BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Down 2.1.1 Definisi dan Karakteristik Sindrom Down - Gambaran Maloklusi dan Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di SLB-C Kota Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Down

2.1.1 Definisi dan Karakteristik Sindrom Down

  Sindrom Down merupakan salah satu bentuk retardasi mental akibat kelainan genetik atau kelainan kromosom yang paling sering terjadi. Banyak kelainan kromosom yang mengakibatkan terjadinya retardasi mental pada anak, seperti yang

  

9,10

  disebut dengan trisomi 13 atau trisomi 18. Pada anak sindrom Down yang terjadi

  1-3 adalah terdapatnya gangguan atau kelainan pada kromosom 21.

  Retardasi mental bisa didefinisikan sebagai kemampuan intelektual yang signifikan di bawah rata-rata.Keadaan ini bisa didiagnosa dari hasil tes IQ yang menunjukkan hasil yang berkisar antara 70 hingga kurang dari 20. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi individu dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, merawat diri, menjaga keselamatan diri, melakukan aktivitas di rumah, kemampuan sosial, intrapersonal, perkerjaan, penggunaan transportasi dan teknologi serta kemampuan akademik yang sangat rendah dibandingkan kemampuan rata-rata individu di usianya. Di balik keterbelakangan mental tersebut, anak sindrom Down dikenal sebagai sindrom

  9,10 dengan kemampuan sosial yang cukup baik.

  Sindrom ini tidak hanya ditandai dengan retardasi mental, secara fisik pun anak sindrom Down memiliki karakteristik yang khas, seperti lemahnya fungsi tonus otot, wajah datar, kepala bagian belakang datar, mata sipit tertarik agak ke atas, kemampuan pergerakan sendi yang berlebihan, bentuk telinga yang tidak beraturan dan cenderung kecil, jarak yang lebar antar ibu jari kaki dengan jari di sebelahnya,

  3,5 mulut mungil, dan tangan serta kaki yang juga mungil.

  Anak sindrom Down sering memiliki berbagai masalah medis dan kelainan psikologis yang menyertainya. Masalah medis yang dialaminya antara lain infeksi, kelainan jantung, leukemia, tiroid, pendengaran, penglihatan, masalah tidur, dan dementia. Infeksi yang dialaminya bisa berupa infeksi saluran pernafasan, infeksi yang tampak di sekitar kulit yang kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas sistem imun. Anak sindrom Down sering mengalami kelainan jantung yang mempengaruhi keselamatan hidupnya saat baru lahir dan juga 10-20 kali berpotensi mengalami leukemia. Kesulitan tidur yang dialami mereka berkaitan dengan obstrusksi jalan nafas akibat makroglosia, pembesaran adenoid, dan berbagai faktor predisposisi lainnya.Anak sindrom Down juga dilaporkan memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, kelenjar tiroid yang tidak berfungsi dengan baik, dan dementia yang

  

3,10-12

nantinya akan berkaitan dengan alzheimer.

  Anak sindrom Down umumnya koperatif dalam perawatan dental. Mereka tidak memerlukan cara khusus dalam pendekatan tingkah laku karena mereka senang bersahabat dengan orang lain. Dokter gigi hanya perlu memperhatikan kontrol oral

  hygiene . Saat penanganan gigi dan rongga mulut di klinik, diusahakan melakukannya

  dengan hati-hati dan menjaga jaringan lunaknya jangan sampai terluka karena

  13,14 kontrol tonus ototnya yang lemah.

2.1.2Etiologi Sindrom Down

  Secara umum, etiologi retardasi mental terbagi atas 2, yaitu retardasi mental dengan penyebab organik yang diketahui dan retardasi dengan dasar patologi yang belum jelas.Retardasi mental dengan penyebab organik terbagi atas abnormalitas kromosom/gen, toksin dari lingkungan, defisiensi nutrisi, penyakit infeksi, dan injuri. Sindrom Down termasuk retardasi mental yang disebabkan oleh abnormalitas

  10

  komosom/gen. Hingga saat ini, para ahli masih percaya tentang keterlibatan kromosom 21 sebagai penyebab sindrom Down dengan patofisiologi yang bervariasi.

