BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Down Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau trisomi 21. - Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua Dan Perilaku Mem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Down

  Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau

  9 trisomi 21. Pada saat itu, diagnosis sindrom ini hanya berdasarkan pada temuan fisik.

  Pada tahun 1956, ditemukan bahwa komplemen normal manusia 46 kromosom dan pada tahun 1959 ditemukan bahwa sindroma Down dikaitkan dengan kromosom

  3 ekstra 21, dengan total 47 kromosom.

  11 Gambar 1. kromosom pada sindroma Down

  Etiologi sindroma Down berkaitan dengan masalah non-disjunction dari kromosom 21 selama oogenesis, sehingga kromosom 21 ekstra yang terdapat pada ibu diturunkan pada anak. Penelitian terbaru juga menyatakan keterlibatan seorang

  3

  ayah sebagai etiologi melalui non-disjunction selama spermatogenesis. Banyak teori berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi tidak diketahui penyebab sebenarnya. Beberapa ahli mengatakan bahwa abnormalitas hormon, sinar-X, infeksi virus, masalah imunologi, kecenderungan genetik, dan ketidakseimbangan enzim mungkin sebagai penyebabnya. Usia ibu hamil diatas 35 tahun beresiko tinggi dan usia ayah yang lebih tua juga menyebabkan tingginya kemungkinan memperoleh bayi

  11 dengan sindoma Down.

2.2 Keadaan Fisik dan Sistemik pada Sindroma Down

  Gejala yang muncul akibat sindroma Down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Anak dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar, lehernya agak pendek. Mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Tampak pangkal hidung yang lebar dan datar, ukuran mulut kecil, letak telinga agak rendah. Jarak diantara 2 mata berjauhan sehingga mata menjadi sipit. Tangan yang pendek termasuk ruas jari- jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki

  3,10,12 melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).

  12 Gambar 2. Keadaan tubuh anak sindroma down

  Anomali sistem saraf pada anak-anak dengan sindroma Down sering menunjukkan fungsi motorik dan otot yang masih kurang sehingga koordinasi tubuh

  13

  dan kekuatan terbatas. Meskipun pengembangan fungsi motorik pada anak sindroma Down tertunda dan terbatas, namun akan meningkat seiring dengan

  15 pertambahan usia.

  Masalah pengucapan pada anak sindroma Down umumnya lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Hal ini terkait dengan defisit motorik pusat dan derajat keterbelakangan mental bukan karena masalah artikulasi perifer.

  Lambatnya berbicara dan kualitas suara serak yang umumnya ditemukan pada anak

  3 sindroma Down.

  Anak sindroma Down mengalami penggolongan tingkat IQ. Adapun beberapa penggolongan tingkat IQ pada anak sindroma Down yang sama seperti penggolongan tingkat IQ pada anak retardasi mental. Penggolongan tingkat retardasi mental lazim didasarkan pada hasil pengukuran inteligensi. Tes inteligensi sendiri sering dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dibidang akademik. Maka pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggung jawab sosial. Pada umumnya dikenal empat tingkat retardasi mental

  14 yaitu, retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

2.2.1 Retardasi Mental Ringan

  Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun. Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian. Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja

  14 sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.

  2.2.2 Retardasi Mental Sedang

  Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motoriknya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka membentuk konsep sangat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih. Artinya, bila kasus mereka diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secara ekonomi, baik dalam perawatan di

  14 rumah atau di panti asuhan.

  2.2.3 Retardasi Mental Berat

  Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded” mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan penginderaan dan motorik.

  Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang

  14 lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

  2.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat

  Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut golongan “life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu di sokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas.

  Biasanya mereka memiliki cacat tubuh berat dan mengalami patologi pada system saraf pusat mereka, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Pada mereka sering terjadi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain. Kesehatan mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak

  14 berumur panjang.

2.3 Keadaan Rongga Mulut pada Sindroma Down

  Terdapat beberapa karakteristik keadaan rongga mulut yang ada pada anak dengan sindroma Down. Karakteristik tersebut yaitu anomali kerangka utama yang mempengaruhi struktur orofacial antara lain hipoplasia di pertengahan wajah, dengan jembatan hidung, tulang-tulang wajah pertengahan dan rahang atas yang relatif kecil ukurannya, palatum sempit dan tinggi. Lidah pada anak sindroma Down memiliki masalah seperti makroglossia, lidah yang berfisur, dan pembesaran papilla lidah sehingga pasien mengalami kesulitan berbicara dan pengunyahan. Bibir bawah tebal,

  13 kering, dan pecah-pecah.

