Penyakit Periodontal Pada Penderita Sindroma Down

(1)

PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA

SINDROMA DOWN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh:

EVA MARGARETHA NIM:060600066

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Periodonsia Tahun 2012

Eva Margaretha

Penyakit Periodontal Pada Penderita Sindroma Down x + 29 halaman

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti. Namun diduga risiko memiliki anak dengan sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua usia ibu pada saat hamil.

Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental. Selain itu penderita sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik seperti kelainan kardiovaskuler yang penting untuk diperhatikan dokter gigi.

Dalam bidang Periodonsia, banyak penyakit – penyakit atau kondisi sistemik yang berkaitan dengan penyakit periodontal, diantaranya sindroma Down. Pada umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita ini yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal meliputi oral hygiene, kalkulus,otot wajah dan leher lemah ,


(3)

anomali gigi dan jaringan gingiva, saliva dan faktor sistemik seperti respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.

Walaupun hingga saat ini belum ada penelitian jangka panjang tentang keberhasilan atau kegagalan perawatan pada penderita sindroma Down, namun penderita sindroma Down ini memerlukan perawatan yang efektif dan efisien untuk mengatasi penyakit periodontal yang dialaminya. Ada hal –hal yang harus diperhatikan oleh dokter gigi sebelum melakukan perawatan pada penderita Sindroma Down seperti sleep apnea dan penanganan tingkah laku. Perawatan periodontal pada

penderita ini harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan – perawatan yang dilakukan diantaranya adalah: perawatan preventif, terapi antimikroba dan cangkok tulang.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji skripsi

Medan, 16 Juli 2012

Pembimbing Tanda tangan

1. Zulkarnain, drg., M. Kes ……….

NIP: 19551020 198503 1 001

2. Irmansyah Rangkuti, drg., Ph. D ………


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 16 Juli 2012

TIM PENGUJI SKRIPSI

KETUA: Irmansyah Rangkut i , drg., Ph.D ………

ANGGOTA: 1. Krisna Murthy Pasaribu, drg., Sp. Perio ………. 2. Pitu Wulandari, drg., S. Psi., Sp. Perio ………..

Mengetahui: KETUA DEPARTEMEN

Irmansyah Rangkuti, drg., PhD ……….


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaanNya yang telah memberi kekuatan sehingga skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Ucapan terima kasih yang khusus penulis berikan kepada orangtua tersayang, N. Silalahi dan U.Sidabutar atas perhatian, kasih sayang, semangat, nasehat – nasehat serta dukungan baik moral dan materil selama ini, terlebih selalu mendoakan yang terbaik sehingga penulis dapat tetap berjuang dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terkhusus kepada Armando,Tante Hanna dan Ika parhusib yang selalu berdoa dan memberi semangat kepada penulis.

Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, saran – saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Irmansyah Rangkuti, drg.,Ph.D selaku dosen pembimbing dan Ketua Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(7)

3. Zulkarnain,drg.,M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran baik dalam pendidikan dan penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dosen penguji skripsi Krisna Murthy Pasaribu, drg., Sp. Perio dan Pitu Wulandari, drg., S.Psi., Sp. Perio atas saran dan masukan sehingga skripsi ini dapat lebih baik.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

6. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM selaku penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama menyelesaikan program akademik di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

7. Senior kak Nancy, kak Mei atas dukungan semangat dan doanya, teman – teman angkatan 2006, Riza, Lysa, Imme, Octa, Lusi, Muktar, Dewi, Bril, Jose dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

8. Sahabat – sahabat penulis Dosma, Jondi, Dio, Juni, Lia, Jan, Vega, David yang selama ini tetap memberi dukungan semangat kepada penulis.

9. Manotar Siahaan atas dukungan doa, semangat dan waktunya

10. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhirnya rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, dan memohon maaf apabila ada kesalahan selama penyusunan skripsi ini. Penulis


(8)

mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, Juli 2012 Penulis

(Eva Margaretha) NIM: 060600066


(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL...

HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN TIM PENGUJI...

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR TABEL... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB 2 SINDROMA DOWN 2.1 Definisi………... 3

2.2 Etiologi………. 3

2.3 Gambaran Klinis……….. 6

2.4 Kelainan – kelainan Sistemik ….. ………... 8

2.4.1 Kardiovaskular………..……… 8

2.4.2 Hematopoietic……… 9

2.4.3 Mukoskeletal………. 9

2.4.4 Sistem Saraf……….………. 9

2.4.5 Rongga Mulut………..……… 10

BAB 3 MANIFESTASI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA SINDROMA DOWN 3.1 Faktor – faktor Pencetus penyakit periodontal pada Sindroma Down ……….. …………. 15

3.1.1 Faktor lokal ……… 15

3.1.1.1 Oral Hygiene dan Kalkulus……….. 15

3.1.1.2 Otot wajah dan mulut lemah……… 15


(10)

3.1.1.4 Faktor Saliva……… 16

3.1.2 Faktor sistemik ………. 16

BAB 4 PERAWATAN PENYAKIT PERIODONTAL PADA SINDROMA DOWN 4.1 Penatalaksanaan Tingkah Laku... 20

4.2 Sleep Apnea... 21

4.3 Pertimbangan Perawatan Gigi 4.3.1 Penyakit Periodontal dan masalah kesehatan rongga mulut... 21

4.3.2 Penanganan penyakit periodontal secara dini, cepat dan Inovatif... 22

4.3.3 Periontitis... 23

4.3.4 Perawatan Prostetik... 24

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 26


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pemisahan kroosom pada mongoloid karena non-disjunction………. 5

2. Karakteristik permukaan telapak tangan dengan hypertelorism, batang

hidung yang pesek, lidah yg protrusi, garis simian palmar... 7 3. Gambaran telinga yang kecil,lipatan yang abnormal dan hypodonia

pada pasien sindroma Down... ... 7 4. Gambaran Lipatan simian palmar dan celah antara jari kaki... 8

5. Gambaran hunungan rahang makoklusi klas III angle dengan crossbite

posterior dan Maloklusi klas III dengan open bite anterior... 11

6. Gambaran anomali gigi mikrodonsia, peg shaped dan akar pendek... 11 7. Gambaran penyakit periodontal pada penderita sindroma Down... 14 8. Gambaran Ilustrasi skematik terjadinya penyakit periodontal oleh faktor


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kelainan- kelainan rongga mulut pada penderita Sindroma Down………….. 10 2. Korelasi kelompok usia dengan indeks CPITN pada penderita sindroma

Down………. 13 3. Perbedaan antara tiga kelompok usia penderita sindroma Down dengan


(13)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Periodonsia Tahun 2012

Eva Margaretha

Penyakit Periodontal Pada Penderita Sindroma Down x + 29 halaman

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti. Namun diduga risiko memiliki anak dengan sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua usia ibu pada saat hamil.

Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental. Selain itu penderita sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik seperti kelainan kardiovaskuler yang penting untuk diperhatikan dokter gigi.

Dalam bidang Periodonsia, banyak penyakit – penyakit atau kondisi sistemik yang berkaitan dengan penyakit periodontal, diantaranya sindroma Down. Pada umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita ini yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal meliputi oral hygiene, kalkulus,otot wajah dan leher lemah ,


(14)

anomali gigi dan jaringan gingiva, saliva dan faktor sistemik seperti respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.

Walaupun hingga saat ini belum ada penelitian jangka panjang tentang keberhasilan atau kegagalan perawatan pada penderita sindroma Down, namun penderita sindroma Down ini memerlukan perawatan yang efektif dan efisien untuk mengatasi penyakit periodontal yang dialaminya. Ada hal –hal yang harus diperhatikan oleh dokter gigi sebelum melakukan perawatan pada penderita Sindroma Down seperti sleep apnea dan penanganan tingkah laku. Perawatan periodontal pada

penderita ini harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan – perawatan yang dilakukan diantaranya adalah: perawatan preventif, terapi antimikroba dan cangkok tulang.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

Sindroma Down merupakan trisomi (melipat tigakan) kromosom 21.1 Hal ini disebabkan adanya kesalahan selama pembelahan sel yaitu nondisjunction. Pada

sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh satu sel yang memiliki dua kromosom 21, sehingga sel telur yang dibuahi menghasil tiga kromosom 21, sehingga sering dikenal dengan trisomi 21. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90% dari sel-sel abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan

nondisjunction tidak diketahui, tetapi pasti ada hubungannya dengan usia ibu.1

Penderita sindroma Down mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap penyakit periodontal dibandingkan penyakit karies.2,3 Hal ini merupakan keadaan dan masalah yang sangat serius.4 Beberapa penelitian melaporkan prevalensi penyakit periodontal berada di antara 90% dan 96% orang dewasa dengan sindroma Down.4 Penyakit periodontal merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada penderita sindroma Down.5 Akan tetapi orang tua cenderung lebih memperhatikan masalah klinis, kondisi keuangan, bahkan lebih menunggu anak hingga dewasa untuk mengatasi masalah giginya.6 Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis merasa perlu membahas sindroma Down agar lebih memahami keterkaitan tersebut sehingga membantu dalam penatalaksanaan terapi yang tepat

Pada bab 2 akan dibahas tentang pengenalan sindroma Down yaitu defenisi dan etiologi, gambaran klinis, kelainan- kelainan sistemik seperti kelainan


(16)

kardiovaskular, kelainan hematoietic, kelainan mukoskeletal, kelainan saraf dan

kelainan rongga mulut.

Dalam bab 3 akan dibahas tentang faktor- faktor pencetus penyakit periodontal pada penderita sindroma Down yang terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik

Selanjutnya pada bab 4 akan dibahas tentang perawatan penyakit periodontal pada sindroma Down yaitu penatalaksanaan tingkah laku, sleep apnea dan

penatalaksanaan gigi pada pasien sindroma Down.

Dan akhir skripsi ini akan ditutup dengan bab 5 yang berisi kesimpulan dan saran.

Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dokter gigi mengenai sindroma Down dan keterkaitannya dengan periodonsia sehingga dapat membantu pada waktu menangani penderita sindroma Down.


(17)

BAB II

SINDROMA DOWN

Pada tahun 1866 sindroma Down pertama sekali diperkenalkan oleh seorang dokter bernama John Langdon Down yang menerbitkan sebuah karangan di Inggris yang menggambarkan sejumlah anak-anak dengan fitur-fitur umum yang berbeda dari anak-anak lain dengan keterbelakangan mental.1,7,8 Pada awal abad ke - 20 banyak spekulasi mengenai penyebab terjadinya sindroma Down. Orang pertama yang berspekulasi bahwa penyakit tersebut mungkin terjadi karena kelainan kromosom adalah Waardenburg dan Blayer pada tahun 1930-an.1 Pada tahun 1959, Lejeune dan Jacob menyebutkan penyebabnya yaitu trisomy ( melipat tigakan) kromosom 21.1

2.1 Definisi

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental.4,9 Sindroma Down terjadi diseluruh penjuru dunia dan diantara semua suku bangsa.7 Sindroma Down merupakan salah satu kelainan genetik yang memiliki prevalensi 1:800 kelahiran.1,7

2.2 Etiologi

Kromosom adalah struktur benang DNA dan protein lain yang ada disetiap sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan sel untuk berkembang. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom tersusun dalam 23 pasang.1,3 Sel manusia dibagi dalam dua cara. Pertama adalah pembelahan sel biasa atau mitosis. Mitosis


(18)

merupakan pembelahan satu sel menjadi dua sel, mempunyai jumlah yang sama dan jenis kromosom sebagai sel induk. Kedua adalah pembelahan sel terjadi pada ovarium dan testis yaitu miosis dimana sel membelah menjadi dua, sel-sel yang dihasilkan memiliki setengah jumlah kromosom dari sel induk. Sel telur normal dan sel-sel sperma hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. Banyak kesalahan dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Miosis yang seharusnya berpisah disebut disjungsi. Namun kadang-kadang satu pasang tidak membagi. Hal ini berarti bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki 22 kromosom. Kelainan ini disebut nondisjunction. Jika sel sperma

atau sel telur dengan jumlah kromosom abnormal menyatu dengan pasangan yang normal, makan sel telur yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom abnormal. Dari 95% kasus sindroma Down disebabkan oleh satu sel memiliki dua kromosom 21, sehingga sel telur yang dihasilkan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu nama ilmiahnya disebut trisomy 21. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% dari

sel-sel abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction belum

diketahui, tetapi diduga ada hubungannya dengan usia ibu.1,3

Faktor- faktor yang memegang peranan terjadinya kelainan kromosom adalah:

(1) Usia ibu biasanya pada usia lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu ketidakseimbangan hormonal, sedangkan usia ayah tidak berpengaruh, (2) kelainan kehamilan, (3) Kelainan endokrin pada usia ibu dapat menyebabkan terjadi infiltrasi relatif, kelainan tiroid atau ovarium.10


(19)

Gambar 1. Kariotipe anak laki-laki dengan trisomy 21.( Len Leshin,MD,FAAP.

