Formulasi Gel Ekstrak Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia (Hemsley) A. Gray) dan Efek Penyembuhan Terhadap Luka Eksisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan khasiat tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan kembang bulan adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta (Dicots) Kelas : Magnoliopsida
Anak Kelas : Asteridae Bangsa : Asterales
Famili :
Genus :
Spesies :1, 2014).
2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tanaman kembang bulan berbeda ditiap daerah. Di Jawa dikenal dengan nama kembang bulan, rondose-moyo, harasaga. Di daerah Sunda dikenal dengan nama srengenge leutik dan di daerah Minang disebut kayu paik (Didik dan Sulistijowati, 2001, Widyaningrum, 2011).
2.1.3 Nama asing
Nama asing dari tanaman kembang bulan juga berbeda ditiap negara. Di Inggris tanaman kembang bulan dikenal dengan Tree Marigold dan
(2)
Mexican Sunflower. Sedangkan di Cina dikenal dengan wang ye kui (Anonim2, 2014, Anonim3, 2014).
2.1.4 Morfologi tumbuhan
Tumbuhan kembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) merupakan tumbuhan perdu yang tegak dengan tinggi lebih kurang ± 5 m. Batang tegak, bulat, berkayu hijau. Daunnya tunggal, berseling, panjang 26-32 cm, lebar 15-25 cm, ujung dan pangkal runcing, pertulangan menyirip, hijau. Bunga merupakan bunga majemuk, di ujung ranting, tangkai bulat, kelopak bentuk tabung, berbulu halus, hijau, mahkota lepas, bentuk pita, halus, kuning, benang sari bulat, kuning, putik melengkung, kuning. Buahnya bulat, jika masih muda berwarna hijau setelah tua berwarna coklat. Bijinya bulat, keras, dan berwarna coklat. Akarnya berupa akar tunggang berwarna putih kotor (Widyaningrum, 2011)
2.1.5 Khasiat tumbuhan
Tanaman kembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) merupakan salah satu tanaman yang secara tradisional telah digunakan masyarakat untuk obat sakit perut, diare, antidiabetes, penyakit hepar, dan penanganan luka (Moronkola, et al., 2006; Tona, et al., 1999; Miura, et al., 2002).
2.2Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
(3)
bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Ditjen POM, 1979).
2.3Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan-bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1984).
Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:
1. Cara dingin a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
(4)
b. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat. 2. Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
c. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. d. Infudasi
Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.
(5)
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.
2.4Gel
Gel kadang-kadang disebut dengan jeli, merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan seacara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Ditjen POM, 1995).
Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. Gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali terjadi interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan gel hidrofilik, gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pengembang atau disebut basis gel, air, humektan dan bahan pengawet (Voigt, 1994).
Sediaan bentuk gel memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak lengket, tidak mengotori pakaian, mudah dioleskan, mudah dicuci, tidak meninggalkan lapisan berminyak pada kulit, viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti selama penyimpanan (Lieberman, et al., 1989).
(6)
2.5Bahan-bahan Pembuat Gel 2.5.1 Karbomer
Karbomer memiliki sinonim karbomera, karbopol, acrypol, polimer asam akrilat dan asam poliakrilat. Karbomer merupakan serbuk berwarna putih, memiliki bau lemah, bersifat higroskopis dan asam.
Karbomer stabil bila dipanaskan di bawah 104oC selama 2 jam. Namun pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan warna dan stabilitas berkurang. Penambahan antimikroba tertentu, seperti benzalkonium klorida atau natrium benzoat dalam konsentrasi tinggi (0,1% w/v) dapat menyebabkan kekeruhan dan pengurangan viskositas dispersi karbomer. Serbuk karbomer harus disimpan dalam wadah kedap udara, dan terlindung dari kelembaban. Penggunaan kaca, plastik, atau wadah berlapis resin dianjurkan untuk penyimpanan formulasi yang mengandung karbomer.
