Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Penderita Sindroma Down di Kota Medan

(1)

KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA

PENDERITA SINDROMA DOWN DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

NAMIRA SABILA LUBIS NIM :080600109

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Periodonsia

Tahun 2012

Namira Sabila Lubis

Kebutuhan Perawatan Periodontal pada Penderita Sindroma Down di Kota

Medan

xi + 43 halaman

Sindroma Down merupakan penyakit genetik yang terkait dengan ekstra

kromosom 21 pada manusia. Sindroma Down merupakan gangguan kromosom yang

paling umum terjadi dengan prevalensi 9,2 kasus per 10.000 kelahiran di AS.

Penderita sindroma Down memiliki beberapa kelainan secara mental dan fisik yang

dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut. Permasalahan pada rongga mulut yang

sering terjadi adalah penyakit periodontal seperti gingivitis dan periodontitis mulai

terjadi semenjak usia dini dan tingkat keparahannya sejalan dengan pertambahan usia.

Tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita sindroma down

mempunyai tingkat yang bervariasi antara 60% sampai 100% untuk usia di bawah 30

tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan kebutuhan

perawatan periodontal pada jenis kelamin dan perbedaan kebutuhan perawatan

periodontal pada kelompok usia penderita sindroma Down di Kota Medan.

Penelitian ini dilakukan secara observasional dengan pendekatan cross

sectional. Sampel penelitian yang diambil adalah penderita sindroma Down dari sekolah/yayasan SLB-C YPAC, SLB-C Taman Pendidikan Islam dan SLB-C Abdi


(3)

Kasih yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 35 orang. Pemeriksaan

diawali dengan pemeriksaan klinis yaitu indeks oral higiene, kedalaman poket,

indeks perdarahan papila modifikasi, dan indeks CPITN. Data yang didapat dianalisi

dengan uji chi square dan uji T.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa keadaaan oral higiene pada sindroma

Down cenderung buruk. Berdasarkan analisa statistik, adanya pengaruh yang

signifikan antara kelompok umur pada penderita sindroma Down dengan indeks

CPITN dan disimpulkan bahwa penyakit periodontal sejalan dengan pertambahan

usia. Namun, tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin pada penderita

sindroma Down dengan indeks CPITN.

Penderita sindroma Down serta orang tua/wali diberikan pengetahuan tentang

pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut karena banyak komplikasi yang terjadi

pada rongga mulut bila tidak dijaga kebersihannya. Penderita sindroma Down

diintruksikan untuk melakukan perawatan berkala minimal 3 bulan sekali untuk

mencegah penyakit periodontal yang dimulai dari usia dini.


(4)

Faculty of Dentistry

Department of Periodontics

2012

Namira Sabila Lubis

Periodontal treatment needs in people with Down's syndrome in Medan

xi + 43 pages

Down syndrome is a genetic disease associated with an extra chromosome 21 in

individuals. It is the most common chromosomal disorder, with an estimate

prevalence of 9,2 cases per 10.000 live births in the U.S. People with Down

syndrome may present with mental and physical challenges that have implication for

oral health. Periodontal disease is the most significant oral health problem such as

gingivitis and periodontitis begin early and their severity increases with age. A high

prevalence of advanced periodontal disease has been reported in people with Down

syndrome with rates varying between 60% to 100% for those under 30 years of age.

This study aims to determine the differences of gender and groups of age in Down

syndrome with periodontal treatment needs in Medan.

This study was a cross sectional study. The samples are people with Down

syndrome from SLB-C YPAC, SLB-C Taman Pendidikan Islam and SLB-C Abdi

Kasih that fullfil the inclusion and exclusion criteria as many as 35 people. The

clinical examination began with the Oral Hygiene Index, pocket depth, Papila

Bleeding Modification Index, and Community Periodontal Index of Treatment Needs


(5)

The results showed that the condition of oral hygiene in Down syndrome is

poor. Based on statistical analysis, there is a significant effect between the group of

age on Down syndrome and CPITN. It is concluded that periodontal disease is

influenced by increases of age. However, there is no significant effect between the

gender in Down syndrome and CPITN.

People with Down syndrome and their parents should know the importance of

oral health care because many complications could occur in poor oral hygiene. People

with Down syndrome should have regular treatment at least 3 months to prevent

periodontal disease which starts from an early age.

References: 20 (1984-2011)


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 4 Mei 2012

Pembimbing : Tanda tangan

1. Zulkarnain, drg., M.Kes ...


(7)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 4 Mei 2012

TIM PENGUJI

KETUA : Zulkarnain, drg., M.Kes ………

ANGGOTA : 1. Irmansyah R, drg., Ph.D ……….

2. Pitu Wulandari, drg., S.Psi., Sp.Perio ……….

Mengetahui :

KETUA DEPARTEMEN

Irmansyah R, drg., Ph.D ……….


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkah dan

karuniaNya yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan sehingga skripsi ini

telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini terutama kepada orangtua

tercinta, Ayahanda Khoirus Saleh Lubis dan Ibunda Henni Bariah serta adik Fatin

Adilah sehingga mempu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Dalam penulisan ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan, dukungan

serta doa dari berbagai pihak. Dengan penuh ketulusan penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Prof. H. Nazaruddin, deh., C.Ort., Sp.Ort, Ph.D selaku dekan Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Irmansyah R, drg., Ph.D, selaku Ketua Departemen Periodonsia Fakultas

Kedokteran Gigi USU.

3. Zulkarnain, drg., M. Kes, selaku dosen pembimbing atas keluangan waktu,

tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan memotivasikan penulis sehingga

penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dosen penguji skripsi (Irmansyah R, drg., Ph.D dan Pitu Wulandari, drg.,


(9)

5. Irma Ervina, drg., Sp. Perio (K) selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis selama menjalani

pendidikan di FKG USU.

6. Seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi FKG USU terutama di

Departemen Periodonsia yang telah banyak membimbing dan membantu penulis

dalam menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara.

7. Maya Fitria, SKM., M.Kes selaku dosen FKM USU dan Drs. Ahmad Jalil

selaku Pembantu Dekan III Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk dapat membantu di dalam

pengolahan dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini.

8. Kepala sekolah SLB-C YPAC, SLB-C Taman Pendidikan Islam, dan SLB-C

Abdi Kasih yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

9. Para sahabat penulis Imel, Viska, Rizka, Rora, Ica, Aqwam, Hilman, Nita,

Mpit, dan teman-teman stambuk 2008 yang telah memberikan dukungan semangat

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

10. Terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan

skripsi di Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara, Ria,

Febrima, Sari, Jacky, Monika, Desi, Adi, dan Adila.

11. Para senior dan juga junior yang telah memberi banyak bimbingan,

arahan,serata dukungan selama masa perkuliahan.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna karena


(10)

kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan

pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 4 Mei 2012

Penulis,

(Namira Sabila Lubis)

NIM: 080600109


(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Manfaat Penulisan ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Sindroma Down ... 4

2.2 Gambaran Klinis Sindroma Down ... 6

2.3 Kelainan Sistemik Pada Sindroma Down ... 7

2.3.1 Kelainan Jantung... 7

2.3.2 Kelainan Hematopoesis ... 8

2.3.3 Kelainan Mukoskeletal... 8

2.3.4 Kelaina Sistem saraf ... 9

2.4 Kelainan Rongga Mulut Pada Sindroma Down ... 10

2.5 Penyakit Periodontal ... 11

2.5.1 Gingivitis ... 11

2.5.2 Periodontitis ... 12

2.6 Hubungan Sindroma Down Dengan Penyakit Periodontal ... 12

2.6.1 Oral Higiene ... 13

2.6.2 Bernafas Dengan Mulut Terbuka ... 13

2.6.3 Morfologi Gigi ... 13

2.6.4 Komposisi Mikrobiologi Plak... 14


(12)

