Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja di PT. Sisirau Aceh Tamiang Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Stres

2.1.1

Pengertian Stres
Fincham dan Rhodes dalam Munandar (2008) mengasumsikan bahwa stres

dapat disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal
dan somatik, adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam
arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang
mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan
terhadap dirinya secara efektif.
Menurut Dadang Hawari dalam Sunaryo (2004) stres adalah reaksi suatu
respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan). Sedangkan menurut Maramis dalam Sunaryo (2004) stres adalah
segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri dan karena itu, sesuatu yang
menggangu keseimbangan kita. Menurut Vincent Cornelli yang dikutip oleh grant

Brecht dalam Sunaryo (2004) stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang
disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi oleh
lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.
Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang
menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan
sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja menurut Selye dalam
Waluyo (2009). Menurut Morgan dan King dalam Waluyo (2009) stres adalah

Universitas Sumatera Utara

suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik
(badan), atau lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak
terkontrol.

2.1.2

Sumber Stres
Menurut Patton dalam Tarwaka (2003) bahwa perbedaan reaksi antara


individu tersebut disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang dapat merubah
dampak sor bagi individu. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1.

Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, tempramental, intelegensia,
pendidikan, kebudayaan, dll.

2.

Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,
kepasrahan, kepercayaan diri, dll.

3.

Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan lingkungan
sekitarnya.

4.

Strategi untuk menghadapi setiap stres yang muncul.


2.1.3

Tahapan Stres
Menurut Dr. Robert J. Van Amberg dalam Sunaryo (2004), sebagaimana

dikemukakan oleh Hawari (2001) tahapan stres sebagai berikut:
a.

Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
kerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b.

Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah

Universitas Sumatera Utara


makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal
tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
c.

Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak
teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomnia,
mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi
dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau
jatuh pingsan.

d.

Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola
tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta
timbul ketakutan dan kecemasan.

e.


Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik
dan mental (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan
berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.

f.

Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,
seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin, dan
banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps (Sunaryo,2004)

2.1.4

Jenis-jenis Stres
Quick dan Quick dalam Waluyo (2009) mengkategorikan jenis stres

menjadi dua, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1.

Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan
individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhannya,
fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

2.

Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
ketidakhadiran (absenteisme) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan
sakit, penurunan, dan kematian.

2.1.5 Tingkatan Stres
Gangguan stres bisanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya
dan seringkali kita tidak menyadari. Situasi stres ringan biasanya tidak
mengakibatkan kerusakan fisiolois krisnis, tetapi stress sedang dan berat dapat

menimbulkan resiko penyakit medis atau memburuknya peyakit kronis (Leidy et
al. dalam Martina 2012).
2.1.5.1 Stres Ringan
Adalah stessor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti terlalu
banyak tidur, kemacetan lalu lintas, keritikan dari atasan,. Situasi ini biasanya
hanya berlangsung beberapa menit atau jam.
2.1.5.2 Stres Sedang
Berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Misalnya, perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan kerja, anak yang
sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga.

Universitas Sumatera Utara

2.1.5.3 Stres Berat
Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai
bebrapa tahun, seperti perselisihan perkawinan terus-menerus, kesulitan finansial
yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan makin
lama situasi stress, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan.

2.1.6


Gejala Stres
Menurut Rice dalam Safaria (2009) reaksi dari stres bagi individu dapat

digolongkan menjadi beberapa gejala, yaitu sebagai berikut :
a.

Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, sembelit, diare, sakit
pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit
perut, maag, berubah selera makan, susah tidur, dan kehilangan semangat.

b.

Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah,
gugup, takut, mudah tersinggung, sedih, dan depresi.

c.

Gejala kognitif, berupa keluhan seperti susah berkonsentrasi, sulit membuat
keputusan, mudah lupa, melamun secara berlebihan, dan pikiran kacau.


d.

Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis,
agresif, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan mudah
mempersalahkan orang lain.

e.

