → Tahap penemuan makna


(55)

F. Paradigma Berpikir


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Pernikahan merupakan salah satu tuntutan dari tugas perkembangan pada masa dewasa awal (Hurlock, 1999). Pada masa ini seseorang akan membentuk sebuah hubungan romantis dan memiliki komitmen personal dengan orang lain dengan menikah. Tentunya setiap orang ingin menikah dengan orang pilihannya sendiri. Namun, tidak semua individu dapat menikah sesuai dengan pilihannya, hal ini juga terjadi pada wanita Aceh bergelar Syarifah. Mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Tuntutan kebudayaan dan faktor garis keturunan dari Bangsa Arab, membuat wanita Aceh bergelar Sya rifah harus menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid (Sufi, 2004).

Tuntutan kebudayaan memiliki dampak pada wanita bergelar Syarifah. Beberapa dari mereka belum menikah hingga usia lanjut. Hal ini disebabkan karena keinginan mempertahankan keturunan, sehingga memilih menunggu jodoh (laki-laki bergelar Sayyid), maupun memiliki tidak menikah. Menjalani kehidupan seorang diri hingga usia lanjut menjadi lebih sulit bagi setiap orang (DeGenova, 2008). Hal ini pula yang dialami oleh wanita bergelar Syarifah.

Fokus penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian “bagaimana


(57)

Mengingat bahwa kemampuan wanita bergelar Syarifah untuk memaknai kehidupannya dalam menghadapi peristiwa hidup sangat individual, artinya berbeda untuk setiap orang bahkan pada peristiwa yang sama maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus (Poerwandari, 2001). Hal ini sejalan dengan fokus penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana kebermaknaan hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah.

Pendekatan kualitatif digunakan karena sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya melibatkan berbagai pengalaman pribadi dan proses internal individual sulit dikuantifikasikan sehingga mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik (Poerwandari, 2001). Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman subjek yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari perilaku seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman tentang kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebagai makhluk yang memiliki pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2001).

B. Metode Pengumpulan Data

Sifat penelitian kualitatif terbuka dan luwes, sehingga metode pengumpulan data yang digunakan juga beragam, disesuaikan dengan masalah tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode dasar yang umumnya


(58)

banyak dipakai dan dilibatkan dalam penelitian kualitatif adalah observasi dan wawancara (Poerwandari, 2001).

Pengumpulan data pada penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (depth interview) sebagai metode utama. Wawancara dilakukan melalui wawancara dengan pedoman umum. Peneliti memiliki pedoman wawancara yang sangat umum yang mencantumkan masalah yang ingin diketahui, yaitu mengenai tahapan dan sumber makna hidup. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek yang perlu untuk digali dan dijadikan daftar pengecekan apakah aspek tersebut sudah dibahas atau ditanyakan. Wawancara juga dilaksanakan sesuai dengan keadaan di lapangan, dimana proses wawancara dilakukan menggunakan bahasa daerah, sehingga peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan yang diberikan dapat dipahami oleh subjek dan sesuai dengan maksud peneliti.

Observasi juga digunakan sebagai metode pendukung pada saat wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui keadaan selama wawancara berlangsung. Hal-hal yang diobservasi adalah tempat berlangsungnya wawancara, penampilan fisik subjek, perilaku subjek selama wawancara berlangsung, hal-hal yang mengganggu wawancara dan hal yang paling sering dilakukan subjek selama wawancara.


(59)

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Aceh. Proses pengambilan data pada subjek 1 dilakukan di rumah subjek yakni Desa Bungkah, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Proses pengambilan data pada subjek 2 dilakukan di rumah subjek yakni Desa Meuse, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.

D. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak dua orang. Karakteristik subjek dalam penelitian adalah.

a. Seorang wanita suku Aceh bergelar Syarifah.

Mengingat fenomena penelitian ini adalah seorang wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang, maka subjek penelitian ini hanya dikhususkan pada wanita yang berasal dari suku Aceh dan memiliki gelar Syarifah.

b. Usia pada rentang usia dewasa madya dan dewasa akhir.

