Upaya Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca me (1)
UPAYA MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA MELALUI SKEMA
REDD (STUDI KASUS: PENDANAAN NORWEGIA TERHADAP
INDONESIA DAN BRAZIL)
OLEH : WARITSA YOLANDA (1501115622)
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim telah menjadi fenomena yang mendera dunia bahkan lebih dari
100 tahun yang lalu, dan telah menjadi topik yang diperbincangkan di forum-forum
internasional. Masyarakat internasional, dewasa ini semakin sadar akan adanya
fenomena yang mengancam lingkungan hidup dan kemanusiaan. Kesadaran akan hal
tersebutlah menjadi awal dari terbentuknya UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) tahun 1992, meskipun sebelum-sebelumnya juga telah
terdapat beberapa konferensi mengenai perubahan iklim, namun UNFCCC lah yang
menjadi institusi bagi negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan
iklim untuk menemukan cara mengurangi atau bahkan menghindari efeknya bagi
lingkungan hidup dan manusia yang mana dari diskusi dan upaya-upaya, diharapkan
dapat diperoleh hasil sehingga kelangsungan lingkungan hidup tidak terganggu.
UNFCCC kemudian diratifikasi oleh negara-negara di dunia, yang pertemuanpertemuannya diadakan setiap tahunnya dengan panel yang disebut sebagai CoP
(Conferences of Parties), CoP pertama diadakan pada tahun 1995 di Berlin.
Yang menjadi tujuan utama dari konvensi perubahan iklim sendiri adalah
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 nya yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan
sistem iklim. Maka, untuk mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar
konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan (equality principle) dan prinsip
kehati-hatian (precautionary principle), sebagaimana yang tercantum juga dalam pasal 3
konvensi tersebut bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama
misalnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak,
salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan berbagi penelitian
ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim
dan perubahan iklim serta konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi
kebijakan. Namun secara khusus tanggung jawab harus dibedakan sesuai dengan
kemampuannya (common but differentiated responsibilities), antara negara-negara
industri dan negara-negara berkembang.
2
Dalam perjalanan dan pelaksanaan Konvensi tersebut, terbentuk dua blok besar
yaitu blok negara-negara maju dan blok negara-negara berkembang, yang mana kedua
blok tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok. Annex I dari Uni Eropa (15),
JUSSCANNZ (7), Kelompok Payung (9), Rusia dan CEIT (14), sedangkan negaranegara yang Non-Annex 1, terdiri dari G77 + Cina (131), OPEC (11), GRULAC (33),
kelompok Afrika (53), APSIS (42), dan CEIT (11). Terlepas dari itu semua, sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pertemuan-pertemuan diadakan setiap
tahunnya, namun yang menjadi titik awal dari implementasi dan komitmen dari
UNFCCC adalah CoP ketiga yang diadakan di Kyoto, Jepang yang menghasilkan suatu
kerangka kerja yang mana inilah menjadi kerangka kerja pertama atau titik awal
komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, yang disebut
dengan Protokol Kyoto.
Tentunya tak berhenti sampai disitu saja kebijakan, langkah-langkah dan usaha
negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim karena tentunya usaha ataupun
kerangka kerja yang telah ada mengalami kendala dan hambatan sehingga usaha dan
kerangka kerja lainnya dibutuhkan, misalnya dalam pertemuan-pertemuan (CoP) lainnya
seperti CoP ke – 11 di Kanada, menjadi ide awal munculnya gagasan REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Degradations), yang kemudian pada CoP ke 13 di
Bali, dihasilkan Bali Roadmap yang salah satu tujuannya adalah untuk mengadopsi usul
REDD yang sebelumnya telah digagas, dari sana terciptalah komitmen dari masingmasing negara baik maju maupun berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
melalui skema REDD, lalu kita perlu melihat sejauh mana usaha dan implementasi
skema tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang akan dijawab dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya UNFCCC menghadapi perubahan iklim ?
2. Apa itu REDD?
3. Bagaimana implementasi program REDD (studi kasus dana Norwegia kepada
Indonesia dan Brazil)?
3
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Politik Internasional dan sebagai bahan bacaan bagi penstudi hubungan
internasional maupun yang tertarik dengan pembahasan yang berkaitan dengan isu-isu
perubahan iklim. Sedangkan tujuan penulisannya secara khusus adalah untuk :
1. Menjelaskan fenomena perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan emisi
gas rumah kaca,
2. Menguraikan upaya PBB (UNFCCC) dalam menghadapi perubahan iklimsampai terciptanya kerangka kerja REDD,
3. Menguraikan REDD secara umum
4. Menjelaskan garis besar implementasi program REDD dalam studi kasus dana
bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka, dimana
penulis menjadikan sumber-sumber seperti, buku referensi, artikel, dan jurnal serta
berbagai sumber dari internet yang berhubungan dengan mengurangi gas emisi
rumah kaca dalam skema REDD dan juga mengenai dana bantuan yang diberikan
oleh Norwegia terhadap Indonesia dan Brazil sebagai dukungan terhadap program
tersebut, sebagai bahan dalam menyusun makalah ini.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fenomena Perubahan Iklim
Fenomena perubahan iklim bukanlah lagi menjadi sesuatu yang dipertentangkan,
jauh hari penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan
atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan,
minyak, dan gas, telah meningkat sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan
perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan
limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
nitrousoksida (N2O), yang mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Hal yang
menyebabkan emisi GRK menjadi masalah yang besar adalah karena dalam jangka
panjang, bumi harus melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima
energi dari matahari.
Penyebab GRK yang paling besar adalah aktivitas manusia dari bahan bakar fosil
yang dibentuk dari jasad tumbuhan dan hewan yang telah lama mati, selain itu
pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke
atmosfer setiap tahunnya, juga metana dan nitrous oksida dalam jumlah besar, dan yang
paling besar imbasnya adalah ketika pohon-pohon ditebang dan tidak tidak ditanami
kembali, maka akan lebih banyak karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfer.
Sementara itu, ternak-ternak dalam jumlah besar akan mengemisikan metana, begitu pula
pertanian dan pembuangan limbah, sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous
oksida. Gas-gas dengan waktu hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan
PFC, yang digunakan pada alat pendingin ruangan dan lemari pendingin (kulkas) juga
merupakan gas yang berbahaya jika berada di atmosfer.
Jelas terlihat bahwa Perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap
kehidupan manusia, termasuk kehidupan manusia dan negara-negara ataupun lingkungan
hidup manusia, bahkan sejumlah peneliti menyebutkan bahwa negara-negara
berkembang cenderung mengalami dampak kerusakan yang lebih buruk dari pada
negara-negara maju, misalnya saja kekeringan, cuaca ekstrim, dan sebagainya, selain
5
dampak kerusakan, perubahan iklim juga tentunya menyebabkan terancamnya ketahanan
pangan di negara berkembang.
NASA menyebutkan bahwa contoh Inti es yang diambil dari Greenland,
Antartika, dan gunung tropis Gletser didapatkan bahwa hasilnya menunjukkan bahwa
iklim bumi merespon terhadap tingkat perubahan gas rumah kaca. Selain itu juga
disebutkan bahwa bukti nyata yang saat ini bahwa perubahan iklim terjadi sangat cepat
adalah naiknya permukaan air laut, naiknya temperature global, pemanasan laut,
menyusutnya es di Greenland dan Antartika,dan kejadian atau bencana ekstrim lainnya.
Konsekuensi masa depan terhadap perubahan iklim juga diprediksi akan lebih dramatis
lagi dan menggangu kehidupan umat manusia, seperti terancamnya distribusi vegetasi
alami dan keanekaragaman hayati, erosi dan badai yang akan memaksa relokasi
penduduk di sepanjang pantai, beban biaya yang sangat besar untuk rekonstruksi
infrastruktur pembangunan, meningkatnya alokasi dana untuk pengendalian potensi
kebakaran dan beragam penyakit, serta investasi yang sangat besar untuk pelayanan
kesehatan. Ketika menyadari sepenuhnya dampak yang sangat besar dari perubahan
iklim, maka sudah seharusnya diambil langkah-langkah penting dan strategis guna
mengurangi kerusakan yang sudah terjadi dan mencegah kerusakan yang mungkin lebih
besar.
2.2 Upaya PBB (UNFCC) Menghadapi Isu Perubahan Iklim
Desakan mengenai dilakukannya suatu upaya ataupun usaha dalam menghadapi
perubahan iklim ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC
(United Nations Conference for Climate Change) sendiri lahir dari desakan publik
internasional sebagai langkah nyata ataupun titik awal dari upaya dan usaha yang
dilakukan kedepannya. Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata
publik internasional tertuju pada isu perubahan iklim. Pada saat itu, tepatnya 1985
Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada
lapisan ozon di Antartika pada 1985. Beberapa riset ilmuwan mengenai perubahan iklim
yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas. Namun, isu perubahan
iklim baru mulai menggema di Amerika Serikat pada 1988. Meskipun efek perubahan
iklim masih hanya dirasakan di AS, isu ini menjadi perbincangan hangat pula di
beberapa negara lain.
6
Pada awal 1990an, isu perubahan iklim pun menggema di berbagai belahan
dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat
untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim. Maka dibentuklah The
Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate
Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah
naungan Majelis Umum PBB. Selanjutnya, komite ini mengadakan pertemuan sebanyak
empat kali sepanjang Februari 1991 hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja
perubahan iklim yang akan diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro, Brazil. Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir
untuk diadopsi di New York.
Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk penandatanganan oleh para
pihak yang terlibat dalam KTT Bumi (Earth Summit). Dalam KTT tersebut, 154 negara
menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dan menjadi wadah resmi bagi
negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim dan menemukan cara
atau upaya untuk menghadapi dan mencegah efek dari perubahan iklim terhadap manusia
dan lingkungan hidup. Pada Maret 1994, konvensi perubahan iklim pun mulai berlaku
bagi semua pihak. Sebagaimana dalam pasal 3 konvensi tersebut, disebutkan bahwa
setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama dan dalam pasal 4 dijelaskan
bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak, Namun secara khusus tanggung
jawab harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated
responsibilities), antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang.
Seluruh anggota dari Konvensi setuju
untuk berkomitmen pada point-poin
perihal perubahan iklim. Seluruh anggota harus membuat dan secara periode
memberikan laporan khusus yang disebut dengan National Communication (NC). NC ini
harus berisi informasi emisi GRK masing-masing dan menjelaskan langkah-langkah
yang telah dilakukan untuk menerapkan komitmen dari Konvensi. Disamping itu,
Konvensi juga mengharuskan seluruh anggotanya menerapkan
program
nasional dan langkah-langkah dalam mengkontrol emisi GRK dan
mengatasi
secara
pengaruh dari perubahan iklim. Anggota juga harus setuju untuk mendorong
pengembangan dan penggunaan teknologi ramah-iklim, mendorong pendidikan dan
kesadaran publik pada perubahan iklim serta dampaknya, manajemen berkelanjutan pada
7
sektor kehutanan dan ekositemnya yang dapat menyerap CO2 di atmosfer, dan
bekerjasama antara seluruh anggotan dalam masalah ini.
