KASUS TOLIKARA BATU SANDUNGAN TERHADAP M
KASUS TOLIKARA: BATU SANDUNGAN TERHADAP
MULTIKULTURALISME, TOLERANSI
& PERSATUAN KEBANGSAAN? (1)
Syarif Ibrahim Alqadrie*)
Hari pertama kuliah dalam kelas ‘Manajemen konflik dan Rekonsiliasi’ pada sebuah fakultas
dari PT di kota ini, selalu dimulal diskusi. Sebagian besar mahasiswa merasa bangga sebagai
bangsa dengan prediket ‘masyarakat majemuk’ atau ‘beragam’ (plural society) yang
dicanangkan oleh PBB. Namun, hanya sebagian kecil saja dari mereka mengetahui bahwa
pluralisme sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi dalam satu seminar atau ceramah resmi
dengan mulit berbuih-buih dan hati panas.
Kebanggaan itu memang tidak berlebihan. Bangsa ini sudah lama menjadi masyarakat
beragam. Di KalBar sendiri pernah ada 22 (sekarang tinggal tak lebih dari 10) kesultanan yang
berdiri di atas pondasi kokoh dari berbagai suku bangsa atau kelompok etnis, bahkan bangsa, dan
asal keturunan dengan nilai budaya, tradisi, kebiasaan, agama dan kepercayaan berbeda.
Pluralisme dan Multikulturalisme
Apa yang sebagian terbesar diantara kita belum mengetahui hal terpenting sebagai
kelanjutan dari proses pluralisme adalah multikulturalisme. Kalau keberagaman merupakan suatu
kenyataan dan fakta yang sudah ada (what it is, das sein) dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia dan tidak dapat dibantah, maka prinsip, bahkan ideologi, seperti Supardi
Suparlan (dalam Harian Media Indonesia. 10/12 – 2001:2) katakan bahwa multikulturalisme itu
bersifat normatif yaitu apa yang seharusnya kita lakukan (what should be/ought to be atau das
sollen) kalau kita beragam dan berbeda.
Jadi, multikulturalisme adalah sesuatu yang belum selesai bahkan merupakan tantangan
bagi bangsa ini: untuk menerima, menghormati dan menghargai perbedaan yang terkandung di
dalam keberagaman yang berbeda itu. Kalau dihipotesiskan: ‘Multikulturalisme yang di
dalamnya terkandung penghargaa, penghormatan dan toleransi terhadap perbedaan, termasuk
penghargaan terhadap kejujuran dan karya orang lain, cenderung melahirkan perdamaian dan
menciptakan sebuah negara besar dan disegani.’
Kasus Tolikara tidak hanya mendukung hipotesis tersebut melalui korelasi positif antara
karakter multikultural sebagai peubah bebas, disatu fihak, dengan penghargaan terhadap manusia
perdamaian dan munculnya negara yang disegani, sebagai peubah terikat, di lain fihak. Kasus
Tolikara berdarah dan memilukan juga secara langsung atau tak langsung menantang dan
menjadikan dirinya sebagai ancaman dan –kalau boleh dikatakan-- penghancuran nilai persatuan
dan kemanusiaan yang selama ini telah terbina di Nusantara dan di Bumi Papua, khususnya.
Terorrisme (?) dan Aktor Intelektual
Pertanyaan menggelitik dari seorang mahasiswa adalah mengapa peristiwa Tolikara 17 Juli
2015/1 Syawal 1436H itu meledak? Padahal selama ini peritiwa semacam itu belum pernah
terjadi terhadap manusia yang sedang khusuk beribadah menghadap Khalik pada hari dan bulan
yang suci penuh Rahmat dan kedamaian itu. Tidak juga itu pernah terjadi di Tanah Papua yang
damai. Siapa diantara mereka terlibat baik sebagai pelaksana maupun sebagai biang keladi?
Diskusi kelas pada pertemuan pertama ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan dan
mengungkap hal yang selama ini dianggap “tabu” karena menyangkut masalah SARA. Bukan
pula diskusi kelas ini ingin mendorong agar orang jangan lagi menyembunyikan peristiwa serupa
yang ini selama ini disembunyikan dan ditangani secara tidak adil dengan tuduhan terrorisme.
Dalam pertemuan itu sebagian besar mahasiswa peserta diskusi menekankan bahwa kasus
Tolikara bukan tindakan terror yang dilakukan oleh rakyat Papua, Pemerintah tentu tidak juga
mau menyebutnya begitu. Kalaulah demikian, sebagian lagi mahasiswa menyumpulkan bahwa
kita juga percaya terhadap peristiwa lain hampir serupa yang secara sangat tidak adil jika dituduh
sebagai perbuatan terrorisme, hanya karena dilakukan oleh kelompok lain yang berbeda.
Dalam diskusi rutin itu, seorang mahasiswa sedikit gondrong tapi berotak cemerlang,
menyesalkan pihak Kepolisian RI tidak mengirim Densus 88. “Padahal,’ menurut dia, “POLRI
dengan Densus 88-nya sangat berhasil membaui, menembak dan menangkap rakyat yang
dicurigai sebagai teroris, walau hanya mengritik dan mendemo pemerintah karena barang selalu
naik dan ketidakadilan aparat pemerintah,” sambungnya agak kesal. “Barangkali tidak ada
proyek dari negara di ‘Selatan’ itu,” sambung seorang mahasiswa dengan suara sinis. Saya coba
menengahi diskusi “politik” tapi tak berpolitik itu, dengan mengatakan bahwa Kepolisian, Badan
Intelijen Negara (BIN), Kementerian Agama, Instansi lain yang berwewenang, sudah turun
tangan menyelidiki peristiwa tersebut. Namun, seorang lagi mahasiswi, anggota sukarelawan
sebua Lembaga Penyedia Biasiswa Duafa, skeptis atas keberanian anak buah Badrodin Haiti
menggiring aktor intelektual peristiwa itu ke penjara.
Pelaksana, Koordinator dan Aktor Intelektual
Dalam diskusi itu, beberapa mahasiswa menyebut tiga pihak yang terlibat langsung dan tak
langsung dalam kasus Tolikara: (1) aktor intelektual, (2) koordinator lapangan, dan (3) para
peserta dan pelaksana lapangan. Pihak ketiga terdiri dari sejumlah anggota masyarakat yang ikut
melempar dan membakar mesjid dan kios-kios. Mereka ialah rakyat kecil, masyarakat setempat
yang tak tahu menahu dan tak bersalah, luguh dan tak menyadari mereka telah diperalat oleh
actor intelektual. Selama ini, sebelum seminar Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang juga
diikuti sejumlah orang asing, termasuk dari Israel, tidak ada masalah khususnya di Tolikara antar
sesama saudara Papua dengan bukan Papua dan antara penganut satu agama dengan agama lain.
Pihak kedua adalah 2 (dua) orang telah ditangkap dan sedang diproses oleh Polisi. Menurut
ketua kelompok diskusi kelas itu, penangkapan kedua orang itu tidak banyak berarti dalam
mengubah keadaan dan memperbaiki hubungan antar kelompok agama dan antar kelompok
masyarakat. “Memang benar, pihak kedua merupakan koordinator yang memimpin dan
menghasut massa.” Namun,” tambah sekretaris diskusi itu: “mereka bukan penggerak dan bukan
pula aktor intektualnya” Kalau begitu, Polisi dan BIN tak jeli dan tidak juga menangkap biang
keladinya.” “Bagaimana caranya?,” tanya ingin tahu mahasiswi yang duduk disampingnya.
“Sangat terang benderang dan mudah menemukannya,” jawab sekretaris diskusi: “Siapa
pembuat surat edaran yang tidak mengijinkan Shalat Idul Fitri pada 17 Juli dan Adzan serta
melarang muslimah berpakaian jilbab, sudah pasti itulah aktor intelektualnya. “Ya, sudah ada
saksi dan bukti jelas. Mengapa mereka tidak dijebloskan ke hotel pordeo?,” potong seorang
mahasiswa yang duduk di belakang. “Aneh bin ajaib,“ bersuara seorang mahasiswi lain sambil
mengutip Ptk Tribun dan Ptk Post, 25 Juli 2015:2. “Seperti ada unsur kesengajaan. Seminar
KKR direncanakan 22-27 Juli 2015, tiba-tiba dimajukan menjadi 13 – 19 Juli 2015, padahal
jadual baru itu bersamaan dengan Idul Fitri jatuh pada 17 Juli 2015.” “Bukankah itu skenario
untuk menciptakan perbenturan?,” tanya seorang mahasiswa yang jarang bersuara. Apakah
sebuah organisasi punya hak melarang penduduk
melaksanakan perintah agama mereka,”
tambahnya. “Tidakkah surat edaran itu merupakan minyak bensin menyiram dua kelompok
bersaudara yang sebelumnya tidak pernah terbakar dalam konnflik agama?.”