Gejala organisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/ kuliah,
menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan
kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

Universitas Sumatera Utara

2.2

Stres Kerja

2.2.1


Definisi Stres Kerja
Menurut Waluyo (2009) stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau

stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis,
psikologis, dan perilaku. Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja.
Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan
sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil penghayatan
subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan
kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis,
dan sikap individu (Wijono, 2010). Menurut Mandelson dalam Tarwaka (2004)
stres kerja adalah ketidakmampuan pekerja untuk menghasilkan tugas dengan
akibat suatu ketidaknyamanan kerja. Stres kerja adalah perasaan tertekan yang
dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan (Mangkunegara, 2013).

2.2.2

Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Menurut Cartwright, et.al dalam Tarwaka (2004) menyebutkan bahwa


penyebab stres akibat kerja menjadi 6 kelompok penyebab, yaitu:
1.

Faktor intrinsik pekerjaan
Ada beberapa faktor instrinsik dalam pekerjaan yang potensial menjadi

penyebab terjadinya stres dan mengakibatkan keadaan yang buruk pada mental.
Faktor intrinsik kerja meliputi:

Universitas Sumatera Utara

a.

Jam kerja
Jam kerja adalah waktu yang ditentukan untuk melakukan pekerjaan.

Menurut Robbins dalam Perangin-angin (2013), jam kerja merupakan bagian dari
empat faktor organisasi yang merupakan sumber potensial dari stres para
karyawan di tempat kerja. Sedangkan menurut Davis dan Newstrom dalam
Perangin-angin (2013) menyatakan adanya beberapa karakteristik pekerjaan dan
lingkungan kerja yang mengandung stres kerja yang salah satunya adalah
terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Menurut standar HIPERKES,
rata-rata jam kerja adalah 8 jam per hari. Sehingga penambahan jam kerja diluar
standar dapat meningkatkan ekskresi kathokolamin yaitu hormon adrenalin dan
non-adrenalin (Munandar, 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Novi, Aras,
dan Dedy pada pekerja industrial bengkel las di Pekanbaru menunjukkan hasil
bahwa, dari 48 tenaga kerja yang jam kerjanya > 8 jam, 33 tenaga kerja (68,8 %)
mengalami stres kerja.
Menurut penelitian Airmayanti (2009) diketahui bahwa responden yang
bekerja > 8 jam sebagian besar (55,8%) mengalami stres kerja berat. Hasil uji
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres
kerja.
b. Beban kerja
Dalam Munandar (2008) beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu
sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja (workload) merupakan stressor
hubungan peran atau tugas lain yang terjadi karena para pegawai merasa bebannya
terlalu banyak. Hal ini dapat disebabkan karena perusahaan mengurangi tenaga

Universitas Sumatera Utara

kerjanya dan melakukan restrukturisasi pekerjaan, meninggalkan sisa pegawai
dengan lebih banyak tugas dan sedikit waktu serta sumberdaya untuk
menyelesaikannya (Sophia, 2008).
Beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus
diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam janga waktu
tertentu. Pengukuran beban kerja diartikan sebagai suatu teknik untuk
mendapatkan informasi tentang efisiensi dan efektifitas kerja suatu unit
organisaasi teknik analisis jabatan, teknik analisis beban kerja atau teknik
manajemen lainnya (Utomo, 2008).
Lebih lanjut dalam Munandar (2008), beban kerja dapat dibedakan lebih
lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit „kuantitatif‟, yang timbul
sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/ sedikit diberikan kepada
tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja
berlebih/terlalu sedikit „kualitatif‟, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk
melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/ atau
potensi dari tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dan Sofiana (2013), menyatakan
bahwa secara statistik terdapat hubungan antara beban kerja dengan stres kerja di
PT Chanindo Pratama Piyungan Yogyakarta yang berarti secara biologi responden
yang berpersepsi buruk terhadap beban kerja mempunyai faktor resiko 8.037 kali
mengalami stres kerja.
Konz dalam Tarwaka (2004) mengemukakan bahwa denyut jantung adalah
suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan

Universitas Sumatera Utara

vasodilatasi. Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme,
respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung menurut Christensen dalam Tarwaka
(2004) dapat dilihat pada tabel berikut 2.1
Kategori
beban kerja