Trisomy 21: The story of Down Syndrome, 2003: 2)

Ada tiga tipe sindroma Down, meskipun dianggap bahwa tidak ada perbedaan secara klinis dalam tiga genotipe. Ketiga bentuk tersebut adalah: (1) Trisomi 21 (94%) memiliki kromosom 21 tambahan dalam setiap sel tubuhnya kondisi ini disebut Trisomi 21 dan merupakan bentuk sindroma Down yang paling sering ditemuka n. (2) Translokasi (5%) terjadi jika bagian ujung kromosom 21 dan kromosom yang lain patah, dan bagian yang tersisa saling bersatu pada bagian yang patah tersebut. Proses bersatunya salah satu kromosom pada kromosom yang lain disebut translokasi. Translokasi yang paling sering terjadi yaitu kromosom 14 dengan kromosom 21. (3) Mosaikisme (1 %) anak – anak dengan sindroma Down memiliki tambahan pada seluruh bagian kromosom 21,sedangkan sel yang lain dalam keadaan normal. 1,8,11


(20)

2.3 Gambaran Klinis Secara Umum

Gambaran Klinis penderita sindroma Down sangat mirip antara satu orang dengan lainya.Terjadinya Retardasi mental akan sangat menonjol selain terjadinya retardasi dalam pertumbuhan (jasmani). Penderita berbicara dengan kalimat- kalimat sederhana, dan biasanya sangat tertarik dengan musik dan kelihatan sangat gembira.10

Wajah anak sangat khas, ditandai dengan kepala agak kecil, muka lebar, tulang pipi tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya, serta sipit miring keatas dan samping seperti mongolia, iris menunjukan bercak-bercak. Selain itu, lipatan epikantus sangat jelas serta telinga agak aneh, baik letak maupun ukurannya, bibir tebal dan lidah besar, kasar bercelah – celah. Pertumbuhan gigi juga sangat terganggu. Kulit halus dan longgar namun warna normal. Di leher ditemukan lipatan- lipatan yang berlebihan.10

Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkok ke dalam. Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan tulang palang tengah dan distal rudimenter. Jarak antara jari I dan II baik kaki maupun tangan agak lebar. Gambaran telapak tangan tidak normal yaitu terdapat gambaran garis melintang. Otot hipotonik dan pergerakan sendi-sendi berlebihan.10


(21)

Gambar 2. Karakteristik permukaan telapak tangan dengan hypertelorism, batang hidung yang pesek, lidah yg protrusi, satu garis simian palmar pada anak perempuan Sindroma Down umur 2 tahun (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 2)

Gambar a Gambar b

Gambar 3. (a) Telinga yang kecil dan lipatan yang abnormal pada pasien sindroma Down (b)

hypodonia pada pasien Sindroma Down (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 3)


(22)

a b

Gambar 4: (a) Lipatan simian palmar pada pasien Sindroma Down. (b) Celah antara jari kaki yg pertama dengan jari kaki kedua pada pasien Sindroma Down (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 3)

2.4 Kelainan – Kelainan Sistemik

2.4.1 Kardiovaskular

Sekitar 40% bayi baru lahir yang menderita sindroma Down mengalami cacat jantung bawaan seperti defek septum ventrikuli, defek septum arteri. Kelainan jantung bawaan ini dapat dikoreksi dengan operasi pada waktu bayi.5,12,13 Selain itu, prevalensi dari mitral valve prolapse 5%-10% lebih tinggi pada penderita sindroma

Down.6,12 Kelainan pada jaringan ikat (collagen defect) mungkin menjadi penyebab

tingginya insiden mitral valve prolapse pada penderita sindroma Down. Kebutuhan


(23)

2.4.2 Hematopoietic

Pada penderita sindroma Down dijumpai kelainan – kelainan peningkatan risiko leukemia, risiko sebagai karier hepatitis B, neutrofil dan leukosit yang tidak sempurna dan berumur pendek, risiko lymphopenia, risiko eosinopenia dan bentuk

serum immunoglobulin yang tidak seperti biasa.12 2.4.3 Muskoskeletal

Pada penderita sindroma Down dijumpai adanya ketidakstabilan atlantoaxial. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang yang irreversibel.12 Jika penderita mempunyai riwayat atlantoaxial, dokter gigi harus berhati-hati ketika bekerja di daerah leher. Meskipun risiko terjadinya kerusakan pada saraf tulang belakang selama pemberian anastesi umum sangat kecil, ahli anastesi dan timnya harus hati-hati terhadap kemungkinan yang akan terjadi.7 Pada penderita sindroma Down juga dijumpai penyempitan saluran pernafasan dihidung dan sebagian terhambat akibat deviasi septal dan penebalan mukosa. Hal ini sering menimbulkan pernafasan melalui mulut. Mulut sering terbuka dengan lidah yang terdorong diantara bibir.12

2.4.4 Sistem saraf

Fungsi motorik biasanya lebih lambat pada pasien yang lebih muda dan koordinasi yang terbatas.7 Namun koordinasi dapat meningkat sesuai umur. Selain itu pada penderita sindroma Down juga dijumpai demensia dan gangguan dalam bicara. Pada penderita sindroma Down, pengucapan lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Hal ini dihubungkan dengan keterbelakangan mental, masalah pendengaran, aphasia, lidah yang besar pada rongga mulut yang kecil, kelainan gigi,


(24)

saliva yang berlebihan, kering dan tebalnya membran mukosa dan hipotonia otot yang menyeluruh.12

2.4.5 Rongga mulut

Keadaan rongga mulut pada pasien dengan sindroma Down adalah seperti yang tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Keadaan rongga mulut pada penderita sindroma Down (Dessai SS. Down Syndrome:A rewiew of the literature. J. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radigraphy dan Endodontics, 1997: 11)