Sebagai moderator, saya menerangkan alasan Ketua Forum Komunikasi Umat Kristen,
Jakarta tentang dimajukannya jadual KKR. Perubahan itu bukan skenario. Itu lebih bersifat
teknis berkaitan dengan libur perayaan Idul Fitri sehingga banyak peserta yang ikut kalau hari
libur. Alasan ini meragukan seorang mahasiswa lain: Bukankah hari permulaan sekolah pada 27
Juli? Sampai dengan tanggal itu walaupun baru mulai, tapi sekolah belum belajar penuh.”
“Polisi sedang mengusut sejumlah WNA, termasuk dari Israel dalam KKR tersebut. Tapi
panitia tidak menyerahkan kelengkapan data peserta WNA yang diminta kepada MABES
POLRI,” jelas seorang mahasiswa anggota BEM fakultas. Lalu ia menambahkan: “Pak, kita
harus waspada untuk tidak mengulangi peristiwa sejarah masuknya orang asing ke Nusantara
sebagai bom waktu sejak pertama kali, 1596, dengan misi pecah belah dan menguasai. Apalagi
masuknya mereka dilandasi oleh motif 3 G yaitu Greatnes, Golden dan Gospel.” Saya berusaha
menjelaskan bahwa orang-orang asing sekarang berbeda dengan penjajah masa lalu. Lagi pula,
umat berbagai agama, termasuk Islam dan Kristen, hampir tidak pernah berbenturan, karena
orang-orang Papua dan saudara mereka pendatang sudah lama memiliki karakter multikltural dan
sedang menjadi masyarakat multikultural. Walaupun berbeda agama, mereka tetap bersaudara.
Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN &
Dosen Tamu di NIAS, Copenhagen, Denmark
KASUS TOLIKARA: KOMPOSISI AGAMA DAN
INSIDEN KONFLIK KEKERASAN DI PAPUA (2)
Syarif Ibrahim Alqadrie*
Papua dan Papua Barat, seperti Kalimantan, merupakan kawasan masa depan Indonesia. Itu
sebabnya kawasan ini menjadi prioritas utama dan menarik perhatian fihak, luar negeri.
Perhatian ini terwujud bukan saja dalam bentuk hadirnya para penanam modal karena SDA yang
kaya, dan pendatang baru untuk mengais rejeki. Namun, inceran itu juga terwujud dalam
persaingan untuk menyebarkan agama kepada penduduk asli Papua.
Tiga Agama Samawi
Untuk memahami persaingan antara para penyebar agama di Papua, dibawah ini
diungkapkan presentasi pemeluk agama di provinsi ini selama 38 tahun dari 1963 – 2001.
Komposisi pemeluk agama di Papua sebelum 1963 (ketika belum terjadi pemekaran),
menunjukkan bahwa Protestan berjumlah sekitar 130.000 jiwa (18,81%), Katolik 47.000 (6,80
%), Islam 11.000 (1,59%), Hindu/Budha dan Tionghoa 3.000 (0,34%) dan Agama-agama nenek
moyang penduduk Papua asli masih mencapai sekitar 500.000 jiwa (72,36 %) dari penduduk
seluruhnya yang berjumlah 691.000.
Sebagai perbandingan prosentasi antara pemeluk agama-agama berdasarkan jumlah
penduduk seluruhnya dan penduduk asli di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat masih satu
provinsi), data terkait menunjukkan bahwa presentasi pemeluk agama Islam untuk seluruh
penduduk adalah 25.13% dan penduduk pribumi/asli orang Papua 3.53%; berbanding dengan
Katolik 16.94% dan 21.04; Protestan 57.60% dan 75.33%; Hindu 0.16% dan 0.01%; Budha
0.07% dan 0.01%; dan lain agama 0.10% dan 0.08%. Persentasi penduduk asli pemeluk agamaagama tersebut terhadap jumlah seluruh penduduk adalah pemeluk agama Islam 9.18%, Katolik
81.24%, Protestan 85.54%, Hindu 4.12%, Budha 5.19%, dan agama lainnya 56.78%. Rata-rata
persentasi penduduk asli yang sudah memeluk keenam agama terkait adalah 56.78% (persentasi
agama lain/agama penduduk pribumi terhadap jumlah penduduk seluruhnya). Ini berarti masih
ada 43.22% penduduk asli belum memeluk agama di Provinsi Papua.
Selama 38 tahun (1963 – 2001) persentasi penduduk beragama di Papua mengalami
kenaikan berarti seirama dengan kenaikan jumlah penduduk. Namun, kenaikan persentasi umat
beragama merupakan konsekuensi dari berkurangnya jumlah baik penduduk asli yang beragama
nenek moyang maupun penduduk pribumi dan pendatang dari luar Papua yang beragama Hindu/
Budha/Tionghoa. Kenaikan persentasi umat beragama adalah Agama Islam (+23.54%), Katolik
(+10.14%), Protestan (+38.79%), dan berkurangnya persentasi penganut agama Hindu/ Budha/
Tionghoa (-0.11%) dan penduduk yang beragama pribumi (-15.58%).
Korelasi Positif: Penyebaran Agama dan Perubahan Sosial Ekonomi
Peningkatan pemeluk agama Protestan, Islam dan Katolik, dan berkurangnya pemeluk
agama nenek moyang penduduk asli Papua, menunjukkan keberhasilan organisasi/ lembaga/
misi/dakwah dari tiga agama tersebut dalam menyebarkan agama terhadap penduduk asli Papua.
Secara teoritis dan apa yang seharusnya terjadi, peningkatan persentasi pemeluk agama dari tiga
agama tersebut merupakan indikasi berhasilnya pembangunan bukan-benda yaitu mental, moral/
spiritual dan pembangunan kebendaan paling dasar: pangan, pakaian dan papan/rumah di Papua.
Ini menunjukkan bahwa keberhasilan program penyebaran agama dalam Kristenitas dan dalam
Islam, lebih mendorong pembangunan manusia di Provinsi itu sejak 1963 sampai sekarang. Ini
tentu membawa konsekuensi logis terhadap perubahan dalam hubungan sosial keagamaan,
seperti menghargai perbedaan, toleransi, menjauhi kekerasan dan mematuhi hukum.
Kasus Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 2014,
dan Tolikara, 2015, menimbulkan
pertanyaan sejumlah pengamat netral sampai dimana strategi penyebaran agama di Papua telah
berjalan sesuai dengan prinsip humanisme dan Ketuhanan. Pertanyaan ini timbul karena rakyat
Papua tidak memiliki potensi dan karakter kekerasan bermotif agama. Kekerasan selama ini
lebih bernuansa etnis. Karena itu, kalau ada konflik bernuansa agama, seperti pada tiga tempat
tersebut di atas, itu bukan disebabkan oleh faktor dalam yang terdapat baik dari prinsip dan
filosofis agama itu sendiri maupun dari karakter dan tradisi rakyat Papua itu sendiri. Karena itu,
konflik bernuansa agama pada ketiga tempat itu, khususnya di Tolikara, itu bukan tidak boleh
jadi disebabkan oleh kesalahan manusia atau organisasi yang menyebarkan dan mengajarkan
agama itu kepada rakyat yang masih lugu dan perlu bimbingan lebih positif.
Kaitan
dengan
kasus
kekerasan
bernuansa
agama,
Rupshinge
(2000:
34-37)
mengungkapkan faktor penyebab dan menetapkan 4 tipologi konflik kekerasan: (1) konflik
timbul dari kompetisi SDM bagi kekuasaan eknomi dan akses terhadap SD tersebut; (2) konflik
memperebutkan kekuasaan politik, otoritas pemerintahan dan partisipasi dalam proses politik; (3)
konflik berdasarkan kompetisi antara rival ideologi dan sistem nilai; (4) konflik berdasarkan
kompetisi antar identitas etnis, agama
dan komunal lainnya bagi akses kekuasaan ekonomi
dan keadilan sosial. Keempat tipologi ini dapat ditemukan pada kasus kekerasan di Papua.
SNPK dan IIK: Aceh dan Papua
Berdasarkan klasifikasi Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), pada 2014
(Kajian Perdamaian dan Kebijakan oleh the Habibie Center, 2015) Papua mengalami 1425 kali konflik
kekerasan. Kasus kekerasan berjumlah 309 kali (21,68%), kriminalitas 986 kali (69,19%), KDRT
120 kali (8,42%), dan kekerasan aparat hukum 10 kali (0,07%).