Semua pihak yang terlibat dalam penandatangan UNFCCC pun menggelar
pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini
disebut Conference of the Parties (CoP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam
UNFCCC. Disamping itu, UNFCCC membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary
Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for
Implementation (SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi
CoP. CoP pertama atau CoP 1 digelar di Berlin, Jerman atau dikenal dengan nama The
Berlin Mandate. Dalam pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan yang mereka
hadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI, dan dilanjutkan dengan CoP ke-2
yang dihelat di Swiss.
Namun, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak pergerakan melawan
perubahan iklim ditorehkan saat CoP ke-3 yang digelar pada tahun 1997 di Kyoto,
Jepang. Dengan proses negosiasi panjang dan rumit, menghasilkan suatu kerangka kerja
pertama yang berlaku bagi semua negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) yang dikenal sebagai The Kyoto Protocol. Dengan tujuan untuk mengurangi
konsentrasi GRK melalui mekanisme Join Implementation (JI), Emission Trading (ET),
dan Clean Development Mechanism (CDM). JI merupakan mekanisme yang
memungkinkan negara-negara maju membangun proyek bersama yang dapat
menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang
memungkinkan negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara
maju lainnya. Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara nonANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui proyek
yang diimplementasikan oleh negara maju.
Walaupun sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat
adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol
Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat
utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55
negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara
ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Walaupun Protokol Kyoto
mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun
8
2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata
cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Namun setelah hampir satu dekade setelah itu, CoP sering diwarnai perang
kepentingan politik dan negosiasi rumit mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa usaha dan kerangka kerja lainnya tentu dibutuhkan
dalam menghadapi perubahan iklim, kesepakatan besar kembali dicapai pada 2005, yaitu
CoP 11 yang dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah.
Untuk pertama kalinya, isu pencegahan deforestasi dibicarakan dalam CoP ke-11 di
Montreal, Kanada pada tahun 2005. Penggagas ide mengenai avoided deforestation yang
pertama kali ini adalah Papua nugini dan Costa Rica, dimana keduanya selaku ketua dari
Coalition for Rainforest Nations (CfRN), dimana ide inilah yang nantinya menjadi cikal
bakal dari kerangka kerja REDD.
Ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah negara-negara maju
membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan di
negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk mengganti potensi
pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka membuka hutan
untuk kegiatan industri maupun perkebunan. Konsep ini dikenal sebagai Reducing
Emissions from Deforestation (RED). RED mendapatkan banyak masukan dari beberapa
negara lain seperti Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Paraguay, Tanzania,
dan beberapa negara lainnya yang mengusulkan bahwa RED bukan hanya mengatur
tentang avoided deforestation, tapi juga avoided forest degradation. Namun dalam
pertemuan ini ide mengenai Reducing Emissions from Deforestations and Degradations
belum diwujudkan dalam kerangka kerja. Pertemuan di Montreal, Kanada ini akhirnya
menghasilkan Rencana Aksi Montreal, yang berisi kesepakatan untuk memperpanjang
berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya kedaluwarsa pada 2012. Dengan demikian,
semakin panjang pula waktu bagi para pihak yang tak setuju, termasuk AS, untuk
meratifikasi Protokol Kyoto.
Setelah itu, konferensi bersejarah lainnya adalah CoP 13 pada tahun 2007, yang
diselenggarakan di Bali, Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, para peserta pertemuan
termasuk Amerika Serikat bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan dalam
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah
2012, batas berlakunya Protokol Kyoto pertama. Secara ringkas, hasil pokok dari Bali
9
Roadmap tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa
keterlambatan pengurangan emisi GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat
stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak
buruk perubahan lingkungan; Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih
besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama; Ketiga, keputusan untuk
meluncurkan proses yang menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan
UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan; Keempat, penegasan kesediaan sukarela
negara berkembang untuk mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat
diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi,
dana, dan peningkatan kapasiatas; Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas
perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan
adaptasi; dan Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung
tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu: Pertama,
memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012); Kedua, menjalankan
program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi
usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara
berkembang (Reduction Emission from Deforestation and Degradation/REDD);
Keempat, melipatgandakan skala CDM dari sektor kehutanan; Kelima, memasukan
teknologi carbon capture and storage ke CDM; dan Kelima, menyepakti perluasan kerja
kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries). Dapat
bahwa ide dasar dari REDD yang dicetuskan di Montreal, Kanada akhirnya di adopsi
dalam pertemuan di Bali.
Norwegia juga meluncurkan Prakarsa Internasional tentang Iklim dan Hutan
(International Climate and Forest Initiative). Melalui prakarsa ini, Norwegia siap
mengalokasikan 3 miliar NOK per tahun untuk menyokong upaya REDD di negaranegara berkembang selama 5 tahun. Jumlah tersebut juga akan terus ditambah sesuai
dengan kebutuhan yang mungkin terjadi di kemudian hari untuk menyelamatkan hutanhutan tropis di seluruh kawasan di dunia. Dengan menjanjikan bantuan dana yang besar,
Norwegia menunjukkan kepada dunia internasional sebagai penyumbang terbesar dalam
usaha global untuk menyelamatkan hutan yang terancam kelestariannya. Dimana, niat
dan koimitmen baik Norwegia untuk berkontribusi besar-besaran dalam penyelamatan
10
hutan sebagai langkah dan tindakan yang diambil dalam menghadapi perubahan iklim ini
disambut dengan baik oleh komunitas internasional.
2.3 REDD Secara Umum
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD
(Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) merupakan sebuah mekanisme
untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada
pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. 1 Cara kerja
REDD adalah dengan melakukan pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari
diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu
dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan
ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi
negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD
memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai
kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini
menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk
penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan
perkebunan.2
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam CoP ke-13 di Bali
pada 2007 dituangkan dalam Bali Roadmap dan menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali
Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk
melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi
perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung maka diadopsilah mekanisme
kerja dalam REDD yang tujuan utamanya adalah mengurangi emisi GRK. Ketika REDD
pertama kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh
negara-negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki
potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan
untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya. Inisiatif
REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan
keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk
memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan,
1 Apa itu REDD. Diakses dari < http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alamterakhir/apa-itu-redd/ > pada 18 Maret 2017
2 Ibid.
11
meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan
lahan.
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, pertemuan kembali diadakan,
yaitu CoP ke-14 di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa
kegiatan REDD sebaiknya diperluas sehingga mencakup peranan konservasi, manajemen
hutan yang berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara
berkembang. REDD yang diperluas ini dikenal dengan REDD+. REDD-plus
menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di
Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan di negara negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah
mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi dari degradasi hutan, dan
beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi yaitu melalui peranan
konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.
Dalam CoP ke-15 di Copenhagen, Denmark Hasilnya untuk REDD masih belum
lengkap. Meskipun beberapa kemajuan sudah dibuat, namun kelemahan-kelemahan
penting masih terjadi terutama mengenai kesesuaian target, dan masih ada beberapa isu
yang belum tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat
subnasional. Namun, Perjanjian Kopenhagen telah meneguhkan sebuah tonggak, dimana
Australia, Perancis, Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat telah menawarkan
paket bantuan sebesar 3,5 triliun USD untuk persiapan REDD. Perjanjian tersebut juga
menerangkan beberapa poin teknis yang dapat menyediakan dukungan yang dibutuhkan
oleh negara-negara yang berminat untuk bergabung segera.
REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional.
Prinsipnya “common but differentiated responsibility” (kewajiban sama dengan tanggung
jawab yang berbeda), sebagaimana yang terdapat dalam prinsip-prinsip konvensi
perubahan iklim, dimana
semua negara bertanggung jawab atas permasalahan
lingkungan hidup ini namun bentuk pertanggung jawabannya berbeda-beda sesuai
dengan kapasitas masing-masing negara. Negara maju yang menghasilkan emisi dari
proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi
untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen dampak emisi karbon mereka.
Sementara negara berkembang akan diberikan insentif untuk menjaga dan melestarikan
hutannya.
12
Melalui REDD+ diharapkan dapat diterapkan cara baru untuk membatasi emisi
CO2 melalui pembayaran atau konpensasi dari negara-negara industri kepada negaranegara perkembang terutama yang berkomitmen menjaga kelestarian hutannya, sehingga
tindakan tersebut dapat mencegah hilangnya hutan atau degradasi, dan negara-negara
industri maju tetap bisa menjalankan kegiatan industrinya, karena mereka dapat
bekerjasama dengan pemilik hutan seperti Brazil dan Indonesia dalam upaya pelestarian
dan penyelamatan hutan sebagai bentuk pembayaran hutan karbon (carbon debt) mereka
dikarenakan instrumen-instrumen dalam REDD+ akan lebih mampu mengakordinir
kebutuhan maupun kesulitan yang ditemukan baik bagi negara maju maupun negara
berkembang.
a. Mekanisme REDD+
Telah disebutkan bahwa ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah
negara-negara maju membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat
kerusakan hutan di negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk
mengganti potensi pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka
membuka hutan untuk kegiatan industri maupun perkebunan, maka mekanismenya pun
akan sejalan dengan ide dasarnya, dimana negara-negara industri maju harus
berkomitmen memberikan insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi
tingkat kerusakan hutan di negara mereka, maka dapat dilihat bahwa cara kerjanya
sederhana, dimana diperlukan komitmen dan kerjasama antara negara industri dan negara
berkembang.
Mekanisme REDD+ didasarkan pada imbalan bersyarat untuk mengurangi emisi
karbon, yang memerlukan sebuah sistem untuk menunjuk siapa yang akan dihargai,
mengapa, dalam kondisi apa, dalam proporsi apa dan untuk berapa lama. Sistem seperti
ini dikenal sebagai mekanisme pembagian manfaat, istilah luas yang mencakup segala
cara kelembagaan, struktur dan instrumen untuk mendistribusikan keuangan dan
keuntungan bersih lainnya dari program REDD+. Mekanisme pembagian keuntungan
yang dirancang dengan baik juga dapat mendukung efektivitas pengelolaan hutan dan
meningkatkan efisiensi program REDD+. Target dari proyek ini adalah para pembuat
kebijakan di negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Kamerun, Indonesia, Peru,
Tanzania, dan Vietnam, termasuk organisasi non-pemerintah dan pelaku swasta.3
3 REDD+ benefit sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari < http://www.cifor.org/reddbenefit-sharing/ > pada 18 Maret 2017
13
b.