Area Kondisi

Palatum "Stair palate" dengan bentuk "v" pada langit-langitnya

Palatum lunak yang tidak sempurna

Lidah Bentuk scallop dan berfissured

Protrusi dan lidah yang terdorong (karena rongga mulut yang kecil)

Makroglossia (karena kavitas rongga mulut yang kecil)

Lidah yang kering (karena bernafas dari mulut)

Dental Mikrodonsia

Hypodonsia Partial anodontia Supernumerary teeth Spacing Taurodontism Crown variants Agenesis

Hypoplasia dan hypocalcification

Resiko karies gigi yang tinggi Erupsi yang terlambat

Periodontal Peningkatan resiko penyakit periodontal

Oklusi Malalignment

Frequent malocclusions

Frequent temporomandibular joint dysfunction Platybsia


(25)

Gambar 5.Hubungan rahang pada penderita sindroma Down A. Maloklusi klas III Angle dengan crossbite posterior. B. Maloklusi klas III dengan open bite anterior.( Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down Syndrome. 2011: 63)

Gambar. 6 Anomali gigi pada penderita Sindroma Down. A. Mikrodonsia dan Peg shaped pada Insisivus lateral kanan. B Akar pendek pada Molar kanan dan kehilangan tulang karena periodontitis. (Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down Syndrome. 2011:64)


(26)

BAB III

MANIFESTASI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA SINDROMA DOWN

Penyakit periodontal merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada penderita sindroma Down.5 Hal ini merupakan keadaan dan masalah yang sangat serius dibandingkan dengan karies gigi.4 Periodontitis merupakan keadaan yang sering dijumpai dan secara umum dapat menyebabkan kehilangan gigi.14 Prevalensi dan tingkat keparahan penyakit sudah lama diketahui.13 Insiden penyakit periodontal ditemukan 90%-96%.8 Hal ini terlihat dengan adanya kehilangan tulang alveolar pada anak berusia 6- 16 tahun.8 Peningkatan insiden penyakit periodontal tidak hanya disebabkan oleh penumpukan plak, melainkan adanya hubungan langsung dengan penurunan respon immunoglobin dan inflamasi terhadap penyakit penderita ini.8 Penderita Sindroma Down yang terkait dengan keterbelakangan mental dan perubahan sistemik dicirikan dengan periodontitis agresif generalisata dengan adanya destruksi jaringan pendukung dan kehilangan gigi pada usia dini.14 Delapan persen anak –anak dengan Sindroma Down menderita lesi periodontal pada usia 12 tahun.14 Prevalensi penyakit periodontal pada penderita Sindrom Down ini berkisar 60%-100% pada usia 30 tahun.14 Mekanisme yang mendasari penyakit periodontal pada penderita sindroma Down dicirikan oleh perubahan jaringan ikat karena kelainan pada tingkat ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap inflamasi periodontal dan resorpsi tulang.14 Hal ini dapat dilihat dari tabel 2 dan 3.


(27)

Tabel 2. Korelasi kelompok usia dengan indeks CPITN pada penderita sindroma Down (Sabila N. Kebutuhan perawatan periodontal pada penderita

sindroma down di kota medan. Skripsi. Medan, Sumatera Utara :

Univesitas Sumatera Utara, 2012 :35)

Variabel Total P

N %

13-17 15 42,9

P= 0,9

18-22 11 31,4

13-17 15 42,9

P=0,01

>23 9 25,7

18-22 11 31,4

P=0,002

>23 9 25,7

Keterangan : uji T ; p<0,05 = bermakna

Tabel 3. Perbedaan antara tiga kelompok usia penderita sindroma Down dengan indeks CPITN (Bagić I, Verzak Z, Ćavka SC dkk. Periodontal conditions in individuals with down’s syndrome. Coll Antropol 2003; 27: 78)

Rerata jumlah sektan dengan Indeks CPITN

Subjek usia N

Tidak terkena penyakit periodontal

Perdarahan kalkulus Saku dangkal Kedalaman poket Kehilangan <2 gigi Sindroma Down Sindroma Down 9-15 16-25 24 32 0,4 0,9 5,9 5,7 1,8 2,8 0,3 1,4 *** 0,0 0,2 0,0 0,3 Sindroma Down Sindroma Down 9-15 26-34 24 15 0,4 0,0 5,9 5,3 1,8 4,2 *** 0,3 2,9 *** 0,0 0,9 *** 0,0 0,7 *** Sindroma Down Sindroma Down 16-25 26-34 32 15 0,9 0,0 5,7 5,3 2,8 4,2 ** 1,4 2,9 *** 0,2 0,9 *** 0,3 0,7 * Keterangan: * p<0,05 ; ** p<0,02 ; ***p<0,01

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Namira menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kelompok usia 13-17 tahun dan kelompok usia 18-22 tahun dengan kebutuhan perawatan periodontal berdasarkan


(28)

indeks CPITN (p>0,05). Namun pada korelasi kebutuhan perawatan periodontal dengan kelompok usia 13-17 tahun dengan usia >23 tahun dan antara kelompok usia 18-22 tahun dengan usia > 23 tahun menunjukkan korelasi yang bermakna (p<0,05). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagic dkk yang menunjukkan bahwa skor kebutuhan perawatan periodontal makin besar seiring dengan bertambahnya usia.4

Gambar 7. Penyakit Periodontal pada penderita Sindroma Down. A. Gingivitis pada lengkung rahang bawah, dan kehilangan Insisivus lateral atas dan semua Insisivus bawah. B. Periodontitis pada Penderita sindroma Down Dewasa. (Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down Syndrome. 2011: 67)

Tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita Sindroma Down dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lokal dan sistemik.