2.6.6 Disfungsi Neutrofil ... 15

2.6.7 Disfungsi Limfosit T ... 15

2.6.8 Mediator Inflamasi dan Enzim Proteolitik ... 15

2.7 Kebutuhan Perawatan Periodontal ... 16

2.8 Indeks Pemeriksaan Klinis ... 17

2.8.1 Community Index of Periodontal Treatment Needs ... 17

2.8.2 Kedalaman Poket ... 18

2.8.3 Indeks Oral Higiene ... 18

2.8.4 Indeks Pendarahan Papila Modifikasi ... 20

2.9 Kerangka Teori ... 21

2.10 Kerangka Konsep ... 22

2.11 Hipotesis ... 22

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 23

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2.1 Tempat Penelitian ... 23

3.2.2 Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi, Sample, dan Besar Sampel ... 23

3.3.1 Populasi ... 24

3.3.2 Sample Penelitian ... 24

3.3.3 Besar Sampel ... 24

3.4 Variabel Penelitian ... 25

3.4.1 Variabel Bebas ... 25

3.4.2 Variabel Tergantung ... 25

3.4.3 Variabel Perantara ... 25

3.4.3 Variabel Kendali ... 25

3.4.4 Variabel Tidak Terkendali ... 26

3.5 Defenisi Operasional ... 26

3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 27

3.6.1 Alat Penelitian ... 27

3.6.2 Bahan Penelitian ... 27

3.7 Prosedur Penelitian ... 27

3.8 Analisis Data ... 28

3.9 Skema alur penelitian ... 29

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Data Demografis Subjek Penelitian ... 30

4.2 Distribusi Indeks CPITN per Sekstan ... 31

4.3 Distribusi Jenis Kelamin dan Kelompok Usia pada Indeks CPITN ... 32

4.4 Korelasi Antara Jenis Kelamin Dengan Indeks CPITN ... 33

4.4 Korelasi Antara Kelompok Usia Dengan Indeks CPITN ... 34


(13)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 39 6.2 Saran ... 39

DAFTAR RUJUKAN ... 40


(14)

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

1. Kriteria untuk Indeks Periodontal Komunitas untuk

Kebutuhan Perawatan ... 17

2. Kriteria skor indeks debris dan indeks kalkulus. ... 19

3. Level higiene oral ... 19

4. Skor indeks Pendarahan Papila Modifikasi ... 20

5. Data demografis sindroma Down ... 30

6. Indeks CPITN pada penderita sindroma Down ... 32

7. Distribusi jenis kelamin dan kelompok usia pada indeks CPITN ... 32

8. Korelasi jenis kelamin dengan indeks CPITN pada sindroma Down ... 34


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penderita Sindroma Down ... 5


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat ijin penelitian ... 44

2. Surat selesai penelitian ... 46

3. Surat persetujuan komite etik ... 48

4. Hasil perhitungan statistik ... 49

5. Penjelasan kepada subjek penelitian ... 53

6. Surat persetujuan menjadi subjek ... 53

7. Lembar persetujuan menjadi subjek penelitian setelah penjelasan ... 56

8. Data dan Form isian pemeriksaan klinis ... 57


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Down, Trisomi 21 atau mongolism pertama kali ditemuka n oleh

Langdon-Down pada tahun 1866.1,2 Sindroma Down merupakan gangguan

kromosom yang paling umum terjadi, dengan prevalensi sekitar 9,2 kasus per 10.000

kelahiran hidup di Amerika Serikat. Sindroma Down merupakan penyakit genetik

yang terkait dengan ekstra kromosom 21 pada manusia, sehingga total kromosom

yang dimiliki penderita sebanyak 47 sedangkan jumlah kromosom normal sebanyak

46. Hal ini umumnya disebabkan oleh pemisahan kromosom yang tidak normal

selama pembelahan sel (meiosis non-disjunction).3,4

Penderita sindroma Down memiliki beberapa kelainan secara mental dan fisik

yang dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut.5 Permasalahan pada rongga

mulut yang sering terjadi adalah penyakit periodontal seperti gingivitis dan

periodontitis yang mulai terjadi semenjak dini dan tingkat keparahannya sejalan

dengan pertambahan usia.3,4,6

Sznajder dkk menyatakan bahwa tingginya prevalensi penyakit periodontal

pada penderita sindroma Down mempunyai tingkat yang bervariasi antara 60%

sampai 100% untuk usia di bawah 30 tahun (cit: Yoshihara dkk). Adanya

peningkatan prevalensi dan keparahan penyakit periodontal telah dibuktikan pada

penderita sindroma Down dibandingkan dengan penderita gangguan intelektual


(18)

tingkat intelektual dan kondisi lingkungan yang sama.Tingginya prevalensi penyakit

periodontal pada penderita sindroma Down mungkin karena gangguan pertahanan

tubuh yang berhubungan dengan kurangnya jumlah netrofil dan kemotaksis monosit,

terganggunya fagositosis neutrofil, kurangnya jumlah limfosit T, serta belum

matangnya limfosit T.7

Seiring dengan meningkatnya prevalensi periodontitis pada penderita sindroma

Down maka dibutuhkan perawatan yang sesuai dengan kondisi periodontal.

Kebutuhan perawatan periodontal sangat penting karena adanya hubungan antara

penderita sindroma Down dengan periodontitis yang terjadi, dimana periodontitis

merupakan manifestasi oral pada penderita sindroma Down. Oleh karena itu, penulis

merasa perlu membahas mengenai kebutuhan perawatan periodontal pada sindroma

Down.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan kebutuhan perawatan periodontal pada penderita

sindroma Down di kota Medan berdasarkan jenis kelamin?

2. Apakah perbedaan hubungan kebutuhan perawatan periodontal pada

penderita sindroma Down di kota Medan berdasarkan kelompok usia?

1.3 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan kebutuhan perawatan periodontal dengan jenis

kelamin pada penderita sindroma Down di kota Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan kebutuhan perawatan periodontal dengan


(19)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai kebutuhan perawatan

periodontal pada sindroma Down.

2. Meningkatkan wawasan dan pengetahuan dokter gigi mengenai sindroma

Down khususnya kondisi jaringan periodontal.

3. Diharapkan terjalin kerjasama antara dokter gigi dengan orang tua atau wali

dari penderita sindroma Down.

4. Menambah pengetahuan kepada orang tua atau wali penderita sindroma


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Gen adalah segmen molekul yang mengandung semua informasi yang

diperlukan dalam proses reproduksi. Pada proses reproduksi dapat terjadi

gangguan-gangguan genetik yang disebabkan oleh struktur kromosom yang abnormal salah

satunya yaitu sindroma Down.8

2.1 Definisi dan Etiologi Sindroma Down

Sindroma Down adalah anomali kromosom autosomal yang paling sering

terjadi dan juga secara klinis sering digolongkan pada kategori cacat mental.8

Sindroma Down (trisomi 21 atau mongoloid) pertama kali dijelaskan oleh dr.

Langdon Down pada tahun 1866. Pada saat itu, diagnosis sindroma ini berdasarkan

dari temuan fisik saja. Namun, pada tahun 1956 ditemukan bahwa komplemen

kariotipe normal manusia berjumlah 46 kromosom dan sebelum tahun 1959

ditemuka n bahwa Sindroma Down terkait dengan kromosom ekstra 21 dengan total

47 kromosom. Kariotipe adalah jumlah dan struktur kromosom dalam suatu sel


(21)

Gambar 1. Penderita Sindroma Down2

Sindroma Down adalah kerusakan perkembangan dan berhubungan dengan

kelebihan kromosom pada sepasang kromosom 21.8 Terdapat tiga tipe sindroma

Down, meskipun umumnya tidak ada perbedaan secara klinis dalam tiga genotipe

tersebut, yaitu:

1. Trisomi 21 (95% kasus) karena sepasang kromosom 21 dari sel induk tidak

terpisah (nondisjunct).9

2. Translokasi (3% kasus) terjadi ketika kromosom 21 yang berlebih berpindah

tempat (translokasi) ke kromosom lain, biasanya ke kromosom 13,14,15,21 atau 22

yang paling sering adalah 14.9

3. Mosaicism (2% kasus) yang disebabkan karena kesalahan pada beberapa sel

divisi pertama, sehingga beberapa sel mempunyai 47 kromosom dan sel lain 46


(22)