Pendanaan REDD+
Mengurangi emisi karena deforestasi tentunya membutuhkan biaya atau insentif,
karena perlindungan hutan menyebabkan hilangnya pendapatan dari penebangan kayu,
tanaman dan ternak. Kerangka kerja insentif yang muncul untuk mengurangi emisi
karena deforestasi dan degradasi hutan dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan
dan pengayaan hutan, disebut sebagai REDD+, berupaya untuk menggalakkan
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak SDA. Dalam konteks REDD+,
negara-negara telah sepakat untuk “secara kolektif bertujuan memperlambat,
menghentikan dan memulihkan tutupan hutan dan karbon yang hilang”, dan untuk
melakukan hal ini “dalam konteks penyediaan dukungan yang memadai dan dapat
diprediksi bagi negara-negara berkembang.” pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa
diberi kompensasi atas kehilangan yang dideritanya atau menerima imbalan atas
tindakan yang dilakukannya. Pembayaran kompensasi atau imbalan dapat berasal dari
sumber-sumber internasional atau nasional dan akan disalurkan melalui lembagalembaga nasional.
Kita dihadapkan pada beberapa pilihan dalam pendanaan REDD,
Apakah
sebaiknya negara maju menyediakan dana lansung untuk memberikan penghargaan bagi
negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya
pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar?
Kita perlu mencari sistem pasar yang paling sesuai. Peneliti dan para pembuat kebijakan
mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk
semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang
dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negaranegara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda.
Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara
dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi
mereka masing-masing.
Sebagai cerminan dari prinsip ‘tanggung jawab bersama dalam bentuk yang
berbeda’, alokasi biaya pelaksanaan REDD+ telah menjadi bagian integral dari negosiasi
REDD+ di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN
Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Pendanaan merupakan bagian
implisit dalam konteks masalah-masalah teknis, seperti pengukuran dan tingkat acuan
yang didiskusikan oleh Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice atau,
14
secara eksplisit, dalam konteks negosiasi di bawah Kelompok Kerja Ad Hoc dari Long
Term Cooperative Action. Pada bulan Desember 2011, yaitu sesi ke 17 dari Conference
of The Parties to the UNFCCC (COP17), para pihak setuju bahwa “pendanaan
berbasiskan hasil yang disediakan bagi pihak pihak negara berkembang yang bersifat
baru, berupa tambahan dan dapat diprediksi bisa berasal dari berbagai sumber publik
maupun swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumber-sumber alternatif” dan
bahwa “pendekatan berbasiskan pasar yang tepat untuk mendukung tindakan berbasiskan
hasil oleh negara-negara yang sedang berkembang” dapat dikembangkan (UNFCCC
2012).
4
4 Nature Resources Development Center. Konsep REDD+ dan implementasinya. Di akses dari
http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-panduan-kehutahan/modul-konsep-redd.pdf
15
Dari berbagai kegiatan REDD+, para pihak juga mengadopsi pedoman tingkat
acuan untuk memperhitungkan pengurangan emisi. Namun, masih belum jelas tentang
syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana tingkat-tingkat acuan tersebut bisa
dikaitkan dengan insentif pendanaan ‘berbasiskan hasil’ di masa depan. Ada beberapa
sumber pendanaan REDD+, yakni publik, swasta, nasional dan internasional, disamping
itu ada Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara-negara
berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD-plus di masa yang akan datang:
1. Program REDD PBB (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi
negara berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program
tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi
nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk
mengawasi dan melakukan verifikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD
beroperasi di sembilan negara: Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia,
Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Proyek
percontohan sudah dimulai di beberapa kawasan hutan tropis dan akan dilakukan
kajian secara khusus bagaimana praktek REDD akan berhasil dalam penerapannya.
2. Bank Dunia, mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan
(Forest Carbon Partnership Facility, FCPF). Serupa dengan UN-REDD, namun
dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini beroperasi di 37 negara:
Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia,
Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun,
Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua,
Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republik Afrika Tengah, Republik
Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname,
Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu dan Vietnam.
Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara
yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan-kebijakan mereka secara
bersama-sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kedua inisiatif juga
memiliki beberapa aktivitas percontohan REDD yang sedang berjalan di berbagai negara
dalam rangka memberikan pemahaman tentang implementasi REDD dan menguji
bagaimana REDD dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCC
16
dalam menentukan apakah emisi CO2 yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan
apakah mekanisme REDD yang diusulkan dapat dilaksanakan.
5
Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan
persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan
perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam
kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat
dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi
(Reforestation)
dalam
Mekanisme
Pembangunan
Bersih
(Clean
Development
Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam
pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED, yang
berkembang menjadi REDD di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+, dengan
masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan
disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko. Tidak hanya sampai di situ,
bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait
Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih
menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+
ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan.
Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil
pertemuan di Bali tahun 2007. Konsep dasar REDD+ ini tidak berubah sampai saat ini.
5 GCP, Sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan. Diakses dari http//www.globalcanopy.org/
17
2.4 Implementasi REDD
Implementasi REDD dapat dilihat dalam berbagai proyek yang ada di dunia
Terhitung sejak bulan November 2011, sedikitnya ada 200 proyek REDD+ di seluruh
dunia. Proyek yang tersebar luas melintasi banyak negara merupakan hal penting untuk
meneguhkan perkembangan rezim REDD+ di masa depan, yang harus inklusif untuk
menghindari kebocoran internasional. Namun, sementara banyak negara memiliki satu
atau dua proyek, sebagian besar terpusat di tiga negara saja: Brasil, Indonesia dan Peru.
Di Indonesia, terdapat 51 proyek karbon hutan, 44 proyek lainnya (banyak di
Kalimantan) melibatkan kombinasi pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi,
restorasi (pemulihan), reforestasi dan pengelolaan hutan. Dan untuk Brazil terdapat 56
proyek, sebagian besar terletak di daerah hutan pesisir Atlantik, dan 36 proyek yang
melibatkan kombinasi berbagai strategi yang dapat diberi label REDD+, sebagian besar
terletak di Amazon. Peru memiliki 41 proyek karbon hutan.
Proyek karbon hutan sedang diimplementasikan oleh pemerintah, berbagai
lembaga masyarakat dan sektor swasta, yang menghasilkan variasi penting dalam
penekanan dan keefektifannya. Mayoritas proyek karbon hutan yang kami katalogkan
sedang diimplementasikan oleh berbagai LSM, biasanya dengan misi lingkungan hidup
atau pembangunan berkelanjutan. Dengan proyek yang dipimpin oleh berbagai
organisasi lingkungan hidupinternasional seperti Conservation International, The Nature
Conservancy, Faunaand Flora International, dan Jane Goodall Institute; organisasi
pembangunan internasional lainnya, dan juga organisasi lingkungan hidup nasional
seperti Amazon Environmental Research Institute, Tanzania Forest Conservation Group
dan Centre for Environment and Development.
Dari ke 65 proyek ini, 20 (30%) dipimpin oleh LSM yang basisnya di Amerika
Serikat, dengan LSM lainnya dari Eropa (misalnya, Jerman, Swiss dan Inggris), Asia
(misalnya, Australia dan Jepang) dan negara-negara tuan rumah program REDD tersebut
ditujukan misalnya Brasil dan Indonesia, 43% proyek adalah pemrakarsa dari sektor
swasta. Pemain lainnya dalam lanskap proyek ini mencakup para pemberi dana dan
organisasi (penentu) standar, bersama para pemberi sertifikasi atau auditor yang
memverifikasi kepatuhan dengan standar-standar yang ditetapkan.
Selain dari berbagai proyek yang tercipta, imlementasi REDD juga dapat dilihat
melalui pendanaan dari negara-negara maju.
18
(1) Jepang, Jepang membiayai REDD + melalui kemitraan bilateral dengan pemerintah,
serta hibah untuk dana multi-nasional seperti sebagai Global Environment Facility
(GEF). Sebelum 2010, Jepang telah mengalokasikan sekitar US $ 4 miliar untuk
kegiatan REDD + dan bantuan teknis (+ Survey REDD, 2010), dimana sekitar 60%
adalah pinjaman, hibah, dan bantuan teknis yang diberikan
melalui hubungan
bilateral. Antara 2010 dan 2012 - yaitu selama periode Fast Start Finance (FSF) Jepang mengalokasikan sekitar US $ 720.000.000 untuk REDD+. Jepang juga telah
mendirikan
Mekanisme
Joint
Crediting
Menggunakan perjanjian bilateral dengan
memperoleh pengurangan emisi dari
(JCM)
melengkapi
CDM.
negara-negara hutan, Jepang dapat
Proyek REDD+. Serupa dengan Jerman,
Jepang mengakui kebutuhan untuk mengambil
kinerja, sebagaimana dibuktikan
untuk
tindakan dini untuk membayar
oleh penciptaan dari JCM. Pendanaan untuk
strategis ini Intervensi dibangun di atas tindakan bilateral.
(2) Norwegia, Norwegia adalah salah satu negara yang paling berkomitmen dalam
upaya pengurangan emisi GRK melalui skema REDD, dengan rencana penurunan
emisi 30 persen pada tahun 2020,terhitung dari level emisi pada tahun 1990. Langkah
ini diawali ketika pada tahun 2007, Norwegia menjanjikan bantuan sebesar 500 juta
USD, yang akan dibayar secara bertahap untuk mendukung program REDD di
negara berkembang. Pada tahun 2008, Norwegia mewujudkan janji tersebut dengan
mengaktifkan Norway’s International Climate and ForestInitiative (NICFI), yang
bertugas untuk menanganani pengawasan, penilaian, pelaporanserta verifikasi
deforestasi
dan
degradasi
hutan
di
negara-negara
berkembang
yang
dibantupendanaan program REDD-nya oleh Norwegia. Pembentukan NICFI
dilakukan oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD), yaitu
bagian dari Kementrian Luar Negeri Norwegia yang bertanggung jawab untuk
menjaga efisiensi bantuan luar negeri Norwegia.
Norwegia menyalurkan pendanaan melaluibeberapa institusi multilateral seperti UNREDD, Forest Carbon Partnership Facility yang dikelolaoleh World Bank, dan NonGovernmentalOrganization (NGO) lingkungan di seluruh dunia. Selain itu, Norwegia
juga menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara pemilik hutan hujan terbesar
di dunia seperti Brazil, Indonesia, Meksiko, Kongo, Tanzania, Nepal, Mozambique
dan Guyana dengan tujuan untuk berkontribusi dalam mempercepat pengurangan
emisi GRK melalui sektordeforestasi. Bahkan Norwegia berkomitmen untuk
menyumbangkan 1 Milyar USD bagi Indonesia danBrazil jika kedua negara tersebut
berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mereformasi manajemen
19
pengelolaan hutan menjadi lebih ramah lingkungan di masing-masing wilayah
negaranya. Komitmen Norwegia inilah yang menjadikannya sebagai donor finansial
terbesar di dunia untuk aktivitas REDD, yaitu dengan total 1.193,58 juta USD
terhitung dari perjanjian selama tahun 2008-2013.