Subjek penelitian ini juga dikhususkan pada individu yang berusia pada rentang usia dewasa madya hingga dewasa akhir. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu pada usia ini dan sejalan dengan fenomena pada penelitian ini bahwa tidak terpenuhinya salah satu tugas perkembangan para Syarifah pada masa dewasa awal, yaitu menikah, yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi pada tahapan perkembangan berikutnya.


(60)

c. Belum/Tidak menikah.

Sejalan dengan fokus penelitian yang ingin di teliti adalah wanita bergelar Syarifah yang belum menikah dikarenakan nilai budaya yang di anut hingga usianya tidak lagi muda, sehingga karakteristik subjek penelitian ni adalah wanita yang belum/tidak menikah

d. Menjalani kehidupan seorang diri sebagai wanita melajang.

Subjek penelitian juga dikhususkan pada wanita yang hidup melajang, sejalan dengan fokus penelitian yang ingin meneliti mengenai wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang karena mengikuti nilai budaya yang di anutnya.

2. Teknik Pengambilan Subjek

Teknik pengambilan subjek pada penelitian ini menggunakan pengambilan subjek berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Subjek pada penelitian ini dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau kontruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan pada penelitian ini adalah memahami makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah yang melajang. Hal ini dilakukan agar subjek penelitian benar-benar mewakili fenomena yang diteliti.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Mempermudah peneliti dalam mencatat hasil wawancara maka peneliti menggunakan alat bantu perekam (tape recorder), pedoman wawancara dan


(61)

pedoman observasi. Penggunaan tape recorder diharapkan agar tidak ada informasi yang terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Tape recorder tentunya dapat digunakan dengan izin dan sepengetahuan subjek.

Peneliti juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat untuk mengingatkan peneliti aspek-aspek yang ditanyakan saat proses pengambila data terkait masalah yang di teliti, yaitu makna hidup pada wanita Aceh bergelar Syarifah. Pedoman wawancara juga berguna untuk mengkategorisasikan jawaban subjek yang akan mempermudah dalam menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara berkaitan dengan masalah yang ingin diungkapkan yaitu berkaitan dengan tahapan pencarian makna hidup dan sumber makna hidup pada wanita bergelar Syarifah.

Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi subjek, lingkungan tempat wawancara berlangsung, dan tampilan subjek. Hal ini berguna melihat sejauh apa kenyamanan subjek terhadap proses wawancara, dan melihat keberhasilan rapport yang dibangun oleh peneliti.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, diantaranya adalah:

a. Mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan kehidupan seorang wanita bergelar Syarifah, apa saja yang dialami dalam kehidupan sebagai seorang wanita melajang hingga usia lanjut, dan bagaimana wanita


(62)

bergelar Syarifah mampu memaknai kehidupannya dan dapat meraih kebahagiaan dengan situasi tersebut, serta mencari literatur mengenai makna hidup. Kemudian peneliti membahas bagaiman makna hidup pada wanita bergelar Sya rifah, dimana dalam penelitian ini wanita bergelar Syarifah hidup sebagai melajang hingga usia lanjut.

b. Membuat susunan pedoman wawancara. Pedoman ini disusun berdasarkan kerangka teori makna hidup, yaitu bagaimana proses mendapatkan makna hidup pada seorang wanita bergelar Syarifah.

c. Melakukan wawancara awal untuk mengetahui fenomena yang ada dan memperoleh data awal dalam menggambarkan permasalahan.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Tahap ini, peneliti melakukan proses membangun rapport dengan subjek dan memastikan keikutsertaan subjek dalam penelitian. Setelah itu, dilanjutkan dengan proses pengambilan data dengan proses wawancara. Percakapan pada proses wawancara yang berlangsung akan direkam menggunakan tape recorder mulai dari awal sampai akhir percakapan dan di tambah dengan pencatatan hasil wawancara oleh peneliti.