Etiologi sindroma Down berkaitan dengan masalah nondisjunction kromosom 21 selama oogenesis, sehingga kromosom 21 yang berlebih diberikan ibu kepada

anak.1 Banyak teori berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi tetap

tidak diketahui penyebab yang sebenarnya. Abnormalitas hormon, sinar-x, infeksi

virus, masalah imunologi atau kecenderungan genetik mungkin sebagai penyebabnya,

dapat juga usia ibu diatas 35 tahun berisiko tinggi yaitu 1:30 dan usia ayah yang lebih

tua juga menyebabkan tingginya kemungkinan memperoleh bayi dengan sindroma

Down.8

Ibu dengan usia lanjut mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi

yang menderita sindroma Down. Namun, dari semua populasi ibu yang melahirkan,

75% bayi yang menderita sindroma Down dilahirkan dari ibu dengan usia yang lebih

muda. Hal ini dikarenakan lebih banyak ibu pada usia muda yang melahirkan

dibandingkan ibu yang berusia lanjut. Kemungkinan lahirnya anak dengan sindroma

Down pada kehamilan berikutnya adalah sekitar 1%, tergantung dari usia ibu.10

2.2 Gambaran Klinis Sindroma Down

Sindroma Down hanya membawa penderitaan dalam hidup penderitanya

tetapi jarang menyebabkan kematian. Kadangkala penderita dapat dikenali hanya

dengan melihat kondisi fisiknya. Penderita sindroma Down memiliki gambaran klinis

yang berbeda dengan manusia normal.8

Umumnya sindroma Down mempunyai karakteristik wajah brakisefalus atau

kepalanya lebih kecil daripada normal (mikrosefalus) dan bentuknya abnormal, serta


(23)

berjauhan (strabismus), kelopak mata cenderung miring keatas dan sipit dengan sudut

bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds), pergerakan bola mata konstan

(nystagmus), lesi pada iris mata yang disebut bintik brushfield. Kelainan bentuk

hidung yaitu jembatan hidung yang datar. Kelainan bentuk telinga yaitu telinganya

kecil dan terletak lebih rendah, pada 54% kasus tidak ditemui heliks pada telinga.1

Kaki dan lengan lebih pendek bila dibandingkan dengan anggota keluarganya,

bentuk dada dapat konkaf atau konveks, adanya satu garis horizontal pada bidang

telapak tangan, dan jarak antara jari kaki pertama dengan jari kaki kedua lebar.8

Selain memiliki karakteristik wajah yang berbeda pada orang normal, penderita ini

juga memiliki berbagai macam kelainan sistemik dan kelainan dalam rongga mulut.6

2.3 Kelainan sistemik pada sindroma Down 2.3.1 Kelainan Jantung

Insidens anomali kelainan jantung bawaan muncul 40 % pada balita penderita

sindroma Down. Anomali jantung bawaan tersebut dapat dikoreksi dengan

pembedahan pada saat bayi dan biasanya prognosisnya baik.11 Anomali tersebut

berupa penurunan frekuensi kerja pada defek septum ventrikular, arteri/vena carotis

communis, defek septum arterial dan parent ductus arteriosus.Persentase keadaan abnormal pada jantung yang banyak ditemui pada penderita sindroma Down adalah

perkembangan prolaps katup mitra.8 Adanya anomali tersebut kemungkinan karena

jaringan ikat yang tidak normal pada sindroma Down.1 Bakterial endokarditis dapat


(24)

mengurangi risiko bakterial endokarditis, antibiotika profilaksis dapat menjadi

pertimbangan.8

2.3.2 Kelainan Hematopoesis

Anomali hematopoesis adalah anomali yang berkenaan dengan pembentukan

dan perkembangan sel darah.8 Anomali tersebut ditandai dengan jangka hidup

neutrofil yang pendek, limfopenia, dan eosinopenia serta mediasi sel imunitas dan

susunan serum immunoglobin yang terganggu.11 Penderita ini juga memiliki

defisiensi hormon tiroid yang dapat mengakibatkan menurunnya kebutuhan terhadap

oksigen, sehingga akan menganggu proses hematopoesis yang akhirnya dapat

menimbulkan anemia. Gangguan sistem imun yang dimiliki penderita ini

menyebabkan tingginya insidens infeksi rongga mulut, sistemik, dan penyakit

periodontal sehingga perlu dijelaskan mengenai pentingnya pencegahan infeksi

rongga mulut dengan kunjungan ke dokter gigi secara berkala setiap 3-4 bulan.8

2.3.3 Kelainan Mukoskeletal

Anomali muko skeletal yaitu ketidakstabilan pada atlantoaxial. Dua belas

sampai 20% dari penderita sindroma Down menunjukkan peningkatan kelemahan

ligamen melintang, sehingga dokter gigi harus berhati-hati saat bekerja didaerah

sekitar leher.11 Penurunan derajat tonus otot secara menyeluruh ditemukan pada

sindroma Down sehingga memberi efek pada muskulus kepala, rongga mulut

(atlantoaksial) dan seluruh muskulus skeletal. Hipotonus pada bibir dan dada


(25)

Pada wajah bagian tengah tidak mengalami perkembangan sehingga

menyebabkan prognasi.9 Hidung terjadi penyempitan saluran udara, sebagian

penyempitan karena deviasi septum dan penebalan mukosa. Hal tersebut sering

mempengaruhi pernapasan yang mengakibatkan bernapas melalui mulut. Mulut yang

sering terbuka juga dapat diakibatkan oleh lidah yang terdorong ke bibir.11

2.3.4 Kelainan Sistem Saraf

Pada penderita sindroma Down juga mempunyai anomali sistem saraf yang

melibatkan gangguan berupa anomali fungsi motorik, demensia, retardasi mental

ringan (IQ 67-52) dan sedang (36-51).8 Fungsi motorik pada usia muda masih sangat

halus sehingga koordinasi tubuh terbatas. Namun, koordinasi meningkat sesuai

dengan pertambahan usia.11

Sekitar 30% dari penderita dengan sindroma Down menderita demensia.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa setelah usia 35 tahun, penderita sindroma

Down mengalami tanda-tanda neurologi yang ditemukan dalam penyakit

Alzheimer.11

Penderita sindroma Down lebih mempunyai kemampuan untuk memahami

sesuatu daripada kemampuan verbal.12 Hal ini terkait dengan keterbelakangan mental,

masalah pendengaran, afasia, saliva yang berlebihan, mulut yang terbuka, membran

mukosa kering dan kental, lidah yang relatif besar di dalam rongga mulut yangkecil,

anomali gigi, dan hypotonia. Selain itu, tidak adanya gigi insisivus membuat


(26)

Karakteristik umum pada penderita sindroma Down muda telah digambarkan

dengan spontanitas alami, tulus, lembut, sabar, toleransi, dan jujur. Karakteristik

tersebut dapat memudahkan anak tersebut untuk dirawat di sebuah praktek umum.

Namun, ada juga penderita sindroma Down yang menunjukkan tingkat kecemasan

tinggi, keras kepala dan resistensi terhadap perubahan sehingga lebih sulit untuk

diberikan perawatan.11

2.4 Kelainan Rongga Mulut Pada Sindroma Down

Masalah kesehatan rongga mulut penderita sindroma Down tidak berbeda dari

orang biasa, namun sebagian dari masalah tersebut cenderung berulang dan lebih

parah.5

Gambar 3. Keadaan rongga mulut pada penderita sindroma Down2

Penderita sindroma Down memiliki kelainan lidah seperti makroglosia (lidah

besar), lidah yang berfisur, scallop, dan pembesaran papila lidah, bibir kering,

berfisur, dan tidak teratur. Palatum memiliki lengkung yang tinggi dan mandibula


(27)

Penderita sindroma Down umumnya mengalami maloklusi kelas III. Maloklusi

tersebut terjadi diakibatkan oleh bentuk wajah bagian tengah yang tidak berkembang.

Insidens maloklusi pada sindroma Down dilaporkan sebanyak 32-70% kelas III,

3-32% kelas II, 71% cross bite posterior, dan 5% mengalami open bite. Mikrodontia

juga terjadi pada gigi sulung maupun gigi permanen. Insidens hilangnya gigi

permanen dilaporkan sebanyak 35-43% pada sindroma Down. Gigi yang mengalami

rotasi dan peg shape umumnya sering dialami oleh penderita sindroma Down.1

Insiden karies pada sindroma Down sangat rendah dibandingkan dengan orang

normal.1 Hal ini mungkin dikarenakan bentuk susuna n gigi seperti diastema yang

memperkecil kemungkinan untuk terjadinya impaksi makanan.6

2.5 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

yang terakumulasi dalam plak yang menyebabkan gingiva mengalami peradangan.