Berdasarkan Indeks Intensitas Kekerasan (IIK) 2015 (the Habibie Center, 2015; http://
tabloidjubi.com/2015/04/17/papua-dinilai-masih-dalam-situasi-perdamaian-negatif/diakses 8/82015), sepanjang 2014 dari kekerasan terkait separatisme di Provinsi Aceh, Papua dan Papua
Barat, insiden terbanyak terjadi di Papua yakni 42 kali dengan korban 34 jiwa, luka 37 orang dan
bangunan rusak 2 buah. Wilayah terbanyak adalah Kabupaten Puncak Jaya berjumlah 14 insiden
(33,33%). Itu sebabnya Puncak Jaya memiliki IIK separatisme tertingi (6,04), dan sekaligus
memberi Propinsi Papua nilai IIK separatisme sebesar 2,21.
Di kota Jayapura 2014 tercatat 783 insiden, diantaranya 93 kekerasan (11,8%), 599 insiden
kriminalitas (76,5%), 86 insiden KDRT (10,98%) dan 5 insiden terkait kekerasan aparat (0,08%).
Data dari Polresta Jayapura (2014) tahun 2014 jauh lebih banyak dari data SNPK yang tercatat
2956 insiden konflik kekerasan di Kota Jayapura yang didominasi oleh kriminalitas (76%)
dengan 599 insiden yang mengakibatkan 11 korban tewas, 441 cedera, 50 korban perkosaan dan
32 bangunan rusak; konflik kekerasan (12%) dengan 93 insiden mengakibatkan 12 korban
tewas, 89 korban cedera dan 13 bangunan rusak; KDRT (11%) dengan jumlah insiden berjumlah
86 kasus mengakibatkan 3 orang tewas, 80 orang cedera dan 2 korban kekerasan seksual.
Data ini memberikan dua kesan menarik bahwa (1) persentasi insiden kekerasan bernuansa
separatisme, identitas etnis dan agama lebih tinggi daripada jenis kekerasan lain seperti
kriminalitas biasa, KDRT, kekerasan seksual dan kekerasan pejabat, adalah sangat diragukan;
dan bahwa (2) kekerasan bernuansa identitas etnis dan agama termasuk separatism di kawasan
pedalaman (Puncak Jaya dan Tolikara) dan di Provinsi Papua lebih tinggi daripada insiden itu di
Kota besar (Jayapura) dan di Provinsi Papua Barat, terbantahkan. Ini sekaligus membuktikan
bahwa agama, pendidikan dan karakter masyarakat yang dianggap “tradisionalisme,”
“komunalisme” dan “etnosentrisme” bukan faktor utama, penyebab kekerasan di Papua dan
Papua Barat, tetapi hanya faktor pencetus (trigger factor). Lantas, apa faktor utama atau akar
masalah yang menyiram bensin kasus Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara? Dari pendapat
yang meragukan dan terbantahkan ini, para tokoh masyarakat asli dan pendatang Papua
mempertanyakan peranan yang disebarkan di situ: sebagai pendukung perdamaian atau konflik
kekerasan? Pertanyaan di atas akan didiskusikan pada bagian berikut ini.
Polarisasi : Media dan Proses Identifikasi
Akar masalah kekerasan di Papua bukan disebabkan oleh faktor nilai atau ajaran agama
dan identitas suku/etnisitas. Karena itu, proses media identifikasi (dalam arti Papua identik
dengan agama tertentu) tidak mencuat, sebagaimana terjadi di KalBar. Di Provinsi ini ada
polarisasi dalam hal media identifikasi: penduduk yang Muslim dengan mereka non-Muslim.
Melayu dan Madura identik dengan Islam, dan Dayak dan Tionghoa yang beragama Islam,
diidentikkan dengan atau “masuk Melayu.” Sebaliknya Dayak identik dengan Kristen. Jadi ada
dikotomi dan polarisasi: Melayu (dan juga Dayak) yang Islam vs Dayak yang Kristen. Gesekan
ini sudah pernah terjadi, walau belum pernah ada kekerasan berarti antara dua bersaudara ini,
Melayu dengan Dayak, ketimbang antara Dayak dengan Madura.
Polarisasi ini diperjelas dengan proses identifikasi etnis dan keagamaan berkaitan dengan
tempat pemukiman masyarakat. Di KalBar, kelompok etnis Dayak yang bermukim di kawasan
pedalaman jauh (KPJ), mengidentifikasikan diri mereka secara etnis dengan sub-sub kelompok
etnis dan secara agama dengan berbagai agama, sebagai contoh: Si A, B, C, D dan sebagainya
masing-masing adalah sub kelompok etnis Dayak Iban, Taman, Kayan dan Kenya, dan
sebagainya, namun masing-masing beragama I, K, P dan
H. Sebaliknya, mereka
yang
bermukim di Kawasan Pedalam Dekat (KPD) mengidentifikasi diri secara etnis dengan
kelompok etnis Dayak secara keseluruhan dan secara agama dengan satu agama, Kristen
(Katolik/ Kristen). Konsekuensinya, KPD rentan dengan kekerasan. [Proses identifikasi ini tidak
terjadi dalam masyarakat asli Papua baik di KPJ, KPD maupun di pesisir atau perkotaan.]
Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN & Co-promotor
sejumlah Mhs Doktor di UGM & UIN YOGYA
KASUS TOLIKARA: PERANAN AGAMA DI PAPUA
SEBAGAI PEMERSATU ATAU PEMECAH BELAH ? (3)
Syarif Ibrahim Alqadrie*
Polarisasi seperti ini tidak terjadi dalam masyarakat Jawa, Batak dan Ambon/Maluku.
Agama apapun yang mereka anut, mereka tetap merasa dan mengidentikkan masing-masing
sebagai orang Jawa, Batak dan Ambon/Maluku. Fenomena seperti ini juga terjadi di Papua dan
Papua Barat. Agama apapun yang dianut oleh orang-orang asli Papua, Kristen atau Katolik dan
non-Kristen (atau Moslem), mereka tetap merasa sebagai orang Papua. Ini boleh jadi merupakan
salah satu faktor penyebab mengapa sangat sulit menemukan konflik kekerasan agama di Tanah
Papua, kecuali Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara.
Perdamaian Negatif dan Positif
Kekerasan tampaknya lebih berhubungan dengan hilangnya makna perdamaian pada
sebagian masyarakat Papua. Menurut John Galtung (2013) ada dua makna perdamaian:
perdamaian negatif pada mana tidak ada perang dan kriminalitas, dan perdamaian positif
yaitu menunjukkan situasi tanpa kekerasan, baik langsung, maupun tak langsung dalam bentuk
kekerasan struktural, diskrimasi, ketidakadilan, ketidakamanan sosial ekonomi masa depan, dan
penyebaran agama yang mengandung bom waktu siap meledak melalui strategi pecah belah demi
kepentingan ekonomi dan politik kelompok atau pengurus organisasi agama..
Kasus Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara tampaknya lebih disebabkan oleh
ketidakhadiran perdamaian positif/dinamis di Papua, bukan karena peperangan dan ancaman
kejahatan. Akan tetapi, situasi itu cenderung diciptakan melalui penyebaran agama yang sangat
ambisius yang justru mendorong ekslusivisme dan permusuhan dalam masyarakat.
Contoh konkrit dapat dilihat dalam peristiwa di Jawa, NTT, Ambon dan Papua khususnya
Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 9, 20, 30 Januari 2012 dan Tolikara, 17 Juli 2015. Kasus
Puncak Jaya
tidak berkaitan dengan symbol-simbol agama, tetapi lebih pada penyerangan
terhadap indivdu dan aparatur negara. Sebaliknya, Peristiwa Manokwari dipicu oleh keinginan
kelompok masyarakat Islam di Kabupaten ini untuk mendirikan Islamic Center. Keinginan ini
mendapat reaksi keras dari masyarakat mayoritas non-Muslim.
Namun, ketiga insiden itu tidak berkaitan dengan agama, sebaliknya agama dijadikan
penguat tindakan kekerasan. Peristiwa itu bukan juga disebabkan oleh karakter orang-orang
Papua yang memang bersifat toleran dan tidak memiliki budaya kekerasan bernuansa agama.
Beberapa fihak dalam pemerintah menyatakan bahwa sebagian orang-orang di pedalaman
kadang terlibat perang suku, tetapi tidak antara penganut agama. Namun, kasus Tolikara adalah
satu satu kekerasan berbau agama di Papua (Harian Kompas/Kompas TV/ Kompas.com, Selasa,
4/8 2015:1).
