BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah

  antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat

  27

  perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin. Di samping itu perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang perempuan yang telah dewasa menurut ketentuan perUndang-undangan yang berlaku dan bersifat kekal dan abadi menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

  Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami isteri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.

  Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut Undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin, yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.

  Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja. “Suami isteri adalah fungsi 27 Rien G. Kartaapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97.

  26 masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan

  28

  lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”. R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu yang

  29

  kekal”. Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum baik karena apa yang

  30 ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.

  Dalam konsepsi hukum Perdata Barat, menurut Vollmar yang dikutip dalam Sudikno Mertokusumo bahwa :

  Perkawinan itu dipandang dari segi keperdataan saja. Maksudnya bahwa Undang-undang tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh Gereja, melainkan Undang-undang hanya mengenal “perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang Pegawai Catatan

31 Sipil”.

  Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara

  32 laki-laki dan perempuan bersuami isteri. 28 Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74. 29 R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW ). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61. 30 Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2001. hal 61. 31 32 Ibid., hal 61.

  W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 453. Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.

  33 Al-nikah

  yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-

  dammu wa al-jam’u

  atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.

34 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia,

  sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

  Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan menurut hukum perdata yang mengartikan perkawinan merupakan perjanjian yang saling setia, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

  Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam

  Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

  1. Kesepakatan Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

  2. Kecakapan Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka 33 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468. 34 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI , Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.

  yang belum dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

  3. Hal tertentu Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

  4. Sebab yang dibolehkan Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perUndang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya

  35 paksaan dalam menikah.

  Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga

  36 (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan mengenai pengertian perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus, mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedangkan dipihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur tersebut dalam perumusan pengertian perkawinan.

  Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan 35 36 Soedaryono Soemin. Hukum Orang dan Keluarga. Sinar Grafika, 1992, hal 6.

  Ibid ., hal 6. kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara

  37 beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.

  Untuk sahnya suatu perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

  Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu

  38 maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.

  Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan, yang menyatakan ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

  Adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi 37 38 Achmad Samsudin, Op. Cit, hal. 74.

  Hilman Hadikusuma, Op.Cit, 1990, hal.26-27. golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

  Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

  Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

  3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

  4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

  5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang- orang tersebut yang memberikan izin.

  6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

  Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

  1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

  2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

  3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing- masing;

  4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

  Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

  Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu :

  (1)Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2)Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3)Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala

  Daerah. (4)

  Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat

  kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suaminya terdahulu.

  Kemudian menurut Pasal 8 Jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

  Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu

  39

  dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel. Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang

  40 menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.

  Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa 39 40 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5.

  Ibid , hal. 6. perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

  “Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang

  41

  anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”. “Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

  42

  mawaddah, dan rahmah”. Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

  b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

  c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada

  43 bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.

  Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang mengatakan bahwa : Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik

  44 menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.

  41 42 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62.

  Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum .Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.

  Islam di Indonesia 43 44 Sulaiman Rasjid. H. Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29.

  Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam

  Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

  Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.

  45 Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi

  dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”. 45 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 26-27.

  Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi orang- orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

  Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam,

  46

  diantaranya adalah:

  a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. an-Nisaa ayat (1).

  b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam mendapatkan ketenangan hidup bersama suami isteri tidak mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.

  47 Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:

  a. Menenteramkan jiwa. Bila telah terjadi akad nikah, isteri merasa jiwanya tenteram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab 46 dalam rumah tangga. Suami pun merasa tenteram karena ada 47 Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 46-47.

  M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 13-21. pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

  b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

  c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah). Maksud pernikahan adalah mewujudkan rumah tangga yang bertujuan untuk menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebajikan sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran Surat an-Nisaa ayat (19), serta diliputi dengan suasana

  48 “mawaddah warahmah” yang ditentukan dalam al-Quran Surat ar-Ruum ayat (21).

  Sedangkan menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

48 Sudarsono, Op.Cit., hal. 9.

  Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

  “Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri”.

  49

  “Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

50 Artinya tujuan perkawinan itu adalah: a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

  b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

  c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.