Ada dua tipe penyakit periodontal yang biasa dijumpai yaitu gingivitis dan

periodontitis.13

2.5.1 Gingivitis

Gingivitis adalah adanya inflamasi pada jaringan gingiva. Gingivitis merupakan

bentuk penyakit periodontal yang ringan, biasanya gingiva berwarna merah,

membengkak, mudah berdarah, tidak nyeri, dan biasanya terjadi tanpa disadari.

Gingivitis dapat diatasi dengan menyikat gigi dan flossing setiap hari, serta


(28)

2.5.2 Periodontitis

Periodontitis adalah inflamasi yang melibatkan struktur periodontal pendukung.

Periodontitis dapat terjadi apabila inflamasi pada gingiva (gingivitis) yang tidak

dirawat. Inflamasi menyebar dari gingiva ke ligamen dan tulang yang mendukung

gigi. Kehilangan dukungan menyebabkan gigi menjadi mobiliti.13,14

Plak dan kalkulus menumpuk didasar gigi. Inflamasi tersebut menyebabkan

terbentuknya poket periodontal yang berisi plak dan kalkulus. Inflamasi tersebut

akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan tulang di sekitar gigi.14

Penyakit periodontal pada sindroma Down ditandai dengan pembentukan poket

periodontal yang berkaitan dengan penumpukan plak. Temuan tersebut biasanya

menyeluruh (generalisata), meskipun ada kecenderungan lebih parah pada anterior

mandibula.15

2.6 Hubungan Sindroma Down dengan Penyakit Periodontal

Beberapa penelitian secara cross-sectional melaporkan tingginya prevalensi dan

keparahan penyakit periodontal pada kelompok usia yang lebih tua.15,16 Penelitian

oleh Miller dkk pada penderita sindroma Down yang berusia 11-28 tahun selama 1

tahun menyatakan bahwa 55% mengalami gingivitis dan 45% mengalami

periodontitis.16

Terdapat beberapa faktor lokal sebagai pemicu tingginya prevalensi periodontal


(29)

2.6.1 Oral Higiene

Penyakit periodontal dapat dihubungkan dengan kondisi oral higiene yang

buruk.13 Pada penelitian Sakellari dkk melaporkan bahwa kebersihan mulut sindroma

Down umumnya buruk dibandingkan dengan orang yang sehat.17. Kemampuan

penderita sindroma Down untuk melakukan kontrol plak kurang memadai walaupun

telah diberikan instruksi untuk menjaga kebersihan mulut.15 Hal ini mungkin

berhubungan dengan gangguan fungsi motorik sehingga mempunyai gerakan yang

terbatas.11

2.6.2 Bernafas Dengan Mulut Terbuka

Penderita sindroma Down menunjukkan karakteristik anomali orofacial

phenotypical yang mengakibatkan rahang mandibula hipoplastik dan prognatism. Hipoplasia maksila dan tonsil yang membesar, menyebabkan terhambatnya saluran

napas atas sehingga terdapat kecenderungan peningkatan pernapasan dengan mulut.

Bernafas dengan mulut dapat mengurangi self-cleansing dari saliva dan menyebabkan

penumpukan plak.15 Hal ini juga berhubungan dengan xerostomia dan fisur pada

lidah.12 Selain itu, bernafas dengan mulut dapat mempengaruhi jaringan gingiva,

yaitu mengganggu resistensi terhadap infeksi.7

2.6.3 Morfologi Gigi

Beberapa peneliti telah menemukan perbedaan bentuk morfologi mahkota dan

akar pada individu dengan sindroma Down. Secara klinis bahwa mahkota gigi

biasanya lebih pendek dan lebih kecil dari ukuran normal serta mempunyai akar yang


(30)

kecuali molar pertama atas dan insisivus bawah mempunyai ukuran yang kecil tetapi

akar telah sempurna. Rasio perbandingan akar dan mahkota pada insisivus sentral dan

lateral tergantung pada usia penderita. Diperkirakan morfologi gigi seperti akar yang

pendek dapat mempengaruhi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down,

sehingga mempercepat terjadinya kehilangan gigi.12,16

2.6.4 Komposisi Mikrobiologi Plak

Sakellari dkk melaporkan secara signifikan bakteri periopatologi pada sindroma

Down seperti bakteri Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythesis, Actinobacillus actinomycetecomitans, dan Prevotella intermedia lebih tinggi pada penderita sindroma Down daripada orang normal.17 Bakteri Porphyromonas gingivalis ditemuka n sejalan dengan meningkatnya usia.16 Penemuan ini menunjukkan bahwa kolonisasi oleh bakteri periodontal patogen yang signifikan

sering terjadi pada penderita sindroma Down.3

2.6.5 Gingivitis Ulseratif Nekrosis Akut

Prevalensi GUNA pada sindroma Down lebih parah dari orang normal.1 GUNA

dapat mengakibatkan pembentukan poket gusi, yang menyebabkan stagnasi plak, dan

dapat mendukung perkembangan setiap penyakit periodontal.12

Selain faktor lokal, faktor sistemik juga berperan terhadap tingginya prevalensi


(31)

2.6.6 Disfungsi Neutrofil

Neutrofil adalah sel primer utama yang terlibat dalam pertahanan host terhadap

infeksi bakteri. Jangka hidup neutrofil relatif pendek pada penderita sindroma Down

yaitu sekitar 3,7 jam dibandingkan dengan 6,6 jam pada orang sehat sehingga

mempengaruhi fungsi neutrofil. Neutrofil memiliki beberapa reseptor permukaan

yang memungkinkan untuk mengikat dan memfagosit bakteri pada tempat infeksi.

Dalam berbagai tahap penyakit periodontal, terdapat akumulasi neutrofil dalam

jaringan ikat, dan sulkus gingiva.16

2.6.7 Disfungsi Limfosit T

Kemampuan limfosit T perifer pada subjek dengan sindroma Down untuk

mengenali dan merespon antigen yang spesifik berkurang. Selain itu, jumlah reseptor

sel limfosit T pada penderita periodontitis pada subjek dengan sindroma Down lebih

rendah daripada orang yang sehat. Hal ini menyebabkan tingginya infeksi dan

menjadi salah satu faktor tingginya insidens penyakit periodontal.16

2.6.8 Mediator Inflamasi Dan Enzim Proteolitik

Adanya peningkatan migrasi neutrofil ke dalam jaringan dapat mengeluarkan

mediator inflamasi dan enzim proteolitik. Prostaglandin E2 dan matriks

metalloproteinase merupakan mediator inflamasi yang berperan pada proses

periodontitis pada penderita sindroma Down. Bakteri mempunyai peran secara tidak

langsung dalam merangsang inflamasi sehingga menghasilkan mediator inflamasi


(32)

yang akan merusak jaringan ikat gingiva serta memproduksi osteoklas yang

meresorpsi tulang.14

Tingkat rerata prostaglandin E2 (PGE2) dalam cairan krevikular gingiva

(GCF) pada sindroma Down secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan

orang yang sehat. Produksi matriks metalloproteinase secara signifikan lebih tinggi

pada penderita sindroma Down daripada orang yang normal. Matriks

metalloproteinase terdiri dari enzim proteolitik yang secara kolektif menurunkan

matriks ekstra-selular dalam penyakit inflamasi kronis seperti periodontitis.16

2.7 Kebutuhan Perawatan Periodontal

Pada sindroma Down dimana periodontitis dimulai dari usia dini dan tingkat

keparahannya sejalan dengan pertambahan usia sehingga kebutuhan perawatan

periodontal penting untuk dilakukan.7

Dari hasil penelitian, Sakellari dkk melaporkan bahwa perawatan gigi secara

terus menerus, sistematis dan individual dapat menekan perkembangan penyakit

periodontal pada penderita sindroma Down.17

Perawatan dental adalah aspek perawatan kesehatan yang paling sering

diabaikan pada penderita gangguan intelektual. Selain itu, perawatan dental yang


(33)