Oleh karena itu, kehadiran organisasi-organisasi agama di Papua diharapkan
berperan mengurangi kekerasan, bukan justru menambah penderitaan rakyat.
Fungsi Agama: Positif atau Negatif?
Sepanjang sejarah agama berfungsi positif memupuk persaudaraan dan semangat
kerjasama dalam masyarakat. Namun, sebaliknya, agama juga dapat menjadi pemicu kekerasan
antara masyarakat beragama. Sisi negatif ini telah terjadi pada beberapa tempat, seperti antara
lain [dikutip dari sejumlah sumber webside] : (1) Peristiwa Tasikmalaya (Jabar); Situbondo
(Jatim) dan Rengasdenklok (Banten), 1997; (2) Peristiwa Ketapang (Jatim), 22/ 11-1998; (3)
Peristiwa Kupang (NTT), 30/11 – 1/12-1998; (4) Kasus Poso (SulTeng), 25/12 1998 dan 2006
; (5) Insiden Ambon (Maluku), 19/1-1999 dan 2001; (6) Kasus MONAS Berdarah (Jkt), 1/6 –
2008; (7) Kasus Penyerangan Jemaat HKBP Bekasi (JaBar),
1/8-2010; dan (8) Kasus
Temanggung (Jateng), 3/10- 2012.
Lima dari 8 kekerasan bernuansa agama di luar Papua ditambah 3 insiden di Papua, ternyata
adalah penyerangan dilakukan oleh sekelompok orang Islam terhadap simbol-simbol agama nonIslam, empat lainnya adalah penyerangan oleh mayoritas Kristen Protestan terhadap symbolsimbol Islam, dan 2 sisanya ialah serangan terhadap beberapa orang dan aparat keamanan. Ini
menunjukkan bahwa ketidakhadiran perdamaian di Papua bukan saja berbentuk negatif, berupa
kriminalitas serta gangguan keamanan dan/atau perang yang setiap saat terjadi antara kelompok
separatism: OPM cabang militernya dan para pengikutnya, disatu fihak, dengan para aparatur
keamanan, dilain fihak. Tidakhadirnya perdamaian di Papua adalah juga perdamaian positif
disebabkan oleh faktor-faktor yang sudah disebutkan sebelumnya
dan
bom waktu
yang
dipersiapkan oleh strategi organisasi keagamaan yang berfihak pada kekuatan politik di situ.
Ketidakhadiran perdamaian positif juga disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang
agama mana paling awal datang di Papua, dan agama mana pula secara konkrit dan riil mampu
membuat perubahan sosial ekonomi bagi
masyarakat Papua, dan agama mana pula dianggap
dapat mencegah masyarakat Papua kehilangan identitas sebagai kelompok etnis besar.
Perubahan Sosial vs Status Quo
Perbedaan pandangan itu menimbulkan saling curiga antara dua kelompok masyarakat
berdasarkan garis agama yang diperkuat oleh garis komando organisasi keagamaan. Para tokoh
masyarakat penganut satu agama tertentu menyesalkan bahwa ajaran agama lain telah mengubah
dan menghilangkan cara, pola, kebiasaan, tradisi dan identitas masyarakat asli Papua yang sudah
hidup sejak nenek moyang, sehingga mereka dianggap terasing di tanah mereka sendiri.
Tokoh masyarakat penganut agama lain mengkhawatirkan saudara mereka penganut agama
tertentu akan terus tertinggal karena dibiarkan meneruskan kondisi seperti hidup dalam zaman
batu, bertelanjang dada bagi wanita dan berkoteka bagi laki-laki. Kalau ada strategi penyebaran
yang mengarah pada perubahan sosial, pelaksanaan strategi itu dianggap oleh tokoh tersebut
(https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua_Barat) sebagai telah mengelabui masyarakat
Papua. Bahkan ada semacam mitos di lancarkan bahwa asal usul nenek moyang orang-orang asli
Papua berkulit putih dan pada satu saat nanti, ketika mereka telah berkeyakinan kuat terhadap
agama itu, orang-orang Papua akan berkulit putih kembali.
Perbedaan pendapat dan curiga mencurigai sebenarnya tidak perlu menimbulkan kekerasan
sebagaimana terjadi di Tolikara, 17/7 2015.
Menurut sejumlah tokoh Papua, bukan prinsip
ajaran agama membuat orang-orang Papua asli sangat lama berubah dan menjadikan mereka
terasing di tanah mereka sendiri. Namun, kondisi kesenjangan itulah, sebagai akibat dari strategi
peninabobokan saudara mereka di pedalaman yang masih lugu, telah meresahkan masyarakat
Papua pada umumnya. Selain itu, kesan keterasingan dan kesenjangan itu, bukan tidak boleh jadi
dipicu oleh surat edaran yang melarang umat Islam Papua asli baik dalam melaksanakan shalat
Idul Fitri dan menyuarakan azan maupun dalam memakai jilbab. Larangan ini, dianggap oleh
para tokoh asli Papua sebagai bentuk ketida toleran dan pemaksaan kehendak.
Sebaliknya, para pengurus GIDI keberatan terhadap kapal Al Fatih Kaaffah Nusantara
(AFKN), dipimpin oleh putra daerah Papua, Ustadz Muhammad Zaaf Fadzlan Al Garamatan
(https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua) dan
menuduh AFKN menyebarkan agama
kepada penganut Protestan untuk menciptakan keseimbangan dalam pemerintahan di Papua. Di
fihak lain, para tokoh Islam asli Papua (http://suarabaptis.blogspot.com/2013/05/ islamisasipapua-semakin-gencar-gereja.html) menyatakan GIDI tak perlu cemburu. Umat Islam Papualah
seharusnya cemburu, karena OTSUS, SDA dan posisi dalam pemerintahan hanya dinikmati oleh
penganut Kristen. Mereka
sangat khawatir ketidakadilan ekonomi politik dan strategi
penyebaran seperti itu akan menciptakan kekuatan politik yang memperlemah NKRI. Dr. AA
Yewangoe, Ketua Umum PGI, menyatakan umat Kristen diwajibkan untuk berpolitik praktis
yang merupakan panggilan agama (Agama dan Kerukunan, hlm 162) dalam mencapai tujuan.
Karakter Misionaris
Para penyebar agama Islam dan Kristen, tampaknya bersaing keras dalam melaksanakan
tugas suci mereka. Ini tidak terjadi pada agama lain seperti Budhisme, Hinduisme dan
Congfusionisme. Mengapa?
Karena kedua agama samawi ini memiliki
karakter misi
penyebaran agama (missionary character) yang bertujuan. menyebarkan keyakinan agama di
luar kelompok etnis atau bangsa mereka bahkan kepada umat manusia di dunia.
Karakter misionaris Kristen adalah misi penyebaran agama ditujukan melalui doktrin
membawa Kabar Gembira sampai ke ujung bumi seperti diperintahkan Kristus kepada semua
orang beriman: ‘Maka pergilah kamu, jadikanlah segala bangsa muridKu dan permandikanlah
atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’ (Mat 28:19). Dalam misinya, agama ini didukung oleh
kekuatan organisasi, finasial yang kuat dan SDM handal dari berbagai penjuru dunia.
Sama dengan Kristen, Islam juga mengandung karakter misionaris yang disebarankan
tidak hanya bagi manusia diseluruh dunia tapi juga memberi Rakhmat bagi semesta Alam,
termasuk makhluk di darat, di laut, di dalam bumi dan di udara dan tumbuh-tumbuhah (Qs. AlAnbiya:107). Bedanya adalah tugas misionaris dalam Islam terletak di pundak setiap Muslim
dan Muslimah bukan pada organisasi, keuangan, politik, dan milter. Itu sebabnya penyebaran
Islam di Papua seakan berjalan lama, karena hadirnya melalui pribadi-pribadi dan dari hati
kehati.