  15 Gambar 3. Palatum pada sindroma down

  Maloklusi dari gigi atas dan bawah merupakan kondisi umum pada anak sindroma Down. Faktor yang berperan dalam maloklusi: pernapasan melalui mulut, pengunyahan yang tidak benar, bruxism , openbite anterior , disfungsi temporomandibular joint. Anak sindroma Down biasanya memiliki insisivus lateral yang tidak normal, mahkotanya berbentuk kerucut, pendek, dan kecil. Kehilangan tulang periodontal yang parah sehingga terjadi periodontitis, namun tingkat terjadinya karies gigi sangat rendah. Sering terjadi hipokalsifikasi pada gigi anak sindroma Down. Anak sindroma Down cenderung memiliki gigi dengan akar berbentuk

  2,13,15 kerucut kecil dan terlambatnya erupsi selama dua sampai tiga tahun.

2.4 Karies pada Anak Sindroma Down

  Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fisur, dan daerah interproksimal) meluas

  5

  kearah pulpa. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya, sehingga terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan

  16 periapikal dan menimbulkan rasa nyeri.

  Rendahnya prevalensi karies gigi atau kerusakan gigi pada pertumbuhan gigi sulung dan permanen pada anak sindroma Down telah banyak dilaporkan oleh Cutress, 1971; Orner, 1975; Barnett dkk, 1986; Vigild, 1986; Ulseth dkk, 1991; Gabre dkk, 2001; Bradley & McAlister, 2004; Cheng dkk, 2007; Dellavia dkk, 2009; Davidovich dkk, 2010. Cutress (1971) melakukan penelitian pada 416 penderita sindroma Down dan menemukan prevalensi karies gigi yang lebih rendah daripada populasi normal, tetapi setelah melakukan penyesuaian dengan usia erupsi dengan populasi normal. Selain itu, penelitian Orner pada tahun 1975 mengatakan bahwa penderita dengan sindroma Down memiliki tingkat karies lebih rendah yaitu

  2,15

  1:3 dari saudara kandungnya. Penelitian Barnett dkk. (1986) dalam New Jersey, AS, menyatakan bahwa penderita sindroma Down memiliki prevalensi karies yang lebih rendah bila dibandingkan dengan usia penderita cacat mental. Vigild (1986) juga melaporkan bahwa terdapatnya lesi karies pada penderita sindroma Down lebih sedikit, demikian juga pada gigi permanennya dibandingkan dengan orang-orang

  15 cacat mental.

  Penderita sindroma Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus

  

mutans yang jauh lebih rendah dan peningkatan saliva streptococcus mutans

15,17

  khususnya konsentrasi IgA. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya prevalensi karies pada penderita sindroma Down yaitu karena terlambatnya erupsi gigi, kurangnya paparan dengan lingkungan yang kariogenik, kehilangan gigi yang kongenital, tingginya pH saliva, meningkatnya bikarbonat, mikrodonsia, adanya jarak

  2,15

  antara gigi, dan fisur yang dangkal. Baru-baru ini, Davidovich dkk (2010) menunjukkan bahwa saliva yang berbeda pada lingkungan elektrolit dan pH pada

  15

  anak sindroma Down menyebabkan tingkat karies yang lebih rendah. Menurut penelitian Putri (2011) nilai DMF, viskositas, serta jumlah S.mutans pada anak sindroma Down lebih rendah daripada anak normal sedangkan pH, jumlah elektrolit dan IgA yang lebih tinggi daripada anak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya karies gigi pada anak sindroma Down dapat dihubungkan dengan pH basa, viskositas dan jumlah S.mutans yang rendah, serta konsentrasi elektrolit dan IgA yang tinggi pada

  18 saliva mereka.

  Hasil penelitian Thamer A Al- Khadra (2011) pengalaman karies pada penderita sindroma Down pada pria 11,99 ± 3,91 dan wanita 12,07 ± 4,22. Dan pengalaman DMFT menurut usia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 3-6 tahun adalah 4,71 ± 1,27; 7-14 tahun adalah 6,09 ± 2,34; dan 15-21 tahun adalah 3,93 ±

  17

  1,64. Penelitian di Indonesia, anak sindroma Down yang datang ke rumah sakit

  7

  anak dan bersalin Harapan Kita mengalami karies dengan def-t rata-rata 4,65. Dan cukup tinggi pada anak sindroma Down yaitu sebesar 82,6% dengan nilai DMF-T

  8 rata-rata 3,69.