2.8 Indeks Pemeriksaan Klinis

2.8.1 Community Index of Periodontal Treatment Needs/CPITN

Indeks ini dikembangkan oleh Ainamo dkk yang merupakan anggota komite

ahli WHO pada 1983. Untuk pemeriksaannya didesain suatu prob khusus dengan

ujung bulat berdiameter 0,5 mm dan berkalibrasi atas poket yang dangkal dan poket

yang dalam (dikenal dengan prob WHO). Prob ini digunakan untuk memicu

perdarahan gingiva, meraba kalkulus dan mengukur kedalaman poket. Indeks

komunitas untuk kebutuhan perawatan digunakan untuk mengetahui tingkat

kebutuhan perawatan periodontal yang dibutuhkan pada suatu populasi.14 Penilaian

indeks CPITN pada individu dengan melihat skor terburuk pada tiap sekstan.18

Kriteria pemberian skor untuk menentukan status periodontal dan kebutuhan

perawatannya adalah tampak pada Tabel 1

Tabel 1. Kriteria Indeks Periodontal Komunitas Untuk Kebutuhan Perawatan (Manson J.D, Eley B.M.Periodontics.5th ed.USA:Elsevier Ltd, 2010: 143)

Status Periodontal Kebutuhan Perawatan 0 = Periodontal sehat

1 = Secara langsung atau dengan bantuan kaca mulut terlihat perdarahan gingiva setelah probing

2 = Sewaktu probing terasa adanya kalkulus, tetapi seluruh bagian prob berwarna hitam* masih terlihat

3 = Poket dengan kedalaman 4 atau 5 mm (tepi gingiva berada pada bagian prob berwarna hitam)

4 = Poket dengan kedalaman 6 mm (bagian prob berwarna hitam tidak terlihat lagi)

0 = Tidak membutuhkan perawatan I = Memerlukan perbaikan higiena oral

II = Perbaikan higiene oral + skeling professional

II = Perbaikan higiene oral + skeling professional

IV = Perbaikan higiene oral + skeling professional + perawatan komprehensif


(34)

2.8.2 Kedalaman poket

Kedalaman poket adalah jarak yang diukur dari krista gingiva bebas ke dasar

poket. Pengukuran kedalaman poket dilakukan dengan mengambil nilai rerata dari

tiap gigi.14

Probing dilakukan pada enam sisi setiap gigi, yaitu pada bagian distobukal,

bukal, mesiobukal, distolingual, lingual, dan mesiolingual.18 Probing dimulai dari

interproksimal distal dan mesial gigi pada permukaan vestibular dicatat sebagai poket

mesial, kemudian dilanjutkan pada sebelah interproksimal distal dan mesial

permukaan oral dicatat sebagai poket distal, setelah itu dilakukan pada bagian tengah

gigi permukaan vestibular dan oral dicatat sebagai poket bukal.14

2.8.3 Indeks Oral Higiene

Pada awalnya indeks ini disebut Indeks oral higiene (IOH) yang dikembangkan

oleh Greene dan Vermillion pada tahun 1960 dan empat tahun kemudian dimodifikasi

dengan nama Indeks Oral higiene Simplified (OHIS) mengukur debris dan kalkulus

yang menutupi permukaan gigi, dan terdiri dari dua komponen: Indeks Debris dan

Indeks Kalkulus. Masing – masing skor dijumlahkan dan total skor OHI diperoleh

dari penjumlahan skor debris dan kalkulus. Untuk mengukur rerata OHI adalah

jumlah total skor OHI dibagi dengan jumlah permukaan gigi yang diperiksa.13

Alat yang digunakan adalah kaca mulut dan sonde berbentuk sabit tanpa

menggunakan pewarna plak. Setiap permukaan gigi dibagi secara horizontal atas


(35)

debris, sonde ditempatkan pada sepertiga insisal gigi kemudian digerakkan ke arah

gingiva.19

Tabel 2. Kriteria Skor Indeks Debris Dan Indeks Kalkulus (Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology for the dental hygienist, 3th edition. Saunders, 2007:47)

Indeks Debris Indeks Kalkulus

0 = Tidak dijumpai debris atau stein. 1 = Ada debris lunak menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya stein (bercak)

ekstrinsik tanpa debris dengan tidak memperhitungkan perluasannya

2 = Adanya debris lunak menutupi lebih dari sepertiga tetapi belum sampai dua pertiga permkaan gigi.

3 = Adanya debris lunak menutupi lebih dari duapertiga permukaan gigi.

0 = Tidak dijumpai kalkulus 1 = Adanya kalkulus supraginggiva

menutupi lebih dari sepertiga permukaan gigi

2 =Adanya kalkulus supragingiva menutupi lebih dari sepertiga permukaan gigi tetapi belum melewati dua pertiga permukaan gigi

3 = Adanya kalkulus supragingiva menutupi dua pertiga permukaan gigi atau kalkukus subgingiva mengelilingi serviks gigi

Level kebersihan mulut dari debris yang melekat dapat dikaitkan dengan skor

debris, sedangkan level higiene oral dapat dikaitkan dengan skor OHIS.

Tabel 3. Level Higiene Oral (Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology for the dental hygienist, 3th edition. Saunders, 2007:46-7)

Level Higiene Oral Skor OHI

Baik Sedang

Jelek

0,0 – 1,2 1,3 – 3,0 3,1 – 6,0


(36)

2.8.4 Indeks Perdarahan Papila Modifikasi

Indeks Perdarahan Papila Modifikasi dikemukakan oleh Saxer dan Muhleman

didasarkan pada pengamatan perdarahan gingiva yang timbul setelah prob periodontal

diselipkan ke arah col sebelah mesial gigi yang diperiksa. Dengan tetap

mempertahankan ujung prob menyentuh ujung dasar sulkus. Prob kemudian ditarik

keluar dari sulkus pada sudut mesiovestibular.19 Prosedur ini diulangi pada setiap gigi

yang akan diukur indeks perdarahannya. Kriteria pemberian skor adalah sebagai

berikut:

Tabel 4. Skor Indeks Perdarahan Papila Modifikasi (FA Carranza. Carranza’s clinical periodontologi 10th 2006: 494)

Skor Kriteria 0

1 2 3

Tidak terjadi perdarahan

perdarahan berupa titik- titik kecil

perdarahan berupa titik yang besar atau berupa garis perdarahan menggenang di interdental


(37)

2.9 Kerangka Teori

SINDROMA DOWN

Sistem imun

SINDROMA DOWN

Sistem imun

Fungsi neutrofil Fungsi limfosit T

Host rentan terhadap infeksi

Oral higiene

Bernafas dengan Mulut Morfologi gigi

PENYAKIT PERIODONTAL


(38)

2.10 Kerangka Konsep

2.11 Hipotesis

Hipotesis nol (Ho) :

1. Tidak ada perbedaan kebutuhan perawatan periodontal pada Sindroma Down

di kota Medan berdasarkan jenis kelamin.

2. Tidak ada perbedaan kebutuhan perawatan periodontal pada Sindroma Down

di Kota Medan berdasarkan kelompok usia.

