Sejarah dalam Al qr an

Sejarah dalam Al-Qur'an
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi umat Islam. Dalam alQur’an, surat yang pertama adalah surat al-Fâtihah. Surat ini merupakan
surat utama yang paling sering dibaca, bahkan surat ini biasanya dihapal
terlebih dahulu oleh masyarakat. Surat ini mengandung do’a yang paling
sering dipanjatkan, setidaknya tujuh belas kali sehari semalam, yakni pada
saat melakukan shalat fardhu.
Siratan perintah untuk belajar sejarah sangat kuat terlihat dalam surat
al-Fâtihah ini. Maka sangat penting untuk memperhatikan kandungan surat
yang paling akrab ini. Hal tersebut tampak pada ayat 6-7 yang artinya
sebagai berikut :
"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."[1]
Inilah do’a yang selama ini mohon dalam jumlah yang paling sering
dalam keseharian kehidupan seorang Muslim. Surat al-Fatihah, awal surat
dalam al-Qur'an itu ternyata menyiratkan perintah untuk belajar sejarah.
Mungkin banyak yang tidak sadar, walaupun setiap hari setiap Muslim pasti
mengucapkannya, tetapi banyak yang tidak memiliki kesadaran untuk
membaca, mengkaji, mendalami sejarah Islam.
Pada ayat yang ketujuh dari surat al-Fâtihah ini perintah tersirat untuk

belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan
dalam ayat terakhir ini: (1) Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah; (2)
Kelompok yang dimurkai Allah (3) Kelompok yang sesat. Ketiga kelompok ini
adalah generasi yang telah berlalu, generasi di masa lalu yang telah
mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya[2] menjelaskan bahwa kelompok
pertama (yang diberi nikmat oleh Allah) adalah: para Nabi, para shiddiqin,
para syuhada' dan para shalihin, semua yang hadir dalam dalam do’a,
mereka yang telah meninggal, yang dijelaskan lebih detail dalam Surat anNisâ: 69-70.
Ini adalah perintah tersirat pertama agar umat Islam rajin melihat
sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka, agar bisa
mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang
hidupnya, sehingga bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh
sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka rasakan. Perjalanan
hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah.
Imam Ibnu Katsir[3] kembali menjelaskan bahwa mereka yang
mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu

dan amal. Adapun kelompok kedua (kelompok yang dimurkai) adalah
kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal, sehingga mereka

dimurkai. Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sedangkan kelompok ketiga
(kelompok yang sesat) adalah masyarakat Nasrani.
Ada banyak kisah yang dipaparkan al-Qur’an dengan tujuan untuk
mendidik, bukan semata untuk bercerita, untuk memberikan pelajaran
moral, untuk mengajarkan bahwa di masa lalu Tuhan selalu memberikan
balasan pahala kepada orang-orang baik dan menghukum orang-orang jahat.
Keragaman kisah itu misalnya tentang kisah Nabi Yusuf as yang merupakan
kisah yang paling menarik dan paling realis, atau jawaban Nabi Ibrahim as
dalam mengajak kaumnya untuk menyembah Tuhan yang Esa.[4]
Dalam al-Qur’an setidaknya ada 159 ayat yang menceriterakan tentang
sejarah dan kisah-kisah perjalanan umat terdahulu serta pelajaran dari
sejarah bangsa-bangsa.[5] Hal ini menunjukkan betapa pentingnya belajar
sejarah sebagai cerminan bagi kehidupan di masa yang akan datang.
MODEL AL-QUR’AN DALAM MENJELASKAN SEJARAH
A. Pengertian Al-Qur’an dan Sejarah
1. Definisi Al-Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an
adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya
membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu

surat Al-Qur'an sendiri yakni pada surat al-Qiyâmah ayat 17 dan 18 yang
artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya” (QS Al-Qiyâmah : 17-18).
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu
nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak
manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi al-Qur’an Al-Karîm, bacaan yang sempurna lagi mulia itu.[6]
Secara terminologi, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang
menjadi ibadah apabila dibaca. Sebagaimana pendapat Subhi Al Salih bahwa
Al-Qur'an adalah “Kalam Allah swt yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.[7]
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai
berikut: "Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw penutup para Nabi dan Rasul, dengan


