Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

PERSON IN CHARGE

Asep Kusnadi

EDITOR IN CHIEF

Rd. Arif Mulyadi

EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT

Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina, Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143 E-mail: safina.jurnal@gmail.com

Volume 2/Nomor 2/Agustus 2017 ISSN : 2503-1651

DAFTAR ISI

Iftitah IV Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam

121-138

Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung

165-187

Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok 189-211

Rd. Arif Mulyadi Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

213-234

Sugiharto

Indeks

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam. Menurut peneliti, Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah. Pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw yang ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran

VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017 VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al- Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat ( society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan ( maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

Pada tulisan keempat Raden Arif Mulyadi dan Muhammad Muchdi Ardansyah menyampaikan hasil risetnya yang bertajuk

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

VII

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

Wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh

VIII

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

PARADIGMA PEMBELAJARAN BERBASIS KASUS (CBL)

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Eva Fitriati

Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madinatul Ilmi Depok

eva_fitriaty@yahoo.com

Abstrak

Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah. Namun demikian, tidak banyak pakar pendidikan Islam yang menyadari hal ini, sehingga model pembelajaran berbasis kasus dalam perspektif Islam belum dikenal luas secara publik. Pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu. Bahkan hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa.

Kata-kata kunci: Pembelajaran berbasis kasus, model pembelajaran, pendidikan Islam.

Pendahuluan

Sistem pendidikan dikatakan berkualitas jika proses pembelajar- annya berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang berkualitas akan membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas juga. Dalam dunia pendidikan di sekolah, proses pembelajaran yang berkualitas adalah proses pembelajaran yang yang memberi perubahan atas hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Proses pembelajaran berkaitan erat dengan model pembelajaran. Model pembelajaran sendiri dipahami sebagai suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam proses pembelajaran di kelas. Upaya memperbaiki proses pembelajaran diperlukan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi pembelajaran. Perkem- bangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Bahkan dengan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pen- didikan (KTSP) yang menghendaki adanya perubahan paradigma dalam pembelajaran, dengan demikian model-model pembelajaran turut meng- alami perubahan.

Perubahan itu antara lain ditandai dengan pembelajaran yang berpusat pada guru ( teacher centered); dimana guru dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan siswa hanya sebagai objek yang hanya sebagai penerima pengetahuan, beralih ke berpusat pada siswa ( student centered); yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan siswa secara penuh. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengalaman dan membangun pengetahuannya sendiri, dan guru hanya sebagai fasilitator. Dengan model ini siswa dapat melatih kemandirian sehingga dapat belajar dari lingkungan kehidupannya. Perubahan tersebut juga berkaitan erat dengan teori belajar modern yaitu konstruktivisme. Menurut teori ini, guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi juga siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya.

Terdapat beberapa model pembelajaran yang terkait dengan konstruktivisme, di antaranya adalah pembelajaran berbasis kasus ( case based learning). Model ini secara umum terkait dengan konstruktivisme dimana siswa membangun pengetahuannya dari pengalaman nyata melalui kasus. Case Based Learning sudah digunakan di sekolah hukum dan sekolah bisnis pada awal tahun 1900-an. Model ini menekankan

140 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 140 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Rechey dalam bukunya, Planning for Teaching, and Introduction, menjelaskan pengertian pendidikan bahwa istilah pendidikan ber- kenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama untuk memperkenalkan warga masyarakat (generasi muda) pada pengenalan terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat. Jadi proses pendidikan jauh lebih luas daripada proses yang berlangsung di sekolah (Saebani & Achdhiyat 2009, 9).

Dalam Dictionary of Education, makna education dipahami juga sebagai kumpulan semua proses yang memungkinkan seseorang me- ngem bangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku yang ber nilai positif di dalam masyarakat tempat ia hidup. Istilah education sebagai sebuah proses sosial ketika seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya lingkungan sosial) sehingga mereka dapat memiliki kemampuan sosial dan perkembangan individual secara optimal.

Bertolak pada hal tersebut, tulisan ini hadir untuk memaparkan hasil penelitian dengan tema Paradigma pembelajaran berbasis kasus dalam perspektif pendidikan Islam.

Pembelajaran Berbasis Kasus dalam Teori Pembelajaran Kontemporer

Istilah “pembelajaran berbasis kasus” dalam penelitian ini merujuk pada istilah “ case-based learning”, “case-based teaching”, “ case study teaching” atau “case method” dalam literatur teori pembelajaran kontemporer. Dari beberapa istilah tersebut, penelitian ini akan menggunakan istilah “ case-based learning” (CBL) dalam uraian selanjutnya. CBL merupakan salah satu pendekatan, metode atau strategi pembelajaran kontemporer yang muncul sebagai respons atas kegagalan model pembelajaran tradisional. Salah satu kekhasan dari pendekatan ini adalah penggunaan cerita, kisah atau narasi sebagai media untuk merangsang siswa untuk berpikir kritis, reflektif dan analitis dalam kegiatan pemecahan masalah ( problem solving).