(3) Australia, Australia mendanai REDD + melalui Hutan Internasional
Carbon
Initiative, hubungan bilateral dengan Indonesia dan Papua Nugini, dan inisiatif.
Selain itu Australia juga memberikan dananya melalui International Forest Carbon
Initiative (IFCI) untuk membantu mengembangkan negara berkembang menerapkan
REDD.
(4) Jerman, Jerman membiayai kegiatan REDD + dalam mengembangkan
melalui Kementerian Federal Ekonomi
negara
Kerjasama dan Pembangunan (BMZ).
Federal Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir
(BMU) juga mendukung proyek perlindungan iklim melalui Climate Initiative
International (ICI).
(5) Inggris, Selama COP19 di Warsawa, Inggris membuat komitmen untuk
mengalokasikan US $ 120 juta untuk Dana Bio Carbon Inisiatif untuk Hutan Lestari
Landscapes (ISFL). Sebuah intervensi strategis yang akan membangun Komitmen
kuat untuk mengirim pendanaan 2012. Dan dengan konsisten dan
komitmen
keuangan saat ini yang dibuat oleh Inggris, Inggris juga mengumumkan kesediaan
untuk mendanai tambahan program Dana Karbon FCPF, asalkan program yang
kredibel yang cukup disetujui. Terakhir, namun tidak sedikit, dalam sebuah surat
bersama dengan Norwegia dan Jerman, Inggris menyatakan dukungannya untuk
program untuk mencapai tujuan deforestasi net zero di Amazon dan Kolombia pada
tahun 2020.
(6) Amerika Serikat, Di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, Amerika Serikat
berjanji sekitar US $ 1 miliar untuk REDD + 2010-2012. Dimana pada 2010,
Amerika Serikat memenuhi 25% dari keseluruhan janjinya, mengalokasikan sekitar
US $ 250 juta untuk REDD+. Ini sebagian besar melalui US AID, dan dengan
menyediakan hibah untuk GEF, FCPF dan FIP. Pada tahun 2011, pengeluaran REDD
+ naik menjadi US $ 277 juta, Secara keseluruhan, selama 2010-2012, yang USA
mengalokasikan sekitar US $ 887.000.000 terhadap REDD+. Tambahan US $ 75 juta
mungkin diarahkan untuk mendukung proyek-proyek hutan dan penggunaan lahan
melalui Millennium Challenge Corporation (MCC).
20
(7) Spanyol, Sebelum 2010, Spanyol telah mengalokasikan sekitar US $ 16,5 juta untuk
REDD +, dengan 44% dialokasikan untuk FCPF Dana kesiapan dan 56% untuk
GEF. Antara 2010 dan 2012 Spanyol menghabiskan sekitar US $ 49 juta pada
REDD+. Meskipun Spanyol telah mengalokasikan sumber daya secara langsung ke
beberapa negara melalui Kerjasama Internasional yang dan Badan Pembangunan,
sumber daya ini
lebih kecil dari negara-negara donor lainnya. Di Meksiko, \
Misalnya, Spanyol mengalokasikan sekitar US $ 55.000. Dalam kasus lain, seperti
Senegal, DRC dan Indonesia, kuantitasnya tidak diketahu. komitmen keuangan dan
perannya dalam meningkatkan permintaan untuk pengurangan emisi REDD+ pasca
2012 belum begitu jelas.
(8) Swiss, Pada bulan Februari 2011, Federal Parlemen Swiss menyetujui janji FSF
sekitar US $ 160 juta. (Selama tahun 2011, Swiss mengalokasikan sekitar US $ 11
juta untuk mendukung pengelolaan hutan lestari di negara berkembang, terutama
dalam bentuk hibah untuk FCPF. Pada tahun 2012, Swiss menghabiskan tambahan
dana untuk REDD+. Kontribusi total untuk periode 2010-2012 periode sekitar US $
24 juta. Pada tahun 2013 Swiss mengalokasikan sekitar lain US $ 8 juta untuk
REDD+, Meskipun kontribusinya lebih kecil dari negara-negara donor lainnya,
Swiss diperkirakan akan terus mendukung REDD+.
Implementasi dari REDD lainnya dapat dilihat dari negara-negara yang bekerja
sama baik secara bilateral ataupun multilateral berupa bantuan dana yang diberikan oleh
beberapa negara industri kepada negara berkembang yang mempunyai hutan yang luas.
(1) Indonesia dan Norwegia, Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia sampai 26%, pada tahun 2020.
Pemerintah
Norwegia
menyambut
baik
komitmen
ini
dan
menyetujui
penandatanganan Surat Niat Letter of Intent (LoI) pada 26 Mei 2010. Norway akan
memberikan kontribusi kepada Indonesia berdasarkan pengurangan emisi yang
terverifikasi yang sejalan dengan skema REDD+. Pada bulan September 2010,
Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa
implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto dipilih sebagai Ketua dari satuan tugas lintas sektoral ini,
dan Kalimantan Selatan dipilih oleh Presiden sebagai provinsi percontohan dari
program REDD+ di Indonesia pada bulan Desember 2010. Strategi REDD+ di
Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai
21
asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui
implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses yang
menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan
peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen
lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama
secara bersamaan. Sebagai provinsi percontohan, Kalimantan Tengah akan menjadi
laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi
lainnya di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan
masing-masing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas
REDD+ akan membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan
mengimplementasi kegiatan REDD+; serta institusi untuk memonotir, melaporkan,
dan meverifikasi. Sejalan dengan itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk
memastikan ketersediaan dana.
Prinsip skema REDD+ menekankan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dan perbaikan lingkungan. Skema REDD+ merupakan pilihan, dan bukan
kewajiban bagi masyarakat. Peranan penduduk asli dan masyarakat tradisional dalam
skema REDD+ sangat penting. Mereka harus dilibatkan lebih banyak lagi dalam
proses pengambilan keputusan dan upaya-upaya untuk membawa keuntungan sosial
dan ekonomi, seperti pendistribusian insentif dan jaminan bahwa lahan dan hak
mereka terhadap sumber daya hutan diakui. Indonesia dan Brazil, di antara negaranegara berhutan, berada di posisi depan dalam hal menciptakan kemitraan multibilateral. Apa yang kita lakukan, dapat dan perlu menjadi referensi bagi negara-negara
lainnya. Indonesia membangun dari bawah ke atas, mengindentifikasi persoalan yang
terhampar di bawah, dan menjalinkannya dengan dunia satu per-satu secara bilateral dan kemudian secara multi-bilateral. Norwegia, tentu saja, menjadi penghubungnya.
Setelah Indonesia dan Brazil, mungkin saja terdapat beberapa multi-lateral satelit
yang terhubung dengan Guyana, dengan Costa Rica dan seterusnya menjadi besar.
(2) Indonesia dan Australia, Upaya yang dilakukan Australia memainkan peran kunci
dalam forum kerjasama ini. Australia turut mengambil langkah dalam negosiasi di
bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto mengenai insentif untuk REDD+. Sebagai
upaya untuk mengurangi emisi gas karbon terkait mekanisme REDD+, Australia telah
memberikan
kontribusinya
dalam
melaksanakan
upayanya.
Upaya
tersebut
22
dilaksanakan melalui penyaluran dana dukungan kepada Indonesia. Upaya awal yang
dilakukan Australia untuk keberlangsungan program, dilakukan melalui pengupayaan
dana awal sebesar $200 juta AUD oleh The International Forest Carbon Initiative
(IFCI) terhadap Indonesia. Hal ini menjadi kontribusi kunci Australia terkait dengan
aksi global mengenai REDD+. IFCI merupakan suatu lembaga inisiatif yang dikelola
secara administratif oleh Departemen Perubahan Iklim Australia (DCC) dan AusAID.
IFCI sendiri adalah bagian penting dari kepemimpinan Internasional Australia pada
pengurangan emisi gas karbon dari deforestasi. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini
mendukung upaya-upaya internasional untuk mengurangi deforestasi serta degradasi
lahan hutan melalui konvensi kerangka kerja PBB terkait perubahan iklim. Tentunya
hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan dapat menjadi perjanjian internasional yang adil dan efektif pada
perubahan iklim. Pada pelaksanaan program IAFCP, dana yang dibutuhkan Australia
dalam melaksanakan program secara total tercatat sebesar $ 100 juta AUD. Australia
melalui IFCI menggabungkan $30 juta AUD untuk KFCP, paket bilateral senilai $ 10
juta AUD, dan tambahan $ 60 juta AUD lainnya untuk mendukung Indonesia tentang
pengelolaan hutan. Berikut rincian pengupayaan dan oleh Australia terhadap
Indonesia. Pada tahap pertama, bulan Juli di tahun 2008, pemerintah Australia
berkomitmen sebesar $ 10 juta AUD untuk Indonesia dengan pembagian, $ 1 juta
AUD untuk The Indonesia Forest and limate Alliane (IFCA) guna membantu
Indonesia terkait persiapan kebijakan REDD+, $ 3 juta AUD untuk mendukung
rancangan konsep metodologi REDD+, $ 3 juta AUD untuk manajemen api dan lahan
gambut, $ 2 juta AUD untuk pemantauan dan penilaian karbon hutan, dan $ 1 juta
AUD untuk memulai program pengelolaan. Kedua, Pada bulan September 2008
tambahan alokasi dana sebesar $ 30 juta AUD untuk memulai KFCP dengan
pendekatan perlindungan dan rehabilitasi di lahan gambut Kalimantan Tengah.
Program ini merupakan program pertama atas kegiatan demonstrasi REDD+ skala
besar di Indonesia yang bertujuan untuk menunjukkan pendekatan yang terpercaya,
adil efektif untuk REDD+ termasuk dari degradasi lahan gambut. Fokus awal dari
program ini adalam di atas lahan seluas lebih dari 100.000 hektar lahan gambut yang
terdegradasi dan hutan di Kalimantan Tengah. Selanjutnya ketiga, pada bulan
November 2008 kemudian Australia kembali mengumumkan komitmen sebesar $ 30
juta AUD untuk rencana penambahan proyek demonstrasi kedua tepatnya di Provinsi
Jambi, Sumatera dengan melihat hasil dari implementasi KFCP.