perantaraan Malaikat Jibril as dan ditulis pada mushaf-mushaf yang
kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan
mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat al-Fâtihah
dan ditutup dengan surat an-Nâs"[8]
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak
dinamakan al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa as atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa as. Demikian
pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang
membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak
termasuk Al-Qur’an.
Tiada bacaan yang melebihi al-Qur’an dalam perhatian yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat
baik dari segi masa, musim dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab
serta waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti al-Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan
redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungan yang tersurat,
tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua
dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa
yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda

sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun
semua mengandung kebenaran. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang
memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang
masing-masing.[9]
2. Definisi Sejarah
Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa Arab (‫ شجرة‬: šajaratun)
yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (

‫)تاريخ‬. Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih
adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa
Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam
bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain
yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah
terjadi.[10]
Adapun ilmu sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari
peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi
pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan
akan cara berpikir secara historis. Orang yang mengkhususkan diri
mempelajari sejarah atau ahli sejarah disebut sejarawan.


Dahulu, pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai bagian
dari ilmu budaya (humaniora). Akan tetapi, kini sejarah lebih sering
dikategorikan ke dalam ilmu sosial, terutama bila menyangkut perunutan
sejarah secara kronologis. Ilmu sejarah mempelajari berbagai kejadian yang
berhubungan dengan kemanusiaan di masa lalu. Ilmu sejarah dapat dibagi
menjadi kronologi, historiografi, genealogi, paleografi, dan kliometrik.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang
dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi,
dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history,
bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang
berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.[11]
Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas
dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan
peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu
peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan
membuat periodesasi.
B. Nabi dan Rasul Pembawa Ajaran Islam dalam Al-Qur’an
Atas kemurahan Allah swt menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu
untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk periode dan masyarakat
tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka

yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan
Rasul (Utusan Tuhan).
Sejak Nabi pertama Adam as hingga Nabi terakhir Rasulullah saw,
seluruhnya menyatakan diri sebagai Muslim –wanahnu lahu muslimuun- (QS
al-Baqarah ayat 136 dan Ali ‘Imrân ayat 84). Berarti seluruh Nabi dan Rasul
hanya membawa satu ajaran Allah yakni ajaran Islam. Untuk memahamkan
pengertian Islam ini, al-Qur’an menyejarahkan kembali sejarah kerasulan.
[12]
Jumlah Nabi dan Rasul secara pasti tidak diketahui. Al-qur’an hanya
menginformasikan bahwa, “Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun
kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan” (QS
Fâthir : 24). Al-qur’an juga menyatakan kepada Nabinya bahwa kami telah
mengutus nabi-nabi sebelum kamu, diantara mereka ada yang telah kami
sampaikan kisahnya dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu”
(QS. Al-Mu’min : 78).[13]
Al-Qur’an menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi/Rasul;
delapan belas diantaranya disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’âm ayat
83-86, sisanya didapatkan dari berbagai ayat. Nabi Muhammad SAW -seperti
dinyatakan al-Qur’an surat al-Arâf : 158- diutus kepada seluruh manusia, dan
beliau merupakan khataman nabiyyin (penutup para nabi) QS al-Ahzab : 40.

[14]