  Chapman dan Hesketh menjelaskan bahwa sindrom Down disebabkan oleh kromosom ke-21 dari ibu yang non-Disjunction yakni gagal berpisah saat meiosis berlangsung. Saat kromosom ini bergabung dengan kromosom ayah, anak menerima 3 copy kromosom 21 sehingga disebut trisomi 21. Penyebab terjadinya non-

  Disjunction masih belum diketahui. Namun, untuk sementara diduga berkaitan erat 3,10,11 dengan umur ibu saat mengandung.

  Non-Disjunction yang terjadi menyebabkan embrio memiliki 3 salinan kromosom 21, dimana yang normal seharusnya 2 salinan saja, sehingga anaksindrom Down memiliki 47 pasang kromosom. Ada juga yang berpendapat bahwa kegagalan berpisahnya kromosom 21 tidak hanya terjadi pada meiosis sel ovum, tetapi juga bisa

  10,11 terjadi pada sel sperma.

  15 Gambar 2.1Karyotipe anak sindrom Down

  Kelainan kromosom ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak.Pengaruhnya sering berupa ukuran otak yang 25% lebih kecil dari seharusnya. Keadaan ini berdampak terhadap kurangnya inteligensia (rata-rata IQ:50) dan kurang

  10

  berkembangnya kemampuan mereka dalam berbahasa dan berekspresi. Selain genetik, paparan agen infeksi, penggunaan kontrasepsi, merokok selama kehamilan, paparan radiasi, paparan insektisida, dan tinggal di dekat pembuangan sampah atau

  11 limbah sering menjadi faktor risiko terjadinya sindrom Down pada calon bayi.

2.1.3 Klasifikasi Sindrom Down

  Tidak ada literatur yang menjelaskan tentang pembagian sindrom Down secara spesifik. Namun, baik sindrom Down maupun berbagai jenis retardasi mental lainnya dapat didiagnosa dan dibagi atas 5 level intelektual dibawah rata-rata sebagai berikut:

  1. Mild Mental Retardation Anak golongan ini memiliki rentang IQ antara 50-70. Mereka masih bisa berkembang, menjadi mandiri seperti makan atau berpakaian sendiri dengan bantuan minimal dari orang lain. Mereka mampu berbicara yang dimengerti dengan baik oleh orang lain, menulis kata-kata sederhana, dan mampu bergaul dengan baik. Terkadang mereka mampu beradaptasi dengan sekolah biasa walaupun lambat laun akan sedikit mengalami ketertinggalan dibandingkan teman sekelasnya. Anak dengan level IQ ini mampu lulus SMA hingga bekerja pada sektor pekerjaan tidak terlatih maupun semi- terlatih.

  2. Moderate Mental Retardation Sindrom Down golongan ini, mempunyai rentang IQ 40-55. Mereka memiliki keterlambatan perkembangan kemampuan berbahasa, seperti hanya mampu menggunakan 4-10 kata saja pada usia 3 tahun. Anak golongan ini tidak mampu beradaptasi dengan sekolah biasa, sehingga perlu dimasukkan ke sekolah khusus untuk kelancaran proses pembelajaran akademiknya. Ketika dewasa, mereka tidak bisa diperbolehkan melakukan aktivitas harian seperti berbelanja atau memasak tanpa didampingi.

  3. Severe Mental Retardation Rentang IQ golongan ini berkisar antara 20-40.Mereka memiliki kosa kata yang sangat terbatas dan hanya mampu berbicara sebatas 2-3 kalimat.Demikian juga dengan kemampuan motorik yang cukup lemah, sehingga tidak bisa bermain dengan mainan mereka ketika kecil.Saat beranjak dewasa, mereka hanya mampu berpakaian sendiri dengan jenis pakaian yang sederhana dan hanya sebagian dari mereka yang bisa bekerja pada bidang pekerjaan yang tidak terlatih.