23
Tidak hanya sampai disana pengupayaan dan oleh Australia juga dilanjutkan pada
bulan Desember 2010, Australia menambahkan dana sebesar $ 30 juta AUD untuk
IAFCP sebagai tambahan dukungan kebijakan program. Sehingga total pengupayaan
dana oleh Pemerintah Australia sebesar $ 100 juta AUD. Melalui dana ini, Australia
telah
melaksanakan
upayanya
untuk
membiayai
segala
aktivitas
untuk
berlangsungnya program dalam me
REDD (STUDI KASUS: PENDANAAN NORWEGIA TERHADAP
INDONESIA DAN BRAZIL)
OLEH : WARITSA YOLANDA (1501115622)
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim telah menjadi fenomena yang mendera dunia bahkan lebih dari
100 tahun yang lalu, dan telah menjadi topik yang diperbincangkan di forum-forum
internasional. Masyarakat internasional, dewasa ini semakin sadar akan adanya
fenomena yang mengancam lingkungan hidup dan kemanusiaan. Kesadaran akan hal
tersebutlah menjadi awal dari terbentuknya UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) tahun 1992, meskipun sebelum-sebelumnya juga telah
terdapat beberapa konferensi mengenai perubahan iklim, namun UNFCCC lah yang
menjadi institusi bagi negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan
iklim untuk menemukan cara mengurangi atau bahkan menghindari efeknya bagi
lingkungan hidup dan manusia yang mana dari diskusi dan upaya-upaya, diharapkan
dapat diperoleh hasil sehingga kelangsungan lingkungan hidup tidak terganggu.
UNFCCC kemudian diratifikasi oleh negara-negara di dunia, yang pertemuanpertemuannya diadakan setiap tahunnya dengan panel yang disebut sebagai CoP
(Conferences of Parties), CoP pertama diadakan pada tahun 1995 di Berlin.
Yang menjadi tujuan utama dari konvensi perubahan iklim sendiri adalah
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 nya yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan
sistem iklim. Maka, untuk mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar
konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan (equality principle) dan prinsip
kehati-hatian (precautionary principle), sebagaimana yang tercantum juga dalam pasal 3
konvensi tersebut bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama
misalnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak,
salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan berbagi penelitian
ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim
dan perubahan iklim serta konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi
kebijakan. Namun secara khusus tanggung jawab harus dibedakan sesuai dengan
kemampuannya (common but differentiated responsibilities), antara negara-negara
industri dan negara-negara berkembang.
2
Dalam perjalanan dan pelaksanaan Konvensi tersebut, terbentuk dua blok besar
yaitu blok negara-negara maju dan blok negara-negara berkembang, yang mana kedua
blok tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok. Annex I dari Uni Eropa (15),
JUSSCANNZ (7), Kelompok Payung (9), Rusia dan CEIT (14), sedangkan negaranegara yang Non-Annex 1, terdiri dari G77 + Cina (131), OPEC (11), GRULAC (33),
kelompok Afrika (53), APSIS (42), dan CEIT (11). Terlepas dari itu semua, sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pertemuan-pertemuan diadakan setiap
tahunnya, namun yang menjadi titik awal dari implementasi dan komitmen dari
UNFCCC adalah CoP ketiga yang diadakan di Kyoto, Jepang yang menghasilkan suatu
kerangka kerja yang mana inilah menjadi kerangka kerja pertama atau titik awal
komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, yang disebut
dengan Protokol Kyoto.
Tentunya tak berhenti sampai disitu saja kebijakan, langkah-langkah dan usaha
negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim karena tentunya usaha ataupun
kerangka kerja yang telah ada mengalami kendala dan hambatan sehingga usaha dan
kerangka kerja lainnya dibutuhkan, misalnya dalam pertemuan-pertemuan (CoP) lainnya
seperti CoP ke – 11 di Kanada, menjadi ide awal munculnya gagasan REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Degradations), yang kemudian pada CoP ke 13 di
Bali, dihasilkan Bali Roadmap yang salah satu tujuannya adalah untuk mengadopsi usul
REDD yang sebelumnya telah digagas, dari sana terciptalah komitmen dari masingmasing negara baik maju maupun berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca
melalui skema REDD, lalu kita perlu melihat sejauh mana usaha dan implementasi
skema tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang akan dijawab dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya UNFCCC menghadapi perubahan iklim ?
2. Apa itu REDD?
3. Bagaimana implementasi program REDD (studi kasus dana Norwegia kepada
Indonesia dan Brazil)?
3
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Politik Internasional dan sebagai bahan bacaan bagi penstudi hubungan
internasional maupun yang tertarik dengan pembahasan yang berkaitan dengan isu-isu
perubahan iklim. Sedangkan tujuan penulisannya secara khusus adalah untuk :
1. Menjelaskan fenomena perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan emisi
gas rumah kaca,
2. Menguraikan upaya PBB (UNFCCC) dalam menghadapi perubahan iklimsampai terciptanya kerangka kerja REDD,
3. Menguraikan REDD secara umum
4. Menjelaskan garis besar implementasi program REDD dalam studi kasus dana
bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka, dimana
penulis menjadikan sumber-sumber seperti, buku referensi, artikel, dan jurnal serta
berbagai sumber dari internet yang berhubungan dengan mengurangi gas emisi
rumah kaca dalam skema REDD dan juga mengenai dana bantuan yang diberikan
oleh Norwegia terhadap Indonesia dan Brazil sebagai dukungan terhadap program
tersebut, sebagai bahan dalam menyusun makalah ini.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fenomena Perubahan Iklim
Fenomena perubahan iklim bukanlah lagi menjadi sesuatu yang dipertentangkan,
jauh hari penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan
atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan,
minyak, dan gas, telah meningkat sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan
perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan
limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
nitrousoksida (N2O), yang mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Hal yang
menyebabkan emisi GRK menjadi masalah yang besar adalah karena dalam jangka
panjang, bumi harus melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima
energi dari matahari.
Penyebab GRK yang paling besar adalah aktivitas manusia dari bahan bakar fosil
yang dibentuk dari jasad tumbuhan dan hewan yang telah lama mati, selain itu
pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke
atmosfer setiap tahunnya, juga metana dan nitrous oksida dalam jumlah besar, dan yang
paling besar imbasnya adalah ketika pohon-pohon ditebang dan tidak tidak ditanami
kembali, maka akan lebih banyak karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfer.
Sementara itu, ternak-ternak dalam jumlah besar akan mengemisikan metana, begitu pula
pertanian dan pembuangan limbah, sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous
oksida. Gas-gas dengan waktu hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan
PFC, yang digunakan pada alat pendingin ruangan dan lemari pendingin (kulkas) juga
merupakan gas yang berbahaya jika berada di atmosfer.
Jelas terlihat bahwa Perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap
kehidupan manusia, termasuk kehidupan manusia dan negara-negara ataupun lingkungan
hidup manusia, bahkan sejumlah peneliti menyebutkan bahwa negara-negara
berkembang cenderung mengalami dampak kerusakan yang lebih buruk dari pada
negara-negara maju, misalnya saja kekeringan, cuaca ekstrim, dan sebagainya, selain
5
dampak kerusakan, perubahan iklim juga tentunya menyebabkan terancamnya ketahanan
pangan di negara berkembang.
NASA menyebutkan bahwa contoh Inti es yang diambil dari Greenland,
Antartika, dan gunung tropis Gletser didapatkan bahwa hasilnya menunjukkan bahwa
iklim bumi merespon terhadap tingkat perubahan gas rumah kaca. Selain itu juga
disebutkan bahwa bukti nyata yang saat ini bahwa perubahan iklim terjadi sangat cepat
adalah naiknya permukaan air laut, naiknya temperature global, pemanasan laut,
menyusutnya es di Greenland dan Antartika,dan kejadian atau bencana ekstrim lainnya.
Konsekuensi masa depan terhadap perubahan iklim juga diprediksi akan lebih dramatis
lagi dan menggangu kehidupan umat manusia, seperti terancamnya distribusi vegetasi
alami dan keanekaragaman hayati, erosi dan badai yang akan memaksa relokasi
penduduk di sepanjang pantai, beban biaya yang sangat besar untuk rekonstruksi
infrastruktur pembangunan, meningkatnya alokasi dana untuk pengendalian potensi
kebakaran dan beragam penyakit, serta investasi yang sangat besar untuk pelayanan
kesehatan. Ketika menyadari sepenuhnya dampak yang sangat besar dari perubahan
iklim, maka sudah seharusnya diambil langkah-langkah penting dan strategis guna
mengurangi kerusakan yang sudah terjadi dan mencegah kerusakan yang mungkin lebih
besar.
2.2 Upaya PBB (UNFCC) Menghadapi Isu Perubahan Iklim
Desakan mengenai dilakukannya suatu upaya ataupun usaha dalam menghadapi
perubahan iklim ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC
(United Nations Conference for Climate Change) sendiri lahir dari desakan publik
internasional sebagai langkah nyata ataupun titik awal dari upaya dan usaha yang
dilakukan kedepannya. Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata
publik internasional tertuju pada isu perubahan iklim. Pada saat itu, tepatnya 1985
Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada
lapisan ozon di Antartika pada 1985. Beberapa riset ilmuwan mengenai perubahan iklim
yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas. Namun, isu perubahan
iklim baru mulai menggema di Amerika Serikat pada 1988. Meskipun efek perubahan
iklim masih hanya dirasakan di AS, isu ini menjadi perbincangan hangat pula di
beberapa negara lain.
6
Pada awal 1990an, isu perubahan iklim pun menggema di berbagai belahan
dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat
untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim. Maka dibentuklah The
Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate
Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah
naungan Majelis Umum PBB. Selanjutnya, komite ini mengadakan pertemuan sebanyak
empat kali sepanjang Februari 1991 hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja
perubahan iklim yang akan diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro, Brazil. Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir
untuk diadopsi di New York.
Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk penandatanganan oleh para
pihak yang terlibat dalam KTT Bumi (Earth Summit). Dalam KTT tersebut, 154 negara
menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dan menjadi wadah resmi bagi
negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim dan menemukan cara
atau upaya untuk menghadapi dan mencegah efek dari perubahan iklim terhadap manusia
dan lingkungan hidup. Pada Maret 1994, konvensi perubahan iklim pun mulai berlaku
bagi semua pihak. Sebagaimana dalam pasal 3 konvensi tersebut, disebutkan bahwa
setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama dan dalam pasal 4 dijelaskan
bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak, Namun secara khusus tanggung
jawab harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated
responsibilities), antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang.
Seluruh anggota dari Konvensi setuju
untuk berkomitmen pada point-poin
perihal perubahan iklim. Seluruh anggota harus membuat dan secara periode
memberikan laporan khusus yang disebut dengan National Communication (NC). NC ini
harus berisi informasi emisi GRK masing-masing dan menjelaskan langkah-langkah
yang telah dilakukan untuk menerapkan komitmen dari Konvensi. Disamping itu,
Konvensi juga mengharuskan seluruh anggotanya menerapkan
program
nasional dan langkah-langkah dalam mengkontrol emisi GRK dan
mengatasi
secara
pengaruh dari perubahan iklim. Anggota juga harus setuju untuk mendorong
pengembangan dan penggunaan teknologi ramah-iklim, mendorong pendidikan dan
kesadaran publik pada perubahan iklim serta dampaknya, manajemen berkelanjutan pada
7
sektor kehutanan dan ekositemnya yang dapat menyerap CO2 di atmosfer, dan
bekerjasama antara seluruh anggotan dalam masalah ini.