Islam ke Papua dibawa para pedagang dan musyafir yang menyatu dengan penduduk asli
setempat. Karena Itu, walau agama ini masuk jauh lebih dulu, yakni Abad XVI, 1521, daripada
agama Kristen, yaitu dua abad setelah itu yaitu Abad XVII, 1855 (Thomas Arnold [dalam
https://id.wikipedia. org/ wiki /Islam_di_Papua]. Namun, jumlah pemeluknya berada nomor dua
setelah Protestan. Ini menunjukkan Agama Protestan lebih berjaya di Papua khususnya di
kawasan pedalam (https://www. facebook. com/permalink.php?id=153258498092019& story_
fbid= 159751724182854)
Dosen FISIPOL UNTAN & Dosen
Tamu di NIAS, Copenhagen, Denmark
MULTIKULTURALISME, TOLERANSI
& PERSATUAN KEBANGSAAN? (1)
Syarif Ibrahim Alqadrie*)
Hari pertama kuliah dalam kelas ‘Manajemen konflik dan Rekonsiliasi’ pada sebuah fakultas
dari PT di kota ini, selalu dimulal diskusi. Sebagian besar mahasiswa merasa bangga sebagai
bangsa dengan prediket ‘masyarakat majemuk’ atau ‘beragam’ (plural society) yang
dicanangkan oleh PBB. Namun, hanya sebagian kecil saja dari mereka mengetahui bahwa
pluralisme sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi dalam satu seminar atau ceramah resmi
dengan mulit berbuih-buih dan hati panas.
Kebanggaan itu memang tidak berlebihan. Bangsa ini sudah lama menjadi masyarakat
beragam. Di KalBar sendiri pernah ada 22 (sekarang tinggal tak lebih dari 10) kesultanan yang
berdiri di atas pondasi kokoh dari berbagai suku bangsa atau kelompok etnis, bahkan bangsa, dan
asal keturunan dengan nilai budaya, tradisi, kebiasaan, agama dan kepercayaan berbeda.
Pluralisme dan Multikulturalisme
Apa yang sebagian terbesar diantara kita belum mengetahui hal terpenting sebagai
kelanjutan dari proses pluralisme adalah multikulturalisme. Kalau keberagaman merupakan suatu
kenyataan dan fakta yang sudah ada (what it is, das sein) dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia dan tidak dapat dibantah, maka prinsip, bahkan ideologi, seperti Supardi
Suparlan (dalam Harian Media Indonesia. 10/12 – 2001:2) katakan bahwa multikulturalisme itu
bersifat normatif yaitu apa yang seharusnya kita lakukan (what should be/ought to be atau das
sollen) kalau kita beragam dan berbeda.
Jadi, multikulturalisme adalah sesuatu yang belum selesai bahkan merupakan tantangan
bagi bangsa ini: untuk menerima, menghormati dan menghargai perbedaan yang terkandung di
dalam keberagaman yang berbeda itu. Kalau dihipotesiskan: ‘Multikulturalisme yang di
dalamnya terkandung penghargaa, penghormatan dan toleransi terhadap perbedaan, termasuk
penghargaan terhadap kejujuran dan karya orang lain, cenderung melahirkan perdamaian dan
menciptakan sebuah negara besar dan disegani.’
Kasus Tolikara tidak hanya mendukung hipotesis tersebut melalui korelasi positif antara
karakter multikultural sebagai peubah bebas, disatu fihak, dengan penghargaan terhadap manusia
perdamaian dan munculnya negara yang disegani, sebagai peubah terikat, di lain fihak. Kasus
Tolikara berdarah dan memilukan juga secara langsung atau tak langsung menantang dan
menjadikan dirinya sebagai ancaman dan –kalau boleh dikatakan-- penghancuran nilai persatuan
dan kemanusiaan yang selama ini telah terbina di Nusantara dan di Bumi Papua, khususnya.
Terorrisme (?) dan Aktor Intelektual
Pertanyaan menggelitik dari seorang mahasiswa adalah mengapa peristiwa Tolikara 17 Juli
2015/1 Syawal 1436H itu meledak? Padahal selama ini peritiwa semacam itu belum pernah
terjadi terhadap manusia yang sedang khusuk beribadah menghadap Khalik pada hari dan bulan
yang suci penuh Rahmat dan kedamaian itu. Tidak juga itu pernah terjadi di Tanah Papua yang
damai. Siapa diantara mereka terlibat baik sebagai pelaksana maupun sebagai biang keladi?
Diskusi kelas pada pertemuan pertama ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan dan
mengungkap hal yang selama ini dianggap “tabu” karena menyangkut masalah SARA. Bukan
pula diskusi kelas ini ingin mendorong agar orang jangan lagi menyembunyikan peristiwa serupa
yang ini selama ini disembunyikan dan ditangani secara tidak adil dengan tuduhan terrorisme.
Dalam pertemuan itu sebagian besar mahasiswa peserta diskusi menekankan bahwa kasus
Tolikara bukan tindakan terror yang dilakukan oleh rakyat Papua, Pemerintah tentu tidak juga
mau menyebutnya begitu. Kalaulah demikian, sebagian lagi mahasiswa menyumpulkan bahwa
kita juga percaya terhadap peristiwa lain hampir serupa yang secara sangat tidak adil jika dituduh
sebagai perbuatan terrorisme, hanya karena dilakukan oleh kelompok lain yang berbeda.
Dalam diskusi rutin itu, seorang mahasiswa sedikit gondrong tapi berotak cemerlang,
menyesalkan pihak Kepolisian RI tidak mengirim Densus 88. “Padahal,’ menurut dia, “POLRI
dengan Densus 88-nya sangat berhasil membaui, menembak dan menangkap rakyat yang
dicurigai sebagai teroris, walau hanya mengritik dan mendemo pemerintah karena barang selalu
naik dan ketidakadilan aparat pemerintah,” sambungnya agak kesal. “Barangkali tidak ada
proyek dari negara di ‘Selatan’ itu,” sambung seorang mahasiswa dengan suara sinis. Saya coba
menengahi diskusi “politik” tapi tak berpolitik itu, dengan mengatakan bahwa Kepolisian, Badan
Intelijen Negara (BIN), Kementerian Agama, Instansi lain yang berwewenang, sudah turun
tangan menyelidiki peristiwa tersebut. Namun, seorang lagi mahasiswi, anggota sukarelawan
sebua Lembaga Penyedia Biasiswa Duafa, skeptis atas keberanian anak buah Badrodin Haiti
menggiring aktor intelektual peristiwa itu ke penjara.
Pelaksana, Koordinator dan Aktor Intelektual
Dalam diskusi itu, beberapa mahasiswa menyebut tiga pihak yang terlibat langsung dan tak
langsung dalam kasus Tolikara: (1) aktor intelektual, (2) koordinator lapangan, dan (3) para
peserta dan pelaksana lapangan. Pihak ketiga terdiri dari sejumlah anggota masyarakat yang ikut
melempar dan membakar mesjid dan kios-kios. Mereka ialah rakyat kecil, masyarakat setempat
yang tak tahu menahu dan tak bersalah, luguh dan tak menyadari mereka telah diperalat oleh
actor intelektual. Selama ini, sebelum seminar Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang juga
diikuti sejumlah orang asing, termasuk dari Israel, tidak ada masalah khususnya di Tolikara antar
sesama saudara Papua dengan bukan Papua dan antara penganut satu agama dengan agama lain.
Pihak kedua adalah 2 (dua) orang telah ditangkap dan sedang diproses oleh Polisi. Menurut
ketua kelompok diskusi kelas itu, penangkapan kedua orang itu tidak banyak berarti dalam
mengubah keadaan dan memperbaiki hubungan antar kelompok agama dan antar kelompok
masyarakat. “Memang benar, pihak kedua merupakan koordinator yang memimpin dan
menghasut massa.” Namun,” tambah sekretaris diskusi itu: “mereka bukan penggerak dan bukan
pula aktor intektualnya” Kalau begitu, Polisi dan BIN tak jeli dan tidak juga menangkap biang
keladinya.” “Bagaimana caranya?,” tanya ingin tahu mahasiswi yang duduk disampingnya.
“Sangat terang benderang dan mudah menemukannya,” jawab sekretaris diskusi: “Siapa
pembuat surat edaran yang tidak mengijinkan Shalat Idul Fitri pada 17 Juli dan Adzan serta
melarang muslimah berpakaian jilbab, sudah pasti itulah aktor intelektualnya. “Ya, sudah ada
saksi dan bukti jelas. Mengapa mereka tidak dijebloskan ke hotel pordeo?,” potong seorang
mahasiswa yang duduk di belakang. “Aneh bin ajaib,“ bersuara seorang mahasiswi lain sambil
mengutip Ptk Tribun dan Ptk Post, 25 Juli 2015:2. “Seperti ada unsur kesengajaan. Seminar
KKR direncanakan 22-27 Juli 2015, tiba-tiba dimajukan menjadi 13 – 19 Juli 2015, padahal
jadual baru itu bersamaan dengan Idul Fitri jatuh pada 17 Juli 2015.” “Bukankah itu skenario
untuk menciptakan perbenturan?,” tanya seorang mahasiswa yang jarang bersuara. Apakah
sebuah organisasi punya hak melarang penduduk
melaksanakan perintah agama mereka,”
tambahnya. “Tidakkah surat edaran itu merupakan minyak bensin menyiram dua kelompok
bersaudara yang sebelumnya tidak pernah terbakar dalam konnflik agama?.”