Guna menyederhanakan dan mempermudah pemahaman terhadap
sejarah dua puluh lima kerasulan, maka Allah mewahyukan kembali sejarah
lima nabi dan rasul yang berhasil memperoleh kemenangan dalam
menghadapi serangan lawan karena memiliki mukjizat. Adapun nabi dan
rasul ulul azmi tersebut adalah: (1) Nuh as; (2) Ibrahim as; (3) Musa as; (4)
Isa as; dan (5) Muhammad saw.
Nabi Nuh as dalam al-Qur’an ditulis namanya hingga 43 kali.[15]
Pengulangan ini untuk meyakinkan kalangan non-Islam, bahwa Nabi Nuh as
di utus sebagai Nabi Muslim yang menyerahkan kehendak dirinya kepada
kehendak Allah swt. Berarti Nabi Nuh as adalah pembawa ajaran Islam (QS
Yunus ayat 72).
Nabi Ibrahim as ditulis kembali hingga 67 kali, Nabi Musa as diulangulang namanya hingga 136 kali,[16] guna mengingatkan kembali kebenaran
ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa as adalah Islam. Dan Nabi Musa
mengajak kaumnya tawakkal kepada Allah dan Muslim (QS Yunus ayat 84).
Demikian pula Nabi Isa as diabadikan namanya dalam al-Qur’an hingga 25
kali.[17] Untuk mengingatkan kembali Nabi Isa as tidak mengajarkan Trinitas
(QS an-Nisâ ayat 171 dan al-Mâidah ayat 73).
Rasulullah saw dalam al-Qur’an hanya disebut lima kali namanya.

Empat kali dengan nama Muhammad pada QS Ali Imran ayat 144, al-Ahzab
ayat 40, Muhammad ayat 21, al-Fath ayat 29, dan satu kali dengan nama
Ahmad pada QS ash-Shaf ayat 6.[18]
Banyaknya penyebutan atau pengulangan nama-nama Nabi dalam AlQur’an seperti Nabi Nuh as 43 kali, Nabi Ibrahim as 67 kali, Nabi Musa as 136
kali, Nabi Isa as 25 kali karena terjadi pendistorsian atau penyelewengan
kisah sejarah para Nabi tersebut dalam kitab suci agama non-Islam.[19]
B. Fungsi Sejarah dalam Al-Qur’an
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum
dalam QS Hûd ayat 120, yaitu :
Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad),
agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah
diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi
orang yang beriman. (QS Hûd : 120).[20]
Dari ayat di atas dapat diambil bahwa sejarah mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1. Sejarah sebagai peneguh hati
Dalam bahasa Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan
menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi, Allah akan


meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa
aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguhsungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benarbenar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku.
dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka Itulah orang-orang yang fasik.[21]
2. Sejarah sebagai pengajaran
Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai
berikut :
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka

Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.[22]
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176)
dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk
menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam
menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.
3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir
dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah
kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran,
kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.
4. Sejarah dalam al-Qur’an sebagai sumber kebenaran
Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal
dari mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui
kitab suci Al-Qur'an. Misalnya, bahwa manusia itu diciptakan dari tanah,
diawali dengan Adam dan Hawa. Pada awalnya, kedua makhluk yang
mengawali sejarah manusia tersebut dikaruniai tempat yang mulia, yaitu
berada di surga.
Dikisahkan bahwa, Adam as dan Hawa ternyata tidak mampu
menghadapi godaan iblis yang diciptakan dari api. Keduanya, Adam as dan
Hawa, melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya dilarang. Pesan Tuhan
diabaikan, terlalu tamak ialah memakan buah yang dilarang memakannya,

maka akhirnya manusia pertama tersebut dilempar ke alam lainnya, yaitu ke
dunia ini. [23]
Kisah tersebut diabadikan dalam kitab suci Al-Qur'an. Dengan
demikian, bagi mereka yang mengimani kitab suci, mereka menjadi jelas
asal-muasal tentang kejadian dirinya. Sejak awal kejadiannya, manusia
adalah sebagai makhluk yang mulia yang dari sejarahnya cukup jelas.
Kiranya tidak terbayang, bagaimana jawaban itu diperoleh manakala hal itu
tidak dikisahkan oleh Sang Penciptanya melalui kitab suci.
Selain itu, melalui al-Qur’an pula, juga dikisahkan tentang orang-orang
yang dimuliakan, yaitu yang diutus sebagai nabi dan rasul. Melalui kisahkisah itu pula, bagi siapapun yang berkehendak menjadi tahu tentang
sejarah para nabi dan para rasul dan orang-orang terpilih lainnya bisa
memperolehnya lewat Al-Qur'an. Sebaliknya, kitab suci tersebut juga
mengkisahkan tentang kehidupan orang-orang yang berperilaku buruk.
Misalnya, kisah Qabil, yaitu salah seorang putra Adam, akibat sifat dengki
yang dimilikinya, ia tega membunuh saudaranya sendiri.
Kisah-kisah tersebut, memberikan jawaban atas pertanyaan pelik,
yaitu tentang siapa sebenarnya manusia itu. Jawaban semacam itu akan sulit
diperoleh melalui penelitian ilmiah. Kesulitan itu diantaranya, oleh karena
rentang waktu yang sedemikian lama dan tidak terdapat dokumen yang
sekiranya jelas, dipercaya dan atau pasti, kecuali diperoleh lewat kitab suci.

