PENDAPAT HUKUM Legal Opinion Kasus Pelan

PENDAPAT HUKUM (Legal Opinion)
Alma Nurullita

Analisis Kasus Pelanggaran HAM oleh Aparat TNI-Polri terhadap
Warga Sipil Wamena, Papua pada Peristiwa “Tragedi Berdarah
Wamena 2003”

A. Pendahuluan
Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari
Raya Paskah.
Namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan
penyisiran terhadap 25 kampung. Penyisiran dilakukan akibat
sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas
Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota
Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga
gudang senjata) dan satu orang luka berat. Kelompok penyerang
diduga membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi. Dalam
rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-polri telah melakukan
penyisiran 25 kampung, yaitu: Desa Wamena Kota, Desa Sinakma,
Bilume-Assologaima, Woma, kampung Honai Lama, Napua, Walaik,
Moragame-Pyramid, Ibele, Ilekma Kwiyagawe-Tiom, Hilume desa Okilik,

Kikumo, Walesi Kecamtan Assologaima dan beberapa kampung di
sebelah Kwiyagawe yaitu: Luarem, Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya,
Mume, dan Timine. Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan
sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat. Selain itu pemindahan
paksa terhadap warga 25 kampung menyebabkan 42 orang meninggal
dunia karena kelaparan, serta 15 orang korban perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang. Penangkapan, penyiksaan,
perampasan secara paksa menimbulkan korban jiwa dan pengungsian
penduduk secara paksa. Komnas HAM juga menemukan pemaksaan
penandatanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas umum,
(gereja, poliklinik, gedung sekolah) yang mengakibatkan pengungsian
penduduk secara paksa. Tindakan atau operasi penyisiran yang
dilakukan oleh aparat TNI-Polri bertujuan menangkap pelaku
pembobolan gudang senjata, namun tidak memperhatikan keselamatan
warga sipil. Penyisiran dilakukan secara brutal dan membabi buta
dengan menyasar warga sipil yang tak bersalah. Aparat TNI-Polri
tersebut telah melanggar Hak-hak asasi manusia warga Papua.

B. Analisis Aturan Hukum
Adapun dasar hukum yang digunakan untuk menangani kasus ini

adalah :
1. Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
1

2. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
3. Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
4. Universal Declaration of Human Rights Pasal 3 dan Pasal 9.
5. Kode Etik Profesi Tentara Nasional Indonesia.
6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
C. Uji Syarat
1. Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Menentukan : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut Pasal ini, terdapat beberapa kualifkasi untuk membuktikan
adanya pelanggaran terhadap aspek-aspek dalam Pasal 28I ayat (1)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu : syarat
pertama melanggar hak untuk hidup. Syarat kedua melanggar hak
untuk tidak disiksa. Syarat ketiga melanggar hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani. Syarat keempat melanggar hak beragama.
Syarat kelima melanggar hak untuk tidak diperbudak. Syarat
keenam melanggar hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum. Syarat ketujuh melanggar hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut.
Dalam kasus ini, syarat pertama telah terpenuhi, karena aparat TNI
dan Polri melakukan penyisiran terhadap 25 kampung dan
melakukan
sejumlah
kekejaman
dan
kebrutalan
hingga
mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia. Syarat kedua
terpenuhi karena aparat TNI dan Polri melakukan penyiksaan

terhadap warga sipil hingga menewaskan sembilan orang dan 38
orang lainnya mengalami luka-luka. Syarat ketiga terpenuhi,
perosnel TNI dan Polri terbukti memaksa sejumlah penduduk untuk
menandatangani beberapa dokumen yang sebenarnya tidak sesuai
dengan hati nurani mereka. Hal ini merupakan bentuk perampasan
kemerdekaan terhadap pikiran dan hati nurani. Syarat Keempat,
kelima, keenam, dan ketujuh tidak terpenuhi karena tidak ada
tindakan pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut. TNI dan Polri
hanya melakukan pembunuhan dan penganiayaan sehingga hanya
memenuhi syarat pertama dan kedua yaitu melanggar hak untuk
hidup dan hak untuk tidak disiksa.
2. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia

2

Menentukan : Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan,
dipaksa , dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara
sewenang-wenang.
Menurut pasal ini, hak-hak yang terdapat pada pasal

berkesinambungan dan tidak berdiri sendiri. Antara pernyataan
“tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.”, merupakan satu kesatuan
dan sebagai syarat apakah aparat TNI dan Polri melanggar hak-hak
asasi warga Wamena atau tidak. Syarat tersebut adalah Setiap
orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa , dikecualikan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Dalam kasus ini, satu syarat tersebut terpenuhi. Aparat TNI dan Polri
bertindak brutal dalam penyisiran untuk mencari pelaku
pembobolan gudang senjata dan pencurian sejumlah amunisi.
Akibat penyisiran yang tidak memperhatikan keselamatan rakyat
tersebut dan dilakukan dengan sewenang-wenang, mereka dengan
sengaja menangkap dan mengungsikan atau memindahkan para
penduduk secara paksa. Akibat kejadian ini, sebanyak 42 orang
meninggal karena kelaparan selama proses pemindahan secara
paksa. Para penduduk Wamena diasingkan dari tempat tinggal
mereka sehingga aktivitas keseharian mereka menjadi dibatasi
seperti bekerja, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan seharihari terutama kebutuhan makanan dan akibatnya banyak dari
mereka yang meninggal dunia akibat kelaparan secara massal.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa TNI dan Polri telah

melanggar Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusi dengan menangkap, menahan, memaksa , mengecualikan,
mengasingkan, atau membuang secara sewenang-wenang.
3. Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menentukan : Barangsiapa terang-terangan dan dengan
tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang
atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.
Menurut Pasal 170 KUHP, ada dua syarat yg harus dipenuhi agar
dapat memenuhi kualifkasi sebagai kejahatan yang membahayakan
keamanan umum bagi orang atau barang. Syarat pertama, yaitu
seseorang menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang.
Syarat kedua, harus dilakukan dengan sengaja.
Dalam kasus ini, syarat pertama terpenuhi. Sejumlah personel TNI
dan Polri yang bekerja secara bersama-sama dan serentak tidak
hanya menyasar tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempattempat yang berhubungan dengan para pelaku pembobolan, atau
tempat yang dijadikan persembunyian mereka. Namun dalam
penyusuran terhadap 25 kampung di Wamena, beberapa gedung
dan fasilitas umum antara lain gereja, poliklinik, dan gedung
sekolah. Tidak hanya menyerang fasilitas umum, mereka juga

melakukan penyiksaan dan kekejaman lainnya yang mengakibatkan
banyak warga sipil Wamena mengalami luka-luka.
3

Syarat kedua terpenuhi, karena tindakan penyisiran dan
pengrusakan tersebut dilakukan secara sengaja dan mengakibatkan
banyak warga sipil mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, serta
pemindahan paksa dan kesemuanya mengakibatkan banyak korban
jiwa.
4. Universal Declaration of Human Rights
a. Pasal 3 menentukan : Setiap orang berhak atas kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Menurut pasal 3 UDHR, ada tiga syarat atau hak asasi yang tidak
boleh dilanggar oleh setiap orang. Syarat pertama yaitu
kehidupan. Syarat kedua kebebasan. Syarat ketiga keselamatan.
Dalam kasus ini, Syarat pertama telah terpenuhi. Hak atas
kehidupan penduduk Wamena telah dilanggar dengan tindakan
pembunuhan dan penganiayaan oleh aparaat TNI dan Polri.
Syarat kedua terpenuhi, TNI dan Polri telah melanggar
kebebasan penduduk Wamena dengan mengungsikan mereka

secara paksa dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Penduduk
Wamena juga dipaksa melakukan penandatangan sejumlah
dokumen yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan dan
hati nurani mereka. Ini merupakan sejumlah bentuk pelanggaran
terhadap kebebasan, terutama kebebasan untuk memilih dan
kebebasan berpendapat. Syarat ketiga terpenuhi, keselamatan
masyarakat Wamena diabaikan dan para personel TNI dan Polri
hanya mengejar tujuan mereka untuk menangkap pelaku
pembobolan tanpa memperdulikan sama sekali keselamatan
rakyat.
Oleh karena itu TNI dan Polri telah melakukan pelanggaran HAM
penduduk Wamena karena semua syarat dalam pasal ini
terpenuhi.
b. Pasal 9 menentukan : Tidak seorang pun boleh ditangkap,
ditahan, atau dibuang dengan sewenang-wenang.
Menurut pasal ini, hanya terdapat satu syarat yang
berkesinambungan dan tidak berdiri sendiri. Yaitu ditangkap,
ditahan, atau dibuang dengan sewenang-wenang.
Dalam kasus ini, syarat tunggal dalam Pasal 9 UDHR terpenuhi.
Banyak penduduk Wamena yang menjadi korban penangkapan

paksa, serta disaingkan atau dibuang secara paksa dan
mengakibatkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan
selama proses pemindahan.
5. Kode Etik Profesi Tentara Nasional Indonesia.
Dalam 8 Wajib TNI menentukan :
1. Bersikap ramah terhadap rakyat;
2. Bersikap santun terhadap rakyat;
3. Menjunjung tinggi kehormatan wanita;
4. Menjaga kehormatan diri di muka umum;
5.
Senantiasa
menjadi
contoh
dalam
kesederhanaannya;
4