Sebagai moderator, saya menerangkan alasan Ketua Forum Komunikasi Umat Kristen,
Jakarta tentang dimajukannya jadual KKR. Perubahan itu bukan skenario. Itu lebih bersifat
teknis berkaitan dengan libur perayaan Idul Fitri sehingga banyak peserta yang ikut kalau hari
libur. Alasan ini meragukan seorang mahasiswa lain: Bukankah hari permulaan sekolah pada 27
Juli? Sampai dengan tanggal itu walaupun baru mulai, tapi sekolah belum belajar penuh.”
“Polisi sedang mengusut sejumlah WNA, termasuk dari Israel dalam KKR tersebut. Tapi
panitia tidak menyerahkan kelengkapan data peserta WNA yang diminta kepada MABES
POLRI,” jelas seorang mahasiswa anggota BEM fakultas. Lalu ia menambahkan: “Pak, kita
harus waspada untuk tidak mengulangi peristiwa sejarah masuknya orang asing ke Nusantara
sebagai bom waktu sejak pertama kali, 1596, dengan misi pecah belah dan menguasai. Apalagi
masuknya mereka dilandasi oleh motif 3 G yaitu Greatnes, Golden dan Gospel.” Saya berusaha
menjelaskan bahwa orang-orang asing sekarang berbeda dengan penjajah masa lalu. Lagi pula,
umat berbagai agama, termasuk Islam dan Kristen, hampir tidak pernah berbenturan, karena
orang-orang Papua dan saudara mereka pendatang sudah lama memiliki karakter multikltural dan
sedang menjadi masyarakat multikultural. Walaupun berbeda agama, mereka tetap bersaudara.
Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN &
Dosen Tamu di NIAS, Copenhagen, Denmark
KASUS TOLIKARA: KOMPOSISI AGAMA DAN
INSIDEN KONFLIK KEKERASAN DI PAPUA (2)
Syarif Ibrahim Alqadrie*
Papua dan Papua Barat, seperti Kalimantan, merupakan kawasan masa depan Indonesia. Itu
sebabnya kawasan ini menjadi prioritas utama dan menarik perhatian fihak, luar negeri.
Perhatian ini terwujud bukan saja dalam bentuk hadirnya para penanam modal karena SDA yang
kaya, dan pendatang baru untuk mengais rejeki. Namun, inceran itu juga terwujud dalam
persaingan untuk menyebarkan agama kepada penduduk asli Papua.
Tiga Agama Samawi
Untuk memahami persaingan antara para penyebar agama di Papua, dibawah ini
diungkapkan presentasi pemeluk agama di provinsi ini selama 38 tahun dari 1963 – 2001.
Komposisi pemeluk agama di Papua sebelum 1963 (ketika belum terjadi pemekaran),
menunjukkan bahwa Protestan berjumlah sekitar 130.000 jiwa (18,81%), Katolik 47.000 (6,80
%), Islam 11.000 (1,59%), Hindu/Budha dan Tionghoa 3.000 (0,34%) dan Agama-agama nenek
moyang penduduk Papua asli masih mencapai sekitar 500.000 jiwa (72,36 %) dari penduduk
seluruhnya yang berjumlah 691.000.
Sebagai perbandingan prosentasi antara pemeluk agama-agama berdasarkan jumlah
penduduk seluruhnya dan penduduk asli di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat masih satu
provinsi), data terkait menunjukkan bahwa presentasi pemeluk agama Islam untuk seluruh
penduduk adalah 25.13% dan penduduk pribumi/asli orang Papua 3.53%; berbanding dengan
Katolik 16.94% dan 21.04; Protestan 57.60% dan 75.33%; Hindu 0.16% dan 0.01%; Budha
0.07% dan 0.01%; dan lain agama 0.10% dan 0.08%. Persentasi penduduk asli pemeluk agamaagama tersebut terhadap jumlah seluruh penduduk adalah pemeluk agama Islam 9.18%, Katolik
81.24%, Protestan 85.54%, Hindu 4.12%, Budha 5.19%, dan agama lainnya 56.78%. Rata-rata
persentasi penduduk asli yang sudah memeluk keenam agama terkait adalah 56.78% (persentasi
agama lain/agama penduduk pribumi terhadap jumlah penduduk seluruhnya). Ini berarti masih
ada 43.22% penduduk asli belum memeluk agama di Provinsi Papua.
Selama 38 tahun (1963 – 2001) persentasi penduduk beragama di Papua mengalami
kenaikan berarti seirama dengan kenaikan jumlah penduduk. Namun, kenaikan persentasi umat
beragama merupakan konsekuensi dari berkurangnya jumlah baik penduduk asli yang beragama
nenek moyang maupun penduduk pribumi dan pendatang dari luar Papua yang beragama Hindu/
Budha/Tionghoa. Kenaikan persentasi umat beragama adalah Agama Islam (+23.54%), Katolik
(+10.14%), Protestan (+38.79%), dan berkurangnya persentasi penganut agama Hindu/ Budha/
Tionghoa (-0.11%) dan penduduk yang beragama pribumi (-15.58%).
Korelasi Positif: Penyebaran Agama dan Perubahan Sosial Ekonomi
Peningkatan pemeluk agama Protestan, Islam dan Katolik, dan berkurangnya pemeluk
agama nenek moyang penduduk asli Papua, menunjukkan keberhasilan organisasi/ lembaga/
misi/dakwah dari tiga agama tersebut dalam menyebarkan agama terhadap penduduk asli Papua.
Secara teoritis dan apa yang seharusnya terjadi, peningkatan persentasi pemeluk agama dari tiga
agama tersebut merupakan indikasi berhasilnya pembangunan bukan-benda yaitu mental, moral/
spiritual dan pembangunan kebendaan paling dasar: pangan, pakaian dan papan/rumah di Papua.
Ini menunjukkan bahwa keberhasilan program penyebaran agama dalam Kristenitas dan dalam
Islam, lebih mendorong pembangunan manusia di Provinsi itu sejak 1963 sampai sekarang. Ini
tentu membawa konsekuensi logis terhadap perubahan dalam hubungan sosial keagamaan,
seperti menghargai perbedaan, toleransi, menjauhi kekerasan dan mematuhi hukum.
Kasus Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 2014,
dan Tolikara, 2015, menimbulkan
pertanyaan sejumlah pengamat netral sampai dimana strategi penyebaran agama di Papua telah
berjalan sesuai dengan prinsip humanisme dan Ketuhanan. Pertanyaan ini timbul karena rakyat
Papua tidak memiliki potensi dan karakter kekerasan bermotif agama. Kekerasan selama ini
lebih bernuansa etnis. Karena itu, kalau ada konflik bernuansa agama, seperti pada tiga tempat
tersebut di atas, itu bukan disebabkan oleh faktor dalam yang terdapat baik dari prinsip dan
filosofis agama itu sendiri maupun dari karakter dan tradisi rakyat Papua itu sendiri. Karena itu,
konflik bernuansa agama pada ketiga tempat itu, khususnya di Tolikara, itu bukan tidak boleh
jadi disebabkan oleh kesalahan manusia atau organisasi yang menyebarkan dan mengajarkan
agama itu kepada rakyat yang masih lugu dan perlu bimbingan lebih positif.
Kaitan
dengan
kasus
kekerasan
bernuansa
agama,
Rupshinge
(2000:
34-37)
mengungkapkan faktor penyebab dan menetapkan 4 tipologi konflik kekerasan: (1) konflik
timbul dari kompetisi SDM bagi kekuasaan eknomi dan akses terhadap SD tersebut; (2) konflik
memperebutkan kekuasaan politik, otoritas pemerintahan dan partisipasi dalam proses politik; (3)
konflik berdasarkan kompetisi antara rival ideologi dan sistem nilai; (4) konflik berdasarkan
kompetisi antar identitas etnis, agama
dan komunal lainnya bagi akses kekuasaan ekonomi
dan keadilan sosial. Keempat tipologi ini dapat ditemukan pada kasus kekerasan di Papua.
SNPK dan IIK: Aceh dan Papua
Berdasarkan klasifikasi Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), pada 2014
(Kajian Perdamaian dan Kebijakan oleh the Habibie Center, 2015) Papua mengalami 1425 kali konflik
kekerasan. Kasus kekerasan berjumlah 309 kali (21,68%), kriminalitas 986 kali (69,19%), KDRT
120 kali (8,42%), dan kekerasan aparat hukum 10 kali (0,07%).