  51 Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang

  mengatakan bahwa : Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwa kaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi isterinya. Kandungan qowwamun inilah yang menjadi sifat

  responsive dalam membina rumah tangga yang bahagia. 49 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 62. 50 Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia . Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama, Jakarta, 2000, hal 14. 51 Sulaiman Rasjid. Op.Cit., hal. 17. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut

  52 syari’at Islam.

  Jadi, dengan perkataan ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan bahwa hubungan suami isteri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang

  53 bahagia dan kekal.

  Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga

  54 mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat-istiadat.

  Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga merupakan hasil putusan bersama antara suami isteri berdasarkan hasil

  55 perundingan yang didasari oleh sifat musyawarah.

B. Pengertian Wali dan Macam-macam Wali dalam Perkawinan

  Wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Menurut Abdullah 52 53 Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 29.

  Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 27. 54 . 55 Ibid Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang tentang Perkawinan serta Peraturaan Pelaksanaannya , Tarsito, Bandung , 1992, hal. 16. Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada

  56 mempelai pria.

  Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab di dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata. Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hakim.

  Mengenai masalah wali menurut hukum Islam hanya pihak wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan perkawinan dimana wali itu selalu laki-laki orangnya. Adapun berbagai macam wali itu antara lain disebutkan dalam Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa :

  (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari 2 :

  a. Wali nasab

  b. Wali hakim Wali nasab adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah. Adapun yang termasuk ke dalam wali nasab ini, menurut Mazhab Syafi`i memberikan urutan :

  1. Bapak, kakek (orang tua bapak) dan seterusnya ke atas

  2. Saudara laki-laki kandung sebapak seibu

  3. Saudara laki-laki sebapak lain ibu

  4. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung

  5. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya

  6. Paman, yaitu saudara dari bapak sekandung

  7. Paman sebapak, yaitu saudara dari bapak sebapak lain ibu 56 Abdullah Kelib, Op.Cit., , hal 11

  8. Anak-anak paman kandung (saudara sepupu)

  9. Anak laki-laki paman sebapak Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali. Pejabat yang dimaksud adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apablia ternyata ka KUA berhalangan atau tidak ada dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di

  57 luar negeri.

  Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 macam:

  1. Wali Nasab

  2. Wali Hakim

  3. Wali Tahkim Wali tahkim yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada.

  Macam-macam wali termasuk dalam hal ini untuk melakukan perkawinan dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang yang dipakai untuk itu, antara lain:

a. Dilihat Objek Perwaliannya

  Para ulama fiqih sependapat bahawa wali dalam perkawinan (wilayah Tazwij) ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir dan 57 Marahalim Harahap, Op. Cit, hal.30-31

  wali ghairu mujbir wali mujbir

  . Adapun ialah seorang wali berhak

  58

  mengakadnikahkan orang yang diwalikannya tanpa persetujuan yang bersangkutan, Sedangkan wali ghairu mujbir sebaliknya, yaitu wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan tanpa persetujuan yang diwalikannya.

  Menurut Mahmud Yunus "wali mujbir artinya, wali yang boleh memaksakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuannya

  59

  dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya". Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih gadis. Dalam hal ini para fuqaha sependapat.

  b. Dilihat Jauh Dekatnya Hubungan Kekerabatan

  Memandang kepada jauh-dekatnya hubungan pertalian darah antara yang diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab dan wali ab`ad .

  Misalnya kakek dengan ayah dan anak dengan cucu. Maka dalam hal ini ayah sebagai

  wali aqrab

  dan kakek menjadi wali ab`ad, dan anak sebagai wali aqrab sedangkan cucu menjadi wali ab`ad.

  c. Dilihat Kedudukan Pemangku Perwalian

  Mereka para wali kerabat calon mempelai yang disebut sebagai wali nasab, mempunyai kewenangan dalam perwalian, sesuai urutan kedudukanya yang tererat 58 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj Mahyuddin Shf., PT. Al-Maarif, Bandung, 1998, hal. 21. 59 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta. 1981, hal. 64.

  dengan calon mempelai. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan mereka sebagi keluarga terdekat. Namun apabila mereka tidak ada, atau mereka tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka adhal, perwalian yang seharusnya menjadi hak mereka berpindah kepada sulthan/hakim. Kewenangan yang ia miliki ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa yang disebut dengan Wilayah `Ammah.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wali nasab yang merupakan kerabat dekat calon mempelai perempuan mempunyai wewenang menikahkan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan perUndang-undangan.

  Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah

  `Ammah

  , sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan dengan pernikahan.

  Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagi wali nikah (wilayah

  tazwij

  ) yaitu hadits Nabi SAW, dari Aisyah ra yang artinya : Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu

  60 60 adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.

  Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, Bandung, 1976, hal. 117. Sulthan merupakan Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang

  61

  ditugaskan untuk itu. Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud dengan 'pertengkaran disini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali.

  Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh

  62 menikahkannya.

  Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan wali itu terbagi kepada 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat ad.1.

  dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya yang diartikan bahwa yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan

  ashabah zawil arhâm

  tentang nya bukan atau orang yang berhak

  61 62 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Daar al-Manar, Juz VI, 1367 H, Mesir:, hal. 461.

  Mahmud Yunus, Op. Cit., hal. 57. menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada

  63 walinya.

  Wali-wali ini jika dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi 2 (dua), yaitu:

  Wali Mujbir 1. : yaitu wali yang terdiri dari ayah, kakek hingga ke atas. Wali Ghairu Mujbir

  2. : yaitu wali yang terdiri dari selain yang disebutkan di atas.

  a. Saudara laki-laki seibu dan sebapak,

  b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan sebapak,

  c. Saudara laki-laki sebapak,

  d. Anak laki-laki dari saudara sebapak,

  e. Paman,

  64 f. Anak Paman.

  Pasal 21 ayat (1) KHI wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabatan dengan calon mempelai wanita.

  Pertama

  , kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, yaitu saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

  Pasal 21 ayat (2) KHI menentukan bahwa “apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka

  63 64 Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Op.Cit., hal. 117.

  Hamdan Abbas, Diktat Fikih Munakhat, UISU, Medan: 1973, hal. 15. yang paling berhak menjadi wali ialah lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita”.

  Pasal 21 ayat (3) KHI menentukan bahwa “apabila dalam suatu kelompok, derajat kekerabatannya sama yaitu sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayahnya, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali”. ad.2. Wali hakim, yaitu Kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjuk olehnya, dan wali hakim ini biasanya bertindak sebagai wali nikah apabila betul-betul tidak ada wali nasabnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW yang artinya “Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali, apabila tidak ada wali untuknya”. (HR. Thabrani) Menurut Zakaria al-Bari dalam kitabnya yang dapat diartikan sebagai berikut: Apabila tidak ada wali yang dekat semata-mata juga tidak ada dari

  ashabah nya dan tidak ada pihak lainnya, maka berpindah hak wali untuk

  menikahkannya ialah hakim, sesuai menurut sabda Rasulullah SAW, hakim menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim (Qadhi) dan juga hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang hendak menikah dengan seorang perempuan yang

  

65

tidak ada walinya berarti tidak sah.

  Tetapi ada juga perbedaan pendapat para ulama tentang syarat-syarat adanya wali pada pernikahan atau juga dengan seizinnya yang antara lain ialah: Jumhur Ulama berpendapat bahwa harus adanya wali juga si perempuan itu mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikutkan sesuai dengan 65 Mahmud Yunus,. Op.Cit., hal. 72. hadits Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak seorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri. Pendapat ini didukung pula oleh ibn Mundzir. Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang pendapat ini juga diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.

  Malik berpendapat seorang wali harus mempunyai sifat-sifat mulia, adil dan jangan ada padanya sifat-sifat fasik yaitu tidak melaksanakan shalat dan berbuat yang tidak baik ketika dilihat oleh masyarakat lainnya. Andaikata sudah terdapat yang demikian itu, maka dibenarkan bagi si perempuan itu untuk mengawinkan dirinya sendiri dan disini tidak berpindah kepada wali hakim hanya terus kepada

  66 dirinya sendiri untuk menjadi wali terhadap perempuan itu.

  Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berhak kawin dengan seorang laki-laki harus memiliki wali, dan wali disini tidak memandang syarat-syaratnya baik ia mulia maupun hina, tetap sahnya perkawinan itu dengan adanya wali, mereka ini mengkiaskan dengan seorang penjual barang, disini tidak memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun itu pandai, yang

  67 lebih penting adalah bahwa perbuatan menjual itu terlaksana.

  Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulisan lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, karena mereka ini banyak pengikut-pengikutnya yang menguatkannya serta lebih jelas argumennya dari yang lain. 66 Menurut Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI): 67 Marahalim Harahap, Op.Cit. Hal. 24 Marahalim Harahap, Op.Cit. Hal. 25

  (1)Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau `adhal atau enggan. (2)Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

  Wali

  ad.3. Tahkim: yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali Tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada. Berdasarkan uraian penjelasan di atas, jelaslah bahwa terdahulu dapat disimpulkan wali dalam suatu pernikahan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu Wali

  Nasab yang berasal dari kerabat yang memiliki hubungan darah terdekat, Wali Hakim yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang, dan Wali Tahkim yang merupakan wali yang dimintakan oleh pemohon.

C. Peranan Wali dalam Perkawinan

  Di dalam suatu perkawinan, pada suatu saat tertentu jika wali nasab tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai wali yang dikarenakan tidak memenuhi syarat ataupun menolak dan wali hakimpun tidak dapat bertindak sebagai wali nasab dengan berbagai macam sebab. Oleh karena itu guna memenuhi syarat sahnya suatu nikah bagi yang mengharuskan adanya wali, mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang untuk menjadi walinya dimana wali yang terjadi karena diangkat oleh mempelai yang bersangkutan tersebut disebut juga wali Tahkim.

  Menurut hukum fiqih Islam Perkawinan itu sah jika sudah memenuhi syarat dan rukunnya, yang menjadi syarat perkawinan ialah adanya kata sepakat diantara pihak-pihaknya, calon suami isteri sudah baliq atau dewasa dan tidak ada hubungan atau halangan yang dapat merintangi perkawinannya. Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan ialah adanya calon, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi dan adanya ijab qabul. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 19 HKI “Wali nikah dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan kalau tidak

  68 ada wali.

  Dengan berdasarkan pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i itu, suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Karena adanya wali dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan yang tidak dapat ditinggalkan jika menghendaki sahnya perkawinan itu. Sehingga jika mempelai wanita tidak mempunyai wali lagi, atau karena sesuatu hal walinya tidak bisa mengijinkan, kedudukan wali dalam akad nikah tetap dipertahankan dengan diganti oleh wali hakim.

  Dengan demikian, adanya wali nikah dalam perkawinan dapat berperan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan dalam kehidupan

  69

  perkawinannya. Betapa besar artinya wali dalam perkawinan menurut Hukum Islam,sehingga perkawinan itu tidak akan sah jika tidak disertai seorang wali. Ijab 68 69 Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1994, hal. 53 Abdullah Kelib, Op. Cit, hal.8 yang diucapkan seorang dalam kedudukannya sebagai wali, yang memegang peranan di dalam perkawinan yang dilangsungkan.

  Sebab ijab akad nikah hanya sah jika dilakukan oleh wali mempelai wanita, kedudukan wali sangat penting ini dapat dipahami karena sejak anak dalam kandungan hingga dilahirkan dan dibesarkan sampai ia menjadi dewasa, adalah menjadi tugas dan tanggungjawab bagi orang tua dan seorang anak banyak memerlukan pengorbanan dari orang tuanya karena anak adalah merupakan amanah dan titipan dari Allah. Sehingga sudah sepatutnyalah apabila seorang anak yang sudah dewasa dan hendak memasuki pintu gerbang kehidupan berumah tangga haruslah mendapatkan ijin dan restu dari orang tuanya dan tidak begitu saja meninggalkan orang tuanya, oleh karena itu pernyataan penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria, yang diucapkan oleh ayah dalam kedudukannya sebagai wali nikah didalam pelaksanaan acara ijab qabul dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dari orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil anak gadisnya hingga menjadi dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga sendiri. Kemudian dengan selesainya ijab qabul tersebut maka saat itu jugalah tugas orang tua sudah beralih kepada suaminya.