Karbomer digunakan sebagai rheology modifier dalam formulasi farmasetika liquid atau semisolid seperti krim, gel, lotion, preparat mata, rektal, topikal dan vaginal. Dalam formulasi tablet, karbomer digunakan sebagai pengikat. Secara umum penggunaan karbomer sebagai emulgator, rheology modifier, stabilizing agent, suspending agent, dan pengikat tablet (Rowe, et al., 2009).
2.5.2 Trietanolamin
Trietanolamin (TEA) memiliki sinonim tealan, trolaminum, trietilolamin. TEA merupakan cairan kental, jernih hingga kuning pucat,
(7)
berbau lemah, campuran dari 2,2’,2”-nitrilotrietanol, dietanolamin dan monoetanolamin.
TEA akan berubah menjadi coklat bila terpapar udara dan cahaya, sehingga sebaiknya disimpan di tempat kering, sejuk dan terlindung dari cahaya. Dengan asam mineral, TEA akan membentuk garam kristal dan ester. Dengan asam lemak konsentrasi tinggi, TEA membentuk garam yang larut dalam air dan memiliki karakteristik sabun. TEA juga akan bereaksi dengan tembaga membentuk garam kompleks.
TEA secara luas digunakan dalam formulasi famasetikal topikal terutama dalam formulasi emulsi. Jika dicampur dengan asam lemak, seperti asam stearat atau asam oleat, TEA akan membentuk sabun anionik dengan pH 8 sehingga dapat digunakan sebagai emulgator untuk menghasilkan emulsi m/a yang stabil. TEA secara umum juga digunakan sebagai buffer, pelarut, polymer plasticizer dan humektan (Rowe, et al., 2009).
2.5.3 Gliserin
Gliserin merupakan cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis dan memiliki rasa yang manis. Sinonimnya antara lain gliserol, gliserolum, 1,2,3-propanetriol, trihidroksipropan gliserol.
Gliserin dapat mengkristal jika disimpan pada suhu yang rendah, kristal tidak meleleh sampai dipanaskan pada suhu 20oC. Gliserin harus disimpan dalam wadah kedap udara, di tempat yang sejuk dan kering. Gliserin dapat meledak jika dicampur dengan oksidator kuat seperti kromium trioksida, potasium klorat atau kalium permanganat. Gliserin dapat membentuk kompleks
(8)
asam borat, asam gliseroborat, merupakan asam yang lebih kuat dari pada asam borat. Secara umum gliserin digunakan sebagai kosolven, emolien, humektan, zat pemanis, pengawet dan plastisizer (Rowe, et al., 2009).
2.5.4 Propilen glikol
Propilen glikol memiliki sinonim metil glikol, metil etilen glikol, 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipropanol, propan-1,2-diol. Propilen glikol berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental dan memilki rasa manis.
Pada suhu dingin, propilen glikol stabil dalam wadah tertutup, tetapi pada suhu tinggi, di tempat terbuka, cenderung teroksidasi, menghasilkan produk seperti prionaldehid, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol secara kimiawi stabil bila dicampur dengan etanol (95%), gliserin, atau air. Propilen glikol bersifat higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Propilen glikol inkompatibel dengan reagen oksidator seperti kalium permanganat.
Propilen glikol umumnya digunakan sebagai pengawet, desinfektan, humektan, plastisizer, pelarut, zat penstabil, kosolven. Propilen glikol sering digunakan sebagai kosolven dan pengawet dalam formulasi farmasetikal parenteral maupun nonparenteral (Rowe, et al., 2009).
2.5.5 Metil paraben
Metil paraben berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau dan berasa sedikit terbakar.
(9)
Sinonimnya antara lain nipagin, metil p-hidroksibenzoat, metagin, aseptoform. Metil paraben harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, di tempat kering dan sejuk.