Konsumsi
Ventilasi
Suhu rektal
Denyut
oksigen (l/
paru (l/ min)
(oC)
jantung
min)
(denyut/ min)
0,5-1,0
11-20
37,5
75-100
Ringan
1,1-1,5
21-31
37,6-38,0
100-125
Sedang
1,6-2,0
32-43
38,1-38,5
125-150
Berat
2,0-2,5
43-56
38,5-39,0
150-175
Sangat berat
60-100
> 39
> 175
Sangat berat 2,5-4,0
sekali
Tabel 2.1
beban kerja berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh
dan denyut jantung menurut Christensen dalam Tarwaka
(2004)
Denyut nadi untuk mengestimasi indek beban kerja fisik terdiri dari
beberapa jenis yang didefinisikan oleh Grandjean dalam Tarwaka (2004) :
1. Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.
2. Denyut nadi kerja adalah rerata denyut nadi selama bekerja.
3. Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja.
c.

Rutinitas
Rutinitas adalah kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari

terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan dapat menghasilkan kurangnya
perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk
bertindak tepat dalam keadaan darurat. Menurut Cooper dan Kelly yang dikutip
dalam Munandar (2008), Kebosanan ditemukan sebagai sumber stres yang nyata.
Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan garakan anggota badan yang
berulang-ulang secara monoton, yang kadang-kadang pula disertai posisi kerja

Universitas Sumatera Utara

yang sulit atau sambil membawa beban atau menahan beban seringkali sanvat
memberatkan individu pekerja (Harrianto, 2005).
Menurut hasil penelitian Vinallia (2009), diketahui bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja pada pekerja bagian
Weaving PT. Unitex.
d. Keadaan fisik lingkungan
Keadaan fisik lingkungan meliputi:
1.

Kebisingan
Kebisingan adalah semua suara/bunyi yang yang tidak dikehendaki yang

bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Suma‟mur, 2009). Menurut
Munandar (2008) paparan terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah, sakit
kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Sedangkan
menurut Ivenich dan Mattenson yang dikutip dalam Munandar (2008)
berpendapat bahwa bising yang berlebih (sekitar 80 db) yang berulangkali
didengar, dapat menimbulkan stres.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di PT. Agung Saputra Tex Bantul
pada tahun 2010, sebanyak 95,5% pekerja mengalami stres karena kebisingan
yang melewati Nilai Ambang Batas (NAB) >85 dB.
2.

Suhu panas atau dingin
Suhu panas dan dingin dapat menyebabkan pekerja mudah terkena

kelelahan disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu tempat kerja di dalam
atau di luar ruangan, status kesehatan pekerja, kelembaban, kecepatan aliran

Universitas Sumatera Utara

udara, jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Keadaan ini bila terjadi
berlarut-larut menyebabkan pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena
menurunnya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka dapat mengakibatkan
stres (Munandar, 2001). Suhu yang dianggap nyaman adalah 24-26oC (Subaris,
2011).
3.

Pencahayaan
Terlalu kuatnya cahaya penerangan dapat menimbulkan dampak

psikologis pada pekerja, seperti kelelahan dan pusing. Bahkan dapat menimbulkan
kecelakaan kerja akibat silaunya penerangan di ruang kerja, begitu pula
sebaliknya dengan penerangan yang suram (Munandar, 2001). Menurtu Srlito
yang dikutip dalam Airmayanti (2009), pencahayaan yang kurang atau terlalu
berlebihan di tempat kerja menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal,
sehingga apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
seorang pekerja mengalami stres dan ketidaknyamanan dalam bekerja.
Penerangan yang kurang memadai merupakan stressor fisik yang menyebabkan
stres (Harrianto, 2008).
4.

Radiasi
Sumber daya radiasi adalah sinar gamma, yaitu gelombang elektromagnet

yang mampu menembus permukaan kulit tanpa terlihat oleh mata. Energi itu
mampu merusak sel-sel hidup. Pemaparan radiasi tergantung dari dosis, waktu
pemaparan dan jarak sumber ke pekerja. Selain memberi pengaruh buruk, radiasi
juga menyebabkan rasa kurang aman bagi pekerja di tempat yang mengandung
radiasi. Apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dalam waktu-waktu tertentu hal

Universitas Sumatera Utara

tersebut tidak hanya berbahaya bagi pekerja, namun dapat menimbulkan
keresahan dan stres dalam bekerja (Munandar, 2001).
2.