Case-Based Learning telah lama digunakan oleh banyak profesi terutama pendidikan hukum, kedokteran dan bisnis. Keyakinan

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Sebagaimana telah disinggung dalam pengantar singkat di atas, CBL merupakan salah satu desain pembelajaran yang dipengaruhi oleh teori konstruktivisme dan berkaitan erat dengan PBL. Dengan demikian, paling tidak terdapat tiga isu yang perlu dielaborasi sebelum menjelaskan definisi dan karakteristik CBL, yakni pembelajaran, teori pembelajaran konstruktivisme dan PBL.

a. Hakikat Pembelajaran

Pengertian pembelajaran tidak terlepas dari pengertian belajar; belajar dan pembelajaran merupakan satu rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Belajar adalah proses multisegi. Kapasitas belajar adalah karakteristik yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Hanya manusia yang memiliki otak yang berkembang baik untuk digunakan melakukan tindakan yang memiliki tujuan. Di antara kemampuan itu adalah mengidentifikasi objek, merancang tujuan, menyusun rencana, mengorganisasikan sumber daya dan mengendalikan konsekuensi (Gredler 2011, 3-4).

Menurut Lindgren belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan perubahan tersebut disebabkan adanya interaksi individu yang bersangkutan dengan lingkungannya (Lindgren 1976, 29). Heinich mengatakan bahwa belajar adalah proses aktivitas pengembangan pengetahuan, keterampilan atau sikap sebagai interaksi seseorang dengan informasi dan lingkungannya sehingga dalam proses

142 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 142 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam proses belajar terdapat suatu tujuan yang hendak dicapai, yang dikenal sebagai hasil belajar. Menurut Benyamin Bloom, sebagaimana dikutip Nana Sudjana, secara umum terdapat tiga klasifikasi hasil belajar, yaitu: (1) Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yang meliputi penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi; (3) Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar yang berupa keterampilan dan kemampuan bertindak, meliputi enam aspek yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perseptual, ketepatan, keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif (Sudjana 2010, 22-23).

Hasil belajar tersebut menjadi model dalam proses pembelajaran selanjutnya. Pembelajaran itu sendiri berarti kegiatan belajar yang dilakukan oleh pembelajar dan guru dalam suatu lingkungan belajar. Dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Proses tersebut menjadi satu sistem dalam pembelajaran. Sistem pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi hingga diperoleh interaksi yang efektif. Dick dan Carey menjelaskan komponen dalam sistem pembelajaran adalah pembelajar, instruktur (guru), bahan pembelajaran dan lingkungan pembelajaran (Walter, Carey, & Carey 2001, 3-4). Dengan kata lain, komponen dalam pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi (lingkungan eksternal) yang konduktif agar terjadi proses belajar (kondisi internal) pada diri siswa (pebelajar). Pembelajaran akan berhasil guna dan berjalan secara efektif bila dalam perancangan dan pengembangan bertitik tolak pada karakteristik pebelajar, mata pelajaran dan pedoman pada kompetensi dasar, tujuan-tujuan

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

b. Teori Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah sebuah paradigma filosofis dan teoretis yang sangat berpengaruh dalam pemikiran kontemporer. Konstruktivisme pada umumnya disajikan baik sebagai teori pembelajaran ( theory of learning) atau teori psikologis ( psychological theory) dan teori pengetahuan (theory of knowledge) atau teori epistemologis (epistemological theory). Kedua dimensi teoretis ini menggambarkan watak gabungan konstruktivisme (Fosnot 2005, ix). Karakterisasi konstruktivisme sebagai gabungan dari teori pembelajaran (psikologi) dengan teori pengetahuan (filsafat) ini terlihat jelas dalam tulisan para pendiri konstruktivisme pendidikan ( educational constructivism) seperti Jean Piaget, Lev Vygotsky dan Jerome Bruner (Matthews 2012, 4).

Banyak literatur menyatakan bahwa dasar-dasar teori konstruk- tivisme berakar dari pemikiran Jean Piaget, seorang psikolog berkebangsaan Swiss. Namun, menurut von Glasersfeld, prinsip-prinsip konstruktivisme pada dasarnya telah muncul lebih awal dalam tulisan-tulisan Giambattista Vico, yang pada 1710 menyatakan bahwa “ we can rationally know only what we ourselves have made.” (Glasersfeld 1995, 6) Selain Giambattista Vico, von Glasersfeld juga menyebut beberapa tokoh lain di balik kemunculan teori konstruktivisme seperti George Berkeley, Ludwig Wittgenstein, dan Silvio Ceccato. Menurut Noddings, konstruktivisme dapat ditelusuri dalam karya Neisser tentang psikologi tindakan ( act psychology), karya Piaget tentang perkembangan kognitif ( cognitive development) dan karya Chomsky tentang struktur linguistik bawaan pikiran ( innate linguistic structures of mind). Noddings berpendapat bahwa penekanan konstruktivisme pada peserta didik sebagai pusat muncul dari teori Chomsky dan Piaget tentang subjek epistemologis; “mekanisme mengetahui aktif ( active knowing) yang mengetahui melalui konstruksi berkelanjutan (continued construction).” (Noddings 1990, 9) Namun demikian, tokoh yang dianggap paling berjasa dalam perkembangan teori konstruktivisme adalah Jean Piaget. Meskipun Piaget bukan orang yang pertama mengemukakan

144 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 144 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Teori perkembangan kognitif Piaget bertolak dari dua konsep dasar, yakni “asimilasi” ( assimilation) dan “akomodasi” (accommodation). Menurut Piaget, kecerdasan manusia, sebagaimana sistem biologis pada umumnya, berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, mengem- bangkan struktur baru apabila dibutuhkan dan mempertahankan keada- an yang tetap saat terjadi perubahan dan pertumbuhan. Oleh karena itu, Piaget menggunakan istilah yang berasal dari konsep biologis untuk mendeskripsikan ciri esensial dari interaksi antara kecerdasan dan lingkungan, yakni asimilasi ( assimilation), akomodasi (accomodation) dan ekuilibrasi ( equilibration). Asimilasi adalah integrasi elemen eksternal ke dalam struktur organisme. Contohnya antara lain pencernaan makanan dan pemasukan klorofil dalam pertumbuhan tanaman (Piaget 1970, 307). Dalam kehidupan intelektual, asimilasi adalah “penggabungan elemen eksternal, misalnya suatu objek atau peristiwa, ke dalam sensorimotor atau skema konseptual subjek. Asimilasi bukan proses pencatatan pasif suatu rekaman realitas, juga bukan asosiasi antara stimulus lingkungan dan suatu respons (S R). Sebaliknya, asimilasi adalah penyaringan stimulus melalui struktur tindakan sehingga struktur itu sendiri menjadi diperkaya (S R) (Piaget & Inhelder 1969, 6).

Dalam sudut pandang konstruktivis, peran esensial pembelajaran adalah memfasilitasi pembangunan pengetahuan melalui metode pengalaman, kontekstual, dan sosial dalam lingkungan dunia nyata. Produk akhir pembelajaran adalah peserta didik mandiri ( self- directed learners) yang mampu membuat koneksi ke tempat kerja dan lingkungan lain berdasarkan pengalaman personal dan sosial (Lynch 1997, 27). Menurut Brown, konsep pembelajaran konstruktivistik dapat diartikulasikan dan diaplikasikan dalam berbagai cara. Beberapa di antaranya adalah pengembangan lingkungan pembelajaran yang menggabungkan praktik “pembelajaran berpusat pada peserta didik” ( learner-centered teaching), “pembelajaran berbasis masalah” (problem- based learning), “pembelajaran kontekstual” (contextual teaching and learning), integrasi kurikulum akademik dan kejuruan (integrated academic and vocational curriculum), dan penilaian autentik (authentic

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

c. Pembelajaran Berbasis Masalah

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian pengantar, perkem- bangan CBL berkaitan erat dengan kemunculan problem-based learning (PBL). CBL sendiri merupakan model desain pembelajaran ( instructional design model) yang merupakan varian dari pembelajaran berorientasi proyek ( project-oriented learning). Namun dalam arti sempit, CBL lebih mirip dengan PBL (edutech wiki t.t.). Sifat utama CBL yang berasal dari PBL adalah bahwa sebuah kasus, masalah, atau penyelidikan digunakan untuk merangsang dan mendukung perolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam konteks atau situasi yang mempromosikan pembelajaran autentik.

Pembelajaran berbasis masalah dianggap sebagai “salah satu tipe lingkungan pembelajaran konstruktivis terbaik.” (John R. Savery & Thomas M. Duffy 1995, 31-38) Pembelajaran berbasis masalah memiliki kerangka konstruktivis dalam arti bahwa ia mendukung nilai-nilai kolaborasi, otonomi pribadi, refleksi, keterlibatan aktif, dan relevansi pribadi. Pendekatan dan kegiatan pembelajaran yang mencerminkan implementasi pembelajaran berbasis masalah antara lain mencakup pembelajaran kasus, simulasi, pemecahan masalah progresif, pembelajar an berjangkar ( anchored instruction) dan penelitian tindakan (action research) (Pierce & Jones 1998, 75-106). Brown, merujuk pada studi Stepien dan Gallagher (Placeholder1) (Stepien & Gallagher 1993, 25-28), merangkum empat ciri penting pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Pertama, pergumulan (engagement). Masalah dapat menimbulkan konsep dan prinsip-prinsip yang relevan dengan bidang isi dan menghadirkan masalah-masalah nyata yang berhubungan dengan konteks sosial yang lebih besar dari dunia personal peserta didik.

Kedua, penyelidikan (inquiry). Masalah tidak terstruktur (ill- structured) dalam arti bahwa ia tidak memiliki satu jawaban yang benar. Jawaban atas suatu masalah seringkali berubah seiring penemuan informasi lebih lanjut. Hal ini membutuhkan penjelajahan ( exploration) untuk menentukan dan memperbaiki pertanyaan dan ide-ide seputar masalah tersebut.

146 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Ketiga, pembangunan solusi (solution building). Dalam pembelajaran berbasis masalah, solusi dihasilkan oleh peserta didik sebagai pemecah masalah ( problem solvers). Dalam bingkai ini, pendidik lebih berperan sebagai pelatih. Sebagai pemecah masalah, peserta didik terlibat dalam observasi, investigasi dan penyelidikan hipotesis dan masalah, dan mereka merumuskan kesimpulan yang konsisten dengan watak masalah bersangkutan. Di lain pihak, pendidik sebagai pelatih mempromosikan pembelajaran dengan bertindak sebagai model, menunjukkan perilaku yang diharapkan dapat diadopsi oleh peserta didik. Pendidik mendorong peserta didik untuk mengambil kepemilikan atas masalah dan tanggung jawab dalam rangka mencari solusinya dan kemudian mundur ke belakang panggung.

Keempat, refleksi (reflection). Penilaian autentik digunakan sebagai struktur untuk refleksi. Penilaian memfokuskan pada kompleksitas proses penalaran dan konsep materi pelajaran dalam pemecahan masalah, menyediakan standar bagi tindakan sebagai tolak ukur untuk berpikir ( benchmarks for thinking) (Brown 1998, 1).

Dalam pembelajaran berbasis masalah, Brown menekankan pentingnya pendidik memiliki keterampilan interpersonal dan dinamisasi kelompok yang baik. Dia menyoroti kebutuhan bagi pendidik untuk mengadopsi strategi instruksional, sumber daya, dan kegiatan yang mempromosikan perkembangan sosial peserta didik serta keterampilan dasar dan berpikir (Brown 1998, 1-2). Stage dkk., di sisi lain, mendiskusikan komponen sosial pembelajaran berbasis masalah dalam konteks konstruktivisme. Stage dkk. berpendapat bahwa “pertukaran sosial yang bermakna antara individu adalah sumber utama pertumbuhan kognitif dan konstruksi pengetahuan.” (Francis K. Stage et.al. 1998) Dengan demikian, praktik pembelajaran berbasis masalah memerlukan jenis interaksi dan saling ketergantungan di antara peserta didik.

d. Pembelajaran Berbasis Kasus

Kemunculan pembelajaran berbasis kasus (CBL) pada awalnya berasal dari persepsi para pendidik berdasarkan praktik dan pengalaman mereka dalam proses pembelajaran. Seperti dikemukakan Hoag, Brickley dan Cawley, “sementara klaim dalam ranah wacana menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis kasus lebih unggul untuk pengembangan keterampilan manajer dan guru. Kesimpulan ini sebagian besar didasarkan pada persepsi instruktur.” (Hoag, Brickley & Cawley 2001, 52) Meskipun

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Mendefinisikan Case-Based Learning bukanlah tugas yang mudah. Kasus digunakan untuk tujuan, bidang, dan bentuk yang berbeda. Tidak ada konsensus tentang bagaimana kasus dapat digunakan dalam pembelajaran, sehingga memunculkan kesulitan tersendiri dalam menentukan metode kasus yang definitif. Meskipun perbedaan pandangan dalam CBL menggambarkan sulitnya membangun definisi universal, CBL telah diakui secara luas sebagai salah satu model atau pendekatan pembelajaran yang memanfaatkan studi kasus untuk menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata. CBL adalah strategi pembelajaran aktif di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan pengambilan keputusan mereka (Michigan State University t.t.).

Menurut Shulman, “sebuah kasus memiliki narasi, cerita, serangkaian peristiwa yang terbentang dari waktu ke waktu di tempat tertentu.” (Shulman 1992, 21) Kasus merupakan masalah kompleks berbasis fakta ( factually-based) yang ditulis untuk merangsang diskusi kelas dan analisis kolaboratif. Pembelajaran berbasis kasus melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa ( student-centered). Ketika siswa mempertimbangkan masalah dari perspektif yang memerlukan analisis, mereka harus berusaha menyelesaikan pertanyaan tanpa harus berujung pada satu jawaban yang benar (edutech wiki t.t.). Dengan kata lain, siswa harus terbuka dengan berbagai kemungkinan jawaban yang berbeda dari satu masalah atau pertanyaan yang sama.

Case-Based Learning menyediakan laboratorium pemecahan masalah untuk mengidentifikasi banyak alternatif terhadap situasi yang beragam. Melalui diskusi dan dialog, siswa belajar cara baru untuk melihat situasi yang menantang sikap dan pola pikir sambil belajar membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada (Michael J. Austin & Thomas Packhard 2009, 217). Cossom, sebagaimana dikutip Austin & Packard, mengidentifikasi beberapa keterampilan yang dapat dipromosikan oleh pembelajaran berbasis kasus, yakni: (1) belajar bagaimana membuat penilaian berdasarkan fakta dan nilai yang

148 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 148 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam Case-Based Learning, siswa mengembangkan keterampilan berpikir analitis dan penilaian reflektif dengan membaca dan membahas skenario kehidupan nyata yang kompleks ( Center for Research on Learning and Teaching (CRLT) t.t.). Istilah “studi kasus” (case study) dalam CBL mencakup berbagai masalah yang disajikan kepada siswa untuk dianalisis. Kebanyakan kasus didasarkan pada peristiwa nyata ( real events), atau konstruksi peristiwa yang secara masuk akal mungkin dapat berlangsung. Model pembelajaran seperti ini biasanya berlangung melalui cerita ( story) tentang suatu masalah atau konflik yang perlu diselesaikan—meskipun kebanyakan studi kasus tidak selalu memiliki satu solusi yang definitif. Informasi yang terkandung dalam studi kasus mungkin bersifat kompleks (termasuk tabel, grafik, dan latar belakang sejarah yang relevan dengan materi) atau sederhana—cerita manusia yang menggambarkan situasi sulit yang memerlukan suatu keputusan ( Center for Teaching and Learning (CTL) Winter 1994, 1).

Dalam model Case-Based Learning diasumsikan bahwa kasus yang baik ( good case) dapat menyajikan masalah-masalah yang memprovokasi dan menarik minat dan mempromosikan empati terhadap karakter utama. Ini melukiskan perspektif individual dan keadaan pribadi yang cukup baik untuk memungkinkan siswa memahami pengalaman karakter ( characters’ experience) tentang suatu masalah. Pentingnya isu yang menarik dan karakter yang empatik mencerminkan fakta bahwa kasus biasanya berfokus pada persimpangan antara dinamika organisasional atau situasional dan persepsi, penilaian, dan tindakan individu (Boehrer & Linsky 1990, 45).

Isi kasus harus ditulis dengan bentuk naratif untuk menunjukkan kekhasan dan kontekstualisasi kasus. Namun menyediakan isi kasus yang ditulis dengan baik tidak cukup untuk keberhasilan pembelajaran berbasis kasus. Kunci metode kasus adalah diskusi. Diskusi harus diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Melibatkan peserta didik

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Rekonstruksi Pembelajaran Berbasis Kasus dalam Perspektif Pendidikan Islam

Pembelajaran berbasis kasus ( case-based learning) pada dasarnya bukan merupakan ide baru. Penggunaan cerita untuk menyampaikan sejarah, mengajarkan moral dan menjelaskan konsep telah dipraktikkan sejak zaman kuno. Menurut Blackmon, Hong dan Choi, apa yang modern dari pembelajaran berbasis kasus adalah penggunaan narasi yang dikembangkan untuk memberikan pembelajaran autentik ( authentic learning) bagi siswa (Blackmon, Hong & Choi 2010, 175). Islam sebagai doktrin dan tradisi keagamaan yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan dan pengetahuan pada dasarnya telah mengenal berbagai macam model pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis kasus. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu. Bahkan hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa.

Sebagai pedoman hidup umat Islam, Alquran memiliki paradigma tersendiri tentang dunia kehidupan, termasuk dunia pendidikan, yang didasarkan pada pandangan dunia Tauhid. Kendati Alquran tidak menyuguhkan teori tertentu tentang pendidikan, narasi-narasi teologis dan sosiologis yang terdapat dalam Alquran pada dasarnya memuat paradigma tertentu tentang pendidikan yang dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan untuk mengembangkan teori, pendekatan atau metode pembelajaran dalam konteks dunia pendidikan modern.

150 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Paradigma tersebut telah dikembangkan oleh para ulama dan sarjana muslim dari masa ke masa, yang pada gilirannya membentuk filsafat, teori dan sistem pendidikan Islam yang khas. Menurut ‘Abd al-Rahman Shalih ‘Abdullah, teori pendidikan Islam berasal dari konsepsi Alquran (‘Abdullah 1982, 43). Dalam perspektif Alquran, pencarian dan perolehan pengetahuan merupakan salah satu prinsip dasar Islam. Alquran menegaskan bahwa hanya mereka yang memiliki pengetahuan yang mampu “menapak jalan kebenaran ( taqwa)”, sebagaimana disebutkan dalam QS. Fathir/35: 28.

a. Hakikat Pendidikan Islam

Istilah Arab untuk pendidikan berasal dari tiga kata yang berbeda, yakni “ tarbiyah”, “ta’dib”, dan “ta‘lim”. Menurut Syed Naquib al-Attas, tarbiyah berasal dari akar kata raba, yang berarti tumbuh atau berkembang ( to grow, increase). Istilah ini mengacu pada pengembangan potensi individu dan proses mengasuh dan membimbing anak menuju kondisi kesempurnaan atau kedewasaan. Ta’dib berasal dari akar kata aduba, yang berarti sopan, disiplin atau beradab/berbudaya ( to be refined, disciplined, cultured). Istilah ini mengacu pada proses pengembangan karakter dan pembelajaran dasar yang kuat untuk perilaku moral dan sosial dalam komunitas dan masyarakat pada umumnya. Istilah ini mencakup makna memahami dan menerima prinsip-prinsip sosial fundamental, seperti keadilan. Ta‘lim, berasal dari akar kata ‘alima, yang berarti mengetahui, mengerti atau memahami ( to know, perceive, discern). Istilah ini mengacu pada proses menanamkan dan menerima pengetahuan, biasanya melalui pelatihan ( training), pengajaran (instruction) atau bentuk-bentuk lain pembelajaran (al-Attas 1979, 41-58). Makna dari ketiga istilah ini menyiratkan bahwa kurikulum pendidikan Islam dalam Alquran mencakup upaya membimbing perkembangan individu menuju kedewasaan, memperluas pemahaman mereka tentang aturan- aturan moral dan sosial, serta mentransmisikan atau mengajarkan pengetahuan baru berdasarkan nilai-nilai Islam.

Menurut Mark Halstead, penekanan yang berbeda dari ketiga istilah di atas mengungkapkan tiga dimensi utama dalam pendidikan Islam, yakni: (1) membantu perkembangan individu; (2) meningkatkan pemahaman tentang masyarakat dan aturan sosial dan moral masyarakat; dan (3) transmisi pengetahuan. Ketiga dimensi ini tentu

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Landasan filosofis pendidikan Islam berasal dari doktrin Alquran dan Sunah tentang pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa prinsip dasar yang menopang perkembangan pendidikan Islam adalah anjuran mencari pengetahuan ( thalab al-‘ilm) dalam Alquran dan Sunah. Signifikansi belajar dan mencari pengetahuan ini dijelaskan dalam beberapa cara dalam Alquran, antara lain melalui perintah “membaca” kepada Nabi Muhammad saw (QS al-‘Alaq/96: 1-5), melalui kisah penciptaan Adam terutama ketika Tuhan mengajarkan “ilmu nama- nama” ( ‘ilm al-asma) kepada Nabi Adam (QS al-Baqarah/2: 31), melalui justifikasi tentang ketinggian derajat orang yang berpengetahuan (QS. Al-Mujadalah/58: 11), dan melalui anjuran untuk memikirkan atau merenungkan “tanda-tanda” ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta (QS. al-Nahl/16: 16-17; QS. al-Ra’d/13: 3). Berdasarkan ayat-ayat tersebut itulah, anjuran mencari ilmu merupakan prinsip dasar dalam pendidikan Islam.

b. Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus dalam Alquran dan Sunah

Cara terbaik untuk memperlihatkan paradigma pembelajaran berbasis kasus dalam perspektif Islam harus bertolak dari analisis terhadap ayat-ayat Alquran dan Sunah Nabi. Struktur Alquran tidak disusun secara berurutan; ayat-ayat yang berbeda diturunkan pada waktu yang berbeda sepanjang hidup Nabi Muhammad saw; jarang sekali surah dalam Alquran mengungkapkan ayat-ayat yang diturunkan pada momen pewahyuan yang sama pada satu waktu sekaligus. Konsep ini dinyatakan dalam cara Alquran menggambarkan proses pewahyuan, yakni “ nazzalna” atau “nazzala”, yang berarti sepotong

152 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 152 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dia menurunkan (nazzala) Al-Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan (anzala) Taurat dan Injil” (QS. Ali Imran/3: 3).

Setiap kali sebuah ayat atau sejumlah ayat diturunkan, ayat tersebut seringkali menggambarkan skenario kasus dalam konteks kehidupan nyata yang memberikan kesempatan bagi Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada umat Islam. Oleh karena itu, hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa ( on the spot). Rincian kasus ini dapat ditemukan dalam Sunah atau Sirah Nabawi. Setiap kali sebuah konsep diwahyukan, konteks dan ajaran/ ucapan Nabi Muhammad dalam menanggapi konsep yang diwahyukan itu akan menjelaskannya. Model pembelajaran seperti ini pada dasarnya identik dengan apa yang disebut sebagai metode “studi kasus” ( case study) atau “pembelajaran berbasis kasus” (case-based learning) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Salah satu contoh metode pembelajaran berbasis kasus dalam Alquran dan Sunah dapat dilihat dalam asbab al-nuzul surah pertama Alquran, al-Fatihah. Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, salah satu sahabat Nabi Muhammad saw, suatu saat pernah melaksanakan salat di masjid dan Rasulullah memanggilnya, tapi dia tidak menjawab panggilan beliau— seorang muslim tidak diperkenankan berpaling dari atau menyela salat mereka, kecuali dalam keadaan darurat. Kemudian Abu Sa’id mengatakan kepada Rasulullah mengapa dia tidak menjawab, karena ia sedang salat. Nabi Muhammad berkata, “Bukankah Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfal/8: 24).

Nabi Muhammad kemudian berkata kepadanya, “Aku akan mengajarkan kepadamu sebuah surah paling agung dalam Alquran

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Ada dua poin utama yang dapat diambil hikmahnya dari kisah di atas. Pertama, Nabi Muhammad secara sengaja memanggil Abu Sa’id ketika ia salat, momen di mana seseorang biasanya tidak akan merespons, dalam rangka memberikan kesempatan kepadanya untuk mempelajari arti dari ayat lain, yakni QS. Al-Anfal/8: 24, yang memiliki konsep lebih luas daripada konsep “ memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya” sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nisa/4: 150. Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad seolah-olah hendak berkata kepada Abu Sa’id, “Tuhan yang kamu sembah dalam salat saat ini adalah Tuhan yang sama yang juga memerintahkan kamu untuk mematuhi utusan Allah.” Dalam ayat lain, Allah berfirman, Katakanlah: “ Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran/3: 31).

Kemudian Nabi Muhammad secara simpatik menggandeng tangan Abu Sa’id dan mengajarinya surah baru dari Alquran, yakni surah al-Fatihah. Nabi Muhammad, dengan demikian, tidak hanya menekankan kembali dan menjelaskan kepada Abu Sa’id sejauh mana seseorang seharusnya “merespons” utusan Allah, tetapi juga mengajarkan bahwa pelaksanaan pengetahuan yang dimilikinya dari ayat sebelumnya harus membawanya kepada pengetahuan baru yang lebih bermanfaat, yakni surah baru yang ia pelajari. Pada tingkat yang lebih makro, Nabi Muhammad telah mengajarkan Abu Sa’id bahwa melakukan perbuatan atas dasar apa yang telah diketahui akan membawa seseorang pada pengetahuan yang lebih mendalam. Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad juga menganalogikan wahyu sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan kepada makhluk ciptaan. Ini hanyalah salah satu contoh metode pembelajaran Alquran berbasis kasus dalam konteks kehidupan konkret.

154 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad mengajarkan kepada Abu Sa’id beberapa konsep yang berkaitan erat dengan konsep sebelumnya dalam QS. Al-Nisa/4: 150, yang membedakan kepatuhan kepada Allah dan utusan Allah, dengan menggunakan skenario kasus sebagai instrumen pembelajaran, yakni secara sengaja memanggil Abu Sa’id dalam keadaan salat, kemudian mengajarkan kepadanya bentuk lain tingkat kepatuhan kepada utusan Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal/8: 24. Pembelajaran berlapis-lapis ( multi-layered) seperti ini memungkinkan pengolahan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep yang disajikan secara bersamaan dalam satu situasi yang mendefinisikan hubungan konsep-konsep tersebut satu sama lain. Skenario kasus seperti ini tidak hanya memberikan pembelajaran kepada orang yang mengalaminya secara langsung, tetapi juga kepada pengamat lain yang menyaksikan peristiwa ini, yakni sahabat lain yang hadir di masjid pada waktu itu, yang juga berkesempatan untuk belajar dari peristiwa ini. Cerita-cerita dalam Alquran, yang biasanya mengambil porsi signifikan dari setiap surah, juga berfungsi sebagai skenario kasus yang digunakan sebagai model pembelajaran dan memberikan contoh hidup tentang konsep tertentu dalam konteks penerapannya.

Berkaitan dengan isi Alquran, Allah memiliki preferensi khusus tentang bagaimana Dia mengajarkan konsep-konsep dalam Alquran. Kira-kira setengah dari ayat-ayat dalam Alquran berkaitan dengan masa lalu: cerita tentang para nabi, orang-orang atau bangsa-bangsa yang baik dan jahat dan pelajaran yang dapat diambil dari cerita mereka bagi orang-orang yang “merenungkan” atau “memikirkan”-nya. Cerita- cerita ini dapat dianggap sebagai studi kasus, serta sebagai snapshots tertentu dari peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut. Cerita-cerita ini memberikan model peran ( role model), terutama dalam kisah-kisah para nabi, bagi orang-orang untuk ditiru, dan menggambarkan berbagai proses pemikiran, penalaran, dan perilaku yang menyebabkan orang untuk melakukan tindakan yang dapat membawa mereka ke surga atau neraka. Banyak surah yang menggambarkan percakapan dan dialog yang akan terjadi kelak antara orang-orang di surga dan orang- orang di neraka.

Dalam pembelajaran berbasis kasus ( case-based learning), kita telah membahas penggunaan cerita dan debat untuk merangsang perancah ( scaffolding). Teknik pedagogis berikutnya yang paling umum

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Penggunaan analogi sebagai teknik pembelajaran merupakan sesuatu yang lazim dalam pedagogi Islam. Hal tersebut berakar dari model yang dicontohkan Alquran dan Sunah yang dipenuhi dengan analogi. Allah bahkan menjelaskan bahwa salah satu tanda-tanda orang beriman adalah bahwa mereka memahami contoh/analogi Allah karena Dia telah membimbing hati mereka dan indra untuk memahaminya (QS. Al-Baqarah/2: 26). Dalam Sunah, Nabi Muhammad juga seringkali menggunakan analogi, terutama saat melontarkan pertanyaan kepada para sahabat. Misalnya, ketika menjelaskan bahwa salat lima waktu dapat menyucikan seseorang dari dosa, beliau bertanya kepada para sahabat, “Jika salah satu dari kalian memiliki sungai di depan rumah dan mandi sebanyak lima kali setiap hari, apakah kalian akan pernah menjadi kotor?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Nabi Muhammad berkata, “Inilah analogi tentang [penghapusan] dosa dengan salat lima waktu; setiap salat menyeka segala dosa kecil dari sejak salat sebelumnya.” Ini adalah contoh penggunaan analogi yang dikombinasikan dengan metode dialog interaktif dalam pembelajaran.