Aktivitas antimikroba metil paraben dan paraben lain berkurang jika dicampur dengan surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80, akibat dari miselisasi. Namun, propilen glikol (10%) telah terbukti memperkuat aktivitas antimikroba paraben dalam larutan surfaktan nonionik dan mencegah interaksi antara metil paraben dan polisorbat 80.
Metil paraben umumnya digunakan sebagi pengawet dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetika. Dalam penggunaannya sering dikombinasikan dengan paraben lain ataupun pengawet lain. Metil paraben (0,18%) dikombinasikan dengan propil paraben (0,02%) telah banyak digunakan dalam berbagai formulasi farmasetika parentrral (Rowe, et al., 2009).
2.6Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat badan adalah kulit. Kulit menerima 1/3 volume sirkulasi darah tubuh dengan ketebalan bervariasi antara 0,5-6 mm. Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung. Kulit terdiri dari 3 lapisan, lapisan pertama atau yang paling luar adalah lapisan epidermis, lapisan kedua adalah lapisan dermis dan lapisan yang ketiga adalah lapisan hipodermis atau lapisan subkutan lapisan yang paling tebal dari kulit (Arisanty, 2013).
(10)
2.6.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan yang paling luar dan yang paling tipis dari kulit. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah dan sistem persarafan. Epidermis memiliki variasi ketebalan antara 0,4-0,6 mm dan memiliki 5 stratum/jenjang. Lokasi epidermis yang paling tebal terdapat pada telapak kaki dan telapak tangan.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling bawah sampai yang paling atas) (Arisanty, 2013):
a. Stratum germinativum (stratum basale) adalah lapisan paling dalam yang terletak di dekat dermis. Sel ini merupakan sel hidup berinti karena mendapatkan difusi oksigen dan nutrisi dari dermis. Lapisan ini merupakan sel yang mulai melakukan pembelahan sel (mitosis) pada proses generasi sel keratinosit epidermis.
b. Stratum spinosum adalah lapisan di atas lapisan basale. Lapisan ini memiliki inti sel keratinosit besar. Lapisan ini merupakan hasil pembelahan sel yang berikatan dan melakukan migrasi sel ke arah atas.
c. Stratum granulosum adalah lapisan yang mengandung sel granular (granula lamelar) dan keratin. Pada lapisan ini, sel berinti mulai mati dan terus terdorong ke atas.
d. Stratum lusidum adalah lapisan yang hanya ditemukan di telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan ini terdapat sel mati yang tidak memiliki inti. e. Stratum korneum adalah lapisan paling atas dari lapisan epidermis yang
(11)
Lapisan epidermis memiliki empat sel utama yaitu sel keratinosit, sel langerhans, sel merkel dan sel melanosit. Sel keratinosit 90 % terdapat di epidermis. Sel langerhans ada beberapa diantara sel keratinosit yang terletak di stratum spinosum dan berfungsi sebagai sistem imun pertama. Sel merkel berada di antara stratum basale yang berfungsi sebagai rangsangan sentuhan. Melanosit berada di antara starum spinosum yang berfungsi sebagai pemberi warna dan proteksi dari ultraviolet (UV) pada kulit.
2.6.2 Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan kedua dari kulit. Lapisan ini memiliki jaringan ikat, pembuluh darah, sistem persarafan dan kelenjar tubuh. Dermis memiliki dua lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan papiler berfungsi sebagai penguat dari epidermis dalam satu ikatan membran
b. Lapisan retikuler memiliki pembuluh darah perifer yang banyak dan berikatan yang disebut cutaneous flexus (Arisanty, 2013).
Kolagen adalah protein utama dari dermis yang disekresi oleh fibrolas sebagai tropokolagen. Kolagen adalah protein yang berfungsi sebagai penguat kulit (Arisanty, 2013).
Elastin adalah protein lain yang ditemukan di dermis yang berfungsi sebagai pemberi elastisitas kulit. Elastin serat protein seperti kolagen dan kandungan utamanya adalah prolin dan glisin (Arisanty, 2013).