Faktor Ekstrinsik Pekerjaan
Faktor ekstrinsik pekerjaan meliputi :

1.

Peran Individu dalam Organisasi
Beban tugas yang bersifat mental dan tanggung jawab dari suatu pekerjaan

lebih memberikan stres yang tinggi dibandingkan dengan beban kerja fisik
(Tarwaka, 2004). Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam
organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus
ia lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang
diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil
untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik
berfungsinya peran, merupakan pembangkit stres. Peran individu dalam organisasi
meliputi konflik peran dan ketaksaan peran (Munandar, 2008).
Menurut Kumalsari (2014), diketahui bahwa ada hubungan antara peran
dalam organisasi dengan tingkat stres kerja pekerja di Departemen Operasi IV PT
Pusri Palembang Tahun 2014.
2.

Hubungan Interpersonal
Hubungan baik antara karyawan di tempat kerja adalah faktor yang potensial

sebagai penyebab terjadinya stres (Tarwaka, 2004). Menurut Cooper dan Payne
yang dikutip dalam Tarwaka (2004), kecurigaan antar pekerja, kurangnya
komunikasi, ketidak nyamanan, dalam melakukan pekerjaan merupakan tandatanda adanya stres akibat kerja. Menurut Kahn, dkk yang dikutip dalam Munandar

Universitas Sumatera Utara

(2008), hubungan interpersonal yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala
adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat
yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan
secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah
ke komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara para tenaga kerja dan
ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah,
penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan
kerjanya.
3.

Pengembangan Karir
Menurut Wantoro yang dikutip dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa

pengembangan karir yang dapat menjadi pemicu stres adalah ketidakpastian
pekerjaan seperti adanya reorganisasi perusahaan dan mutasi kerja, promosi
berlebihan atau kurang: promosi yang terlalu cepat atau tidak sesuai dengan
kemampuan individu akan menyebabkan stres bagi yang bersangkutan atau
sebaliknya bahwa seseorang merasa tidak pernah dipromosikan sesuai dengan
kemampuannya juga menjadi penyebab stres. Perasaan tidak aman dalam
pekerjaan, posisi dan pengembangan karir mempunyai dampak cukup penting
sebagai penyebab terjadinya stres (Tarwaka, 2004). Sedangkan menurut
Munandar (2008), pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial
yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang.

Universitas Sumatera Utara

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari (2013), dapat
diketahui bahwa ada hubungan antara pengembangan karir dengan tingkat stres
kerja pekerja di Departemen Operasi IV PT Pusri Palembang Tahun 2014.
4.

Struktur dan Iklim Organisasi
Penyebab stres berhubungan dengan struktur dan iklim organisasi biasanya

dari budaya organisasi dan model manajemen yang dipergunakan. Beberapa
faktor penyebabnya antara lain, kuranganya pendekatan partisipatoris, kondisi
yang tidak efektif, kurangnya komunikasi, dan kebijaksanaan kantor. Selain itu
seringkali pemilihan dan penempatan karyawan pada posisi yang kurang tepat
juga dapat menyebabkan stres (Tarwaka, 2004).
3.
1.

Faktor Individu
Umur
Menurut Munandar yang dikutip dalam Aulya (2013), hubungan umur

dengan stress kerja memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja
dengan stres. Namun, tidak selamanya umur dengan stress kerja dihubungkan
dengn masa kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan
umur, terutama yang berhubungan dengan sistem indra dan kekuatan fisik.
Biasanya pekerja yang mempunyai umur lebih muda memiliki penglihatan dan
pendengaran yang lebih tajam, gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh
yang lebih kuat. Namun untuk beberapa jenis pekerjaan lain, faktor umur yang
lebih tua, biasanya memiliki pengalaman dan pemahaman bekerja yang lebih
banyak, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu dapat menjadi kendala dan dapat
memicu terjadinya stress.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) didapatkan
hasil bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan stres kerja pada karyawan
produksi dan non produksi PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Unit pertambangan
Tanjung Enim pada tahun 2014. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ratih dan
Suwandi (2013) di bagian produksi PT. X Surabaya menunjukkan bahwa semakin
lanjut usia seseorang, semakin mengalami kecenderungan stres kerja semakin
besar.
2.