(29)

3.1 Faktor- faktor Pencetus Penyakit Periodontal pada penderita Sindroma Down

3.1.1 Faktor lokal

Ada beberapa faktor lokal yang menjadi pemicu tingginya prevalensi periodontal pada penderita sindroma down, diantaranya adalah

3.1.1.1 Oral hygiene dan kalkulus

Oral hygiene yang inadekuat sangat berhubungan dengan peningkatan plak dan

secara langsung berkaitan dengan berkurangnya respon immunologi terhadap infeksi dan inflamasi.8 Agen penyebab penyakit periodontal pada Sindroma Down adalah plak bakteri. Hal ini dapat menginduksi jaringan secara progresif. 13

3.1.1.2 Otot wajah dan mulut lemah

Anak dengan sindroma Down tidak hanya menyebabkan lemahnya otot-otot lengan dan kaki tetapi juga pada otot leher, wajah dan mulut. Hal ini menyebabkan rongga mulut tidak dapat berfungsi dengan maksimal termaksud: (1) Kesulitan saat menyusui, (2) Adanya rasa tidak nyaman saat makan dan mengunyah makanan, (3) Kehilangan nafsu makan, (4) sulit memakan makanan yang bertekstur.15

3.1.1.3 Anormali gigi dan jaringan gingiva

Anomali gigi meliputi microdontia, hypodontia, partial anodontia,

supernumerary teeth, diastema, taurodontism, crown variants, agenesis, hypoplasia

dan hypocalcification, serta erupsi yang terlambat12. Erupsi gigi yang terlambat dapat


(30)

open bite dan crossbite serta adanya variasi morfologi mahkota yang lebih pendek

dan kecil.13,16

Anomali jaringan pendukung dan gigi terjadi pada usia dini. Delapan persen anak penderita Sindroma Down menderita periodontitis pada usia 12 tahun, berbeda dengan kebanyakan anak pada umumnya yang hanya 0.5%. Prevalensi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down yang berada pada usia dibawah 30 tahun berkisar 9, 15 %12 selain itu dapat juga terjadi ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative

Gingivitis).13

3.1.1.4 Faktor Saliva

Chaushu melaporkan bahwa adanya imunitas oral yang lemah pada penderita sindroma Down dengan immunoglobulin IgA dan rerata sekresi IgG dari kelenjar parotid hanya mencapai 13% dan 25%.17 Pada dasarnya aliran saliva dan buffering saliva sangat penting, akan tetapi pada penderita sindroma Down aliran saliva menjadi berkurang sehingga menyebabkan serostomia (mulut kering).13

3.1.2 Faktor Sistemik

Penyakit periodontal pada penderita sindroma Down tidak hanya disebabkan oleh keberadaan plak bakteri tetapi dengan adanya faktor sistemik sebagai predisposisi terhadap peningkatan kerusakan periodontal. Perkembangan dari penyakit periodontal pada Sindroma Down akan lebih meningkat jika dipengaruhi oleh respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.13 Adapun yang termaksud dalam immunodefisiensi


(31)

sistemik yaitu respon fagositik dan kemotastik, perubahan metabolisme oksidasi yang berhubungan dengan kromoson 21 dan adhesi molekul sel pada gen kromoson 21.18

Menurut Izumi dkk, penderita sindroma Down menunjukan penurunan kemotaksis yang signifikan dibanding orang yang sehat pada umumnya. Yavuzyilmaz menyatakan bahwa penderita sindroma Down akan mangalami penurunan neutrofil. Hal ini juga dinyatakan oleh Zaldivar dan Chiapa bahwa terjadi peningkatan neutrofil, aktifitas fagositik dan produksi anion superoksida. Selain karena infeksi bakteri, penyakit periodontal juga disebabkan oleh perubahan immunitas sebagai alasan primer pada penderita Sindroma Down. Dengan menurunnya immunitas pada individu Sindroma Down dapat mempermudah virulensi microbial periodontopathic,

sehingga terjadi kolonisasi plak subgingiva. Ketika hal ini terjadi, akan menginduksi reaksi inflamasi pada jaringan gingiva. Peningkatan inflamasi gingiva pada jaringan gingiva akan menurunkan produksi enzim dan mengubah remodeling tulang. Sebagai hasil akhir dari inflamasi tersebut menyebabkan kehilangan dan kerusakan periodonsium atau bahkan kehilangan gigi.18

Kuster dkk melaporkan bahwa penderita sindroma Down terkait erat dengan disfungsi imun dari hasil penelitiannya diamati adanya komponen berbeda dari system imun dalam kaitanya dengan periodontitis terutama pada fungsi netrofil, reaksi imun selular gingival dan produksi antibody terhadap bekteri periontopatik. Sohoel melaporkan adanya peningkatan antigen HLA1 yang memegang peranan penting dalam pengaturan imun saat terjadi Chronic Marginal Periodontitis( CMP) pada penderita sindroma Down. Santoes melaporkan penyebaran antibody terhadap


(32)

pasien normal yang menjelaskan bahwa tujuh penderita sindroma Down dengan periodontitis memiliki kedalam saku > 4, lima penderita sidroma Down dengan gingivitis ≤ 3dan pada pasien normal mengalami pendarahan. Berdasarkan laporan diatas terlihat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan penderita sindroma Down (p= 0,05), kelompok penderita sindroma Down dengan periodontitis mengalami reaksi yang sangat tinggi disusul oleh kelompok sindroma Down dengan gingivitis dan kelompok kontrol.18

Barr dan Agholme melaporkan bahwa jumlah prostaglandin E2 (PGE2) dan interleukin - 1β (IL- 1β) pada aliran Gingiva Crevicular Fluid (GCF) secara signifikan lebih tinggi pada penderita sindroma Down dibandingkan dengan pasien normal. Hal ini menimbulkan perubahan dalam metabolisme asam archidonik pada penderita sindroma Down.18

Yamazaki dan Kubota melaporkan jumlah tentang jumlah matrix

metalloproteinase-2 (MMP-2) dan matrix metalloproteinase-8 (MMP-8) pada

gingival crevicular fluid (GCF) dan bakteri periodontopatik pada plak subgingival. Sampel GCF dan plak diperoleh dari insisivus sentralis. Jumlah MMPs dievaluasi berdasarkan enzim yang terkait imunitas dan bakteri periodontopatik dideteksi berdasarkan reaksi rantai polymerase. Jumlah MMP-2 dan MMP-8 pada penderita sindroma Down lebih tinggi dibandingkan pasien yang sehat.18


(33)

Gambar 8: Ilustrasi skematik terjadinya penyakit periodontal oleh faktor sistemik (Ahmed Khocht: Down Syndrome and Periodontal Disease, Temple University school of Dentistry United States.2012: 219 )