Berdasarkan Indeks Intensitas Kekerasan (IIK) 2015 (the Habibie Center, 2015; http://
tabloidjubi.com/2015/04/17/papua-dinilai-masih-dalam-situasi-perdamaian-negatif/diakses 8/82015), sepanjang 2014 dari kekerasan terkait separatisme di Provinsi Aceh, Papua dan Papua
Barat, insiden terbanyak terjadi di Papua yakni 42 kali dengan korban 34 jiwa, luka 37 orang dan
bangunan rusak 2 buah. Wilayah terbanyak adalah Kabupaten Puncak Jaya berjumlah 14 insiden
(33,33%). Itu sebabnya Puncak Jaya memiliki IIK separatisme tertingi (6,04), dan sekaligus
memberi Propinsi Papua nilai IIK separatisme sebesar 2,21.
Di kota Jayapura 2014 tercatat 783 insiden, diantaranya 93 kekerasan (11,8%), 599 insiden
kriminalitas (76,5%), 86 insiden KDRT (10,98%) dan 5 insiden terkait kekerasan aparat (0,08%).
Data dari Polresta Jayapura (2014) tahun 2014 jauh lebih banyak dari data SNPK yang tercatat
2956 insiden konflik kekerasan di Kota Jayapura yang didominasi oleh kriminalitas (76%)
dengan 599 insiden yang mengakibatkan 11 korban tewas, 441 cedera, 50 korban perkosaan dan
32 bangunan rusak; konflik kekerasan (12%) dengan 93 insiden mengakibatkan 12 korban
tewas, 89 korban cedera dan 13 bangunan rusak; KDRT (11%) dengan jumlah insiden berjumlah
86 kasus mengakibatkan 3 orang tewas, 80 orang cedera dan 2 korban kekerasan seksual.
Data ini memberikan dua kesan menarik bahwa (1) persentasi insiden kekerasan bernuansa
separatisme, identitas etnis dan agama lebih tinggi daripada jenis kekerasan lain seperti
kriminalitas biasa, KDRT, kekerasan seksual dan kekerasan pejabat, adalah sangat diragukan;
dan bahwa (2) kekerasan bernuansa identitas etnis dan agama termasuk separatism di kawasan
pedalaman (Puncak Jaya dan Tolikara) dan di Provinsi Papua lebih tinggi daripada insiden itu di
Kota besar (Jayapura) dan di Provinsi Papua Barat, terbantahkan. Ini sekaligus membuktikan
bahwa agama, pendidikan dan karakter masyarakat yang dianggap “tradisionalisme,”
“komunalisme” dan “etnosentrisme” bukan faktor utama, penyebab kekerasan di Papua dan
Papua Barat, tetapi hanya faktor pencetus (trigger factor). Lantas, apa faktor utama atau akar
masalah yang menyiram bensin kasus Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara? Dari pendapat
yang meragukan dan terbantahkan ini, para tokoh masyarakat asli dan pendatang Papua
mempertanyakan peranan yang disebarkan di situ: sebagai pendukung perdamaian atau konflik
kekerasan? Pertanyaan di atas akan didiskusikan pada bagian berikut ini.
Polarisasi : Media dan Proses Identifikasi
Akar masalah kekerasan di Papua bukan disebabkan oleh faktor nilai atau ajaran agama
dan identitas suku/etnisitas. Karena itu, proses media identifikasi (dalam arti Papua identik
dengan agama tertentu) tidak mencuat, sebagaimana terjadi di KalBar. Di Provinsi ini ada
polarisasi dalam hal media identifikasi: penduduk yang Muslim dengan mereka non-Muslim.
Melayu dan Madura identik dengan Islam, dan Dayak dan Tionghoa yang beragama Islam,
diidentikkan dengan atau “masuk Melayu.” Sebaliknya Dayak identik dengan Kristen. Jadi ada
dikotomi dan polarisasi: Melayu (dan juga Dayak) yang Islam vs Dayak yang Kristen. Gesekan
ini sudah pernah terjadi, walau belum pernah ada kekerasan berarti antara dua bersaudara ini,
Melayu dengan Dayak, ketimbang antara Dayak dengan Madura.
Polarisasi ini diperjelas dengan proses identifikasi etnis dan keagamaan berkaitan dengan
tempat pemukiman masyarakat. Di KalBar, kelompok etnis Dayak yang bermukim di kawasan
pedalaman jauh (KPJ), mengidentifikasikan diri mereka secara etnis dengan sub-sub kelompok
etnis dan secara agama dengan berbagai agama, sebagai contoh: Si A, B, C, D dan sebagainya
masing-masing adalah sub kelompok etnis Dayak Iban, Taman, Kayan dan Kenya, dan
sebagainya, namun masing-masing beragama I, K, P dan
H. Sebaliknya, mereka
yang
bermukim di Kawasan Pedalam Dekat (KPD) mengidentifikasi diri secara etnis dengan
kelompok etnis Dayak secara keseluruhan dan secara agama dengan satu agama, Kristen
(Katolik/ Kristen). Konsekuensinya, KPD rentan dengan kekerasan. [Proses identifikasi ini tidak
terjadi dalam masyarakat asli Papua baik di KPJ, KPD maupun di pesisir atau perkotaan.]
Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN & Co-promotor
sejumlah Mhs Doktor di UGM & UIN YOGYA
KASUS TOLIKARA: PERANAN AGAMA DI PAPUA
SEBAGAI PEMERSATU ATAU PEMECAH BELAH ? (3)
Syarif Ibrahim Alqadrie*
Polarisasi seperti ini tidak terjadi dalam masyarakat Jawa, Batak dan Ambon/Maluku.
Agama apapun yang mereka anut, mereka tetap merasa dan mengidentikkan masing-masing
sebagai orang Jawa, Batak dan Ambon/Maluku. Fenomena seperti ini juga terjadi di Papua dan
Papua Barat. Agama apapun yang dianut oleh orang-orang asli Papua, Kristen atau Katolik dan
non-Kristen (atau Moslem), mereka tetap merasa sebagai orang Papua. Ini boleh jadi merupakan
salah satu faktor penyebab mengapa sangat sulit menemukan konflik kekerasan agama di Tanah
Papua, kecuali Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara.
Perdamaian Negatif dan Positif
Kekerasan tampaknya lebih berhubungan dengan hilangnya makna perdamaian pada
sebagian masyarakat Papua. Menurut John Galtung (2013) ada dua makna perdamaian:
perdamaian negatif pada mana tidak ada perang dan kriminalitas, dan perdamaian positif
yaitu menunjukkan situasi tanpa kekerasan, baik langsung, maupun tak langsung dalam bentuk
kekerasan struktural, diskrimasi, ketidakadilan, ketidakamanan sosial ekonomi masa depan, dan
penyebaran agama yang mengandung bom waktu siap meledak melalui strategi pecah belah demi
kepentingan ekonomi dan politik kelompok atau pengurus organisasi agama..
Kasus Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara tampaknya lebih disebabkan oleh
ketidakhadiran perdamaian positif/dinamis di Papua, bukan karena peperangan dan ancaman
kejahatan. Akan tetapi, situasi itu cenderung diciptakan melalui penyebaran agama yang sangat
ambisius yang justru mendorong ekslusivisme dan permusuhan dalam masyarakat.
Contoh konkrit dapat dilihat dalam peristiwa di Jawa, NTT, Ambon dan Papua khususnya
Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 9, 20, 30 Januari 2012 dan Tolikara, 17 Juli 2015. Kasus
Puncak Jaya
tidak berkaitan dengan symbol-simbol agama, tetapi lebih pada penyerangan
terhadap indivdu dan aparatur negara. Sebaliknya, Peristiwa Manokwari dipicu oleh keinginan
kelompok masyarakat Islam di Kabupaten ini untuk mendirikan Islamic Center. Keinginan ini
mendapat reaksi keras dari masyarakat mayoritas non-Muslim.
Namun, ketiga insiden itu tidak berkaitan dengan agama, sebaliknya agama dijadikan
penguat tindakan kekerasan. Peristiwa itu bukan juga disebabkan oleh karakter orang-orang
Papua yang memang bersifat toleran dan tidak memiliki budaya kekerasan bernuansa agama.
Beberapa fihak dalam pemerintah menyatakan bahwa sebagian orang-orang di pedalaman
kadang terlibat perang suku, tetapi tidak antara penganut agama. Namun, kasus Tolikara adalah
satu satu kekerasan berbau agama di Papua (Harian Kompas/Kompas TV/ Kompas.com, Selasa,
4/8 2015:1).