Semua pihak yang terlibat dalam penandatangan UNFCCC pun menggelar
pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini
disebut Conference of the Parties (CoP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam
UNFCCC. Disamping itu, UNFCCC membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary
Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for
Implementation (SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi
CoP. CoP pertama atau CoP 1 digelar di Berlin, Jerman atau dikenal dengan nama The
Berlin Mandate. Dalam pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan yang mereka
hadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI, dan dilanjutkan dengan CoP ke-2
yang dihelat di Swiss.
Namun, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak pergerakan melawan
perubahan iklim ditorehkan saat CoP ke-3 yang digelar pada tahun 1997 di Kyoto,
Jepang. Dengan proses negosiasi panjang dan rumit, menghasilkan suatu kerangka kerja
pertama yang berlaku bagi semua negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) yang dikenal sebagai The Kyoto Protocol. Dengan tujuan untuk mengurangi
konsentrasi GRK melalui mekanisme Join Implementation (JI), Emission Trading (ET),
dan Clean Development Mechanism (CDM). JI merupakan mekanisme yang
memungkinkan negara-negara maju membangun proyek bersama yang dapat
menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang
memungkinkan negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara
maju lainnya. Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara nonANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui proyek
yang diimplementasikan oleh negara maju.
Walaupun sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat
adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol
Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat
utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55
negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara
ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Walaupun Protokol Kyoto
mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun
8
2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata
cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Namun setelah hampir satu dekade setelah itu, CoP sering diwarnai perang
kepentingan politik dan negosiasi rumit mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa usaha dan kerangka kerja lainnya tentu dibutuhkan
dalam menghadapi perubahan iklim, kesepakatan besar kembali dicapai pada 2005, yaitu
CoP 11 yang dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah.
Untuk pertama kalinya, isu pencegahan deforestasi dibicarakan dalam CoP ke-11 di
Montreal, Kanada pada tahun 2005. Penggagas ide mengenai avoided deforestation yang
pertama kali ini adalah Papua nugini dan Costa Rica, dimana keduanya selaku ketua dari
Coalition for Rainforest Nations (CfRN), dimana ide inilah yang nantinya menjadi cikal
bakal dari kerangka kerja REDD.
Ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah negara-negara maju
membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan di
negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk mengganti potensi
pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka membuka hutan
untuk kegiatan industri maupun perkebunan. Konsep ini dikenal sebagai Reducing
Emissions from Deforestation (RED). RED mendapatkan banyak masukan dari beberapa
negara lain seperti Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Paraguay, Tanzania,
dan beberapa negara lainnya yang mengusulkan bahwa RED bukan hanya mengatur
tentang avoided deforestation, tapi juga avoided forest degradation. Namun dalam
pertemuan ini ide mengenai Reducing Emissions from Deforestations and Degradations
belum diwujudkan dalam kerangka kerja. Pertemuan di Montreal, Kanada ini akhirnya
menghasilkan Rencana Aksi Montreal, yang berisi kesepakatan untuk memperpanjang
berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya kedaluwarsa pada 2012. Dengan demikian,
semakin panjang pula waktu bagi para pihak yang tak setuju, termasuk AS, untuk
meratifikasi Protokol Kyoto.
Setelah itu, konferensi bersejarah lainnya adalah CoP 13 pada tahun 2007, yang
diselenggarakan di Bali, Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, para peserta pertemuan
termasuk Amerika Serikat bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan dalam
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah
2012, batas berlakunya Protokol Kyoto pertama. Secara ringkas, hasil pokok dari Bali
9
Roadmap tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa
keterlambatan pengurangan emisi GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat
stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak
buruk perubahan lingkungan; Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih
besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama; Ketiga, keputusan untuk
meluncurkan proses yang menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan
UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan; Keempat, penegasan kesediaan sukarela
negara berkembang untuk mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat
diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi,
dana, dan peningkatan kapasiatas; Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas
perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan
adaptasi; dan Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung
tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu: Pertama,
memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012); Kedua, menjalankan
program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi
usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara
berkembang (Reduction Emission from Deforestation and Degradation/REDD);
Keempat, melipatgandakan skala CDM dari sektor kehutanan; Kelima, memasukan
teknologi carbon capture and storage ke CDM; dan Kelima, menyepakti perluasan kerja
kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries). Dapat
bahwa ide dasar dari REDD yang dicetuskan di Montreal, Kanada akhirnya di adopsi
dalam pertemuan di Bali.
Norwegia juga meluncurkan Prakarsa Internasional tentang Iklim dan Hutan
(International Climate and Forest Initiative). Melalui prakarsa ini, Norwegia siap
mengalokasikan 3 miliar NOK per tahun untuk menyokong upaya REDD di negaranegara berkembang selama 5 tahun. Jumlah tersebut juga akan terus ditambah sesuai
dengan kebutuhan yang mungkin terjadi di kemudian hari untuk menyelamatkan hutanhutan tropis di seluruh kawasan di dunia. Dengan menjanjikan bantuan dana yang besar,
Norwegia menunjukkan kepada dunia internasional sebagai penyumbang terbesar dalam
usaha global untuk menyelamatkan hutan yang terancam kelestariannya. Dimana, niat
dan koimitmen baik Norwegia untuk berkontribusi besar-besaran dalam penyelamatan
10
hutan sebagai langkah dan tindakan yang diambil dalam menghadapi perubahan iklim ini
disambut dengan baik oleh komunitas internasional.
2.3 REDD Secara Umum
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD
(Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) merupakan sebuah mekanisme
untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada
pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. 1 Cara kerja
REDD adalah dengan melakukan pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari
diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu
dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan
ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi
negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD
memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai
kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini
menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk
penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan
perkebunan.2
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam CoP ke-13 di Bali
pada 2007 dituangkan dalam Bali Roadmap dan menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali
Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk
melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi
perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung maka diadopsilah mekanisme
kerja dalam REDD yang tujuan utamanya adalah mengurangi emisi GRK. Ketika REDD
pertama kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh
negara-negara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki
potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan
untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya. Inisiatif
REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan
keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk
memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan,
1 Apa itu REDD. Diakses dari < http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alamterakhir/apa-itu-redd/ > pada 18 Maret 2017
2 Ibid.
11
meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan
lahan.
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, pertemuan kembali diadakan,
yaitu CoP ke-14 di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa
kegiatan REDD sebaiknya diperluas sehingga mencakup peranan konservasi, manajemen
hutan yang berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara
berkembang. REDD yang diperluas ini dikenal dengan REDD+. REDD-plus
menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di
Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan di negara negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah
mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi dari degradasi hutan, dan
beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi yaitu melalui peranan
konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.
Dalam CoP ke-15 di Copenhagen, Denmark Hasilnya untuk REDD masih belum
lengkap. Meskipun beberapa kemajuan sudah dibuat, namun kelemahan-kelemahan
penting masih terjadi terutama mengenai kesesuaian target, dan masih ada beberapa isu
yang belum tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat
subnasional. Namun, Perjanjian Kopenhagen telah meneguhkan sebuah tonggak, dimana
Australia, Perancis, Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat telah menawarkan
paket bantuan sebesar 3,5 triliun USD untuk persiapan REDD. Perjanjian tersebut juga
menerangkan beberapa poin teknis yang dapat menyediakan dukungan yang dibutuhkan
oleh negara-negara yang berminat untuk bergabung segera.
REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional.
Prinsipnya “common but differentiated responsibility” (kewajiban sama dengan tanggung
jawab yang berbeda), sebagaimana yang terdapat dalam prinsip-prinsip konvensi
perubahan iklim, dimana
semua negara bertanggung jawab atas permasalahan
lingkungan hidup ini namun bentuk pertanggung jawabannya berbeda-beda sesuai
dengan kapasitas masing-masing negara. Negara maju yang menghasilkan emisi dari
proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi
untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen dampak emisi karbon mereka.
Sementara negara berkembang akan diberikan insentif untuk menjaga dan melestarikan
hutannya.
12
Melalui REDD+ diharapkan dapat diterapkan cara baru untuk membatasi emisi
CO2 melalui pembayaran atau konpensasi dari negara-negara industri kepada negaranegara perkembang terutama yang berkomitmen menjaga kelestarian hutannya, sehingga
tindakan tersebut dapat mencegah hilangnya hutan atau degradasi, dan negara-negara
industri maju tetap bisa menjalankan kegiatan industrinya, karena mereka dapat
bekerjasama dengan pemilik hutan seperti Brazil dan Indonesia dalam upaya pelestarian
dan penyelamatan hutan sebagai bentuk pembayaran hutan karbon (carbon debt) mereka
dikarenakan instrumen-instrumen dalam REDD+ akan lebih mampu mengakordinir
kebutuhan maupun kesulitan yang ditemukan baik bagi negara maju maupun negara
berkembang.
a. Mekanisme REDD+
Telah disebutkan bahwa ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah
negara-negara maju membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat
kerusakan hutan di negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk
mengganti potensi pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka
membuka hutan untuk kegiatan industri maupun perkebunan, maka mekanismenya pun
akan sejalan dengan ide dasarnya, dimana negara-negara industri maju harus
berkomitmen memberikan insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi
tingkat kerusakan hutan di negara mereka, maka dapat dilihat bahwa cara kerjanya
sederhana, dimana diperlukan komitmen dan kerjasama antara negara industri dan negara
berkembang.
Mekanisme REDD+ didasarkan pada imbalan bersyarat untuk mengurangi emisi
karbon, yang memerlukan sebuah sistem untuk menunjuk siapa yang akan dihargai,
mengapa, dalam kondisi apa, dalam proporsi apa dan untuk berapa lama. Sistem seperti
ini dikenal sebagai mekanisme pembagian manfaat, istilah luas yang mencakup segala
cara kelembagaan, struktur dan instrumen untuk mendistribusikan keuangan dan
keuntungan bersih lainnya dari program REDD+. Mekanisme pembagian keuntungan
yang dirancang dengan baik juga dapat mendukung efektivitas pengelolaan hutan dan
meningkatkan efisiensi program REDD+. Target dari proyek ini adalah para pembuat
kebijakan di negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Kamerun, Indonesia, Peru,
Tanzania, dan Vietnam, termasuk organisasi non-pemerintah dan pelaku swasta.3
3 REDD+ benefit sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari < http://www.cifor.org/reddbenefit-sharing/ > pada 18 Maret 2017
13
b.