Gambar tersebut menunjukkan penurunan aliran saliva dan hubungan penurunan produksi antibodi saliva. Neutrofil dengan kemotaksis yang tidak sempurna tidak dapat mencapai target patogen. Terjadi kolonisasi awal dari dentogingiva. Jaringan marginal gingiva diinfiltrasi oleh sel imun seperti makrofag dan limposit. Antigen menunjukan sel yang yang mulai aktif. Makrofag dan sel gingiva akan menurunkan produksi enzim, degradasi kolagen serta kerusakan jaringan, pelepasan prostaglandin, peningkatan osteoklas dan kehilangan tulang alveolar.18


(34)

BAB IV

PERAWATAN PENYAKIT PERIODONTAL PADA SINDROM DOWN

Perawatan dental pada penderita sindroma Down sebaiknya diberi perlakuan yang sama dengan pasien normal lainnya. Rencana perawatan perlu disesuaikan pada kondisi individu sehingga memberi perawatan yang komprehensif.6

4.1 Penatalaksanaan Tingkah laku

Penanganan dental pada penderita sindroma Down dapat ditemukan pada usia dini. Akan tetapi orang tua cenderung lebih memperhatikan masalah klinis, kondisi keuangan, bahkan lebih menunggu anak hingga dewasa untuk mengatasi masalah kesehatan giginya. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengajarkan perawatan gigi dan mulut yang tepat dirumah dan sulitnya mengembangkan sikap kooperatif anak pada perawatan gigi. Hal terpenting untuk mendapatkan hubungan kooperatif dengan penderita Sindroma Down adalah dengan menentukan tingkat komunikasi yang tepat. Dalam hal ini keluarga pasien dapat memberitahu dokter gigi seperti apa komunikasi yang sesuai dengan anak. Akan tetapi lebih baik jika dokter gigi dapat berkomunikasi langsung dengan pasien sekaligus membangun kepercayaan pasien. Hal ini lebih menguntungkan bagi orang tua pada awal kunjungan perawatan, sekaligus menanamkan sikap menjaga kebersihan rongga mulut bagi pasien6

Penetapan jadwal kunjungan pada anak sebaiknya dilakukan dipagi hari dimana baik pasien dan operator dalam kondisi lebih prima atau sehat. Kunjungan pertama sebaiknya hanya untuk orientasi dan kunjungan berikutnya memerlukan sedikit waktu


(35)

lebih lama dari biasanya. Sebaiknya dokter gigi terlebih dahulu mengetahui riwayat medis pasien untuk memungkinkan adanya konsultasi medis jika diperlukan.6

4.2 Sleep Apnea

Pada penderita Sindroma Down hal penting dan perlu diketahui dokter gigi adalah kemungkinan terjadi sleep apnea, seperti dilaporkan oleh Stebbens bahwa

insiden obstruksi pernafasan atas sebesar 31 % pada anak penderita sindroma Down. Gejala obstruktif sleep apnea adalah mendengkur, tidur gelisah dan posisi tidur yang

tidak biasa. Jika keluarga pasien melaporkan gejala- gejala tersebut maka diindikasikan sebagai gangguan tidur secara klinis. Penanganan dapat dilakukan dengan reposisi pesawat oklusal, pernafasan buatan dengan atau tanpa tindakan bedah.6

4.3 Pertimbangan Perawatan Gigi

Dokter gigi harus menggunakan pendekatan inovatif untuk perawatan gigi pada pasien sindroma Down berdasarkan data yang disediakan sebelumnya8

4.3.1 Masalah penyakit periodontal dan kesehatan rongga mulut

Adanya dokumentasi awal tentang perkembangan penyakit periodontal terutama kehilangan tulang alveolar dan terbentuknya poket merupakan hal yang penting, sehingga kebanyakan dokter gigi lebih memahami informasi tentang timbulnya penyakit periodontal dan kemajuan pada usia dini (6-16). Namun saat melakukan ekstraksi gigi permanen pada anak sindroma Down yang berusia 18 tahun telah ditemukan kehilangan tulang, sehingga catatan perkembangan penyakit dan terapi sangatlah penting dimiliki oleh dokter gigi. Komunikasi awal pada orang tua


(36)

mengenai keterbatasan perawatan gigi dalam mencegah kehilangan gigi juga merupakan hal yang penting. Saat ini orang tua maupun pengasuh memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kebersihan rongga mulut dan jaringan pendukung gigi.8 4.3.2 Penanganan penyakit periodontal secara dini, cepat dan inovatif

Seorang dokter gigi seharusnya memberikan pendekatan penanganan secara aktual atau mengantisipasi masalah periodontal pada penderita sindroma Down seperti halnya pendekatan penanganan pada pasien AIDS. Berikut ini merupakan beberapa contoh penanganan dini , cepat dan inovatif.

Topikal antimikrobial seperti Peridex dan Listerine diindikasikan sebagai

penanganan jangka panjang. Hal ini membantu pasien untuk membersihkan dan mengurangi mikroba. Cara penggunaannya dengan gel atau spray.8

Antimikroba sistemik seperti tetrasiklin. Pada umumnya terapi tetrasiklin dalam jangka panjang (10-30 tahun) dilakukan pada bidang dermatologi. ADA (American

Dental Association ) menyatakan antibiotik jangka panjang pada kedokteran gigi

tergantung pengalaman dan pemakaiannya terbatas bagi dokter gigi.8

Terapi periodontal preventif dini meliputi perluasan vestibular dan frenektomi harus dipertimbangkan. Kebanyakan masalah dikarenakan adanya imun dan respon host yang berubah sehingga kurangnya kesuksesan dalam terapi periodontal. Penelitian jangka panjang menyatakan kesuksesan atau kegagalan berbagai terapi seharusnya tidak diharapkan dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karena itu dokter gigi harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang tua pasien mengenai hasil akhir dan alasan yang dapat diterima pada penangan secara bedah. Dalam hal ini tingkat kooperatif pasien sangat dibutuhkan. Penyembuhan paska bedah mungkin


(37)

membutuhkan jangka panjang sehingga harus diikuti dengan penggunaan antibiotika walaupun dalam prosedur bedah minor. 8