  2.5 Gambaran Klinis Karies

  Gambaran klinis karies secara visual dapat dilihat pada pit atau fisur dan dengan penggunaan sonde gigi untuk menentukan adanya kehilangan kontinuitas atau kerusakan dalam enamel dan menilai kelembutan atau ketahanan dari enamel dan

  5-6 terlihat berwarna coklat.

  15 Gambar 4. Karies pada anak sindroma Down

2.6 Faktor Etiologi Karies

2.6.1 Faktor Host atau Tuan Rumah

  Ada beberapa faktor yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies yaitu faktor morfologi gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel, faktor kimia dan kristalografis. Pit dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Permukaan gigi yang kasar juga dapat

  5,16 menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi.

  Bentuk fisur yang terdapat pada anak sindroma Down merupakan fisur yang

  15 dangkal.

2.6.2 Faktor Agen atau Mikroorganisme Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.

  Plak merupakan suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Mikroorganisme yang paling banyak dijumpai pada plak seperti streptococcus mutans, streptococcus sanguis,

  

streptococcus mitis dan streptococcus salivarius. Streptococcus mutans mempunyai

  16

  sifat asidogenik (memproduksi asam) dan asidurik (resisten terhadap asam). Jumlah

  

Streptococcus mutans pada anak sindroma Down jauh lebih rendah dibandingkan

  15 dengan anak normal.

2.6.3 Faktor Substrat atau Diet

  Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi. Pada anak sindroma Down, kurangnya paparan dengan lingkungan yang kariogenik menyebabkam kerusakan gigi yang terjadi juga lebih rendah dibandingkan

  15-16 dengan orang normal.

2.6.4 Faktor Waktu

  Karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies

  16 untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan.

  Bakteri dalam plak memanfaatkan substrat untuk menghasilkan zat asam yang terus diproduksi selama mengkonsumsi makanan kariogenik. Asam ini akan menyerang permukaan enamel selama 20 menit, hal ini umumnya disebut acid attack. Acid

  

attack yang berulang dan berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan enamel

  19 secara terus menerus hingga membentuk sebuah kavitas.

2.7 Faktor Risiko Terjadinya Karies

  Selain faktor etiologi karies, juga terdapat beberapa faktor resiko terhadap karies, diantaranya sebagai berikut : Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Tingginya skor pengalaman karies pada gigi sulung dapat memprediksi terjadinya karies pada gigi

  16 permanennya.

  2.7.2 Penggunaan Flour

  Pemberian flour yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies oleh karena dapat meningkatkan remineralisasi. Jumlah kandungan flour dalam air minum dan makanan harus diperhitungkan pada waktu memperkirakan kebutuhan tambahan flour, karena

  16 pemasukan flour yang berlebihan dapat menyebabkan flourosis.

  2.7.3 Oral Hygiene

  Insidens karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis dari permukaan gigi, namun banyak pasien tidak melakukannya secara

  16

  efektif. Oral hygiene pada anak sindroma Down buruk jika orang tua tidak memperhatikan dengan baik dan kurangnya inisiatif orang tua terhadap

  1 pencegahannya.

  Pemakaian sikat gigi elektrik lebih ditekankan pada anak yang mempunyai masalah khusus. Pasta gigi yang mengandung 1000-2800 ppm menunjukkan hasil yang baik dalam pencegahan karies tinggi pada anak di antara umur 6-16 tahun. Anak sebaiknya tiga kali sehari menyikat gigi segera sesudah makan dan sebelum tidur malam. Pemakaian benang gigi dianjurkan pada anak yang berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit periodontal meningkat pada umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan latihan yang lama sebelum benar-benar menguasainya. Profesional profilaksis (skeling, aplikasi flour) dilakukan oleh dokter gigi atau tenaga kesehatan anak. Pada anak cacat dan keterbelakangan mental, hal ini harus lebih

  20 ditekankan.

  Kolonisasi bakteri didalam mulut disebabkan transmisi antar manusia, yang

  16

  paling sering dari ibu. Pada waktu bayi masih dalam kandungan, di dalam mulut tidak dijumpai bakteri tetapi bakteri mulai berdiam di dalam mulut begitu bayi

  

5

  melewati vagina sewaktu proses kelahiran. Penelitian Nuraini menunjukkan adanya korelasi antara level S. mutans ibu dengan anak. Jika ibu mempunyai level S. mutans yang tinggi maka level S. mutans pada anak juga tinggi. Bayi yang memiliki jumlah

  

S. mutans yang banyak, maka usia 2-3 tahun akan mempunyai resiko karies yang

  16

  lebih tinggi pada gigi sulungnya. Anak sindroma Down memiliki jumlah

  15 Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.