SIMPULAN
Ada banyak nilai yang terkandung dari al-Qur’an dalam menjelaskan
sejarah diantaranya: (1) Penyederhanaan, terlihat dari al-Qur’an dalam
menjelaskan sejarah para Nabi dengan menyederhanakan melalui kisah ulul
azmi. (2) Pengulangan, dapat terlihat dari al-Qur’an dalam mengulang
nama Nabi tertentu dalam jumlah pengulangan tertentu.
Berbagai kisah dalam kitab suci al-Qur'an sangat penting untuk
dijadikan petunjuk dan sekaligus pendidikan bagi manusia untuk mengenal
diri dan juga Tuhannya. Itulah salah satu di antara cara yang bisa ditangkap,
bagaimana Allah swt mendidik manusia lewat al-Qur'an, dengan
memberikan kisah-kisah nyata tentang kehidupan manusia, sejak awal
kejadiannya hingga berbagai zaman selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fida Ismail bin Amr bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi. Tafsir Ibnu
Katsir , al-Maktabah al-Syamilah.
Depag RI. 2007. Al-Qur’an Terjemah. Bandung : Syamil Cipta Media.
Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs. (terjemah). Jakarta : Serambi Ilmu
Semesta.
http//: pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/2850 berbagai kisah dalam
alquran untuk mendidik.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah.
Shihab, M. Quraish. 2000. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung : Mizan.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah. Bandung : Salamadani
Pustaka Semesta.
http://sidawala.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-dalam-al-quran.html

[1] Q.S. Al- Fâtihah (1) : 6-7, dengan penafsiran: Jalan yang lurus yaitu
jalan hidup yang benar, yang dapat membuat bahagia di dunia dan akhirat.
Mereka yang dimurkai, adalah mereka yang sengaja menentang ajaran
Islam. Mereka yang sesat adalah mereka yang sengaja mengambil jalan lain
selain ajaran Islam. Lihat Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil
Cipta Media. 2007), hlm. 1.
[2] (Tafsir Ibnu Katsir 1/140, al-Maktabah al-Syamilah)
[3] (Tafsir Ibnu Katsir 1/141, al-Maktabah al-Syamilah)
[4] Philip K. Hitti, History of the Arabs. (terjemah) (Jakarta : Serambi Ilmu
Semesta. 2010), hlm. 157.
[5] Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007),
hlm. 14.
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 3.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an. Diunduh pada tanggal 27
November 2011.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an diunduh pada tanggal 27
November 2011.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 3.
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah. Diunduh pada tanggal 27
November 2011.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah. Diunduh pada tanggal 27
November 2011.
[12] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani
Pustaka Semesta. 2010), hlm. 20.

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 41.
[14] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 42.
[15] Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras
Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil,
2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.
Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah.
(Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 21.
[16] Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras
Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil,
2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.
Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah.
(Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 21.
[17] Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras
Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil,
2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.
Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah.
(Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.
[18] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani
Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.
[19] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani
Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.
[20] Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007),
hlm. 235.
[21] Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media.
2007), hlm. 357.
[22] Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007),
hlm. 173.
[23] pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/2850 berbagai kisah dalam
alquran untuk mendidik.
[13]

wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad”
(Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu)(Q.S 59:18).
Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang berarti pohon.
Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan
perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat
rindang dan berkesinambungan.
Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan
“perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” kehidupan manusia dalam menerima dan
menjalankan fungsinya sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Maka tugas hidup manusia dimuka bumi
adalah :” menciptakan perubahan sejarah” (khalifah).
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya,
memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti
yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil
albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang,
bagi orang-orang yang memahaminya.
Dua pertiga Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini merupakan
pedoman hidup bagi manusia. Dengan demikian, betapa berkepentingannya kita terhadap kajiankajian kesejarahan dalam kedua sumber tersebut. Menangkap pesan-pesan sejarah untuk
menciptakan sejarah, untuk mengetahui “pohon sejarah” apa yang sedang dibuat.
“Kasyajaratin thayyibah” pohon sejarah yang sukses dengan fondasi akar yang kuat, batang
yang menjulang dan ranting yang merindang serta buah sejarah yang bisa dinikmati sepanjang

musim. “Kasyajaratin khabisyah” pohon sejarah yang rapuh, akar yang tercabut dari bumi,
tidak ajeg dalam hidup yang akhirnya mudah runtuh dan rubuh.
Ketika petunjuk Allah digunakan sebagai pedoman, ia diibaratkan sebagai “pelita kaca” yang
bercahaya seperti mutiara dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S.
24: 35). Lihatlah sejarah Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di
tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan
Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai “pohon labu” yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146).
Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk
Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang “pohon pahit” (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S.
44: 43).
Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk memperoleh masa depan, harus menoleh kemasa
lalu? Ada apa kisah dalam sejarah dalam Al-Quran dapat digunakan sebagai pedoman
“Mengubah Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama? Sejarah memberikan
Mau’idzah (pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai actor sejarah, untuk
menciptakan sejarah yang benar.
Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya
Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran
dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S 11: 120)
Pohon kehidupan di muka bumi ini telah Allah tanam sejak Allah menciptakan Adam a.s dan
Ibnu Adam (keturunannya) untuk mengemban amanah penegakan kekuasaan Allah di bumi
sebagai Khalifah Allah, wakil atau mandataris Allah. Inilah pohon kehidupan yang dikehendaki
oleh Sang Maha Pencipta Raja seluruh Alam semesta. Pohon “Kasyajaratin thayyibah”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs.
Al-Baqarah (2) : 30)
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s. 11/120 :
Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan
kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala)
kebenaran, nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd :
120)
Ke-empat fungsi itu, yaitu :
1. Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati
Dalam bahasa Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa di muka
bumi, Allah akan meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa
aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benarbenar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orangorang yang fasik.
2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
Sejarah merupakan pendidikan (Ma’uidzah) Allah terhadap kaum muslimin, sebagai peringatan
dalam menjalani sunnah Rasul. Pelajaran yang Allah berikan dengan tujuan melahirkan sosok

ummat yang memiliki kualitas mu’min, mujahid, istiqomah, shalihun dan shabirun. Ummat yang
memiliki kualitas seperti ini baru bisa diperoleh melalui interaksi dan keterlibatan diri secara
langsung dalam harakah perjuangan secara total.
Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar
mereka berfikir.
Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176) dalam arti menjadikan
sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu
kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.
3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan
Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan
sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran,
kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.
Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai Nakala, yaitu peringatan terhadap generasi berikutnya
melalui peristiwa yang yang menimpa generasi sebelumhya. Misal Allah menyiksa ummat dan
para pelanggar ketentuan Allah (Qs. 2:66 ; 4 : 84)
Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai dari setiap
peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian
(tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian
sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan.
Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur
(membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).
Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah dengan
melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk menghantarkan kita
pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya Rahmat dan Mardhatillah fi addunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)
4. Sejarah sebagai sumber kebenaran
Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus
menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur’an.
Sebagai hudan, artinya sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang memahami
sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana menjalani hidup yang
sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini berakhir. Jadi sejarah akan menerangi setiap
langkah yang telah, sedang dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-138 ; 12 : 111)
Sejarah sebagai tashdiq (membenarkan, meneguhkan), maksudnya sejarah menjadi legalitas
(landasan kebenaran). Landasan kebenaran sejarah hari ini diukur dari peristiwa sejarah masa
lalu; apakah ada kesinambungan dan kesesuaian antara sejarah hari ini dengan sejarah ummat
masa lalu. Kesinambungan utama adalah : tidak terputusnya misi tauhid dan adanya kesamaan
visi dan misi ideologi yang diperjuangkan dan ditegakan.
Sejarah merupakan wujud dari curahan kasih sayang dan kecintaan Allah yang dikaruniakan
kepada hamba-Nya, yang melibatkan diri dalam proses sejarah (harakah Islamiyah). Disitulah
akan dapat merasakan bagaimana rahmaniyyah dan rahimiyyah-Nya. (Qs. 4 : 95-96; 3 :
159). Rahmat ini hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya yakni mereka yang
beriman, berhijrah dan berjihad fisabilillah (Qs. 2 : 218 dan 157). Mereka disebut sebagai
golongan yang mendapat nikmat Allah (Qs. 1 : 7 ; 4 : 69).