  4. Profound Mental Retardation Retardasi mental golongan ini memiliki IQ dibawah 20.Mereka harus didampingi penuh dalam setiap aktivitasnya.Anak golongan ini mampu makan sendiri dengan sendok tetapi tidak dengan garpu atau pisau.Ketika dewasa, mereka hanya mampu menguasai 300-400 kosa kata.Oleh karena kemampuan berinteraksi yang kurang, mereka cenderung tidak bersosialisasi dengan baik.Namun mereka masih mampu mengerti perkataan berupa kalimat-kalimat perintah yang sederhana. Banyak orang dengan klasifikasi retardasi mental ini, memiliki usia harapan hidup

  9,10 lebih rendah dari rata-rata akibat berbagai penyakit yang sering menyertainya.

  5. Mental Retardation, Severity Unspecified Golongan ini diyakini kuat memiliki kriteria adanya retardasi mental, tetapi inteligensianya tidak dapat ditentukan berdasarkan tes standar.

  Pembagian ini dilakukan berdasarkan hasil tes IQ yang diberikan kepada anak. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan sekolah atau kelas mana yang sesuai ditempati oleh anak agar mampu menyerap materi pembelajaran dengan baik sesuai

  10 kemampuannya tanpa merasa tertinggal dibanding teman-temannya.

2.2 Manifestasi Oral pada Anak dengan Sindrom Down

  Sebelum membahas lebih lanjut dan spesifik tentang maloklusi pada anak sindrom Down, pada subbab ini akan terlebih dahulu dibahas secara singkat mengenai berbagai manifestasi oral yang khas terjadi pada anak sindrom Down. Adapun manifestasi oral yang terjadi pada anak sindrom Down adalah sebagai berikut:

  1. Jaringan lunak Manifestasi oral umum yang sering dijumpai pada sindrom Down antara lain makroglosia, bibir bawah lebih tebal dan kering, geographic dan fissured tongue.

  Makroglosia merupakan ukuran lidah yang relatif lebih besar dari ukuran seharusnya di dalam mulut. Pada anak sindrom Down, yang terjadi sebenarnya bukan ukuran lidahnya yang membesar, tetapi pertumbuhan rahang terhambat ditambah kemampuan tonus otot yang lemah membuat lidah mereka seolah-olah besar dan

  protruded . Selain kontrol lidah yang kurang baik, kelemahan tonus otot juga

  membuat kemampuan menghisap ASI berkurang serta kesulitan menstabilkan rahang.

  Makroglosia mengakibatkan mulut sering terbuka dan hal ini menyebabkan terjadinya bernapas melalui mulut.Bernapas melalui mulut ini menyebabkan bibir kering, fissured tongue, dan angular cheilitis.Oral hygiene buruk dikombinasikan dengan hipersalivasi menyebabkan jaringan periodonsium yang tidak sehat. Selain itu, kelainan sistem imun juga turut berkontribusi terhadap penyakit periodontal yang

  1,2 cukup sering dideritanya.

  2. Maloklusi Keadaan ini sering dijumpai pada anak sindrom Down. Selain itu, juga sering ditemukan terdapatnya malalignment dan hubungan rahang kelas III berdasarkan

  1,2,13 klasifikasi Angle.

  3. Jaringan Keras Adapun berbagai kelainan jaringan keras di rongga mulut yang sering ditemukan pada anak sindrom Down antara lain: mikrodontia, perubahan morfologi dan bentuk mahkota seperti conical teeth, gigi yang sudah erosi, akar pendek, hipoplasia enamel, hipokalsifikasi, enamel dan dentin yang tipis, taurodontism,

  1,2,16 hipodontia, supernumerary teeth, dan keterlambatan erupsi.

  2 Gambar 2.2 Manifestasi oral pada anak sindrom Down.

2.3 Oklusi

  Oklusi memiliki definisi yang cukup kompleks.Angle secara sangat sederhana mendefinisikan oklusi sebagai relasi normal dari inklinasi dataran oklusal gigi-gigi pada saat rahang tertutup.Terdapat banyak istilah yang berkaitan dengan oklusi. Secara lebih mendalam dapat dijabarkan bahwa oklusi merupakan fenomena kompleks yang melibatkan gigi, ligamen periodontal, rahang, sendi