2.7.5 Saliva

  Selain mempunyai efek buffer, saliva juga berguna untuk membersihkan sisa- sisa makanan di dalam mulut. Aliran saliva pada anak-anak meningkat sampai usia 10 tahun, setelah dewasa hanya terjadi peningkatan sedikit. Selain umur, beberapa faktor lain seperti penyakit juga dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva, misalnya

  5,16

  penderita xerostomia. Pada anak sindroma Down sering terjadi xerostomia yang disebabkan karena mengkonsumsi obat dan dapat juga terjadi karena pernafasan melalui mulut.

  2.7.6 Pola Makan

  Pengaruh pola makan dalam proses karies biasanya lebih bersifat lokal daripada sistemik, terutama dalam hal frekuensi mengkonsumsi makanan. Setiap kali seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam sehingga terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan bekerja menetraliser asam dan membantu proses remineralisasi. Apabila makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat terlalu sering dikonsumsi, maka enamel gigi tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga terjadi

  16

  dengan lingkungan yang kariogenik lebih kecil. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya karies gigi.

  2.7.7 Umur

  Peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya. Anak-anak mempunyai

  16 resiko karies paling tinggi ketika gigi mereka baru erupsi.

  2.7.8 Jenis Kelamin

  Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Milhahn-Turkehein, menunjukkan bahwa persentase karies gigi pada wanita lebih tinggi dibandingkan

  5

  dengan pria. Ada teori yang mengatakan bahwa kondisi periodontal wanita lebih baik daripada pria dan sebaliknya. Walaupun demikian, bila dibandingkan status kebersihan mulut pria dan wanita, maka dijumpai kebersihan mulut wanita lebih baik daripada pria. Oleh karena itu, tidak dijumpai perbedaan yang signifikan bila dibuat

  16 perbandingan antara pria dan wanita dengan status kebersihan mulut yang sama.

  2.7.9 Sosial Ekonomi Keluarga

  Faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kejadian karies gigi pada masyarakat adalah pendapatan dan tingkat pendidikan. Pendapatan dan tingkat pendidikan sangat berkaitan dengan konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan

  21

  merawat gigi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa prevalensi karies lebih tinggi pada anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan konsumsi makanan yang bersifat kariogenik lebih banyak, rendahnya pengetahuan akan kesehatan gigi, status karies yang tinggi pada keluarga (karies aktif pada ibu), dan juga jarang melakukan kunjungan ke dokter gigi sehingga banyak karies gigi

  22 yang tidak dirawat.

  2.7.10 Pendidikan Orang Tua

  Menurut Tirthankar (cit Sondang dan Hamada), pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan

  16

  sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Di dalam bidang kesehatan peranan ibu juga sangat menentukan kesehatan anak dan peranan ibu sangat ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan praktek ibu tentang kesehatan gigi

  21 serta tingkat pendidikan ibu.

  2.7.11 Perilaku Membersihkan Gigi

  Kebersihan mulut sangat ditentukan oleh perilaku personal. Pemeliharaan oral

  23

  hygiene yang tidak benar menyebabkan karies gigi. Menurut Eriska Riyanti (2005) keberhasilan perawatan gigi dan mulut serta pencegahan penyakit periodontal pada anak sindroma Down sangat dipengaruhi oleh perilaku orang tua. Artinya para orang tua harus menanamkan kedisiplinan dalam membersihkan rongga mulut kepada anaknya. Bila sejak dini sang anak terbiasa membersihkan rongga mulut, dia tidak akan berontak atau teriak sekuat tenaga jika suatu hari dibawa ke pelayanan kesehatan gigi, memang tak bisa sekaligus berhasil dalam menanamkan kebiasaan tersebut, namun orang tua harus gigih dan terus menerus memperkenalkan hal itu kepada anak, terlebih lagi memberi pengertian pada anak yang menderita sindroma Down bukanlah hal yang mudah. Orang tua harus tetap tekun dan bersabar mengajari cara bersikat gigi yang baik dan benar kepada seorang anak sindroma Down, sebab

  24 pada intinya mereka harus paham bahwa rongga mulutnya harus selalu sehat.