Dokter gigi harus melakukan terapi dini dan agresif terhadap kondisi ANUG

(Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis) atau kerusakan papila pada penyakit

periodontal. Dalam mempertahankan gigi desidui yang diikuti dengan ANUG (Acute

Necrotizing Ulcerative Gingivitis) dan penyakit periodontal, sebaiknya diberikan

perhatian yang lebih khusus dalm mengekstraksi gigi desidui. Selain itu perlu diperhatikan adanya seleksi ekstraksi yang tepat dari gigi desidui atau permanen atau enamelloplasti radikal dengan tujuan menghasilkan diastema interdental pada gigi berjejal.8

Penggunaan cangkok tulang atau bone replacement (hidroksiapatit) saat ini

merupakan perawatan alternatif. Penyelarasan oklusal secara radikal dan agresif dilakukan untuk mengurangi hambatan oklusal dan mendapatkan rasio mahkota akar yang sesuai. Dataran oklusi yang datar dapat memberi hasil yang lebih baik pada penderitasindroma Down pada maloklusi klass III dan crossbite posterior. Tindakan

ortodontik secara dini dengan memperluas palatum serta mengoreksi crossbite dapat

memberikan hasil yang lebih baik. Restorasi pada bentuk gigi peg shape dapat

dilakukan dengan restorasi komposit.8 4.3.3 Periodontitis

Shapira dan Sakellari melaporkan bahwa kebutuhan perawatan pada penderita sindroma Down lebih tinggi dibandingkan orang normal. Cichon melaporkan bahwa tidak ada perkembangan secara klinis maupun microbial setelah dilakukan skeling,


(38)

kunjungan pertama. Terapi periodontal standar konvensional tidak dapat menghilangkan patogen periodontal dan bahkan tidak berpengaruh pada bakteri subgingiva. Sakellari menyarankan untuk melakukan kunjungan sekali dalam tiga bulan untuk mengontrol plak supragingiva. Yoshihara juga menganjurkan melakukan perawatan preventif secara berkala untuk menekan perkembangan penyakit periodontal. Cheng melaporkan respon penyembuhan yang memuaskan pada 21 penderita sindroma down setelah dilakukan terapi periodontal mekanis non bedah, dan menganjurkan menggunakan pasta gigi dan obat kumur chrorhexidine sehari dua kali. Berdasarkan beberapa penelitian diatas terlihat bahwa terapi periodontal konvensional seperti instruksi menjaga kebersiahan rongga mulut, skaling dan debridement akar tidak dapat menjamin penyembuhan gingiva yang baik. Namun tidak ada standar perawatan periodontal dan bukti yang kuat diindikasikan untuk menangani penyakit periodontal pada penderita sindroma down. Modifikasi terapi periodontal yang sesuai seperti terapi periodontal non bedah dengan penggunaan obat kumur dan melakukan kunjungan berkala akan lebih baik kedepannya.19

4.3.4 Perawatan Prostetik

Pemilihan perawatan prostetik seperti gigi tiruan cekat, lepasan dan penuh sangat terbatas pada penderita sindroma Down dikarenakan adanya penyakit periodontal, mobiliti gigi, retensi yang kurang , hubungan rahang klas III dan pasien tidak koperatif. Sinus maksilaris yang kecil pada beberapa penderita sindroma Down dapat digunakan untuk teknologi implan, namun masalah respon host dan


(39)

penting dijelaskan secara keseluruhan kepada orang tua maupun wali pada saat melakukan rencana perawatan.8

Gambar.9 Gambaran klinis rehabilisasi gigi dengan bedah implan A. Implan pada dinding tulang. B

Instalisali Implan C. Adaptasi gigi tiruan resin akrilik setalah pembedahan (Saores MRPS, Paula FO, Chaves MGAM dkk. Patient with down syndrome and Implant therapy. 2010 21 (6) : 550-54)


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom yang ditandai dengan keadaan fisik yang khas dan retardasi mental dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti, namun diduga risiko memiliki anak dengan Sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua usia ibu pada saat hamil.

Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental. Selain itu penderita Sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik seperti kelainan kardiovaskuler.

Pada umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down yaitu faktor lokal seperti: oral hygiene, kalkulus, fungsi oral, anomali gigi dan jaringan gingiva,

faktor saliva dan faktor sistemik, respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.

Rencana perawatan meliputi penatalaksanaan tingkah laku, sleep apnea dan

pertimbangan perawatan gigi. Perawatan periodontal pada penderita sindroma Down harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan- perawatan yang dapat


(41)

dilakukan pada penderita sindroma Down ini antaranya adalah perawatan preventif, pemberian antimikroba baik secara topikal maupun sistemik, skeling dan melakukan kunjungan berkala ke dokter gigi.

5.2 SARAN

Meskipun pada dasarnya perawatan terhadap penderita sindrom Down tidak berbeda dengan perawatan terhadap individu normal, namun seorang dokter gigi yang merawat penderita ini harus dapat memperlihatkan kemampuannya baik dalam penanggulangan tingkah laku maupun ketrampilan khusus dalam perawatan gigi dan mulutnya. Sehubungan dengan retardasi mentalnya, cara pendekatan terhadap pasien ini di perlukan kehangatan, rasa persahabatan dan kesabaran.

Orang tua penderita sindroma Down sebaiknya diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut, dan dianjurkan melakukan kunjungan berkala ke dokter gigi untuk bisa dikontrol kondisi rongga mulutnya.


(1)

mengenai keterbatasan perawatan gigi dalam mencegah kehilangan gigi juga merupakan hal yang penting. Saat ini orang tua maupun pengasuh memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kebersihan rongga mulut dan jaringan pendukung gigi.8 4.3.2 Penanganan penyakit periodontal secara dini, cepat dan inovatif

Seorang dokter gigi seharusnya memberikan pendekatan penanganan secara aktual atau mengantisipasi masalah periodontal pada penderita sindroma Down seperti halnya pendekatan penanganan pada pasien AIDS. Berikut ini merupakan beberapa contoh penanganan dini , cepat dan inovatif.