  17 temporomandibular, otot, dan sistem persarafan. Menurut Lawrence Andrews, oklusi normal memiliki 6 kunci, antara lain: cusp mesiobukal M1 berkontak pada groove antara cusp mesial dan medial bukal M1 bawah, porsi gingiva dari sumbu tiap mahkota gigi lebih ke distal dari porsi oklusi sumbu tersebut, inklinasi mahkota gigi insisivus atas lebih ke labial sedangkan untuk gigi sisanya lebih ke lingual, tidak ada rotasi, tidak ada jarak, dan dataran oklusal datar. Namun kenyataannya, tidak ada oklusi ideal yang dapat terjadi pada manusia. Ini hanya merupakan konsep teoritis yang penting diketahui untuk menjadi acuan

  17,18 bagaimana oklusi paling baik itu seharusnya.

2.4 Maloklusi

  2.4.1 Definisi Maloklusi

  Maloklusi dapat didefinisikan sebagai deviasi oklusi yang keluar dari kaedah oklusi ideal yang menimbulkan ketidakpuasan baik secara estetik maupun fungsi. Maloklusi dapat terjadi dalam berbagai bentuk sehingga dibutuhkan klasifikasi yang jelas agar mudah menetukan perawatan serta mengomunikasikannya kepada

  17-19 pasien.

  2.4.2 Etiologi Maloklusi

  Maloklusi disebabkan oleh banyak faktor.Graber membagi faktor tersebut menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor umum.Faktor lokal yang berperan terhadap terjadinya maloklusi adalah anomali dental.Anomali dental yang terjadi bisa berupa anomali dari segi jumlah, bentuk, dan ukuran gigi. Faktor lokal lainnya yang berperan adalah labial frenulum yang abnormal, premature loss, persistesi, gigi permanen yang mengalami delayed eruption, eruptive path yang abnormal, ankilosis,

  

17

karies, dan restorasi dental yang tidak baik.

  Faktor umum yang ikut berkontribusi terhadap timbulnya maloklusi antara lain hereditas, kongenital, lingkungan, penyakit metabolik, defisiensi nutrisi, postur tubuh, trauma, dan kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari, tongue thrusting, menggigit kuku, bruxism, bernapas melalui mulut, dan sebagainya. Ada juga literatur yang menambahkan etiologi dari faktor fisiologi seperti aktivitas otot, pembentukan dan kekuatan jaringan lunak, serta hormon pertumbuhan yang berlebihan dari faktor

  17-19 patologi.

2.4.3 Klasifikasi Maloklusi

  Terdapat banyak klasifikasi maloklusi, mulai dari antar-gigi atau intra-arch, antar lengkung rahang, atau jenis klasifikasi yang ditinjau secara sagital, vertikal, transversal, atau klasifikasi yang ditetapkan oleh para ahli ortodonti. Namun, pada subbab ini hanya akan dibahas klasifikasi maloklusi paling umum digunakan dalam dunia ortodonti yaitu Sistem Klasifikasi Angle. Klasifikasi ini didasarkan pada hubungan antara molar pertama permanen atas dan bawah.

  a. Klas I Angle Klas ini merupakan jenis oklusi normal jika ditinjau dari hubungan molarnya saja. Klas I Angle ditandai dengan cusp mesiobukal dari molar pertama permanen atas yang jatuh pada groove molar pertama permanen mandibula. Akan tetapi, Klas ini memiliki jenis maloklusi dimana terdapat ukuran, bentuk, dan susunan gigi yang tidak beraturan seperti crowding, spacing, rotasi, kehilangan gigi, dan sebagainya.

  Pada klasifikasi ini ada yang disebut bimaksilari protrusi yaitu suatu keadaan dimana secara hubungan molar merupakan Klas I, tetapi lengkung rahang baik atas mapupun bawah memiliki posisi yang agak ke depan jika di lihat dari bidang fasial.

  b. Klas II Angle Karakteristik Klas II ini ditandai dengan cusp mesiobukal gigi molar pertama maksila yang jatuh di antara cusp mesiobukal molar pertama permanen bawah dan aspek distal premolar kedua mandibula. Berdasarkan inklinasi labiolingual gigi insisivus maksila, Klas ini dibagi 2, yaitu:

  1. Klas II-Divisi 1: Klas ini memiliki insisivus maksila yang labioversi

  2. Klas II-Divisi 2: Klas ini memiliki insisivus maksila yang tampak normal jika dilihat dari anteroposterior atau terkadang agak linguoversi dimana insisivus lateral maksila agak labioversi dan/atau mesioversi. Pada Klas ini juga ada yang disebut Klas II subdivisi, dimana posisi relasi molar yang menyimpang hanya terjadi pada satu bagian rahang, sementara sisanya memiliki relasi molar pertama permanen yang normal atau merupakan Klas I. c. Klas III Angle Klas III Angle ditandai dengan cusp mesiobukal gigi molar pertama permanen maksila yang oklusinya jatuh pada interdental antara aspek distal gigi molar satu permanen mandibula dan aspek mesial gigi molar kedua permanen mandibula. Pada Klas ini juga dikenal 2 jenis maloklusi lainnya yakni:

  1. Pseudo Klas III Maloklusi: ini bukan maloklusi Klas III yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh mandibula tampak lebih maju ke anterior dibandingkan maksila.Hal ini bisa disebabkan salah satunya oleh kontak prematur ketika sentrik oklusi.

  2. Klas III Subdivisi: sama halnya seperti Klas II Subdivisi, pada Klas III Angle hanya terdapat sebelah rahang yang hubungan molar pertama permanennya

  17-19 menyimpang sedangkan sebelahnya lagi memiliki relasi normal.

  20 Gambar 2.3 Ilustrasi Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle.

  Klasifikasi Angle merupakan klasifikasi pertama yang paling komprehensif sehingga mudah diterima dan paling sering digunakan hingga sekarang.Seiring bergulirnya waktu, beberapa ilmuwan kedokteran gigi ada yang memodifikasikannya. Berikut salah satu klasifikasi maloklusi sistem Angle yang dimodifikasi oleh Dewey: Modifikasi Klas I Angle: Tipe 1: Klas I Angle dengan gigi anterior maksila yang crowded. Tipe 2: Klas I Angle dengan gigi anterior maksila yang proklinasi. Tipe 3: Klas I Angle dengan gigitan silang anterior. Tipe 4: Klas I Angle dengan gigitan silang posterior. Tipe 5: Klas I Angle dimana molarnya mengalami mesioversi akibat premature loss gigi tetangga sebelah mesialnya. Modifikasi Klas III Angle: Tipe 1: Jika dilihat secara terpisah, tiap rahang tampak normal. Namun saat dioklusikan gigi anterior berada pada posisi edge to edge.

  Tipe 2: Insisivus mandibula tampak crowded dan lebih ke lingual dibandingkan insisivus maksila. Tipe 3: Mandibula tumbuh normal, akan tetapi pertumbuhan maksila terhambat

  17,19 sehingga gigi anterior crowded dan mengalami gigitan silang.

2.4.4 Bentuk Maloklusi

  Bentuk maloklusi berikut ini merupakan jenis anomali yang sering menjadi etiologi maloklusi itu sendiri.Berikut berbagai bentuk kelainan yang menyertai maloklusi.

  a. Gigitan silangAnterior dan Posterior Secara definisi umum, gigitan silang dapat diartikan ketidakharmonisan relasi bukolingual atau labiolingual antara gigi atas dan gigi bawah.Gigitan silang dapat terjadi baik pada hubungan gigi anterior maupun posterior, secara unilateral ataupun bilateral, baik dengan pergeseran posisi mandibula maupun tidak.Pada gigi posterior, ada yang dikenal dengan istilahgigitan silang bukalyaitu gigitan silang yang terjadi bila gigi mandibula beroklusi terhadap cusp bukal gigi maksila dan satu lagi dikenal dengan sebutangigitan silang lingual yakni ketika gigi mandibula berkontak terhadap cusp-cusp palatal gigi. Etiologi keadaan ini beragam, mulai dari ketidakseimbangan pertumbuhan antara skeletal dan mandibula, penyimpangan jaringan lunak secara anatomis akibat kebiasaan buruk, atau faktor lokal seperti persistensi gigi desidui

  17-19 yang menyebabkan crowded.