Peneliti terlebih dahulu melakukan professional judgement dengan ahli yang mengetahui perihal nilai budaya Sayyid/Syarifah, di akhir bulan Februari 2014. Ahli tersebut adalah seorang Sayyid yang saat ini dipercayakan memegang amanah sebagai ketua perkumpulan Sayyid Se-Aceh. Peneliti mencoba mencari tahu lebih banyak data-data yang mendukung perihal


(1)

Putri, Pika S., Respati, Winanti S., Safitri. (2009). Makna Hidup pada Perempuan Dewasa yang Berperan Ganda. Jurnal Psikologi Vol.7 No.2

Schultz, Duane P. (1994). Psikologi Pertumbuhan: model-model kepribadian sehat (Yustinus, Pengalih Bahasa). Yogyakarta: Kanisius

Sufi, R., Wibowo, AB. (2004). Budaya masya ra kat Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Sulaiman, B., Musa, I., Burhanuddin., Gana, Mahdi F.A. (1990). Sistem Sapaan dalam Bahasa Aceh. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


(2)

GLOSARRY (DAFTAR ISTILAH)

Ahlul Bait. Sebutan bagi keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu Nabi Muhammad SAW, puterinya Fatimah Az Zahra ra., menantunya Ali bin Abi Thalib ra., dan cucu beliau Al Hasan dan Al Husain.

Alawiyin. Sebutan bagi golongan keturunan Rasulullah SAW.

Hadramaut. Suatu nama daerah yang berada di Yaman.

Kafa’ah. Asal kata kufu’, kesepadanan (sederajat/sebanding) yang khusus antara laki-laki dan perempuan

Nasab. Garis Keturunan

Sayyid. Gelar yang diberikan bagi laki-laki yang berasal dari golongan anak cucu keturunan Rasulullah SAW.

Syafa’at. Keuntungan/manfaat yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya yang bertaqwa pada hari kiamat.

Syarif. Sebutan lain dari Sayyid. Yaitu gelar yang diberikan bagi laki-laki yang berasal dari golongan anak cucu keturunan Rasulullah SAW.

Syarifah. Gelar yang diberikan bagi wanita yang berasal golongan keturunan Rasulullah SAW.


(3)

LAMPIRAN A

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Responden :

Usia :

Hari/Tanggal Wawancara :

Waktu Wawancara :

Tempat Wawancara :

Wawancara ke- :

A. Latar Belakang Kehidupan 1. Apa Syarifah itu?

2. Bagaimana kehidupan sebagai seorang Syarifah? 3. Pandangan subjek mengenai menjadi seorang Syarifah? 4. Bagaimana sistem pernikahan seorang Syarifah?

5. Pandangan subjek mengenai sistem kafa’ah dalam pernikahan Syarifah? 6. Bagaimana konsekuensi jika menikah dengan laki-laki non-Sayyid?

B. Makna Hidup

1. Proses Penemuan Makna Hidup a. Tahap derita


(4)

- Bagaimana prinsip mengenai pernikahan di keluarga subjek? - Bagaimana hubungan romantis subjek sebelumnya (pada usia

dewasa awal)?

- Bagaimana perasaan subjek dengan kondisi belum menikah hingga saat ini? Bagaimana subjek menghadapi perasaan tersebut?

b. Tahap penerimaan diri

- Bagaimana subjek merespon kondisinya sebagai single? - Bagaimana subjek dapat menerima keadaan tersebut? c. Tahap penemuan makna hidup

- Bagaimana subjek memandang keadaannya yang belum menikah? - Peristiwa yang bagaimana membuat subjek merasakan bahwa

kehidupan yang dijalani penuh makna? d. Tahap realisasi makna hidup

- Apa saja kegiatan yang dijalani subjek untuk mengisi kehidupan sehari-hari?

- Bagaimana subjek memaknai kegiatan yang dijalani? e. Tahap kehidupan bermakna

- Bagaimana subjek memandang kehidupan yang sudah dicapai saat ini?

- Bagaimana pengaruh dukungan keluarga, teman-teman, dan lingkungan sosial terhadap pencapaian makna hidup subjek?


(5)

LAMPIRAN B PEDOMAN OBSERVASI

Nama Responden :

Hari/Tanggal Wawancara :

Waktu Wawancara :

Tempat Wawancara :

Wawancara ke- :

No. Hal-hal yang diobservasi Keterangan 1. Penampilan fisik responden

2. Setting wawancara

3. Perilaku responden selama wawancara

4. Hal-hal yang mengganggu selama wawancara

5. Hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara


(6)

LAMPIRAN C

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Kebermaknaan Hidup pada Wanita Aceh Bergelar Syarifah

Peneliti : Sri Rizki Amanda

NIM : 101301017

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai kebermaknaan hidup pada wanita bergelar Syarifah. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Maret 2014

(Sri Rizki Amanda) (Responden)