Pendanaan REDD+
Mengurangi emisi karena deforestasi tentunya membutuhkan biaya atau insentif,
karena perlindungan hutan menyebabkan hilangnya pendapatan dari penebangan kayu,
tanaman dan ternak. Kerangka kerja insentif yang muncul untuk mengurangi emisi
karena deforestasi dan degradasi hutan dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan
dan pengayaan hutan, disebut sebagai REDD+, berupaya untuk menggalakkan
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak SDA. Dalam konteks REDD+,
negara-negara telah sepakat untuk “secara kolektif bertujuan memperlambat,
menghentikan dan memulihkan tutupan hutan dan karbon yang hilang”, dan untuk
melakukan hal ini “dalam konteks penyediaan dukungan yang memadai dan dapat
diprediksi bagi negara-negara berkembang.” pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa
diberi kompensasi atas kehilangan yang dideritanya atau menerima imbalan atas
tindakan yang dilakukannya. Pembayaran kompensasi atau imbalan dapat berasal dari
sumber-sumber internasional atau nasional dan akan disalurkan melalui lembagalembaga nasional.
Kita dihadapkan pada beberapa pilihan dalam pendanaan REDD,
Apakah
sebaiknya negara maju menyediakan dana lansung untuk memberikan penghargaan bagi
negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya
pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar?
Kita perlu mencari sistem pasar yang paling sesuai. Peneliti dan para pembuat kebijakan
mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk
semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang
dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negaranegara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda.
Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara
dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi
mereka masing-masing.
Sebagai cerminan dari prinsip ‘tanggung jawab bersama dalam bentuk yang
berbeda’, alokasi biaya pelaksanaan REDD+ telah menjadi bagian integral dari negosiasi
REDD+ di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN
Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Pendanaan merupakan bagian
implisit dalam konteks masalah-masalah teknis, seperti pengukuran dan tingkat acuan
yang didiskusikan oleh Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice atau,
14
secara eksplisit, dalam konteks negosiasi di bawah Kelompok Kerja Ad Hoc dari Long
Term Cooperative Action. Pada bulan Desember 2011, yaitu sesi ke 17 dari Conference
of The Parties to the UNFCCC (COP17), para pihak setuju bahwa “pendanaan
berbasiskan hasil yang disediakan bagi pihak pihak negara berkembang yang bersifat
baru, berupa tambahan dan dapat diprediksi bisa berasal dari berbagai sumber publik
maupun swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumber-sumber alternatif” dan
bahwa “pendekatan berbasiskan pasar yang tepat untuk mendukung tindakan berbasiskan
hasil oleh negara-negara yang sedang berkembang” dapat dikembangkan (UNFCCC
2012).
4
4 Nature Resources Development Center. Konsep REDD+ dan implementasinya. Di akses dari
http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-panduan-kehutahan/modul-konsep-redd.pdf
15
Dari berbagai kegiatan REDD+, para pihak juga mengadopsi pedoman tingkat
acuan untuk memperhitungkan pengurangan emisi. Namun, masih belum jelas tentang
syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana tingkat-tingkat acuan tersebut bisa
dikaitkan dengan insentif pendanaan ‘berbasiskan hasil’ di masa depan. Ada beberapa
sumber pendanaan REDD+, yakni publik, swasta, nasional dan internasional, disamping
itu ada Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara-negara
berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD-plus di masa yang akan datang:
1. Program REDD PBB (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi
negara berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program
tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi
nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk
mengawasi dan melakukan verifikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD
beroperasi di sembilan negara: Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia,
Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Proyek
percontohan sudah dimulai di beberapa kawasan hutan tropis dan akan dilakukan
kajian secara khusus bagaimana praktek REDD akan berhasil dalam penerapannya.
2. Bank Dunia, mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan
(Forest Carbon Partnership Facility, FCPF). Serupa dengan UN-REDD, namun
dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini beroperasi di 37 negara:
Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia,
Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun,
Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua,
Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republik Afrika Tengah, Republik
Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname,
Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu dan Vietnam.
Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara
yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan-kebijakan mereka secara
bersama-sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kedua inisiatif juga
memiliki beberapa aktivitas percontohan REDD yang sedang berjalan di berbagai negara
dalam rangka memberikan pemahaman tentang implementasi REDD dan menguji
bagaimana REDD dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCC
16
dalam menentukan apakah emisi CO2 yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan
apakah mekanisme REDD yang diusulkan dapat dilaksanakan.
5
Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan
persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan
perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam
kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat
dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi
(Reforestation)
dalam
Mekanisme
Pembangunan
Bersih
(Clean
Development
Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam
pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED, yang
berkembang menjadi REDD di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+, dengan
masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan
disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko. Tidak hanya sampai di situ,
bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait
Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih
menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+
ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan.
Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil
pertemuan di Bali tahun 2007. Konsep dasar REDD+ ini tidak berubah sampai saat ini.
5 GCP, Sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan. Diakses dari http//www.globalcanopy.org/
17
2.4 Implementasi REDD
Implementasi REDD dapat dilihat dalam berbagai proyek yang ada di dunia
Terhitung sejak bulan November 2011, sedikitnya ada 200 proyek REDD+ di seluruh
dunia. Proyek yang tersebar luas melintasi banyak negara merupakan hal penting untuk
meneguhkan perkembangan rezim REDD+ di masa depan, yang harus inklusif untuk
menghindari kebocoran internasional. Namun, sementara banyak negara memiliki satu
atau dua proyek, sebagian besar terpusat di tiga negara saja: Brasil, Indonesia dan Peru.
Di Indonesia, terdapat 51 proyek karbon hutan, 44 proyek lainnya (banyak di
Kalimantan) melibatkan kombinasi pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi,
restorasi (pemulihan), reforestasi dan pengelolaan hutan. Dan untuk Brazil terdapat 56
proyek, sebagian besar terletak di daerah hutan pesisir Atlantik, dan 36 proyek yang
melibatkan kombinasi berbagai strategi yang dapat diberi label REDD+, sebagian besar
terletak di Amazon. Peru memiliki 41 proyek karbon hutan.
Proyek karbon hutan sedang diimplementasikan oleh pemerintah, berbagai
lembaga masyarakat dan sektor swasta, yang menghasilkan variasi penting dalam
penekanan dan keefektifannya. Mayoritas proyek karbon hutan yang kami katalogkan
sedang diimplementasikan oleh berbagai LSM, biasanya dengan misi lingkungan hidup
atau pembangunan berkelanjutan. Dengan proyek yang dipimpin oleh berbagai
organisasi lingkungan hidupinternasional seperti Conservation International, The Nature
Conservancy, Faunaand Flora International, dan Jane Goodall Institute; organisasi
pembangunan internasional lainnya, dan juga organisasi lingkungan hidup nasional
seperti Amazon Environmental Research Institute, Tanzania Forest Conservation Group
dan Centre for Environment and Development.
Dari ke 65 proyek ini, 20 (30%) dipimpin oleh LSM yang basisnya di Amerika
Serikat, dengan LSM lainnya dari Eropa (misalnya, Jerman, Swiss dan Inggris), Asia
(misalnya, Australia dan Jepang) dan negara-negara tuan rumah program REDD tersebut
ditujukan misalnya Brasil dan Indonesia, 43% proyek adalah pemrakarsa dari sektor
swasta. Pemain lainnya dalam lanskap proyek ini mencakup para pemberi dana dan
organisasi (penentu) standar, bersama para pemberi sertifikasi atau auditor yang
memverifikasi kepatuhan dengan standar-standar yang ditetapkan.
Selain dari berbagai proyek yang tercipta, imlementasi REDD juga dapat dilihat
melalui pendanaan dari negara-negara maju.
18
(1) Jepang, Jepang membiayai REDD + melalui kemitraan bilateral dengan pemerintah,
serta hibah untuk dana multi-nasional seperti sebagai Global Environment Facility
(GEF). Sebelum 2010, Jepang telah mengalokasikan sekitar US $ 4 miliar untuk
kegiatan REDD + dan bantuan teknis (+ Survey REDD, 2010), dimana sekitar 60%
adalah pinjaman, hibah, dan bantuan teknis yang diberikan
melalui hubungan
bilateral. Antara 2010 dan 2012 - yaitu selama periode Fast Start Finance (FSF) Jepang mengalokasikan sekitar US $ 720.000.000 untuk REDD+. Jepang juga telah
mendirikan
Mekanisme
Joint
Crediting
Menggunakan perjanjian bilateral dengan
memperoleh pengurangan emisi dari
(JCM)
melengkapi
CDM.
negara-negara hutan, Jepang dapat
Proyek REDD+. Serupa dengan Jerman,
Jepang mengakui kebutuhan untuk mengambil
kinerja, sebagaimana dibuktikan
untuk
tindakan dini untuk membayar
oleh penciptaan dari JCM. Pendanaan untuk
strategis ini Intervensi dibangun di atas tindakan bilateral.
(2) Norwegia, Norwegia adalah salah satu negara yang paling berkomitmen dalam
upaya pengurangan emisi GRK melalui skema REDD, dengan rencana penurunan
emisi 30 persen pada tahun 2020,terhitung dari level emisi pada tahun 1990. Langkah
ini diawali ketika pada tahun 2007, Norwegia menjanjikan bantuan sebesar 500 juta
USD, yang akan dibayar secara bertahap untuk mendukung program REDD di
negara berkembang. Pada tahun 2008, Norwegia mewujudkan janji tersebut dengan
mengaktifkan Norway’s International Climate and ForestInitiative (NICFI), yang
bertugas untuk menanganani pengawasan, penilaian, pelaporanserta verifikasi
deforestasi
dan
degradasi
hutan
di
negara-negara
berkembang
yang
dibantupendanaan program REDD-nya oleh Norwegia. Pembentukan NICFI
dilakukan oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD), yaitu
bagian dari Kementrian Luar Negeri Norwegia yang bertanggung jawab untuk
menjaga efisiensi bantuan luar negeri Norwegia.
Norwegia menyalurkan pendanaan melaluibeberapa institusi multilateral seperti UNREDD, Forest Carbon Partnership Facility yang dikelolaoleh World Bank, dan NonGovernmentalOrganization (NGO) lingkungan di seluruh dunia. Selain itu, Norwegia
juga menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara pemilik hutan hujan terbesar
di dunia seperti Brazil, Indonesia, Meksiko, Kongo, Tanzania, Nepal, Mozambique
dan Guyana dengan tujuan untuk berkontribusi dalam mempercepat pengurangan
emisi GRK melalui sektordeforestasi. Bahkan Norwegia berkomitmen untuk
menyumbangkan 1 Milyar USD bagi Indonesia danBrazil jika kedua negara tersebut
berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mereformasi manajemen
19
pengelolaan hutan menjadi lebih ramah lingkungan di masing-masing wilayah
negaranya. Komitmen Norwegia inilah yang menjadikannya sebagai donor finansial
terbesar di dunia untuk aktivitas REDD, yaitu dengan total 1.193,58 juta USD
terhitung dari perjanjian selama tahun 2008-2013.