  b. Gigitan terbukaAnterior Secara definisi, gigitan terbuka anterior merupakan keadaan ketika gigi-gigi insisivus tidak mengalami overlap normal secara vertikal saat gigi-gigi posterior oklusi. Sama seperti gigitan silang, keadaan ini disebabkan oleh pertumbuhan skeletal yang tidak sejalan dengan mandibula, kelainan jaringan lunak namun ini merupakan kondisi yang sangat jarang, kebiasaan buruk, dan tulang alveolar yang

  21 tumbuh secara kurang baik seperti pada anak dengan celah bibir atau langit-langit. c. Crowding

  Crowding terjadi apabila gigi tidak memiliki tempat/space yang cukup untuk

  berada pada lengkung rahang.Hal ini menyebabkan ditemukan seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya yakni maloklusi intra-arch yaitu rotasi, tilting, infraversi, supraversi, mesiolingual, dll. Seseorang bisa saja memiliki hubungan M1 normal

  22 tanpa menutup kemungkinan terjadinya maloklusi secara individu gigi pada rahang.

2.4.5 Maloklusi Pada Anak Sindrom Down

  Pada anak sindrom Down, banyak penelitian yang menunjukkan cukup tingginya prevalensi maloklusi. Penyebab paling utama adalah pertumbuhan sepertiga tengah wajah yang terhambat dan hal tersebut mengarahkan pada terjadinya berbagai bentuk maloklusi seperti gigitan terbuka, gigitan silang anterior dan

  2,14,16 posterior, hubungan molar dan/atau skeletal Klas III Angle atau pseudo Klas III.

  Selain dari terhambatnya pertumbuhan sepertiga tengah wajah, kebiasaan berikut ini juga memperparah terjadinya maloklusi pada anak sindrom Down yaitu bernapas melalui mulut, bruxism, apparatus ligamen TMJ yang hipotonik, tongue

  , kemampuan mengunyah yang kurang baik, dan berbagai macam anomali

  thrusting

  dental atau jaringan lunak yang kerap kali didapati pada anak dengan sindrom

  1,2,14,16 ini.

2.5 Kebiasaan Buruk

  Graber memaparkan berbagai etiologi maloklusi antara lain faktor umum dan faktor lokal. Kebiasaan buruk termasuk salah satu komponen faktor umum.Kebiasaan buruk tersebut terdiri atas bernapas melalui mulut, tongue

  thrusting, menggigit kuku atau jari, menghisap jari, bruxism, lip biting, kemampuan

  menelan yang abnormal, speech defects, dll. Kebiasaan-kebiasaan ini memberikan gaya yang abnormal pada gigi sehingga dapat mempengaruhi terjadinya deformitas dentokraniofasial. Berikut sekilas pembahasan mengenai beberapa kebiasaan buruk tersebut. a. Bernapas melalui mulut Pada orang normal, bernapas melalui mulut ini terjadi ketika sedang melakukan aktivitas berat seperti berolahraga.Cara respirasi seperti ini berpengaruh terhadap postur rahang dan lidah yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam rongga mulut sehingga terjadilah maloklusi. Pengaruh kebiasaan ini pada rongga mulut antara lain xerostomia, marginal gingivitis, anterior gigitan terbuka, dsb.

  b. Tongue Thrusting Kebiasaan ini bisa didefinisikan sebagai kondisi disaat lidah berkontak dengan gigi anterior hingga molar saat sedang menelan. Bentuk kelanjutan dari

  thumb sucking , makrogolosia, dan infeksi saluran nafas atas, bisa menjadi etiologi

  terbentuknya kebiasaan ini. Tongue thrusting bisa menyebabkan terjadinya gigitan terbukaanterior, bimaksilari protrusi, proklinasi gigi-gigi anterior, dan posterior gigitan silang.

  c. Menggigit kuku atau jari Kebiasaan ini bisa dialami siapa saja dan sering terjadi ketika seseorang sedang dibawah tekanan mental seperti nervous atau anxiety.Menggigit kuku atau jari bisa menyebabkan terjadinya anterior gigitan terbuka dan gigitan silang posterior.

  d. Menghisap jari Menghisap jari bisa didefinisikan sebagai aktivitas memasukkan jari, baik satu maupun lebih, atau kompeng/dot ke dalam mulut hingga kedalaman tertentu.

