Pengaruh Periode Panen Terhadap Viabilitas Benih Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Saat ini rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menjadi begitu populer karena
hampir di setiap pameran tanaman obat, nama rosela selalu diperkenalkan. Hal ini
disebabkan hampir seluruh bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kebutuhan
pengobatan, terutama untuk pengobatan alternatif. Rosela memiliki kandungan
senyawa kimia yang dapat memberikan banyak manfaat atau khasiat, antara lain
mengobati gangguan berbagai penyakit dengan kandungan gossiptin anthocyanin
dan gluciside hibiscin yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana diketahui rosela
juga mengandung berbagai senyawa penting antara lain campuran asam sitrat dan
asam malat sehingga menghasilkan sedikit rasa asam yang segar. Kandungan
asam askorbat (vitamin C) dan antosianin yang tinggi merupakan sumber
antioksidan alami yang sangat efektif dalam menangkal berbagai radikal bebas
penyebab kanker dan berbagai penyakit lainnya (Mardiah, dkk., 2009).
Rosela memiliki periode panen yang tidak serempak atau tidak bersamaan
sehingga pemanenan dilakukan secara bertahap. Dari penelitian Hasanah (2002)
periode panen mempengaruhi mutu dan daya berkecambah benih terutama untuk
benih ortodoks seperti tanaman kapas, rosela, kenaf, tembakau, bunga matahari,
wijen dan ketumbar


yang masak fisiologisnya tidak serempak atau tidak

bersamaan, contohnya pada benih ketumbar periode panen kedua dan ketiga telah
mengalami fase reproduktif yang lebih dominan dibandingkan fase vegetatif.
Akibatnya

tanaman

lebih

banyak

menyimpan

hasil

fotosintesis

untuk


perkembangan buah daripada untuk pertumbuhanvegetatif setelah dilakukan
pemanenan periode pertama, persaingan antar buah yang tersisa pada tanaman

Universitas Sumatera Utara

menjadi lebih kecil sehingga perkembangan embrio dan pembentukan cadangan
makanan dapat menjadi lebih baik.
Benih adalah awal kehidupan dari suatu budidaya tanaman dan
keberhasilan peningkatan produksi dalam usaha tani sangat dipengaruhi oleh
benih yang digunakan. Untuk mencapai produksi yang maksimum, benih yang
akan ditanam harus memiliki mutu tinggi. Benih itu tidak cukup hanya memiliki
kemampuan reproduksi normal pada kondisi yang optimum, tetapi juga pada
kondisi yang sub optimum. Benih yang memiliki vigor kekuatan tumbuh
demikian akan mampu mencapai produksi maksimum pada kondisi optimum.
Benih dengan ciri diatas adalah benih dengan vigor tinggi (Sadjad, 1994).
Rendahnya vigor pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
genetik, morfologis, sitologis, mekanis, mikrobia dan fisiologis. Pada kondisi
fisiologis yang dapat menyebabkan rendahnya vigor benih adalah immaturity atau
kurang masaknya benih saat panen dan kemunduran benih saat penyimpanan.Pada
hakikatnya vigor benih harus relevan dengan tingkat produksi, artinya dari benih

yang bervigor tinggi akan dapat dicapai tingkat produksi yang tinggi. Vigor benih
untuk tumbuh secara spontan merupakan landasan bagi kamampuan tanaman
mengabsorbsi sarana produksi secara maksimal sebelum panen juga dapat
memanfaatkan unsur sinar matahari khususnya selama periode pengisian dan
pemasakan buah (Sutopo, 1998).
Selain vigor benih, penggunaan benih dengan viabilitas yang baik juga
sangat diperhatikan dimana benih dengan viabilitas rendah akan meningkatkan
biaya penyulaman, harga benih, mundurnya waktu tanam sehingga produksi tidak
optimal dan mutunya rendah. Ketidaksesuaian lokasi produksi, penyiapan tanah,

Universitas Sumatera Utara

waktu tanam, aplikasi pupuk, pengendalian hama dan gulma, waktu dan cara
panen, pengemasan serta penyimpanan memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap rendahnya produksi dan mutu benih (Hasanah, 2002).
Pemanenan hasil tanaman yang sengaja dikembangkan untuk kepentingan
perbenihan biasanya tergantung pada matangnya buah atau biji-bijian dan
dilakukan secara bertahap, mengingat matangnya buah tiap tanaman tidak sama
dan harus dilakukan dengan hati-hati. Jika dilakukan secara tidak bertahap dapat
beresiko antara lain buah yang matang lebih dulu akan tercecer sebab terlalu tua

sehingga kulit buah pecah dapat pula terjadi perkecambahan biji dalam keadaan
masih terikat dalam buah dan menurunnya vigor serta viabilitas bagi benih yang
masak awal (Kartasapoetra, 2003).
Matangnya buah rosela pada umur 33 hari setelah antesis hal ini diperoleh
berdasarkan hasil penelitian Syarovy (2012)

bahwa benih tanaman rosela

(Hibiscus sabdariffa L.) puncak laju perkecambahan pada umur fisiologis 33
HSA (hari setelah antesis) kemudian menurun laju perkecambahannya pada 37
HSA oleh sebab itu tingkat umur fisiologis yang paling baik pada benih rosela
adalah 33 hari setelah antesis.
Persoalan yang dihadapi petani saat ini adalah penggunaan benih dengan
vigor dan viabilitas yang rendah sehingga secara tidak langsung akan menurunkan
produksi di lapangan yang rendah dan penurunan produktivitas. Uraian-uraian
masalah tersebut diatas maka ingin mengetahui pada periode berapakah benih
rosela yang memiliki viabilitas yang paling baik untuk perbenihan dan untuk
mendapatkan benih yang viabilitasnya tinggi sehingga melakukan suatu penelitian

Universitas Sumatera Utara


mengenai pengaruh periode panen terhadap viabilitas benih rosela (Hibiscus
sabdariffa L.)

Tujuan Penilitian
Untuk mengetahui pengaruh periode panen terhadap viabilitas benih rosela
(Hibiscus sabdariffa L.)
Hipotesis Penilitian
Ada

pengaruh

periode

panen

terhadap

viabilitas


benih

rosela

(Hibiscus sabdarifa L.).
Kegunaan Penilitian
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan serta sebagai bahan informasi bagi
pengembangan benih rosela.

Universitas Sumatera Utara