(12)
2.6.3 Hipodermis
Lapisan hipodermis (lapisan subkutan) adalah lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat dan pembuluh darah. Hipodermis berfungsi sebagai penyimpanan lemak, kontrol temperatur dan penyangga organ disekitarnya. Pada setiap bagian, tubuh memiliki ketebalan epidermis, dermis dan hipodermis yang berbeda tergantung pada lokasinya (Arisanty, 2013).
2.7Persarafan Kulit
Kulit juga seperti organ lain, pada kulit juga terdapat cabang-cabang saraf spinal dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saraf sensorik. Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang terdapat pada kulit. Sedangkan saraf sensorik berguna untuk menerima rangsangan yang terdapat dari luar. Ujung-ujung saraf yang bebas untuk menerima rangsangan sakit/nyeri terdapat di epidermis (Syaifuddin, 2006).
2.8Fisiologi Kulit
Secara fisiologis peran utama kulit adalah sebagai proteksi terhadap bahan kimia, bakteri, virus patogen, fungsi proteksi dimulai dari kelenjar sebasea (sebum) yang dikeluarkan dari akar rambut (pori-pori). Kelenjar ini mengandung protein dan lemak yang dapat mencegah kuman masuk melalui pori-pori rambut. Jika kelenjar sebasea tidak bekerja, sel langerhans yang akan bekerja. Sebagai pusat sensasi terhadap rasa sakit, sentuhan, tekanan, suhu. Sel merkel merupakan sel penentuan rasa yang memiliki fungsi utama sebagai
(13)
mekanoreseptor. Reseptor lainnya yang memiliki fungsi sensasi, yang ada pada dermis adalah korpuskel meissner yang bertugas menerima sentuhan, korpuskel pacini yang bertugas menerima tekanan, getaran dan tarikan dan ujung saraf tepi yang berperan dalam menerima sentuhan, nyeri dan suhu, sebagai tempat sintesis vitamin D dengan bantuan sinar matahari, sebagai sistem termoregulasi tubuh dengan mekanisme primer pada sirkulasi dan keringat dan sebagai ekskresi tubuh yaitu hasil keluaran keringat (Arisanty, 2013).
2.9Luka
Luka merupakan suatu gangguan atau kerusakan dari keutuhan kulit (Arisanty, 2013).
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis: Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan hipodermis tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
(14)
Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Baroroh, 2011).
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2006). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Arisanty, 2013).
Pada fase inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya luka, terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini, juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013).
Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan. Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi keropeng
(15)
yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013).
Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013).
2.10 Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan Terhadap Penyembuhan Luka
2.10.1 Flavonoid
Flavonoid dapat menghambat pendarahan pada luka di kulit (Robinson, 1995). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, et al., 2013).
2.10.2 Tanin
Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman, bersifat antioksidan. Antioksidan berperan dalam perbaikan jaringan karena secara signifikan mencegah kerusakan jaringan yang merangsang proses penyembuhan luka (Barku, et al., 2013). Tanin juga berkhasiat sebagai astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010).
(16)
2.10.3 Saponin
Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013). Sedangkan menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.
2.10.4 Triterpenoid
Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, et al., 2013).
(1)
Lapisan epidermis memiliki empat sel utama yaitu sel keratinosit, sel langerhans, sel merkel dan sel melanosit. Sel keratinosit 90 % terdapat di epidermis. Sel langerhans ada beberapa diantara sel keratinosit yang terletak di stratum spinosum dan berfungsi sebagai sistem imun pertama. Sel merkel berada di antara stratum basale yang berfungsi sebagai rangsangan sentuhan. Melanosit berada di antara starum spinosum yang berfungsi sebagai pemberi warna dan proteksi dari ultraviolet (UV) pada kulit.