2.8 Indeks Karies

  Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan skala dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap suatu penyakit gigi tertentu. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan suatu penyakit mulai dari yang ringan indeks WHO dan belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk

  16

  melengkapi indeks WHO sebelumnya. Pada penelitian ini akan digunakan indeks Klein yaitu DMFT untuk gigi permanen dan deft untuk gigi sulung.

2.8.1 Indeks DMF, Klein

  Indeks ini di perkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938 untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi permanen (DMFT) dan pemeriksaan pada gigi sulung (deft). Indeks ini tidak menggunakan skor, pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang), dan F (gigi yang ditumpat) kemudian

  16 dijumlahkan sesuai kode.

16 DMFT

  Beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1.

  Semua gigi permanen yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori D.

  2. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori D.

  3. Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D.

  4. Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori M.

  5. Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.

  6. Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F.

  7. Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.

  8. Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori M. deft Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  16 Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori d.

  2. Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori e.

  3. Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori f.

2.9 Pendekatan pada Anak Sindroma Down

  Untuk memberikan perawatan gigi pada anak yang berkebutuhan khusus, kita harus mampu untuk menyesuaikan dengan keadaan sosial, intelektual, dan emosional. Kurangnya perhatian, gelisah, hiperaktif, dan perilaku emosional yang tidak menentu merupakan ciri anak dengan berkebutuhan khusus dalam menjalani perawatan gigi. Dokter gigi harus mengetahui tingkatan anak berkebutuhan khusus dengan melakukan konsultasi bersama dokter yang merawat anak atau pengasuh lain jika anak tidak tinggal bersama orang tua.

  Prosedur berikut telah terbukti bermanfaat dalam membangun hubungan dokter gigi dengan pasien dan mengurangi kecemasan pasien tentang perawatan gigi:

  1. Berikan keluarga penjelasan singkat mengenai praktek gigi sebelum mencoba pengobatan. Perkenalkan pasien dan keluarga pada pekerja di praktek gigi. Hal ini akan membiasakan pasien dengan para pekerja dan fasilitas yang ada serta akan mengurangi rasa takut pasien terhadap ketidaktahuannya. Perbolehkan pasien untuk membawa benda yang disenanginya (boneka binatang, selimut, atau mainan) pada saat berkunjung .

  2. Lakukan berulang-ulang; berbicara perlahan dan dalam istilah yang sederhana. Kepastian penjelasan akan dipahami dengan menanyakan kepada pasien jika ada pertanyaan. Jika pasien memiliki sistem komunikasi alternatif, seperti papan gambar atau perangkat elektronik, pastikan itu tersedia untuk membantu penjelasan mengenai instruksi gigi.

  3. Berikan hanya satu instruksi pada satu waktu. Hargai pasien dengan pujian setelah berhasil menyelesaikan setiap prosedur.

  4. Dengarkan pasien secara aktif. Pasien yang berkebutuhan khusus sering terhadap gerakan dan permintaan lisan.

  5. Ajak orang tua untuk melihat proses perawatan dan untuk membantu dalam komunikasi dengan pasien.

  6. Buatlah jadwal perawatan secara berkala. Tingkatkan secara bertahap ke prosedur yang lebih sulit (misalnya anestesi dan restoratif gigi) setelah pasien menjadi terbiasa dengan lingkungan klinik gigi.

  7. Jadwalkan kunjungan pasien di pagi hari, pada saat dokter gigi, staf, dan pasien belum merasa lelah. Dengan persiapan yang memadai dokter gigi dan pekerja dapat memberikan pelayanan yang baik. Pemahaman yang menyeluruh mengenai tingkat pasien yang berkebutuhan khusus dan kemampuan pasien dan dengan kesabaran dan pengertian, dokter gigi tidak akan memiliki masalah yang signifikan dalam memberikan

  6 perawatan gigi.

  Kerangka Teori

  Anak sindroma Down Karakteristik Manifestasi fisik oral

  Gigi Jaringan lunak Gigi bercampur Gigi permanen

  (Indeks DMFT+deft) (Indeks DMFT)

  Kerangka Konsep

  Karies

  • Jenis kelamin
  • Sosial ekonomi

  Gigi bercampur

  Sindroma Down (Indeks DMFT+deft)

  • Pendidikan ibu
  • Perilaku kebersihan gigi

  Gigi permanen

  (Indeks DMFT)