SINDROMA DOWN KEBUTUHAN

PERAWATAN PERIODONTAL

(indeks CPITN)

Usia

Jenis Kelamin

Kebersihan rongga mulut


(39)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional yaitu kelompok kasus

hanya diobservasi satu kali tanpa diberi perlakuan dan variabel-variabel diukur

menurut keadaan atau status sewaktu diobservasi.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

1. SLB-C YPAC Medan Jl. Adinegoro No. 2 Medan Kec. Medan Timur

2. SLB-C Abdi Kasih Jl. Rawe IV kec. Medan Labuhan Martubung

3. SLB-C Taman Pend. Islam Jl. Sisingamangaraja Km. 7 No. 5

Kec. Medan

3.2.2 Waktu Penelitian

Bulan Februari- Maret 2012

3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua murid penderita sindroma Down yang ada di


(40)

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel Penelitian yang diambil adalah murid dengan kelainan genetik

Sindroma Down yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

Kriteria Inklusi :

1. Penderita Sindroma Down

2. Berusia >13 tahun

3. Memiliki minimal 10 gigi

Kriteria Eksklusi :

1. Penderita penyakit kelainan darah seperti trombositopenia

3.3.3 Besar Sampel

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan diambil pada penelitian ini,

penulis menggunakan rumus sebagai berikut:

N =

d2 Zα2

. P . Q

Zα=α=0,05 Zα= 1,96

P = Proporsi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down = 0,9

Q = 1- P = 0,5

d = Perbedaan proporsi yang diharapkan sebesar 10% = 0,1

n =

(0,1)2 (1,96)2 . 0,9 . 0,1

n = 34,5 = 35


(41)

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas

Sindroma Down

3.4.2 Variabel Tergantung

Kebutuhan perawatan CPITN

3.4.3 Variabel Perantara

1. Kedalaman poket

2. Indeks Perdarahan Papila Dimodifikasi

3. Indeks Oral Higiene

3.4.4 Variabel Kendali

1.Usia

2.Jenis Kelamin

3. Kooperatif pasien

3.4.5 Variabel Tidak Terkendali

1. Tingkat ekonomi

2. Pola penyikatan gigi

3. Kebersihan rongga mulut

3.5 Defenisi Operasional

1. Sindroma Down adalah orang dengan cacat mental dengan wajah seperti ras


(42)

2. Kedalaman poket adalah jarak antara dasar poket dengan krista tepi

gingiva.

3. Indeks Oral Higiene adalah pengukuran dengan menggunakan kaca mulut

dan sonde berbentuk sabit tanpa menggunakan pewarna plak. Setiap permukaan gigi

dibagi secara horizontal atas sepertiga gingiva, sepertiga tengah dan sepertiga inisial.

Untuk mengukur indeks debris, sonde ditempatkan pada sepertiga insisal gigi

kemudian digerakkan ke arah gingiva.

4. Indeks perdarahan papila modifikasi dikemukakan oleh Saxer dan

Muhleman didasarkan pada pengamatan perdarahan gingiva yang timbul setelah prob

periodontal diselipkan ke arah col sebelah mesial gigi yang diperiksa. Dengan tetap

mempertahankan ujung prob menyentuh ujung dasar sulkus. Prob kemudian ditarik

keluar dari sulkus pada sudut mesiovestibular. Prosedur ini diulangi pada setiap gigi

yang akan diukur indeks perdarahannya.

5. Indeks Periodontal Komunitas Untuk Kebutuhan Perawatan (CPITN)

digunakan untuk evalusi penyakit periodontal pada survei penduduk dan

merekomendasikan jenis perawatan yang dibutuhkan untuk mencegah penyakit

periodontal dengan prob WHO.

3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian

1. Prob periodontal WHO

2. Pinset, sonde sabit, dan kaca mulut


(43)

3.6.2 Bahan Penelitian

1. Handscoon disposable

2. Masker

3. Kapas

4. Disinfektan

3.7 Prosedur Penelitian

1. Pemilihan sampel sesuai dengan ciri-ciri klinis sindroma Down. Mencari

data diri subjek penelitian di SLB-C tersebut.

2. Sampel terpilih yang memenuhi syarat inklusi dan eksklusi dilakukan

pemeriksaan intraoral dengan pencahayaan senter.

3. Pengumpulan data dilapangan dilakukan oleh peneliti dibantu oleh 3 orang

rekan. Untuk menghindari kesalahan pengukuran maka kepada pengumpul data

diberikan pelatihan dan kalibrasi sehingga diperoleh persepsi yang sama dan

konsisten.

4. Pemeriksaan intraoral terhadap subjek dilakukan dengan kaca mulut, sonde ,

dan prob periodontal. Pemeriksaan intraoral yang dilakukan pada penelitian bertujuan

untuk mendapatkan status periodontal pasien dengan cara memeriksa perdarahan

gingiva, meraba kalkulus dan mengukur kedalaman poket. Guna status periodontal

tersebut untuk menentukan skor kebutuhan perawatan pada pasien tersebut. Hasil

skor tersebut diisi pada tabel oleh mahasiswa peneliti. Jika sewaktu awal pemeriksaan

dilihat skor tertinggi yaitu skor 4, pemeriksaan tidak dilanjutkan ke gigi lain tetapi


(44)

3.8 Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan program

SPSS versi 20. Uji ststistik yang dipakai adalah uji chi square. Apabila nilai


(45)

3.9 Skema alur penelitian

Mencari sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi

Melakukan pemeriksaan klinis : 1.Indeks Oral Higiene (OHIS)

2. Indeks Perdarahan papila Dimodifikasi (IPPD)

3. Kedalaman Poket

4. Indeks CPITN

Pencatatan hasil

Meminta kesediaan orang tua/wali sampel untuk mengikuti penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

Analisis data


(46)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari s/d Maret 2012 di tiga SLB-C

Kota Medan yaitu SLB-C YPAC Medan, SLB-C Abdi Kasih dan SLB-C Taman

Pendidikan Islam. Pemilihan subjek berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

sebanyak 35 orang penderita sindroma Down.

Untuk mengetahui kebutuhan perawatan periodontal diadakan pemeriksaan

klinis dengan menggunakan indeks kedalaman poket, indeks perdarahan dan indeks

oral higiene, dan pemeriksaan CPITN.

Hasil penelitian mengenai perbedaan kebutuhan perawatan periodontal pada

sindroma Down di Kota Medan akan disajikan dalam bentuk tabel berikut.

4.1 Data Demografis Subjek Penelitian

Data demografis subjek penelitian ini terdiri dari jenis kelamin, usia, dan


(47)

Tabel 5. Data Demografis Penderita Sindroma Down

Variabel Kelompok

Pengamatan

Jumlah Persentase

Jenis Kelamin Sindroma Down a. Perempuan b. Laki-laki 15 20 42,9 57,1

Total 35 100%

Usia (%) Sindroma Down

a. 13 – 17 b. 18 - 22 c. 23> 15 11 9 42,9 31,4 25,7

Total 35 100%

Kebersihan Mulut (OHIS) Sindroma Down Ringan Sedang Berat 10 12 13 28,6 34,3 37,1

Total 35 100%

Kedalaman Poket Sindroma Down Ringan (1-3 mm) Sedang (4-5 mm) Parah (>5 mm)

29 6 0 82,9 17,1 0

Total 35 100%

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa subjek penelitian berjumlah 35 orang.

Mayoritas subjek penelitian adalah laki-laki yaitu 20 orang (57,1%) sedangkan

perempuan 15 orang (42,9%).

Seluruh subjek penelitian memiliki rentang usia dari usia 13 tahun sampai

usia lebih dari 23 tahun. Subjek terbanyak pada sindroma Down adalah pada rentang

usia 13-17 tahun yaitu sebanyak 15 orang (42,9%), pada usia 18-22 tahun sebanyak

11 orang (31,4%), sedangkan yang paling sedikit adalah pada rentang usia lebih dari

23 tahun sebanyak 9 orang (25,7%).

Kebersihan mulut (OHIS) pada subjek penelitian terbanyak yaitu kebersihan

mulut buruk sebanyak 13 orang (37%), sedang sebanyak 12 orang (34%) dan yang


(48)

Berdasarkan kedalaman poket, mayoritas subjek penelitian mengalami

kedalaman poket ringan yaitu sebanyak 29 orang (83%), sedangkan kedalaman poket

sedang ditemukan pada 6 orang (17%), dan tidak ditemukan adanya kedalaman poket

parah.

4.2 Indeks CPITN

Distribusi indeks CPITN pada subjek penelitian akan disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Indeks CPITN Pada Penderita Sindroma Down

Variabel Skor N (%) akumulasi

Indeks CPITN Skor 0 5 (14,3%) 14,3

Skor 1 6 (17,1%) 31,4

Skor 2 14 (40%) 71,4

Skor 3 10 (28,6%) 100

Skor 4 0 (0%) 100

Pada tabel 6 terlihat bahwa skor CPITN penderita sindroma Down yang

memiliki skor 0 sebanyak 5 orang (14,3%), skor 1 sebanyak 6 orang (17,1%), skor 2

sebanyak 14 orang (40%), skor 3 sebanyak 10 orang (28%).