Penggunaan analogi, debat dan cerita dalam Alquran dimaksudkan sebagai alat untuk mengelaborasi konsep yang sedang diajarkan kepada siswa dalam konteks hubungan kolaboratif; ia berfungsi sebagai scaffolding yang mengarahkan siswa dari tingkat pemahaman saat ini (pemahaman sebelumnya) ke tingkat pemahaman yang lebih

156 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam 156 Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

Istilah “ zone of proximal development” (ZPD) itu sendiri didefinisi- kan oleh Vygotsky sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan oleh [kemampuan] pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui [kemampuan] pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan rekan yang lebih mampu” ( the distance between the actual development level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peer) (Vygotsky 1978, 86). ZPD, dengan demikian, dipahami oleh Vygotsky untuk menggambarkan tingkat perkembangan aktual peserta didik dan tingkat perkembangan berikutnya yang dicapai melalui penggunaan mediasi alat-alat semiotik dan lingkungan dan melalui fasilitasi rekan atau orang dewasa yang memiliki kapabilitas. Ide utama dalam konsep ini adalah bahwa cara belajar yang terbaik bagi individu adalah ketika ia bekerja bersama-sama dengan orang lain selama kolaborasi bersama ( joint collaboration), dan melalui upaya kolaboratif dengan orang yang lebih ahli itulah peserta didik akan belajar dan menginternalisasi konsep-konsep, alat-alat psikologis, dan keterampilan baru.

Mercer dan Fisher, sebagaimana dikutip Wells, menyatakan bahwa tujuan utama scaffolding dalam pembelajaran pada dasarnya bertautan erat dengan karakteristik ZPD itu sendiri, yakni transfer tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu kepada siswa. Dalam rangka memenuhi syarat sebagai scaffolding, pembelajaran harus: (a) memungkinkan peserta didik untuk melaksanakan tugas yang tidak akan mampu dikelola sendiri oleh peserta didik; (b) membawa peserta didik pada kompetensi yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan tugas tersebut pada diri mereka sendiri; dan (c) diikuti

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Teori Vygotskian tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pemikiran Piaget. Kontribusi besar Piaget dalam teori dan praktik pendidikan adalah pandangannya tentang anak sebagai pembangun aktif ( active constructer) pengetahuan mereka sendiri, sebagai penjelajah dan penemu independen, yang dikenal sebagai konstruktivisme kognitif atau individual. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa inisiatif dan penentuan nasib sendiri sang anak sebagai peserta didik tidak harus terhalang oleh instruksi pendidikan. Teori Vygotskian dibangun atas dasar gagasan Piaget tentang anak sebagai pembelajar aktif dengan penekanan pada peran interaksi sosial dalam pembelajaran dan pengembangan. Pendekatan ini dikenal sebagai konstruktivisme sosial. Dalam perspektif ini, kualitas interaksi anak dan orang dewasa dianggap sebagai unsur penting dalam proses scaffolding pembelajaran peserta didik.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa metode pembelajaran berbasis kasus dalam Alquran, yang direpresentasikan, antara lain, oleh penggunaan cerita, perdebatan dan analogi, memiliki titik temu dengan model pembelajaran berbasis kasus dalam teori-teori pembelajaran kontemporer. Pedagogi Islam, seperti teori pendidikan kontemporer, pada dasarnya mempertimbangkan hubungan kepedu- lian yang sangat signifikan antara guru dan siswa—sebagaimana tercermin dalam istilah tarbiyah itu sendiri berikut kata lain yang seakar dengannya—dalam rangka merangsang motivasi antara guru dan siswa untuk memanfaatkan pendidikan sebagai unsur yang bekerja menuju reformasi dan perubahan sosial. Melalui hubungan magang ( apprenticeship) antara guru dan siswa semacam itu, model pembelajaran berbasis kasus ( case-based learning) digunakan di dalam kelas untuk membangun pengalaman belajar yang hidup melalui analogi, perdebatan, dan cerita sebagai scaffolding untuk mengarahkan pemahaman dan pengalaman siswa. Kendati demikian, dalam perspektif Alquran, proses pembelajaran harus melibatkan dimensi metafisik yang didasarkan pada prinsip dasar Tauhid. Motivasi metafisik tersebut digunakan sebagai dorongan untuk memicu pembelajaran aktif di