  Kebiasaan ini bisa menyebabkan terjadinya deformitas kraniofasial jika dilakukan dengan durasi yang cukup lama, frekuensi yang cukup tinggi, dan intensitas yang

  17,19 cukup besar.

  e. Bruxism

  Bruxism adalah suatu kebiasaan menggeser bolak-balik atau menggertakkan

  antar gigi geligi rahang atas dan rahang bawah dan sering terjadi secara tidak sadar pada waktu tidur.Penyebab secara pasti belum diketahui.Hingga saat ini stress, genetik, persarafan, frustasi, dan keadaan sistemik diyakini sebagai penyebab kebiasaan ini.Bruxism dapat menyebabkan atrisi permukaan gigi. Jika keadaan ini dibiarkan, maka lama kelamaan akan menyebabkan ausnya gigi. Gigi yang mengalami atrisi secara terus menerus dapat menyebabkan tersingkapnya dentin

  

23

sehingga timbul hipersensitivitas pada gigi.

2.5.1 Kebiasaan Buruk Pada Anak Sindrom Down

  Anak memiliki berbagai jenis kebiasaan buruk yang terkadang menjadi predisposisi terjadinya anomali dentofasial. Kebiasaan tersebut bisa saja terjadi pada anak sindrom Down tergantung pengetahuan dan kepedulian orang tua dalam

  14,16 membiarkan atau mencegah agar kebiasaan itu tidak terulang lagi.

  Dari karakteristik fisiknya, terdapat kebiasaan bruuk yang khas pada anak sindrom Down yaitu bernapas melalui mulut, tongue thrusting, dan bruxism. Kebiasaan ini merupakan akibat dari kondisi fisiknya yang walaupun orang tua ingin menanggulangi hal tersebut namun akan mengalami kesulitan. Bernapas melalui mulutpada sindrom Down terjadi karena obstruksi jalan nafas akibat sempitnya saluran pernapasan dari hidung dikarenakan pertumbuhan sepertiga tengah wajahnya yang terhambat. Tongue thrusting yang terjadi disebabkan oleh perasaan makroglosia yang dialaminya dan kesulitan mengontrol fungsi otot atau hipotonia yang sering

  2 dialami oleh anak sindrom Down.

  Etiologi bruxism belum diketahui secara pasti, tetapi kondisi sistemik, neurotik, genetik, dan psikososial diyakini berkaitan erat sebagai faktor risiko

  23

  kebiasaan ini. Telah dibahas pada subbab sebelumnya bahwa anak sindrom Down memiliki insidensi penyakit sistemik lebih tinggi, kemampuan koordinasi yang lebih rendah, hipotonus, dan sebagian memiliki lingkungan yang mengucilkannya

  2

  sehingga anak sindrom Down berpotensi untuk memiliki kebiasaan ini. Adapun jenis kebiasaan buruk lainnya memang tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi fisik anak sindrom Down, namun tidak menutup kemungkinan kebiasaan tersebut menjadi bagian dari kesehariannya.

2.6 Kerangka Teori

  Anak Sindrom Down Definisi dan

  Karakteristik Etiologi

  Klasifikasi Manifestasi Oral

  Kebiasaan Maloklusi Buruk

  Klas I Bernapas melalui

  • - Klasifikasi Klas II mulut

  Angle

  • -Tongue Thrusting

  Menggigit kuku

  • - Klas III atau jari

  Dimodifikasi

  • Menghisap jari oleh D
  • -Bruxism

  Gigitan Gigitan Crowding terbuka silang Anterior

  Anterior Posterior

2.7 Kerangka Konsep

  Maloklusi Klasifikasi

  Angle Anak Sindrom Down di SLB-C Kota Medan

  • Usia 6-18 Tahun Kebiasaan Buruk -Jenis Kelamin seperti

  Bernapas melalui - mulut

  • -Tongue Thrusting

  Menggigit kuku atau - jari

  • Menghisap
  • -Bruxism