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah
teman yang sebaik-baiknya. (Qs. 4 : 69)

[1] Dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan
“syajarah”.
Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”
Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”
Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”
Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”
Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”
Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”
An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”
Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”
https://serbasejarah.wordpress.com/2008/11/30/fungsi-sejarah-menurut-al-quran/

Pengertian dan Sejarah Al-Qur'an
Home » Al-Qur’an » Pengertian dan Sejarah Al-Qur'an

Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna Talaa [keduanya berarti:
membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a
Qor’an Wa Qur’aanan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan.
Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna
dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni:
Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia

mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi derivasi (isytiqaq),
cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata
jadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah adalah:
Al-Lihyani, berkata bahwa kata “al-quran” merupakan kata jadian dari kata dasar “qara’a”
(membaca). Penamaan ini masuk ke dalam kategori “tasmiyah al maf’ul bi al-mashdar” (penamaan
isim maf’ul dengan isim mashdar)
Al-zujaj, menjelaskan bahwa kata “al-quran” merupakan kata sifat yang bersal dari kata dsar “al-qar’
“ yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, karena kitab itu menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan
larangan. Atau karena kitab ini menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata “Al-Quran” dengan tidak menggunakan
hamzah yaitu :
Al-Asy’ari, mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena
Al-Quran menyertakan surat, ayat,dan huruf-huruf.
Al-farra’ menjelaskan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena AlQuran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan
ayat-ayat lainnya.[1]
Secara Syari’at (Terminologi)
Menurut Manna’ Al-Qaththan:[2] “Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan
membacanya memperoleh pahala.”
Menurut Al-Jurjani:[3] “Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan
yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan.”
Menurut Abu Syahbah: “Kitab Allah yang diturunkan baik lafadzh maupun maknanya kepada Nabi
terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan
keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkannya kepada Muhammad), yang ditulis
pada mushaf mulai surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114].”
Menurut Kalangan Para ushul fiqih, fiqih, dan bahasa arab:[4] “Kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad, yang lafadzh-lafadzhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai
nilai ibadah, ditunkan secara mutawatir dan ditulis pada mushaf mulai surat Al-Fatihah [1] sampai
akhir surat An-Nas [114].”
Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW


Pertama, Al-Quran turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang
merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah



Tahap kedua, Al-Quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada
di langit dunia)



Tahap ketiga, Al-Quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan yang
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan kadang-kadang
satu surat

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus,
melainkan turun sesuai kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para
sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW.
Hikmah Diwahyukannya Al-Quran secara Berangsur-Angsur
Hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur, antara lain sebagai
berikut :[5]


Memantapkan hati Nabi, ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para
penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi
Nabi untuk terus menyampaikan dakwah.



Menentang dan melemahkan para penentang Al-Quran, Nabi sering dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan
Nabi. Turunnya wahyu itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk
membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Quran. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi
tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat Al-Quran.



Memudahkan untuk dihafal dan dipahami, Al-Quran pertama kali turun di tengah-tengah
masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan.
Turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan
menghapalkannya,



Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Quran turun) dan melakukan penahapan
dalam penetapan syari’at.



Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah Yang Mahabijaksana.

Pengertian Makkiyah dan Madaniyyah
Dari perspektif masa turun: “Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasullulah hijrah ke Madinah,
kendatipun buka turun di mekah. Adapun Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun setelah Rasullulah
hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah
disebut madaniyyah walaupun turun di Mekah atau Arafah.”
Dari perspektif tempat turun: “Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti
Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah. Adapun Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan
sekitarnya, seperti Uhud, Quba’, dan sul’a.”
Dari perspektif objek pembicaraan: “Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab-kitab Mekah
sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab bagi orang-orang Madinah.
Cara-cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah
Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Quran yang termasuk kategori ayat makkiyah dan madaniyyah,
para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan.[6]
Pendekatan Transmisi (Periwayatan)
Dengan perangkat pendekatan transmisi, para sarjana muslim merujuk kepada riwayat-riwayat valid yang

berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang kemungkinan besar menyaksikan turunnya wahyu,
atau para tabiin yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek
yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Quran, termasuk di dalamnya adalah informasi kronologis
Al-Quran.
Pendekatan Analogi (Qiyas)
Bila dalam surat Makkiyah terdapat sebuah ayat yang memiliki ciri-ciri khusus madaniyyah, ayat ini
termasuk kategori ayat madaniyyah. Para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang ditetepkan
pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menetapkan tema kisah para Nabi
dan umat-umat terdahulu sebagai ciri khusus Makkiyah, tema faraid dan ketentuan had sebagai ciri
khusus Madaniyyah.
Ciri-ciri Spesifik Makkiyah


Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabian,
penetapan hari kebagkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka dan
siksanya, surga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argumentasiargumentasi rasional dan naqli.



Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan
ahlak yang harus dimiliki anggota masyarakat. Juga berisikan celaan-celaan terhadap kriminalitas
yang dilakukan kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim serta uraian
tentang hak-hak.



Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu serta perjuangan Muhammad dalam
menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin.



Ayat dan suratnya pendek dan nada serta perkataannya agak keras



Banyak mengandung kata-kata sumpah.

Ciri-ciri Spesifik Madaniyyah


Menjelaskan permasalahan ibadah, hudud, muamalah, bangunan rumah tangga, warisan,
keutamaan jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintah mengenai perdamaian dan
peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’. Mengkhitabi Ahli Kitab
Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan perbuatan mereka yang
telah menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran atas perselisihannya setelah datang
kebenaran.



Mengungkap langkah-langkah orang musyrikSurat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang
serta menjelaskan hukum dengan terang dan menggunakan ushlub yang terang pula.[7]



Ciri-ciri spesifik yang dimilik madaniyyah, baik dilihat dari persfektif analogi ataupun tematis,
memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh Islam dalam mensyariatkan peraturanperaturannya, yaitu dengan cara periodic (hierarkis/ tadarruj).

Urgensi Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyyah
An-Naisaburi, dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl ‘Ulum Al-Quran, memandang subjek makkiyah dan
madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu, Manna Al-Qaththan mencoba
lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.
Membantu dalam Menafsirkan Al-Quran

Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Quran tentu sangat membantu
memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa yang
harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan bukan kekhususan sebabin. Dengan
mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam
dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui
melalui kronologi Al-Quran.
Pedoman bagi Langkah-langkah Dakwah
Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan
intonasi yang berbeda yang di gunakan ayat-ayat makkiyah dan madaniyyah memberikan informasi
metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Di
samping tu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring
denga perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyah dan Madaniyyah telah
memberikan contoh untuk itu.
Memberi Informasi tentang Kenabian
Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah dan Madinah,
dimulai sejak diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah
Nabi itu. Informasinya tidak bisa diragukan lagi.[8]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsurangsur.” (al-Insaan:23)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah SWT telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau
pun menggantikannya. Dia SWT telah menjamin akan menjaganya. Oleh karena itu, selama berabadabad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya,
menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan
membuka kedoknya :
“Sesunggunya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.”
(al-Hijr:9)
Allah SWT menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan,
keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitabkitab terdahulu sebelumnya :
“Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an
yang agung.” (al-Hijr:87)
“Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
(Shaad:29)
“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah
agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.” (al-Waqi’ah:77)