4.3 Distribusi Jenis Kelamin dan Kelompok Usia pada Rerata Sekstan Indeks CPITN

Distribusi jenis kelamin dan kelompok usia terhadap rerata sekstan indeks


(49)

Tabel 7. Rerata Sekstan Indeks CPITN Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Subjek Penelitian

Variabel Rerata Sektan Indeks CPITN

0 1 2 3 4

Laki-laki 1,6 4,35 2,9 1,2 0

Perempuan 1,23 4,6 3,6 0,2 0

Dari tabel 7, terlihat bahwa rerata sekstan indeks CPITN terbesar pada

laki-laki yaitu skor 1(4,35) sedangkan rerata terkecil pada skor 4 (0). Pada subjek

penelitian perempuan, rerata sekstan indeks CPITN terbesar adalah skor 1 (4,6),

sedangkan rerata terkecil pada skor 4 (0).

Tabel 8. Rerata Sektan Indeks CPITN Berdasarkan Kelompok Umur Pada Subjek Penelitian

Variabel Rerata Sektan Indeks CPITN

0 1 2 3 4

13 – 17 2,47 3,87 2,87 0,47 0

18 – 22 1,63 4,36 2,45 0,09 0

>23 0,33 5,67 4,9 2,22 0

Dari tabel 8, terlihat bahwa kelompok usia 13-17 tahun mempunyai rerata

terbesar pada skor 1(3,87), sedangkan rerata terkecil pada skor 4 (0). Rerata terbesar

pada kelompok usia 18-22 tahun adalah pada skor 1(4,36), sedangkan rerata terkecil

pada skor 4 (0). Pada usia diatas 23 tahun rerata terbesar berada pada skor 1(5,67),

sedangkan rerata terkecil pada skor 4(0).

4.4 Korelasi Antara Jenis Kelamin dengan Indeks CPITN

Uji korelasi antara jenis kelamin dengan indeks CPITN menggunakan uji chi

square. Nilai p<0,05 dinyatakan terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel


(50)

antara dua variabel yang diuji. Perbandingan indeks CPITN penderita sindroma

Down pada laki – laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Korelasi Jenis Kelamin Dengan Indeks CPITN Pada Sindroma Down

Variabel Total

P= 0,408*

N %

Laki-laki 20 57,1

Perempuan 15 42,9

Keterangan : *uji chi-square ; p<0,05 = bermakna

Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi bermakna

(p>0,05) antar jenis kelamin pada sindroma Down dengan indeks CPITN. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan

perubahan kebutuhan perawatan periodontal (p=0,408).

4.5 Korelasi Antara Kelompok Usia dengan Indeks CPITN

Uji korelasi antara jenis kelamin dengan indeks CPITN menggunakan uji T.

Nilai p<0,05 dinyatakan terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang

diuji sedangkan nilai p>0,05 artinya tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua

variabel yang diuji. Perbandingan indeks CPITN penderita sindroma Down pada


(51)

Tabel 10. Korelasi Kelompok Usia Dengan Indeks CPITN Pada Sindroma Down

Variabel Total P

N %

13 – 17 15 42,9 P = 0,9

18 – 22 11 31,4

13 – 17 15 42,9 P = 0,01

>23 9 25,7

18 – 22 11 31,4 P = 0,002

>23 9 25,7

Keterangan : uji T ; p<0,05 = bermakna

Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya korelasi bermakna (p<0,05)

antara indeks CPITN dengan kelompok usia. Pada perbandingan usia 13 – 17 tahun

dengan 18 – 22 tahun tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna (p > 0,05).

Namun pada perbandingan usia 13- 17 tahun dengan usia >23 tahun dan

perbandingan usia 18 - 22 tahun dengan usia >23 tahun menunjukkan adanya korelasi


(52)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penyakit periodontal dapat didefinisikan sebagai proses patologis yang

mengenai jaringan periodontal yang disebabkan oleh faktor etiologi lokal dalam

mulut, khususnya plak dan bakteri. Namun, ada penyebab sistemik yang dapat

mempengaruhi kondisi periodontal, salah satunya adalah sindroma Down.13 Sindroma

Down adalah anomali kromosom autosomal yang paling sering terjadi dan juga

secara klinis sering digolongkan pada kategori cacat mental.8 Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kebutuhan perawatan periodontal

berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin pada sindroma Down.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa minoritas skor

CPITN pada subjek adalah skor 0 sebanyak 5 orang yaitu keadaan periodontal yang

sehat sehingga tidak memerlukan perawatan periodontal. Mayoritas skor CPITN pada

subjek adalah skor 2 sebanyak 14 orang yaitu membutuhkan peningkatan oral higiene

dan perawatan skeling. Hal ini berbeda dengan penelitian Bagic dkk yang

menyatakan bahwa mayoritas skor CPITN pada penderita sindroma Down di kroasia

adalah skor 1 sebanyak 35% yaitu peningkatan oral higiene.20 Hasil skor tersebut

berbeda kemungkinan disebabkan oleh kurangnya tingkat pengetahuan untuk

menjaga kesehatan rongga mulut.

Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak adanya


(53)

dikarenakan kondisi intelegensi yang sama dan berada dalam lingkungan yang

hampir sama.

Hasil penelitian berdasarkan kelompok usia menunjukkan bahwa tidak

terdapat korelasi yang signifikan kebutuhan perawatan periodontal antara kelompok

umur 13-17 tahun dengan kelompok umur 18-22 tahun berdasarkan indeks CPITN

(p> 0,05). Namun, pada korelasi kebutuhan perawatan periodontal antara kelompok

umur 13-17 tahun dengan usia >23 tahun dan antara kelompok usia 18-22 tahun

dengan usia >23 tahun menunjukkan korelasi yang bermakna (p<0,05). Hasil

penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bagic dkk yang

menunjukkan bahwa skor kebutuhan perawatan periodontal makin besar seiring

dengan bertambahnya usia.20 Hal tersebut terjadi dikarenakan berkurangnya fungsi

sistem imun pada sindroma Down seiring dengan bertambahnya usia serta kondisi

oral higiene yang buruk memperparah kondisi periodontal.16

Mekanisme terjadi penyakit periodontal pada sindroma Down belum

diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian bahwa buruknya kondisi kebersihan

mulut pada sindroma Down yang menyebabkan berkembangnya penyakit

periodontal.20 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

mayoritas kebersihan mulut pada penderita sindroma Down mengalami kebersihan

mulut yang buruk (37,1%). Namun, beberapa hal lain seperti makroglosia, maloklusi,

akar pendek, bruksism, perubahan komponen saliva dan sistem imun yang tidak baik

juga berperan dalam penyakit periodontal.20

Gangguan sistem imun yang dimiliki penderita ini menyebabkan tingginya


(54)

penjelasan pada pengasuh mengenai pentingnya pencegahan infeksi rongga mulut

dengan kunjungan ke dokter gigi dan harus dilakukan pemeliharaan rongga mulut

sehari-hari. Penderita sindroma Down dapat dirawat di praktek pribadi dengan

beradaptasi pada tingkah laku penderita. Pengetahuan mengenai keadaan penderita

sindroma Down akan membantu dokter gigi memberikan pencegahan, menentukan

rencana perawatan, dan melakukan rencana yang terbaik bagi keadaan gigi dan


(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kebutuhan

perawatan periodontal dengan jenis kelamin pada sindroma Down di kota Medan.

2. Terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kebutuhan

perawatan periodontal dengan kelompok usia pada sindroma Down di kota Medan.

3. Keadaan oral higiene pada sindroma Down cenderung buruk.

6.2 Saran

1. Penderita sindroma Down serta orang tua/wali diberikan pengetahuan

tentang pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut karena banyak komplikasi yang

terjadi pada rongga mulut bila tidak dijaga kebersihannya.

2. Penderita sindroma Down diintruksikan untuk perawatan berkala minimal 3

bulan sekali untuk mencegah penyakit periodontal yang dimulai dari usia dini.