2.6.2 Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan kedua dari kulit. Lapisan ini memiliki jaringan ikat, pembuluh darah, sistem persarafan dan kelenjar tubuh. Dermis memiliki dua lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan papiler berfungsi sebagai penguat dari epidermis dalam satu ikatan membran
b. Lapisan retikuler memiliki pembuluh darah perifer yang banyak dan berikatan yang disebut cutaneous flexus (Arisanty, 2013).
Kolagen adalah protein utama dari dermis yang disekresi oleh fibrolas sebagai tropokolagen. Kolagen adalah protein yang berfungsi sebagai penguat kulit (Arisanty, 2013).
Elastin adalah protein lain yang ditemukan di dermis yang berfungsi sebagai pemberi elastisitas kulit. Elastin serat protein seperti kolagen dan kandungan utamanya adalah prolin dan glisin (Arisanty, 2013).
(2)
2.6.3 Hipodermis
Lapisan hipodermis (lapisan subkutan) adalah lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat dan pembuluh darah. Hipodermis berfungsi sebagai penyimpanan lemak, kontrol temperatur dan penyangga organ disekitarnya. Pada setiap bagian, tubuh memiliki ketebalan epidermis, dermis dan hipodermis yang berbeda tergantung pada lokasinya (Arisanty, 2013).
2.7Persarafan Kulit
Kulit juga seperti organ lain, pada kulit juga terdapat cabang-cabang saraf spinal dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saraf sensorik. Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang terdapat pada kulit. Sedangkan saraf sensorik berguna untuk menerima rangsangan yang terdapat dari luar. Ujung-ujung saraf yang bebas untuk menerima rangsangan sakit/nyeri terdapat di epidermis (Syaifuddin, 2006).
2.8Fisiologi Kulit
Secara fisiologis peran utama kulit adalah sebagai proteksi terhadap bahan kimia, bakteri, virus patogen, fungsi proteksi dimulai dari kelenjar sebasea (sebum) yang dikeluarkan dari akar rambut (pori-pori). Kelenjar ini mengandung protein dan lemak yang dapat mencegah kuman masuk melalui pori-pori rambut. Jika kelenjar sebasea tidak bekerja, sel langerhans yang akan bekerja. Sebagai pusat sensasi terhadap rasa sakit, sentuhan, tekanan, suhu. Sel merkel merupakan sel penentuan rasa yang memiliki fungsi utama sebagai
(3)
mekanoreseptor. Reseptor lainnya yang memiliki fungsi sensasi, yang ada pada dermis adalah korpuskel meissner yang bertugas menerima sentuhan, korpuskel pacini yang bertugas menerima tekanan, getaran dan tarikan dan ujung saraf tepi yang berperan dalam menerima sentuhan, nyeri dan suhu, sebagai tempat sintesis vitamin D dengan bantuan sinar matahari, sebagai sistem termoregulasi tubuh dengan mekanisme primer pada sirkulasi dan keringat dan sebagai ekskresi tubuh yaitu hasil keluaran keringat (Arisanty, 2013).
2.9Luka
Luka merupakan suatu gangguan atau kerusakan dari keutuhan kulit (Arisanty, 2013).
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis: Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan hipodermis tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa
(4)
Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Baroroh, 2011).
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2006). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Arisanty, 2013).
Pada fase inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya luka, terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini, juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013).
Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan. Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan berkembang menjadi keropeng
(5)
yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013).
Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013).
2.10 Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan Terhadap Penyembuhan Luka
2.10.1 Flavonoid
Flavonoid dapat menghambat pendarahan pada luka di kulit (Robinson, 1995). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, et al., 2013).
2.10.2 Tanin
Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman, bersifat antioksidan. Antioksidan berperan dalam perbaikan jaringan karena secara signifikan mencegah kerusakan jaringan yang merangsang proses penyembuhan luka (Barku, et al., 2013). Tanin juga berkhasiat sebagai astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010).
(6)
2.10.3 Saponin
Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013). Sedangkan menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.
2.10.4 Triterpenoid
Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, et al., 2013).