Oleh karena itu, kehadiran organisasi-organisasi agama di Papua diharapkan
berperan mengurangi kekerasan, bukan justru menambah penderitaan rakyat.
Fungsi Agama: Positif atau Negatif?
Sepanjang sejarah agama berfungsi positif memupuk persaudaraan dan semangat
kerjasama dalam masyarakat. Namun, sebaliknya, agama juga dapat menjadi pemicu kekerasan
antara masyarakat beragama. Sisi negatif ini telah terjadi pada beberapa tempat, seperti antara
lain [dikutip dari sejumlah sumber webside] : (1) Peristiwa Tasikmalaya (Jabar); Situbondo
(Jatim) dan Rengasdenklok (Banten), 1997; (2) Peristiwa Ketapang (Jatim), 22/ 11-1998; (3)
Peristiwa Kupang (NTT), 30/11 – 1/12-1998; (4) Kasus Poso (SulTeng), 25/12 1998 dan 2006
; (5) Insiden Ambon (Maluku), 19/1-1999 dan 2001; (6) Kasus MONAS Berdarah (Jkt), 1/6 –
2008; (7) Kasus Penyerangan Jemaat HKBP Bekasi (JaBar),
1/8-2010; dan (8) Kasus
Temanggung (Jateng), 3/10- 2012.
Lima dari 8 kekerasan bernuansa agama di luar Papua ditambah 3 insiden di Papua, ternyata
adalah penyerangan dilakukan oleh sekelompok orang Islam terhadap simbol-simbol agama nonIslam, empat lainnya adalah penyerangan oleh mayoritas Kristen Protestan terhadap symbolsimbol Islam, dan 2 sisanya ialah serangan terhadap beberapa orang dan aparat keamanan. Ini
menunjukkan bahwa ketidakhadiran perdamaian di Papua bukan saja berbentuk negatif, berupa
kriminalitas serta gangguan keamanan dan/atau perang yang setiap saat terjadi antara kelompok
separatism: OPM cabang militernya dan para pengikutnya, disatu fihak, dengan para aparatur
keamanan, dilain fihak. Tidakhadirnya perdamaian di Papua adalah juga perdamaian positif
disebabkan oleh faktor-faktor yang sudah disebutkan sebelumnya
dan
bom waktu
yang
dipersiapkan oleh strategi organisasi keagamaan yang berfihak pada kekuatan politik di situ.
Ketidakhadiran perdamaian positif juga disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang
agama mana paling awal datang di Papua, dan agama mana pula secara konkrit dan riil mampu
membuat perubahan sosial ekonomi bagi
masyarakat Papua, dan agama mana pula dianggap
dapat mencegah masyarakat Papua kehilangan identitas sebagai kelompok etnis besar.
Perubahan Sosial vs Status Quo
Perbedaan pandangan itu menimbulkan saling curiga antara dua kelompok masyarakat
berdasarkan garis agama yang diperkuat oleh garis komando organisasi keagamaan. Para tokoh
masyarakat penganut satu agama tertentu menyesalkan bahwa ajaran agama lain telah mengubah
dan menghilangkan cara, pola, kebiasaan, tradisi dan identitas masyarakat asli Papua yang sudah
hidup sejak nenek moyang, sehingga mereka dianggap terasing di tanah mereka sendiri.
Tokoh masyarakat penganut agama lain mengkhawatirkan saudara mereka penganut agama
tertentu akan terus tertinggal karena dibiarkan meneruskan kondisi seperti hidup dalam zaman
batu, bertelanjang dada bagi wanita dan berkoteka bagi laki-laki. Kalau ada strategi penyebaran
yang mengarah pada perubahan sosial, pelaksanaan strategi itu dianggap oleh tokoh tersebut
(https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua_Barat) sebagai telah mengelabui masyarakat
Papua. Bahkan ada semacam mitos di lancarkan bahwa asal usul nenek moyang orang-orang asli
Papua berkulit putih dan pada satu saat nanti, ketika mereka telah berkeyakinan kuat terhadap
agama itu, orang-orang Papua akan berkulit putih kembali.
Perbedaan pendapat dan curiga mencurigai sebenarnya tidak perlu menimbulkan kekerasan
sebagaimana terjadi di Tolikara, 17/7 2015.
Menurut sejumlah tokoh Papua, bukan prinsip
ajaran agama membuat orang-orang Papua asli sangat lama berubah dan menjadikan mereka
terasing di tanah mereka sendiri. Namun, kondisi kesenjangan itulah, sebagai akibat dari strategi
peninabobokan saudara mereka di pedalaman yang masih lugu, telah meresahkan masyarakat
Papua pada umumnya. Selain itu, kesan keterasingan dan kesenjangan itu, bukan tidak boleh jadi
dipicu oleh surat edaran yang melarang umat Islam Papua asli baik dalam melaksanakan shalat
Idul Fitri dan menyuarakan azan maupun dalam memakai jilbab. Larangan ini, dianggap oleh
para tokoh asli Papua sebagai bentuk ketida toleran dan pemaksaan kehendak.
Sebaliknya, para pengurus GIDI keberatan terhadap kapal Al Fatih Kaaffah Nusantara
(AFKN), dipimpin oleh putra daerah Papua, Ustadz Muhammad Zaaf Fadzlan Al Garamatan
(https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua) dan
menuduh AFKN menyebarkan agama
kepada penganut Protestan untuk menciptakan keseimbangan dalam pemerintahan di Papua. Di
fihak lain, para tokoh Islam asli Papua (http://suarabaptis.blogspot.com/2013/05/ islamisasipapua-semakin-gencar-gereja.html) menyatakan GIDI tak perlu cemburu. Umat Islam Papualah
seharusnya cemburu, karena OTSUS, SDA dan posisi dalam pemerintahan hanya dinikmati oleh
penganut Kristen. Mereka
sangat khawatir ketidakadilan ekonomi politik dan strategi
penyebaran seperti itu akan menciptakan kekuatan politik yang memperlemah NKRI. Dr. AA
Yewangoe, Ketua Umum PGI, menyatakan umat Kristen diwajibkan untuk berpolitik praktis
yang merupakan panggilan agama (Agama dan Kerukunan, hlm 162) dalam mencapai tujuan.
Karakter Misionaris
Para penyebar agama Islam dan Kristen, tampaknya bersaing keras dalam melaksanakan
tugas suci mereka. Ini tidak terjadi pada agama lain seperti Budhisme, Hinduisme dan
Congfusionisme. Mengapa?
Karena kedua agama samawi ini memiliki
karakter misi
penyebaran agama (missionary character) yang bertujuan. menyebarkan keyakinan agama di
luar kelompok etnis atau bangsa mereka bahkan kepada umat manusia di dunia.
Karakter misionaris Kristen adalah misi penyebaran agama ditujukan melalui doktrin
membawa Kabar Gembira sampai ke ujung bumi seperti diperintahkan Kristus kepada semua
orang beriman: ‘Maka pergilah kamu, jadikanlah segala bangsa muridKu dan permandikanlah
atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’ (Mat 28:19). Dalam misinya, agama ini didukung oleh
kekuatan organisasi, finasial yang kuat dan SDM handal dari berbagai penjuru dunia.
Sama dengan Kristen, Islam juga mengandung karakter misionaris yang disebarankan
tidak hanya bagi manusia diseluruh dunia tapi juga memberi Rakhmat bagi semesta Alam,
termasuk makhluk di darat, di laut, di dalam bumi dan di udara dan tumbuh-tumbuhah (Qs. AlAnbiya:107). Bedanya adalah tugas misionaris dalam Islam terletak di pundak setiap Muslim
dan Muslimah bukan pada organisasi, keuangan, politik, dan milter. Itu sebabnya penyebaran
Islam di Papua seakan berjalan lama, karena hadirnya melalui pribadi-pribadi dan dari hati
kehati.
Islam ke Papua dibawa para pedagang dan musyafir yang menyatu dengan penduduk asli
setempat. Karena Itu, walau agama ini masuk jauh lebih dulu, yakni Abad XVI, 1521, daripada
agama Kristen, yaitu dua abad setelah itu yaitu Abad XVII, 1855 (Thomas Arnold [dalam
https://id.wikipedia. org/ wiki /Islam_di_Papua]. Namun, jumlah pemeluknya berada nomor dua
setelah Protestan. Ini menunjukkan Agama Protestan lebih berjaya di Papua khususnya di
kawasan pedalam (https://www. facebook. com/permalink.php?id=153258498092019& story_
fbid= 159751724182854)
Dosen FISIPOL UNTAN & Dosen
Tamu di NIAS, Copenhagen, Denmark