3. Diharapkan pada sekolah – sekolah yang mempunyai murid dengan

keterbelakangan mental bekerjasama dengan institusi kedokteran gigi atau Organisasi

Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rongga


(56)

4. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya gunakan

sampel yang lebih besar dan dilakukan tidak hanya pada Sekolah Luar Biasa (SLB)


(57)

DAFTAR RUJUKAN

1. Southern Association of Institutional Dentist. Down Syndrome: a review for

dental professional. In Self-Study Course Module 3, 1994: 1-9.

2. Frydman A, Nowzari H. Down Syndrome-Associated Periodontitis: A Critical

Review of the Literature.Compedium Of Continuing Education In Dentistry.2010;31(8):2-7

3. Khocht A, Heaney K, Janal M, Turner B.Association of interleukin-1 polymorphisms with periodontitis in Down syndrome.J oral science 2011;53(2): 193-202.

4. Khocht A, Janal M, Turner B.Periodontal health in Down syndrome: contributions of mental disability, personal, and professional dental care.Spec care Dentist 2010; 30: 118-123.

5. National Institute of Child Health and Human Development Information

Resource Center. Practical oral care for people with Down syndrome.

Rockville: 2008:2-7.

6. Shore S, Lightfoot T, Ansell P. Oral disease in children with Down

Syndrome: causes and prevention. Community Practitioner 2010;83(2):18-21. 7. Yoshihara T, Morinushi T, Kinjyo S, Yamasaki Y. Effect of periodic care on

the progressiom of periodontal disease in young adult with Down syndrome.J Clin Periodontal 2005;32:556-60.

8. Lubis WH, Sitepu MOH. Prinsip penanggulangan gigi dan mulut penderita sindroma Down. Dentika Dent J 2006; 11(1): 62-5.


(58)

9. Yadav NS. Short question and answers in oral medicine and oral pathology.

New Delhi: AITBS Publisher, 2001: 291-3.

10.Scully C, Cawson RA. Medical problems in dentistry. 5th ed. New Delhi:

Churcill Livingstone, 2005: 54-5,156-7,423-5.

11.Desai SS.Down syndrome: A review of the literature. Oral Surg, Oral Med,

Oral Radiol, Oral Pathol and Endodontics 1997; 84 (3) : 279-85.

12.Pilcher E.S. Dental Care for the Patient With Down Syndrome. Down

syndrome Research and Practice 1998; 5(3):111-16.

13.Pintauli S, Hamada T.Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan

pemeliharaan.Medan:USU Press,2010:25-27,33-34.

14.Manson J.D, Eley B.M.Periodontics.5th ed.USA:Elsevier Ltd, 2010:112-19, 142-5.

15.Reulan-Bosma W,Van Dijk L.J. Periodontal disease in Down Syndrome: A

review. J Clin Periodontal 1986;13:64-73.

16.Morgan J. Why is periodontal disease more prevalent and more severe in

people with Down syndrome?Spec Care Dentist 2007; 30: 118-123.

17.Sakellari D, Araspostathis KN, Konstantinidis A. Periodontal conditions and subgingiva microflora in Down syndrome patients.A case control study. J Clin Periodontal 2005; 32: 684-90.

18.Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology for the dental hygienist, 3th edition. Saunders, 2007: 44-51, 173.

19.Carranza FA. Glickman’s clinical periodontology, 6th edition. Saunders,1984: 309-341.


(59)

20.Bagic I,Verzak Z,Cukovic-Cavka S,Brkic H,Susic M. Periodontal conditions in individuals with Down’s Syndrome. Coll. Antropol 2003; 27(2): 75-82.


(1)

penjelasan pada pengasuh mengenai pentingnya pencegahan infeksi rongga mulut dengan kunjungan ke dokter gigi dan harus dilakukan pemeliharaan rongga mulut sehari-hari. Penderita sindroma Down dapat dirawat di praktek pribadi dengan beradaptasi pada tingkah laku penderita. Pengetahuan mengenai keadaan penderita sindroma Down akan membantu dokter gigi memberikan pencegahan, menentukan rencana perawatan, dan melakukan rencana yang terbaik bagi keadaan gigi dan rongga mulut penderita sindroma Down.8


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kebutuhan perawatan periodontal dengan jenis kelamin pada sindroma Down di kota Medan.

2. Terdapat perbedaan yang bermakna secara signifikan antara kebutuhan perawatan periodontal dengan kelompok usia pada sindroma Down di kota Medan.

3. Keadaan oral higiene pada sindroma Down cenderung buruk.

6.2 Saran

1. Penderita sindroma Down serta orang tua/wali diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut karena banyak komplikasi yang terjadi pada rongga mulut bila tidak dijaga kebersihannya.

2. Penderita sindroma Down diintruksikan untuk perawatan berkala minimal 3 bulan sekali untuk mencegah penyakit periodontal yang dimulai dari usia dini.

3. Diharapkan pada sekolah – sekolah yang mempunyai murid dengan keterbelakangan mental bekerjasama dengan institusi kedokteran gigi atau Organisasi Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rongga mulut secara berkala.


(3)

4. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya gunakan sampel yang lebih besar dan dilakukan tidak hanya pada Sekolah Luar Biasa (SLB) saja sehingga dapat meningkatkan keakuratan dalam penelitian tersebut.


(4)

DAFTAR RUJUKAN

1. Southern Association of Institutional Dentist. Down Syndrome: a review for

dental professional. In Self-Study Course Module 3, 1994: 1-9.

2. Frydman A, Nowzari H. Down Syndrome-Associated Periodontitis: A Critical

Review of the Literature.Compedium Of Continuing Education In

Dentistry.2010;31(8):2-7

3. Khocht A, Heaney K, Janal M, Turner B.Association of interleukin-1

polymorphisms with periodontitis in Down syndrome.J oral science

2011;53(2): 193-202.

4. Khocht A, Janal M, Turner B.Periodontal health in Down syndrome: contributions of mental disability, personal, and professional dental care.Spec care Dentist 2010; 30: 118-123.

5. National Institute of Child Health and Human Development Information Resource Center. Practical oral care for people with Down syndrome. Rockville: 2008:2-7.

6. Shore S, Lightfoot T, Ansell P. Oral disease in children with Down

Syndrome: causes and prevention. Community Practitioner 2010;83(2):18-21.

7. Yoshihara T, Morinushi T, Kinjyo S, Yamasaki Y. Effect of periodic care on

the progressiom of periodontal disease in young adult with Down syndrome.J

Clin Periodontal 2005;32:556-60.

8. Lubis WH, Sitepu MOH. Prinsip penanggulangan gigi dan mulut penderita


(5)

9. Yadav NS. Short question and answers in oral medicine and oral pathology. New Delhi: AITBS Publisher, 2001: 291-3.

10.Scully C, Cawson RA. Medical problems in dentistry. 5th ed. New Delhi: Churcill Livingstone, 2005: 54-5,156-7,423-5.

11.Desai SS.Down syndrome: A review of the literature. Oral Surg, Oral Med, Oral Radiol, Oral Pathol and Endodontics 1997; 84 (3) : 279-85.

12.Pilcher E.S. Dental Care for the Patient With Down Syndrome. Down syndrome Research and Practice 1998; 5(3):111-16.

13.Pintauli S, Hamada T.Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan pemeliharaan.Medan:USU Press,2010:25-27,33-34.

14.Manson J.D, Eley B.M.Periodontics.5th ed.USA:Elsevier Ltd, 2010:112-19, 142-5.

15.Reulan-Bosma W,Van Dijk L.J. Periodontal disease in Down Syndrome: A review. J Clin Periodontal 1986;13:64-73.

16.Morgan J. Why is periodontal disease more prevalent and more severe in

people with Down syndrome?Spec Care Dentist 2007; 30: 118-123.

17.Sakellari D, Araspostathis KN, Konstantinidis A. Periodontal conditions and

subgingiva microflora in Down syndrome patients.A case control study. J Clin

Periodontal 2005; 32: 684-90.

18.Perry DA, Beemsterboer PL. Periodontology for the dental hygienist, 3th edition. Saunders, 2007: 44-51, 173.

19.Carranza FA. Glickman’s clinical periodontology, 6th edition. Saunders,1984: 309-341.


(6)

20.Bagic I,Verzak Z,Cukovic-Cavka S,Brkic H,Susic M. Periodontal conditions