sikap

dan


6. Tidak sesekali merugikan rakyat;
7. Tidak sekali menakuti dan menyakiti hati rakyat;
8. Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk
mengatasi kesulitan rakyat
sekelilingnya.
Menurut Kode Etik Profesi Tentara Nasional Indonesia dalam 8 Wajib
TNI tersebut kesemuanya merupakan syarat. Wajib kesatu sebagai
syarat kesatu, wajib kedua menjadi syarat kedua, dan seterusnya
hingga wajib kedelapan.
Dalam kasus ini, wajib kesatu terpenuhi/telah dilanggar, para
personel TNI telah melanggar kewajiban untuk bersikap ramah
terhadap rakyat. Mereka bersikap arogan dan brutal bahkan
melanggar hak asasi manusia penduduk Wamena. Wajib kedua
terpenuhi/dilanggar karena TNI sama sekali tidak menunjukkan
sikap santun pada saat melakukan penyisiran terhadap 25
kampung, apalagi saat itu merupakan Hari Raya Paskah yang
merupakan hari raya bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Sama
sekali tidak ada sikap santun yang ditunjukkan dengan
mengacaukan

hari
raya
keagamaan.
Wajib
ketiga
terpenuhi/dilanggar karena mereka melakukan penganiayaan
maupun pemindahan paksa terhadap warga sipil, tak peduli mereka
adalah orang dewasa, wanita, maupun anak-anak. Jadi dalam kasus
ini dapat dikatakan mereka juga melanggar wajib ketiga untuk
menjunjung
tinggi
kehormatan
wanita.
Wajib
keempat
terpenuhi/dilanggar, sikap para personel TNI yang arogan dan
sewenang-wenang telah mencoreng kehormatan mereka sendiri
terutama di depan penduduk Wamena, dan hal ini dapat
menghilangkan kepercayaan warga masyarakat Wamena terhadap
TNI. Wajib kelima terpenuhi/dilanggar karena TNI menunjukkan
sikap yang sama sekali tak dapat dijadikan contoh yang baik bagi
masyarakat. Syarat keenam terpenuhi/dilanggar karena TNI telah
merugikan banyak kerugian bagi rakyat, baik kerugian nyawa
maupun harta benda, serta merugikan fasilitas umum yaitu gereja,
poliklinik, dan gedung sekolah. Wajib ketujuh terpenuhi/dilanggar
oleh para personel TNI yang telah melakukan tindakan brutal dan
membuat rakyat ketakutan dan menyakiti rakyat karena banyak
yang kehilangan anggota keluarga mereka akibat serangkaian
penganiayaan yang dilakukan oleh para personel TNI. Wajib
kedelapan terpenuhi/dilanggar, mereka memang melakukan tugas
untuk menangkap para pembobol gudang senjata yang bersifat
merugikan dan mengancam keselamatan umum. Namun tidak
memperhatikan kaidah atau aturan-aturan yang ada sehingga
bersikap sewenang-wenang dan melanggar hak-hak rakyat.
6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Menentukan :
Dalam Etika hubungan dengan masyarakat anggota Polri wajib :

5

a. menghormati harkat dan martabat manusia melalui
penghargaan serta perlindungan terhadap hak asasi
manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesamaan bagi
semua warga negara;
c. menghindarkan
diri
dari
perbuatan
tercela
dan
menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, kebenaran
demi pelayanan pada masyarakat;
d. menegakkan hukum demi mencipatakan tertib sosial
serta rasa aman publik;
e. meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat;
f. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaiamana
yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang
bertugas maupun di luar dinas.
Menurut ketentuan dalam Etika hubungan dengan masyarakat yang
tertuang dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, keenam etika tersebut merupakan syarat. Jadi jika etikaetika tersebut dilanggar, berarti telah memenuhi syarat-syarat
bahwa anggota Polri telah melanggar kode etik profesi Kepolisian
Republik Indonesia.
Dalam kasus ini, Syarat pertama terpenuhi, yaitu aparat Polri telah
melanggar harkat dan martabat serta hak asasi manusia
masyarakat Wamena. Mereka melakukan kekerasan dan membuat
penduduk ketakutan serta kehilangan nyawa dan mengungsi
dengan terpaksa. Syarat kedua terpenuhi karena mereka telah
melakukan pemaksaan kepada penduduk Wamena untuk
mengungsi dan menandatangani sejumlah dokumen yang tentunya
melanggar prinsip kebebasan dan kesamaan bagi semua warga
negara. Syarat ketiga terpenuhi, para personel Polri justru
mengingkari etika profesi Kepolisian dengan melakukan banyak
perbuatan tercela antara lain mengganggu kekhidmatan Hari Raya
Paskah yang tentunya melanggar prinsip keadilan, karena
seharusnya semua umat beragama harus dihormati atas kegiatan
keagamaan yang mereka lakukan. Aparat Polri bertindak tidak
benar dan melakukan perbuatan jahat yang berkebalikan dengan
tugas mereka yang seharusnya, yaitu memberikan pelayanan yang
baik kepada masyarakat. Syarat keempat terpenuhi, Kepolisian
yang seharusnya menegakkan hukum dan memberikan rasa aman
bagi masyarakat, justru melanggar hukum itu sendiri dan membuat
masyarakat ketakutan dan merusak ketertiban sosial. Syarat
keenam terpenuhi, operasi penyisiran yang mereka lakukan tidak
memperhatikan
kaidah-kaidah
yang
berlaku
dan
tidak
memperhatikan keselamatan publik, sehingga perilaku para
anggota Polri tdak mencerminkan pelayanan yang baik kepada
masyarakat. Syarat ketujuh tidak terpenuhi, karena Polri yang
bekerjasama dengan TNI melakukan tindakan sesuai dengan tugas
mereka, yaitu menangkap pelaku kejahatan yaitu para pembobol
gudang bersenjata di Wamena.