Masa Kerja
Menurut Munandar (2001) bahwa masa jabatan yang berhubungan dengan

stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah
bekerja diatas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi
daripada pekerja yang baru bekerja, sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan
tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh
Ratih dan Suwandi (2013) menyatakan bahwa semakin lama masa kerja seseorang
di perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat stres kerja yang dialami.

2.2.3

Dampak Stres Kerja
Menurut Rice dalam Waluyo (2009) pada umumnya stres kerja lebih

banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang
tinggi, frustasi, dan sebagainya. Sedangkan menurut Arnold dalam Waluyo (2009)
menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja
yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan

Universitas Sumatera Utara

psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan
keputusan.
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung
adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat prduktivitas, dan secara
psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,
hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick&Quick, 1984; Robbins, 1993
dalam Waluyo; 2009).
Terry Beehr dan John Newman yang dikutip dalam Waluyo (2009)
mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari
stres pada individu, yaitu:
1.

Gejala Psikologis
Gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai

stres pekerjaan yaitu:
a.

Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung.

b.

Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian).

c.

Sensitif dan hiperaktif.

d.

Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi.

e.

Komunikasi yang tidak efektif.

f.

Perasaan terkucil dan terasing.

g.

Kebosanan dan ketidakpuasan kerja.

h.

Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilanvan konsentrasi.

i.

Kehilangan spontanitas dan kreativitas.

j.

Menurunnya rasa percaya diri.

Universitas Sumatera Utara

2.

Gejala Fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah ;

a.

Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami
penyakit kardiovaskular.

b.

Meningkatnya

sekresi

dari

hormon

stres

(contoh:

adrenalin

dan

nonadrenalin).
c.

Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung).

d.

Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan.

e.

Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang
kronis.

f.

Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada.

g.

Gangguan pada kulit.

h.

Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot.

i.

Gangguan tidur.

j.

Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk resiko tinggi kemungkinan terkena
kanker.

3.

Gejala Perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah :

a.

Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan.

b.

Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas.

c.

Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan.

d.

Perilaku sabotase dalam pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

e.

Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
mengarah ke obesitas.

f.

Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan
diri dan kehilangan berat badan secraa tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi
dengan tanda-tanda depresi.

g.

Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir
dengan tidak hati-hati dan berjudi.

h.

Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas.

i.

Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman.

j.

Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

2.2.4

Pencegahan dan Pengendalian Stres Kerja
Menurut Sauter, et a.l yang dikutip dari National Institute for

Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Tarwaka (2004) memberikan
rekomendasi tentang bagaimana cara mengurangi atau meminimalisasi stres
akibat kerja sebagai berikut :
1.

Beban kerja baik fisik maupun mental harus disesuaikan dengan kemampuan
atau kapasitas kerja pekerja yang bersangkutan dengan menghindarkan beban
berlebih maupun beban yang terlalu ringan.

2.

Jam kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupun tanggung
jawab di luar pekerjaan.

3.

Setiap pekerja harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan dan
mendapatkan promosi dan pengembangan kemampuan keahlian.

Universitas Sumatera Utara

4.

Membentuk lingkungan sosial yang sehat hubungan antara tenaga kerja satu
dengan yang lain, tenaga kerja-supervisor yang baik dan sehat serta organisasi
akan membuat situasi yang nyaman.

5.

Tugas-tugas pekerjaan harus didesain untuk dapat mentyediakan stimulasi
dan kesempatan agar pekerja dapat menggunakan keterampilannya. Rotasi
tugas dapat dilakukan untuk meningkatkan karier dan pengembangan usaha.
Menurut Levi yang dikutip dalam Airmayanti (2009) upaya pencegahan
terhadap stres kerja dapat dilakukan dengan cara, yaitu :

1.

Adanya peraturan tentang identifikasi bahaya kerja di lingkungan kerja
perusahaan, termasuk identifikasi terhadap bahaya psikososial kerja.

2.