D. Wali Adhal dan Ketentuan Hukumnya

  Dalam pelaksanaan perkawinan juga dikenal adanya Wali Adhal. Wali Adhal ialah wali yang enggan untuk mengawinkan perempuan yang dibawah perwaliannya. Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat jelas untuk menjadi wali tidak

  70

  mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah. Masalah yang diperbincangkan tentang wewenang para ayah atas putri mereka ialah apakah izin ayah itu diperlukan

  71 untuk perkawinan putrinya yang belum pernah kawin.

  Dalam Islam, ada hal-hal yang benar-benar pasti sehubungan dengan perkawinan. Anak laki-laki, apabila ia telah mencapai usia akil baliq, telah sepenuhnya matang, dan berakal sehat, adalah bebas untuk menentukan pilihannya, dan tak seorangpun yang berhak campur tangan. Namun dalam hal anak perempuan, ada sedikit perbedaan, apabila seorang anak perempuan sudah pernah kawin dan dalam keadaan menjanda, tidak ada seorangpun yang berhak mencampuri urusannya, dan kedudukannya dalam hal ini sama dengan anak laki-laki. Tetapi apabila anak perempuan itu seorang perawan dan hendak memasuki ikatan perkawinan dengan seorang pria untuk pertama kalinya maka ada ketentuan yang membatasinya.

  Bahwa si ayah tidak berwenang mutlak atas putrinya dalam hal ini, dan tidak dapat mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa kehendak dan persetujuan si putri, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Kita telah melihat bahwa Nabi, dalam jawaban beliau kepada gadis yang dikawinkan ayahnya tanpa sepengetahuan dan persetujuannya itu, dengan jelas menegaskan bahwa apabila si gadis tidak menyetujuinya, ia boleh kawin dengan pria lain. Terdapat perbedaan 70 71 Marahalim Harahap, Op. Cit. hal. 88

Murtadha Muthahhari, Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta. 1991, hal .41 pendapat di kalangan para fakih (ahli fikih Islam) tentang apakah seorang gadis yang belum pernah kawin tidak mempunyai hak untuk kawin tanpa persetujuan ayahnya, atau apakah persetujuan si ayah bukan prasyarat bagi keabsahan perkawinannya.

  Akan tetapi, ada hal lain yang sudah pasti dan tidak diperselisihkan lagi, yaitu apabila si ayah tidak mau memberikan persetujuannya tanpa suatu sebab yang beralasan maka haknya dicabut, dan terdapat kesepakatan bulat diantara semua fakih Islam bahwa dalam keadaan demikian maka si putri sepenuhnya bebas memilih suaminya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ada perbedaan pendapat tentang masalah apakah persetujuannya si ayah merupakan syarat yang perlu dalam perkawinan seorang anak perempuan. Mayoritas fakih, terutama para fakih di masa yang akhir ini, berpendapat bahwa persetujuan si ayah bukan syarat yang

  72 dimestikan.

  Selanjutnya mengenai wali Adhal juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agama tersebut ditentukan bahwa :

  (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

72 Ibid ., Hal. 42

  (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita. (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan Wali calon mempelai wanita. Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa Pemeriksaan dan penetapan

  adhal

  nya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita. Di dalam Pasal 6 juga ditentukan bahwa :

  (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.

  (2) Apabila Wali Nasabnya tetap adhal , maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali Hakim.

  Para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi perempuan yang diwali dan berarti berbuat zhalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut, jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahar mitsl. Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsl itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya,bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya, dan masanya dengan isteri yang akan menerima mahar tersebut. (Ibnu al-Humuam: 368; al- Thusiy,299).

Dokumen yang terkait

PENETAPAN KADAR HIDROKORTISON ASETAT DALAM SEDIAAN KRIM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) TUGAS AKHIR - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 13

Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 14

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Air - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMAKAIAN KOAGULAN PAC DAN TAWAS DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR BAKU (SUNGAI BELAWAN) TUGAS AKHIR - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran NitratDan Nitrit Pada Air Sungai Deli Secara Spektrofotometri Visibel

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 16

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 1 31

Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 0 16