6

D. Kesimpulan
Kasus pelanggaran HAM di Wamena pada tahun 2003 oleh aparat
Polri dan TNI dalam rangka mengejar pelaku pembobolan gudang
bersenjata dan pencurian sejumlah amunisi. Namun dalam operasi
tersebut dilakukan secara brutal dan melanggar hak asasi manusia.
Rakyat Wamena banyak yang menjadi korban, mengalami luka-luka
bahkan meninggal dunia akibat penganiayaan dan kelaparan akibat
pemindahan atau pengungsian secara paksa. Berdasarkan uji syarat
dari keenam dasar hukum di atas, yaitu Pasal 28I ayat (1) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 170 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Universal Declaration of
Human Rights Pasal 3 dan Pasal 9, Kode Etik Profesi Tentara Nasional
Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dasar hukum yang pertama, yaitu Pasal 28I ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, ada beberapa
syarat yang terpenuhi atau telah dilanggar oleh aparat TNI dan Polri.
Yaitu melanggar hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani. Akibat dari perbuatan ini dapat
dijerat Pasal 351 tentang penganiayaan. Jika perbuatan mengakibatkan
luka berat (ayat 2) dipidana penjara paling lama lima tahun. Jika
perbuatan mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun (ayat 3). Dasar hukum kedua yaitu Pasal 34 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yaitu
melanggar hak bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan,
dipaksa , dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenangwenang. Dasar hukum ketiga, yaitu Pasal 170 KUHP, terpenuhi, karena
Polri dan TNI melakukan pengrusakan sejumlah fasilitas umum dan
membahayakan keselamatan masyarakat. Akibatnya, aparat TNI dan
Polri yang melakukannya dapat dikenai pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan. Sementara untuk perbuatan yang
mengakibatkan luka-luka (ayat 1) dipidana penjara paling lama tujuh
tahun, mengakibatkan luka berat (ayat 2) dipidana penjara paling lama
sembilan tahun, dan jika menyebabkan kematian dapat dipidana
penjara paling lama tujuh tahun. Dasar hukum keempat, yaitu
Declaration of Human Rights terpenuhi karena TNI dan Polri terbukti
melakukan penangkapan serta pemindahan paksa penduduk Wamena
dan mengakibatkan kematian akibat kelaparan. Dasar hukum kelima
yaitu Kode Etik Profesi Tentara Nasional Indonesia, terpenuhi yaitu
pelanggaran terhadap kode etik yang terdapat pada 8 Wajib TNI. Atas
Putusan Pengadilan Militer yang menyatakan terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana yang didakwakan maka selain dijatuhi pidana
penjara (pidana pokok) juga Putusan Hakim dapat selkaligus
menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer
apabila dinilai prajurit TNI yang bersangkutan tidak dapat
dipertahankan lagi (Pasal 6 a dan 6 KUHPM).Dasar hukum keenam,
yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
7

Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, terpenuhi dan sanksi terhadap pelanggaran ini dapat
diputuskan dalam Sidang Komisi Kode Etik Polri, yang dapat berupa
pidana penjara, maupun sanksi administratif yaitu : dipindahkan tugas
ke jabatan yang berbeda, dipindahkan tugas ke wilayah yang berbeda,
pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat.
Jadi kesimpulan dari tulisan ini, TNI dan polri telah melanggar keenam
dasar hukum diatas berupa pelanggaran terhadap HAM penduduk
Wamena pada tahun 2003 silam.

DAFTAR PUSTAKA

Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Universal Declaration of Human Rights Pasal 3 dan Pasal 9.
Kode Etik Profesi Tentara Nasional Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8