(3) Australia, Australia mendanai REDD + melalui Hutan Internasional
Carbon
Initiative, hubungan bilateral dengan Indonesia dan Papua Nugini, dan inisiatif.
Selain itu Australia juga memberikan dananya melalui International Forest Carbon
Initiative (IFCI) untuk membantu mengembangkan negara berkembang menerapkan
REDD.
(4) Jerman, Jerman membiayai kegiatan REDD + dalam mengembangkan
melalui Kementerian Federal Ekonomi
negara
Kerjasama dan Pembangunan (BMZ).
Federal Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir
(BMU) juga mendukung proyek perlindungan iklim melalui Climate Initiative
International (ICI).
(5) Inggris, Selama COP19 di Warsawa, Inggris membuat komitmen untuk
mengalokasikan US $ 120 juta untuk Dana Bio Carbon Inisiatif untuk Hutan Lestari
Landscapes (ISFL). Sebuah intervensi strategis yang akan membangun Komitmen
kuat untuk mengirim pendanaan 2012. Dan dengan konsisten dan
komitmen
keuangan saat ini yang dibuat oleh Inggris, Inggris juga mengumumkan kesediaan
untuk mendanai tambahan program Dana Karbon FCPF, asalkan program yang
kredibel yang cukup disetujui. Terakhir, namun tidak sedikit, dalam sebuah surat
bersama dengan Norwegia dan Jerman, Inggris menyatakan dukungannya untuk
program untuk mencapai tujuan deforestasi net zero di Amazon dan Kolombia pada
tahun 2020.
(6) Amerika Serikat, Di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, Amerika Serikat
berjanji sekitar US $ 1 miliar untuk REDD + 2010-2012. Dimana pada 2010,
Amerika Serikat memenuhi 25% dari keseluruhan janjinya, mengalokasikan sekitar
US $ 250 juta untuk REDD+. Ini sebagian besar melalui US AID, dan dengan
menyediakan hibah untuk GEF, FCPF dan FIP. Pada tahun 2011, pengeluaran REDD
+ naik menjadi US $ 277 juta, Secara keseluruhan, selama 2010-2012, yang USA
mengalokasikan sekitar US $ 887.000.000 terhadap REDD+. Tambahan US $ 75 juta
mungkin diarahkan untuk mendukung proyek-proyek hutan dan penggunaan lahan
melalui Millennium Challenge Corporation (MCC).
20
(7) Spanyol, Sebelum 2010, Spanyol telah mengalokasikan sekitar US $ 16,5 juta untuk
REDD +, dengan 44% dialokasikan untuk FCPF Dana kesiapan dan 56% untuk
GEF. Antara 2010 dan 2012 Spanyol menghabiskan sekitar US $ 49 juta pada
REDD+. Meskipun Spanyol telah mengalokasikan sumber daya secara langsung ke
beberapa negara melalui Kerjasama Internasional yang dan Badan Pembangunan,
sumber daya ini
lebih kecil dari negara-negara donor lainnya. Di Meksiko, \
Misalnya, Spanyol mengalokasikan sekitar US $ 55.000. Dalam kasus lain, seperti
Senegal, DRC dan Indonesia, kuantitasnya tidak diketahu. komitmen keuangan dan
perannya dalam meningkatkan permintaan untuk pengurangan emisi REDD+ pasca
2012 belum begitu jelas.
(8) Swiss, Pada bulan Februari 2011, Federal Parlemen Swiss menyetujui janji FSF
sekitar US $ 160 juta. (Selama tahun 2011, Swiss mengalokasikan sekitar US $ 11
juta untuk mendukung pengelolaan hutan lestari di negara berkembang, terutama
dalam bentuk hibah untuk FCPF. Pada tahun 2012, Swiss menghabiskan tambahan
dana untuk REDD+. Kontribusi total untuk periode 2010-2012 periode sekitar US $
24 juta. Pada tahun 2013 Swiss mengalokasikan sekitar lain US $ 8 juta untuk
REDD+, Meskipun kontribusinya lebih kecil dari negara-negara donor lainnya,
Swiss diperkirakan akan terus mendukung REDD+.
Implementasi dari REDD lainnya dapat dilihat dari negara-negara yang bekerja
sama baik secara bilateral ataupun multilateral berupa bantuan dana yang diberikan oleh
beberapa negara industri kepada negara berkembang yang mempunyai hutan yang luas.
(1) Indonesia dan Norwegia, Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia sampai 26%, pada tahun 2020.
Pemerintah
Norwegia
menyambut
baik
komitmen
ini
dan
menyetujui
penandatanganan Surat Niat Letter of Intent (LoI) pada 26 Mei 2010. Norway akan
memberikan kontribusi kepada Indonesia berdasarkan pengurangan emisi yang
terverifikasi yang sejalan dengan skema REDD+. Pada bulan September 2010,
Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa
implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto dipilih sebagai Ketua dari satuan tugas lintas sektoral ini,
dan Kalimantan Selatan dipilih oleh Presiden sebagai provinsi percontohan dari
program REDD+ di Indonesia pada bulan Desember 2010. Strategi REDD+ di
Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai
21
asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui
implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses yang
menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan
peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen
lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama
secara bersamaan. Sebagai provinsi percontohan, Kalimantan Tengah akan menjadi
laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi
lainnya di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan
masing-masing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas
REDD+ akan membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan
mengimplementasi kegiatan REDD+; serta institusi untuk memonotir, melaporkan,
dan meverifikasi. Sejalan dengan itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk
memastikan ketersediaan dana.
Prinsip skema REDD+ menekankan manfaat yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dan perbaikan lingkungan. Skema REDD+ merupakan pilihan, dan bukan
kewajiban bagi masyarakat. Peranan penduduk asli dan masyarakat tradisional dalam
skema REDD+ sangat penting. Mereka harus dilibatkan lebih banyak lagi dalam
proses pengambilan keputusan dan upaya-upaya untuk membawa keuntungan sosial
dan ekonomi, seperti pendistribusian insentif dan jaminan bahwa lahan dan hak
mereka terhadap sumber daya hutan diakui. Indonesia dan Brazil, di antara negaranegara berhutan, berada di posisi depan dalam hal menciptakan kemitraan multibilateral. Apa yang kita lakukan, dapat dan perlu menjadi referensi bagi negara-negara
lainnya. Indonesia membangun dari bawah ke atas, mengindentifikasi persoalan yang
terhampar di bawah, dan menjalinkannya dengan dunia satu per-satu secara bilateral dan kemudian secara multi-bilateral. Norwegia, tentu saja, menjadi penghubungnya.
Setelah Indonesia dan Brazil, mungkin saja terdapat beberapa multi-lateral satelit
yang terhubung dengan Guyana, dengan Costa Rica dan seterusnya menjadi besar.
(2) Indonesia dan Australia, Upaya yang dilakukan Australia memainkan peran kunci
dalam forum kerjasama ini. Australia turut mengambil langkah dalam negosiasi di
bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto mengenai insentif untuk REDD+. Sebagai
upaya untuk mengurangi emisi gas karbon terkait mekanisme REDD+, Australia telah
memberikan
kontribusinya
dalam
melaksanakan
upayanya.
Upaya
tersebut
22
dilaksanakan melalui penyaluran dana dukungan kepada Indonesia. Upaya awal yang
dilakukan Australia untuk keberlangsungan program, dilakukan melalui pengupayaan
dana awal sebesar $200 juta AUD oleh The International Forest Carbon Initiative
(IFCI) terhadap Indonesia. Hal ini menjadi kontribusi kunci Australia terkait dengan
aksi global mengenai REDD+. IFCI merupakan suatu lembaga inisiatif yang dikelola
secara administratif oleh Departemen Perubahan Iklim Australia (DCC) dan AusAID.
IFCI sendiri adalah bagian penting dari kepemimpinan Internasional Australia pada
pengurangan emisi gas karbon dari deforestasi. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini
mendukung upaya-upaya internasional untuk mengurangi deforestasi serta degradasi
lahan hutan melalui konvensi kerangka kerja PBB terkait perubahan iklim. Tentunya
hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan dapat menjadi perjanjian internasional yang adil dan efektif pada
perubahan iklim. Pada pelaksanaan program IAFCP, dana yang dibutuhkan Australia
dalam melaksanakan program secara total tercatat sebesar $ 100 juta AUD. Australia
melalui IFCI menggabungkan $30 juta AUD untuk KFCP, paket bilateral senilai $ 10
juta AUD, dan tambahan $ 60 juta AUD lainnya untuk mendukung Indonesia tentang
pengelolaan hutan. Berikut rincian pengupayaan dan oleh Australia terhadap
Indonesia. Pada tahap pertama, bulan Juli di tahun 2008, pemerintah Australia
berkomitmen sebesar $ 10 juta AUD untuk Indonesia dengan pembagian, $ 1 juta
AUD untuk The Indonesia Forest and limate Alliane (IFCA) guna membantu
Indonesia terkait persiapan kebijakan REDD+, $ 3 juta AUD untuk mendukung
rancangan konsep metodologi REDD+, $ 3 juta AUD untuk manajemen api dan lahan
gambut, $ 2 juta AUD untuk pemantauan dan penilaian karbon hutan, dan $ 1 juta
AUD untuk memulai program pengelolaan. Kedua, Pada bulan September 2008
tambahan alokasi dana sebesar $ 30 juta AUD untuk memulai KFCP dengan
pendekatan perlindungan dan rehabilitasi di lahan gambut Kalimantan Tengah.
Program ini merupakan program pertama atas kegiatan demonstrasi REDD+ skala
besar di Indonesia yang bertujuan untuk menunjukkan pendekatan yang terpercaya,
adil efektif untuk REDD+ termasuk dari degradasi lahan gambut. Fokus awal dari
program ini adalam di atas lahan seluas lebih dari 100.000 hektar lahan gambut yang
terdegradasi dan hutan di Kalimantan Tengah. Selanjutnya ketiga, pada bulan
November 2008 kemudian Australia kembali mengumumkan komitmen sebesar $ 30
juta AUD untuk rencana penambahan proyek demonstrasi kedua tepatnya di Provinsi
Jambi, Sumatera dengan melihat hasil dari implementasi KFCP.
23
Tidak hanya sampai disana pengupayaan dan oleh Australia juga dilanjutkan pada
bulan Desember 2010, Australia menambahkan dana sebesar $ 30 juta AUD untuk
IAFCP sebagai tambahan dukungan kebijakan program. Sehingga total pengupayaan
dana oleh Pemerintah Australia sebesar $ 100 juta AUD. Melalui dana ini, Australia
telah
melaksanakan
upayanya
untuk
membiayai
segala
aktivitas
untuk
berlangsungnya program dalam me