Topikal antimikrobial seperti Peridex dan Listerine diindikasikan sebagai penanganan jangka panjang. Hal ini membantu pasien untuk membersihkan dan mengurangi mikroba. Cara penggunaannya dengan gel atau spray.8

Antimikroba sistemik seperti tetrasiklin. Pada umumnya terapi tetrasiklin dalam jangka panjang (10-30 tahun) dilakukan pada bidang dermatologi. ADA (American Dental Association ) menyatakan antibiotik jangka panjang pada kedokteran gigi tergantung pengalaman dan pemakaiannya terbatas bagi dokter gigi.8

Terapi periodontal preventif dini meliputi perluasan vestibular dan frenektomi harus dipertimbangkan. Kebanyakan masalah dikarenakan adanya imun dan respon host yang berubah sehingga kurangnya kesuksesan dalam terapi periodontal. Penelitian jangka panjang menyatakan kesuksesan atau kegagalan berbagai terapi seharusnya tidak diharapkan dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karena itu dokter gigi harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang tua pasien mengenai hasil akhir dan alasan yang dapat diterima pada penangan secara bedah. Dalam hal ini tingkat kooperatif pasien sangat dibutuhkan. Penyembuhan paska bedah mungkin


(2)

membutuhkan jangka panjang sehingga harus diikuti dengan penggunaan antibiotika walaupun dalam prosedur bedah minor. 8

Dokter gigi harus melakukan terapi dini dan agresif terhadap kondisi ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis) atau kerusakan papila pada penyakit periodontal. Dalam mempertahankan gigi desidui yang diikuti dengan ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis) dan penyakit periodontal, sebaiknya diberikan perhatian yang lebih khusus dalm mengekstraksi gigi desidui. Selain itu perlu diperhatikan adanya seleksi ekstraksi yang tepat dari gigi desidui atau permanen atau enamelloplasti radikal dengan tujuan menghasilkan diastema interdental pada gigi berjejal.8

Penggunaan cangkok tulang atau bone replacement (hidroksiapatit) saat ini merupakan perawatan alternatif. Penyelarasan oklusal secara radikal dan agresif dilakukan untuk mengurangi hambatan oklusal dan mendapatkan rasio mahkota akar yang sesuai. Dataran oklusi yang datar dapat memberi hasil yang lebih baik pada penderita sindroma Down pada maloklusi klass III dan crossbite posterior. Tindakan ortodontik secara dini dengan memperluas palatum serta mengoreksi crossbite dapat memberikan hasil yang lebih baik. Restorasi pada bentuk gigi peg shape dapat dilakukan dengan restorasi komposit.8

4.3.3 Periodontitis

Shapira dan Sakellari melaporkan bahwa kebutuhan perawatan pada penderita sindroma Down lebih tinggi dibandingkan orang normal. Cichon melaporkan bahwa tidak ada perkembangan secara klinis maupun microbial setelah dilakukan skeling, root planning dan instruksi menjaga kesehatan rongga mulut pada saat dilakukan


(3)

kunjungan pertama. Terapi periodontal standar konvensional tidak dapat menghilangkan patogen periodontal dan bahkan tidak berpengaruh pada bakteri subgingiva. Sakellari menyarankan untuk melakukan kunjungan sekali dalam tiga bulan untuk mengontrol plak supragingiva. Yoshihara juga menganjurkan melakukan perawatan preventif secara berkala untuk menekan perkembangan penyakit periodontal. Cheng melaporkan respon penyembuhan yang memuaskan pada 21 penderita sindroma down setelah dilakukan terapi periodontal mekanis non bedah, dan menganjurkan menggunakan pasta gigi dan obat kumur chrorhexidine sehari dua kali. Berdasarkan beberapa penelitian diatas terlihat bahwa terapi periodontal konvensional seperti instruksi menjaga kebersiahan rongga mulut, skaling dan debridement akar tidak dapat menjamin penyembuhan gingiva yang baik. Namun tidak ada standar perawatan periodontal dan bukti yang kuat diindikasikan untuk menangani penyakit periodontal pada penderita sindroma down. Modifikasi terapi periodontal yang sesuai seperti terapi periodontal non bedah dengan penggunaan obat kumur dan melakukan kunjungan berkala akan lebih baik kedepannya.19

4.3.4 Perawatan Prostetik

Pemilihan perawatan prostetik seperti gigi tiruan cekat, lepasan dan penuh sangat terbatas pada penderita sindroma Down dikarenakan adanya penyakit periodontal, mobiliti gigi, retensi yang kurang , hubungan rahang klas III dan pasien tidak koperatif. Sinus maksilaris yang kecil pada beberapa penderita sindroma Down dapat digunakan untuk teknologi implan, namun masalah respon host dan kooperatif pasien dapat penjadi penghalang. Keterbatasan perawatan ini sangatlah


(4)

penting dijelaskan secara keseluruhan kepada orang tua maupun wali pada saat melakukan rencana perawatan.8

Gambar.9Gambaran klinis rehabilisasi gigi dengan bedah implan A. Implan pada dinding tulang. B Instalisali Implan C. Adaptasi gigi tiruan resin akrilik setalah pembedahan (Saores MRPS, Paula FO, Chaves MGAM dkk. Patient with down syndrome and Implant therapy. 2010 21 (6) : 550-54)


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom yang ditandai dengan keadaan fisik yang khas dan retardasi mental dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti, namun diduga risiko memiliki anak dengan Sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua usia ibu pada saat hamil.

Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental. Selain itu penderita Sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik seperti kelainan kardiovaskuler.

Pada umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down yaitu faktor lokal seperti: oral hygiene, kalkulus, fungsi oral, anomali gigi dan jaringan gingiva, faktor saliva dan faktor sistemik, respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.

Rencana perawatan meliputi penatalaksanaan tingkah laku, sleep apnea dan pertimbangan perawatan gigi. Perawatan periodontal pada penderita sindroma Down harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan- perawatan yang dapat


(6)

dilakukan pada penderita sindroma Down ini antaranya adalah perawatan preventif, pemberian antimikroba baik secara topikal maupun sistemik, skeling dan melakukan kunjungan berkala ke dokter gigi.

5.2 SARAN

Meskipun pada dasarnya perawatan terhadap penderita sindrom Down tidak berbeda dengan perawatan terhadap individu normal, namun seorang dokter gigi yang merawat penderita ini harus dapat memperlihatkan kemampuannya baik dalam penanggulangan tingkah laku maupun ketrampilan khusus dalam perawatan gigi dan mulutnya. Sehubungan dengan retardasi mentalnya, cara pendekatan terhadap pasien ini di perlukan kehangatan, rasa persahabatan dan kesabaran.

Orang tua penderita sindroma Down sebaiknya diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut, dan dianjurkan melakukan kunjungan berkala ke dokter gigi untuk bisa dikontrol kondisi rongga mulutnya.