Teori Dasar Informasi Teori Sistem
DASAR TEORI
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu
singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang
waktu selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat
ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan
dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam.
Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut,
yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih.
Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek
toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji. Jadi,
dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif
(kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan
mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakam untuk
menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50)
atau dosis toksik tengah (TD50).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna
menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau
menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji.
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya
dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara
fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan
meliputi upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun
(Donatus, 2001).
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun
(bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan
racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada
umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di
tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).
Takrif terapi antidot yang dinyatakan oleh Loomis (1978). Tujuan terapi antidot ialah
untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah
timbulnya efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot
ialah intensitas efek toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi
klinik, terapi antidot dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas.
Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap
sebagian besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang
kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada
(Donatus, 2001).
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar,
cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan
intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai
ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu.
Strategi dasar terapi antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi),
peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus,
2001).
Acetylcysteine
Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi
toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan glutathione . Glutathione
bereaksi dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan
aman diekskresikan. Cysteamine dan metionin juga telah digunakan untuk mencegah
hepatotoksisitas, meskipun studi menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih
buruk efek dari asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih
efektif, terutama pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.
Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol,
kemudian asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko hepatotoksisitas serius dan
menjamin kelangsungan hidup. Jika asetilsistein dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi,
terjadi penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah
dimulai, dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun
asetilsistein yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek
menguntungkan jika diberikan sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek
klinis, jika pasien menyajikan lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang
aktif kemudian tidak berguna , dan asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya,
arang dapat diberikan bila pasien datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil
tingkat parasetamol untuk kembali dari laboratorium.
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya
kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai
daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan
dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anakanak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif
terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh
belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam
salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug,
mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa
parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga
menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja
pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme
utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang
dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim
sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek
toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini
segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui
ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau Nacetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi
metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis
normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal
BAHAYA PARASETAMOL
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau
mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif
aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko
kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan
efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat
menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik
sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan
batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC).
Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam
jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini
Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada
penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g
mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolitmetabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan
–SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit
mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible.
Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan
antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin,
sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat
menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan
cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau
metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat
menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu
ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak
interaktif.(Tjay, 2002)
Mekanisme Toksisitas
Pada
dosis
terapi,
salah
satu
metabolit
Parasetamol
bersifat
hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan
diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik
meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit
tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu
pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa
glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
1. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat.
Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri
perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal
ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi
penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
4. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu
singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang
waktu selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat
ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan
dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam.
Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut,
yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih.
Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek
toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji. Jadi,
dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif
(kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan
mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakam untuk
menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50)
atau dosis toksik tengah (TD50).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna
menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau
menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji.
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya
dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara
fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan
meliputi upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun
(Donatus, 2001).
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun
(bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan
racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada
umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di
tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).
Takrif terapi antidot yang dinyatakan oleh Loomis (1978). Tujuan terapi antidot ialah
untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah
timbulnya efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot
ialah intensitas efek toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi
klinik, terapi antidot dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas.
Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap
sebagian besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang
kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada
(Donatus, 2001).
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar,
cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan
intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai
ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu.
Strategi dasar terapi antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi),
peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus,
2001).
Acetylcysteine
Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi
toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan glutathione . Glutathione
bereaksi dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan
aman diekskresikan. Cysteamine dan metionin juga telah digunakan untuk mencegah
hepatotoksisitas, meskipun studi menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih
buruk efek dari asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih
efektif, terutama pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.
Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol,
kemudian asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko hepatotoksisitas serius dan
menjamin kelangsungan hidup. Jika asetilsistein dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi,
terjadi penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah
dimulai, dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun
asetilsistein yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek
menguntungkan jika diberikan sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek
klinis, jika pasien menyajikan lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang
aktif kemudian tidak berguna , dan asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya,
arang dapat diberikan bila pasien datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil
tingkat parasetamol untuk kembali dari laboratorium.
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya
kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai
daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan
dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anakanak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif
terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh
belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam
salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug,
mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa
parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga
menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja
pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme
utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang
dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim
sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek
toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini
segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui
ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau Nacetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi
metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis
normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal
BAHAYA PARASETAMOL
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau
mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif
aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko
kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan
efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat
menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik
sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan
batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC).
Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam
jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini
Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada
penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g
mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolitmetabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan
–SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit
mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible.
Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan
antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin,
sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat
menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan
cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau
metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat
menggunakan Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu
ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak
interaktif.(Tjay, 2002)
Mekanisme Toksisitas
Pada
dosis
terapi,
salah
satu
metabolit
Parasetamol
bersifat
hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan
diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik
meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit
tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu
pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa
glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
1. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat.
Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri
perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal
ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi
penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
4. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)