Program Healthy Life Style antara lain tidak minum minuman beralkohol,
tidak merokok, diet sehat, olahraga, rekreasi, dan lain-lain.

3.

Memberikan

kesempatan

kepada

karyawan

untuk

memikirkan

dan

menentukan cara dan peralatan kerjanya, mempunyai wewenang untuk
menghentikan pekerjaan bila berbahaya, meminta tenaga ahli untuk menilai
perilaku kerja atas biaya perusahaan.
4.

Memberi kesempatan untuk merancang organisasi kerja, teknologi kerja,
sistem remunerasi (insentif) dan memberi kesempatan kepada karyawan
untuk mengembangkan keterampilannya.

5.

Desain kerja yang memungkinkan berlangsungnya interaksi sosial dengan
baik, memberi kesempatan kepada pekerja untuk menentukan variasi tempat
kerja, seperti dekorasi ruang kerja, adanya musik dan lain-lain untuk
menghundari kejenuhan.

Universitas Sumatera Utara

6.

Pendidikan dan pelatihan bagi pekerja.
Sistem penggajian tetap dan tidak menggunakan sistem upah harian.

2.2.5

Pengukuran Stres Keja
Teknik pengukuran stres yang biasa digunakan dalam studi Amerika

Serikat menurut Karoley yang dikutip dalam Airmayanti (2009) dapat
digolongkan dalam empat cara, yaitu :
1.

Self Report Measure
Cara ini menggunakan kuesioner untuk mengukur stres yaitu dengan

menyatakan intensitas pengalaman psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang
dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Cara ini juga dikenal sebagai “Life
Event Scale” yang berisi beberapa pertanyaan sebagai indikator dalam
menentukan stres kerja. Teknik ini mengukur stres dengan cara melihat atau
mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan seseorang, seperti
kurangnya konsentrasi.
Menurut Karoley yang dikutip dalam Hawari (2001), berdasarkan
pertanyaan pada daftar pertanyaan metode Life Event Scale setiap pertanyaan
bernilai 0-2. Untuk melakukan penilaian indikator stres kerja, dapat dilakukan
penilaian sendiri (self assesment). Sistem penilaian yang digunakan sebaagai
indikator untuk masing-masing kelompok adalah nilai 1-25 termasuk kategori
stres ringan, untuk nilai >25 termasuk kategori stres berat. Pertanyaan yang
digunakan tidak bersifat mutlak, artinya pertanyaan dapat dipilih sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi saat itu, sehingga penilaian dan pengelompokannya juga
dapat disesuaikan.

Universitas Sumatera Utara

2.

Performance Measure
Cara ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan-

perubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Contohnya, penurunan
prestasi kerja terlihat dari gejala seperti cenderung berbuat salah, cepat lupa dan
menjadi lamban dalam bereaksi.
3.

Psysiological Measure
Pada pengukuran ini berusaha untuk melihat perubahan fisik akibat stres,

seperti ketegangan pada otot bahu, leher dan pundak. Cara ini sering dianggap
paling tinggi reabilitasnya, namun sangat tergantung si pengukur dan pada alat
yang digunakan.
4.

Biochemical Measure
Teknik ini melihat stres melalui respon biokimia individu berupa

perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian
stimulus. Reabilitas dari cara ini tergolong tinggi namun pengukurannya dapat
berubah bila subjek penelitiannya adalah perokok, peminum alkohol dan kopi. Hal
ini karena rokok, kopi dan alkohol dapat meningkatkan kadar kedua hormon
tersebut dalam tubuh.
Dari keempat cara tersebut, yang paling sering digunakan dalam penelitian
adalah Life Event Scale, karena paling mudah diatur dan membutuhkan biaya
yang relatif lebih murah walaupun sering terdapat keterbatasan tertentu.

Universitas Sumatera Utara

2.3

Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Faktor Individu :
1. Umur
2. Masa Kerja
Faktor Intrinsik :
1. Jam Kerja
2. Beban Kerja
3. Rutinitas
4. Kebisingan

Stres Kerja

Faktor Ekstrinsik :
1. Peran
individu
dalam
organisasi
2. Hubungan interpersonal
3. Perkembangan karir
4. Struktur organisasi dan iklim
kerja
Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara