Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

PERSON IN CHARGE

Asep Kusnadi

EDITOR IN CHIEF

Rd. Arif Mulyadi

EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT

Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina, Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143 E-mail: safina.jurnal@gmail.com

Volume 2/Nomor 2/Agustus 2017 ISSN : 2503-1651

DAFTAR ISI

Iftitah IV Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam

121-138

Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam

139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung

165-187

Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok

189-211

Rd. Arif Mulyadi Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

213-234

Sugiharto

Indeks

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat

dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam. Menurut peneliti, Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah. Pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw yang ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran

VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017 VI safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al- Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat ( society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan ( maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

Pada tulisan keempat Raden Arif Mulyadi dan Muhammad Muchdi Ardansyah menyampaikan hasil risetnya yang bertajuk

safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

VII

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

Wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh

VIII

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

PROSPEK PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN

MEDIA AMAL ISLAMI DI JAKARTA SELATAN

Sugiharto

Dosen Universitas Indraprasta PGRI Jakarta sugiharto3992@gmail.com

Abstrak

Pesantren Media Amal Islami (MAI) adalah organisasi yang berasaskan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1999 dan tercatat pada akte notaris H. Kahar Koesman SH, dengan surat bernomor SP. No. I/2000, yang beralamat di Jalan WR. Supratman No. 40 Kampung Utan, Ciputat. Kemudian diperbarui kembali pada Notaris Ny. Ratna Wijayawati, SH dengan surat bernomor SP No. 01/2007 yang beralamat di Pamulang, Tangerang. Adapun pusat atau sekretariat Media Amal Islami bertempat di Jalan Lebak Bulus V No. 34, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Pesantren MAI mempunyai keunikan tersendiri karena mayoritas santri adalah pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi mereka menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut maka diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Kata-kata kunci: pondok pesantren, metode iqra, metode talaqi.

Pendahuluan

Di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini, pesantren dihadap- kan pada dua hal yang sangat menantang, di satu sisi begitu banyak ruang dan peluang yang menanti peran nyatanya, namun di sisi lain tantangan dan masalah yang dihadapi dalam pengembangannya juga semakin rumit dan masih belum bisa dituntaskan. Seiring dengan laju modernisasi di segala bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan, telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan orientasi dalam dunia pendidikan termasuk pesantren.

Faktor modernisasi dan globalisasi tersebut pada gilirannya menuntut pondok pesantren untuk tampil dengan nuansa baru, dengan kemampuan yang lebih kompetitif di tengah munculnya berbagai masalah baru berkaitan dengan eksistensi dan jati diri pesantren sebagai lahan persemaian dan pengembangan nilai-nilai budaya Islami.

Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926 (Zuhairini 2002, 1993).

Apa yang disaksikan dewasa ini menunjukkan bahwa pesantren sebagian besar telah berupaya membuka diri untuk berubah. Sejumlah hal baru telah masuk dan berkembang di pesantren. Interaksi antara nilai- nilai baru dan lama terus bergumul. Masuknya madrasah dan sekolah, dengan segala sistem, metode dan kurikulum pendidikannya dalam pesantren adalah salah bentuk adaptasi alternatif demi mempertahankan eksistensinya.

Sejumlah dampak dari perubahan itu menimbulkan beban yang cukup berat bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren. Karena itu perhatian pemerintah pusat telah pula memperlihatkan kepeduliannya yang dibuktikan dengan dihadirkannya Direktorat Pembi- naan Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di dalam struktur Orga- nisasi Kementerian Agama.

Nampaknya upaya-upaya untuk tetap mendukung eksistensi pondok pesantren terus digalakkan, tetapi kenyataan yang ada masih menyisakan sedikit keraguan dan kekhawatiran di hati sebagian pemerhati pendidikan Islam. Akankah pesantren mampu bertahan sebagai benteng peradaban seperti keadaannya di masa lalu atau sekurang-kurangnya seperti keadaan

214 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 214 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Oleh karena itu sekali lagi kemampuan pemangku kepentingan dari lembaga pondok pesantren Media Amal Islami (MAI) dalam merencanakan strategi yang tepat akan menentukan prospeknya dimasa mendatang. Peluang dan kekuatan yang dimiliki adalah modal utama untuk mengatasi tantangan global agar tetap eksis memberi warna jelas bagi pendidikan generasi mendatang yang penuh dengan dinamika perubahan yang begitu cepat dan kompleks.

Pesantren Media Amal Islami (MAI) adalah organisasi yang berasaskan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1999 dan tercatat pada akte notaris H. Kahar Koesman, S.H., dengan surat bernomor SP. No. I/2000, yang beralamat di Jalan W.R. Supratman No.

40 Kampung Utan, Ciputat. Kemudian diperbarui kembali pada Notaris Ny. Ratna Wijayawati, S.H. dengan surat bernomor SP No. 01/2007 yang beralamat di Pamulang, Tangerang. Adapun pusat atau sekretariat Media Amal Islami bertempat di Jalan Lebak Bulus V No. 34, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.

Lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi mereka menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut maka diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering.

Peran Pesantren MAI selanjutnya diharapkan tidak hanya men-

ce tak ustaz dan ustazah di bidang agama saja tetapi juga dituntut untuk mem beri bekal kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan global. Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, eksistensinya akan tetap aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Hal ini mengisyaratkan sebuah tugas mulia bagi generasi selanjutnya untuk melanjutkan perjuangan beliau menyebarluaskan syiar Islam melalui lembaga pendidikan yang terorganisir dengan baik dan memiliki legalitas formal seperti madrasah dan pondok pesantren.

Diakui oleh para ahli sejarah bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan di Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang adalah dalam bentuk pondok pesantren. Dengan karakternya yang khas dengan orientasi religius, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam.

Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sederhana karena sasaran suatu komunitas manusia yang sering kali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang (pemulung). Mereka juga memiliki potensi yang sama seperti orang lain. Oleh karena itu Media Amal Islami (MAI) terketuk hati untuk peduli terhadap pembinaan roh mereka sehingga menjadi manusia yang lebih bermartabat. Dalam praktik pembelajarannya, semuanya bergantung pada kyai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh (Amin Haedari dkk 2004, 80).

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam tubuh pondok pesantren sejak dahulu telah ada upaya untuk mengikuti perkembangan zaman dengan membuka pendidikan formal yang merupakan cikal bakal serta ciri pendidikan modern. Membuka diri untuk menerima modernisasi bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren adalah satu hal yang tidak dapat dihindari.

Seiring dengan perkembangan zaman pondok pesantren dituntut untuk mengikuti dinamika perubahan yang begitu kompleks. Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama di bidang agama yang akan berperan aktif dalam penyebaran agama Islam tetapi lebih dari itu juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan di bidang

216 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 216 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren menyusul abad ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi. Modernisasi dalam tubuh pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Dalyono 2007, 34). Tantangan zaman modern pada hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti dirasakan pada zaman-zaman prakemerdekaan, namun setelah masa kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan dari pesantren yang telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Hal lainnya yang sangat menentukan eksistensi pondok pesantren pascakemerdekaan adalah peluang yang ada dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yakni UUD 1945. Menurut UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta (yayasan) namun masih tetap berada dalam koordinasi pemerintah.

Selanjutnya secara yuridis aturan pendidikan dituangkan dalam Undang-undang Pendidikan. Sampai kini telah diterbitkan 3 (tiga) Undang- undang tentang Pendidikan, yaitu Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Dunia pesantren masa kini sebagian besar sebenarnya telah berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan terhadap tenaga kerja yang bermoral, maupun terhadap pemimpin yang agamis. Namun karena keterbatasan yang dimiliki seringkali output pondok pesantren tidak mampu memenuhi kedua harapan tersebut. Idealnya sistem pendidikan pesantren harus berusaha untuk mampu mencetak keduanya. Potret pondok pesantren masa depan harus mampu menghasilkan dua kontribusi buat masyarakat yaitu tenaga kerja yang memiliki moral dan etika pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi yang masyarakatnya berorientasi teknologi.

Di tengah harapan dan tuntutan yang begitu tinggi bagi pondok pesantren, untuk menyambut modernisasi kelembagaannya yang tidak kunjung berakhir, ia dihadapkan pula implikasi negatif kemoderenan berupa merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercabutnya budaya- budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda generasi muda. Dampak sistemik lainnya adalah terjadi kemerosotan terhadap kualitas output produk sistem pesantren, termasuk terjadinya kelangkaan output yang dapat disebut ulama dengan predikat sebagai “Pewaris Nabi” ( waratsat al-anbiya). Oleh karenanya, Gus Zaenal dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kyai tengah berupaya mengembalikan dunia pesantren kepada fitrahnya, yakni sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas moral (Thoha & Muth’i 2003, 7).

Di sisi lainnya, berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa pesantren tidak hanya sebagai lembaga yang kaku dan melulu mengkaji kitab-kitab klasik. Pesantren saat ini turut serta membangun kehidupan masyarakat sekitar, tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga hal lain misalnya ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik.

Melihat eksistensi dan berbagai fungsi, peran serta tuntutan yang harus dijalankan oleh pondok pesantren yang semakin beragam, ditambah segudang masalah yang ada di dalamnya, maka dalam penelitian ini ingin dikaji lebih jauh mengenai eksistensi, pola strategi pengembangan dengan peluang yang dimiliki serta tantangan yang dihadapi pondok pesantren MAI Jl. Lebak Bulus Ciladak Barat Jakarta Selatan.

218 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian secara fundamental bergantung dari pengamatan pada objek yang diteliti (Moleong 2005, 7). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini kepustakaan. Beberapa deskripsi digunakan untuk menemukan prinsip-prinsip penjelasan yang mengarah dan penyimpulan, penelitian kualitatif bersifat induktif. Sebagai bentuk penelitian lapangan ( field research), teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data adalah melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi (Sugiyono 2009, 4).

Hasil Penelitian

Kata pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Jika ditelusuri, kata ini tidak seutuhnya berasal dari bahasa Indonesia. Akar kata pondok disinyalir terambil dari bahasa Arab, “ funduk” yang berarti hotel atau asrama. Menurut Manfred dalam Ziemek kata pesantren berasal dari kata “santri” yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran– an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri (Lubis 2013). Kafrawi memberikan garis pembeda antara istilah pesantren dan pondok pesantren dari segi ada tidaknya “pondok” di lingkungan pesantren. Menurutnya, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut, di mana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.

M. Arifin dalam Ahmad Muthohar mengatakan pondok pesantren sebagai berikut:

Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Muthohar 2007, 12).

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Sedangkan Mujamil Qamar mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, dan menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Qamar 2005, 2).

Kurikulum yang dimaksud dalam kontek pesantren tradisional adalah pengajaran bidang-bidang studi agama yang bersumberkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), sedangkan bidang-bidang studi umum belum dikenalkan sama sekali. Di pesantren Kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak Abad Pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam pesantren tersebut.

a. Kurikulum Pondok Pesantren

Kurikulum yang dimaksud dalam kontek pesantren tradisional adalah pengajaran bidang-bidang studi agama yang bersumberkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), sedangkan bidang-bidang studi umum belum dikenalkan sama sekali. Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum dikenal dengan istilah “ manhaj” yang berati “jalan terang”. Bila dikaitkan dengan wahyu yakni dalam konteks ajaran Islam, ada satu ayat Alquran yang mengandung kata “ minhajan” yakni pada Surat Al-Maidah [5]:48.

Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah

220 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 220 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Adapun program pendidikan pesantren MAI (Media Amal Islam Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM)

1. Paket A, B dan C MAI, Lebak Bulus

2. Taman Pendidikan Al- Qur ‘an (TPA), Lebak Bulus

3. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) Lebak bulus

4. Bimbingan Al-Qur ‘an, Lebak Bulus

5. Madrasah Diniyah (MD) Takmiliyah dan

6. PAUD MAI, Gunung Sindur dan Curug Parung

7. Madrasah Diniyah Takmiliyah Baros. ASRAMA

1. Tasmi Qur ‘an Membaca Alquran bersama Yatim-Yatim MAI tiap bulannya di

pekan pertama.

2. Belanja Bareng 300 Yatim Pada Bulan Ramadan 1 Tujuan pendidikan pesantren MAI adalah membentuk kepri-

badian santri, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu pe ngetahuan. Materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain: t awhid, tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih, tasawuf, bahasa Arab (nahwu, saraf, balaghah dan tajwid), mantiq dan akhlaq (Muthohar 2007, 5). Materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut (Mastuhu 2004, 25).

Sedangkan tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula

1 Profil Pesantren MAI Alamat: Jl. Lebak Bulus V No.34 RT.14/ RW 04 Cilandak Barat Jakarta Selatan.

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Menurut Arifin, tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:

1) Tujuan khusus Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim

dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

2) Tujuan umum Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang

berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya (Arifin 2001, 248).

Pada awalnya adalah hanya pengajaran yang simpel tidak ada kurikulum, tidak seperti sekarang ini. Sebenarnya pembelajaran yang diberikan dalam pondok pesantren sudah menggunakan kurikulum tertentu yang lama yaitu sistem pengajaran tuntas kitab. Dalam hal ini kyai bebas untuk membacakan kitabnya (Haedari & Elsaha 2008, 58).

Kurikulum yang berkembang di pesantren selama ini menunjukkan prinsip yang tetap yaitu:

a) Kurikulum ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari. Di dalamnya terdapat paket mata pelajaran, pengalaman, dan kesempatan yang harus ditempuh oleh santri. Keberhasilan pencapaian tujuan ini biasanya tidak ditentukan untuk menghasilkan 100% santri sebagai ulama. Kapasitas seorang ulama membutuhkan waktu yang lama untuk dijangkau. Pesantren sadar, dalam setiap angkatan mungkin hanya akan dilahirkan lulusan yang berkapasitas sebagai ulama satu dua orang saja. Mereka yang tidak berkualifikasi sebagai ulama, tetap menjadi pelaku kehidupan yang

222 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 222 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

b) Struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan layanan pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan kelompok. Bimbingan ini seringkali bersifat menyeluruh; tidak hanya di kelas dan atau menyangkut penguasaan materi mata pelajaran, melainkan juga di luar kelas dan menyangkut pembentukan karakter, peningkatan kapasitas, pemberian kesempatan, dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat mengembangkan diri, syukur-syukur bisa meneruskan misi pesantren.

c) Secara keseluruhan kurikulumnya bersifat fleksibel. Setiap santri berkempatan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum yang ditetapkan pesantren di atas, tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan keagamaan. Sifatnya lebih menekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan- lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Meskipun pada perkembangannya banyak pesantren yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, tujuan utama pendidikan di pesantren tetaplah penguasaan ilmu dan pemahaman keagamaan. Fleksibelitas kurikulum itu dapat dipandang sebagai watak pesantren dalam melayani kebutuhan dan memenuhi hak santri untuk belajar ilmu agama. Kebutuhan kurikuler santri berbeda-beda sesuai dengan panggilan dirinya, misi keluarga, tuntutan masyarakat “pengutusnya”, atau kekhasan kemampuannya. Sementara hak kurikuler santri adalah memperoleh pelajaran yang diperlukannya untuk menjadi penganut agama Islam yang baik sebagai pribadi, warga masyarakat, dan warga negara, sehingga ia dapat berperan serta dalam kehidupan demokratis bersama warga bangsanya dalam penghidupan yang layak bagi kemanusiaannya (Nafi 2007, 85-86).

b. Elemen-Elemen Pondok Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren terdapat lima elemen atau lima unsur yang mewarnai sistem pendidikan pada lembaga pendidikan

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

1. Pondok Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam Tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “Kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok yang dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pada kebanyakan pesantren terdahulu seluruh komplek merupakan milik kyai, tetapi sekarang, kebanyakan pesantren tidak semata-mata dianggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Pondok, asrama bagi para siswa, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan trasidional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain.

Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, pada santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri- santri. Dengan demikian, perlulah adanya asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap pada santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus. Sikap ini yang menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada

224 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 224 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana. Mereka tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain. Para santri dari keluarga kaya pun harus menerima dan puas dengan fasilitas yang sangat sederhana ini. Para santri tidak boleh tinggal di luar komplek pesantren, kecuali mereka yang berasal dari desa-desa di sekeliling pondok. Alasannya ialah agar supaya kyai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak. Hal ini sangat diperlukan karena, telah disebutkan tadi, kyai tidak hanya seorang guru, tetapi juga pengganti ayah para santri yang bertanggung jawab untuk membina dan memperbaiki tingkah laku dan moral pada santri.

Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustaz (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior. Pondok tempat tinggal santri wanita biasanya dipisah dengan pondok untuk santri laki-laki, selain dipisahkan oleh rumah kyai dan keluarganya, juga oleh masjid dan ruang-ruang madrasah. Keadaan kamar-kamarnya tidak jauh berbeda dengan pondok laki-laki. Pondok atau asrama bagi suatu pesantren merupakan elemen yang sangat penting, karena bukan saja sebagai tradisi pesantren melainkan juga sebagai penopang bagi kelangsungan atau pesantren untuk terus berkembang.

Mengenai kepemilikan pondok atau asrama dapat dijelaskan bahwa bila pada pesantren tradisional asrama adalah miliknya kyai, tetapi pada pesantren modern seperti saat ini, asrama tidak semata- mata milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, atau yayasan. Hal ini dijelaskan karena kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Banyak pula komplek pesantren yang kini sudah berstatus wakaf, baik wakaf yang diberikan oleh kyai yang terdahulu, maupun yang berasal dari orang kaya. Walau demikian, para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan komplek pesantren tersebut.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa asrama atau pondok bagi pesantren tradisional maupun pesantren modern tidak ada perubahan fungsinya, yang berubah hanyalah sistem kepemilikannya. Bila dahulu asrama adalah milik kyai, tetapi pada pesantren modern asrama pada umumnya milik masyarakat atau yayasan.

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

2. Kyai Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bah- wa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata tergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan ( power and authority) dalam kehidupan di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri ( self-concident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.

Dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam para kyai seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan dalam bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan serban. Memiliki banyak santri tidak hanya meningkatkan pengaruh dan status kepemimpinan seorang kyai, tetapi juga dapat membantu menambah kekayaannya. Sokongan (yang berupa uang pondok dan bentuk-bentuk sokongan yang lain) yang diterima tahunan dari para murid biasanya dibelikan sawah atau tanah. Sokongan itu secara hitungan perorangan sebenarnya memang sangat kecil, tetapi karena dipungut sekaligus pada waktu yang bersamaan, maka cukup besar artinya bila dibelikan sawah.

Di dalam pesantren tradisional kyai memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar. Tetapi di dalam pesantren modern, peran kyai bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar. Dengan semakin beraneka ragam sumber-sumber baru, dan semakin tingginya dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dan sistem yang lain, maka santri banyak belajar dari banyak sumber. Banyak buku pembaharuan pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia, baik buku- buku yang ditulis oleh sarjana-sarjana Islam dalam negeri maupun luar negeri, telah memasuki dunia pesantren dan dibaca oleh santri-santri dan ustaz. Hal ini berupakan sumber belajar bagi mereka. Meskipun demikian, kedudukan kyai di pesantren tetap merupakan tokoh kunci dan

226 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 226 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

3. Santri Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri, yaitu:

a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab besar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar (dan masyhur) akan terdapat putra-putra kyai dari pesantren-pesantren lain yang belajar di sana. Mereka ini biasanya akan menerima perhatian istimewa dari kyai.

b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik ( nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki banyak santri kalong daripada santri mukim (Mastuhu 2004, 66).

Perbedaan antara santri di pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat dilihat kehidupan sehari-harinya. Pada pesantren modern, santri tidak lagi mengerjakan sawah kyai atau membantu pekerjaan rumah tangga kyai, mereka lebih mudah untuk belajar karena didukung oleh berbagai fasilitas yang ada.

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Mayoritas santri/siswa Pesantren Media Amal Islami adalah pemulung sehingga ketika selesai kegiatan pembelajaran biasanya, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

Berbeda menurut ulama’ salaf yang justru kata santri dijadikan menjadi bahasa Arab, yaitu dari kata “ santaro”, yang mempunyai jama’ (plural) sanâtîr (beberapa santri). Di balik kata santri tersebut yang mempunyai empat huruf Arab ( sin, nun, ta’, ra’), seorang ulama’, lain mengimplementasikan kata santri sesuai dengan fungsi manusia, Adapun empat huruf tersebut yaitu : 1)

Sin. Yang artinya “satrul al-aurah” (menutup aurat) sebagaimana selayaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta’aluq atau berhubungan, yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (zhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak ( bathini). Manusia sebagai makhluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah berupa akal menjadikan posisi manusia sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan yang lain. Dengan akal tersebutlah akan terbentuk suatu custom atau habitual yang tentu akan dibarengi dengan budi dan naluri, yang nantinya manusia akan mempunyai rasa malu jikalau dalam perjalanannya tidak sesuai dengan rel–rel yang telah ditentukan oleh agama dan habitual action atau hukum adab setempat.

2) Nun. Yang berarti “naib al-ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadis bahwa: “ al-ulama warasat al-anbiya’ (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari umat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya diharapkan seorang ulama mempunyai kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akibat arus globalisasi dan modernisasi, serta dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Kaitannya dengan naib al-ulama, seorang santri dituntut mampu aktif, merespons, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Minimal dalam masyarakat kecil yang ada dalam pesantren. Sebagaimana yang kita tahu,

228 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan 228 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

3) Ta’. Yang artinya “tark al-ma’shi” (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syariat, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syariat. Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablum minallah dan hablum minannas, hubungan horizontal dan vertikal dengan sang Khalik dan sosial masyarakat. Karena tark al-ma’shi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun yang lain.

4) Ra’. Yang artinya “rais al-ummah” (pemimpin umat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini.

Pertama, ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual maupun sosial, dimana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa, umat Islam juga dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Kedua, ‘imarat al- ardhi, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib, maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu kaidah fikih: “ma la yatimmu bihi wajib fahuwa wajibun”, sesuatu yang menjadikan kewajiban maka hukumnya pun wajib (Beik 1994, 230).

Dari pengertian di atas, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam, dengan sistem asrama yang di dalamnya berisikan sekurang-kurangnya tiga unsur pokok yaitu: kyai, sebagai pengasuh sekaligus pengajar, santri yang belajar dan masjid sebagai tempat beribadah dan sentral kegiatan.

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

4. Masjid Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik salat lima waktu, khotbah dan salat Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Masjid adalah pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena pada tahap awal tertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkatan dengan ibadah, salat berjamaah, zikir, wirid, doa, iktikaf dan juga kegiatan belajar mengajar (Yahmadi 2002, 64).

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesan- tren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam trasidional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al-Qubba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam sistem pendidikan. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi dan kultural. Hal ini telah berlangsung selama 13 abad. Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi ini.

Para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban salat lima waktu, memperoleh pe- nge tahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.

Fungsi masjid pada pesantren tradisional adalah sebagai sentral berbagai kegiatan, baik dalam praktik salat lima waktu, khotbah, salat Jumat dan pengajaran. Sedangkan pada pesantren modern fungsi masjid sedikit berkurang, hal ini antara lain disebabkan oleh tersedianya ruang-ruang kelas untuk belajar santri baik tempat praktik ibadah maupun tempat belajat kitab-kitab Islam klasik. Keadaan seperti ini adalah seiring dengan berkembangnya jumlah santri maka pelajaran berlangsung di bangku, tempat khusus, dan ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madrasah.

230 Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan

Memang kenyataannya sekarang secara kelembagaan ada pesantren hanya dimiliki oleh seorang kyai dan ada pula yang milik yayasan dengan manajemen kolektif.

Permasalahan seputar pengelolaan model pendidikan pondok pe- san tren MAI dalam hubunganya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia ( human resource) merupakan berita aktual dalam arus perbincangan kepesantrenan kontemporer karena pesantren dewasa ini dinilai kurang mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Namun meskipun demikian setidaknya terdapat dua potensi besar yang dimiliki pesantren yaitu: a. Potensi pendidikan. b. Pengembangan masyarakat.

Terkait dengan sistem pengelolaan pondok pesantren MAI dalam interaksinya dengan perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, kalangan internal pesantren sendiri sudah mulai melakukan pembenahan salah satu bentuknya adalah pengelolaan pondok pesantren formal sekolahan mulai tingkat TPA sampai paket C, di lingkungan pesantren dengan menawarkan perpaduan kurikulum keagamaan dan umum serta perangkat keterampilan yang dirancang secara sistematis dan integralistik (Dawam & Ta’rifin 2008, 18).

Ada pula sebagian pesantren yang memperbaharui sistem pendidik annya dengan menciptakan model pendidikan modern yang tidak lain ter paku pada sistem pengajaran klasik ( wetonan, bandongan) dan materi kitab-kitab kuning. Tetapi semua sistem pendidikan mulai dari teknik pengajaran, materi pelajaran, sarana dan prasarananya didesain berdasarkan sistem pendidikan modern. Penyebaran pesantren yang luas dengan keaneragaman karakteristik yang dimiliki pesantren saat ini di semua wilayah Indonesia menjadi potensi luar biasa dalam percepatan pembangunan di daerah-daerah. Jika upaya maksimal ini dilakukan oleh pemerintah secara tepat bukan tidak mungkin kedepan bukan tidak mungkin akan menjadi lahan subur penyemaian bibit-bibit unggul manusia Indonesia. Jika melihat keadaan ini tampaknya akselerasi pendidikan dan pengelolaan masyarakat di pesantren optimis bisa berjalan. Namun bagaimanapun program- program ini tergantung pada penerimaan kyai di pesantren sendiri, maupun pengurus pesantren sebab pesantren memiliki kemandirian (otonomi) yang relatif besar juga memiliki basis konstituen yang relatif solid di masyarakat dan sumber daya lokal yang kuat (Haedari & Elsaha 2008, 13).

Karena itu intervensi dari luar akan cenderung kurang efektif. Hal

safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Salah satu bagian terpenting dalam manajemen pesantren adalah berkaitan dengan pengelolaan keuangan pesantren. Dalam pengelolaan keuangan akan menimbulkan permasalahan yang serius apabila pengelolaanya tidak baik. Pengelolaan keuanggan pesantren yang baik sebenarnya merupakan upaya melindunggi personil pengelolaan pesantren (kyai, pengasuh, ustadz, atau pengelola pesantren lainya) dari pandangan yang kurang baik dari luar pesantren (Dhofier 2011, 78- 79). Selama ini banyak pesantren yang tidak memisahkan antara harta kekayaan pesantren dengan harta milik individu, walaupun disadari bahwa pembiayaan pesantren justru lebih banyak manajemen yang baik sebaiknya diadakan pemilahan antara harta kekayaaan pesantren dengan harta milik individu, agar kelemahan dan kekurangan pesantren dapat diketahui secara transparan oleh pihak-pihak lain, termasuk orang tua santri. Pengertian pengelolaan keuangan sendiri adalah pengurusan dan pertanggungjawaban suatu lembaga terhadap penyandang dana baik individual maupun lembaga. Dalam penyusunan anggaran memuat pembagian penerimaan dan pengeluaran anggaran rutin dan anggaran pembangunan serta anggaran insidental jika perlu. Prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan sebagai berikut:

1. Hemat tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan.

2. Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana dan program.

3. Terbuka dan transparan

4. Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil produksi dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan (Maunah 2011, 34).

Dokumen yang terkait

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR OLEH SATUAN TUGAS SAPU BERSIH PUNGUTAN LIAR (SABER PUNGLI) (Studi Kasus di Wilayah Hukum Bandar Lampung)

0 0 13

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA BANDAR JUDI TOTO GELAP (TOGEL) YANG DILAKUKAN OLEH WANITA (Studi Kasus di Wilayah Bandar Lampung)

0 0 13

ANALISIS PENANGANAN PERKARA PENJUALAN KRIM PEMUTIH MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA BAGI KESEHATAN KONSUMEN (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

0 0 12

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS MELALUI MEDIA SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) GATEWAY (Studi di Pengadilan Negeri Kota Metro) (Jurnal)

0 0 11

PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Hui Bandar Lampung)

0 0 15

PERAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DALAM PROSES PEMBINAAN ANAK PIDANA (Studi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

1 21 14

PERAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI ONLINE (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)

0 0 12

PERANAN PENYIDIK TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (Studi di Polresta Bandar Lampung) (Jurnal Skripsi)

0 0 14

PENERAPAN SANKSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE di Wilayah Hukum Polres Mataram

0 0 18

PELAKSANAAN PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBERIAN GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM (Studi Kasus Pelebaran Jalan Raya di Kota Praya Kabupaten Lombok Tengah) PRINCIPLES OF JUSTICE IN LAND ACQUISITION GRANT OF COMPENSATION FOR PUBLIC INTEREST (CA

0 1 17