Manajemen Pondok Pesantren Tradisional Di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung

PERSON IN CHARGE

Asep Kusnadi

EDITOR IN CHIEF

Rd. Arif Mulyadi

EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT

Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina, Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143 E-mail: safina.jurnal@gmail.com

Volume 2/Nomor 2/Agustus 2017 ISSN : 2503-1651

DAFTAR ISI

Iftitah IV Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam

121-138

Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung

165-187

Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok

189-211

Rd. Arif Mulyadi Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

213-234

Sugiharto

Indeks

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat

dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam. Menurut peneliti, Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah. Pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw yang ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran

VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017 VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al- Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat ( society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan ( maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

Pada tulisan keempat Raden Arif Mulyadi dan Muhammad Muchdi Ardansyah menyampaikan hasil risetnya yang bertajuk

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

VII

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

Wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh

VIII

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

MANAJEMEN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH AL-HIJRATUL MUNAWWAROH BANDAR LAMPUNG

Hasan Mawardi

Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madinatul Ilmi Depok

setiawati_hasan@yahoo.com

Abstrak

Pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Pada pesantren terdapat keislaman dan sekaligus keindonesiaan. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Tulisan ini merupakan penelitian pada pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh ini meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal Pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Pada pesantren terdapat keislaman dan sekaligus keindonesiaan. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Tulisan ini merupakan penelitian pada pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh ini meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal

Kata- kata kunci: manajemen, pesantren tradisional, kyai, kitab kuning.

Pendahuluan

Pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia ( indigenous) (Majid t.t., 3) yang berbasis masyarakat. Pada pesantren terdapat keislaman dan sekaligus keindonesiaan. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat ( society based- education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dari dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat, maka karena keorisinalan atau ke- indigenous-annya ia mampu mempertahankan eksistensinya di tengah serangan arus global sistem pendidikan modern. Karena itu pesantren menjadi sangat menarik untuk diteliti.

Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu. Selama itu pula telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses- prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR. Thabrani). Juga sebuah kata mutiara terkenal dari Ali bin Abi Thalib kw: “Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”

Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 166 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 166 Bandar Lampung

Atas dasar kesadaran tersebut, dan seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, dunia pesantren mulai membenahi diri dengan meningkatkan kualitas manajemen lembaga agar tidak ketinggalan atau ditinggalkan oleh zaman. Dalam manajemennya, pesantren dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik tersendiri, terutama tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistik dan prosedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu sendiri tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Namun demikian terkadang masih muncul kesan bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi perkembangan zaman dalam hal sistem pembelajaran serta manajemen pengelolaannya.

Pembahasan

A. Pengertian Manajemen

Kata “Manajemen” berasal dari bahasa Inggris, management, yang dikembangkan dari kata to manage, yang berarti mengatur atau mengelola. Kata manage berasal dari bahasa Italia, yaitu maneggio, yang diadopsi dari bahasa Latin, meneggiare yang berasal dari kata “manus” yang berarti “tangan”. (Yusuf 2015, 19). Dalam bahasa Inggris kata ini menjadi management, yang berarti seni melaksanakan dan mengatur. Salah satu contoh teori manajemen adalah teori manajemen Deming (William Edward Demming) dengan siklus manajemen Plan-Do-Check-Act. (www. kaizenconsulting.co.id/tokoh-manajemen-edward-deming.html t.t.).

Adapun pengertian secara umum, manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Menurut George R. Terry, Ph.D, manajemen dapat diartikan sebagai proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Ia juga berpendapat bahwa manajemen merupakan ilmu sekaligus seni, yang definisinya adalah suatu wadah di dalam ilmu pengetahuan, sehingga manajemen bisa dibuktikan secara umum kebenarannya (Yusuf 2015, 21). Sementara menurut Harlod Koonts dan Cyril O`Donel, manajemen adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. (Yusuf 2015, 21).

Adapun manajemen pondok pesantren, menurut Suhartini dalam Latief adalah proses kegiatan dalam menangani, mengelola, membawa, mengembangkan baik di dalam pendidikannya maupun yang lain di dalam pondok pesantren (Latief 2015, 50). Dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen merupakan usaha atau tindakan untuk mencapai tujuan, suatu sistem kerjasama, melibatkan secara optimal kontribusi orang-orang, dana, fisik, dan sumber-sumber lainnya. Manajemen juga dapat diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi.

Pondok pesantren memiliki keunikan tersendiri dalam hal pola kepemimpinan yang berdiri sendiri. Namun pada era ini pondok pesantren banyak yang membuka sistem pendidikan sekolah atau madrasah yang berarti banyak melibatkan pihak luar. Adapun hal tersebut berkembang sesuai dengan pola tuntutan zaman yang berubah dalam artian zaman yang berkembang.

B. Pondok Pesantren Tradisional

Pondok adalah asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti rumah penginapan (Latief 2015, 48; Dhofier 2015, 41), yang dalam kamus Arab kontemporer diartikan dengan hotel, motel, wisma, losmen, inn (Ali 1999, 1408). Adapun istilah pesantren, pesantren berasal dari asal kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 168 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 168 Bandar Lampung

Adapun kata tradisonal, berasal dari kata tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya pada satu negara, kebudayaan, waktu tertentu atau penganut agama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa, tradisi/tra•di•si/ n berarti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. (kbbi.web.id/tradisi t.t.).

Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun (artikata.com n.d.). Tradisional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan. Dengan demikian, sifat-sifat tradisi sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, meskipun peradaban dan berbagai kondisi kehidupan telah berubah secara signifikan, hal tersebut tidak akan dengan cepat mengubah kebiasaan atau tradisi asalnya. 2

Dari pengertian manajemen, pondok, pesantren, dan tradisonal yang dikemukakan di atas, maka pengertian manajemen pondok

1 Imbuhan pe-an membentuk kata dasar sehingga memiliki makna sebagai berikut: 1) Menyatakan suatu hal atau perbuatan: pendidikan, pengangguran, perampokan,

pemeriksaan. 2) Menyatakan suatu proses: Pendaftaran, pembentukan, pembuatan. 3) Menyatakan tempat: penampungan, pemandian, pegunungan. http://www.kelasindonesia. com/2015/04/pengertian-dan-contoh-kata-berimbuhan-lengkap.html

2 http://www.bimbingan.org/pengertian-tradisional-dan-contohnya.htm

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

C. Elemen-Elemen Pesantren

Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Komponen dasar yang menjadikan sebuah lembaga pendidikan disebut pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima komponen yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi; kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning (Dhofier 2015, 79; Haedari 2004, 25).

Mastuhu mengklasifikasikan perangkat-perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku seperti kyai dan santri. Perangkat keras pesantren meliputi masjid, asrama, pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sementara perangkat lunaknya adalah tujuan kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, dan alat-alat penunjang pendidikan lainnya ((Mastuhu 1994; Haedari 2004, 25). Namun demikian elemen-elemen pesantren tergantung pada besar kecilnya, program pendidikan yang dijalankan pesantren. Untuk pesantren yang berskala kecil dan hanya sekadar mengelola pondok pesantren saja, maka hanya kelima elemen dasar tersebut yang menjadi elemen pesantren. Kelima elemen inilah yang menjadi objek manajemen.

1. Kyai

Sebutan untuk pimpinan pondok pesantren sangat beragam, antara lain: kyai, ajengan, ustaz, tuan guru, tuan syaikh, buya, dan lain- lain. Kyai adalah tokoh kharismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren. Kyai merupakan figur sentral yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren (Muthohar 2007, 32). Bahkan pengaruhnya mewarnai kehidupan masyarakat di luar pesantren. Ia pun terkadang menjadi dalang utama di balik para penguasa dalam usahanya memelihara dan menyebarkan ideologi Islam tradisional di Jawa (Dhofier 2015, 202). Ia adalah

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 170 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 170 Bandar Lampung

2. Pondok

Pondok pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang siswanya tinggal bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari. Nama lain dari pondok adalah surau di daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh (Dhofier 2015, 81).

Biasanya, besar kecilnya pondok tergantung dari jumlah santrinya. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang memiliki gedung bertingkat tiga yang terbuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat (Dhofier 2015, 82).

Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri: Untuk menggali ilmu sang kyai secara utuh, maka santri-santri yang kebanyakan berdomisili jauh dari pesantren membutuhkan tempat menginap dalam kurun waktu yang tidak singkat.

Sebagian besar, pesantren berada di daerah perdesaan yang belum tersedia tempat-tempat kos, penginapan, dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi) untuk menampung santri-santri.

Munculnya sikap timbal balik, sehingga antara kyai dan santri terjalin hubungan laksana anak dan bapak yang keduanya saling membutuhkan untuk selalu berdampingan. Seorang kyai dapat membimbing santri secara lebih tanggung jawab, sementara santri dapat membantu kyainya untuk dapat berbakti sebagai wujud timbal balik dari ia memperoleh ilmu (Dhofier 2015, 81-82).

3. Santri

Santri merupakan elemen pokok dalam sebuah pesantren, seba- gai mana kata pesantren itu sendiri merupakan wujud dari penamaan lembaga pendidikan yang mengambil kata santri itu sendiri (Dhofier

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

2015, 41). Seorang ulama pun dikatakan sebagai seorang kyai (di Jawa), disebabkan memiliki santri yang mempelajari kitab-kitab Islam klasik di dalam pesantrennya (Dhofier 2015, 88).

Biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik untuk pelajaran, ongkos hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli), bahkan kadang harus ditanggung oleh keluarga dekat (Dhofier 2015, 90-92). Apakah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati bahwa pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Walaupun demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh lebih terjangkau. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren adalah kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Meskipun akhir-akhir ini sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, prosentasenya masih relatif kecil.

4. Masjid

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Quba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw tetap terpancar pada sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini berlangsung selama tiga belas abad (Dhofier 2015, 85-86).

Berdasarkan pengamatan peneliti tidak semua pondok pesantren mempunyai fasilitas masjid, terutama pesantren-pesantren yang masuk kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang hanya memiliki musala, bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang sedikit lebar) untuk difungsikan sebagai pengganti peran masjid.

5. Pengajaran Kitab Islam Klasik

Pengajaran kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren merupakan kitab-kitab karangan ulama yang menganut paham Syafi’i. Secara umum pengertian kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan para ulama dan

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 172 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 172 Bandar Lampung

5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah (Dhofier 2015, 90-92). Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari beberapa jilid tebal mengenai hadis, tafsir, fikih, ushul fikih dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok tingkatan, yaitu: kitab dasar, kitab tingkat menengah, dan kitab tingkat tinggi (Dhofier 2015, 90-92).

Meluasnya penggunaan kitab-kitab kuning di berbagai pesantren di Nusantara dipengaruhi oleh semakin intensifnya hubungan antara ulama Nusantara dengan ulama-ulama di Timur Tengah. Itu terjadi pada abad ke- 14-15, dimana banyak jamaah haji dan penuntut ilmu dari dunia Melayu- Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII 1998, 17), selain telah ditemukannya mesin cetak sehingga kitab-kitab banyak dijual di Timur Tengah dan dibeli serta dibawa ke Nusantara oleh para jamaah haji.

D. Pola Manajemen Pesantren Tradisional

Setiap pesantren memiliki struktur organisasi sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu terhadap yang lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun demikian, daripadanya dapat disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya kecenderungan perubahan yang sama di dalam menatap masa depannya.

Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol. Pembahasan tentang peranan kyai dalam kepemimpinan masyarakat tradisional tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan gaya kepemimpinan kyai dalam pesantren. Gaya kepemimpinan seorang kyai merupakan salah satu ciri khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur, subculture sebuah masyarakat tradisional (pesantren).

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Berbeda dengan gaya kepemimpinan lainnya, kyai pesantren sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan ( maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya (Wahid t.t., 73-74). Implikasinya, gap quality (atau kesenjangan kualitas) antara seorang pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan. Sebuah gaya kepemimpinan kharismatik sehingga sisi rasionalistik hanya memperoleh porsi yang sedikit (Mastuhu, Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren 1990, 88).

Meski demikian, bukan berarti gaya kepemimpinan kharismatik harus dihilangkan, mengingat kelebihan yang ditimbulkannya juga cukup dominan. Dalam konteks ini, diktum al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al- ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) patut untuk dikedepankan.

E. Kurikulum Pesantren

Secara umum, pengertian kurikulum adalah seperangkat atau sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran yang menjadi pedoman dalam aktivitas belajar mengajar. Secara etimologis, kurikulum berasal dari istilah curriculum yang dalam bahasa Inggris, kurikulum adalah rencana pelajaran. Curriculum berasal dari bahasa latin yaitu currere, yang memiliki banyak arti yaitu “berlari cepat”, “maju dengan cepat”, “menjalani dan berusaha untuk”.

Dalam bahasa Arab, kurikulum disebut dengan manhaj yang berarti “jalan yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan”, dalam pengertian kurikulum pendidikan bahasa Arab yang dikenal dengan istilah manhaj al-dirasah yang jika dilihat artinya pada kamus tarbiyah adalah “seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan sebagai acuan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan”. Dalam pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pendapatnya dalam memberikan gambaran berupa definisi-definisi pengertian kurikulum.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pengertian kurikulum adalah sepe- rangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pem- belajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 3

3 http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/uuno20th2003ttgsisdiknas

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 174 Bandar Lampung

Menurut Murray Print, kurikulum adalah sebuah ruang pembelajaran yang terencana, yang diberikan secara langsung kepada siswa oleh sebuah lembaga pendidikan dan pengalaman yang dapat dinikmati oleh semua siswa pada saat kurikulum diterapkan.

Dari pengertian kurikulum secara umum dan pengertian kurikulum menurut definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa dari penjelasan di atas tentang pengertian kurikulum sangatlah fundamental yang menggambarkan fungsi kurikulum yang sesungguhnya dalam sebuah proses pendidikan. Maka kurikulum pesantren dapat didefinisikan sebagai “usaha menyeluruh yang dirancang khusus oleh pihak pesantren mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran guna membimbing santri untuk memperoleh hasil dari pembelajaran yang sudah ditentukan”.

Adapun komponennya, kurikulum mempunyai empat unsur komponen yang membentuk/menyusun kurikulum. Empat unsur komponen kurikulum adalah sebagai berikut: Tujuan, Komponen Isi (Bahan pengajaran), Komponen Strategi, dan Komponen Evaluasi. 4

Untuk tujuan, baik tertulis atau tidak, setiap pesantren memiliki visi dan misi masing-masing yang kemudian diterjemahkan ke dalam aktivitas pembelajaran harian. Tujuan pesantren secara umum adalah melahirkan generasi muslim yang siap melanjutkan warisan keislaman untuk generasi setelahnya atau mendatang. Mencetak ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama, mendidik muslim agar dapat melaksanakan syariat agama, dan mendidik santri memiliki kemampuan yang relevan untuk membentuk masyarakat beragama (Noor 2009, 70).

Kedua, isi atau bahan pengajaran. Seperti dijelaskan oleh Dhofier, bahan ajar di pondok pesantren dapat digolongkan menjadi delapan kelompok jenis pengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan sharaf (morfologi),

2. Fikih, 3. Ushul fikih, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika,

8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah (Dhofier 2015, 90-92). Kitab-kitab tersebut biasanya diajarkan berdasarkan tingkatannya (level kelas); tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas, dan tingkat tinggi (Latief 2015, 59-61).

Ketiga, strategi atau metode mengajar, dalam dunia pesantren

4 http://file.upi.edu/Direktori/...KURIKULUM.../KP4-KOMPONEN_KURIKULUM. pdf

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Keempat, evaluasi. Dalam pembelajaran pesantren tradisonal tidak dijumpai komponen-komponen evaluasi hasil belajar secara formal. Jika tujuan sebuah pesantren adalah melahirkan generasi ulama, secara umum gelar keulamaan akan diperoleh secara alamiah oleh masyarakat, bukan melalui sebuah sidang terbuka atau wisuda kesarjanaan seperti di universitas. Namun demikian, terdapat jenjang akademik yang harus diikuti. Santri yang sudah mengikuti metode bahts al-masa’il adalah mereka yang sudah mencapai level pendidikan yang tinggi (Dhofier 2015, 53), yang sudah bisa mengajar atau berdakwah di masyarakat.

Santri level tinggi adalah santri yang telah mengaji kitab-kitab tingkat tinggi; Fath al-Majid dalam Tauhid, Tafsir Ibn Katsir dalam bidang Tafsir misalnya, Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an dalam Ilmu Tafsir, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam Hadis, Alfiyah al-Suyuthi dalam Musthalah al-Hadits, Bidayat al-Mujtahid dalam Fikih, Jam`u al- Jawami` dalam Ushul Fikih, Uqudu al-Jumah dalam Balaghah, Sullam al-Munaruq dalam Mantiq, Ihya `Ulum al-Din dalam Akhlak, dan Tarikh Tasyri` dalam Tarikh. Ini semua hanyalah contoh dari beberapa nama kitab yang dipelajari para santri level tinggi (Latief 2015, 61).

Secara umum lembaga pesantren berorientasi ukhrawi dan keberhasilan lembaga diukur dari profil lulusan sebagai santri yang taat, berakhlak mulia tanpa berharap berprofesi dalam jabatan tertentu. Mereka dengan ikhlas akan kembali ke masyarakat dan tidak mengharapkan jabatan tertentu yang bersifat keduaniawian. Maka pesantren tidak perlu dan santri pun tidak memerlukan sebuah ijazah sebagai tanda kelulusan mondok. Mereka hanya mengenal ijazah dalam bentuk lisan dari sang Kyai berupa perintah mengabdi kepada masyarakat (Subhan t.t.).

F. Sejarah Berdirinya Pesantren

Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh adalah pondok pesantren tradisonal yang berdiri pada tahun 1999. Tepatnya pada 9 September 1999. Didirikan oleh seorang ulama muda dari Banten yang bernama K.H. M. Suproni al-Alawi. Pesantren Al-Hijratul Munawwaroh beralamat di Bandar Lampung, Jl. Purnawirawan No.

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 176 Bandar Lampung

115, Gunung Terang, Raja Basa, dengan luas tanah 1400 meter. Luas tanah tersebut hingga penelitian ini dilakukan 1000 m masih berstatus milik pribadi sang pendiri dan 400 meter berstatus wakaf.

G. Visi dan Misi Pesantren

Sebagaimana umumnya di sebuah lembaga pendidikan modern seperti sekolah atau universitas kita akan menemukan papan visi dan misi terpampang. Namun demikian tidak atau jarang akan ditemukan di sebuah lembaga pendidikan tradisonal seperti pesantren tradisonal (salafiyah). Seperti itulah yang dialami peneliti di Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung. Peneliti tidak menemukan sebuah papan visi dan misi lembaga. Peneliti harus menggali secara langsung dari pendiri terkait apa yang melatarbelakangi keinginan mendirikan pesantren tersebut dan lulusan seperti apa yang ia inginkan. “Abah—demikian ia mengatasnamakan dirinya—diminta oleh guru Abah di Menes, Banten, dan di Sukabumi, Jawa Barat, tempat Abah dulu mondok, meminta Abah untuk membuka pondok pesantren di seberang. Maksudnya di Lampung atau di tanah Sumatra. Ya, karena sudah ada perintah dari guru, masa Allah tidak memberi jalan. Ya bismillah, Abah dirikan pondok di sini tahun 1999.” Demikian jawaban pendiri atas pertanyaan peneliti, “Kapan pesantren ini berdiri”.

Saat ditanya “mengapa tidak mendirikan pesantren yang ada sekolahnya, seperti pesantren-pesantren sekarang atau biasa disebut pesantren modern”, ia menjawab, “Seperti diamanahkan guru-guru Abah, pesantren zaman sekarang tidak seperti pesantren zaman dulu yang mampu melahirkan banyak ulama, menguasai kitab-kitab. Maka itu, sejak awal Abah sudah bertekad ingin mendirikan pesantren yang salafiyah kama taqaddam (seperti pesantren dulu), yang mengajarkan para santri kitab-kitab.” Ia melanjutkan, “Baru-baru ini Abah ditawari bantuan melalui Departemen Agama biaya pembangunan hampir 1 milyar, tapi Abah tolak karena takut tidak dapat menjaga amanah. Kan banyak tuh pesantren-pesantren yang sekarang sudah berubah tidak salafiyah lagi setelah mendapatkan bantuan dari pemerintah Australia. Abah mah mau tetap saja seperti ini, kama taqaddam.”

Dari penjelasan dalam wawancara tersebut, dengan dua kata kunci “ kama taqaddam” dan “kitab-kitab” yang diulang-ulang sang pendiri, peneliti menyimpulkan sendiri apa yang menjadi visi pesantren

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Al-Hijratul Munawwaroh. Visinya adalah: “melahirkan ulama seperti ulama dahulu yang mampu menguasai kitab-kitab kuning”.

Setelah berhasil mengetahui visi pesantren, peneliti terus melan- jut kan wawancara untuk menggali misinya, yaitu langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan ditempuh oleh pesantren dalam mewujudkan visi tersebut. “berapa lama atau berapa tahun seorang santri bisa menguasai kitab-kitab”, tanya peneliti. Ia menjawab: “Abah meminta para santri untuk mondok minimal 10 tahun baru Abah nyatakan lulus. Lulus dari pondok Abah. Kalau dia punya modal, seperti sudah beberapa orang Abah kirim, Abah akan kirimkan santri yang sudah 10 tahun mondok untuk mondok kembali di beberapa pesantren di Jawa. Salah satunya di pesantren tempat Abah dulu mondok, di Cibeureum Golpara, Sukabumi”.

“Sepuluh tahun itu santri ngaji kitab apa saja Bah,” lanjut peneliti. Ia menjawab, “Ada banyak, fikih, tauhid, tasawuf”. “Itu abah sendiri yang ngajar?” tanya peneliti. “Dulunya sih Abah sendiri, sekarang kan sudah ada santri yang senior, yang hampir 10 tahun. Ada juga yang sudah sepuluh tahun karena tidak mau lanjut ke pesantren lain ia mengabdi di sini. Abah minta beberapa santri senior untuk ngajar yang dasar-dasar: Alquran, tajwid, nahwu dan sharaf, dan kitab dasar kayak Safinah,” jawabnya. “Mereka ngaji setiap hari Bah?” lanjut peneliti. “Ya setiap hari. Setiap habis salat wajib, bakda subuh sampai pukul 08.00, lanjut pukul 10.00 sampai salat Zuhur. Pukul 13.00 siang sampai pukul 14.00. Bakda salat Asar kira- kira satu jam. Antara magrib dan isya, dan dilanjutkan pukul 21.00 sampai pukul 23.00 malam. Ya tidak Abah semuanya sekarang. Antara magrib dan isya, bakda subuh, setelah salat Asar biasanya santri senior ngajarkan kitab-kitab dasar, tajwid, dan lain-lain,” tegasnya.

“Kalau misalnya ada masyarakat sekitar yang ingin ngaji tapi tidak mukim atau tidak mondok boleh tidak Bah?” “Oh itu tidak Abah bolehkan. Memang ada sih tapi Abah tidak mau. Mereka harus mondok. Kalau mondok tapi mau sambil sekolah masih Abah bolehkan,” jawabnya. “Ada ya Bah yang sambil sekolah?” tanya pene- liti. Ia menjawab, “Ada beberapa bahkan ada yang kuliah juga, tapi hanya beberapa orang saja. Cuma tetap kitab, mondok harus lebih diutamakan. Mereka harus mondok sambil kuliah bukan kuliah sambil mondok. Kan beda,” ujarnya.

Dari wawancara tersebut peneliti kembali menyimpulkan misi dari pesantren sebagai berikut:

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 178 Bandar Lampung

1) Menyelenggarakan pendidikan pesantren salafiyah dengan masa studi 10 tahun.

2) Meminta santri senior untuk mengabdi sebagai pengajar (badal) semaksimal kesanggupannya.

3) Mengirimkan lulusan untuk melanjutkan studi ke berbagai pondok salafi di Jawa. 4)

Hanya mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), seperti pada umumnya diajarkan di pondok-pondok salafiyah.

5) Komitmen pada tradisi salafiyah secara mandiri dengan tanpa bergantung pada bantuan yang mengikat.

Dari penjelasan pimpinan pondok di atas nampak jelas bahwa visi dan misi pondok hanya dibuat oleh Kyai sendiri, masih belum terumuskan dengan baik dan tidak ada sosialisasi kepada unsur lain dalam pesantren kecuali secara lisan: mencetak para ulama. Para santri dibiarkan sendiri mencerna apa yang disampaikan kyai.

C.3. Elemen Pesantren

Seperti diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier, ada lima komponen yang satu dengan yang lain saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan, yaitu kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning (Dhofier 2015, 79). Artinya, jika kelimanya ada pada sebuah institusi pendidikan, sudah layak disebut sebagai pesantren. Maka berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, lembaga ini sudah bisa disebut sebagai pesantren karena sudah memiliki kelima elemen tersebut. Lembaga ini memiliki seorang kyai, beberapa orang santri, pondok atau asrama untuk putra dan putri, masjid atau biasa lebih sering disebut aula serbaguna, dan pengajaran kitab-kitab kuning, bahkan hanya mengajarkan kitab kuning.

Namun demikian, mengingat pesantren ini masih dapat disebut pesantren kecil dengan hanya 107 santri, kelima elemen pesantren terutama asrama dan masjid tergolong kecil dan sangat sederhana. Sementara untuk pondok pesantren yang berskala besar biasanya memiliki lebih dari lima elemen dengan kualitas yang baik atau bahkan mewah dan kuantitas yang banyak; memiliki unit usaha, sarana transportasi, sarana olahraga, dan lain sebagainya. Maka sesuai dengan tema penelitian peneliti tentang manajemen pesantren tradisional, yang

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

1. Kyai

Sebutan kyai sangat beragam, antara lain: ajengan, aang, abuya, tuan guru, tuan syaikh, dan mungkin ada sebutan lainnya. di Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, pendiri dan pengasuh pondok sering mengatasnamakan dirinya sebagai Abah. Abah terlihat sangat karismatik yang diyakini para santrinya memiliki pengetahuan agama yang luas dan kesaktian atau karamah. Beliau merupakan figur sentral yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren tersebut. Sebuah figur yang memang unik, sebagai agen penyalur tradisi pesantren yang paling efektif dan pendukung utama dalam memelihara dan menyebarkan ideologi Islam tradisional. Sosok yang menjadi penghubung antara Islam tradisional dan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pimpinan pesantren Abah dituntut untuk selalu kreatif mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru (tuntutan modernitas), sambil tetap mempertahanlan kesalafiyahan atau ketradisonalannya. Kurikulum bisa saja tetap tradisonal dengan mengajarkan kitab-kitab kuning, sementara manajemen bisa saja dilakukan secara modern. “Sebagian santri, terutama yang sambil sekolah dan kuliah pernah sengaja sowan ke Abah, usul agar ke depan membuka sekolah sendiri saja. Namun, mayoritas santri tidak menginginkan itu dan abah juga tidak ada niatan buka sekolah”, ungkapnya saat peneliti bertanya “mengapa tidak membuat sekolah sendiri saja”.

Saat ditanya, “Ada tidak Bah struktur organisasi santri?” ”Ya ada” jawabnya. “Ada lurah kobong (ketua santri— pen.), ada sekretaris, bendahara. Ada seksi masak, dakwah, kebersihan, keamanan ada. Nanti bisa lihat di tangga kobong (asrama) papannya.” Demikian ini selaras dengan penjelasan lurah kobong bernama Hayatun Nufus. “Untuk masak satri dibentuk kelompok, setiap kelompok beranggotakan 12-15 santri. Untuk kepentingan bayar listrik terutama dan keperluan lain-lain setiap santri diminta iuran minimal Rp. 10.000, dan kita membutuhkan uang per bulan untuk listrik sekitar sembilan ratus sampai satu juta. Rumah Abah, musala dan asrama putra dan putrid.” Memang sepengetahuan peneliti dari wawancara dan observasi di sana, hampir tidak ada pengeluaran lain selain listrik dan spidol. Jika santri sekarang berjumlah 117 orang,

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 180 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 180 Bandar Lampung

2. Pondok

Di lembaga pendidikan Islam tradisonal pondok pesantren siswa pada umumnya tinggal bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari. Pondok atau asrama atau di Jawa Barat disebut kobong merupakan ciri khas tradisi pesantren.

Sesuai dengan hasil observasi peneliti, pesantren Salafiyah Al- Hijratul Munawwaroh memiliki dua asrama: putra dan putri dengan kapasitas 150 untuk putra dan 50 untuk putri. Bangunan asrama terdiri dari dua lantai, dengan bahan bangunan dari kayu dan bambu. Kamar didesain sangat kecil berukuran 2 x 2 m yang diperuntukkan untuk 2-3 santri.

Seperti diungkapkan oleh Dhofer, keberadaan asrama sangatlah signifikan bagi para santri agar dapat menggali ilmu sang kyai secara utuh. Bahkan tidak hanya ilmi, seluruh kehidupan Kyai adalah contoh yang patut diikuti. Maka itu mereka harus menginap agar tidak buang-buang waktu untuk pulang dan pergi, khususnya bagi mereka yang berdomisili jauh dari pesantren atau dari luar kota dan bahkan dari luar provinsi.

Alasan lainnya adalah sebagian besar pesantren berada di daerah pedesaan yang belum tersedia tempat-tempat penginapan. Kalaupun ada karena berlokasi di perkotaan, mayoritas santri berasal dari keluarga tidak mampu yang justru alasan memilih pesantren karena biayanya yang

relatif murah dibanding sekolah. 5 Maka terciptalah jalinan emosional

5 Alasan kenapa memilih pesantren? Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/ alipirbudiman/memilih-sekolah-umum-agama-atau-pesantren_56b70d1ca2afbdc2114b

37f0

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

3. Santri

Elemen penting berikutnya dari sebuah pesantren adalah santri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kata pesantren itu sendiri berasal dari kata santri yang mendapatkan awalam pe- dan akhiran -an. Umumnya mereka berasal dari berbagai daerah di sekitar pesantren, tetapi ada pula yang datang dari luar kota dan luar provinsi. Maka di beberapa pesantren, sebagaimana dijelaskan oleh Dhofier sebagian mereka lebih memilih mukim, yaitu murid-murid yang dari jauh maupun dari dekat pesantren yang menetap untuk waktu yang lama. Sebagian lainnya yang berasal tidak jauh dari pesantren lebih memilih tidak menetap atau pulang-pergi. Inilah yang disebut santri kalong.

Di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, sebagaimana peneliti saksikan sendiri dalam observasi, seluruh santri diwajibkan mukim, bahkan bagi mereka yang sangat dekat sekalipun rumahnya dari pesantren. Demikian itu, sebagaimana peneliti dengar langsung dari pimpinan pesantren, agar “mereka benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi santri itu. Belajar jauh dari tv, belajar sederhana, belajar merih (lapar— pen.), seperti santri-santri dulu, makanya mereka berhasil menjadi ulama. Siap hidup dalam segala kondisi”.

Sampai penelitian ini dilakukan, pondok Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh memiliki 107 santri, terdiri dari 15 santriwati dan 92 santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Lampung dan Jawa Barat dan Banten. Sebagian ada yang berusia SMP, SMA dan mahasiswa yang secara keseluruhan berstatus sebagai santri mukim. Untuk memenuhi tuntutan zaman, pesantren bertekad untuk tetap mempertahankan kesalafiyahannya namun diimbangi dengan kebijakan mengizinkan santri bersekolah dan kuliah di luar pondok pesantren, sekalipun jumlahnya hanya sedikit. Ketua santri, Hayatun Nufus mengatakan bahwa ada tujuh santri mengambil kuliah di tiga kampus berbeda di Bandar Lampung dan kurang dari dua puluh santri yang sambil sekolah di luar.

Untuk menjalankan aktivitas pondok agar lebih teratur dan sekaligus membantu meringankan tugas kyai, para santri pondok Salafiyah Al- Hijratul Munawwaroh membentuk struktur organisasi santri yang terdiri dari pembina, ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi: pendidikan, kebersihan, kesehatan, perlengkapan, dan perawatan. Tidak ada sistem

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 182 Bandar Lampung Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh 182 Bandar Lampung