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar
gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang
benar.” (al-Isra’:9)
“Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu kaan melihatnya
tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat
untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)
“Dan apabila diturunkan suatu surat, mka di antara mereak (orang-orang munafik) ada yang berkata,
‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang
yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran
mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (atTaubah:124-125)
“Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an
dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang
lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)
Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada
seluruh umat manusia :
“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi
pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)
Sedangkan Sunnah Nabi SAW juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang
dikukuhkan oleh al-Qur’an : “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati
Allah. "Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (al-Ahzab:36)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)

CATATAN KAKI :
[1] Muhammad bin Muhammad abu syahbah, al-madkhal li dirosat al-quran al karim, maktabah as-sunnah, Kairo,
1992, hlm. 19-20.
[2] Manna’ al-qaththan, ath-thaba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi’, Jeddah, t.t., hlm. 174.

[3] Abu Syahbah, op. cit., hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 20.
[5] Al –Qaththan, op. cit., hlm. 107-116.
[6] Al-Qaththan, op. cit., 60.
[7] Al-Qaththan, op. cit.,hlm. 63-64; Al-Zarkasyi, op. cit., hlm. 188.
[8] Al-Q aththan, op. cit., hlm. 59-60.
* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitabkitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)
(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11)
Sumber : http://www.alsofwah.or.id/ - Pengertian al-Qur'an

http://blendist.blogspot.co.id/2014/12/al-quran-adalah-pengertian-dan-sejarah.html

Sejarah dalam perspektif al-Qur'an

A. Pendahuluan
Al-Quran biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril
sesuai dengan redaksi-Nya, kepada Nabi Muhammad saw. dan diterima oleh ummat Islam secara
tawatur[1] dan al-Qur’an merupakan kitab stilistika Arab yang sakral[2], dibuat sebagai pedoman
dan tuntunan bagi ummat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka memperoleh
kebahagiaan didunia dan akhirat. Atas dasar tersebut setiap muslim sejak datangnya Islam telah
menyakini, dan harus meyakini[3] bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan
kepada Nabi. Tanpa keyakinan yang kruasial ini tak seorangpun yang bahkan dapat menjadi
muslim secara nominal.[4]
Keberadaan manusia di dunia ini sebagaimana di isyaratkan dalam al-Qur’an surah AdzZariyat ayat 56 adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya[5].
Pelaksanaan dari ibadah tersebut membawa manusia kepada pelaku atau pembuat sejarah.
Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dalam rangka ibadah, terutama kegiatan yang
berdampak luas dan bermanfaat dalam jangka panjang biasanya di catat dan di kenang oleh
manusia sepanjang masa, cacatan tersebut terkadang di abadikan dalam bentuk ornament, tugu,
perasasti, dan buku-buku dan inilah yang kemudian menjadi sumber sejarah. Dengan demikian,
manusia di dunia ini pada hakekatnya membuat sejarah.
Sejarah yang dilakukan manusia di masa lalu dinilai sebagai bahan berharga yang patut di
pelajari dan di telaah secara seksama untuk diambil pelajaran dan hikmah yang terkandung
didalamnya. Itulah sebabnya maka sejarah tersebut ditulis dalam buku dan dimasukkan kedalam
salah satu disiplin ilmu yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat yang
paling rendah sampai ketingkat paling tinggi.
Dengan demikian sejarah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia karena
manusia membuat sejarah dan manusiapun butuh pada sejarah. Al-Qur’an dengan fungisi
utamanya memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia agar berjalan di atas ketentuan yang
benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar
memperhatikan perjalanan ummat masa lalu agar di ambil pelajaran dan hikmahnya untuk
kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya mengimformasikan, bahwa di
dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali[6] Allah SWT. menyuruh manusia untuk
mempelajari kehidupan ummat masa lampau, sebagaimana firmannya:
“Sesungguhnya Telah berla